• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP ANAK PENYANDANG. DISABILITAS (Studi Kasus Di Desa Sambirejo Kecamatan Binjai. Kabupaten Langkat) SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP ANAK PENYANDANG. DISABILITAS (Studi Kasus Di Desa Sambirejo Kecamatan Binjai. Kabupaten Langkat) SKRIPSI"

Copied!
125
0
0

Teks penuh

(1)

PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP ANAK PENYANDANG DISABILITAS (Studi Kasus Di Desa Sambirejo Kecamatan Binjai

Kabupaten Langkat)

SKRIPSI

Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sosial

Universitas Sumatera Utara Oleh

SITI SALMAH

150902007

DEPARTEMEN KESEJAHTERAAN SOSIAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2019

(2)

Judul Skripsi : PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP ANAK PENYANDANG DISABILITAS (Studi Kasus Desa Sambirejo Kecamatan Binjai Kabupaten Langkat) Nama Mahasiswa : Siti Salmah

NIM : 150902007

Departemen/Prodi : Kesejahteraan Sosial

Menyetujui, DOSEN PEMBIMBING

Hairani Siregar, S.Sos. MSP NIP 19710927 199801 2 001

KETUA DEPARTEMEN

Agus Suriadi, S.Sos, M.Si NIP 19670808 199403 1 004

DEKAN FISIP USU

Dr. Muryanto Amin, S.Sos, M.Si NIP 19740930 200501 1 002

(3)

masyarakat sering mendapatkan pandangan yang tidak baik dari masyarakat.

Manusia sebagai makhluk sosial dan berbudaya tidak bisa hidup sendiri tanpa menjalin relasi dengan orang disekitarnya. Penelitian ini dilakukan guna mengetahui bagaimana persepsi atau pandangan masyarakat terhadap anak-anak penyandang disabilitas berdasarkan hak-hak yang setara dengan anak normal lainnya. Penelitian ini dilakukan di sebuah desa bahwa memang di pedesaan masih banyak masyarakat yang berpandangan negatif terhadap anak penyandang disabilitas bahkan anggota keluarganya pun masih ada yang menyembunyikan keberadaan anggota keluarga mereka yang memiliki kekurangan atau keterbatasan tersebut. Di Desa Sambirejo tepatnya penelitian ini dilakukan, bahwa ada dua jenis penyandang disabilitas khususunya untuk anak yaitu jenis tunagrahita dan tuna tunentra. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif merupakan penelitian yang dilakukan dengan tujuan menggambarkan atau mendeskripsikan obyek dan fenomena yang diteliti. Berdasarkan Hasil analisis data bahwa persepsi yang dihasilkan oleh informan utama terhadap anak penyandang disabilitas jenis tunagrahita dapat dikatakan positif, hanya saja tiga diantara lima informan utama masih sering mengejek anak tersebut dengan maksud untuk candaan saja. masyarakat mampu menerima kehadiran anak penyandang disabilitas. masyarakat juga sangat mendukung bakat yang dimiliki anak penyandang disabilitas untuk dikembangkan agar anak dapat hidup mandiri dan juga dapat membuat orangtuanya bangga akan prestasi yang dimiliki anaknya. Penilaian atau pembentukkan kesan ini adalah dalam upaya pemberian makna kepada hal-hal tersebut. Proses dalam pembentukan kesan dan pemberian makna oleh masyarakat terhadap anak penyandang disabilitas jenis tunentra (Low Vision) dapat dikatakan positif. Hanya saja bentuk pengejekan masih ada dilakukan oleh masyarakat, namun dalam hal penerimaan dan dukungan positif masyarakat terhadap anak penyandang disabilitas jenis tunanetra (Low Vision) dapat diakatakan baik.

Kata Kunci : Persepsi Masyarakat, Penyandang Disabilitas, Tunagrahita, Tunanetra (Low Vision).

(4)

community often gets a bad view from the community. Humans as social and cultured beings cannot live alone without establishing relationships with people around them. This research was conducted to find out how people's perceptions or views of children with disabilities are based on equal rights with other normal children. This research was conducted in a village that there are still many people in the rural areas who have a negative view of children with disabilities and even their family members who still hide their family members who have such weaknesses or limitations. In Sambirejo village precisely this research was conducted, that there were two types of persons with disabilities specifically for children, namely types of mentally retarded and mentally disabled. The type of research used in this study is descriptive research. Descriptive research is research conducted with the aim of describing or describing the object and phenomenon under study. Based on the results of data analysis that the perceptions produced by the main informants on children with disabilities of mental retardation can be said to be positive, only three of the five main informants still often mock the child with the intention of just joking. the community is able to accept the presence of children with disabilities. the community also strongly supports the talents of children with disabilities to be developed so that children can live independently and can also make their parents proud of their children's achievements. This assessment or formation of impressions is in an effort to give meaning to these things. The process in forming impressions and giving meaning by the community towards children with disabilities of the type of vision (Low Vision) can be said to be positive. It's just that the form of ridicule still exists by the community, but in terms of the positive acceptance and support of the community towards children with disabilities the type of blind (Low Vision) can be said to be good.

Keywords: Community Perception, Persons with Disabilities, Mentally Disabled, Low Vision.

(5)

Penulis mengucapkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan berkah dan hidayah-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Dia telah menuntut dan membimbing penulis sekalipun Dia tidak pernah meninggalkan penulis walau dalam keadaan terpuruk, Dialah Allah yang selalu ada memberikan petunjuk kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan Judul “PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP ANAK PENYANDANG DISABILITAS (Studi Kasus di Desa Sambirejo Kecamatan Binjai Kabupaten Langkat). Serta tak lupa pula Sholawat bertangkaikan salam selalu tercurahkan untuk Baginda Nabi Besar Muhammad SAW yang telah membawa kita dari zaman kegelapan ke zaman yang terang benderang.

Dengan segala hormat dan kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kedua orangtua penulis. Orangtua penulis yaitu Ayahanda RADAN dan Ibunda SALMIAH yang telah yang telah ikhlas merawat dan membesarkan penulis dengan penuh kasih sayang serta tiada henti- hentinya mensuport peneliti untuk cepat mengerjakan skripsi ini. Kepada Ayahanda yang sudah bersabar untuk mengantar jemput penulis dari Langkat ke Medan padahal dengan usiamu yang sudah tua tetapi kau tetap semangat dan tak kenal lelah untuk mengantar jemput penulis. Kepada Ibunda Salmiah yang sudah penulis repotkan untuk membuat bekal makanan agar penulis tidak sakit karena makan dirumah makan luar serta kepada orangtua penulis juga mengucapkan terimakasih sudah mendengarkan curhatan dari penulis. Kalian memang luar

(6)

dalam mengerjakan skripsi ini, yang telah memberikan dukungan moril ataupun materil sehingga penulis bersemangat untuk mengerjakan skripsi ini. Walaupun Bang Edek dan Bang Iyal saat ini raganya jauh tapi mereka tetap selalu menelpon dan meWa peniliti untuk memberikan semangat. Kalian yang selalu bilang kalau adik kalian ini bisa maju meskipun banyak keterbatasan dan hambatan yang menghalangi langkah penulis, itu semua tak bisa menghalangi penulis selagi kita masih selalu bersama-sama saling mendukung.

Selama melakukan penelitian dan penulisan skripsi ini, penulis memperoleh bantuan moril dan materil dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan kali ini penulis menyampaikan ucapan terimakasih yang tulus kepada:

1. Bapak Prof Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum, selaku rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Dr. Muryanto Amin, S.Sos, M.Si, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Agus Suriadi, S.Sos, M.Si selaku ketua Departemen Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

4. Ibu Hairani Siregar S.Sos, MSP yang telah membimbing dan mengarahkan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

5. Ibu Mia Aulina S.Sos, M.Kessos selaku Dosen Penguji atas saran dan kritik yang diberikan.

(7)

untuk mengerjakan skripsi, yang selalu memberikan kasih sayang kepada penulis, saat penulis dengan keadaan terpuruk kalian selalu datang menghampiri penulis untuk memberikan motivasi. Kita udah berjanji untuk tetap selalu mensuport satu sama lain sampai kita bisa wujudkan mimpi kita untuk wisuda bulan 8 dan bekerja di tempat yang layak. My Banana Square kalian adalah sahabat terhebat bagi penulis.

7. Kepada seluruh teman satu stambuk 2015 departemen kesejahteraan sosial Fisip Usu yang menjadi teman sejawat dan teman suka duka selama menjalani masa perkuliahan.

8. Sahabat terbaik dan menjadi sosok seorang abang yang terbaik Jonly Krisman Waruwu yang telah mendukung penulis untuk bersemangat mengerjakan skripsi, yang bersedia menjadi alarm bagi penulis disaat penulis lengah dan malas untuk mengerjakan skripsi. Terimakasih untuk semua perhatian, dukungan, kesabaran dan yang bersedia mengantar peneliti ke tempat PKL dan kemanapun peneliti pergi, yang memarahi peneliti saat peneliti melakukan kecerobohan.

9. Kepada team KKN Pulau Simeulue yang telah menjadi keluarga baru penulis, yang sudah banyak memberikan semangat dan dukungan kepada penulis. Terimakasih untuk waktu satu bulan lebih lamanya kita ditempatkan di satu tempat, kalian telah banyak mengajarkan penulis tentang arti kebersamaan, kesabaran dalam menghadapi permasalahan, cinta dan kasih sayang selalu kalian berikan kepada penulis. Terimakasih

(8)

setiap malam dengeri curhatan penulis dan tangisan penulis saat kangen dengan orangtua, kemudian teruntuk Ayu, Laiya (Lia), Khaira, Septi, Winda, Dedek, Yoga (Kembaran penulis katanya), Arman (Ketua yang gak pernah marah), dan Yudi kawan satu jurusan yang punya banyak keisengan. Terimakasih untuk waktu satu bulan lebih lamanya yang telah memberikan dukungan positif kepada peneliti. Kita sama-sama satu stambuk 2015 dan sama-sama memperjuangkan gelar sarjana. Tetap berjuang kawan-kawan dan tetap menjadi kawan terbaik penulis.

11. Kepada teman-teman rumah peneliti Tria Utami Spd.I, Anggun Wulandari S.Sos yang merupakan geng dari kecil, terimakasih buat dukungan yang telah diberikan kepada penulis.

12. Kepada teman Alumni IPS 1 MAN 1 STABAT Mamak Yuni, Evi, Ayue, Mang Lemen, Lulu, Nindi Trisia, Amel, dan yang lainnya yang tak bisa peneliti sebutkan. Terimakasih untuk doa dan dukungan yang telah diberikan kepada peneliti. Kita juga sama-sama berjuang untuk mendapatkan gelar sarjana dan yang sudah bekerja semoga dilancarkan segala urusan kalian.

13. Kepada sepupu dan saudara penulis yang selalu mempertanyakan dengan pertanyaann yang gak bisa penulis jawab dan dukungan yang selalu diberikan.

14. Sahabat terbaik Wiwin Oii S.Sos, Vivi S.Sos, Mutya S.Sos, Jonpieter S,Sos yang udah wisuda duluan yang telah banyak memberikan motivasi

(9)

perskripsian.

16. Kepada teman yang tak bisa penulis sebut satu persatu yang telah tulus memberikan motivasi dan kepada seluruh orang yang telah memberikan kontribusi, sekecil apa pun kontrubusi itu penulis mengucapkan terimakasih.

Dengan mengucapkan terimakasih atas sumbangsih dari semua pihak berbagai lapisan, penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penelitian ini. Oleh karena itu penulis berharap dapat dijadikan pelajaran bersama demi mendapatkan hasil yang lebih baik lagi kedepannya. Penulis menyadari skripsi ini masih banyak memiliki kekurangan dan jauh dari kata sempurna, besar harapan penulis semoga skripsi ini bermanfaat kepada seluruh pembaca dan kiranya pembaca dapat memberikan kritik dan sarannya agar skripsi ini dapat jauh lebih baik.

Medan, Juni 2019

Penulis

Siti Salmah NIM. 150902007

(10)

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

DAFTAR TABEL... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 11

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 TujuanPenelitian ... 11

1.3.2 Manfaat Penelitian ... 11

1.4 Sistematika Penulisan... 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Persepsi ... 14

2.1.1 Indikator Persepsi ... 14

2.1.2 Jenis-jenis Persepsi... 16

2.1.3 Aspek-aspek Persepsi ... 16

2.2. Masyarakat ... 18

2.2.1 Pengertian Masyarakat ... 18

2.2.2 Unsur-unsur Masyarakat ... 18

2.3 Anak Penyandang Disabilitas ... 20

2.3.1 Pengertian Anak ... 20

2.3.2 Kebutuhan Dasar Anak ... 21

2.3.3 Penyandang Disabilitas ... 21

2.3.4 Jenis-jenis Penyandang Disabilitas ... 23

2.4 Anak Tunagrahita ... 25

2.4.1 Karakteristik Anak Tunagrahita ... 26

2.4.2 Klasifikasi Anak Tunagrahita ... 28

(11)

2.5.1 Faktor-Faktor Penyebab Ketunanetraan ... 33

2.6 Hak-hak Penyandang Disabilitas ... 34

2.7 Penelitian Yang Relevan ... 36

2.8 Kerangka Pemikiran ... 39

2.9 Defenisi Konsep ... 42

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian ... 45

3.2 Lokasi Penelitian ... 46

3.3 Informan Penelitian ... 46

3.4 Teknik Pengumpulan Data ... 48

3.5 Teknik Analisis Data ... 50

BAB IV DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN A. TEMUAN UMUM 4.1. Letak Geografis Desa Sambirejo ... 52

4.2. Sejarah Perkembangan Desa Sambirejo... 52

4.3. Profil Desa Sambirejo ... 55

4.3.1 Keadaan Demografi ... 55

4.4. Visi, Misi dan Tujuan Desa Sambirejo ... 61

4.4.1 Visi Desa Sambirejo ... 61

4.4.2 Misi Desa Sambirejo ... 62

4.4.3 Tujuan Desa Sambirejo ... 62

4.5. Struktur Organisasi / Lembaga Desa Sambirejo ... 64

4.6. Kondisi Umum Tentang Klien ... 65

4.7. Kondisi Umum Tentang Petugas ... 65

4.8. Keadaan Sarana dan Prasarana Desa Sambirejo ... 65

(12)

5.1.1 Informan Kunci I ... 68

5.1.2 Informan Kunci II ... 72

5.1.3 Informan Kunci III ... 76

5.1.4 Informan Utama I ... 79

5.1.5 Informan Utama II... 82

5.1.6 Informan Utama III ... 85

5.1.7 Informan Utama IV ... 87

5.1.8 Informan Utama V ... 90

51.9 Informan Tambahan I ... 93

5.2. Pembahasan Hasil Penelitian ... 96

5.2.1 Persepsi masyarakat terhadap anak Penyandang Disabilitas jenis Tunagrahita ... 96

5.2.2 Persepsi masyarakat terhadap anak Penyandang Disabilitas jenis Tunanetra (Low Vision) ... 100

5.3. Keterbatasan Penelitian ... 102

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan ... 103

6.2. Saran ... 104 DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN-LAMPIRAN DAFTAR PUSTAKA

(13)

TABEL 4.1 : Tata Guna Tanah ... 55 TABEL 4.2 : Jumlah Penduduk Desa Sambirejo ... 56

(14)

GAMBAR 4.1 : Struktur Organisasi ...62

(15)

1.1 Latar Belakang

Manusia sebagai ciptaan Tuhan yang sempurna yang mempunyai akal dan pikiran. Walapun ada berbagai masalah yang di hadapi oleh manusia itu sendiri, misalkan dalam kehidupannya ia memiliki kekurangan. Namun disisi lain mereka yang memiliki kekurangan tersebut mereka juga memiliki kelebihan. Kelebihan pada diri seseorang bisa berupa bakat, keterampilan bahkan hal-hal yang mungkin saja tidak dimiliki oleh individu lainnya. Sebagai keluarga ataupun anggota masyarakat sebaiknya kita menerima kekurangan dan kelebihan dari anggota keluarga kita ataupun anggota masyarakat di lingkungan tempat tinggal kita.

Manusia sejatinya memang tidak kita inginkan jika salah satu dari anggota keluarga ataupun dari masyarakat tempat tinggal kita memiliki kekurangan ataupun keterbatasan yang lain daripada individu lainnya, misalkan saja ia memiliki kekurangan dalam akal pikirannya atau kondisi fisik yang berbeda dari individu lain. Sebagai anggota keluarga ataupun masyarakat, kita harus berperilaku baik dalam menyikapinya atau menerimanya sebagai keuntungan yang diberikan oleh Tuhan, bukan malah memperlakukannya dengan tidak baik.

Bukan hanya keluarga saja ataupun masyarakat lain yang harus memperdulikan mereka yang memiliki kekurangan ataupun keterbatasan tersebut, melainkan pemerintah juga harus mengambil bagian untuk mengembangkan yang dimilikinya. Misalkan saja pemerintah membuka sekolah Sekolah Luar Biasa (SLB), melalui sekolah tersebut mereka yang memiliki keterbatasan dapat menyalurkan berbagai bakat atau talenta yang dimiliki oleh mereka.

(16)

Data PBB mengungkapkan 10 % dari total populasi penduduk dunia atau sekitar 650 juta adalah penyandang cacat. Laporan yang disampaikan Bank Dunia mengungkapkan sekitar 20 % dari penyandang cacat diseluruh dunia datang dari kelas ekonomi lemah. Kondisi sosial penyandang cacat pada umumnya dalam keadaan rentan baik dari aspek ekonomi, pendidikan, keterampilan maupun kemasyarakatan.

Menurut Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Provinsi Riau, Jambi, dan Kepulauan Riau memiliki adalah tiga provinsi dengan siswa berkebutuhan khusus terbanyak. Anak-anak dari ketiga provinsi ini adalah 40 persen dari seluruh siswa berkebutuhan di Indonesia. Siswa penyandang kebutuhan khusus yang mengenyam bangku sekolah pada 2017/2018 adalah 128.510 siswa. Selain ketiga provinsi ini, jumlah anak-anak berkebutuhan khusus yang bersekolah kurang dari 10 ribu siswa. Di DKI Jakarta, jumlahnya ada 3,2 ribu siswa. Di provinsi dengan populasi terbanyak, Jawa Barat, jumlah siswa berkebutuhan khusus 2,8 ribu siswa. Anak-anak penyandang kebutuhan khusus memiliki hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan. Hak ini dijamin oleh Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada pasal 5. Anak- anak penyandang kebutuhan khusus hendaknya bersekolah di SLB yang sesuai dengan kebutuhan khusus mereka. Misalkan, SLB A untuk anak-anak tuna netra;

SLB untuk anak-anak tuna rungu; SLB C untuk anak-anak tuna grahita; dan SLB E untuk anak-anak tuna laras; serta SLB C untuk anak-anak dengan tuna ganda (Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan: 2017/2018).

Istilah mereka yang memeliki keterbatasan sering disebut dengan penyandang disabilitas. Penyandang disabilitas di Indonesia hidup dalam kondisi

(17)

rentan, terbelakang, dan/atau miskin disebabkan masih adanya pembatasan, hambatan, kesulitan dan pengurangan atau penghilangan hak penyandang disabilitas. Dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas pasal 1 angka 1 dijelaskan bahwa Penyandang Disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak. Sementara ini di Angka 5 dikatakan bahwa Perlindungan adalah upaya yang dilakukan secara sadar untuk melindungi, mengayomi dan memperkuat hak penyandang disabilitas (eprints.ums.ac.id).

Berikut ini adalah data jumlah penyandang masalah kesejahteraan sosial menurut Dinas Kesejahteraan dan Sosial Provinsi Sumatera Utara berdasarkan kabupaten / kota yang di Sumatera Utara:

Tabel : 1.1

Kabupaten / Kota Jenis Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial

Regency/Kota 8 9 10 11 12

(1) (8) (9) (10) (11) (12)

Kabupaten / Regency

01 Nias 18 942 - 20 2.355

02 Mandailing Natal 14 775 - 15 896

03 Tapanuli Selatan 20 63 - 20 455

04 Tapanuli Tengah 634 2.720 - 942 8.981

05 Tapanuli Utara 4 449 - 5 1.605

06 Toba Samosir - 17 - - -

(18)

07 Labuhan Batu - 640 - 119 2.301

08 Asahan 7 91 - 12 1.121

09 Simalungun 18 3.060 - 231 5.472

10 Dairi - 1.085 - 80 1.326

11 Karo 199 558 - 158 1.553

12 Deli Serdang 32 67.525 - 280 612

13 Langkat 22 2.368 - 12 2.411

14 Nias Selatan 47 1.325 - 198 855

15 Humbang Hasundutan - 48 - - 808

16 Pakpak Barat - 226 - - 326

17 Samosir - 112 - 33 1.098

18 Serdang Bedagai 82 4.185 - 327 2.856

19 Batu Bara - 30 - - 965

20 Padang Lawas Uatara - 32 - - 61

21 Padang Lawas - - - 1 223

22 Labuhan Batu Selatan - - - - -

23 Labuhan Batu Utara - - - - -

24 Nias Utara % % % % %

25 Nias Barat % % % % %

Kota/City

71 Sibolga 6 802 - 50 214

72 Tanjung Balai 79 1.049 - 140 5.892

73 Pematang Siantar 22 33 - 2 336

74 Tebing Tinggi - 412 - 3 481

(19)

75 Medan 115 3.887 - 316 3.558

76 Binjai 377 1.875 - 83 726

77 Padang Sidempuan 6 462 - 59 442

78 Gunung Sitoli % % % % %

Jumlah / Total 1.662 94.807 - 2.923 42.848

Sumber/Source: Dinas Kesejahteraan dan Sosial Provinsi Sumatera Utara: 2015 Keterangan: 8 = Korban Narkotika

9 = Wanita Rawan Sosial Ekonomi 10 = Wanita Korban Tindak Kekerasan 11 = Tuna Susila

12 = Penyandang Cacat

%) Masih bergabung dengan kabupaten induk

Penyandang disabilitas merupakan warga negara yang berkebutuhan khusus dimana dalam setiap pembangunan fasilitas publik harus memenuhi hak aksesibilitas dari penyandang disabilitas sehingga nantinya akan memudahkan penyandang disabilitas untuk mengaksesnya. Penyandang cacat kerap menghadapi beban dan hambatan tersendiri. Terutama dalam hal bersosialisasi dan pengembangan diri (Nuraviva, 2017).

Sebagai makhluk sosial kehadiran orang lain memeliki peran dalam kehidupan kita, sehingga kadang kita memerlukan waktu untuk memahami apa yang mereka inginkan, apa yang mereka lakukan, apa yang mereka sukai, bagaimana perilaku mereka sekarang dan nanti, dan sebagainya. Lahirnya anak penyandang disabilitas ini di tengah-tengah keluarga ataupun di masyarakat, sering mendapatkan pandangan yang tidak baik dari masyarakat itu sendiri.

(20)

Manusia sebagai makhluk sosial dan berbudaya tidak bisa hidup sendiri tanpa menjalin relasi dengan orang disekitarnya.

Masyarakat itu sendiri sering beranggapan bahwa terjadinya kecacatan ataupun keterbatasan yang dimiliki disebabkan karena berbagai faktor dari orang tua. Mereka lupa bahwa segala sesuatu itu telah Tuhan atur semasih kita dalam kandungan. Bukan berarti mereka yang mempunyai kekurangan tersebut tidak mempunya bakat ataupun talenta. Sebagai masyarakat harus sadar bahwa mereka yang mempunyai kekurangan itu bukan saja faktor dari kedua orang tua itu sendiri melainkan itu semua adalah campur tangan Tuhan.

Kadang penilaian kita benar, namun penilaian kita juga bisa salah atau keliru. Hal ini dikatakan sebagai persepsi seseorang terhadap individu lain.

Persepsi adalah suatu proses membuat penilaian (judgement) atau membangun kesan (impression) mengenai berbagai macam hal yang terdapat dalam lapangan penginderaan seseorang. Penilaian atau pembentukkan kesan ini adalah dalam upaya pemberian makna kepada hal-hal tersebut (Harvey & Smith; dalam Widyastuti 2014: 34).

Individu akan menggunakan informasi apa saja yang dapat diperoleh guna membentuk kesan terhadap orang lain, misalnya untuk menilai kepribadiannya serta hipotesis mereka tentang seseorang. Hal ini dikatakan sebagai proses persepsi seseorang. Persepsi sosial disebut juga sebagai proses yang kita gunakan untuk mencoba memahami dan mengetahui orang lain. Begitu juga persepsi masyarakat terhadap hal-hal atau kondisi seseorang yang memiliki ketidaksempurnaan fisik ataupun mental yang sama dengan individu normal lainnya.

(21)

Secara ekstrem bahkan masih ada keluarga yang menyembunyikan anggota keluarga yang cacat terutama di pedesaaan. Disisi lain masih ada masyarakat yang memandang dengan sebelah mata terhadap keberadaan dan kemampuan para penyandang cacat. Menurut berita surat kabar Analisa medan Desember 2016 bahwa Sumatera Utara tepatnya di Kota Medan belum bisa menjadi kota yang ramah untuk anak penyandang disabilitas ataupun Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Hal itu terlihat dari masih banyaknya masyarakat yang memandang mereka dengan sebelah mata. Hal itu disampaikan Koordinator Yayasan ISADD (Intervension Services for Autism and Developmental Delayed) Melly Yusri kepada analisa, Jumat (9/12). Ia men- uturkan, sebagian masyarakat bahkan menganggap anak penyandang disabilitas ataupun ABK merupakan sosok yang aneh. Banyak dari mereka yang tidak menerima keberadaan anak-anak tersebut (Berita surat kabar Analisa medan Desember 2016).

Kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai anak penyandang disabilitas dan ABK membuat mereka tak mengerti dan menganggap bahwa mereka adalah sosok yang patut dijauhi. Di samping itu, pemerintah juga kurang mendukung keberadaan anak-anak penyandang disabilitas dan ABK itu.

Faktanya, pemerintah pun belum sepenuhnya menyediakan fasilitas umum untuk mereka (harian.analisadaily.com).

Masyarakat menganggap bahwa anak penyandang disabilitas tidak mempunyai kemampuan. Mereka dianggap tidak bisa belajar, tidak bisa naik transportasi, tidak bisa mandiri, selalu perlu bantuan dari orang lain, dan anggapan bahwa semua anak penyandang disabilitas menderita cacat parah. Penyandang

(22)

disabilitas cenderung dikucilkan masyarakat dilingkungan tempat tinggal mereka.

Cacian, hinaan, bahkan kutukan sering mereka dapatkan dikehidupan mereka.

Kebanyakan penyandang disabilitas hidup dalam kemiskinan karena mereka tidak mempunyai kesempataan yang sama seperti orang normal.

Jumlah kaum disabilitas di Kota Medan sebanyak 2.011 orang. Terbagi pada jenis kecacatan berbeda yaitu gangguan pada penglihatan atau tunanetra (Low Vision, Light Perception dan Totally Blind) sebanyak 293 orang, gangguan pada pendengaran atau tunarungu sebanyak 26 orang, gangguan untuk berbicara atau tunawicara sebanyak 352 orang, gangguan pada bagian tubuh atau tunadaksa (penggunaan pada lengan dan jari, penggunaan kaki dan kelainan bentuk tubuh) sebanyak 782 orang, gangguan pada mental atau tunagrahita sebanyak 527 orang dan eks penyakit jiwa sebanyak 31 orang (Kementerian Sosial Republik Indonesia, 2015).

Penyandang disabilitas di Kabupaten Langkat Sumatera Utara, berharap pemeritah kabupaten memenuhi hak-hak mereka seperti peringatan hari penyandang disabilitas dimana setiap tahunnya harus merayakannya ke provinsi. Hal itu disampaikan Ketua Perkumpulan Penyandang Disabilitas Indonesia Langkat Ahmad Drani, di Stabat, Rabu. Apalagi bila mengacu kepada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8/2016 Bab 18 pasal 22 mengenai hak pendataan yang sampai sekarang ini belum juga dilakukan terhadap penyandang disabilitas di daerah ini. Mengenai aksesibilitas sesuai dengan tema tahun ini mengenai disabilitas yang inclusif untuk menuju kemajuan bersama, sehingga tak ada yang tertinggal. Dimana pemerintah menggemakan satu persepsi untuk bersama-sama membangun penyetaraan dalam ruang lingkup yang sama

(23)

katanya. Pembangunan di Kabupaten Langkat harus bisa dirasakan oleh semua lapisan masyarakat (Fauzi, 2019).

Anak penyandang disabilitas adalah seseorang ataupun anggota masyarakat yang memiliki hak untuk berkembang, hak untuk hidup, hak untuk menyalurkan bakat, tidak sepatutnya kita sebagai masyarakat menghambatnya untuk melakukan sesuatu yang bersifat positif untuk dirinya. Kebanyakan dari masyarakat menganggap sepele akan kelebihan yang dimiliki oleh mereka.

Masyarakat telah memiliki steatmen bahwa kelebihan mereka ditutupi dengan kekeurangan yang terlihat oleh mereka. Jadi, apapun kelebihan yang dimiliki itu semua tampak tak berarti apa-apa di kalangan tempat tinggal mereka. Akan tetapi ada sebagian masyarakat juga yang masih berpandangan positif terhadap penyandang disabilitas.

Sesuai dengan UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang penyandang disabilitas pasal 2 yang menjelaskan tentang pelaksanaan hak-hak penyandang disabilitas terlihat jelas bahwa anak penyandang disabilitas jenis apapun itu berhak mendapatkan hak-haknya seperti selayaknya anak normal lainnya. Mereka memiliki hak yang sama dengan anak normal lainnya. Segala bentuk diskriminasi yang ia dapatkan berupa penghinaan ataupun kekerasan dapat dikenakan sanksi bagi yang melakukannya.

Penelitian ini dilakukan guna mengetahui bagaimana persepsi atau pandangan masyarakat terhadap anak-anak penyandang disabilitas yang berdasarkan hak-hak mereka sama seperti anak normal lainnya. Penelitian ini dilakukan di sebuah desa, bahwa memang dipedesaan masih banyak masyarakat yang berpandangan negatif terhadap anak penyandang disabilitas, bahkan anggota

(24)

keluarganya pun masih ada yang meneyembunyikan keberadaan anggota keluarga mereka yang memiliki kekurangan atau keterbatasan tersebut.

Di desa Sambirejo tepatnya penelitian ini dilakukan, bahwa ada dua jenis penyandang disabilitas khususunya untuk anak yaitu jenis tunagrahita dan tuna tunentra. Ada dua orang anak tunagrahita yang berkarakteristik keterbelakangan mental, ada dua anak tunagrahita jenis Syndrome Down, dan ada satu anak yang tunanetra, akan tetapi tunanetra yang dimaksud bukan anak yang buta, melainkan anak yang mampu melihat dengan bola mata yang tidak sesuai pada tempatnya dan ketidakjelasan dalam penglihatan.

Anak tunagrahita yang terbelakang mental di Desa Sambirejo ini berusia 15 tahun, akan tetapi tingkah lakunya seperti anak umur 7 tahun, ia cenderung bermain dengan anak yang lebih muda darinya. Begitu juga anak tunagrahita jenis Syndrome Down yang masih perlu pengawasan dari orangtua mereka. Anak tunanetra yang dimaksud ialah anak yang memiliki bolamata yang tidak sesuai dengan tempatnya yang memiliki keterbatasan dalam penglihatan. Anak tersebut cenderung jatuh ataupun tertabrak benda atau orang yang ada didepannya saat ia sedang berjalan ataupun berlari. Bahkan jika ia melihat seseorang yang ada didepannya, bolamatanya tidak mengarah kepada seseorang tersebut.

Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah dipaparkan di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Persepsi Masyarakat Terhadap Anak Penyandang Disabilitas di Desa Sambirejo Kecamatan Binjai Kabupaten Langkat”.

(25)

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan deskripsi dari latar belakang, maka untuk memudahkan proses penelitian serta untuk lebih memfokuskan masalah, maka diperlukan adanya perumusan masalah. Adapun rumusan masalahnya yaitu : “Bagaimana Persepsi Masyarakat Terhadap Anak Penyandang Disabilitas di Desa Sambirejo Kecamatan Binjai Kabupaten Langkat?

1.3 Tujuan Dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian

Berkaitan dengan rumusan masalah diatas, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana persepsi masyarakat terhadap anak penyandang disabilitas (anak tunagrahita dan anak tunanetra) di Desa Sambirejo Kecamatan Binjai Kabupaten Langkat.

1.3.2 Manfaat Penelitian

Setiap hasil penelitian memiliki arti, makna dan manfaat baik yang berkaitan dengan pengembangan ilmu pengetahuan maupun manfaat untuk kepentingan praktis. Hasil penelitian ini diharapkan kiranya dapat bermanfaat dan digunakan sebagai kontribusi dan referensi dalam rangka:

a. Secara Akademis

Penelitian ini dapat memberikan sumbangan positif atau kontribusi pada pengembangan ilmu pengetahuan khususnya terhadap studi masyarakat yang membahas tentang persepsi masayarakat terhadap anak penyandang disabilitas.

(26)

b. Secara Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih pemikiran bagi pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan usaha kesejahteraan anak penyandang disabilitas.

c. Secara Teoritis

Hasil penelitian ini dapat menambah pengetahuan serta mengasah kemampuan penulis dalam penulisan karya ilmiah.

1.4 Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan memahami dan memahami isi yang terkandung dalam skripsi ini, maka diperlukan sistematika penulisan. Sistematika penulisan ini secara garis besarnya dikelompokkan dalam enam bab dengan urutan sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah 2. Rumusan Masalah

3. Tujuan Dan Manfaat Penelitian 4. Sistematika Penulisan

BAB II TINJAUAN PUSTAK`A 1. Landasan Teoritis

2. Penelitian Yang Relevan 3. Kerangka Pemikiran 4. Defenisi Konsep

BAB III METODE PENELITIAN 1. Jenis Penelitian

(27)

2. Lokasi Penelitian 3. Informan Penelitian

4. Teknik Pengumpulan Data 5. Teknik Analisis Data

BAB IV DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN A. Temuan Umum

1. Letak Geografis Lokasi Penelitian 2. Sejarah Perkembangan Lokasi Penelitian 3. Profil Lokasi Penelitian

4. Visi, Misi, dan Tujuan Lokasi Penelitian 5. Struktur Organisasi/Lembaga Lokasi Penelitian 6. Kondisi Umum Tentang Klien

7. Kondisi Umum Tentang Petugas

8. Keadaan Sarana dan Prasarana Lokasi Penelitian BAB V HASIL PENELITIAN

1. Deskripsi Data Hasil Penelitian 2. Pembahasan Hasil Penelitian 3. Keterbatasan Penelitian

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan

2. Saran

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN – LAMPIRAN

(28)

2.1 Persepsi

Persepsi adalah suatu proses membuat penilaian (judgement) atau membangun kesan (impression) mengenai berbagai macam hal yang terdapat dalam lapangan penginderaan seseorang. Penilaian atau pembentukkan kesan ini adalah dalam upaya pemberian makna kepada hal-hal tersebut (Harvey & Smith dalam Widyastuti, 2014: 34).

Aspek kesan pertama yang paling penting dan kuat adalah evaluasi.

Persepsi berlangsung lebih cepat dari proses pengenalan atau berpikir. Oleh karenanya kadangkala persepsi berbeda dengan kenyataan sesungguhnya. Proses yang terjadi dalam persepsi adalah proses asosiasi dimana informasi yang didapatkan melalui penginderaan dikaitkan dengan hal-hal yang ada dan pengalaman-pengalaman orang yang bersangkutan (perseptor) dimasa lampau, dimana asosiasi ini terutama bekerja pada tahap penafsiran (Widyastuti, 2014: 34- 35).

2.1.1. Indikator Persepsi

Menurut Walgito (1989) ada beberapa hal yang diperlukan agar persepsi dapat disadari oleh individu, yaitu:

a. Adanya obyek yang dipersepsikan

Objek menimbulkan stimulus yang mengenai alat indera atau reseptor stimulus dapat datang dari luar langsung mengenai alat indera (reseptor), dapat datang dari dalam yang langsung mengenai syaraf penerima (sensoris) yang bekerja sebagai reseptor.

(29)

b. Alat indera atau reseptor

Alat indera atau reseptor yaitu merupakan alat untuk menerima stimulus, disamping itu harus ada pula syaraf sensoris sebagai alat untuk meneruskan stimulusyang diterima reseptor ke pusat syaraf yaitu otak sebagai pusat kesadaran. Dan sebagai alat untuk mengadakan respon diperlukan syaraf motoris.

c. Adanya perhatian

Untuk menyadari atau untuk mengadakan persepsi terhadap sesuatu diperlukan adanya perhatian yang merupakan langkah pertama sebagai suatu kesiapan dalam mengadakan persepsi. Tanpa perhatian tidak akan terjadi persepsi.

Jadi indikator persepsi dapat disimpulkan dimana objek yang menimbulkan stimulus yaitu anak dengan penyandang disabilitas contohnya anak yang keterbelakangan mental ataupun syndrome down dan juga tuna netra, kemudian mengenai alat indera berupa mata, telinga, hidung, kulit, mulut, akal dan hati yang diterima oleh masyarakat kemudian kepusat syaraf yang dilakukan secara sadar sehingga menimbulkan sebuah perhatian yang terpusat pada anak penyandang disabilitas tersebut.

Individu akan menggunakan alat indera mereka untuk melihat ataupun menilai apa yang menjadi objek pengelihatan, pendengaran kemudian individu akan memusatkan perhatiannya kepada objek tersebut.

Hasil penglihatannya tersebut akan disimpulkan berdasarkan penilaian terhadap hal tersebut.

(30)

2.1.2. Jenis-Jenis Persepsi

Menurut Irwanto, setelah individu melakukan interaksi dengan obyek- obyek yang di persepsikan maka hasil persepsi dapat dibagi menjadi dua yaitu:

a. Persepsi positif.

Persepsi yang menggambarkan segala pengetahuan (tahu tidaknya atau kenal tidaknya) dan tanggapan yang di teruskan dengan upaya pemanfaatannya. Hal itu akan di teruskan dengan keaktifan atau menerima dan mendukung terhadap obyek yang di persepsikan.

b. Persepsi negatif.

Persepsi yang menggambarkan segala pengetahuan (tahu tidaknya atau kenal tidaknya) dan tanggapan yang tidak selaras dengan obyek yang di persepsi. Hal itu akan di teruskan dengan kepasifan atau menolak dan menentang terhadap obyek yang di persepsikan.

Dengan demikian dapat di katakan bahwa persepsi itu baik yang positif maupun yang negatif akan selalu mempengaruhi diri seseorang dalam melakukan suatu tindakan. Dan munculnya suatu persepsi positif ataupun persepsi negatif semua itu tergantung pada bagaimana cara individu menggambarkan segala pengetahuannya tentang suatu obyek yang dipersepsi (Irwanto, 2002: 71).

2.1.3. Aspek – aspek persepsi

a. Komunikasi nonverbal (nonverbal communications)

Komunikasi nonverbal yaitu komunikasi antara individu tanpa melibatkan isi bahas lisan, namun mengandalkan bahasa non lisan dari ekspresi wajah, kontak mata gerak tubuh dan fostur. Komunikasi ini

(31)

ditandai dengan ekspresi wajah sebagai petunjuk bahwa seseorang memiliki perasaan marah, takut, bahagia, sedih, terkejut dan jijik. Dan dengan cara menatap ataupun memandang juga memberikan isyarat bagaimana perasaan seseorang terhadap individu lain.

b. Atribusi (Attribution)

Atribusi yaitu proses kompleks dimana kita berusaha memahami alasan-alasan dibalik perilaku orang lain. Menurut Kelley terdapat tiga sumber penting untuk diperhatikan yaitu consensus, konsistensi dan distingsi. Consensus adalah derajat kesamaan reaksi orang lain terhadap stimulus atau peristiwa tertentu dengan orang yang sedang kita observasi.

Consistency adalah derajat kesamaan reaksi seseorang terhadap suatu stimulus atau suatu peristiwa yang sama pada waktu yang berbeda.

Distinctiveness adalah derajat perbedaan reaksi seseorang terhadap berbagai stimulus atau peristiwa yang berbeda-beda.

c. Karakteristik pembentukan kesan (Impression formation) serta mengelola kesan (impression management)

Pembentukan kesan adalah proses dimana kita menyusun kesan tentang sesorang. Manajemen kesan adalah usaha seseorang untuk menampilkan kesan pertama yang disukai orang lain.

d. Sejauh mana ketepatan persepsi sosial.

Akurasi persepsi sosial ini dapat dilihat dalam proses berpikir kompleks yang biasa kita lakukan berkontribusi terhadap hal ini.

Misalnya betapa karakteristik fisik tertentu dapat membuat orang untuk mengembangkan sifat tertentu. Misalnya orang yang sangat menarik

(32)

diperlakukan ramah oleh orang lain, sehingga percaya dirinya lebih besar dan keyakinan akan kemampuan dirinya juga lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang kurang menarik (Baron & Byrne dalam Widyastuti 2014: 35-36).

2.2. Masyarakat

2.2.1. Pengertian Masyarakat

Masyarakat adalah sebagai kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurur suatu system adat-istiadat tertentu yang bersifat kontiniu, dan yang terikat oleh suatu rasa identitas bersama (Koentjaraningrat 2002 dalam Ermansyah 2015: 50). Sebagai individu, manusia tidak dapat hidup sendiri. Dalam menjalani kehidupannya, ia akan bersama dan bergantung pada manusia lainnya melalui ineraksi yang dilakukannya. Kebersamaan dengan manusia lainnya dalam rangka memenuhi kebutuhannya tersebut akhirnya mewujudkan suatu kolektivitas manusia yang disebut sebagai masyarakat (Ermansyah 2015:55).

2.2.2. Unsur-Unsur Masyarakat

Unsur-unsur masyarakat menurut Koentjaraningrat 2002 (Ermansyah 2015) antara lain:

1. Kategori Sosial

Kategori Sosial adalah kesatuan hidup manusia yang terwujudkan karena adanya suatu ciri atau suatu kompleks ciri-ciri yang objektif yang dapat dikenakan kepada manusia-manusia itu. Ciri-ciri objektif tersebut biasanya dikenakan oleh pihak luar dari kategori sosial itu sendiri tanpa disadari oleh orang yang bersangkutan dengan tujuan praktis tertentu.

(33)

2. Golongan Sosial

Golongan sosial adalah kesatuan hidup manusia yang juga memiliki ciri-ciri tertentu yang dikenakan kepada mereka oleh pihak luar. Suatu golongan sosial dapat muncul karena adanya pandangan negatif dari dari orang-orang lain terhadap mereka. Misalnya golongan anak penyandang disabilitas, mereka dianggap oleh masyarakat sebagai orang cacat yang memiliki segala keterbatasan yang tidak dapat berinteraksi dengan orang normal lainnya.

3. Kelompok

Unsur ini dapat disebut juga sebagai masyarakat dikarenakan memiliki syarat-syarat sebagai masyarakat dengan adanya system interaksi antar para anggota, adanya system norma yang mengatur interaksi, adanya kontinuitas, serta adanya identitas yang mempersatukan semua anggota. Walaupun demikian, kelompok memiliki ciri tambahan yakni adanya organisasi dan system pimpinan.

Dasar organisasi dari kelompok adalah adat, serta system pimpinannya berdasarkan kewibawaan dan charisma.

4. Perkumpulan

Perkumpulan adalah organisasi yang sengaja dibentuk untuk kepentingan tertentu. Perkumpulan juga dapat disebut sebagai kelompok. Namun Koentjaraningrat memberi istilah yang berbeda karena memang juga berbeda dalam bentuk dasar organisasi dan system pimpinannya, yakni sebagai perkumpulan atau asosiasi. Dasar

(34)

organisasi perkumpulan adalah buatan. Sedangkan sistem pimpinannya berdasarkan wewenang dan hukum (Ermansyah, 2015: 50-52).

2.3. Anak Penyandang Disabilitas 2.3.1 Pengertian Anak

Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan terdapat dalam Undang-undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pasal tersebut menjelaskan bahwa, anak adalah siapa saja yang belum berusia 18 tahun dan termasuk anak yang masih didalam kandungan,yang berarti segala kepentingan akan pengupayaan perlindungan terhadap anak sudah dimulai sejak anak tersebut berada didalam kandungan hingga berusia 18 tahun (Damayanti, 2008).

Pengertian anak secara umum yang dipahami masyarakat adalah keturunan kedua setelah ayah dan ibu. Sekalipun dari hubungan yang tidak sah dalam kacamata hukum, ia tetap dinamakan anak, sehingga defenisi ini tidak dibatasi dengan usia. Sedangkan dalam penegrtian Hukum Perkawinan Indonesia, anak yang belum mencapai usia 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada dibawah kekuasaan orangtuanya. Selama mereka tidak dicabut dari kekuasaan. Penegrtian ini disandarkan pada kemampuan anak, jika anak telah mencapai umur 18 tahun akan tetapi ia belum mampu mandiri atau menghidupi dirinya sendiri maka ia dikategorikan sebagai anak. Namun berbeda jika ia telah melakukan perbuatan hukum, dan ia mampu menghidupi dirinya sendiri, maka ia telah dikenai peraturan hukum atau perUndang-Undangan (Rosyadi, 2016).

(35)

2.3.2 Kebutuhan Dasar Anak

Kebutuhan dasar untuk tumbuh kembang anak secara umum digolongkan menjadi kebutuhan fisik-biomedis (asuh) yang meliputi, pangan atau gizi, perawatan kesehatan dasar, tempat tinggal yang layak, sanitasi, sandang, kesegaran jasmani atau rekreasi. Kebutuhan emosi atau kasih sayang (Asih), pada tahun-tahun pertama kehidupan, hubungan yang erat, mesra dan selaras antara ibu atau pengganti ibu dengan anak merupakan syarat yang mutlak untuk menjamin tumbuh kembang yang selaras baik fisik, mental maupun psikososial. Kebutuhan akan stimulasi mental (Asah), stimulasi 10 mental merupakan cikal bakal dalam proses belajar (pendidikan dan pelatihan) pada anak. Stimulasi mental ini mengembangkan perkembangan mental psikososial diantaranya kecerdasan, keterampilan, kemandirian, kreaktivitas, agama, kepribadian dan sebagainya (Damayanti, 2008).

2.3.3 Penyandang Disabilitas

Istilah disabilitas merupakan kata bahasa Indonesia berasal dari serapan kata bahasa Inggris yaitu Disability yang berarti cacat atau ketidakmampuan.

Penyandang disabilitas dapat diartikan individu yang mempunyai keterbatasan fisik atau keterbatasan mental/intelektual. Menurut Yuniarti Hatibie defenisi kecacatan adalah adanya disfungsi atau berkurangnya suatu fungsi yang secara objektif dapat diukur/dilihat, karena adanya kehilangan/kelainan dari bagian tubuh seseorang. Misalnya seseorang yang tidak mempunyai tangan atau kaki atau bagian fisik lainnya, atau seseorang yang dapat menghasilkan perilaku yang berbeda dari orang lain, misalnya seseorang yang mengalami kerusakan otak atau biasa disebut dengan kecacatan mental.

(36)

Menurut Undang-Undang No 8 Tahun 2016 pasal 1 ayat 1 bahwa Penyandang Disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) penyandang diartikan dengan orang yang menyandang (menderita) sesuatu. Sedangkan disabilitas merupakan kata bahasa Indonesia yang berasal dari kata serapan bahasa Inggris disability yang berarti cacat atau ketidakmampuan. Disabilitas adalah istilah yang meliputi gangguan, keterbatasan aktivitas, dan pembatasan partisipasi.

Gangguan adalah sebuah masalah pada fungsi tubuh atau strukturnya;

suatu pembatasan kegiatan adalah kesulitan yang dihadapi oleh individu dalam melaksanakan tugas atau tindakan, sedangkan pembatasan partisipasi merupakan masalah yang dialami oleh individu dalam keterlibatan dalam situasi kehidupan.

Jadi disabilitas adalah sebuah fenomena kompleks, yang mencerminkan interaksi antara ciri dari tubuh seseorang dan ciri dari masyarakat tempat dia tinggal.

Penyandang cacat adalah seseorang yang memiliki keterbatasan dalam melakukan kegiatannya sehari-hari, misalnya orang yang cacat fisik, akan tetapi mereka bisa melakukan kegiatannya sehari-hari dengan segala keterbatasan yang mereka miliki. Kemudian mereka yang memiliki keterbatasan daya intelektual ataupun keterbelakangan mental yang dapat mengakibatkan seseorang tersebut tidak dapat memahami proses belajar mengajar seperti selayaknya individu lainnya yang tidak memiliki keterbatasan.

(37)

2.3.4 Jenis-Jenis Penyandang Disabilitas 1. Tunanetra

Tunanetra adalah individu yang indra penglihatannya (kedua-duanya) tidak berfungsi sebagai saluran penerima informasi dalam kegiatan sehari-hari seperti halnya orang awas, akan tetapi tunanetra tidak saja mereka yang buta, tetapi mencakup juga mereka yang mampu melihat tetapi terbatas sekali dan kurang dapat di manfaatkan untuk kepentingan hidup sehari-hari terutama dalam aktifitas proses belajar.

Anak tunanetra dapat dipahami oleh masyarakat dengan memiliki kondisi yang ketajaman penglihatannya kurang dari ketajaman yang dimiliki orang awas, terjadi kekeruhan pada lensa mata atau terdapat cairan tertentu, posisi mata yang sulit dikendalikan oleh syaraf otak, dan terjadi kerusakan susunan syaraf otak yang berhubungan dengan penglihatan. Dari kondisi-kondisi tersebut, pada umumnya yang digunakan sebagai patokan apakah seorang anak termasuk tunanetra atau tidak ialah berdasarkan pada tingkat ketajaman penglihatannya (Somantri, 2007:65-66).

2. Tunagrahita

Orang yang tunagrahita adalah orang yang mengalami keterbelakangan mental sehingga memiliki tingkat kecerdasan yang rendah di bawah rata-rata orang pada umumnya. Ciri mental terbelakang biasanya dapat dilihat dari kelainan fisik maupun dari perilaku abnormal yang sering ditunjukkan dalam kehidupan sehari-hari. Anak tunagrahita kurang mampu untuk mempertimbangkan sesuatu, membedakan antara yang baik dan yang buruk, dan membedakan yang benar dan yang salah. Ini semua karena

(38)

kemampuannya yang terbatas sehingga anak tunagrahita tidak dapat membayangkan terlebih dahulu konsekuensi dari suatu perbuatan (Somantri, 2007:103).

3. Tunadaksa

Tunadaksa berarti suatu keadaan rusak atau terganggu sebagai akibat gangguan bentuk atau hambatan pada tulang, otot, dan sendi dalam fungsinya yang normal. Kondisi ini dapat disebabkan oleh penyakit, kecelakaan, atau dapat juga disebabkan oleh pembawaan sejak lahir. Tunadaksa sering juga diartikan sebagai suatu kondisi yang menghambat kegiatan individu sebagai akibat kerusakan atau gangguan gangguan pada tulang dan otot, sehingga mengurangi kapasitas normal individu untuk mengikuti pendidikan dan untuk berdiri sendiri. Mereka yang tunadaksa sama sekali tidak dapat menggerakkan bagian tubuhnya yang mengalami gangguan atau kerusakan (Somantri, 2007:

121).

4. Tunawicara

Tunawicara sering disebut dengan orang bisu. Orang bisu adalah orang yang tidak bisa berbicara dengan orang lain. Orang yang bisu biasanya disebabkan oleh masalah pendengaran sejak lahir yang tidak terdeteksi sehingga menyebabkan anak menjadi kesulitan untuk belajar berbicara dengan normal. Seseorang bisa juga mengalami bisu selektif yang hanya menjadi bisu ketika berhadapan dengan situasi dan kondisi tertentu. Orang bisu biasanya untuk mengutarakan apa yang diinginkannya melalui gerak tangan atau dengan bahasa isyarat.

5. Tunarungu

(39)

Menurut Andreas Dwidjosumarto mengemukakan bahwa seseorang yang tidak tahu atau kurang mampu mendengar suara dikatakan tunarungu.

Ketunarunguan dibedakan menjadi dua kategori yaitu tuli (deaf) dan kurang dengar (low of hearing). Tuli adalah mereka yang indera pendengarannya mengalami kerusakan dalam taraf berat sehingga pendenagaran tidak berfungsi lagi. Sedangkan kurang dengar adalah mereka yang indera pendengarannya mengalami kerusakan akan tetapi masih dapat berfungsi untuk mendengar, baik dengan maupun tanpa menggunakan alat bantu dengar (hearing aids) (Somantri, 2007: 93).

6. Tunalaras

Tunalaras adalah anak yang mengalami hambatan emosi dan tingkah laku sehingga kurang dapat atau mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan baik terhadap lingkungannya dan hal ini akan mengganggu situasi belajarnya (Somantri, 2007: 140). Orang yang tuna laras adalah orang yang memiliki kesulitan dalam pendendalian diri seperti masalah pengendalian emosi, sulit bergaul, senang menyendiri, kepercayaan diri rendah, senang berbuat jahat, malu tampil di depan umum, dan lain sebagainya.

7. Tuna Ganda atau Cacat Kombinasi

Orang yang tunaganda adalah orang yang mengalami kecacatan lebih dari satu. Misalnya seperti orang yang mengalami tangan buntung sekaligus mengalami kebutaan permanen, atau orang yang mentalnya terbelakang (idiot) sekaligus memiliki cacat pada pendengarannya (tuli), dan lain-lain.

(40)

2.4 Anak Tunagrahita

Anak tunagrahita adalah istilah yang digunakan untuk menyebut anak yang mempunyai kemampuan intelektual dibawah rata-rata. Anak tunagrahita atau terbelakang mental merupakan kondisi dimana perkembangan kecerdasannya mengalami hambatan sehingga tidak mencapai tahap perkembangan yang optimal (Somantri, 2007: 103).

Tunagrahita mempunyai kelainan mental atau tingkah laku akibat kecerdasan yang terganggu. Tunagrahita dapat berupa cacat ganda, yaitu cacat mental yang dibarengi dengan cacat fisik. Misalnya, cacat intelegensi yang mereka alami di sertai dengan kelainan penglihatan (cacat mata) ataupun yang disertai dengan gangguan pendengaran. Akan tetapi tidak semua anak tunagrahita memiliki cacat fisik, contohnya pada anak tunagrahita ringan. Masalah tunagrahita ringan lebih banyak pada kemampuan daya tangkap yang kurang. Secara umum anak tunagrahita merupakan anak berkebutuhan khusus yang memiliki keterbelakangan dalam intelegensi, fisik, emosional, dan sosial yang membutuhkan perlakuan khusus supaya dapat berkembang pada kemampuan yang maksimal (Desiningrum, 2016: 16).

2.4.1 Karakteristik anak tunagrahita a. Keterbatasan inteligensi

Inteligensi merupakan fungsi yang kompleks yang dapat diartikan sebagai kemampuan untuk mempelajari informasi dan keterampilan- keterampilan menyesuaikan diri dengan masalah-masalah dan situasi- situasi kehidupan baru, belajar dari pengalaman masa lalu, berfikir abstrak, kreatif, dapat menilai secara kritis, menghindari kesalahan-kesalahan,

(41)

mengatasi kesulitan-kesulitan dan kemampuan untuk merencanakan masa depan. Akan tetapi anak tunagrahita memiliki kekurangan dalam semua hal tersebut. Kemampuan belajar anak tunagrahita cenderung tanpa pengertian atau cenderung belajar dengan membeo.

b. Keterbatasan sosial

Anak tunagrahita cenderung berteman dengan anak yang lebih muda usianya, ketergantungan terhadap orangtua sangat besar, tidak mampu memikul tanggung jawab sosial dengan bijaksana, sehingga mereka harus selalu dibimbing dan diawasi. Mereka juga mudah dipengaruhi dan cenderung melakukan sesuatu tanpa memikirkan akibatnya.

c. Keterbatasan fungsi-fungsi mental lainnya

Anak tunagrahita memerlukan waktu lebih lama untuk menyelesaikan reaksi pada situasi yang baru dikenalnya. Mereka memperlihatkan reaksi terbaiknya bila mengikuti hal-hal yang rutin dan secara konsisten dialaminya dari hari kehari. Anak tunagrahita tidak dapat menghadapi sesuatu kegiatan atau tugas dalam jangka waktu yang lama. Anak tunagrahita memiliki keterbatasan dalam penguasaan bahasa. Mereka bukannya mengalami artikulasi, akan tetapi pusat pengolaham (perbendaharaan kata) yang kurang berfungsi sebagaimana mestinya.

Karena alasan itu mereka membutuhkan kata-kata konkret yang sering didengarnya. Selain itu perbedaan dan persamaan harus ditunjukkan secara berulang-ulang. Latihan-latihan sederhana seperti mengajarkan konsep besar dan kecil, keras dan lemah, pertama, kedua dan terakhir perlu menggunakan pendekatan yang konkret.

(42)

Selain itu, anak tunagrahita kurang mampu untuk mempertimbangkan sesuatu, membedakan antara yang baik dan yang buruk, dan membedakan yang benar dan yang salah. Ini semua karena kemampuannya yang terbatas sehingga anak tunagrahita tidak dapat membayangkan terlebih dahulu konsekuensi dari suatu perbuatan (Somantri, 2007: 105-106).

Secara klinis, Tunagrahita dapat digolongkan atas dasar tipe atau ciri-ciri jasmaniah sebagai berikut :

1. Sindroma Down / Mongoloid, dengan ciri-ciri wajah has mongol, mata sipit dan miring, lidah dan bibir tebal dan suka menjulur, jari kaki melebar, kaki dan tangan pendek, kulit kering, tebal, kasar dan keriput, dan susunan gigi kurang baik.

2. Hydrocephalus (kepala besar berisi cairan) dengan ciri kepala besar, raut muka kecil, tengkorak sering menjadi besar.

3. Mikrochepalus dan Makrochepalus, dengan ciri-ciri ukuran kepala tidak proporsional (terlalu kecil atau terlalu besar).

2.4.2 Klasifikasi anak tunagrahita 1. Tunagrahita Ringan

Tunagrahita ringan disebut juga moron arau debil. Kelompok ini memiliki IQ antara 68-52 menurut Binet, sedangkan menurut Skala Weschler (WISC) memiliki IQ 69-55. Mereka masih dapat belajar membaca, menulis dan berhitung sederhana dengan bimbingan dan pendidikan yang baik, anak terbelakang mental ringan pada saatnya akan dapat memperoleh penghasilan untuk dirinya sendiri.

(43)

Anak terbelakang mental ringan dapat dididik menjadi tenaga kerja semi- skilled seperti pekerjaan laundry, pertanian, peternakan, pekerjaan rumah tangga, bahkan jika dilatih dan di bimbing dengan baik anak tunagrahita ringan dapat bekerja di pabrik-pabrik dengan sedikit pengawasan. Namun demikian, anak terbelakang mental ringan tidak mampu melakukan penyesuaian sosial secara independen, ia akan membelanjakan uangnya dengan lugu (malahan tolol), tidak dapat merencanakan masa depan, dan bahkan suka berbuat kesalahan.

Pada umumnya, anak tunagrahita ringan tidak mengalami gangguan fisik.

Mereka secara fisik tampak seperti anak normal pada umunya. Oleh karena itu agak sukar membedakan secara fisik antara anak tunagrahita ringan dengan anak normal. Bila dikehendaki, mereka ini masih dapat bersekolah di sekolah anak berkesulitan belajar. Ia akan dilayani pada kelas khusus dengan guru dari pendidikan luar biasa.

2. Tunagrahita Sedang

Anak tunagrahita sedang disebut juga imbesil. Kelompok ini memeliki IQ 51-36 pada Skala Binet dan 54-40 menurut Skala Weschler (WISC). Anak terbelakang mental sedang bisa mencapai perkembangan MA sampai kurang lebih 7 tahun. Mereka dapat dididik mengurus diri sendiri, melindungi diri sendiri dari bahaya seperti menghindari kebakaran, berjalan dijalan raya, berlindung dari hujan, dan sebagainya.

Anak tunagrahita sedang sulit bahkan tidak dapat belajar secara akademik seperti belajar menulis, membaca, dan berhitung walaupun mereka masih dapat menuli secara sosial, misalnya menulis namanya sendiri, alamat

(44)

rumahnya, dan lain-lain. Mereka masih dapat dididik mengurus diri, seperti mandi, berpakaian, makan, minum, mengerjakan pekerjaan rumah tangga sederhana seperti menyapu, membersihkan perabot ruma tangga, dan sebagainya. Dalam kehidupan sehari-hari anak tunagrahita sedang membutuhkan pengawasan yang terus-menerus. Mereka juga masih dapat bekerja di tempat kerja terlindung (sheltered workshop).

3. Tunagrahita Berat

Kelompok anak tunagrahita berat sering disebut idiot. Kelompok ini dapat dibedakan lagi antara anak tunagrahita berat dan sangat berat. Tunagrahita berat (severe) memiliki IQ antara 32-20 menurut Skala Binet dan antara 39-25 menurut Skala Weschler (WISC). Tunagrahita sangat berat (profound) memiliki IQ dibawah 19 menurut Skala Binet dan IQ dibawah 24 menurut Skala Weschler (WISC). Kemampuan mental atau MA maksimal yang dapat dicapai kurang dari tiga tahun. Anak tunagrahita berat memerlukan bantuan perawatan secara total dalam hal berpakaian, mandi, makan, dan lain-lain.

Bahkan mereka memerlukan perlindungan dari bahaya sepanjang hidupnya (Somantri, 2007: 106-108).

2.4.3 Faktor Penyebab Anak Tunagrahita

Berikut ini beberapa penyebab ketunagrahitaan yang sering ditemukan baik yang berasal dari faktor keturunan maupun faktor lingkungan :

1. Faktor keturunan

Kelainan kromosom dapat dilihat dari bentuk dan nomornya. Dilihat dari bentuk dapat berupa inversi atau kelainan yang menyebabkan urutan gen karena melihatnya kromosom; delesi (kegagalan meiosis), yaitu salah satu

(45)

pasangan sel tidak membelah sehingga terjadi kekurangan kromosom pada salah satu sel; duplikasi yaitu kromosom tidak berhasil memisahkan diri sehingga terjadi kelebihan kromosom pada salah satu sel lainnya;

translokasi yaitu adanya kromosom yang patah dan patahannya menempel pada kromosom lainnya. Kelainan gen, kelainan ini terjadi pada waktu imunisasi, tidak selamanya tampak dari luar namun tetap dalam tingkat genotik.

2. Gangguan Metabolisme dan Gizi

Metabolisme dan gizi merupakan faktor yang sangat penting dalam perkembangan individu terutama perkembangan sel-sel otak. Kegagalan metabolisme dan kegagalan pemenuhan kebutuhan gizi dapat mengakbitkan terjadinya gangguan fisik dan mental pada individu.

3. Infeksi dan Keracunan

Keadaan ini disebabkan oleh terjangkitnya penyakit-penyakit selama janin masih berada dalam kandungan. Penyakit yang dimaksud antara lain Rubella yang mengakibatkan ketunagrahitaan serta adanya kelainan pendengaran, penyakit jantung bawaan, berat badan sangat kurang ketika lahir, Syphilis bawaan, syndrome gravidity beracun.

4. Trauma dan Zat Radioaktif

Terjadinya trauma terutama pada otak ketika bayi dilahirkan atau terkena radiasi zat radioaktif saat hamil dapat mengakibatkan ketunagrahitaan.

Trauma yang terjadi pada saat dilahirkan biasanya disebabkan oleh kelahiran yang sulit sehingga memerlukan bantuan. Ketidaktepatan

(46)

penyinaran atau radiasi sinar X selama bayi dalam kandungan mengakibatkan cacat mental Microsephaly.

5. Masalah pada Kelahiran

Masalah yang terjadi pada saat kelahiran, misalnya kelahiran yang disertai hypoxia yang dipastikan bayi akan menderita kerusakan otak, kejang dan nafas pendek. Kerusakan juga dapat disebabkab oleh trauma mekanis terutama pada kelahiran yang sulit.

6. Faktor Lingkungan

Banyak faktor lingkungan yang diduga menjadi penyebab terjadinya ketunagrahitaan. Telah banyak penelitian yang digunakan untuk pembuktian hal ini, salah satunya adalah penemuan Patton dan Polloway bahwa bermacam-macam pengalaman negatif atau kegagalan dalam melakukan interaksi yang terjadi selama periode perkembangan menjadi salah satu penyebab ketunagrahitaan. Latar belakang pendidikan orangtua sering juga dihubungkan dengan masalah perkembangan. Kurangnya kesadaran orangtua akan pentingnya pendidikan dini serta kurangnya pengetahuan dalam memberikan rangsangan positif dalam masa perkembangan anak menjadi penyebab salah satu timbulnya gangguan (Desiningrum, 2016: 19-20).

2.5 Anak Tunanetra

Pengertian tunanetra secara etimologi berasal dari kata “tuna” yang berarti

“rugi”, dan “ netra” yang berarti ”mata” atau cacat mata. Secara umum, istilah tunanetra adalah kondisi seseorang yang mengalami gangguan, kelainan atau hambatan dalam indra penglihatannya (Soekini Pradopo dkk). Indera penglihatan

(47)

ialah salah satu indera paling penting dalam menerima informasi yang datang dari luar dirinya. Melalui indera penglihatan seseorang mampu melakukan pengamatan terhadap dunia sekitar, tidak saja pada bentuknya, tetapi juga pengamatan dalam (pada objek berdimensi tiga), warna dan dinamikanya.

Anak tunanetra memiliki keterbatasan atau bahkan ketidakmampuan dalam menerima rangsang atau informasi dari luar dirinya melalui indera penglihatannya. Dengan kata lain anak tunanetra menggantikan indera penglihatannya dengan indera pendengaran sebagai saluran utama penerima informasi dari luar. Pengertian Tunanetra tidak saja mereka yang buta, tetapi mencakup juga mereka yang mampu melihat tetapi terbatas sekali dan kurang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan hidup sehari-hari terutama dalam belajar.

Jadi anak-anak dengan kondisi penglihatan yang termasuk “setengah melihat”,

“Low Vision” atau rabun adalah bagian dari kelompok anak tunanetra (Somantri, 2007: 65-66 ).

2.5.1 Faktor-faktor penyebab ketunanetraan

Secara ilmiah ketunetraan anak dapat disebabkan oleh berbagai faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Hal-hal yang termasuk faktor internal (dalam diri anak) yaitu faktor-faktor yang erat hubungannya dengan bayi selama masoh dalam kandungan. Kemungkinannya karena faktor gen (sifat pembawa keturunan), kondisi psikis ibu, kekurangan gizi, keracunan obat, dan sebagainya.

Sedangkan hal-hal yang termasuk faktor eksternal diantaranya faktor-faktor yang terjadi pada saat atau sesudah bayi dilahirkan. Misalnya: kecelakan, terkena penyakit syphilis yang mengenai matanya saat dilahirkan, pengaruh alat bantu medis (tang) saat melahirkan sehingga system persyarafannya rusak, kurang gizi

(48)

atau vitamin, terkena racun, virus trachoma, panas badan yang terlalu tinggi, serta peradangan mata karena penyakit, bakteri, ataupun virus (Somantri, 2007: 66-67).

2.6. Hak – Hak Penyandang Disabilitas

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas Pasal 2 menayatakan:

Pelaksanaan dan Pemenuhan hak Penyandang Disabilitas berasaskan:

a. Penghormatan Terhadap Martabat; adalah sikap menghargai atau menerima keberadaan Penyandang Disabilitas dengan segala hak yang melekat tanpa berkurang,

b. Otonomi Individu; etika kebebasan, tanpa harus bersikap individualistis atau egoistis, bahwa setiap orang memiliki hak untuk bertindak atau tidak bertindak, dan bertanggung jawab atas tindakannya tersebut,

c. Tanpa Diskriminasi; Diskriminasi adalah setiap pembedaan, pengecualian pembatasan, pelecehan, atau pengucilan atas dasar disabilitas yang bermaksud atau berdampak pada pembatasan atau peniadaan pengakuan, penikmatan, atau pelaksanaan hak Penyandang Disabilitas,

d. Partisipasi Penuh; adalah upaya yang dilakukan untuk memenuhi, melaksanakan, dan mewujudkan hak Penyandang Disabilitas,

e. Keragaman Manusia dan Kemanusiaan,

f. Kesamaan Kesempatan; adalah keadaan yang memberikan peluang dan/atau menyediakan akses kepada Penyandang Disabilitas untuk menyalurkan potensi dalam segala aspek penyelenggaraan negara dan masyarakat,

(49)

g. Kesetaraan; adalah modifikasi dan penyesuaian yang tepat dan diperlukan untuk menjamin penikmatan atau pelaksanaan semua hak asasi manusia dan kebebasan fundamental untuk Penyandang Disabilitas berdasarkan kesetaraan, h. Aksesibilitas; adalah kemudahan yang disediakan untuk Penyandang Disabilitas

guna mewujudkan Kesamaan Kesempatan,

i. Kapasitas Yang Terus Berkembang Dan Identitas Anak; adalah upaya untuk menguatkan keberadaan Penyandang Disabilitas dalam bentuk penumbuhan iklim dan pengembangan potensi sehingga mampu tumbuh dan berkembang menjadi individu atau kelompok Penyandang Disabilitas yang tangguh dan mandiri,

j. Inklusif; menempatkan dirinya kedalam cara pandang lain / kelompok lain dalam melihat dunia, dengan kata lain berusaha menggunakan sudut pandang orang lain dalam memahami masalah,

k. Perlakuan Khusus dan Pelindungan Lebih: adalah upaya yang dilakukan secara sadar untuk melindungi, mengayomi, dan memperkuat hak Penyandang Disabilitas.

Undang-undang No 19 tahun 2011 menegaskan bahwa Setiap penyandang disabilitas harus bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan martabat manusia, bebas dari eksploitasi, kekerasan dan perlakuan semena-mena, serta memiliki hak untuk mendapatkan penghormatan atas integritas mental dan fisiknya berdasarkan kesamaan dengan orang lain, maka kewajiban negara terkait dengan CPRD adalah merealisasikan hak-hak tersebut.

Kenyataan yang dialami oleh penyandang disabilitas berdasarkan hasil penelitian terdahulu Petra W. B. Prakosa, 2011, bahwa penyandang disabilitas

Referensi

Dokumen terkait

(2) Pembinaan dan pengembangan Olahraga Penyandang Disabilitas dilaksanakan oleh komite paralimpiade Indonesia, organisasi Olahraga Penyandang Disabilitas, dan/atau

Karena investasi atau pembentukan modal ini merupakan hal yang sangat penting untuk dapat menggerakkan perkonomian suatu daerah, dimana dengan adanya investasi Penanaman Modal

Penelitian Lili Sholihah, yang berjudul “Peran Bimbingan Orang Tua Asuh Dalam Meningkatkan Kemandirian Pada Anak Autis (Penelitian di SLB Autisma Bunda Bening, Cileunyi

(2) Pembinaan dan pengembangan Olahraga Penyandang Disabilitas dilaksanakan oleh komite paralimpiade Indonesia, organisasi Olahraga Penyandang Disabilitas, dan/atau

Untuk memastikan penelitian berjalan dengan cara yang inklusif bagi mitra peneliti penyandang disabilitas, pada awal proyek mitra peneliti penyandang disabilitas memberikan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Jenis gangguan Bahasa yang dialami oleh anak penyandang disabilitas tunagrahita di SLB Negeri 1 Pemalang terletak pada keterbelakangan

Hal ini dapat diketahui melalui analisa yang lebih jauh dan mendalam melalui kata asli kitab Perjanjian Baru yaitu penelusuran melalui bahasa Yunanai didapati bahwa

Informasi yang terdapat dalam aplikasi tersebut adalah informasi mengenai semua jenis buku yang ada di Toko Buku Manyar Jaya Surabaya, kategori buku, pemetaan