BAB II
TINJAUAN PI STAKA
A. SelfEsteem 1. Pengertian SelfEsteem
Kepribadian sebagai salah satu aspek penting dari setiap individu mempunyai arti yang sangat berharga. Oleh karena itu tidaklah mengherankan apabila masalah selfesteem menjadi salah satu aspek yang harus diperhatikan dalam kehidupan
seseorang. SelfEsteem merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi perilaku seseorang. Branshaw (1981) menyatakan bahwa selfesteem merupakan penilaian seseorang terhadap dirinya sendiri. Menurut Coopersmith (1967) self esteem merupakan suatu hasil dari penilaian seseorang terhadap dirinya sendiri.
Penilaian diri ini dipengaruhi oleh sikap penghargaan dan penerimaan orang lain terhadap individu yang diterima melalui interaksi sosialnya (Bee, 1981 dalam
Lestari,1995).
Selfesteem merupakan obyek dan kesadaran diri dan penentu penlaku, oleh sebab itu perilaku merupakan indikasi dari self esteem individu yang bersangkutan. Self esteem akan muncul dalam perilaku yang dapat diamati.
Seorang individu akan menyukai dan menghargai dirinya sendiri apabila ia mampu menerima diri pribadinya. Penilaian terhadap diri sendiri ini akan mempengaruhi proses berpikir, perasaan, kemginan atau keputusan-keputusan yang diarnbil maupun tujuan hidupnya (Branden, 1981). Keadaan im akan membawa individu menuju ke arah keberhasilan atau kegagalan hidup. Self
13
14
esteem adalah dimensi evaluatif global dari diri. Self esteem juga diacu sebagai
nilai diri dan citra diri.
Berdasarkan pengertian-pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa self esteem merupakan penilaian terhadap dirinya sendiri yang dipengaruhi oleh
penghargaan dan penerimaan orang lain terhadap dirinya dimana ptoses tersebut diperoleh dan interaksi dengan lingkungan, yang akan dimanifestasikan ke dalam
perilakunya.
2. Perkembangan Self Esteem
Self esteem bukanlah merupakan faktor yang dibawa sejak lahir, melainkan
faktor yang dapat dipelajari dan dapat dibentuk. Pandangan tentang selfesteem ini berkembang secara bertahap sepanjang pengalaman hidup seorang individu.
Hurlock (1996) mengatakan bahwa self esteem terbentuk pada masa kanak-
kanak dan di masa remaja selfesteem akan mengalami kemapanan. Perkembangan selfesteem ini bermula terhadap dirinya sendiri kemudian berkembang atas dasar nilai yangdipelajari dari interaksinya dengan individu lain. „
Menurut psikologi perkembangan pengalaman afektif pada masa kanak-kanak
sangat ditekankan, karena hal ini sangat menentukan perasaan berharga pada diri seorang anak. Dikatakan oleh Peiham dan Swann (Lestari, 1995) bahwa perasaan berharga pada anak akan menjadi dasar untuk mengembangkan selfesteernnya.
Seiring dengan bertambahnya usia, anak mulai mengadakan kontak sosial dengan lingkungan yang luas. Melalui pengalaman melakukan interaksi ini anak
akan mengembangkan gambaran dirinya melalui sikap dan respon orang lain
15
terhadap dirinya (Koentjara, 1989), Selain itu dengan bertambahnva usia, anak mulai dapat mengembangkan sistem kognitifnya, yaitu kepercayaan diri dan cara individu membuat kerangka penilaian dirinya, sehingga self esteem pada saat selanjutnya akan ditentukan oleh faktor kognitif di samping faktor afektif(Pelham
dan Swann dalam Lestari, 1995).
Berdasarkan pendapat para ahli disimpulkan bahwa self esteem lebih merupakan perkembangan dari faktor qfeksmya (Noesjirwan dalam Koentjara.
1989), yaitu:
a. Rasa ketergolongan yaitu adanya perasaan individu bahwa dirinya merupakan bagian dari suatu kelompok yang ditenma dan dihargai oleh anggota
kelompok lainnya.
b. Rasa kemampuan, yaitu penilaian individu tentang dirinya sendiri berdasarkan
kemampuan untuk melakukan atau mencapai hal-hal yang diinginkannya.
Apabila ia berhasil mencapai hal tersebut secara efisien, ia akan menilai dirinya positif sebaliknya apabila individu gagal mencapai kemgman maka ia
akan menilai dirinya secara negatif.
c. Rasa keberartian, yaitu perasaan individu bahwa dirinya berharga, mempunyai arti dan nilai. Pandangan tersebut didasarkan atas apa yang diketahui tentang
dirinya dan berdasarkan pula atas penilaian orang lain tentang dirinya.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa self esteem terbentuk
karena adanya interaksi dengan lingkungan, bukan merupakan faktor yang dibawa
sejak lahir. Selfesteem akan berkembang seiring dengan bertambahnva usia. Pada
16
akhirnya dapatlah dikatakan bahwa self esteem terbentuk selama pengalaman
hidup individu dalam hubungannya dengan diri sendiri dan dengan individu lain.
3. Ciri-ciri SelfEsteem
Self Esteem yang dimiliki oleh masing-masing individu akan berbeda satu dengan lainnya, ada yang negatif dan ada yang positif. Coopersmith (1968) mcngemukakan ciri-ciri selfesteem ke dalam tiga macam tingkatan, yaitu:
a. Jika individu mempunyai selfesteem yang positif maka individu tersebut akan bersikap aktif, ekspresif, cenderung sukses dalam bidang akademis dan kehidupan sosialnya, percaya diri, optimis dan mau menerima kritik dan
perbedaan pendapat.
b. Individu yang mempunyai self esteem sedang maka sikap-sikap individu tersebut hampir sama dengan individu yang tingkat self esteemnya positif
tetapi menunjukkan kebimbangan dalam menilai dirinya sehingga ia
memhutuhkan dukungan sosial.
c. Untuk individu yang mempunyai self esteem negatif, mempunyai ciri-ciri yaitu perasaan yang rendah diri, takut terhadap pendapat yang bertentangan dengan dirinya, kurang suka menerima kritik dan mudah tersinggung.
Individu akan menunjukkan sikap-sikap tertentu yang merupakan manifestasi
ciri-ciri selfesteem yang dimilikinva. Individu yang mempunyai selfesteem yang
positif lebih mampu menghargai dan menghormati diri sendiri, berpandangan bahwa dirinya sejajar dengan individu lain dan mengenali keterbatasannya (Frey
dan Carlock, 1984 dalam Handayam 1997). Individu ini cendenuw melihat
17
dirinya sebagai seorang yang berhasil dan realistis dalam melihat kemampuan dan dalam hubungan interpersonal ia dapat dengan mudah menerima orang lain dan orang Iain pun dapat dengan mudah menerima dirinya. (Di Vista dan Thompson dalam Handayani, 1997). Individu yang mempunyai self esteem negatif sering menunjukkan keputusasaan dan depresi atau tidak mampu mengekspresikan atau mempertahankan diri, terlalu lemah untuk mengatasi dan menghadapi kekurangannya, sering dihadapkan oleh persoalan-persoalan dari dalam dirinya (Coopersmith, 1968), cenderung menolak dirinya, menunjukkan sifat tergantung.
kurang percaya diri dan biasanya mengalami kesulitan dalam proses sosialisasi (Di Vista dan Thompson dalam Lestari, 1995).
Self esteem yang positif merupakan fungsi dari pengalaman masa lalu dan
adanya penguat positif terhadap usaha yang diiakukan oleh individu. Mereka yang mengalami kesuksesan cenderung memiliki self esteem yang lebih positif daripada
individu yang mengalami kegagalan.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa taraf selfesteem berperan besar dalam kemampuan seseorang menghadapi lingkungan. Individu dengan selfesteem positif lebih melihat dirinya sebagai individu yang berhasil baik dalam bidang akademis maupun sosial, penuh percaya diri dan yakin akan kemampuannya. Sebaiiknya individu dengan selfesteem negatifcenderung kurang percaya diri dan menganggap dirinya tidak mampu menghadapi lingkungan
dengan efektif.
18
4. Aspek-aspek SelfEsteem
Coopersmith (1967, dalam Berns, 2003) menjelaskan hal-hal yang dapat menaikkan self esteem seseorang adalah dengan keberhasilan yang diperoleh selama dirinya berinteraksi dengan lingkungan. Keberhasilan itu sendiri meliputi
aspek-aspek berikut, yaitu
a. Power yaitu kamampuan untuk bisa mengatur dan mengontrol tingkah laku orang lain yang didasarkan oleh adanya pengakuan dan rasa hormat yang
diterima individu dan orang lain..
b. Significance yaitu kepedulian, perhatian dan afeksi yang diterima individu dari orang lain yang mengindikasikan penerimaan dan popularitas individu di
lingkungan sosialnya.c. Virtue yaitu adanya suatu ketaatan untuk mengikuti standar moral dan etika dimana individu akan memauhi tingkah laku yang harus dihindari dan melakukan tingkah laku yang dibolehkan atau diharaskan untuk moral etika
dan agama.
d. Competence. Aspek mi menunjukkan adanya suatu kemampuan untuk sukses memenuhi tuntunan prestasi yang ditandai dengan keberhasilan individu dalam mengerjakan tugas dengan baik.
Dengan demikian jelas bahwa ada empat aspek yang mempengaruhi keberhasilan seseorang dalam berinteraksi dengan lingkungan yaitu power,
significance, virtue dan competence.
5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi SelfEsteem:
Faktor yang dapat mempengaruhi self esteem dapat dibedakan menjadi dua faktor yaitu faktor yang berasai dari dalam diri individu sendiri (internal) dan
faktor yang berasai dan luar diri individu (eksternal), antara lain:
a. Keadaan psikologi individu
Keadaan psikologi individu yang turut mempengaruhi positif atau negatifnya self esteem menyangkut hal-hal yang berhubungan dengan kcsukscsan dan kegagalan yang dialami, sistem mekanisme pertahanan diri berdasarkan pengalaman-pengalaman yang telah diialui individu terhadap kekuatan,
kompetisi dan nilai-nilai kebaikan.
b. Lingkungan keluarga
Keluarga merupakan faktor terpenting yang mempengaruhi terbentuknya self esteem, karena dari lingkungan keluarga milah tempat sosialtsasi pertama bagi
anak. Dari keluargalah anak merasa ditolak atau diterima, merasa berharga
atau tidak berharga, merasa dicintai atau tidak dicintai.
c. Lingkungan sosial
Menurut Coopersmith (1967) self esteem ini tidak terlepas dari pengaruh lingkungan sosial, karena self esteem terbentuk dari interaksi dengan
lingkungan, khususnya lingkungan sosial.
Hal ini sejalan dengan pendapat Klass dan Hodge (Koentjara, 1989) yang
mengatakan bahwa self esteem terbentuk melalui interaksi individu dengan
lingkungan yang diperoleh melalui penerimaan, penghargaan, serta perilaku
orang lain terhadap individu yang bersangkutan.
d. Jem's kelamin
Pengaruh perbedaan jenis kelamin terhadap self esteem ditunjukkan oleh Kimmei (dalam Koentjara, 1989) yang menyimpulkan pendapat dari para ahli dan menyatakan bahwa wanita mempunyai selfesteem dan kepercayaan diri
yang lebih negatif bila dibanding pria.
Hal ini didukung pula oleh penelitian Coopersmith (1967), Leung dan Sand (Lestari, 1995) yang menyatakan bahwa selfesteem pria sedikit lebih positif
daripada selfesteem wanita.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi selfesteem dapat dibedakan menjadi dua faktor yaitu faktor yang berasai dari dalam diri individu sendiri (internal) dan faktor yang berasai dari luar individu (eksternal). Faktor-faktor eksternal meliputi keadaan psikologi individu,
lingkungan keluarga, lingkungan sosial dan jenis kelamin,
6. Hal-hal yang perlu Diperhatikan dalam Meningkatkan SelfEsteem
Seperti telah diuraikan di atas bahwa self esteem pada umumnya penting dalam perkembangan kepribadian individu. Seseorang yang bennasalah dalam self esteem pada umumnya gagal dalam mengembangkan potensi diri secara penuh.
Individu cenderung menjadi pendiam dan menunjukkan gejala-gejala kecemasan
yaitu gugup, sakit kepala, mudah tersinggung, canggung, merasa tidak aman,
menarik diri, bahkan mengalami gangguan emosi. Ada beberapa cara
meningkatkan self esteem seseorang. Menurut Miller (1990) self esteem masih
dimungkinkan untuk diubah dan diperbaiki. Menurut Coopersmith (1976), hal-hal yang perlu diperhatikan dalam meningkatkan selfesteem adalah;
a. Sikap
Sikap yang negatif merefleksikan keadaan individu yang lemah, inferior yang mengarah pada kesimpulan ketidakberhargaan dan merasa tidak dapat mempengaruhi orang lain atau kelompok tertentu. Selain itu sikap juga merefleksikan harapan-harapan individu pada apa yang akan terjadi padanya dalam satu situasi yang baru. Harapan-harapan terhadap kesuksesan nampak pada sikap percaya diri, sedangkan harapan-harapan yang negatif memunculkan kecemasan dan kurang persisten. Jadi orang-orang dengan sikap diri negatif akan menempatkan nilai-nilai yang berbeda pada partisipasi sosialnya dalam berusaha.
b. Perilaku
Manifestasi perilaku orang yang memiliki self esteem negatif dan positif itu berbeda. Individu yang self esteemnya positif cenderung dominan dan asertif sedangkan orang yang self esteemnya negatif akan menarik diri dari pergaulan sosial dan menilai dirinya negatif.
Secara umum ada tiga cara untuk memperbaiki yaitu:
1. Meningkatkan kesadaran dalam tiga area
a. Ideal diri
Ideal diri merupakan diri (self) yang diinginkan meliputi aspirasi, moral ideal, dan nilai-nilai. Hal yang penting dalam ideal din adalah realistis atau dapat tidaknya tujuan yang ditetapkan itu terwujud.
11
b. Konsep diri
Melihat diri sendiri secara jelas merupakan komponen yang sangat penting dalam perkembangan selfesteem yang sehat. Metode untuk mengubah konsep diri adalah belajar bagaimana memonitor pemyataan diri yang dimiliki.
c. Ketidaksesuaian antara ideal diri dan konsep diri
Individu menyadari adanya ketidaksesuaian antara ideal diri dan konsep diri pada dirinya. Semakin lebar jurang antara konsep diri dan ideal diri maka
individu akan menolak diri dan membenei diri sendiri.
2. Penerimaan
Orang yang mempunyai penerimaan diri adalah orang yang menyadari area yang masih perlu diubah dan dikembangkan.
3. Alternatif strategi memecahkan masalah
Ada tiga pendekatan umum yang dapat diiakukan yaitu evaluasi ulang konsep diri, evaluasi ulang ideal dan mengubah arah ideal diri.
Untuk meningkatkan self esteem anak, ada empat cara yaitu:
1. Pengidentifikasian sebab-sebab rendahnya self esteem dan bidang-bidang kompetensi yang penting bagi diri.
Harter (I960, dalam Santrock, 2002a) percaya bahwa intervensi harus terjadi pada level penyebab self esteem bila selfesteem individual harus ditingkatkan secara signifikan. Anak-anak memiliki self esteem yang paling positif bila mereka berkompetensi dalam bidang-bidang yang penting bagi diri. Oleh karena itu, anak-anak harus didorong untuk mengidentifikasi dan menilai bidang-bidang kompetensi.
2. Dukungan emosional dan persetujuan sosial (social approval)
Dukungan emosional dan persetujuan sosial dalam bentuk konfirmasi dari orang lain sangat mempengaruhi self esteem anak-anak (Harter, 1990b dalam Santrock, 2002a). Beberapa anak yang memiliki self esteem negatif biasanya berasal dari keluarga atau kondisi konflik di mana mereka mengalami pelecehan atau penyiksaan atau pengabaian, yakni situasi yang tidak mendukung. Beberapa kasus, sumber-sumber dukungan altematif dapat diperoleh, misalnya melalui dukungan guru, pelatih atau orang dewasa,
3. Prestasi
Prestasi dapat meningkatkan self esteem anak-anak (Bednar, Wells, &
Peterson, 1989 dalam Santrock, 2002a). Misalnya, pengajaran ketrampilan nyata pada anak-anak seringkali berhasil meningkatkan prestasi dengan demikian meningkatkan selfesteem.
4. Menghadapi masalah
Self esteem sering meningkat bila anak-anak mengalami suatu masalah dan
mencoba untuk menghadapinya, bukan malah menghmdarinya (Bednar, Wells, & Peterson, 1989; Lazarus 1991 dalam Santrock, 2002a). Bila menghadapi dan bukan menghindari maka anak-anak seringkali akan bersikap dan bertindak realistis, jujur dan tidak defensif Hal ini akan menghasilkan pemikiran evaluasi diri yang lebih mengunlungkan, yang menghasilkan self generated approval, yang menaikkan self esteem. Sebaliknya, bila menghindari masalah maka selfesteem akan negatif.
24
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa menurut Coopersmith (1976) hal-hal yang perlu diperhatikan dalam meningkatkan self esteem adalah sikap dan perilaku. Adapun cara-cara untuk meningkatkan self esteem adalah pengidentifikasian sebab-sebab negatitnya self esteem dan bidang-bidang kompetensi yang penting bagi dirinya, dukungan emosional dan persetujuan sosial (social approval), prestasi dan menghadapi masalah.
B. Persepsi terhadap Periakuan Orangtua 1. Pengertian Persepsi terhadap Periakuan Orangtua
Menurut Hurlock (1973) orangtua adalah orang dewasa yang membimbing perkembangan anak ke tahap perkembangan selanjutnya, yaitu masa dewasa.
Tugas orangtua adalah melengkapi dan mempersiapkan anak menuju ke masa dewasa dengan memberikan bimbingan dan pengarahan yang dapat membantu anak dalam menjalani kehidupan.
Persepsi menurut Young (1956 dalam Nasichah, 2002) menunjukkan adanya suatu aktivitas dari mengidera, menginterpretasi dan memberi penilaian terhadap obyek-obyek fisik maupun sosial. Persepsi sebenarnya merupakan rangkaian proses, tidak sekedar mengindera atau menilai terhadap obyek. Seseorang yang melihat obyek misalnya, selama belum menginterpretasi dan belum memberikan penilaian, maka hal ini tidak dapat dikatakan sebagai persepsi.
Meier, Minirth dan Wichern (1984, dalam setyaningsih, 1997) mendefinisikan persepsi sebagai proses timbulnya kesadaran yang segera terhadap sesuatu,
IS
khususnya terhadap penginderaan. Definisi ini menekankan spontanitas dalam proses penginderaan.
Persepsi merupakan pandangan, pengamatan atau tanggapan individu terhadap benda, kejadian, tingkah laku manusia atau hal-hal lam yang ditemuinya sehari- hari (Crow dan Crow, 1976), sedangkan Allport (Setyaningsih, 1997) menggainbarkan persepsi sebagai proses yang aktif. Persepsi terhadap obyek psikologik yang berupa kejadian, idc atau situasi dipengaruhi oleh faktor pengalaman, proses belajar, eakrawala dan pengetahuan. Faktor pengalaman dan proses belajar memberikan bentuk pada obyek, sedangkan pengetahuan dan eakrawala memberi arti terhadap obyek psikologik tersebut melalui komponen kognisi yang menimbulkan konsep. Komponen afeksi memberikan evaluasi emosional seperti perasaan senang dan tidak senang, sedangkan komponen konasi menentukan kesediaan jawaban berupa tindakan terhadap obyek.
Periakuan orangtua adalah cara orangtua memperiakukan anak dan sikap orangtua terhadap anak. Jika periakuan orangtua menguntungkan, maka membentuk hubungan orangtua-anak yang baik. Periakuan orangtua juga dapat berarti cara orangtua memberikan penghargaan dan hukuman terhadap anak.
(Hurlock, 1978).
Periakuan orangtua ini bisa terbentuk dari hasil interaksi antara anak dengan orangtuanya. Dalam interaksi masing-masing saling mempengaruhi satu dengan yang lain, masing-masing saling memberikan stimulus dan respon (Marx, 1976:
Young, 1956 dalam Walgito 1990). Dengan interaksi antara anak dengan orangtua maka akan terbentuk gambaran-gambaran tertentu pada masing-masing pihak.
26
Dengan demikian anak mempunyai gambaran-gambaran tertentu mengenai orangtuanya terutama sikap dan cara orangtua memperiakukan anak atau sebaliknya dengan interaksi tersebut orangtua mempunyai gambaran mengenai sikap anak. Hal serupa juga dikemukakan oleh Hurlock (1973) yang menyatakan bahwa sikap orangtua mempengaruhi cara mereka memperiakukan anak dan periakuan mereka terhadap anak akan mempengaruhi sikap dan perilaku anak terhadap mereka. Hal tersebut sejalan dengan hasil observasi terhadap kasus penyesuaian diri pada anak maupun orang dewasa yang buruk. Setelah ditelusuri kembali ke hubungan awal orangtua dengan anak ternyata hubungan tersebut kurang baik akibat sikap orangtua dalam memperiakukan anak.
Menurut Walgito (1990) terbentuknya sikap masing-masing pihak adalah sebagai hasil persepsi masing-masing pihak terhadap obyek sikap. Sebagai contoh misalnya bila anak menurut apa yang digariskan oleh orangtua, maka persepsi orangtua terhadap anak tersebut sebagai anak penurut, anak yang baik dan sebagainya, sehingga orangtua mempunyai sikap yang positif, sikap menerima pada anak yang bersangkutan. Tetapi sebaliknya bila anak sering melanggar yang digariskan oleh orangtua, maka persepsi orangtua terhadap anak tersebut sebagai anak yang bandel, anak yang tak tahu aturan dan sebagainya, dan hal ini menimbulkan sikap yang negatif, sikap menoiak pada anak yang bersangkutan.
Orangtua mungkin bersikeras, tak acuh atau bahkan menoiak pada anak yang bersangkutan. Sikap tersebut didasarkan atas persepsi orangtua terhadap anak, melihat perilaku anak sebagai perilaku yang tidak diharapkan, tidak diinginkan oleh orangtua. Perilaku anak sebagai stimulus dan sikap orangtua sebagai
27
responnya. Demikian sebaliknya, sikap anak terhadap orangtua akan ditentukan puia oleh bagaimana persepsi anak terhadap sikap dan perilaku orangtuanya. Bila anak mempersepsi orangtuanya kurang baik, maka hal tersebut akan membentuk
sikap anak terhadap orangtuanya yang bersifat negatif, sikap yang kurang baik.
Sebaliknya bila orangtua dipersepsi anak sebagai orangtua yang baik, maka hal ini juga akan membentuk sikap anak terhadap orangtua yang positif, sikap yang baik.
Oleh karena itu orangtua harus bijaksana, menyadari dengan baik akan posisinya sebagai orangtua, perlu memberikan contoh yang baik bagi anak-anaknya. Salah satunya dengan perbuatan dan hal-hal lain yang baik, karena orangtua akan
dijadikan modelnya (Bandura, 1977).
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa penilaian periakuan orangtua ditentukan oleh persepsi anak. Persepsi periakuan orangtua adalah penilaian anak terhadap cara orangtua memperiakukan anak dan sikap orangtua terhadap anak. Periakuan orangtua merupakan hasil dan interaksi orangtua dan anak sehingga masing-masing saling memberikan stimulus dan respon.
2. Aspek-aspek Persepsi terhadap Periakuan Orangtua
Persepsi anak terhadap periakuan orangtua dipengaruhi oleh periakuan dan sikap orangtua terhadap anak seperti yang telah dikemukakan di atas. Hubungan
orangtua dengan anak tergantung pada periakuan orangtua. Menurut Johnson dan
Medinus (1974) dalam melihat hubungan anak dengan orangtua pada umumnya
dapat dilihat dari dua arah yang terpisah satu dengan yang lain, yaitu dari segi
peneriniaan-penolakan (acceptance-rejection) dan oionomi-kontrol (autonomy-
control). Pendapat mi senada dengan yang dikemukakan oleh Hetherington dan
Parke (1977) yaitu warmth hostility dan restrictiveness-permissiveness.
Yang pertama berkaitan dengan kehangatan dan penolakan orangtua terhadap anak, ini mempakan aspek hubungan emosional. Penerimaan orangtua terhadap anak ini berarti adanya kehangatan emosi antara orangtua dengan anak. Pada aspek penerimaan ditandai oleh orangtua yang merawat anak dengan perhatian dan kasih sayang. Orangtua sangat memperhatikan perkembangan kemampuan anak dan memperhitungkan minat anak. Anak yang diterima pada umumnya memiliki ciri-ciri dapat bersosialisasi dengan baik, kooperatif, ramah, loyal, mempunyai kestabilan emosi dan ceria. Sebaliknya pada aspek penolakan, antara orangtua dengan anak ada sikap bermusuhan, orangtua terlalu banyak menuntut dan orangtua kurang memperhatikan kesejahteraan anak. Pada aspek mi orangtua sendirilah yang menanamkan sikap permusuhan sehingga menimbulkan munculnya sikap permusuhan pada anak terutama terhadap orang yang lebih lemah dan kecil. Selain sikap permusuhan, aspek ini juga menumbuhkan dendairi,
perasaan tidak berdaya, frustrasi dan penlaku gugup
Aspek otonomi-kontrol atau restrictiveness-permissiveness mencerminkan
hubungan orangtua dengan anak dalam kaitannya dengan pemberian atau
penanaman disipiin pada anak. Pada suasana otonomi atau permisif orangtua
memberikan kebebasan pada anak, orangtua tidak atau kurang membenkan
kontrol kepada anak. Jika periakuan pemiisif ini tidak berlebihan mengakibatkan
anak menjadi cerdik, mandiri, memiliki penyesuaian sosial yang baik,
menumbuhkan kepercayaan diri, kreatif dan mempunyai sikap matang. Namun
jika periakuan permisif ini berlebihan maka akan menimbulkan akibat yang buruk pada anak yaitu anak menjadi kurang mempunyai kepercayaan diri, agresif dan
menuruti keinginannya sendiri sehingga kurang bisa mengendalikan diri.Pada kontrol/ restrictiveness orangtua sangat ketat memberikan kontrol
kepada anak-anaknya,orangtua memberikan pengarahan tertentu dan anak tinggal menurut apa yang telah ditetapkan oleh orangtua, maka anak oleh orangtua
dianggap sebagai anak yang membandel, anak yang nakal dan istilah-istilah lainyang menggambarkan bahwa anak tidak tunduk kepada apa yang telah ditetapkan orangtua. Bila hal tersebut terjadi, maka jelas sikap orangtua akan tidak begitu kepada anak yang bersangkutan. Sebaliknya bila anak menuruti apa yang telah ditetapkan oleh orangtua kepadanya maka anak dimata orangtua dipandang
sebagai anak yang baik, anak yang penurut.Berkaitan dengan penanaman disiplin pada anak, Hurlock (1978 dalam Fatiasan, 2003) juga mengemukakan aspek-aspek periakuan orangtua dalam
menanamkan disiplin yaitu:
1, Cara Mendisiphn Otonter. Cara ini menggunakan peraturan dan pengaturan yang keras untuk memaksakan perilaku yang diinginkan. Tehnik ini ditujukan kepada anak yang tidak dapat memenuhi standar harapan orangtua berupa hukuman badan. Cara memberikan disiplin otoriter mengakibatkan anak
kehilangan kesempatan untuk belajar mengendalikan perilaku.2. Cara Mendisiphn Permisif. Periakuan orangtua tidak memberi batas-batas
terhadap perilaku anak, anak diijinkan untuk mengambil keputusan sendiri dan
berbuat sesuai kehendak hati anak. Cara ini mengakibatkan anak bingung
untuk mengatasi masalah anak tanpa bimbingan atau pengendalian.
3. Cara Mendisiphn Demokratis, Cara ini menggunakan penjelasan, diskusi dan penalaran untuk memberikan pengertian terhadap anak. Metode ini rnenekankan aspek pendidikan daripada aspek hukumannya. Menggunakan hukuman dan penghargaan, dengan penekanan yang lebih besar pada penghargaan. Cara ini mengakibatkan anak dapat mengembangkan
pengendalian perilaku.
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan, dapat disimpulkan bahwa hubungan anak dan orangtua pada umumnya dilihat dari dua arah yang terpisah satu dengan yang lain, yaitu dari segi penerimaan-penolakan (acceptance- rejection) dan otonomi-kontrol (autonomy-control). Penerimaan-penolakan (acceptance-rejection) ini berkaitan dengan kehangatan dan penolakan orangtua kepada anak, ini merupakan aspek hubungan emosional. Penerimaan orangtua terhadap anak ini berarti adanya kehangatan emosi antara orangtua dengan anak.
Anak yang ditenma pada umumnya memiliki ciri-ciri dapat bersosialisasi dengan baik, kooperatif, ramah, loyal, mempunyai kestabilan emosi dan ceria. Sebaliknya pada aspek penolakan, antara orangtua dengan anak ada sikap bermusuhan, orangtua terlalu banyak menuntut dan orangtua kurang memperhatikan
kesejahteraan anak.
Pada segi otonomi kontrol/ restrictivenesss-permissiveness meneerminkan
hubungan orangtua dengan anak dalam kaitannya dengan dengan pemberian atau
penanaman disiplin pada anak. Pada suasana otonomi atau permisif orangtua
memberikan kebebasan pada anak, orangtua tidak atau kurang memberikan kontrol. Jika periakuan permisif ini tidak beriebihan akan mengakibatkan anak menjadi cerdik, mandiri, memiliki penyesuaian sosial yang baik, menumbuhkan kepercayaan diri, kreatif dan mempunyai sikap matang. Namun jika beriebihan
akan menimbulkan akibat yang buruk pada anak yaitu anak menjadi kurang percaya diri, agresif dan menuruti keinginannya sendiri sehingga kurang bisa mengendalikan diri. Sebaliknya pada control restrictiveness orangtua sangat ketat memberikan kontrol pada anak-anaknya, orangtua memberikan pengarahan tertentu dan anak tinggal menurut apa yang telah ditetapkan oleh orangtua.
Bila anak salah menginterpretasikan perilaku orangtua dan yakin bahwa orangtua menoiak atau kurang mencintai anak mengakibatkan anak merasa cemas, merasa tidak aman dan merasa tidak berharga di depan orangtua. Periakuan orangtua terhadap anak juga ditandai oleh cara orangtua menanamkan disiplin terhadap anak, yaitu cara mendisiphn otoriter. Cara tersebut menggunakan peraturan dan pengaturan yang keras untuk memaksakan perilaku yang dringinkan. Teknik ini ditujukan kepada anak yang tidak dapat memenuhi standar harapan orangtua berupa hukuman badan. Cara mendisiphn yang paling baik agar anak dapat mengendalikan perilakunya adalah cara mendisiphn demokratis yaitu
dengan menggunakan penjelasan, diskusi dan penalaran untuk memberikan
pengertian terhadap anak. Metode ini menekankan aspek pendidikan danpada aspek hukumannya. Menggunakan hukuman dan penghargaan, dengan penekanan
yang lebih besar pada penghargaan.
C. Hubungan Antara Persepsi Terhadap Periakuan Orangtua dengan Self
Esteem
Orangtua dituntut agar bisa membimhing dan mengarahkan anak dengan baik karena anak mulai mengadakan hubungan langsung dengan lingkungan pertama- tama adalah lingkungan keluarga terutama orangtua. Keluarga merupakan lingkungan sosial yang pertama-tama bagi anak (Walgito, 1984). Dalam lingkungan keluargalah anak mulai mengadakan persepsi baik mengenai hal-hal di luar dirinya maupun mengenai dirinya sendiri. Dalam keluargalah anak mulai terbentuk selfesteemnya. Dari lingkungan keluarga juga anak menyadari self dan non-selfnya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa lingkungan keluarga,
terutama orangtua mempunyai peran yang sangat penting dalam rangka pembentukan selfesteem anak. (Buss, 1978; Coopersmith, 1967).
Dalam kaitannya dengan self esteem, Coopersmith (1967) mengungkapkan bahwa sikap demokratik yang diterapkan orangtua merupakan sikap yang sangat menguntungkan baik dalam segi keberartian, power, ketaatan maupun dalam segi performance. Sebaliknya sikap otoriter dan sikap serba boleh, keduanya merupakan sikap-sikap yang kurang menguntungkan bila dibandingkan dengan sikap demokratik, Sikap otoriter akan memperlemah keberartian, power dan performance. Demikian pula sikap serba boleh akan dapat memperlemah dalam
segala segi, baik pada segi keberartian, power, ketaatan serta performance-nya.
Coopersmith (1968) dalam penelitiannya mengenai hubungan antara sikap orangtua dengan selfesteem anak memberikan hasil bahwa anak yang mempunyai self esteem positif terdapat pada anak-anak yang orangtuanya mempunyai sikap
yang demokratik terhadap anak. Anak yang self esteemnya positif mempunyai sifat-sifat aktif, ekspresif, suka memberikan pendapat, tidak menoiak bila dikritik, mempunyai minat yang tinggi terhadap kejadian-kejadian dalam masyarakat, percaya kepada diri sendiri,mempunyai sikap optimis dalam menghadapi masalah.
Sebaliknya anak yang self esteemnya negatif mempunyai sifat-sifat rendah diri, tidak percaya pada diri sendiri, tidak senang bila dikritik, merasa terisolasi, pasif, depresif, pesimistis dalam menghadapi masalah, suka menggantungkan kepada orang lain.
Dalam penelitian mengenai relasi orangtua-anak dengan selfesteem, suatu alat ukur selfesteem diberikan kepada anak laki-laki sekolah dasar, dan anak laki-laki itu beserta ibunya diwawancarai tentang relasi keluarga mereka (Coopersmith, 1967 dalam Santrock, 2002). Berdasarkan penilaian (assesments) ini, perilaku- perilaku orangtua berikut diasosiasikan dengan self esteem positif yang dimiliki anak-anak, yaitu:
1. Ekspresi afeksi
2. Kepedulian terhadap masalah-masalah anak 3. Harmoni di dalam rumah (keluarga)
4. Partisipasi dalam kegiatan-kegiatan bersama keluarga
5. Kesiapan memberi bantuan yang kompeten dan terorganisasi kepada anak- anak ketika mereka membutuhkannya
6. Penetapan aturan yang j elas dan adi 1 7. Ketaatan terhadap aturan ini
8. Pemberian kebebasan kepada anak-anak dalam batas-batas yang ditentukan dengan jelas.
Demikian pula hasil penelitian Baumrind (1967a dalam Walgito, 1990) menunjukkan hasil bahwa orangtua yang bersikap otoritatif memberikan pengaruh baik dalam pembentukan self esteem anak, bila dibandingkan dengan sikap
orangtua yang otoriter dan permisif.Para ahli perkembangan sepakat bahwa kualitas hubungan antara orang tua
dengan anak akan berpengaruh terhadap perkembangan anak selanjutnya. Masalah dalam keluarga (misalnya hubungan perkawman orang tua), periakuan orangtua dan perilaku anak mempunyai pengaruh baik langsung maupun tidak langsung satu sama lain (Belsky dalam Santrock, 1999). Self esteem termasuk dalam
perilaku anak yang disebutkan di atas.Menurut Johnson dan Medinus (1974) dalam melihat hubungan anak dengan
orangtua umumnya dapat dilihat dari dua arah yang terpisah satu dengan yang lain, yaitu dari segi penerimaan-penolakan (acceptance-rejection) dan otonomi- kontrol (autonomy-control). Pendapat ini senada dengan yang dikemukakan oleh Hetherington dan Parke (1977) yaitu warmth hostility dan restrictiveness-
permissiveness.
Penerimaan-penolakan (acceptance-rejection) berkaitan dengan kehangatan dan penolakan orangtua terhadap anak, ini merupakan aspek hubungan emosional.
Penerimaan orangtua terhadap anak ini berarti adanya kehangatan emosi antara
orangtua dengan anak. Pada aspek penerimaan ditandai oleh orangtua yang
merawat anak dengan perhatian dan kasih sayang terhadap anak. Orangtua sangatmemperhatikan perkembangan kemampuan anak dan memperhitungkan minat anak, dengan sikap orangtua yang demikian membuat self esteem anak meningkat karena anak merasa kehadirannya dibutuhkan, diterima dan anak juga merasa dirinya dihargai. Anak yang diterima pada umumnya memiliki ciri-ciri dapat bersosialisasi dengan baik, kooperatif, ramah, loyal, mempunyai kestabilan emosi dan ceria. Sebaliknya pada aspek penolakan, antara orangtua dengan anak ada sikap bemiusuhan, orangtua terlalu banyak menuntut dan orangtua kurang memperhatikan kesejahteraan anak. Pada aspek ini orangtua sendirilah yang menanamkan sikap permusuhan sehingga menimbulkan munculnya sikap permusuhan pada anak terutama terhadap orang yang lebih lemah dan kecil.
Selain sikap pemiusuhan, aspek ini juga menumbuhkan dendam, perasaan tidak berdaya, frustasi, perilaku gugup dan menurunnya self esteem anak karena anak merasa dirinya ditolak kehadirannya dan merasa bahwa dalam dirinya tidak ada yang berharga.
Aspek otonomi-kontrol atau restrictiveness-permissiveness mencerminkan hubungan orangtua dengan anak dalam kaitannya dengan pemberian atau penanaman disiplin pada anak. Dalam suasana otonomi atau permisif orangtua memberikab kebebasan pada anak, orangtua tidak atau kurang memberikan kontrol kepada anak. Jika periakuan permisif tidak beriebihan dapat meningkatkan self esteem anak, karena dengan kebebasan yang diberikan orangtua anak merasa
dirinya mempunyai kemampuan untuk mengurus diri sendiri. Dengan demikiam anak merasa dirinya berharga di depan orangtuanya, Periakuan permisif yang tidak beriebihan ini mengakibatkan anak menjadi cerdik, mandiri, memiliki
penyesuaian sosial yang baik, menumbuhkan kepercayaan diri, kreatif dan mempunyai sikap matang. Namun jika periakuan permisif ini beriebihan maka
akan menimbulkan akibat yang buruk pada anak yaitu anak menjadi kurang mempunyai kepercayaan diri, agresifdan menuruti keinginannya sendiri sehingga kurang bisa mengendalikan diri. Sebaliknya pada kontrol/ restrictiveness orangtua
sangat ketat memberikan kontrol kepada anak-anaknya, orangtua memberikanpengarahan tertentu dan anak tinggal menurut apa yang telah ditetapkan oleh orangtua, maka anak oleh orangtua dianggap sebagai anak yang membandel, anak
yang nakal dan istilah-istiiah lain yang menggambarkan bahwa anak tidak tundukkepada apa yang telah ditetapkan orangtua. Bila hal tersebut terjadi, maka jelas
sikap orangtua akan tidak begitu kepada anak yang bersangkutan. Sebaliknya bilaanak menuruti apa yang telah ditetapkan oleh orangtua kepadanya maka anak dimata orangtua dipandang sebagai anak yang baik, anak yang penurui Namun, kontrol/ restrictiveness dapat menurunkan self esteem anak karena dengan sikap
orangtua yang selalu mengontrol anak dengan ketat tersebut mengakibatkan anakmenjadi kurang percaya dm dengan kemampuannya, sehingga apapun perilakunya hams di bawah kontrol orangtuanya. Anak juga merasa dirinya tidak berharga karena setiap perilaku yang tidak sesuai dengan orangtua selalu salah.
D. Hipotesis Penelitian
Ada koreiasi positif antara persepsi periakuan orangtua dengan self esteem.
Semakin positif persepsi anak terhadap periakuan orangtua, maka semakin positif
J I