Abstrak Abstract
Extravasations are the process by which any liquid (fluid or drug) accidentally leaks into the surrounding tissue. Most common symptoms are feelings of tingling, burning, discomfort/pain or swelling, and redness at the injection site. Further symptoms may include blistering, necrosis and ulceration. Extravasated drugs are classified according to their potential for causing damage as vesicant, irritant and non vesicant. Incidence rates vary greatly. Estimation between 0.01% and 7% are noted in various publications. Adequate identification of the potential factors causing extravasation is important to minimize the risk of chemotherapy extravasations complication. During the period of December 2014 until May 2015, from 1457 patients who undergo chemotherapy, reported 20 cases (1.37%) of chemotherapy extravasations complication. Starting from June 2015, chemotherapy agents were classified and labeled with different color. Vesicant agent was labeled with red label.
Irritant agent was labeled with yellow label and non vesicant or irritant was labeled with green label. Then A study was conducted from June 2015 to November 2015, from 1705 patients who undergo chemotherapy, there was reported only 1 case (0.05%) of chemotherapy extravasations complication after labeling of the chemotherapy agents with different color.
Keywords: extravasations, chemotherapy agents, vesicant, irritant and non vesicant Abstrak
Ekstravasasi merupakan proses keluarnya cairan atau obat-obatan secara tidak sengaja ke jaringan sekitar. Ekstravasasi obat yang berpotensi menyebabkan kerusakan jaringan dikategorikan sebagai vesicant, irritant dan non vesicant atau non irritant. Angka insidennya bervariasi, diperkirakan berkisar 0.01% sampai 7 %. Identifikasi yang adekuat terhadap faktor yang berpotensi menyebabkan terjadinya ekstravasasi sangat penting untuk meminimalisir resiko ekstravasasi. Gejala yang umum terjadi adalah kesemutan, terbakar, tidak nyaman, nyeri atau bengkak dan kemerahan di tempat injeksi. Gejala yang lambat antara lain melepuh, nekrosis dan ulkus. Pada observasi dari Desember 2014 sampai Mei 2015 didapatkan 20 kasus ekstravasasi dari 1457 pasien yang dilakukan kemoterapi (1.37
%). Mulai bulan Juni 2015 dilakukan labeling pada obat-obat kemoterapi. Label merah untuk obat kemoterapi vesicant, label kuning untuk obat kemoterapi irritant dan label hijau untuk obat kemoterapi non vesicant atau non irritant. Setelah diobservasi selama 6 bulan dari Juni 2015 sampai November 2015 didapatkan hanya 1 kasus ekstravasasi dari 1705 pasien yang dilakukan kemoterapi ( 0.05%).
Kata kunci : ekstravasasi, kemoterapi, vesicant, irritant dan non vesicant atau non irritant
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian
Cedera ekstravasasi didefiniskan sebagai kerusakan yang disebabkan oleh keluarnya cairan dari pembuluh darah ke jaringan sekitarnya sewaktu pemberian obat kemoterapi melalui intravcna. Kerusakan ini meliputi saraf, tendon, sendi dan jaringan kulit, kerusakan ini dapat berlangsung sampai beberapa bulan setelah kejadian ekstravasasi. Bilamana pengobatan terlambat, mungkin diperlukan debridement pembedahan, skin graft dan amputasi. Beberapa literatur memperkirakan angka insidensi bervariasi berkisar 0.01%
sampai 7%.
Mengingat besarnya insidensi, prevalensi dan dampak ekstravasasi obat kemoterapi dan diperlukan penanganan yang kompleks dampak ekstravasasi obat kemoterapi, maka dipandang perlu untuk melakukan penelitian untuk melihat perbedaan jumlah ekstravasasi sebelum dan sesudah labelling obat kemoterapi.
1.2 Rumusan Masalah
- Berapa banyak angka kejadian ekstravasasi sebelum dilakukan labeling di ruang Sanjiwani One Day Care RSUP Sanglah Denpasar periode Desember 2014 sampai Mei 2015?
- Berapa banyak angka kejadian ekstravasasi sesudah dilakukan labeling di ruang Sanjiwani One Day Care RSUP Sanglah Denpasar periode Juni 2015 sampai November 2015?
1.3 Tujuan Penelitian
Untuk memperoleh angka kejadian ekstravasasi obat kemoterapi sebelum dan sesudah dilakukan labeling di ruang Sanjiwani One Day Care RSUP Sanglah Denpasar
1.4 Manfaat Praktis
Terbukti secara signifikan bahwa pemberian labelling pada obat kemoterapi dapat menurunkan angka kejadian ekstravasasi, dapat memberikan sumbangan dalam penerapan kebijakan labelling obat kemoterapi di ruangan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Epidemiologi
Ekstravasasi obat kemoterapi merupakan kejadian yang tidak diharapkan dan dapat menyebabkan kerusakan yang permanen. Gejala dari reaksi ekstravasasi antara lain nyeri yang dapat hilang sendiri, inflamasi pada jaringan sekitarnya sampai nekrosis, ulkus dan mengelupasnya kulit dan struktur dibawahnya. Gejala ini tergantung pada lokasi infuse, kondisi jaringan sekitarnya, konsentrasi dan volume obat vesicant dan pengobatan yang dilakukannya. Sebagian lesi tidak sembuh dengan baik dan lambat. Lesi dapat meluas dalam waktu minggu sampai bulan. Meskipun sulit untuk mendapatkan angka insidensi yang akurat, dilaporkan kejadian ekstravasasi terjadi 0.1-6.5% (Ener RA,et al, 2004).
2.2 Patofisiologi
Agen antineoplastik dapat menyebabkan toksik secara langsung pada sel
Beberapa agen antineoplastik yang bersifat vesican menyebabkan kerusakan jaringan dengan mekanisme yang berbeda.
Semua ekstravasasi agen neoplastik yang bersifat vesican apakah menyebabkan kerusakan jaringan dengan sekuensi yang sama belum diketahui. Teori utama mengenai ekstravasasi doxorubicin menyebabkan kematian sel, obat yang dilepaskan dan ditangkap sel yang normal di sekitarnya, mengakibatkan kerusakan yang progresif beberapa minggu sampai bulan. Ekstravasasi doxorubicin menuju jaringan para vena juga menyebabkan pembentukan radikan superoksida, radikal hidroksil dan peroksida menyebabkan kerusakan pada sel, membran sel dan kerusakan yang berat pada pembuluh darah kecil yang diikuti hilangnya integritas vaskular, trombosis, ekstravasasi sel darah merah dan nekrosis avaskular tanpa inflamasi (Vargel I,et al, 2002). Perubahan degeneratif pada sel berlanjut selama beberapa minggu, mempengaruhi proliferasi sel dan penyembuhan normal. Proses penyembuhan dapat terganggu pada pasien dengan keganasan akibat imunosupresi dan perubahan sintesis protein.
2.3 DNA-Binding Agents
DNA-binding agents antara lain antrasiklin (doxorubicin, daunorubicin, idarubicin dan mitoxantrone), antibiotik antitumor (mitomycin) dan beberapa agen alkylating (mechlorethamine dan analog platinum). Antrasiklin berikatan dengan asam nukleat pada DNA dan bersifat toksik terhadap topoisomerase II, mengakibatkan kerusakan yang multipel
pada DNA strand. Proses ini juga menyebabkan pembentukan radikal bebas yang dapat menghambat RNA dan sintesis protein, pada akhirnya menyebabkan kematian sel. Radikal bebas merupakan molekul yang kehilangan elektron, yang menyebabkan tidak stabil dan sangat reaktif terhadap molekul lainnya (Langer SW,et al, 2000)
Mekanisme sitotoksik pada agen alkylating adalah mekanisme pembentukan radikal bebas dan DNA crosslinking yang mematikan atau kerusakan strand. Analog platinum berikatan dan menyebabkan intra DNA dan interstrand crosslinking dan kompleks, menyebabkan apoptosis. Oxaliptalin mungkin memiliki sifat sitotoksik yang lebih daripada cisplatin karena merupakan carrier ligand yang lebih persisten pada jaringan (Kennedy JG,et al, 2003)
2.4 Non–DNA-Binding Antineoplastic Agents
Toksin mikrotubule intraseluler dan inhibitor topoisomerase memepengaruhi mitosis dan tidak berikatan dengan DNA. Toksin mikrotubul termasuk golongan alkaloid vinca (vincristine,vinblastin dan vinorelbine) yang menghambat pembentukan mikrotubul, golongan taxan (paclitaxel dan docetaxel) yang dapat meningkatkan stabilisasi mikrotubul.
Inhibitor topoisomerase (etoposide, irinotecan dan topotecan) menghambat enzim yang memfasilitasi DNA unfolding dan rekonstruksi sebelum dan sesudah pembelahan sel. Ini terutama menghambat transkripsi DNA dan replikasi dan menyebabkan kematian sel. Agen yang tidak berikatan dengan DNA lebih mudah terjadi ekstravasasi dan menyebabkan kerusakan jaringan yang lebih sedikit dibandingkan agen yang berikatan dengan DNA.
2.5 Nonantineoplastic Vesicant Agents
Ekstravasasi obat non antineoplastik yang memiliki sifat vesicant dapat menyebabkan kerusakan kulit dan nekrosis jaringan lunak,yang memerlukan tindakan debridement, rekonstruksi flap atau skin graft. Tipe vesicant termasuk cairan hiperosmotik yang dapat menyebabkan sindroma kompartmen, cairan elektrolit dengan konsentrasi tinggi dapat memperpanjang depolarisasi otot dan mengakibatkan iskemia, agen yang mempengaruhi pH intraseluler (natrium bikarbonat) dan obat yang dapat menginduksi vasokonstriksi dan iskemia. Agen tersebut mungkin diberikan bersamaan dengan kemoterapi dan dapat membinggungkan untuk identifikasi etiologi dan penanganan injuri yang disebabkan ekstravasasi (Schummer W,et al, 2005).
2.6 Faktor lain yang mempengaruhi ekstensi kerusakan jaringan
Potensi terjadinya kerusakan jaringan berkaitan dengan konsentrasi obat dan konsentrasi terinfiltrasi, durasi jaringan terpapar dan lokasi ekstravasasi. Oleh karena itu ekstravasasi agen vesican yang berikatan dengan DNA dalam volume yang besar sangat sulit
ditangani. Waktu yang tepat untuk penanganan post ekstravasasi juga penting, keterlambatan penanganan mengakibatkan kerusakan yang lebih luas, nyeri dan cacat. Kerusakan jaringan lebih sering terjadi pada ekstravasasi dari intravenous perifer pada area dengan saraf, tendon dan pembuluh darah yang banyak, seperti pada dorsum pada tangan, pergelangan tangan atau fossa antecubiti atau daerah yang mengalami ekstravasasi belum jelas terlihat secara langsung seperti pada fossa antecubiti, dinding dada atau struktur thorax, yang mengakibatkan kerusakan yang signifikan, adanya nyeri dan gangguan fungsional diperlukan pembedahan yang bertahap (Luke F, 2005)
2.7 Faktor resiko terjadinya ekstravasasi
Faktor resiko terjadinya ekstravasasi termasuk penggunaan alat intravenous, jenis terapi dan karekteristik antara pasien dan klinisi. Adanya beberapa faktor resiko yang bersamaan dapat memprediksi kemungkinan ekstravasasi dan kerusakan yang parah.
Penggunaan alat intravena dapat mempengaruhi resiko ekstravasasi termasuk penggunan jarum logam dibandingkan kanul plastik, kateter vena sentral dan perawatan infus. Jarum logam tidak dianjurkan untuk dipakai untuk infus obat golongan vesikan karena lebih traumatik pada saat insersi terhadap pembuluh darah dibandingkan kanul plastik yang lebih fleksibel dalam pembuluh darah. Kanul plastik dengan ukuran besar juga traumatik terhadap pembuluh darah vena dibandingkan kateter yang ukurannya lebih kecil dan dapat menghambat aliran darah, memperlambat dilusi infus (Hadaway LC, 2004)
Ekstravasasi dari CVC dapat terjadi bila ada pergeseran dari implanted venous access port, oklusi mekanik dan kerusakan oada CVC, pergeseran kateter atau pembentukan fibrin dan trombosis. Masalah tersebut merupakan masalah serius tapi jarang terjadi. Insidensi trombosis pada kateter berkisar 3-5%, patahnya kateter atau terputusnya kateter 0.5%, dislokasi sekunder 1.5-2 % dan terjepitnya kateter 0.1-1,1% (Hackert T,et al, 2000)
Oklusi mekanik dapat dikaitkan dengan trombus atau obat-obat yang dapat mengendap dalam CVC, pergeseran kateter retrograde atau terjepit. Ruptur kateter mungkin tidak tampak secara langsung terutama ukuran syringe < 10 ml yang dapat memberikan tekanan yang tinggi pada saat usaha flushing pada kateter yang tersumbat partial maupun total (Polovich M,et al, 2005)
Pergeseran retrograde pada ujung CVC menuju vena jugular internal ipsilateral atau vena subklavia kontralateral mengakibatkan oklusi, trombosis atau kerusakan tunika intima pada vena kecil, ini meningkatkan resiko ekstravasasi. Perpindahan ujung CVC melalui vena kava superior menuju ke mediastinum, paru-paru, jantung dan struktur thorax lainnya pernah
dilaporkan. Gejala yang timbul antara lain nyeri yang sangat hebat, batuk yang keras, dispnea atau masalah lain yang dapat mengancam nyawa.
Kateter yang terjepit atau patah dapat terjadi pada CVC yang masuk ke dalam terowongan dengan teknik subklavia, yang bermanifestasi sebagai oklusi yang intermiten dan posisional. Bilamana terjadi oklusi yang dapat dibebaskan dengan perubahan posisi seperti menggeser bahu ipsilateral, mengangkat lengan atau perubahan posisi dari duduk tegak menjadi tidur terlentang. Posisi di atas dapat membuka rongga antara klavikula dan tulang costa pertama dan mengurangi kompresi dan friksi yang dapat merusak dan mematahkan kateter, yang mengakibatkan ekstravasasi cairan infus ke klavicula dan embolisasi pada ujung kateter di atrium kanan atau arteri pulmonaris. Kateter yang terjepit dapat didiagnosa dengan roentgen thorax, dapat mengkonfirmasi distorsi, flattening atau kateter yang patah yang melewati antara klavikula dan tulang costa pertama (Sauerland C,et al, 2006).
2.8 Pencegahan ekstravasasi
Ekstravasasi obat vesican dapat dicegah dalam beberapa kejadian. Semua tenaga medis yang memberikan obat kemoterapi atau mengawasi pasien yang mendapatkan kemoterapi, seharusnya mendapatkan pelatihan, pengetahuan dan ketrampilan mengenai kemoterapi. Edukasi memberikan pengertian mengenai kemoterapi, informasi mengenai obat yang spesifik yang memfokuskan pelatihan pada pasien. Kompetensi yang harus dikuasai oleh tenaga medis antara lain identifikasi resiko, pencegahan dan managemen ekstravasasi dan penggunaan peralatan intra vena yang sesuai (Polovich M,et al, 2005)
Perawat, dokter dan farmasi bekerja sama dalam implementasi sistem untuj mengurangi resiko ekstravasasi obat golongan vesican. Oleh karena itu, farmasi dapat memberikan label pada obat vesican dengan tulisan tebal dan sumber katalog klinis (seperti kebijakan, informasi obat, management curiga ekstravasasi). Pemberian infus obat vesican yang kurang dari 60 menit dapat diberikan melalui intravena perifer tetapi perawat harus observasi lokasi infus dan daerah sekitarnya selama pemberian infus tersebut, konfirmasi patensi intravena kateter (tidak ada edema atau eritema baru) dan menanyakan pasien mengenai nyeri lokal atau perubahan sensasi. Agen vesican tidak boleh diberikan lebih dari 1 jam melalu intravena perifer (Polovich M,et al, 2005).
Keadaan yang optimal, perawat memulai pemasangan infus kurang dari 24 jam dan seharusnya mengkonfirmasi adanya aliran darah balik sebelum pemberiaan obat vesican (Hadaway, 2004). Intravena perifer harus dilakukan pada daerah dengan sirkulasi baik (arteri, vena dan limfe), tidak ada gangguan sensoris dan tidak ada gangguan fungsi bilamana terjadi pembedahan atau kesulitan dalam pembedahan paska ekstravasasi. Daerah tangan,
pergelangan tangan dan antekubiti bukan merupakan area yang optimal sebagai tempat akses intravena. Area lengan tangan lebih disukai dan pemilihan area yang lebih proksimal harus lebih selektif bilamana gagal pada percobaan pertama.
Memastikan patensi dari CVC diperlukan sebelum pemberiaan obat vesikan. Tidak adanya aliran darah balik pada CVC berati pemberian infus vesikan harus ditunda sampai penempatan CVC tepat dan dikonfirmasi dengan roentgen thorax atau fluoroscopy. Perawat yang memberikan infus obat vesikan harus memastikan patensi CVC. Kanul yang digunakan untuk intravena perifer dan sentral harus stabil, terlihat dengan jelas dan difiksasi yang memberikan fleksibilitas tanpa mengganggu sambungannya. Pasien dan paramedis harus menghindari tercabutnya peralatan intravena sewaktu pemindahan, perjalanan dan penggantian baju pasien.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian
Pada observasi dari Desember 2014 sampai Mei 2015 didapatkan 20 kasus ekstravasasi dari 1457 pasien yang dilakukan kemoterapi (1.37 %). Mulai bulan Juni 2015 dilakukan labeling pada obat-obat kemoterapi. Label merah untuk obat kemoterapi vesicant, label kuning untuk obat kemoterapi irritant dan label hijau untuk obat kemoterapi non vesicant atau non irritant. Setelah diobservasi selama 6 bulan dari Juni 2015 sampai November 2015 didapatkan hanya 1 kasus ekstravasasi dari 1705 pasien yang dilakukan kemoterapi ( 0.05%).
4.2 Pembahasan
Hasil observasi selama 6 bulan pemberian obat kemoterapi di ruang Sanjiwani one day care terdapat 1457 pasien yang dilakukan kemoterapi, didapatkan 20 kasus ekstravasasi (1.37%).
Hasil observasi selama 6 bulan pemberian obat kemoterapi yang disertai labeling pada obat-obat kemoterapi di ruang Sanjiwani one day care terdapat 1705 pasien yang dilakukan kemoterapi, didapatkan satu kasus ekstravasasi (0.05%).
Proses labeling pada obat kemoterapi memberikan kesadaran pada perawat, apoteker dan dokter terhadap resiko ekstravasasi terutama pemberian obat kemoterapi dengan golongan vesikan. Pemberian labeling dapat diterapkan dalam pemberian obat kemoterapi karena memberikan dampak yang positif pada tenaga medis yaitu berhati-hati dalam menangani obat kemoterapi dan dalam pemberian obat kemoterapi. Dampak lain pada pasien yaitu memberikan kewaspadaan bilamana terjadi rasa nyeri, terbakar atau perubahan sensasi, pasien segera melaporkan pada perawat atau dokter untuk segera menghentikan pemberian obat kemoterapi.
Daftar Pustaka
Dorr RT,et al, 1990. Antidotes to vesicant chemotherapy extravasations.. Blood Rev, Volume 4, pp. 41-60.
Dorr RT,et al, 1999. High levels doxorubicin in the tissues of a patient experiencing extravasation during a 4-day infusion. Cancer, Volume 64, pp. 2462-64.
Dorr RT, 1993. Pharmacologic management of vesicant chemotherapy extravasations. In: V.
H. D. Dorr RT, ed. Cancer Chemotherapy Handbook. s.l.:Appleton & Lange, pp. 109-18.
Ener RA,et al, 2004. Extravasation of systemic hemato-oncological therapies. Annals of Oncology, Issue 15, pp. 858-62.
Hackert T,et al, 2000. Intrapulmonal dislocation of a totally implantable venous access device. World Journal of Surgical Oncology, 3(19), pp. 1-6.
Hadaway LC, 2004. Preventing and managing peripheral ekstavasation. Nursing, 34(5), pp.
66-67.
Hadaway, L., 2004. Preventing and managing peripheral extravasation. Nursing, 34(5), pp.
66-7.
Kennedy JG,et al, 2003. Vesicant characteristics of oxaliptalin following antecubital extravasation. Clinical Oncology, Volume 21, pp. 237-39.
Langer SW,et al, 2000. Treatment of anthracycline extravasation with dexrazoxane. Clinical Cancer Research, Volume 6, p. 3680.
Luke F, 2005. Mitoxantrone-induced extravasasion. Oncology Nursing Forum, Volume 32, pp. 27-29.
Polovich M,et al, 2005. Chemotheraphy and biotheraphy guidelines and recommendations for practice. 2nd ed. Pittsburgh: Oncology Nursing Society.
Sauerland C,et al, 2006. Vesican extravasation part I:mechanisms, pathogenesis and nursing care to reduce risk. Oncology Nursing Forum, 33(6), pp. 1134-41.
Schummer W,et al, 2005. Extravasation injury in the perioperative setting. Anesthesia and Analgesia, Volume 100, pp. 722-27.
Vargel I,et al, 2002. Effects of growth factors on doxorubicin-induced skin
necrosis:Documentation of histomorphological alterations and early treatment by GM-CSF and G-CSF. Annals of Plastic Surgery, Volume 49, pp. 646-53.