• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRINING FITOKIMIA EKSTRAK METANOL KULIT PISANG. SUSU MERAH (Musa acuminata L. red dacca) KARYA TULIS ILMIAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "SKRINING FITOKIMIA EKSTRAK METANOL KULIT PISANG. SUSU MERAH (Musa acuminata L. red dacca) KARYA TULIS ILMIAH"

Copied!
64
0
0

Teks penuh

(1)

KARYA TULIS ILMIAH

Disusun guna mencapai gelar Ahli Madya Farmasi

Di susun Oleh

NAMA : YULIANUS LODAN

NIM : 244817042

PROGRAM STUDI D-III FARMASI

AKADEMI FARMASI SANTO FRANSISKUS XAVERIUS MAUMERE

2021

(2)

i

SKRINING FITOKIMIA EKSTRAK METANOL KULIT PISANG SUSU MERAH (Musa acuminata L. red dacca)

Yulianus Lodan1, Nelly Kurniawati2, Maria Dua Ona Keban3 Abstrak

Tanaman pisang belum memiliki acuan infomasi yang lengkap dari segi fitokimia maupun segi farmakologi. Selain itu, bagian tanaman pisang yang paling sering dimanfaatkan saat ini masih terbatas pada buahnya, sedangkan bagian lain seperti bagian kulit buah, batang, daun, akar, dan pelepah pisang masih dianggap sebagai limbah dan pengolahan lebih lanjut dari bagian tersebut masih sangat sedikit. Pisang susu merah (Musa acuminata L. red dacca) adalah salah satu jenis pisang yang tumbuh di Kabupaten Sikka dan belum pernah dilakukan skrining fitokimia pada kulitnya. Berdasarkan uraian diatas peneliti tertarik untuk mengetahui kandungan fitokimia dari kulit pisang susu merah dan mengetahui apakah kandungan kulit pisang susu merah sama kulit pisang lainya.

Penelitian ini merupakan jenis penelitian eksperimental dengan rancangan penelitian pre-experimental. Treatment dalam penelitian ini diberikan pereaksi pada ekstrak metanol kulit pisang merah. Observasi yang dilakukan dalam penelitian ini untuk melihat perubahan warna, endapan dan buih atau busa dalam ekstrak kulit pisang susu merah (Musa acuminata L. red dacca). Sampel pada penelitian ini adalah kulit pisang susu merah yang matang dan masi segar, selanjutnya dikeringkan dan dibuat menjadi serbuk kasar. Sampel dimaserasi selama 3 hari menggunakan pelarut metanol. Kemudian dilakukan uji fitokimia untuk mengetahui adanya flavonoid, alkaloid, steroid, tanin, saponin dan triterpenoid. Analisis data yang digunakan adalah deskriptif kualitatif.

Hasil uji fitokimia kulit pisang susu merah menunjukkan adanya kandungan bahan aktif flavonoid, tanin, terpenoid. Sedangkan uji akaloid, saponin dan steroid hasilnya negatif. Bagi peneliti selanjutnya disarankan agar dilakukan uji fitokimia pada kulit pisang susu merah atau analisis kandungan senyawa kimia secara kromatografi lapis tipis pada kulit pisang susu merah.

Kata kunci : Kulit pisang susu merah (Musa acuminata L. red dacca), skrining fitokimia, Uji alkaloid, flavanoid, saponin, tanin, terpenoid dan steroid.

1 Mahasiswa Program Studi D-III Akademi Farmasi Santo Fransiskus Xaverius

2 Dosen akademi Farmasi Santo Fransiskus Xaverius

3 Dosen akademi Farmasi Santo Fransiskus Xaverius

(3)

ii

PHYTOCHEMICAL SCREENING METHANOL EXTRACT RED MILK BANANA LEATHER (Musa acuminata L. red dacca)

Yulianus Lodan1, Nelly Kurniawati2, Maria Dua Ona Keban3 Abstract

Banana plants do not have complete reference information from phytochemical and pharmacological aspects. In addition, the parts of the banana plant that are most often used today are still limited to the fruit, while other parts such as the skin of the fruit, stems, leaves, roots, and stem of banana bunch are still considered as waste and there is very little further processing of these parts.

Red milk banana (Musa acuminata L. red dacca) is a type of banana that grows in Sikka district and has never been phytochemicals screening on its skin. Based on the description above, the researchers are interested in knowing the phytochemical content of red milk banana peels and knowing whether the content of red milk banana peels is the same as other banana peels.

This research is an experimental research with pre-experimental research design. The treatment in this study was given a reagent in the methanol extract of red banana peels. Observations made in this study were to see changes in color, sediment and foam or foam in the extract of red milk banana skin (Musa acuminata L. red dacca). The samples in this study were ripe and fresh red milk banana peels, then dried and made into coarse powder. The simplicials were macerated for 3 days using methanol as solvent. then a phytochemical test was performed to determine the presence of flavonoids, alkaloids, steroids, tannins, saponins and triterpenoids. Phytochemical screening test of methanol extract of red milk banana peel showed that there were active ingredients contest such as flavonoids, tannins, terpenoids, while the alchaloid, saponin and steroid tests were negative. The data analysis used was descriptive qualitative.

Phytochemical test results of red milk banana skin showed that the active ingredients contained flavonoids, tannins, terpenoids. meanwhile the achaloid, saponin and steroid tests were negative. For further researchers, it is recommended that phytochemical tests be carried out on the skin of red milk bananas or analysis of chemical compounds by thin layer chromatography on the skin of red milk bananas.

Key words: Red Milk Banana Skin (Musa acuminata L. red dacca), Phytochemical Screening, Alkaloid Test, Flavonoids, Saponins, Tannins, Terpenoids And Steroids.

1Students Of Pharmacy Diploma Study Program, Academy Of Pharmacy St. F. X

2Lecturer Of Academy Pharmacy, Santo Fransiskus Xaverius

3Lecturer Of Academy Pharmacy, Santo Fransiskus Xaverius

(4)

iii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...

MOTTO ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

HALAMAN PERNYATAAN ... iii

ABSTRAK ... iv

ABSTRACT ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar belakang ... 1

1.2.Rumusan masalah... 4

1.3.Tujuan penelitian ... 4

1.4.Manfaat penelitian ... 5

1.5.Ruang lingkup ... 6

1.6.Keaslian penelitian ... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Uraian tanaman pisang susu merah ... 8

2.2.Senyawa fitokimia ... 9

2.3.Skrining fitokimia ... 18

2.4.Simplisia ... 19

2.5.Ekstraksi ... 23

2.6.Ekstrak ... 26

2.7.Pelarut ... 26

2.8.Kerangka teori ... 28

BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Jenis penelitian ... 29

3.2. Waktu dan Tempat penelitian ... 29

(5)

iv

3.3. Populasi dan sampel ... 30

3.4. Teknik pengambilan sampel ... 30

3.5. Variabel penelitian ... 31

3.6. Definisi operasional ... 32

3.7. Instrumen penelitian ... 33

3.8. Prosedur penelitian ... 35

3.9. Penentuan besar sampel ... 38

3.10 Penyajian data ... 39

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1.Hasil penelitian ... 40

4.2.Pembahasan ... 40

BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan ... 45

5.2. Saran ... 45

DAFTAR PUSTAKA ... 46

LAMPIRAN ... 49

(6)

v

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Buah pisang susu merah ... 8

Gambar 4.1 Reaksi alkaloid dengan pereaksi Dragendrof ... 41

Gambar 4.2 Reaksi uji tanin dengan FeCl3 ... 42

Gambar 4.3 Reaksi hidrolisis saponin dengan air ... 43

Gambar 4.3 Reaksi flavanoid dengan HCl + logam Mg ... 44

(7)

vi

DARTAR TABEL

Tabel 3.6 Definisi Operasional ... 32

Tabel 3.7 Instrumen Penelitian Alat dan Bahan... 33

Tabel 4.1 Hasil Penelitian ... 40

(8)

vii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Perhitungan Bahan ... 49

Lampiran 2 Skema Kerja ... 50

Lampiran 3 Dokumentasi Penelitian ... 52

Lampiran 4 Surat Ijin Penelitian ... 55

(9)

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

Indonesia memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi, sehingga disebut dengan negara megabiodiversitas. Salah satu tanaman yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi adalah pisang. Pisang merupakan tanaman tropis yang berasal dari Asia Tenggara termasuk Indonesia dalam family Musaceae (Nurhasanah, 2017: 1)

Hampir seluruh jenis pisang yang dapat dimakan berasal dari dua jenis pisang yang liar, yaitu Musa acuminata dan Musa balbisiana. Musa acuminata pertama kali didomestikasi di dataran rendah di area timur Indonesia dan Papua Nugini, 5000 SM. Pisang-pisang tersebut kemudian mengalami hibridisasi dengan spesies Musa acuminata dan Musa balbisiana dari daerah di Asia Tenggara dan Malanesia, menghasilkan beragam kultivar diploid dan tripoloid yang dapat ditemukan saat ini (Dwivany & Nurrahmah, 2017: 1).

Pisang dibagi menjadi empat kelompok berdasarkan jenis dan pemanfaatan yaitu pertama pisang yang dimakan buahnya tanpa masak seperti Musa paradisiaca var sapientum, Musa nana atau disebut juga Musa canvendishii, Musa sinensis misalnya pisang ambon, susu, raja, cavendis, barangan dan mas.

Kedua, Musa Pardisiaca formatypiaca atau disebut juga dengan Musa paradisiaca normalis yaitu pisang nangka, pisang tanduk, dan pisang kepok.

Ketiga pisang berbiji yaitu Musa brachycarpa yang di Indonesia dimanfaatkan daunya misalnya pisang batu dan pisang klutuk. Keempat, pisang yang diambil

(10)

2

seratnya seperti pisang manila (abaca) (Menegristek, 2000: 1-2).

Tanaman pisang belum memiliki acuan infomasi yang lengkap dari segi fitokimia maupun segi farmakologi. Selain itu, bagian tanaman pisang yang paling sering dimanfaatkan saat ini masih terbatas pada buahnya, sedangkan bagian lain seperti bagian kulit buah, batang, daun, akar, dan pelepah pisang masih dianggap sebagai limbah dan pengolahan lebih lanjut dari bagian tersebut masih sangat sedikit (Pane, 2013:76-77).

Penelitian yang dilakukan oleh Jami’ah et.al., (2018: 34) yang menguji aktivitas senyawa antioksidan dari ekstrak metanol kulit pisang raja (Musa paradisiaca sapientum) yang dilakukan dengan cara maserasi dengan menggunakan pelarut metanol menyatakan bahwa fraksi metanol kulit pisang raja (Musa paradisiaca sapientum) menunjukkan positif flavonoid dan fraksi etil asetat memiliki aktivitas antioksidan yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan ekstrak metanol dan fraksi n-heksan.

Berdasarkan uji fitokimia yang telah dilakukan dengan menggunakan kulit pisang kepok. Kulit pisang kepok mengandung flavanoid, alkaloid, tanin atau polifenol, saponin dan triterpenoid. Berdasarkan hasil kaji literatur diketahui bahwa kandungan yang terdapat pada kulit pisang kepok dapat memberi pengaruh terhadap serangga (Lumowa & Bardin, 2018: 469).

Penapisan fitokimia dilakukan apabila ekstrak dari tumbuhan yang kita peroleh belum diketahui kandungan kimianya. Penapisan fitokimia ditujukan untuk mengetahui kandungan senyawa atau golongan senyawa dalam suatu tanaman atau ekstrak tanaman. Langkah pertama dalam melakukan penapisan

(11)

fitokimia adalah pembuatan ekstrak kemudiaan dilakukan penelitiaan golongan kandungan dengan cara reaksi warna, reaksi endapan atau dengan cara reaksi kromatografi lapis tipis. Pada proses ekstraksi digunakan pelarut yang dapat melarutkan semua zat yang ada dalam tumbuhan tersebut, etanol atau metanol 80

% (Ningsih et. al., 2016: 9).

Skrining fitokimia dari simplisia tanaman antara lain untuk menguji senyawa flavonoid, terpenoid/triterpenoid, alkaloid, steroid, saponin, tannin (Gultom &

Siagian, 2019: 9).

Metode yang digunakan pada skrining fitokimia seharusnya memenuhi beberapa kriteria yaitu sederhana, cepat, hanya membutuhkan peralatan sederhana, khas untuk satu golongan sederhana, memiliki batas deteksi yang cukup lebar dapat mendeteksi keberadaan senyawa meski dalam konsentrasi yang cukup lebih kecil (Kristianti et.al.,2008: 47).

Ekstraksi merupakan salah satu teknik pemisahan kimia untuk memisahkan atau menarik satu atau lebih komponan atau senyawa-senyawa (analit) dari suatu sampel dengan menggunakan pelarut tertentu yang sesuai. Ekstraksi padat-cair atau leaching merupakan proses transfer secara difusi analit dari sampel yang berwujud padat kedalam pelarutnya. Ekstraksi dari sampel padatan dapat dilakukan jika analit yang diinginkan dapat larut dalam pelarut pengekstraksi.

Pada ekstraksi ini prinsip pemisahan didasarkan pada kemampuan atau daya larut analit dalam pelarut tertentu. Dengan demikian pelarut yang digunakan harus mampu menarik komponen analit dari sampel secara maksimal (Leba, 2017: 1-2).

Ekstrak adalah sediaan kering, kental atau cair dibuat penyari simplisia nabati

(12)

4

atau hewani menurut cara yang cocok, diluar pengaruh cahaya matahari langsung.

Ekstrak kering harus mudah digerus menjadi serbuk (Kemenkes, RI. 1976: 9) Pelarut metanol merupakan pelarut yang banyak digunakan untuk ekstraksi senyawa-senyawa organik, karena metanol dapat mengikat senyawa yang bersifat polar, non polar dan semi polar (Pane, 2013: 76).

Pisang susu merah (Musa acuminata L. red dacca) adalah salah satu jenis pisang yang tumbuh di kabupaten Sikka dan belum pernah dilakukan skrining fitokimia pada kulitnya.

Berdasarkan uraian diatas peneliti tertarik untuk mengetahui kandungan fitokimia dari kulit pisang susu merah (Musa acuminata L. red dacca) Judul penelitian ini adalah “Skrining Fitokimia Ekstrak Metanol Kulit Pisang Susu Merah (Musa acuminata L. red dacca)“Penelitian ini dilaksanakan untuk memenuhi tugas akhir Karya Tulis Ilmia (KTI) Akademi Farmasi Santo Fransiskus Xaverius Maumere.

1.2 Rumusan Masalah

Apa saja kandungan senyawa dari kulit pisang susu merah (Musa acuminata L. red dacca)?

1.3 Tujuan

1.3.1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui kandungan senyawa pada kulit pisang susu merah (Musa acuminata L. red dacca).

(13)

1.3.2. Tujuan Khusus

a) Untuk mengetahui kandungan senyawa pada kulit pisang susu merah (Musa acuminata L. red dacca).

b) Mengetahui apakah kandungan senyawa pada kulit pisang susu merah (Musa acuminata L. red dacca) sama dengan kulit pisang lainnya.

1.4 Manfaat

1.4.1 Manfaat Teoritis

Penelitian ini dapat memberikan informasi ilmiah tentang kandungan senyawa di dalam kulit pisang susu merah (Musa acuminata L. red dacca).

1.4.2 Manfaat praktis a) Bagi Laboratorium

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada mahasiswa/ mahasiswi yang dapat dijadikan sebagai literatur di laboratorium saat praktikum.

b) Manfaat Bagi Instansi Akademi

Dapat digunakan sebagai salah satu sumber informasi pembelajaran tentang skrining fitokimia ekstrak metanol kulit pisang susu merah ( Musa acuminata L. red dacca)

c) Bagi Peneliti Selanjutnya.

Dapat dijadikan bahan pembanding dan pelengkap untuk peneliti selanjutnya.

(14)

6

1.5 Ruang Lingkup

1.5.1 Ruang Lingkup Materi

Ruang lingkup materi KTI ini adalah skrining fitokimia ekstrak metanol kulit pisang susu merah (Musa acuminata L. red dacca) yang diambil dari Habibola, Kecamatan Doreng, Kabupaten Sikka.

1.5.2 Ruang Lingkup Waktu

Penelitian ini di laksanakan pada tanggal 1-26 Februari 2021 1.5.3 Ruang Lingkup Tempat

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Fitokimia Akademi Farmasi Santo Fransiskus Xaverius Maumere.

1.6 Keaslian penelitian

Penelitian mengenai identifikasi kandungan kimia kulit pisang susu merah (Musa acuminata L. red dacca) belum pernah dilaksanakan sebelumnya. Berikut beberapa penelitian yang berhubungan dengan penelitian ini:

1. Menurut Elfira Rosa Pane (2013). Judul uji aktifitas senyawa antioksidan dari ekstrak metanol dari kulit pisang raja (Musa paradisiaca sapientum).

Menggunakan metode ekstraksi dan fraksinasi senyawa antioksidan uji aktifitas antioksidan ekstrak metanol fraksi n-heksan dan etil asetat metode FTC (Someya. S et al.,2002 ). Hasil uji kulit pisang raja mengandung flavanoid, saponin.

2. Menurut Sonja V.T. Lumowa (2017). Judul uji aktifitas senyawa antioksidan dari ekstrak metanol dari kulit pisang raja ( musa paradisiaca sapientum ). Metode yang digunakan ekstraksi dan maserasi dan uji Fitokimia

(15)

dilakukan dengan mengunakan pereaksi pendekteksi golongan pada tabung reaksi pisang kepok. Mengandung flavonoid, alkaloid, tanin /polifenol.

3. Menurut Tria Wulan Purnamei (2017). Judul uji aktivitas ekstrak etanol kulit buah pisang ambon (Musa paradisisca Var. Sapientuim) terhadap bakteri penyebab jerawat propionibakteriumacne dan staphylococcus epidermis. Metode maserasi menggunakan pelarut etanol 96 %. Hasil pertama,

identifikasi komponen kimia fraksi C dari ekstrak n – heksan mengandung senyawa flavanoid, triterpenoid, fenol. Hasil kedua, identifikasi komponen fraksi C dari esktrak etil asetat hasil esktrak etil asetat hasil mengandung alkaloid, flavanoid, steroid, khumarin.

(16)

8 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Tanaman

2.1.1 Klasifikasi Pisang Susu Merah (Musa acuminata L. red dacca) Kingdom : Plantae

Sub Kingdom : Thacheobionata Divisio : Spermatophyta Classis : Liliopsida Sub Classis : Zingiberidae Ordo : Zingiberales

Famili : Musaceae

Genus : Musa

Spesies : M.acuminata

Gambar 2.1 Buah pisang susu merah (Wibowo, Ismayadi & Wati,2020: 100)

(17)

2.1.2 Nama Daerah

Pisang merah (Indonesia), mu,u merah (Maumere), muko ape (Adonara), muku laka (Palue)

2.1.3 Morfologi

Karakter morfologi pisangMusa acuminata L. red dacca(pisang susu merah) Semak atau pohon, kerapkali dengan batang semu yang terdiri dari pelepah daun. Daun 2 baris atau dalam spriral, dengan pelepah yang tumbuh sempurna, bertulang daun menyirip, dengan tulang daun menyirip, dengan tulang lateral yang banyak dan sejajar. Karangan bunga berbunga banyak. Masing- masing bunga zygomorph, berkelamin 2 atau 1, kadang-kadang tidak berkelamin.

Daun tenda bunga hampir selalu 5, kepalah sari 2 ruang. Bakal buah tengelam, beruang 3, ruang berbakal biji-banyak. Buah buni atau buah kotak, bentuk kulta banyak tanpa biji (Steenis, 2003: 153).

2.2 SENYAWA FITOKIMIA 2.2.1 Terpenoid

Terpenoid adalah suatu senyawa alam yang terbentuk dengan proses biosintesis, terdistribusi luas dalam dunia tumbuhan dan hewan. Terpenoid ditemui tidak saja pada tumbuhan tingkat tinggi, namun juga pada terumbu karang dan mikroba. Struktur terpenoid dibangun oleh molekul isoprena, kerangka terpenoid terbentuk dari dua atau lebih banyak satuan unit isoprena. Terpenoid terdiri atas beberapa macam senyawa, mulai dari komponen minyak atsiri, yaitu monoterpen dan seskuiterpen yang mudah menguap, diterpen yang lebih sukar menguap, sampai ke senyawa yang tidak menguap, triterpenoid dan sterol serta

(18)

10

pigmen karotenoid. Masing-masing golongan terpenoid itu penting, baik pada pertumbuhan dan metabolisme maupun pada ekologi tumbuhan.

Secara kimia, terpenoid umumnya larut dalam lemak dan terdapat di dalam sitoplasma sel tumbuhan. Kadang-kadang minyak atsiri terdapat di dalam sel kelenjar khusus pada permukaan daun, sedangkan karotenoid terutama berhubungan dengan kloroplas didalam daun bunga. Biasanya terpenoid diekstraksi dari jaringan tanaman dengan memakai eter minyak bumi, eter atau kloroform dan dapat dipisahkan secara kromatografi pada silika gel atau alumina memakai pelarut di atas. Tetapi, sering kali ada kesukaran sewaktu mendeteksi dalam skala mikro karena semuanya (kecuali karotenoid) tidak berwarna dan tidak ada pereaksi kromogenik semesta yang peka. Senyawa terpenoid berkisar dari senyawa volatil, yakni komponen minyak atsiri, yang merupakan mono dan seskuiterpen, senyawa yang kurang volatil, yakni diterpen, sampai senyawa nonvolatil seperti triterpenoid dan sterol serta pigmen karotenoid.

Baik pada tumbuhan ataupun hewan yang menjadi senyawa dasar untuk biosintesis terpenoid adalah isopentenil pirofosfat.

Sesuai dengan strukturnya, terpenoid pada umumnya merupakan senyawa yang larut dalam lipid, senyawa ini berada pada sitoplasma sel tumbuhan. Minyak atsiri adakalanya terdapat pada sel kelenjar khusus yang berada pada permukaan, sedangkan karotenoid berasosiasi dengan kloroplas pada daun dan dengan kromoplas pada tajuk bunga (Endarini, 2016: 137)

(19)

2.2.2 Steroid

Steroid adalah kelompok senyawa bahan alam yang kebanyakan strukturnya terdiri atas 17 karbon dengan membentuk struktur 1,2- siklo pentenoper hidrofenantren. Steroid terdiri atas beberapa kelompok senyawa yang pengelompokannya didasarkan pada efek fisiologis yang dapat ditimbulkan.

Ditinjau dari segi struktur, perbedaan antara berbagai kelompok ini ditentukan oleh jenis substituent R1, R2, dan R3 yang terikat pada kerangka dasar sedangkan perbedaan antara senyawa yang satu dengan senyawa yang lain dari satu kelompok ditentukan oleh panjangnya rantai karbon substituent, gugus fungsi yang terdapat pada substituent, jumlah dan posisi gugus fungsi oksigen dan ikatan rangkap pada kerangka dasar serta konfigurasi pusat asimetris pada kerangka dasar. Kelompok-kelompok tersebut antara lain adalah: Sterol Sebenarnya nama sterol dipakai khusus untuk steroid yang memiliki gugus hidroksi, tetapi karena praktis semua steroid tumbuhan berupa alkohol dengan gugus hidroksi pada posisi C-3, maka semuanya disebut sterol. Selain dalam bentuk bebasnya, sterol juga sering dijumpai sebagai glikosida atau sebagai ester dengan asam lemak.

Glikosida sterol sering disebut sterolin. Aglikon kardiak dan bentuk glikosidanya yang lebih dikenal dengan glikosida jantung atau kardenolida. Tumbuhan yang mengandung senyawa ini telah digunakan sejak zaman prasejarah sebagai racun.

Glikosida ini mempunyai efek kardiotonik yang khas. Keberadaan senyawa ini dalam tumbuhan mungkin memberi perlindungan kepada tumbuhan dari gangguan beberapa serangga tertentu (Endarini, 2016:161)

(20)

12

2.2.3 Saponin

Saponin adalah senyawa yang dapat menimbulkan busa jika dikocok dalam air (karena sifatnya yang menyerupai sabun, maka dinamakan saponin). Pada konsentrasi yang rendah, saponin dapat menyebabkan hemolisis sel darah merah.

Dalam bentuk larutan yang sangat encer, saponin sangat beracun (Endarini, 2016:

116)

2.2.4 Tanin

Di dalam tanaman, letak tanin terpisah dari protein dan enzimsitoplasma, tetapi bila jaringan rusak, misalnya bila hewan memakannya, maker eaksi penyam akan dapat terjadi. Reaksi ini menyebabkan protein lebih sukar dicerna oleh cairan pencernaan hewan. Pada kenyataannya, sebagian besar tanaman yang banyak bertanin di hindari oleh hewan pemakan tanaman karena rasanya yang sepat.Kita menganggap salah satu fungsi utama tanin dalam tanaman adalah penolah hewan pemakan tanaman. Secara kimia terdapat dua jenis tanin yang tersebar merata dalam dunia tumbuhan. Tanin-terkondensasi hampir terdapat di semua paku- pakuan dan gymnospermae, serta tersebar luas dalam angiospermae, terutama pada jenis tanaman berkayu. Sebaliknya, tanin yang terhidrolisiskan penyebarannya terbatas pada tanaman berkeping dua; di Inggris hanya terdapat dalam suku yang nisbi sedikit.Tetapi, kedua jenis tanin itu dijumpai bersamaan dalam tumbuhan yang sama seperti yang terjadi pada kulit daun ek, Quercus.

Tanin terkondensasi atau flavolan secara biosintesis dapat dianggap terbentuk dengan cara kondensasi katekin tunggal (atau galokatekin) yang membentuk senyawa dimer dan kemudian oligomer yang lebih tinggi. Ikatan karbon

(21)

menghubungkan satu satuan flavon dengan satuan berikutnya melalui ikatan 4-8 atau 6-8. Kebanyakan flavolan mempunyai 2 sampai 20 satuan flavon. Nama lain untuk tanin terkondensasi adalah proantosianidin karena bila direaksikan dengan asam panas, beberapa ikatan karbon-karbon penghubung satuan terputus dan dibebaskanlah monomer antosianidin. Kebanyakan proantosianidin adalah prosianidin, ini berarti bila direaksikan dengan asam akan menghasilkan sianidin.

Dikenal juga dengan prodelfinidin dan properlargonidin, demikian juga campuran polimer yang menghasilkan sianidin dan delfinidin pada penguraian oleh asam. Tanin terhidrolisiskan terutama terdiri dari dua kelas yang sederhana yaitu depsidagaloil glukosa. Pada senyawa ini, inti yang berupa glukosa dikelilingi oleh lima gugus ester(Harbone, 1987: 102-104)

Tanin dikelompokkan menjadi dua bentuk senyawa yaitu:

1. Tanin Terhidrolisis

Tanin dalam bentuk ini adalah tanin yang terhidrolisis oleh asam atau enzim menghasilkan asam galat dan asam elagat. Secara kimia, tanin terhidrolisis dapat merupakan ester atau asam fenolat. Asam galat dapat ditemukan dalam cengkeh sedangkan asam elagat ditemukan dalam daun Eucalyptus. Senyawa tanin bila direaksikan dengan feriklorida akan menghasilkan perubahan warna menjadi biru atau hitam.

2. Tanin terkondensasi

Tanin jenis ini resisten terhadap reaksi hidrolisis dan biasanya diturunkan dari senyawa flavonol, katekin, dan flavan3,4- dipol. Pada penambahan asam atau enzim, senyawa tanin akan terdekomposisi menjadi plobapen. Pada proses

(22)

14

destilasi, taninterkondensasi berubah menjadi katekol, oleh karenanya sering disebut sebagai tanin katekol. Tanin jenis ini dapat ditemukan dalam kayu pohon kina dan daun teh. Tanin terkondensasiakan menghasilkan senyawa berwarna hijau ketika ditambahkan dengan feriklorida (Julianto, 2019: 40-42) 2.2.5 Flavonoid

Flavonoid adalah suatu kelompok senyawa fenol yang terbesar yang ditemukan di alam. Banyaknya senyawa flavonoid ini bukan disebabkan karena banyaknya variasi struktur, akan tetapi lebih disebabkan oleh berbagai tingkat hidroksilasi, alkoksilasi atau glikoksilasi pada struktur tersebut. Flavonoid di alam juga sering dijumpai dalam bentuk glikosidanya. Senyawa-senyawa ini merupakan zat warna merah, ungu, biru dan sebagian zat warna kuning yang terdapat dalam tanaman. Sebagai pigmen bunga, flavonoid jelas berperan dalam menarik serangga untuk membantu proses penyerbukan. Beberapa kemungkinan fungsi flavonoid yang lain bagi tumbuhan adalah sebagai zat pengatur tumbuh, pengatur proses fotosintesis, zat antimikroba, antivirus dan anti insektisida.

Beberapa flavonoid sengaja dihasilkan oleh jaringan tumbuhan sebagai respon terhadap infeksi atau luka yang kemudian berfungsi menghambat fungsi menyerangnya.

Telah banyak flavonoid yang diketahui memberikan efek fisiologis tertentu.

Oleh karena itu, tumbuhan yang mengandung flavonoid banyak dipakai dalam pengobatan tradisional. Penelitian masih terus dilakukan untuk mengetahui berbagai manfaat yang bisa diperoleh dari senyawa flavonoid.

(23)

Berdasarkan strukturnya, terdapat beberapa jenis flavonoid yang bergantung pada tingkat oksidasi rantai propan, yaitu kalkon, flavan, flavanol (katekin), flavanon, flavanonol, flavon, flavanon, antosianidin, auron.

Katekin merupakan senyawa yang mempunyai banyak kesamaan dengan proantosianidin. Katekin mempunyai aktivitas antioksidan yang tinggi.

Roantosianidin, menurut definisi adalah senyawa yang membentuk antosianidin (jika dipanaskan dengan asam). Jika proantosianidin diperlakukan dengan asam dingin akan menghasilkan polimer yang menyerupai tanin.

Flavanon (dihidroflavon) dan flavanol (dihidroflavonol) tersebar di alam dalam jumlah yang terbatas. Keduanya merupakan senyawa yang berwarna atau sedikit kuning. Flavon dan flavonol merupakan flavonoid utama karena termasuk jenis flavonoid yang banyak dijumpai di alam.

Antosianidin merupakan flavonoid utama karena termasuk jenis flavonoid yang banyak dijumpai di alam, terutama dalam bentuk glikosidanya, yang dinamakan antisianin. Antosianin adalah pigmen daun dan bunga dari yang berwarna merah hingga biru. Pada pH<2, antosianin berada dalam bentuk kation (ion flavilium), tetapi pada pH yang sedikit asam, bentuk kuinonoid yang terbentuk. Bentuk ini dioksidasi dengan cepat oleh udara dan rusak, oleh karena itu pengerjaan terhadap antosianin aman dilakukan dalam larutan yang asam.

Calkon dan dihidrocalkon tersebar di alam dalam jumlah yang terbatas. Auron, tersebar di alam dalam jumlah yang terbatas. Auron memiliki kerangka benzalkumaranon.

(24)

16

Auron mempunyai pigmen kuning emas yang terdapat dalam bunga tertentu dan bryophita. Banyak dijumpai dalam bentuk glikosida atau eter metil. Senyawa- senyawa isoflavonoid dan neoflavonoid hanya ditemukan dalam beberapa jenis tumbuhan. Isoflavonoid penting sebagai fitoaleksin. Yang termasuk isoflavonoid adalah isoflavon, rotenoid, pterokarpan dan kumestan sedangkan neoflavonoid meliputi 4- arilkumarin dan dalbergion (Endarini, 2016 : 118).

2.2.6 Alkaloid

Alkaloid adalah suatu golongan senyawa organik yang terbanyak ditemukan di alam. Hampir seluruh alkaloid berasal dari tumbuh-tumbuhan dan tersebar luas dalam berbagai jenis tumbuhan. Ciri khas alkaloid adalah bahwa semua alkaloid mengandung paling sedikit satu atom N yang bersifat basa dan pada umumnya merupakan bagian dari cincin heterosiklik (batasan ini tidak terlalu tepat karena banyak senyawa heterosiklik nitrogen lain yang ditemukan di alam yang bukan tergolong alkaloid). Sampai saat ini lebih dari 5000 alkaloid yang telah ditemukan dan hampir semua alkaloid yang ditemukan di alam mempunyai keaktifan fisiologis tertentu. Alkaloid dapat ditemukan dalam berbagai bagian tumbuhan tetapi sering kali kadar alkaloid dalam jaringan tumbuhan ini kurang dari 1%.

Penetapan struktur alkaloid juga memakan banyak waktu karena kerumitannya, di samping mudahnya molekul mengalami reaksi penataan ulang.

Alkaloid dapat dipisahkan dari sebagian besar komponen tumbuhan yang lain berdasarkan sifat basanya. Oleh karena itu, senyawa golongan ini sering diisolasi dalam bentuk garamnya dengan asam klorida atau asam sulfat. Garam ini atau alkaloid bebasnya berbentuk padat membentuk kristal yang tidak berwarna.

(25)

Banyak alkaloid yang bersifat optis aktif dan biasanya hanya satu isomer optik yang dijumpai di alam, meskipun dikenal juga campuran rasemat alkaloid.

Senyawa golongan alkaloid diklasifikasikan menurut jenis cincin heterosklik nitrogen yang merupakan bagian dari struktur molekul. Menurut klasifikasi tersebut, maka alkaloid dapat dibedakan atas beberapa jenis yaitu alkaloid pirolidin, alkaloid piperidin, alkaloid isokuinolin, alkaloid indol, alkaloid piridin dan alkaloid tropana. Cara lain untuk mengklasifikasikan alkaloid adalah klasifikasi yang didasarkan pada jenis tumbuhan dari mana alkaloid ditemukan.

Hanya saja kelemahannya adalah bahwa suatu alkaloid tertentu tidak hanya ditentukan pada satu keluarga tumbuhan tertentu itu saja. Disamping itu, beberapa alkaloid yang berasal dari suatu tumbuhan tertentu dapat memiliki struktur yang berbeda.

Alkaloid dapat diklasifikasikan berdasarkan asal-usul biogenetik. Cara ini merupakan perluasan dari klasifikasi yang didasarkan pada jenis cincin heterosiklik dan sekaligus mengaitkannya dengan konsep biogenesis.

Penelitian-penelitian tentang biosintesis alkaloid menunjukkan bahwa alkaloid berasal dari hanya beberapa asal, alfa amino saja. Beradasarkan hal tersebut maka alkaloid dibedakan menjadi 3, yaitu:

a. Alkaloid alisiklik, yang berasal dari asam amino ornitin dan lisin

b. Alkaloid aromatik, jenis fenilalanin yang berasal dari fenilalanin, tirosin dan 3,4-dihidroksifenilalanin.

c. Alkaloid aromatik, jenis indol yang berasal dari triptofan.

(26)

18

Seperti golongan senyawa organik bahan alam yang lain, teori biosintesis alkaloid mula-mula hanya didasarkan pada hasil analisis terhadap ciri struktur tertentu yang sama-sama terdapat dalam berbagai molekul alkaloid. Banyak percobaan yang telah dilakukan menunjukkan bahwa asam amino ornitin dan lisin adalah senyawa asal (prekursor) dalam biosintesis alkaloid alisiklik, yaitu alkaloid yang mempunyai cincin pirolidinfan piperidin dalam strukturnya.

Alkaloid aromatik memiliki suatu unit struktur beta ariletilamin. Alkaloid dari jenis benziliso kuinolin mengandung dua unit beta ariletilamin yang saling berkondensasi. Kondensasi tersebut terjadi melalui raksi kondensasi Mannich.

Selanjutnya, asal-usul unit beta ariletilamin yang diperlukan untuk kondensasi tersebut diketahui berasal dari asam amino fenilalanin dan tirosin.

Hampir semua alkaloid indol berasal dari asam amino triptofan. Alkaloid indol yang sederhana terbentuk dari hasil dekarboksilasi senyawa turunan triptofan sedangkan alkaloid indol yang lebih kompleks berasal dari penggabungan turunan asam mevalonat dan triptofan (Endarini, 2016:119-120).

2.3 Skrining Fitokimia

Penapisan fitokimia dilakukan apabila ekstrak dari tumbuhan yang kita peroleh belum diketahui kandungan kimianya. Penapisan fitokimia ditunjukan untuk mengetahui kandungan senyawa atau golongan senyawa dalam suatu tanaman atau ekstrak tanaman. Langkah pertama dalam melakukan penapisan fitokimia adalah pembuatan ekstrak kemudiaan dilakukan penelitiaan golongan kandungan dengan cara reaksi warna, reaksi endapan atau dengan cara reaksi kromatografi lapis tipis. Pada proses ekstraksi digunakan pelarut yang dapat

(27)

melarutkan semua zat yang ada dalam tumbuhan tersebut, etanol atau metanol 80

%.(Ningsih et.al.,2016: 9).

Skriningfitokimiadarisimplisiatanamanantara lain untukmengujisenyawa flavonoid, terpenoid/triterpenoid, alkaloid, steroid, saponin, tanin.

(Gultom&Siagian, 2019: 9).

Metode yang digunakan pada skrining fitokimia seharusnya memenuhi beberapa kriteria yaitu sederhana, cepat, hanya membutuhkan peralatan sederhana, khas untuk satu golongan sederhana, memiliki batas deteksi yang cukup lebar dapat mendeteksi keberadaan senyawa meski dalam konsentrasi yang cukup lebih kecil (Kristianti et.al.,2008: 47).

2.4 Simplisia

Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang belum mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali dikatakan lain, berupa bahan yang telah dikeringkan. (Endarini, 2016: 11).

Jenis-jenis simplisia

1. Simplisia nabati: simplisia yang berupa tumbuhan utuh, bagian tumbuhan atau eksudat tumbuhan. Eksudat adalah isi sel yang isi sel yang secara spontan keluar dari tumbuhan atau isi sel yang dengan cara tertentu dipisahkan dari tumbuhannya dan belum berupa senyawa kimia murni.

2. Simplisia hewani

3. Simplisia pelikan (mineral).

Simplisia yang aman dan berkhasiat adalah simplisia yang tidak mengandung bahaya kimia, mikrobiologi, dan bahaya fisik, serta mengandung zat aktif yang

(28)

20

berkhasiat. Ciri simplisia yang baik adalah dalam kondisi kering (kadar air

<10%). Untuk simplisia daun, bila diremas bergemirisik dan berubah menjadi serpihan atau mudah dipatahkan, ciri lain simplisia buah dan rimpang (irisan) bila diremas mudah dipatakan. Ciri lain simplisia yang baik adalah tidak berjamur, dan berbau khas menyerupai bahan segarnya (Herawati, Nuridah & sumarto, 2012:

10-11). Standarisasi simplisia sebagai mempunyai pengertian bahwa simplisia yang akan digunakan untuk obat sebagai bahan baku harus memenuhi persyaratan yang tercantum dalam monografi terbitan resmi Departemen Kesehatan ( Materia Medika Indonesia). Sedangkan sebagai produk yang langsung dikonsumsi (sebuk jamu dan sebagainya) masih harus memenuhi persyaratan produk yang kefarmasian sesuai dengan peraturan yang berlaku. Standarisasi suatu simplisia tidak lain merupakan pemenuhan terhadap persyaratan sebagai bahan dan penetapan nilai berbagai parameter dari produk seperti yang ditetapkan sebelumnya (Endarini, 2016: 12)

Pada umumnya pembuatan simplisia melalui tahapan sebagai berikut:

1. Pengumpulan bahan baku: kualitas bahan baku simplisia sangat dipengaruhi beberapa faktor, seperti: umur tumbuhan atau bagian tumbuhan pada waktu panen dan lingkungan tempat tumbuh.

2. Sortasi basah: sortasi basah dilakukan untuk memisahkan kotoran-kotoran atau bahan asing setelah dilakukan pencucian dan perajangan.

3. Pencucian: dilakukan untuk menghilangkan tanah dan pengotoran lainya yang melekat pada bahan simplisia. Pencucian dilakukan dengan air bersih.

(29)

4. Perajangan

Beberapa jenis bahan simplisia perlu mengalami proses perajangan, perajangan bahan simplisia dilakukan untuk mempermudah proses pengeringan, pengepakan dan pengilingan. Tanaman yang baru diambil, jangan langsung dirajang tetapi dijemur dalam keadaan utuh selamah 1 hari.

Perajangan dapat dilakukan dengan pisau, dengan alat mesin perajangan khusus sehingga diperoleh irisan tipis atau potongan dengan ukuran yang dikehendaki. Semakin tipis bahan yang akan dikeringkan, semakin cepat penguapan air, sehingga mempercepat waktu pengeringan. Akan tetapi irisan yang terlalu tipis juga dapat mempengaruhi komposisi, bau dan rasa yang diinginkan.

5. Pengeringan

Pengeringan mendapatkan simplisia yang tidak mudah rusak, sehingga dapat disimpan dalam waktu yang lebih lama. Dengan mengurangi kadar air dan menghentikan reaksi enzimatik akan dicegah penurunan mutu atau peruskan simplisia. Pengeringan simplisia dilakukan dengan menggunakan suatu alat pengering. Hal-hal yang perlu diperhatikan selama proses pengeringan adalah suhu pengering, kelembaban udara, aliran udara, waktu pengeringan dan luas permukaan bahan.

6. Sortasi kering

Sortasi setelah pengeringan sebenarnya merupakan tahap akir pembuatan simplisia. Tujuan sortasi untuk memisahkan benda-benda asing seperti bagian- bagian tanaman yang tidak diinginkan dan pengotoran-pengotoran lainnya

(30)

22

yang masih ada dan tertinggal pada simplisia kering. Proses ini dilakukan sebelum simplisia dibungkus untuk kemudian disimpan. Seperti halnya pada sortasi awal, sortasi disini dapat dilakukan dengan secara mekanik.

7. Pengepakan dan penyimpanan.

Simplisia dapat rusak, mundur atau berubah mutuhnya karena berbagai faktor luar dan dalam, anatara lain: cahaya, oksigen udara, reaksi kimia intern, dehidrasi, penyerapan air, pengotoran, serangga, dan kapang. Selama penyimpanan ada kemungkinan terjadi kerusakan simplisia, yaitu cara pengepakan, pembungkusan dan pewadahan, persyaratan gudang simplisia, cara sortasi dan pemeriksaan mutuh, serta cara pengawetannya. penyebab kerusakan pada simplisia yang utama adalah air dan kelebaban.

8. Pemeriksaan mutu

Pemeriksaan mutu simplisia dilakukan pada waktu penerimaan atau pembelianya dari pengumpul atau pedagang simplisia. Simplisia yang diterima harus berupa simplisia murni dan memenuhi persyaratan umum untuk simplisia seperti yang disebutkan dalam buku farmakope indonesia, eksta farmakope Indonesia ataupun Materia Medika Indonesia edisi terakir. Apabila untuk simplisia yang bersangkutan terdapat paparannya dalam salah satu atau tiga buku tersebut, maka simplisia tadi harus memenuhi persyratan yang disebutkan paparannya. Suatu simplisia dapat dinyatakan bermutu, apabila simplisia besangkutan memenuhi persyaratan yang disebutkan dalam buku-buku yang bersangkutan. Pada pemeriksaan mutu simplisia pemeriksaan dilakukan dengan cara organoleptik, mikroskopik dan atau cara kimia. Beberapa jenis simplisia

(31)

tertentuh ada yang perlu diperiksa dengan uji mutu secara biologi (Depkes RI, 1985: 10).

2.5 Ekstraksi

2.5.1 Pengertian Ekstraksi

Ektraksi merupakan prosespemisahan bahan dari campuran dengan menggunakan pelarut yang sesuai. Proses ekstraksi dihentikan ketika sampai keseimbangan antara kosentrasi senyawa dalam pelarut dengan konsentrasi dalam sel tanaman. Pada umumnya zat-zat berkhasiat dalam simpplisia terdapat dalam keadaan tercampur, diperlukan cara penarikan dan cairan penarik tertentu (tunggal/campuran). Cairan penarik yang baik adalah yang dapat melarutkan zat- zat berkhasiat tertentu, tetapi za-zat yang tidak berguna tidak terbawa serta (Syamsuni, 2002: 246).

2.5.2 Jenis-Jenis Ekstraksi 1. Cara Dingin

a) Maserasi

Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunkan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan (kamar). Maserasi bertujuan untuk menarik zat-zat berkhasiat yang tahan pemanasan maupun yang tidak tahan pemanasan. Secara teknologi maserasi termasuk ekstraksi dengan prinsip metode pencapaian konsenttrasi pada keseimbangan. Maserasi dilakukan dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan atau kamar (Depkes RI, 2000:10)

(32)

24

Maserasi berasal dari bahasa latin maceraci berarti mengairi dan melunkan.

Maserasi merupakan cara ekstraksi yang paling sederhana. Dasar dari maserasi adalah melarutkan bahan kandungan simplisia dari sel yang rusak, yang terbentuk pada penghalusan, ekstraksi (difusi) bahan kandungan dari sel yang masi utuh.

Setelah selesai waktu maserasi, artinya keseimbangan antara bahan yang diekstraksi pada bagian dalam sel dengan masuk kedalam cairan, telah tercapai maka proses difusi segerah berakir. Selama maserasi atau proses perebdaman dilakukan pengocokan berulang-ulang. Upaya ini menjamin keseimbangan konsentrasi bahan ekstrak yang lebih cepat didalam cairan. Sedangkan kadaan diam selama maserasi menyebabkan turunya perpindahan bahan aktif. Secara teoritis pada suatu maserasi tidak memungkin terjadi ekstraksi absolut. Semakin besar perbandingan simplisia terhadap cairan pengekstraksi, akan semakin banyak hasil yang diperoleh (Voigh, 1994: 202).

Kelebihan ekstraksi ini adalah alat yang dan cara yang digunakan sangat sederhana, dapat digunakan untuk analit baik yang tahan terhadap pemanasan.

Kelemahanya banyak menggunakan pelarut. (Leba, 2017: 3).

b) Perkolasi

Perkolasi adalah teknik ekstraksi dengan melarutkan senyawa metabolit dengan cara mengaliran pelarut senyawa yang sesuai pada matriks bahan atau sampel yang telah ditempatkan pada perkolator (Nugroho, 2017:74).

2. Cara Panas

Menurut Lisnawati & prayoga, (2020: 16-17).

(33)

a. Refluks

Merupakan ekstraksi dengan pelarut tanpa temperatur titik didihnya selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relative konstan dengan adanya pendinginan balik. Umumnya dilakukan pengulangan proses pada residu pertama sampai 3 -5 kali sehingga dapat termasuk proses ekstraksi sempurna.

b. Soxhlet

Merupakan ekstraksi yang menggunakan pelarut yang pelarut yang selalu baru umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan jumlah pelarut relative konstan dengan adanya pendingin balik.

c. Digesti

Merupakan maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada temperatur yang lebih dari temperatur ruangan (kamar) yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40-450C.

d. Infus

Merupakan ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air (bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur terukur 96-980C) selama waktu tertentu (15-20 menit).

e. Dekok

Merupakan infus pada waktu yang lebih lama (≥ 30 menit) dan temperatur titik didih air.

(34)

26

2.6 Ekstrak

Ekstrak adalah sediaan kering, kental atau cair dan cair dibuat penyari simplisia nabati atau hewani menurut cara yang cocok, diluar pengaruh cahaya matahari langsung. Ekstrak kering harus mudah digerus menjadi serbuk (Kemenkes RI, 1976 : 9 ).

Ekstrak berdasarkan sifatnya dapat dibagi menjadi:

1. Ekstrak kering merupakan sediaan berbentuk bubuk, yang dibuat dari hasil tarikan simplisia yang diuapkan pelarutnya.

2. Ekstrak cair merupakan sedian cair yang dibuat dari hasil tarikan simplisia kemudian diuapkan pelarutnya.

3. Ekstrak kental merupakan sediaan kental, yang dibuat dari hasil tarikan simplisia kemudian diuapkan pelarutnya. (Voigt, 1974: 965).

2.7 Pelarut

Dalam melakukan ekstraksi harus ditentukan teknik ekstraksi dan jenis pelarut yang tepat disesuaikan dengan sifat fisik dan kimia dari bahan baku maupun metabolit sekundernya. Jenis pelarut juga memainkan peranan penting dalam menunjang keberhasilan ekstraksi. Ada banyak jenis pelarut organik yang dapat digunakan dalam ekstraksi bahan alam seperti hexane, butanol, kloroform, etil asetat, aseton, metanol, etanol, ataupun akuades (Nugroho,2017:83)

Penelitian ini mengggunakan pelarut Metanol. Menurut Zulharmita, Etrika &

Rival (2010: 37) mengatakan bahwa metanol adalah senyawa kimia dengan rumus kimia CH3OH. Metanol merupakan bentuk alkohol yang paling sederhana. Pada tekanan atmosfer, metanol berbentuk cairan yang ringan tidak berwarna, mudah

(35)

menguap, mudah terbakar, bersifat racun dengan aroma yang khas, dan larut sempurna dalam air, alkohol, serta eter.

Metanol merupakan pelarut yang bersifat universal sehingga dapat melarutkan analit yang bersifat polar dan nonpolar. Metanol dapat menarik alkaloid, steroid, saponin, dan flavonoid dari tanaman (Warditiani, et.al,2020: 1).

(36)

28

Kerangka Teori

Kulit pisang susu merah (Musa acuminata L. red dacca)

Ekstraksi secara maserasi mengggunakan pelarut metanol

Pembuatan larutan uji

Uji skrining fitokimia kulit pisang susu merah

Alkaloid Saponin Tanin Triterpenoid & steroid Flavanoid

(37)

29

BAB III

METODE PENELITIAN 3.1 Jenis penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian eksperimental dengan rancangan penelitian pre-experimental desain ini belum merupakan experimen sungguh- sungguh, karena tidak adanya variabel kontrol, dan sampel tidak dipilih secara random. Desain penelitian yang digunakan adalah One-Shot Case Study.

Eksperimen model ini dapat digambarkan seperti berikut:

X = Treatment yang diberikan O = Observasi

Paradigma itu dapat dibaca sebagai berikut: terdapat suatu kelompok diberi treatment/perlakuan, dan selanjutnya diobservasi hasilnya (Sugioyono, 2016: 74).

Treatment (X) dalam penelitian ini diberikan pereaksi pada ekstrak metanol kulit pisang merah. Observasi (O) yang dilakukan dalam penelitian ini untuk melihat perubahan warna, endapan dan buih atau busa dalam ekstrak kulit pisang susu merah (Musa acuminata L. red dacca).

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian 3.2.1 Tempat

Laboratorium Fitokimia Akademi Farmasi Santo Fransiskus Xaverius Maumere

3.2.2 Waktu Penelitian

Waktu penelitian dilakukan pada tanggl 1-26 Februari 2021 X O

(38)

30

3.3 Populasi dan Sampel 3.3.1 Populasi

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atau obyek/subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2016 :80).

Populasi dalam penelitian ini kulit pisang susu merah (Musa acuminate red.

dacca ).

3.3.2 Sampel

Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dipilih oleh populasi tersebut. Bila populasi besar, dan peneliti tidak mungkin mempelajari semua yang ada pada populasi, misalnya karena keterbatasan dana, tenaga dan waktu, maka peneliti dapat menggunakan sampel yang diambil dari populasi itu.

apa yang dipelajari dari sampel itu, kesimpulannya akan dapat diperlakukan untuk populasi. Untuk itu sampel yang diambil dari populasi itu harus betul-betul representative atau mewakili (Sugiyono, 2016 :81).

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah kulit pisang susu merah (Musa acuminata L. red dacca) yang didapatkan di Habibola, Kecamatan Doreng, Kabupaten Sikka, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Kemudian dibuat ekstrak dengan pelarut metanol secara maserasi.

3.4 Teknik Pengambilan Sampel

Penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling merupakan cara penarikan sampel yang dilakukan dengan memilih subjek berdasarkan pada

(39)

karakteristik tertentu yang dianggap mempunyai hubungan dengan karakteristik populasi yang sudah diketahui sebelumnya (Masturoh & Anggita, 2018: 182)

Kulit pisang susu merah yang digunakan adalah kulit pisang susu merah yang segar.

3.4.1 Kriteria inklusi

1. Kulit pisang susu merah yang sudah matang utuh dan tidak busuk.

2. Berkulit tebal

3. Kulit buah pisang susu merah yang ada di Habibola, Kecamatan Doreng, Kabupaten Sikka.

3.4.2 Kriteria eksklusi

1. Memiliki warna merah kehitaman

2. Kondisi yang tidak baik (busuk) (Saputri, Augustina, Fatmaria, (2020: 3) 3.5 Variabel Penelitian

Variabel adalah objek yang akan dijadikan penelitian baik yang berbentuk abstrak maupun real. Pelaksanaan kegiatan ini harus sistematis dan sesuai dengan kaidah ilmiah. Jadi hasil observasi dipertanggung jawabkan kebenaranya (Nurdin

& Hartati 2015: 610).

Variabel dalam penelitian ini adalah skrining fitokimia ekstrak metanol kulit pisang susu merah (Musa acuminata L. red. dacca) yang akan diamati adalah:

1. Perubahan warna 2. Ada tidaknya endapan 3. Muncul buih / busa 4. Berat ekstrak

(40)

32

3.6 Definisi Operasional

Definisi operasional adalah definisi variabel-variabel yang akan diteliti secara operasional dilapangan (Masturoh & Anggita,2018: 111).

N o

Variabel Definisi Operasional

Alat Ukur Hasil Ukur Skala Ukur

1 perubahan warna

Warna yang ditetapkan diliteratur

Pengamatan mata

Perubahan warna yang muncul

Nominal

2 Ada tidaknya endapan

Endapan yang ditetapkan di literatur

Pengamatan mata

Endapan yang muncul

Nominal

3 Muncul nya busa/buih

Busa / buih yang ditetapkan di literatur

Penggaris dan stopwath

Angka dengan satuan cm dan menit

ratio

4 Ekstrak methanol kulit pisang susu merah (Musa acuminata)

Simplisia kering yang telah diekstraksi dengan pelarut methanol

Timbangan analitik

Berat ekstrak (gram).

ratio

(41)

3.7 Instrumen Penelitian 1) Alat

No Alat Fungsi

1. Batang pengaduk Untuk mengocok atau mengaduk suatu larutan

2. Gelas Beacker Sebagai tempat untuk menyimpan dan meletakkan larutan. Gelas Piala memiliki takaran namun jarang bahkan tidak diperbolehkan untuk mengukur volume suatu zat cair.

3. Cawan porselen mereaksikan zat dalam suhu tinggi, mengabukan kertas saring, menguraikan endapan dalam gravimetric sehingga menjadi bentuk stabil

4. Corong kaca Corong digunakan untuk memasukan atau memindah larutan dari satu tempat ke tempat lain

5. Erlemeyer Sebagai wadah unuk mereaksikan suatu zat kimia dalam skala yang cukup besar dan sebagai wadah dalam proses titrasi.

6. Gelas ukur Mengukur volume cairan.

7. Gegep Untuk menjepit tabung reaksi.

(42)

34

8. Labu ukur Untuk membuat, menyimpan dan

mengencerkan larutan dengan ketelitian yang tinggi.

9. Bunsen Untuk membakar zat atau memanaskan larutan

10. Pipet tetes Untuk meneteskan atau mengambil larutan dengan jumlah kecil dari suatu tempat ke tempat lain.

11. Penangas air Utama menciptakan suhu yang konstan selama selang waktu yang ditentukan . 12. Plat tetes Sebagai wadah satu atau dua jenis zat 13. Rak tabung Sebagai tempat tabung reaksi.

14. Timbang ananalitik Tempat untuk menimbang zat-zat yang akan ditimbang dengan skala yang kecil.

15. Tabung reaksi Sebagai wadah satu atau dua jenis zat

2) Bahan

No Bahan Fungsi

1. Aquadest

Sebagai pelarut saat melarutkan senyawa. Sementara itu, air mineral merupakan suatu bentuk pelarut yang

(43)

universal, mudah menyerap atau melarutkan untuk berbagai macam partikel mineral anorganik,

mikroorganisme, logam berat yang ditemuinya.

2. Pereaksi Dragendroff Uji alkaloid 3. Air panas+asam klorida Uji saponin

4.

Asam asetat anhidrat+H2SO4

pekat

Uji Steroid

5.

Asam asetat anhidrat +H2SO4

pekat

Uji Terpenoid

6. Besi (III) klorida 1% Uji Tanin 7. Mg, larutan HCl Uji flavanoid

8. Metanol Fase polar dan pelarut ekstraksi 9. Kulit pisang susu merah

(Musa acuminata L. Red dacca)

sampel dalam bahan skrining fitokimia

3.8 Prosedur Penelitian

3.8.1 Pembuatan Ekstrak Metanol Kulit Pisang Susu Merah.

Sampel kulit pisang susu merah (Musa acuminata L. red dacca) diperoleh dari Habibola, Desa Waihawa, Kecamatan Doreng, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur . kulit pisang susu merah yang sudah matang utuh dan tidak busuk, berkulit tebal.

(44)

36

Sampel kulit pisang susu merah yang telah diambil disortasi basa, dicuci menggunakan air mengalir agar, kotoran yang masih tertinggal dapat hilang bersama air mengalir dan dilakukan penirisan air pada sampel hingga kering dan dipotong kecil- kecil, kemudian dikeringkan dengan cara diangin – anginkan pada suhu ruangan. Setelah sampel kering kemudian disortasi kering untuk memisahkan benda asing yang melekat pada sampel waktu proses pengeringan.

Sampel yang sudah disortasi kering, diserbukan menggunakan blender.

Ekstraksi sampel penelitian dengan cara maserasi. Kulit pisang susu merah (Musa acuminata L. red dacca) yang telah diserbukan ditimbang masing–masing sebanyak 300 gram dimasukan kedalam bejana maserasi lalu ditambahkan metanol sebanyak 1,5 liter hingga simplisia tersebut terendam, biarkan selama 3 hari sesekali diaduk, kemudian disaring kedalam wadah penampung dan dipisahkan antara ampas dan filtrat. Filtrat yang diperoleh kemudian diuapkan hingga diperoleh ekstrak kental.

3.8.2 Pembuatan Larutan HCL 2N dan FeCl3 1 %.

1. Pembuatan HCl 2N

Ukur HCl pekat sebanyak 16,6 ml mengunakan gelas volume, masukan kedalam labu ukur 100 ml tambahkan aquades hingga batas ukur.

2. Pembuatan FeCl3 1 % b/v = 100 ml

Timbang FeCl3 1 gram di larutkan dengan aquades kemudian masukan kedalam labu ukur 100 ml tambahkan aguades hingga batas ukur.

(45)

3.8.3 Skrining fitokimia ekstrak metanol kulit pisang susu merah (Musa acuminata) menurut (Muthmainnah, 2017: 3).

1. Identifikasi Flavonoid

0,5 gram Ekstrak kulit pisang susu merah dimasukkan kedalam tabung cawan porselin. Ditambahkan sampel berupa serbuk Magnesium sebanyak 2-3 potong dan diberikan 3 tetes larutan HCl. Diamati perubahan yang terjadi, terbentuknya warna merah, jingga atau kuning pada larutan menunjukkan adanya flavonoid.

2. Identifikasi Alkaloid

0,5 gram ekstrak sampel dimasukkan kedalam tabung reaksi ditetesi dengan 5 ml HCl 2 N dipanaskan kemudian didinginkan lalu dibagi dalam tabung reaksi 1 ml. Pada penambahan pereaksi Dragendrof mengandung alkaloid jika terbentuk endapan jingga.

3. Identifikasi Terpenoid dan Steroid

0,5 gram ekstrak kulit pisang susu merah diambil dan dimasukkan kedalam tabung reaksi. Lalu ditambahkan dengan 2 ml etil asetat dan dikocok.

Lapisan etil asetat dianbil lalu ditetesi dbiarkan samapi kering. Setelah kering, tambahkan 2 tetes asam asetat anhidrat dan tambahkan 1 tetes asam sulfat pekat. Apabila terbentuk warna merah atau kuning berarti positif terpenoid.

Apabila warna hijau berarti positif steroid.

4. Identifikasi Saponin

0,5 gram ekstrak dimasukkan kedalam tabung reaksi ditambahkan 10 mL air panas, didinginkan kemudian dikocok kuat-kuat selama 10 detik positif

(46)

38

mengandung saponin jika terbentuk buih setinggi 1-10 cm tidak kurang 10 menit dan pada penambahan 1 tetes HCl 2 N, buih tidak hilang.

5. Identifikasi Tanin

0,5 gram ekstrak dimasukkan kedalam tabung reaksi ditambahkan 1 mL air panas kemudian dididihkan selama 5 menit kemudian filtratnya ditambahkan FeCl3 1% 3-4 tetes, jika berwarna hijau biru (hijau-hitam) berarti positif adanya tanin katekol sedangkan jika berwarna biru hitam berarti positif adanya tanin pirogalol.

3.9 Penentuan Besar Sampel

Dalam penentuan jumlah sampel penelitian dihitung menurut rumus Gay.

Menurut Gay jumlah sampel untuk penelitian eksperimental minimal 15 sampel.

Sehingga rumus perhitungan sampel untuk penelitian eksperimen sederhana yaitu:

Keterangan t: banyaknya kelompok perlakuan r: jumlah replikasi

Dalam penelitian ini terdapat 5 kelompok perlakuan (uji flavanoid, alkaloid, triterpenoid, steroid, saponin dan tanin). Sehingga berdasarkan rumus Gay didapatkan jumlah sampel dari setiap kelompok perlakuan sebagai berikut.

(t-1)(r-1) ≥ 15 (5-1)(r-1) ≥ 15 4 (r-1) ≥ 15 4r –4 ≥ 15

(t-1)(r-1) ≥15

(47)

4r ≥ 15 + 4 r ≥ 19

4

r ≥ = 4,75≈ 5

Berdasarkan nilai diatas jumlah sampel yang digunakan pada penelitian ini untuk tiap pengujian sebanyak 5 kelompok senyawa kimia dalam skrining fitokimia ekstrak metanol kulit pisang susu merah adalah 5 replikasi. Jadi 5 x 5 = 25 jumlah sampel.

3.9 Penyajian Data

analisis data yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Data yang diperoleh dari hasil skrining fitokimia ekstrak metanol kulit pisang susu merah (Musa acuminata L. red dacca) dibuat dalam bentuk tabel kemudian dideskripsikan hasilnya.

(48)

40 BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Identifikasi Komponen Kimia Ekstrak Metanol Kulit Pisang Susu Merah (Musa acuminata L. red dacca)

No Jenis Uji Pereaksi

Persyaratan Diliteratur (Muthmainnah,

2017: 3)

Replikasi

I II III IV V 1 Alkaloid Dragendrof Terbentuk

endapan jingga

- - - - -

2 saponin Air panas + HCl 2N

Adanya busa permanen 1-10 cm, selama (±10 menit) + HCl busa tidak hilang

- - - - -

3

Tanin FeCl3 1 % Warna hijau- hitaman atau biru- hitam

+ + + + +

4 Flavanoid Mg + HCl pekat

kuning tua menjadi orange

+ + + + +

5 Terpenoid/

Steroid

Asam asetat anhidrat + H2SO4 pekat

Terbentuk warna merah atau kuning + terpenoid.

Apabila warna hijau + steroid

+ + + + +

Keterangan : + (Positif) - (Negatif) 4.2 Pembahasan

Penapisan fitokimia dilakukan apabila ekstrak dari tumbuhan yang kita peroleh belum diketahui kandungan kimianya. Penapisan fitokimia ditunjukan untuk mengetahui kandungan senyawa atau golongan senyawa dalam suatu tanaman atau ekstrak tanaman. Langkah pertama dalam melakukan penapisan fitokimia adalah pembuatan ekstrak kemudiaan dilakukan penelitian golongan kandungan dengan cara reaksi warna, reaksi endapan atau dengan cara

(49)

kromatografi lapis tipis. Pada proses ekstraksi digunakan pelarut yang dapat melarutkan semua zat yang ada dalam tumbuhan tersebut, etanol atau metanol 80

%.(Ningsih et.al.,2016: 9).

Skrining fitokimia dari simplisia tanaman antara lain untuk menguji senyawa flavonoid, terpenoid/ triterpenoid, alkaloid, steroid, saponin, tannin (Gultom &

Siagian, 2019: 9)

Dalam pemeriksaan kandungan kimia yang dilakukan replikasi 5 kali untuk setiap uji senyawa pada ekstrak kulit pisang susu merah (Musa acuminata L. red dacca) didapatkan hasil positif mengandung senyawa tanin, terpenoid dan flavanoid. Sedangkan untuk uji alkaloid, saponin dan steroid hasilnya negatif.

Alkaloid diuji dengan menggunakan pereaksi Dragendrof. Dimana pereaksi Dragendrof nitrogen digunakan untuk membentuk ikatan kovalen koordinat dengan K+ yang merupakan ion logam (Muthmainna, 2017 :4-5).

Gambar 4.1 Reaksi alkaloid dengan pereaksi Dragendrof (Muthmainnah, 2017).

(50)

42

Dari hasil penelitian pada ekstrak metanol kulit pisang susu merah (Musa acuminata L. red dacca) menunjukan hasil negatif karena tidak terdapat endapan jingga ketika ditetesi dengan pereaksi Dragendrof.

Pengujian tanin dilakukan dengan melakukan penambahan FeCl3 1% yang bereaksi dengan salah satu gugus hidroksil yang ada pada tanin. Fungsi FeCl3

adalah menghidrolisis golongan tanin sehingga akan menghasilkan perubahan warna kehitaman dan tanin terkondensasi yang menghasilkan warna hijau kehitaman (Muthmainna, 2017: 5).

Gambar 4.2 Reaksi uji tanin dengan FeCl3 (Muthmainnah, 2017)

Pada hasil penelitian ekstrak metanol kulit pisang susu merah (Musa acuminata L. red dacca) ketika diuji dengan larutan FeCl3 1% terdapat warna hijau kehitaman sehingga dapat disimpulkan positif adanya tanin.

Saponin merupakan senyawa yang mempunyai gugus hidrofilik dan hidrofob.

Timbulnya buih yang mantap pada uji saponin menunjukan positif mengandung saponin. Pada saat dikocok gugus hidrofil akan berikatan dengan air sedangkan gugus hidrofob akan berikatan dengan udara sehingga membentuk buih.

Kemudian dilakukan penambahan HCl 2N yang bertujuan untuk menambah

(51)

kepolaran sehingga gugus hidrofil akan berikatan lebih stabil dan buih yang terbentuk menjadi stabil (Muthmainna, 2017: 5).

Gambar 4.3 Reaksi hidrolisis saponin dengan air (Muthmainnah, 2017) Dari hasil penelitian ekstrak metanol kulit pisang susu merah munculnya buih pada percobaan tabung pertama setinggi 0,2 cm, tabung kedua 0,5 cm, tabung ketiga 0,5 cm dan tabung keempat 0,4 cm dan tabung kelima 0,5 cm selang waktu 10 menit ditetesi dengan HCl 2N buihnya buihnya hilang sehingga dapat disimpulkan kulit pisang susu merah tidak mengandung saponin.

Flavanoid merupakan senyawa yang mengandung dua cincin aromatik dengan gugus hidroksil lebih dari satu. Senyawa fenol dengan gugus hidroksil semakin banyak memiliki tingkat kelarutan dalam air semakin besar atau bersifat polar, sehingga dapat terekstrak dalam pelarut-pelarut polar (Muthmainna, 2017:

4).

(52)

44

Gambar 4.4 Reaksi flavanoid dengan HCl + logam Mg (Muthmainnah, 2017) Pengujian flavanoid ditambahkan 2-4 tetes HCl pekat dan 2-3 potongan logam Mg. Tujuan penambahan logam Mg dan HCl adalah untuk mereduksi inti benzopiron yang terdapat dalam struktur flavanoid sehingga terbentuk garam flavilum berwarna kuning tua menjadi orange. Hasil uji ekstrak metanol kulit pisang susu merah menunjukan positif flavanoid (munculnya warna orange ketika dimasukan Mg dan ditetesi HCl 2N) (Muthmainna, 2017: 5)

Analisis terpenoid dan steroid didasarkan pada kemampuan senyawa terpenoid dan steroid membentuk warna oleh H2SO4 pekat dalam pelarut asam klorida. Hasil positif diberikan pada sampel yang membentuk merah jingga untuk analisis terpenoid dan biru untuk analisis steroid (Muthmainna, 2017: 5). Hasil dari penggujian senyawa terpenoid dan senyawa steroid pada ekstrak metanol kulit pisang susu merah terdapat adanya senyawa terpenoid ditandai adanya warna merah (positif terpenoid).

(53)

45 BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 KESIMPULAN

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

Skrining fitokimia menunjukan bahwa ekstrak metanol kulit pisang susu merah (Musa acuminata L. red dacca) positif mengandung senyawa kimia terpenoid, flavanoid dan tanin. Namun tidak mengandung alkaloid, saponin dan steroid.

5.2 SARAN

1. Bagi peneliti selanjutnya disarankan agar dilakukan uji fitokimia pada kulit pisang susu merah atau analisis kandungan senyawa kimia secara kromatografi lapis tipis pada kulit pisang susu merah.

2. Bagi peneliti selanjutnya disarankan agar dilakukan uji alkaloid menggunakan pereaksi mayer, wagner.

3. Bagi peneliti selanjutnya disarankan agar dilakukan uji aktifitas setiap senyawa yang terkandung didalam ekstrak metanol kulit pisang susu merah (Musa acuminata L. red dacca).

Gambar

Gambar 2.1 Buah pisang susu merah (Wibowo, Ismayadi &amp; Wati,2020: 100)
Gambar  4.1  Reaksi  alkaloid  dengan  pereaksi  Dragendrof  (Muthmainnah,  2017).
Gambar 4.2 Reaksi uji tanin dengan FeCl 3  (Muthmainnah, 2017)
Gambar 4.3 Reaksi hidrolisis saponin dengan air (Muthmainnah, 2017)  Dari  hasil  penelitian  ekstrak  metanol  kulit  pisang  susu  merah  munculnya  buih  pada  percobaan  tabung  pertama  setinggi  0,2  cm,  tabung  kedua  0,5  cm,  tabung  ketiga 0,5 c
+2

Referensi

Dokumen terkait

Kajian tentang pengaruh perlakuan gelap terhadap kandungan klorofil dan karbohidrat terlarut total pada buah klimakterik pisang muli (Musa acuminata) telah

Penelitian yang dilakukan oleh Rose tahun 2013 yang menguji aktivitas senyawa antioksidan dari ekstrak metanol kulit pisang raja ( Musa paradisiaca

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut :Fraksi etil asetat kulit pisang raja ( Musa paradisiacal Sapientum ) memiliki aktivitas antioksidan yang

Invensi ini berhubungan dengan pemanfaatan gel ekstrak batang pisang mauli (Musa acuminata) sebagai bahan obat topikal yang digunakan untuk mempercepat penyembuhan luka

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kombinasi hormon 2,4-D dan BAP yang efektif untuk menginduksi kalus pisang barangan merah Musa acuminata Colla yaitu 2 ppm 2,4-D

Kesimpulan penelitian adalah donat berbahan dasar tepung kulit pisang Musa sapientum dengan subtituen 25 persen tepung kulit pisang memiliki profil fitokimia, proksimat dan

Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui kombinasi hormon 2,4-D dan BAP yang efektif dalam menginduksi kalus pisang barangan merah Musa acuminata Colla secara in

Kesimpulan Limbah pisang utuh atau limbah kulit pisang dan batang pisang dari jenis pisang cavendish Musa acuminata Cavendish Subgroup memiliki kandungan nutrien yang baik,