• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Anak Tunarungu

1. Pengertian Anak Tunarungu

Pratiwi & Murtiningsih (2013) berpendapat bahwa anak yang memiliki hambatan atau gangguan pendengaran juga merupakan salah satu kategori anak yang memiliki kebutuhan khusus. Anak yang mengalami hambatan pendengaran adalah individu yang mengalami kehilangan kemampuan pendengaran baik secara sebagian (hard of hearing) maupun keseluruhan (deaf).

Menurut Atmaja (2018) pada umumnya anak tunarungu mengalami gangguan pendengaran sebagian atau tidak dapat mendengar sama sekali. Ketunarunguan adalah seseorang yang mengalami gangguan pendengaran yang meliputi seluruh gradasi ringan, sedang dan sangat berat, yang dapat dikelompokan menjadi dua golongan, yaitu kurang dengar dan tuli, yang menyebabkan terganggunya proses perolehan informasi atau bahasa sebagai alat komunikasi.

Meimulyani (2013) mengemukakan bahwa tunarungu adalah individu yang memiliki hambatan dalam pendengaran baik permanen maupun tidak permanen. Karena memiliki hambatan dalam pendengaran individu tunarungu juga memiliki hambatan dalam berbicara. Cara berkomunikasi dengan individu menggunakan bahasa isyarat, bahasa verbal dan bahasa tubuh. Individu tunarungu cenderung kesulitan dalam memahami konsep dari sesuatu yang abstrak.

Aulia (2012) memaparkan bahwa anak tunarungu adalah seseorang yang mengalami kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar baik sebagian atau seluruhnya sehingga ia tidak dapat menggunakan alat pendengarannya dalam kehidupan sehari-hari dan dapat membawa dampak terhadap kehidupannya secara kompleks. Oleh sebab itu anak tunarungu memerlukan bimbingan dan pendidikan khususnya dalam berbahasa.

9

(2)

Menurut Nugroho, H., A. (2019) tunarungu adalah seseorang yang kehilangan kemampuan pendengaran sehingga tidak dapat memproses informasi dan bahasa melalui pendengaran, Sedangkan orang kurang dengar adalah seseorang yang pada umumnya masih menggunakan alat bantu dengar dan masih dapat memproses informasi melalui sisa pendengarannya.

Pendapat dari ahli terkait anak tunarungu dapat peneliti simpulkan bahwa anak tunarungu adalah individu yang mengalami hambatan pendengaran ringan, sedang ataupun berat. Hambatan yang dialami dapat berpengaruh dalam proses komunikasi.

2. Karakteristik Anak Tunarungu

Anak tunarungu memiliki karakteristik yang khas, berikut ini merupakan beberapa karakteristik anak tunarungu menurut Haenudin (2013) dilihat dari segi interlegensi, bahasa dan biacara, serta emosi dan sosial.

a. Karakteristik dalam segi intelegensi

Dalam segi intelegensi secara potensial anak tunarungu tidak berbeda dengan intelegensi anak normal. Namun, secara fungsional intelegensi mereka dibawah anak normal, hal ini disebabkan oleh kesulitan anak tunarungu dalam memahami bahasa. Tidak semua aspek intelegensi anak tunarungu terhambat, yang mengalami hambatan hanya yang bersifat verbal.

b. Karakteristik dalam segi bahasa dan bicara

Anak tunarungu dalam segi bicara dan bahasa mengalami hambatan, hal ini disebabkan adanya hubungan yang erat antara bahasa dan bicara dengan ketajaman pendengaran, mengingat bahasa dan bicara merupakan hasil proses peniruan sehingga individu yang mengalami tunarungu dalam segi bahasa memlliki ciri khas yaitu sangat terbatas dalam pemilihan kosakata, sulit mengartikan arti kiasan dan kata-kata yang bersifat abstrak.

(3)

c. Karakteristik dalam sosial

Keterbatasan dalam komunikasi pada anak tunarungu berpengaruh terhadap sosialisai dengan lingkungannya dan keterbatasan kemampuan untuk melakukan komunikasi secara lisan.

Anak tunarungu adalah anak dengan kehilangan pendengaran atau tunarungu memiliki kemampuan intelektual yang normal. Menurut pendapat Desiningrum (2016) anak tunarungu memiliki karakteristik sebagai berikut:

a. Keterlambatan dalam perkembangan bahasa karena kurangnya exposure (paparan) terhadap bahasa lisan, khususnya apabila gangguan dialami saat lahir atau terjadi pada awal kahidupan.

b. Mahir dalam bahasa sandi, seperti bahasa isyarat atau pengejaan dengan jari.

c. Memiliki kemampuan untuk membaca gerak bibir

d. Bahasa lisan tidak berkembang dengan baik, kualitas bicara agak monoton atau kaku.

e. Pengetahuan terbatas karena kurangnya exposure terhadap bahasa lisan.

f. Mengalami isolasi sosial, keterampilan sosial yang terbatas, dan kurangnya kemampuan mempertimbangkan perspektif orang lain karena kemampuan komunikasi terbatas.

Hambatan pada perkembangan bahasa yang dimiliki oleh anak tunarungu mempengaruhi kemampuan berbahasa anak tunarungu.

Karakteristik anak tunarungu dalam segi bahasa yang dikemukakan oleh Purbaningrum dan Rofiah (2018) sebagai berikut:

a. Kurang dalam kosakata

b. Kesulitan dalam memahami kalimat yang panjang dan terkait

c. Kesulitan dalam memahami frasa yang mengandung makna kiasan, kata yang abstrak

d. Sulit menguasai ritme dan gaya bahasa.

Berdasarkan pendapat ahli di atas dapat disimpulkan bahwa anak tunarungu mempunyai beberapa karakteristik, terutama keterbatasan kosakata. Hal tersebut yang menyebabkan anak tunarungu kesulitan

(4)

berkomunikasi dengan orang lain. Terlebih lagi permasalahan tentang kejelasan dalam berbicara. Anak tunarungu biasanya mengalami masalah dalam artikulasi, yaitu mengucapkan kata-kata yang tidak atau kurang jelas.

Namun, hal itu dapat diatasi dengan metode drill, yaitu anak melakukan latihan mengucapkan kata-kata secara berulang-ulang sampai anak terampil atau terbiasa berbicara dengan artikulasi yang tepat dan jelas.

3. Klasifikasi Anak Tunarungu

Pemilihan media pembelajaran yang sesuai dengan anak tunarungu, maka perlu mengetahui klasifikasi ketunarunguan sehingga dapat menentukan media pembelajaran yang tepat dan menunjang pembelajaran yang efektif. Winarsih dalam Haenudin (2013) menjelaskan klasifikasi ketunarunguan sangat bervariasi. Klasifikasi ketunarunguan dikelompokkan sebagai berikut:

Kelompok I : Kehilangan 15-30 dB, mild hearing losses atau ketunarunguan ringan dimana daya tangkap terhadap suara cakapan manusia normal.

Kelompok II :

Kehilangan 31-60 dB, moderate hearing losses atau ketunarunguan ringan dimana daya tangkap terhadap suara percakapan manusia hanya sebagian.

Kelompok III :

Kehilangann 61-90 dB, severe hearing losse atau ketunarunguan berat dimana daya tangkap terhadap suara cakapan manusia tidak ada.

Kelompok IV

:

Kehilangan 91-120 dB, profound hearing losses atau ketunarunguan sangat berat dimana daya tangkap terhadap suara percakapan manusia tidak ada sama sekali.

(5)

Kelompok V

:

Kehilangan lebih dari 120 dB, total hearing losses atau ketunarunguan total dimana daya tangkap terhadap suara cakapan manusia tidak ada sama sekali.

Sedangkan Hermawati (2013) menjelaskan bahwa klasifikasi anak tunarungu sebagai berikut:

0 dB : Menunjukkan pendengaran optimal

0 – 28 dB : Menunjukkan seseorang masih mempunyai pendengaran normal

27 – 40 dB : Tergolong tunarungu ringan, mempunyai kesulitan mendengar bunyi-bunyi yang jauh, membutuhkan tempat duduk yang strategis letaknya, dan memerlukan terapi bicara.

41 – 45 dB :

Tergolong tunarungu sedang, mengerti bahasa percakapan, tidak dapat mengikuti diskusi kelas, membutuhkan alat bantu dengar dan terapi bicara.

56 – 70 dB :

tergolong tunarungu agak berat, dimana hanya bisa mendengar ssuara dari jarak dekat, masih sisa pendengaran untuk belajar bahasa dan bicara dengan menggunakan alat bantu mendengar dengan cara khusus.

71 – 90 dB : tergolong tunarungu berat dimana hanya bisa mendengar bunyi yang sangat dekat, kadang- kadang dianggap tuli, membutuhkan pendidikan khusus yang intensif, membutuhkan alat bantu khusus dengar, dan latihan bicara secara khusus.

(6)

> 90 dB : tergolong tunarungu sangat berat, mungkin sadar akan adanya bunyi atau suara dan getaran, banyak bergantunng pada penglihatan dari pada pendengaran untuk proses menerima informasi,dan yang bersangkutan dianggap tuli.

Klasifikasi tunarungu ditinjau dari berbagai aspek berdasarkan tingkat keberfungsian pendengaran dalam mendengar bunyi. Sally dalam Wehmeyer et al., (2020) bahwa tunarungu yaitu seseorang yang memiliki gangguan pendengaran 70 hingga 90 desibel atau lebih dan tidak dapat menggunakan pendengaran, bahkan dengan amplifikasi, sebagai sarana utama untuk mengembangkan bahasa. Lebih lanjut oleh (American Speech Language Hearing Association (ASHA) dalam Educating Exceptional Children, Kirk et al., (2009). Kehilangan antara 15 dan 20 dB dianggap ringan; peningkatan derajat kehilangan berkisar dari ringan (20–40 dB) hingga sedang (40–60 dBs) hingga parah (60–80 dBs) hingga gangguan pendengaran berat (lebih dari 80 dBs).

Berdasarkan pendapat ahli di atas dapat disimpulkan bahwa klasifikasi anak tunarungu dengan menggunakan audiometer dibagi menjadi 4 tahapan sesuai dengan tingkat kehilangan kemampuan dengar dan penyesuaian kebutuhan pelayanan. Tingkat I kehilangan pendengaran sekitar 35-45 dB membutuhkan bantuan dengar dan latihan khusus, tingkat II kehilangan pendengaran sekitar 55-69 dB membutuhkan penempatan sekolah dan latihan berbicara khusus, tingkat III kehilangan pendengaran 70-89 dB membutuhkan latihan berbahasa dan pelayanan pendidikan khusus, dan tingkat IV kehilangan pendengaran 90 db ke atas membutuhkan pelayanan pendidikan secara khusus.

(7)

4. Perkembangan Bahasa Anak Tunarungu

Perkembangan merupakan pola perubahan yang dimulai sejak bayi, yang berlanjut sepanjang rentang hidup, Maka & Ainin dalam Santrock, (2020) mengemukakan bahwa perkembangan menjadi tahapan yang akan dialami oleh setiap individu, hanya saja perkembangan antar individu memiliki irama dan ritme perkembangan yang berbeda. Salah satu perkembangan yang terjadi pada setiap individu adalah perkembangan bicara dan bahasa. Secara umum, tahapan dalam perkembangan berbahasa yang dialami oleh anak tunarungu tidak berbeda dengan tahapan yang dialami oleh mayoritas anak pada umumnya. Namun pada masa meraban dan mengoceh, anak tunarungu tidak dapat mengikuti secara optimal sebagaimana anak yang terlahir tanpa adanya hambatan pendengaran.

Dengan minimnya atau tidak adanya stimulus pendengaran yang diterima inilah yang dikemudian hari menjadi penyebab rendahnya pengalaman berbahasa yang dialami anak tunarungu. Sehingga respon berbahasa anak tunarungu menjadi minim dan menjadikan anak tunarunggu yang tidak mendapatkan intervensi bicara sejak dini menjadi kesulitan juga untuk berbicara.

Bicara dan bahasa berkaitan sangat erat dengan suara, sejalan dengan pernyataan Widjaya (2015) yang menyatakan bahwa proses manusia dapat berbicara berawal dari masuknya suara ke telinga. Suara yang masuk akan diproses oleh otak dan perlahan akan ditiru oleh mulut manusia. Semua yang diucapkan oleh anak merupakan suara yang pernah didengar oleh anak.

Namun pemrosesan ini tidak terjadi pada anak tunarungu. Hambatan pada perkembangan bahasa yang dimiliki oleh anak tunarungu mempengaruhi kemampuan berbahasa anak tunarungu.

Siswomartono (2007), memaparkan bahwa ketunarunguan memberikan dampak terhadap perkembangan bahasa dan bicaranya terutama bagi anak tunarungu sejak lahir (prabahasa). Perkembangan berbahasa dan berbicara mereka menjadi terhambat, sehingga berakibat juga pada keterhambatan dalam pengembangan potensinya. Kondisi ketidakmampuan

(8)

seseorang untuk mendengar sesuatu, baik secara total maupun sebagian, dapat kita sebut sebagai tunarungu.

Mendri, N., Badi’ah, A., & Olfah, Y dalam Wongs (2018) berpendapat bahwa perkembangan bahasa anak tunarungu pada awalnya tidak berbeda dengan perkembangan bahasa anak normal karena bahasa sangat dipengaruhi oleh pendengarannya sehingga perkembangannya terhambat. Pada masa meraban anak tunarungu membuat bunyi konsonan maupun vokal. Bayi ingin membuat kontak dengan orang lain melalui suara, tetapi karena suara yang dibuatnya tidak dapat didengarnya, begitu pula bayi tidak dapat merespon suara yang dikeluarkan orang tua maupun saudaranya.

Akibatnya, anak tunarungu kurang termotivasi dan kurang senang untuk bermain dengan bunyi tersebut. Akhirnya perkembangan bahasanya terhenti pada masa meraban. Dengan demikian akibat tidak ada masukan bunyi suara atau pesan yang diterima oleh anak tunarungu maka organ bicaranya tidak terlatih untuk mengungkapkan kata-kata.

Berdasarkan pendapat ahli di atas, dapat diketahui bahwa perkembangan bahasa anak tunarungu terhenti pada masa meraban akhir.

Anak tunarungu kesulitan dalam memperoleh informasi dari luar karena ketidakmampuannya dalam mendengar. Hal itu juga mengakibatkan sedikitnya kosakata yang dimiliki oleh anak tunarungu.

5. Kebutuhan Pendidikan dan Layanan Tunarungu

Kebutuhan pendidikan dan layanan bagi siswa tunarungu menurut Meimulyani & Caryoto (2013) menjelaskan sebagai berikut:

a. Anak tunarungu membutuhkan pendidikan untuk mengembangkan potensinya secara optimal. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, dibutuhkan layanan pendidikan yang disesuaikan dengan karakteristik, kemampuan, dan ketidakmampuannya.

b. Layannan pendidikan terhadap anak tunarungu meliputi, layanan umum dan khusus. Layanan umum merupakan layanan yang diberikan pada

(9)

anak yang tidak memiliki hambatan (normal), sedangkan layanan khusus merupakan layanan yang diberikan untuk mengurangi dampak hambatannya, yang meliputi layanan bina bicara serta bina persepsi bunyi dan irama.

c. Ditinjau dari tempat dan sistem pendidikannya, layanan pendidikan bagi anak tunarungu dikelompokkan menjadi dua yaitu, sistem segregasi merupakan sistem pendidikan yang terpisah dari penyelenggaran pendidikan untuk anak normal. Tempat pendidikan bagi anak tunarungu melalui sistem ini meliputi: sekolah khusus (SLB) dan kelas jauh atau kelas kunjung dan sistem pendidikan integrasi merupakan sistem pendidikan yang memberikan kesempatan kepada anak tunarungu untuk belajar Bersama anak normal di sekolah umum.

d. Strategi pembelajaran bagi anak tunarungu pada dasarnya sama dengan strategi pembelajaran pada anak normal, akan tetapi dalam pelaksanaannya, harus bersifat visual, artinya lebih banyak memanfaatkan indra penglihatan siswa tunarungu.

e. Tujuan dan fungsi evaluasi dalam pembelajaran siswa tunarungu yaitu untuk mengukur tingkat penguasaan materi pelajaran, untuk umpan balik bagi guru.

Nisa, K., Mambela, S., & Badiah, L., S. (2018) berpendapat bahwa anak tunarungu tidak mengalami hambatan pada perkembangan intelegensi dan aspek-aspek lain, selain yang berkaitan dengan pendengaran dan komunikasi. Oleh karena itu, dalam segi pelayanan pendidikan anak tunarungu memiliki kemampuan yang tidak berbeda dengan anak- anak pada umumnya.

Namun daripada itu, guru memerlukan metode khusus dalam menyampaikan materi pelajaran kepada anak tunarungu. Guru harus mampu berbicara dengan mimik mulut yang jelas, sehingga meskipun tanpa mendengar anak tunarungu dapat mencerna informasi yang disampaikan. Lebih daripada itu, guru juga harus mampu menggunakan bahasa isyarat atau bahasa tubuh untuk membantu proses penyampaian informasi.

(10)

Menurut Winarsih, (2018) layanan pendidikan menggunakan layanan khusus program PKPBI (Pengembangan Komunikasi Persepsi Bunyi dan Irama). Yang merupakan latihan memahami bunyi agar sisa-sisa pendengaran mampu di dimaksimalkan dengan baik. Tujuannya agar peserta didik mampu memahami bunyi atau suara dalam kehidupannya. Makna kehidupan yang dimaksud yaitu agar anak tunarungu terhindar dari cara hidup yang semata-mata tergantung pada daya penglihatan saja, sehingga cara hidupnya lebih mendekati anak normal.

Purbaningrum dalam Setyaningsih & Rahmawati (2019) Bina Komunikasi Persepsi Bunyi dan Irama adalah “pembinaan dalam menghayati bunyi yang dilakukan secara sistematis dengan sengaja atau tidak sengaja sehingga sisa pendengaran dan perasaan vibrasi anak tunarungu dapat digunakan sebaik-baiknya untuk berinteraksi dengan lingkungan”.

Menurut penjelasan para ahli di atas maka dapat disimpulkan bahwa kebutuhan dan layanan pendidikan bagi anak tunarungu meliputi layanan yang melatih kemampuan persepsi bunyi, untuk melatih sisa-sisa pendengaran yang dimiliki oleh siswa.

B. Penguasaan Kosakata 1. Pengertian Kosakata

Kosakata sangat dibutuhkan seseorang dalam berbahasa. Purwo dalam Yunisah (2007), mengemukakan bahwa penguasaan kosakata merupakan ukuran pemahaman seseorang terhadap kosakata suatu bahasa dan kemampuannya menggunakan kosakata tersebut baik secara lisan maupun tertulis. Penguasaan kosakata merupakan bagian dari penguasaan bahasa sebab jika seseorang menguasai bahasa berarti orang tersebut menguasai kosakata.

Menurut pendapat Soedjito dan Djoko (2011) mengungkapkan bahwa kosakata adalah perbendaharaan atau kekayaan kata yang dimiliki oleh suatu bahasa. Sedangkan Burhan (2010) berpendapat bahwa kosakata atau perbendaharaan kata adalah kekayaan kata yang dimiliki oleh suatu bahasa

(11)

yang berfungsi membentuk kalimat yang mengutarakan isi pikiran baik secara lisan maupun tertulis.

Kosakata merupakan salah satu aspek penting dalam keterampilan berbahasa. Seseorang yang memiliki kosakata lebih banyak cenderung lebih mampu untuk memaparkan ide dan gagasannya dengan lebih jelas. Hal tersebut sejalan dengan pernyataan Munirah (2016), yang mengatakan semakin banyak kosakata yang dimiliki oleh seseorang, maka akan semakin terampil pula seorang tersebut dalam berbahasa. Maka dari itu, seseorang dengan kosakata yang minim tentunya akan mengalami hambatan dalam keterampilan berbahasa dan berbicaranya, seperti anak tunarungu.

Menurut pendapat Rais dkk dalam Tarigan (2021), kosakata yaitu memiliki peranan penting karena semakin banyak kosakata yang dimiliki, maka semakin terampil berbahasa. Siswa dapat memberikan contoh lain pada saat proses belajar kepada guru dengan mengucapkan karena kosakata yang dimilki bertambah. Kuantitas dan kualitas seseorang siswa juga turut menentukan keberhasilannya dalam kehidupan. Dalam memahami suatu kosakata siswa tidak langsung dapat menyerapnya tetapi butuh proses dan metode yang tepat. Terlebih pada siswa berkebutuhan khusus dengan kekhususan tunarungu.

Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kosakata adalah perbendaharaan kata atau kekayaan kata yang dimiliki oleh seseorang yang mengandung suatu makna dan berfungsi membentuk kalimat untuk mengutarakan isi pikiran.

2. Kemampuan Pengusaan Kosakata

Anak tunarungu mengalami hambatan dalam pendengarannya, sehingga kemampuan bahasa ekspresif dan bahasa reseptif yang dimiliki anak tunarungu sangat minim. Jika anak belum mendapat sekolah persiapan sebelumnya maka dapat dipastikan jika anak tersebut belum paham dengan kosakata benda yang ada di sekitarnya. Rahayu & Sani, (2021) berpendapat bahwa kosakata merupakan unsur bahasa yang penting dan perlu dipelajari,

(12)

dipahami, dan dimengerti agar dapat digunakan dengan baik dan benar.

Dengan demikian pada akhirnya dengan modal perbendaharaan kata yang memadai akan membuat anak lebih mampu untuk berkomunikasi dan mengungkapkan gagasan dan ekspresi diri melalui berbicara.

Penguasaan kosakata merupakan hal yang sangat penting dalam mencapai penguasaan bahasa, semakin banyak kosakata yang dimiliki, semakin banyak pula ide dan gagasan yang dimiliki seseorang. Menurut pendapat Musfiroh dalam Oktavia (2016), berpendapat bahwa pada saat anak berusia 5 tahun telah mampu menghimpun kurang lebih 3000 kata, meliputi kata benda, kata kerja, kata sifat, dan kata keterangan. Anak tunarungu masih kesulitan dalam menggunakan kata benda karena keterbatasannya. Suryono dan Soedjito (2011) berpendapat bahwa kemampuan mengenal kosakata adalah kemampuan mengenal komponen bahasa yang memuat informasi tentang makna dan pemakaian kata dalam bahasa.

Anggraeni, Tirtayani, dan Sujana (2019), menyebutkan kemampuan berbahasa adalah kecakapan, ekspresi, kekayaan ucapan dan perasaan manusia melalui bunyi yang digunakan untuk bekerjasama, berinteraksi dan mengidentifikasi diri dalam percakapan yang baik. Kemampuan dalam berbahasa merupakan aspek yang penting, namun tidak semua anak dapat menguasainya. Keterbatasan pada keterampilan berbahasa ini juga selanjutnya akan menjadi hambatan bagi anak dalam berbagai hal, misalnya kognitif, sosial maupun emosinya. Perbendaharaan kosakata seseorang sangat berpengaruh pada proses pembelajaran, terutama dalam rangka tercapainya suatu tujuan pembelajaran. Jika anak tidak memiliki kosakata yang memadai, anak akan menangkap maksud yang berbeda dari apa yang diajarkan oleh guru sehingga terjadi kesalahpahaman dalam pembelajaran.

Menurut pendapat Oktavia (2016) penguasaan kosakata secara umum dapat dikelompokkan seperti berikut:

a. Penguasaan kosakata represif atau proses decoding, artinya proses memahami apa yang dituturkan orang lain. Represif disini menjelaskan

(13)

sebagai penguasaan yang bersifat pasif atau pemahamannya hanya bersifat pemikiran.

b. Penguasaan produktif atau proses encoding, yaitu proses mengkomunikasikan ide, pikiran, dan perasaan melalui bentuk kebahasaan atau dengan kata lain memahami kosakata melalui penerapannya dalam suatu konteks kalimat sehingga makna dikandung oleh kosakata tersebut menjadi jelas.

c. Penguasaan penulisan dimana saat seseorang mampu memahami penguasaan kosakata dan menerapkannya dalam rangkaian kalimat, langkah selanjutnya adalah orang tersebut dapat menuliskannya.

Menurut pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa kemapuan penguasaan kosakata anak berusia lima tahun mampu mengusai kurang lebih 3000 kata, antara lain kata benda, kata kerja, kata sifat, dan kata keterangan. Sedangkan anak tunarungu yag berusia 5 tahun belum menguasai banyak kosakata. Penguasaan kosakata dibagi menjadi tiga yaitu penguasaan kosakata repsesif, penguasan produktif dan penguasaan penulisan. Perbendaharaan kosakata seseorang sangat berpengaruh pada proses pembelajaran dan komunikasi.

C. Multimedia Sebagai Media Pembelajaran a) Pengertian Media Pembelajaran

Suryani dkk (2018) menjelaskan bahwa media pembelajaran adalah segala bentuk dan sarana penyampain informasi yang dibuat atau dipergunakan sesuai dengan teori pembelajaran, dapat digunakan untuk tujuan pembelajaran dalam menyalurkan pesan, rangsangan pikiran, perasaan, perhatian, dan kemauan siswa sehingga dapat mendorong terjadinya proses belajar yang disengaja, bertujuan, dan terkendali.

Proses pembelajaran sebagai proses komunikasi yang berlangsung dalam suatu sistem, Menurut Syaifullah (2020), menyatakan bahwa media pembelajaran memiliki posisi yang penting sebagai kompenen dalam sistem

(14)

pembelajaran. Tanpa adanya media akan berakibat pada tidak terjadinya suatu komunikasi sehingga proses pembelajaran sebagai bagian dari proses komunikasi juga tidak akan berlangsung secara optimal.

Abidin (2016) berpendapat bahwa siswa sebagai penentu dalam keberhasilan pada pembelajaran sehingga media pembelajaran harus disesuaikan dengan karakteristiknya. Dengan begitu penggunaan media dengan memperhatikan kondisi anak akan menunjukkan hasil terhadap pengetahuan mengenai materi pembelajaran.

Syaifullah dkk, (2020) berpendapat bahwa penggunaan media pembelajaran berupa visual sebagai alat dalam proses pembelajaran yang hanya dilihat memberikan pengaruh terhadap pemahaman dan memperkuat ingatan yang berkaitan dengan materi pembelajaran. Selain itu juga, media pembelajaran memiliki fungsi sebagai menyalurkan pesan dari sumber kepada penerima pesan yang disampaikan menggunakan simbol-simbol visual.

Media pembelajaran menjadi salah satu hal wajib dalam mengajarkan sesuatu kepada anak, terlebih anak dengan kebutuhan khusus seperti anak tunarugnu. Media pembelajaran yang dapat digunakan pada anak tunarungu utamanya merupakan media yang berbentuk visual. Imawati (2018), mengemukakan bahwa untuk mengatasi hambatan yang dimiliki oleh anak tunarungu, penggunaan media yang dapat mengoptimalkan indera lain khususnya penglihatan sangat diperlukan sehingga permasalahan prestasi anak tunarungu yang rendah dapat teratasi. Penggunaan media tersebut karena anak tunarungu belajar melalui penglihatannya sehingga anak memerlukan media berbentuk visual agar dapat mengerti maksud dari pembelajaran. Selain itu, pemilihan media pembelajaran yang menyenangkan dan interaktif serta sesuai dengan kebutuhan materi juga penting agar penguasaan kosakata pada anak tunarungu meningkat secara optimal.

Fatoni, W., M. (2021) berpendapat bahwa anak tunarungu memerlukan media pembelajaran dalam pembelajarannya. Penggunaan

(15)

media tersebut untuk membantu anak tunarungu memahami hal yang belum ia ketahui. Selain itu, penggunaan media pembelajaran juga membuat suasana dalam proses belajar menjadi menarik. Dengan suasana belajar yang menarik, anak tentunya akan termotivasi untuk belajar sehingga peningkatan kosakata pada anak dapat tercapai.

Dari pendapat ahli diatas dapat disimpulkan bahwa media pembelajaran segala bentuk dam sarana penyampaikan informasi yang dipergunakan sesuai dengan teori pembelajaran. Media pembelajaran disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi siswa.

b) Tujuan Media Pembelajaran

Suryani dkk (2018) menjelaskan tujuan media sebagai alat bantu pembelajaran, antara lain:

a. Mempermudah proses pembelajaran di kelas.

b. Meningkatkan efisiensi proses pembelajaran.

c. Menjaga relevansi antara materi pelajaran dengan tujuan belajar.

d. Membantu konsentrasi siswa dalam proses pembelajaran.

Menurut pendapat Sumiharsono & Hasanah (2017), secara umum media memiliki tujuan dalam proses pembelajaran, yaitu:

a. Memperjelas pesan agar tidak terlalu verbalistis.

b. Memecahkan masalah akibat dari keterbatasan ruang, waktu tenaga, dan daya indra.

c. Membangkitkan semangat dalam belajar

d. Memberikan kesempatan kepada anak untuk belajar secara mandiri sesuai dengan bakat dan kemampuan yang dimilikinya baik itu visual, audiotori, dan kinestetiknya.

e. Memberikan stimulasi yang sama sehingga menimbulkan persepsi yang sama.

Levie & Lentz (dalam Mais, 2016:17), mengemukakan 4 tujuan dari media pembelajaran, yaitu:

(16)

a. Atensi, yaitu menarik dan membuat perhatian anak terfokus pada isi pembelajaran yang terdapat dalam isi visual media

b. Afektif, yaitu menaikkan emosi dan sikap anak

c. Kognitif, yaitu memperlancar pemahaman dan ingatan anak dari pesan yang ada dalam media

d. Kompensatoris, yaitu membantu anak yang lemah dan lambat dalam memahami isi pelajaran.

Dari pendapat ahli diatas maka dapat disimpulkan bahwa tujuan dari media pembelajaran yaitu untuk mempermudah dalam proses pembelajaran.

Membangkitkan semangat siswa dalam belajar dan menarik perhatian siswa dalam belajar.

c) Manfaat Media Pembelajaran

Suryani dkk, (2018) menjelaskan manfaat media pembelajaran bagi guru dan siswa sebagai berikut:

a. Manfaat media pembelajaran bagi guru adalah:

1) Membantu menarik perhatian dan memotivasi siswa untuk belajar 2) Memiliki pedoman, arah, dan urutan pembelajarab yang sistematis 3) Membantu kecermatan dan ketelitian dalam penyajian materi

pelajaran

4) Membantu menyajikan materi lebih konkret, terutama materi pelajaran yang abstrak, seperti matematika, fisika, dll.

5) Memiliki variasi metode dan media yang digunakan agar pembelajaran tidak membosankan

6) Menciptakan suasana belajar yang menyenangkan dan tanpa tekanan 7) Membantu efisiensi waktu dengan menyajikan inti informasi secara

sistematik dan mudah disampaikan 8) Membangkitkan rasa seorang diri pelajar.

b. Manfaat media pembelajaran bagi siswa adalah:

1) Merangsan rasa ingin tahu untuk belajar

(17)

2) Memotivasi siswa untuk belajar dengan baik di kelas maupun mandiri 3) Memudahkan siswa memahami materi pelajaran yang disajikan secara

sistematis melalui media

4) Memberikan suasana yang menyenangkan dan tidak membosankan sehingga lebih focus pada pembelajaran

5) Memberikan siswa kesadaran memilih media pembelajaran terbaik untuk belajar melalui variasi media yang disajikan.

Menurut pendapat Sumiharsono & Hasanah (2017) media pembelajaran terdapat nilai dan manfaatnya yaitu:

a. Konsep yang bersifat abstrak dapat dibuat menjadi lebih konkrit.

Contohnya, guru menjelaskan proses terjadinya hujan menggunakan media gambar.

b. Dapat mendatangkan objek-objek yang menakutkan atau susah didapatkan pada lingkungan belajar. Contohnya, guru menjelaskan binatang-binatang buas menggunakan video atau gambar.

c. Dapat memperlihatkan objek yang besar dan kecil. Contohnya, guru menjelaskan objek besar seperti helikopter, candi menggunakan media gambar. Begitu pula dengan objek kecil seperti kuman, semut dan lain- lainnya.

d. Menunjukkan suatu gerakan yang cepat ataupun lambat. Contohnya, penggunaan teknik gerakan lambat (slow motion) pada sebuah media film dapat menyaksikan lintasan peluru. Begitu pula dengan gerakan lambat seperti mekarnya bunga.

Beberapa manfaat media pembelajaran seperti yang menurut Mais (2016), yaitu:

a. Menyeragamkan penyampaian materi

b. Pembelajaran menjadi lebih jelas dan menarik c. Proses pembelajaran menjadi lebih interaktif d. Waktu dan tenaga menjadi lebih efisien e. Meningkatkan kualitas hasil belajar

(18)

f. Pembelajaran dapat dilakukan dimana saja dan kapanpun g. Menumbuhkan sikap positif dalam belajar

h. Meningkatkan peran guru.

Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahawa manfaat media pembelajaran yaitu untuk membantu menyambaikan materi, menarik perhatian siswa, membantu menyajikan materi pembelajaran yang lebih konkret, pembelajaran lebih menyenangkan. Memudahkan siswa memahami materi yang diajarkan.

D. GAME EDUKASI 1. Game Edukasi

Game edukasi merupakan permainan digital yang dapat memberikan kesempatan untuk bermain melalui lingkungan simulasi dan dapat menjadi bagian integral dari pembelajaran dan pengembangan intelektual. Game edukasi membantu anak untuk memotivasi belajar agar anak tidak mudah merasa bosan dalam proses pembelajaran di sekolah. Melalui game edukasi guru dapat mengembangkan berbagai aspek perkembangan anak sesuai dengan tahap perkembanganya serta dapat menumbuhkan motivasi anak agar mau belajar.

Salah satu kelebihan utama game edukasi adalah pada visualisasi dari permasalahan nyata. Massachussets Insitute of Technology (MIT) berhasil membuktikan bahwa game sangat berguna untuk meningkatkan logika dan pemahaman pemain terhadap suatu masalah melalui proyek game yang dinamai Scratch.

Hidayah, A. K., Prihantoro. C., & Fernandez. S., (2021) berpendapat bahwa game edukasi adalah game yang khusus dirancang untuk mengajarkan pengguna suatu pembelajaran tertentu, pengembangan konsep dan pemahaman dan membimbing mereka dalam melatih kemampuan mereka, serta memotivasi mereka untuk memainkannya.

(19)

Game sebagai media yang menarik dalam dunia pendidikan anak- anak, penggunaannya tidak hanya untuk hiburan saja melainkan juga untuk merangsang dan melatih keterampilan motorik, sosial dan kognitif yang ada pada anak. Wibawanto, (2020) berpendapat bahwa secara khusus game memiliki muatan dalam pembelajaran yang ditujukan untuk meningkatkan kemampuan para pemainnya terhadap suatu materi, selain itu juga game dapat memancing minat pengguna untuk belajar sehingga memberikan suatu pengalaman yang baru seperti perasaan senang. Hal tersebut memberikan dampak positif seperti materi yang disampaikan dapat diterima dengan mudah.

Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya oleh Clark (2005) menyatakan bahwa, tidak diragukan lagi bahwa game edukasi dapat menunjang proses pendidikan. Game edukasi unggul dalam beberapa aspek jika dibandingkan dengan metode pembelajaran konvensional. Salah satu keunggulan yang signifikan adalah adanya animasi yang dapat meningkatkan daya ingat sehingga anak dapat menyimpan materi pelajaran dalam waktu yang lebih lama dibandingkan dengan metode pengajaran konvensional.

Hasil dari penelitian Fhitri dan Setiawan (2017) menyatakan bahwa penggunaan sistem dalam suatu pembelajaran sangat diperlukan, agar mengubah pembelajaran formal yang membosankan dan monoton menjadi pembelajaran yang edukatif dan menyenangkan melalui perantara game.

Game edukasi di rasa cocok dengan siswa indonesia yang menginginkan pembelajaran yang menyenangkan.

Menurut pendapat Adrian (2019) game merupakan jenis aktivitas bermain, yang berlaku seperti berada dalam konteks sesuai kenyataan, di manapara pemain mencoba untuk mencapai setidaknya satu kewenangan, tujuan yang tidak mudah yang dilakukan sesuai dengan peraturan yang ada.

Game yang memiliki konten pendidikan lebih dikenal dengan istilah game edukasi.

(20)

Berdasakan pendapat ahli di atas disimpulkan bahwa game edukasi adalah permaian digital yang dapat menunjang proses pembelajaran.

Menggunakan game edukasi dalam pembelajaran akan lebih nyata. sehingga pembelajaran menjadi menyenangkan dan tidak membosankan. Game dapat menambah ketertarikan siswa akan belajar, akan tetapi tidak akan menghilangkan kesenangan siswa dalam bermain game. Game akan memudahkan siswa dalam belajar.

2. Game Susun Kata

a. Definisi Game Susun Kata

Game susun kata merupakan salah satu media pembelajaran kosakata berbasis game. Nugroho, H., A (2019) berpendapat game susun kata digunakan oleh siswa sebagai alat bantu dalam belajar seperti, untuk memahami tiap-tiap unsur kalimat, memahami susunan pola kalimat, dan mengerti cara menulis kalimat dengan tatanan yang tepat. Media pembelajaran Susun Kata berbasis android hasil pengembangan ini memiliki karakteristik keunggulan. Media yang dikembangkan adalah media permainan Susun Kata untuk meningkatkan pemahaman siswa tunarungu kelas VI dalam menyusun kalimat dalam hal ini pola kalimat dasar bahasa indonesia. Isi media pembelajaran ini terdiri dari tiga bagian yaitu, permainan yang berisikan latihan-latihan yang terdiri dari level satu sampai level lima yang terdiri dari materi subjek, predikat, objek dan keterangan, info yang terdiri dari data diri pengembang permainan dan materi yang berisikan materi pelajaran terkait pola kalimat yang berguna untuk membantu siswa dalam memahami permainan dan pelajaran. Produk ini dikemas peneliti dalam bentuk sebuah permainan didalam ponsel pintar yang menggunakan sistem operasi android.

Zalim, A., (2021) Perkembangan game edukasi dilatarbelakangi oleh rendahnya minat dan keinginan anak untuk belajar bahasa.

Perlunya media pembelajaran yang menarik seperti game susun kata

(21)

yang menyenangkan sehingga dapat menarik minat anak dalam belajar bahasa ataupun kosakata. Perkembangan teknologi berupa game susun kata diharapkan dapat membantu siswa dalam pembelajaran kosakata.

Game bisa digunakan handphone berbasis android. Di dalam game memiliki gambar animasi, warna dan huruf sehingga lebih menarik untuk pengguna.

Firdaus, dkk (2021) Game lebih menarik minat siswa untuk belajar, karena di dalam game terdapat gambar animasi, warna bervariasi dan pembelajaran yang menyenangkan. Game yang telah dikembangkan ini memperkenalkan warisan budaya Indonesia seperti alat musik tradisional, senjata tradisional, rumah adat, tari adat, serta lagu daerah menggunakan berbagai jenis game seperti susun kata, puzzle, kuis dan tebak lagu. Selain itu game ini juga memberikan fitur materi yang menjelaskan secara detail warisan budaya Indonesia berdasarkan provinsinya masing-masing sehingga pemain bisa lebih mengenal warisan budaya Indonesia tersebut.

Dari pendapat ahli diatas maka dapat disimpulkan bahwa game susun kata adalah media pembelajaran yang dikembangakn untuk pembelajaran bahasa serta kosakata yang dilengkapi dengan gambar animasi, warna, huruf, maupun msuik sehingga lebih menarik minat siswa untuk belajar.

b. Game Susun Kata untuk Pembelajaran kosakata

Qoyyimah & Adi (2017) berpendapat bahwa anak-anak tunarungu dalam hal membaca masih kurang dan mereka hanya mampu menebak kosakata yang sesuai dengan kemampuannya. Selain itu juga anak lebih tertarik belajar menggunakan gambar namun terkadang mudah bosan bila medianya yang biasa-biasa saja sehingga media yang bisa digunakan sesuai dengan perkembangan teknologi adalah permainan yang berbasis smartphone. Hal ini dilandasi dengan anak yang sering menggunakan smartphone. Dengan adanya smartphone,

(22)

anak-anak akan lebih leluasa belajar dan tidak akan membuat lebih cepat bosan melihat tampilan yang terdapat pada smartphone tersebut.

Media pembelajaran yang berupa aplikasi permainan yang berbasis android sehingga dapat meningkatkan kemampuan kosakata anak tunarungu. Dengan menggunakan media pembelajaran tersebut, kemampuan kosakata anak tunarungu meningkat Selain itu, anak bisa menggunakan gamenya secara mandiri di tempatnya masing-masing.

Al Irsyadi dkk (2019) Beberapa anak memiliki kemampuan mengingat kosakata bahasa inggris yang rendah, begitu juga dengan kemampuan untuk belajar sehingga game menjadi salah satu altenatif dalam pembelajaran yang menarik dan menyenangkan. Dengan adanya game, anak-anak dapat belajar kosakata bahasa inggris dan akan membuat anak menjadi lebih tertarik. Aplikasi game Bahasa Inggris berbasis android yang dapat memberikan kemudahan anak mengingat kosakata dan meningkatkan kemampuan anak pada pembelajaran kosakata. sedangkan menurut pendapat Dore et al (2019), Anak mendapatkan kosakata baru melalui game. Anak yang sering menggunakan game memperoleh banyak kosakata baru. Sistem pembelajaran menggunakan game edukasi lebih menarik dan berperan dalam mengembangkan potensi kemampuan bahasa anak.

Menurut Hermanto (2012), bahwa untuk mempermudah anak tunarungu dalam pembelajaran kosakata dibutuhkan media pembelajaran agar lebih konkrit atau memvisualkan kosakata.

Perkembangan teknologi dapat dimanfaatkan dalam bidang pendidikan untuk mengkonkritkan media pembelajaran. Salah satu dari media tersebut yakni game digital. Adapun game digital yang dimodifikasi untuk anak tunarungu menekankan pada aspek visual serta prosesnya yang interaktif sehingga menjadikan anak aktif dalam pembelajaran.

Dari pendapat ahli di atas dapat disimpulkan bahwa game susun kata merupakan game yang dirancang untuk mempermudah

(23)

dalam pembelajaran kosakata untuk siswa tunarungu. Sehingga pembelajaran kosakata lebih menarik dan tidak membosankan.

3. Kelebihan dan kekurangan game edukasi

Kelebihan dari game edukasi adalah sebagai sarana pembelajaran anak yang berbasis teknologi. Anak akan lebih senang jika proses pembelajaran yang di lakukan oleh guru bervariasi. Game edukasi ini juga dapat meningkatkan interaksi sosial anak dengan teman sebayanya dalam menyelesaikan sebuah game tersebut. Di samping sebagai motivasi belajar anak game edukasi juga sebagai stimulasi perkembangan anak usia dini.

Game edukasi memiliki keunggulan dari pada proses pembelajaran konvensional yaitu adanya banyak animasi sehingga meningkatkan daya ingat anak sehingga anak dapat menyimpan materi yang diberikan oleh guru dalam waktu yang lama dan dapat juga meningkatkan kemampuan logika anak dalam menganalisa sebuah game.

Menurut Enka (2010) bahwa kekurangan dari game edukasi diantaranya yaitu minat yang minim, gameplay yang monoton cenderung menjadikan masyarakat malas memainkan game ini terlebih adanya game non-edukasi yang sangat interaktif sehingga perkembangan game edukasi pun menjadi terhambat yang mengakibatkan jumlah provider game yang sedikit sehingga pasar game edukasi pun menjadi rendah, namun selain itu peralatan game edukasi yang relative mahal menjadikan game edukasi juga sulit diterapkan di berbagai kalangan karena hanya pada kalangan tertentu saja yang dapat menikmati fasilitas yang lengkap.

Wati, D., S., (2021) Banyak kelebihan yang didapatkan dengan menggunakan game baik itu berbasis android maupun komputer.

Penggunaan game digital berbasis android yang interaktif memberikan efek yang positif kepada anak tunarungu seperti memotivasi untuk mengikuti pembelajaran karena lebih menarik dan menyenangkan sehingga tekanan yang ada dalam pembelajaran menurun.

(24)

Qoyyimah & Adi (2017), hasil penelitiannnya menyatakan bahwa kelebihan game antaralain:

a) Anak menjadi tertarik mengikuti proses pembelajaran karena penyajiannya menarik.

b) Memberikan kemudahan untuk belajar kosakata karena di lengkapi dengan gambar.

c) Produknya praktis karena ukuran filenya yang kecil sehingga tidak memakan memori terlalu banyak ketika menaruhnya di handphone.

Menurut pendapat ahli di atas maka dapat disimpulkan bahwa kelebihan game dalam proses pembelajaran siswa adalah memotivasi untuk belajar, menciptakan pemeblajaran yang menyenangkan dan menarik. ahwa pengaruh game digital berbasis komputer maupun android dapat meningkatkan keterampilan berbahasa anak, baik itu anak berkebutuhan khusus maupun anak normal.

E. Teori Pembelajaran Vygotsky

Ketepatan dalam memberi cara dan suasana yang menyenangkan bagi siswa membuat mereka semakin termotivasi untuk belajar (Dierking, 2015).

Kesenangan siswa terhadap suasana pembelajaran menimbulkan kemampuan siswa untuk berpikir sehingga aspek kognitif siswa mengalami perkembangan.

Margaretha dalam Vigotsky (2020) mengemukakan bahwa perkembangan manusia melalui interaksi sosial yang memegang peranan penting dalam perkembangan kognitif anak. Bahasa memegang peranan penting dalam membantu perkembangan mental anak. Oleh karena itu, untuk mengoptimalkan perkembangan berpikir anak, pengembangan bahasa atau literasi anak harus pula dioptimalkan melalui melibatkan anak dalam aktivitas literasi di rumah, di sekolah dan di masyarakat.

(25)

Konsep-konsep dalam teori konstruktivisme Lev Vygotsky, menurut Ormrod (2009), Vygotsky mengungkapkan beberapa gagasan penting dalam teorinya yaitu:

1. Interaksi informal maupun formal antara orang dewasa dan anak akan memberi pemahaman bagi anak tentang bagaimana anak berkembang.

2. Setiap budaya memiliki makna dalam upaya meningkatkan kemampuan kognitif anak, kebermaknaan budaya bagi anak bertujuan untuk menuntun anak dalam menjalani kehidupan secara produktif dan efisien.

3. Kemampuan berfikir dan berbahasa berkembang pada awal tahun perkembangan anak. Perkembangan kognitif menurut Vygotsky sangat tergantung pada perkembangan dan penguasaan bahasa.

4. Berkembangnya proses mental yang kompleks terjadi setelah anak melakukan aktifitas sosial, dan secara bertahap akan terinternalisasi dalam kognitif anak yang dapat dipergunakan bahwa proses berfikir yang kompleks sangat tergantung pada interaksi sosial anak. Sebagaimana anak mendiskusikan tentang peristiwa, objek dan masalah dengan orang dewasa dan orang lain yang lebih berpengetahuan, maka secara bertahap hasil diskusi tersebut akan menjadi bagian dalam struktur berpikir anak.

5. Anak akan mampu mengerjakan tugas- tugas yang menantang jika diberi tugas yang lebih menantang dari individu yang kompeten.

Pemberian tugas yang menantang mendorong berkembangnya kemampuan kognitif secara optimal.

Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa mempelajari perkembangan kognitif, bahasa dan emosional anak merupakan hal yang penting dalam dunia pendidikan terutama dalam pembelajaran. Semakin memahami perkembangan anak, maka semakin tepat dalam menangani dan mengajari siswa. Pengajaran yang diberikan kepada siswa harus berdasarkan tingkat yang tidak terlalu sulit dan tidak terlalu menegangkan, atau tidak terlalu mudah dan menjemukan.

(26)

F. Kerangka Berfikir

Hambatan anak tunarungu menurut pendapat Lewton dkk dalam Edja (2005) hasil penelitiannya menunjukkan bahwa keterbelakangan atau hambatan perkembangan kognisi anak tunarungu ada hubungannya dengan kemiskinan bahasa, oleh karena kurangnya pemerolehan informasi, menjadikan daya abstaksi dan imajinasinya mengalami hambatan. Hal ini dikarenakan pada anak tunarungu memiliki keterbatasan dalam mendengar suara-suara, bunyi, pada, kata-kata yang merupakan bahasa dari lingkungan sekitarnya.

Media pembelajaran pada siswa tunarungu kelas V masih konvensional belum ada media pembelajaran yang inovatif dan menarik untuk mengajarkan kosakata pada siswa tunarungu.

Pengembangan media pembelajaran susun kata berbasis game edukasi sesuai untuk siswa tunarungu karena mengadalkan visual. Media disajikan dengan menarik, sehingga lebih menyenangkan dan tidak membosankan bagi siswa.

Berdasarkan uraian permasalahan tersebut, maka dirancang sebuah media pembelajaran game edukasi yang bertema hewan sebagai pendukung pembelajaran kosakata pada siswa tunarungu kelas V di SLB Anugerah.

Kerangka berpikir bermula pada potensi masalah. Permasalahan tersebut membutuhkan media pembelajaran berbasis game edukasi yang bertujuan untuk mengatasi permasalahan pembelajaran kosakata pada siswa tunarungu kelas V. Maka dapat diuraikan dalam began di bawah ini:

(27)

Gambar 2.1 Kerangka Berfikir

Siswa tunarungu memiliki keterbatasan dalam mendengar suara-suara, bunyi, dan kata-kata yang merupakan bahasa dari lingkungan sekitarnya. Akibatnya perolehan kosakata masih tergolong rendah.

Media pembelajaran yang digunakan belum bervariasi dan menarik, maka diperlukan pengembangan media yang inovatif dan menarik bagi

siswa tunarungu.

Pengembangan media pembelajaran susun kata berbasis game untuk pembelajaran kosakata siswa tunarungu

Pembelajaran kosakata siswa tunarungu lebih menarik.

Gambar

Gambar 2.1 Kerangka Berfikir

Referensi

Dokumen terkait

Alat penyambung ini memungkinkan Anda untuk menyambung satu rel trek dengan lainnya sehingga anda dapat membuat rel sesuai dengan panjang yang diinginkan.. Warna aluminium

1 Setiap penyelenggara bandar udara wajib melakukan pemeliharaan kendaraan dan peralatan penunjang operasi PKP-PK agar kinerja operasi dapat maksimum sesuai dengan kategori bandar

Pelaksanaan tindak lanjut hasil pengawasan proses pembelajaran oleh kepala sekolah. Nama guru Tindak Lanjut* Bentuk kegiatan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh kompetensi dan iklim organisasi terhadap kepuasan kerja staf Unit Administrasi di Rumah Sakit PTPN II

tanah-tanah lainnya, yang dikenakan pajak bumi, dikecualikan dari pengenaan pajak peralihan; bahwa dipandang dari sudut sistim peraturan pajak, tidak seharusnya

[r]

Analisis Perawatan Sistem Pengisian Pada Mobil Toyota Kijang Innova 1tr-Fe Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu. pembelajaran untuk perawatan sistem pengisian

Dengan didasari oleh hal-hal tersebut diatas, maka penulis mencoba membuat suatu aplikasi yang lebih menarik, teliti, mudah, dan interaktif dengan menggunakan fasilitas Microsoft