• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "II. TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Bioekologi Banteng

2.1.1 Klasifikasi Banteng (Bos javanicus)

Menurut Slijper (1948); Lekagul & Mc. Neely (1977) diacu dalam Alikodra (1983), bahwa klasifikasi Banteng adalah sebagai berikut:

Phylum : Chordata Sub phylum : Craniata Class : Mamalia Sub class : Theria Super order : Eutheria Order : Artiodacthyla Sub order : Ruminantia Famili : Bovidae Sub familia : Bovinae Tribe : Bivini Genus : Bos

Species : Bos javanicus d’Alton ,1832

Sub species : Bos javanicus javanicus d’Alton, 1832(Jawa) Bos javanicus lowi Lydekker, 1912 (Kalimantan) Bos javanicus birmanicus Lydekker, 1898 (Thailand)

2.1.2 Deskripsi Banteng

Banteng memiliki tubuh tegap, besar dan kuat dengan bahu bagian depannya lebih tinggi daripada bagian belakang tubuhnya (Hoogerwerf 1970, diacu dalam Alikodra 1983). Pada kepala banteng terdapat sepasang tanduk, pada banteng jantan berwarna hitam mengkilap, runcing dan melengkung simetris ke dalam, sedangkan pada banteng betina bentuk tanduknya lebih kecil. Pada bagian dadanya terdapat gelambir (dewlap) yang dimulai dari pangkal kaki depan sampai bagian leher, tetapi tidak mencapai daerah kerongkongan. Panjang badan 190-225 cm, tinggi bahu 160 cm, panjang ekor 65–70 cm, dan berat badan 600–800 kg (Grzimek 1975; Lekagul and Mc. Neely 1977, diacu dalam Alikodra 1983) .

(2)

2.1.3 Populasi dan Penyebaran Banteng

Banteng adalah satwaliar yang hidupnya berkelompok, jumlah setiap kelompok berkisar antara 10-12 ekor yang terdiri dari jantan dewasa, induk dan anak-anaknya (Hoogerwerf 1970, Helder 1976, diacu dalam Alikodra 1983).

Kelompok-kelompok banteng tersebut kadang-kadang bersatu menjadi kelompok yang lebih besar dengan jumlah mencapai 35 – 40 ekor.

Wilayah penyebaran banteng meliputi: Burma, Thailand, Indo China dan Indonesia yang sebarannya di Pulau Jawa, Kalimantan, dan Bali (Lekagul & Mc Neely 1977). Selain itu banteng juga tersebar di Malaysia Barat (Hoogerwerf 1970, diacu dalam Alikodra 1983). Penyebaran banteng meliputi wilayah yang cukup luas mulai dari daerah pantai sampai daerah pegunungan dengan ketinggian 2132 m di atas permukaan laut. Penyebaran banteng di Indonesia meliputi beberapa taman nasional dan cagar alam seperti Taman Nasional Baluran (TNB), Taman Nasional Alas Purwo (TNAP), Taman Nasional Meru Betiri (TNMB), Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK), Taman Nasional Kayan Mentarang (TNKM), Taman Nasional Kutai (TNK) serta CA Leuweung Sancang, CA Pangandaran dan SM Cikepuh.

2.1.4 Habitat

Habitat adalah daerah yang sangat penting bagi populasi satwa agar dapat berkembang secara optimal untuk mendapatkan makanan, air, dan cover (Djuwantoko 1986). Habitat adalah kompleksitas berbagai komponen antara lain iklim, fisiografi, vegetasi dengan kualitasnya dan merupakan tempat hidup organisme (Alikodra 1979). Menurut Moen (1972) habitat satwa sangat dipengaruhi oleh lingkungan, baik biotik maupun non biotik. Komunitas biotik adalah kumpulan populasi yang hidup dalam kawasan atau habitat fisik yang terorganisasi dalam satu kesatuan. Habitat satwa merupakan kombinasi vegetasi dan satwa yang hidup di dalamnya. Vegetasi merupakan salah satu faktor biotik yang sangat penting sebagai penyedia makan, tempat berlindung dan tempat tinggal atau bersarang.

Habitat satwa sering secara sederhana diinterpretasikan sebagai tipe vegetasi karena umumnya syarat-syarat hidup suatu jenis satwa selalu melibatkan aspek vegetasi (Dashman 1981). Banteng adalah jenis satwa yang menyukai tipe

(3)

habitat yang lebih terbuka (Lekagul and McNeely 1977, diacu dalam Alikodra 1983). Satwa banteng lebih bersifat sebagai pemakan rumput (grazer) dari pada pemakan daun dan semak (browser). Seperti satwa lainnya banteng membutuhkan pakan, mineral, sumber air dan tempat berlindung. Kerusakan habitat dapat mempengaruhi daya dukung dan aktivitas makan yang berimplikasi pada penyebaran banteng. Di TNMB kekurangan sumber pakan, rendahnya kualitas padang penggembalaan menyebabkan banteng keluar kawasan dan menuju ke areal perkebunan dan lahan masyarakat (Heriyanto et al. 2001). Kondisi ini dapat memicu terjadinya aktivitas perburuan dan konflik dengan masyarakat (Murdyatmaka 2008).

Di TN Baluran, kerusakan habitat banteng khususnya savana Bekol disebabkan oleh pesatnya pertumbuhan Acacia nilotica sebagai tumbuhan jenis invasif . Akibat kerusakan habitat ini diindikasikan terjadinya penurunan populasi banteng, termasuk karena keluar kawasan dan terjadinya perburuan (Siubelan dan Garsetiasih 2003).

Pakan banteng di alam sebagian besar terdiri dari jenis rumput-rumputan, sedangkan untuk jenis tumbuhan hutan hanya sebagian kecil yang dicirikan oleh bekas gigitan banteng dan dalam jumlah yang terbatas (Hoogerwerf 1970).

Pakan banteng yang ditemukan di TNB terdiri dari 13 jenis rumput, 1 jenis tumbuhan merambat, 3 jenis semak dan 13 jenis pohon (Komarudin 1993), sedangkan di TNAP jenis-jenis pakan banteng yang ditemukan terdiri dari 8 jenis rumput dan 4 jenis tumbuhan hutan (Nugroho 2002).

2.2 Taman Nasional

Taman Nasional adalah suatu kawasan yang diperuntukan bagi perlindungan kawasan alami dan berpemandangan indah, serta secara nasional atau internasional memiliki nilai bagi pemanfaatan ilmiah, pendidikan dan rekreasi. Kawasan alam ini luas, materinya tidak diubah oleh kegiatan manusia, mempunyai nilai alam yang menonjol dengan kepentingan pelestarian yang tinggi, potensi rekreasi besar, mudah dicapai oleh pengunjung, mempunyai fungsi dan manfaat bagi kawasan sekitarnya (MacKinnon et al. 1993). Undang-undang Republik Indonesia No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, pasal 1 ayat (14), menyebutkan bahwa taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang

(4)

mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi (ekowisata).

Ekowisata yaitu perjalanan terencana ke daerah-daerah yang alami dengan tujuan untuk memahami sejarah budaya dan alamnya; menjaga keutuhan ekosistem alamnya; menghasilkan peluang untuk kepentingan ekonomi yang membuat konservasi alam menjadi menguntungkan bagi masyarakat lokal (Wood et al. 1991).

Ekowisata sebagai bentuk pembangunan pariwisata, manajemen, aktivitas yang dapat menjaga keutuhan lingkungan, sosial, dan ekonomi serta kelangsungan sumberdaya alam dan budaya secara berkelanjutan (Furze et al. 1997).Dalam rangka implementasi pembangunan berkelanjutan, ekowisata merupakan strategi yang paling tepat dalam mengurangi kerusakan SDA dan keanekaragaman hayati sekaligus meningkatkan kondisi sosial ekonomi masyarakat (Alikodra 2011).

Fungsi dari taman nasional mencakup tiga aspek, yaitu konservasi, penelitian dan rekreasi (Suratmo 1980). Fungsi konservasi berupa pelestarian terhadap plasma nutfah yang terdapat di dalamnya, perlindungan terhadap proses- proses ekologis sistem penyangga kehidupan, dan menjamin pemanfaatan jenis dan ekosistem secara lestari (MacKinnon et al. 1993). Alikodra (1987) menyatakan bahwa taman nasional dapat digunakan sebagai tempat penelitian, terutama untuk memberikan masukan terhadap pengelolaan sehingga diharapkan pengelolaannya lebih terarah, efektif dan efisien. Sedangkan fungsi rekreasi dari taman nasional adalah dapat dimanfaatkan oleh pengunjung dengan pola pengaturannya yang disesuaikan dengan kondisi setempat. Suratmo (1980) menyatakan bahwa biasanya dari ke tiga fungsi tersebut taman nasional hanya menonjol salah satu fungsi saja dengan tanpa melupakan fungsi lainnya.

Pelestarian plasma nutfah banteng dilakukan melalui pemanfaatan semen banteng sebagai sumber genetik. Pemanfaatan semen sekarang mulai dilakukan oleh Taman safari Prigen (TSP) dan bekerjasama dengan Balai Besar Inseminasi Buatan (BBIB) yang hasilnya akan dimanfaatkan oleh beberapa Pemda Provinsi (Ivan Oktober 2010, komunikasi pribadi). Menurut PP No 8 tahun 1999 dinyatakan bahwa dalam memperbanyak individu satwa dapat dilakukan dengan cara mengawinkan secara alami maupun buatan (inseminasi buatan), apabila cara

(5)

reproduksinya adalah kawin, dan dengan cara lain apabila cara reproduksinya adalah tidak kawin baik di dalam maupun di luar habitatnya. Pemanfaatan genetik banteng dapat menunjang budidaya yaitu memanfaatkan potensi satwa liar sebagai sumber bibit atau plasma nutfah untuk dikembangkan dan dibudidayakan di luar kawasan taman nasional (UU No.5/1990).

Fungsi dan manfaat taman nasional sebagai penyedia plasma nutfah lainnya yaitu sebagai penyedia tanaman obat. Setyowati (2006) menyatakan bahwa masyarakat Kluet yang tinggal di sekitar kawasan Taman Nasional Gunung Leuser masih sangat tergantung pada kelestarian sumber daya alam sebagai bahan pangan, bahan obat-obatan, tali-temali, bahan bumbu dan keperluan lainnya.

Tidak kurang dari 133 jenis tumbuhan dari 52 famili, dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari. Dari jumlah tersebut, 60% nya masih diambil dari alam, masyarakat mencari sejenis kayu medang yang dimanfaatkan sebagai bahan obat nyamuk dan juga getah damar. Dalam satu hari dapat dikumpulkan kulit kayu medang antara 5 hingga 10 kg dan getah damar sekitar 20 hingga 30 kg, dengan harga jual Rp. 150,- per kg untuk kulit kayu medang basah dan Rp. 200,- per kg untuk damar.

Di Taman Nasional Baluran (TNB) dan desa sekitarnya terdapat sekitar 194 jenis dari 71 keluarga tumbuhan obat. Tumbuhan obat yang sering dimanfaatkan sebagai ramuan obat tradisional oleh masyarakat sekitar 53 jenis dari 35 famili. Jenis-jenis tumbuhan yang terdapat di dalam TNB tersebut dapat menyembuhkan 64 jenis penyakit dalam dan luar (Suyono 2002). Menurut Zuhud dan Haryanto (1991) TNMB merupakan salah satu kawasan pelestarian alam yang memiliki potensi tumbuhan obat yang besar, tidak kurang dari 364 jenis (70 famili) plasma nutfah tumbuhan obat ditemukan disini.

2.3 Masyarakat Sekitar Taman Nasional

Menurut Alikodra (1987), yang dimaksud dengan masyarakat sekitar khususnya bagi taman nasional atau areal kawasan hutan lindung lainnya adalah masyarakat pedesaan yang bermukim di sekitar kawasan. Kondisi sosial ekonomi masyarakat di sekitar taman nasional yang relatif rendah merupakan faktor pendorong kuat untuk melakukan tekanan pemanfaatan sumberdaya hutan taman nasional terutama masyarakat yang mempunyai ketergantungan hidup dengan

(6)

kawasan. Ketergantungan mereka dapat dikatagorikan sebagai kegiatan legal dan tidak legal. Pemanfaatan kawasan atau sumberdaya yang tidak legal berpotensi merusak kawasan jika tidak dilakukan pengamanan atau aturan, sedangkan ketergantungan yang legal dapat dikembangkan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat terhadap kelestarian taman nasional. Peran pengelolaan taman nasional ke arah peningkatan sosial ekonomi masyarakat di sekitar kawasan secara langsung masih rendah (Alikodra 1987).

Kegiatan pengelolaan taman nasional masih menghadapi berbagai masalah yang disebabkan oleh berbagai faktor, baik internal maupun eksternal. Salah satu faktor eksternal yang dirasakan dominan dalam pelaksanaan pengelolaan taman nasional adalah tekanan masyarakat dalam bentuk pemanfaatan hasil hutan berupa flora dan fauna secara illegal. Kepentingan pemenuhan kebutuhan masyarakat sekitar di satu pihak dan kepentingan konservasi di pihak lain mengakibatkan terjadinya konflik kepentingan. Konflik kepentingan akan meningkat menjadi konflik terbuka jika harapan masyarakat tidak sejalan dengan pengelolaan taman nasional yang diterapkan oleh pemerintah.

Untuk menghindari terjadinya konflik kepentingan dan menekan penggunaan kawasan yang bersifat eksploitatif oleh masyarakat perlu dicarikan jalan keluar dengan cara mengakomodir harapan-harapan masyarakat terhadap manfaat kawasan taman nasional. Menurut Mackinnon et al. (1993), ada 16 cara utama dimana kawasan yang dilindungi dapat memberi manfaat bagi masyarakat sekitar kawasan yaitu: 1) menstabilkan fungsi hidrologi, 2) melindungi tanah, 3) stabilitas iklim, 4) pelestarian sumberdaya pulih yang dapat dipanen, 5) perlindungan sumberdaya plasma nutfah, 6) pelestarian untuk perkembangbiakan ternak, cadangan populasi dan keanekaragaman biologis, 7) pengembangan kepariwisataan, 8) menyediakan fasilitas rekreasi, 9) menciptakan kesempatan kerja, 10) menyediakan fasilitas bagi penelitian dan pemantauan, 11) menyediakan fasilitas pendidikan, 12) memelihara kualitas lingkungan hidup,13) keuntungan dari perlakuan khusus, 14) pelestarian nilai budaya dan tradisional, 15) keseimbangan alam lingkungan dan 16) nilai warisan dan kebanggaan regional.

(7)

2.4 Konflik dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan

Pengelolaan sumberdaya hutan termasuk satwaliar umumnya diarahkan atau identik dengan pengelolaan dari aspek ekologi, sedangkan aspek sosial terutama yang berhubungan dengan masyarakat sekitar hutan kurang mendapat perhatian. Hal tersebut telah berdampak pada sumberdaya hutan dan penurunan keragaman jenis akibat intervensi masyarakat ke dalam kawasan yang menimbulkan konflik, dengan demikian aspek sosial, ekonomi dan budaya masyarakat menjadi bagian penting dalam pengelolaan sumberdaya hutan termasuk pengelolaan konflik. Konflik merupakan suatu perwujudan perbedaan cara pandang antara berbagai pihak terhadap obyek yang sama (Wulan et al. 2004).

Konflik adalah suatu situasi yang menunjukkan terjadinya penghilangan hak seseorang atau kelompok atas suatu benda atau kedudukan, dan faktor-faktor yang mempengaruhi konflik menurut (Malik et al. 2003) :

(a) Hubungan antar manusia seperti perbedaan persepsi, budaya (tingkah laku) dan cara berkomunikasi.

(b) Masalah kepentingan yang dipicu oleh masalah mendasar (uang, sumberdaya, fisik, dan waktu), tata cara (sikap), dan psikologis (persepsi, kepercayaan, dan keadilan).

(c) Perbedaan data seperti cara mengumpulkan informasi, relevansi data, cara menterjemahkan informasi dan menyajikan data.

(d) Pemaksaan nilai dan sikap tidak toleran terhadap perbedaan nilai yang dianut data.

Alikodra (2009) menyatakan bahwa banyak alasan yang menjadi sumber konflik, misalnya konflik antara masyarakat sekitar hutan dengan kegiatan kehutanan, yang disebabkan karena hak-hak ataupun akses mereka terhadap sumberdaya hutan tidak ditampung dalam kegiatan kehutanan. Padahal status lahan dan kegiatan mereka telah dianut lama secara turun temurun dan tertuang dalam norma adat mereka.

Teori penyebab konflik lainnya yaitu teori kebutuhan manusia berasumsi bahwa konflik yang berakar dalam disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia berupa fisik, mental dan sosial yang tidak terpenuhi atau dihalangi. Keamanan, identitas, pengakuan, partisipasi dan otonomi sering merupakan inti pembicaraan

(8)

(Fisher et al. 2001). Sasaran yang ingin dicapai teori ini adalah : membantu pihak- pihak yang mengalami konflik untuk mengidentifikasi dan mengupayakan bersama kebutuhan mereka yang tidak terpenuhi, dan menghasilkan pilihan- pilihan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan itu. Agar pihak-pihak yang mengalami konflik mencapai kesepakatan untuk memenuhi kebutuhan dasar semua pihak.

Konflik adalah pertentangan antar banyak kepentingan, nilai, tindakan atau arah, serta sudah merupakan bagian yang menyatu sejak adanya kehidupan. Maka konflik merupakan sesuatu yang tidak terelakan yang dapat bersifat positif ataupun negatif. Aspek positif konflik muncul, ketika konflik membantu mengidentifikasi sebuah proses pengelolaan lingkungan dan sumberdaya yang tidak berjalan secara efektif, mempertajam gagasan atau informasi yang tidak jelas, dan menjelaskan kesalah fahaman. Konflik juga akan bermanfaat, yaitu ketika mempertanyakan statusquo, maka sebuah pendekatan kreatif muncul.

Sebaliknya konflik dapat bersifat negatif jika diabaikan. Konflik yang tidak terselesaikan merupakan sumber kesalah fahaman, ketidak percayaan serta bias.

Konflik menjadi buruk apabila menyebabkan semakin meluasnya hambatan- hambatan untuk saling bekerjasama antar berbagai pihak (Johnson dan Duinker 1993; Mitchell et al. 2000, diacu dalam Alikodra 2009).

Perbedaan dan pertentangan kepentingan seringkali terjadi dan muncul dalam pengalokasian sumberdaya dan pengambilan keputusan. Pertentangan ini seringkali merefleksikan perbedaan pandangan, ideologi, dan harapan. Hal tersebut merupakan tantangan bagi para pengelola lingkungan atau sumberdaya hutan untuk dapat mengakomodasikan berbagai perbedaan tersebut serta mencari jalan tengah yang dapat diterima semua pihak (Zen 1979; Mitchell et al. 2000, diacu dalam Alikodra 2009). Hal tersebut telah dilakukan di Australia dengan membangun suatu kesepakatan antara pemerintah dan stakeholders yang menyarankan aturan-aturan baru dalam pengambilan keputusan untuk jangka panjang dalam penyelesaian konflik keanekaragaman hayati dan sumberdaya alam (Brown 2002).

Konflik sangat terkait dengan value (nilai) yang difahami oleh masyarakat terhadap sumberdaya dan lingkungannya. Value mereka apakah dilandasi oleh

(9)

pemahaman mereka terhadap ekologi dalam atau pemahaman ekonomi jangka pendek (Alikodra 2009). Konflik antara manusia dan satwaliar terjadi akibat sejumlah interaksi negatif baik langsung maupun tidak langsung antara manusia dan satwaliar. Pada kondisi tertentu konflik tersebut dapat merugikan semua pihak yang berkonflik. Konflik yang terjadi cenderung menimbulkan sikap negatif manusia terhadap satwaliar, yaitu berkurangnya apresiasi manusia terhadap satwaliar serta mengakibatkan efek-efek detrimental terhadap upaya konservasi.

Kerugian yang umum terjadi akibat konflik diantaranya seperti rusaknya tanaman pertanian dan atau perkebunan serta pemangsaan ternak oleh satwaliar, atau bahkan menimbulkan korban jiwa manusia. Disisi lain tidak jarang satwaliar yang berkonflik mengalami kematian akibat berbagai tindakan penanggulangan konflik yang dilakukan ( Kepmenhut, No. P.48/Menhut-II/2008).

Dalam pelaksanaan penanggulangan konflik antara manusia dengan satwaliar, perlu diperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut:

1. Manusia dan satwaliar sama-sama penting; konflik manusia dan satwaliar menempatkan kedua pihak pada situasi dirugikan. Dalam memilih opsi-opsi solusi konflik yang akan diterapkan, pertimbangan langkah untuk mengurangi resiko kerugian yang diderita oleh manusia, secara bersamaan harus didasari pertimbangan terbaik untuk kelestarian satwaliar yang terlibat konflik.

2. Site spesific; secara umum konflik muncul antara lain karena rusak atau menyempitnya habitat satwaliar yang disebabkan salah satunya karena aktifitas pembukaan areal dan konversi menjadi lahan pertanian dan perkebunan atau Hutan Tanaman Industri. Disamping itu, berkurangnya satwa mangsa (khsususnya untuk harimau) karena perburuan liar, juga sering menimbulkan konflik. Variasi karakteristik habitat, kondisi populasi, dan faktor lain seperti jenis komoditas, membuat intensitas dan solusi penanganan konflik bervariasi di masing-masing wilayah, menuntut penanganan yang berorientasikan kepada berbagai faktor yang berperan dalam sebuah konflik. Sehingga sangat memungkinkan terjadinya pilihan kombinasi solusi yang beragam pula di masing-masing wilayah konflik.

Solusi yang efektif di suatu lokasi, belum tentu dapat diterapkan pada situasi konflik di daerah lain, demikian pula sebaliknya.

(10)

3. Tidak ada solusi tunggal; Konflik antara manusia dan satwaliar dan tindakan penanggulangannya merupakan sesuatu yang kompleks karena menuntut rangkaian kombinasi berbagai solusi potensial yang tergabung dalam sebuah proses penanggulangan konflik yang komprehensif.

4. Skala lansekap; Satwaliar tertentu, termasuk gajah dan harimau, memiliki daerah jelajah yang sangat luas. Upaya penanggulangan konflik yang komprehensif harus berdasarkan penilaian yang menyeluruh dari keseluruhan daerah jelajahnya (home range based mitigation) .

5. Tanggungjawab multi pihak; Selain sebagai sebuah isu konservasi, konflik juga mempengaruhi dan memiliki dampak sosial dan ekonomi di daerah.

Sehingga penanggulangan konflik antara manusia dan satwaliar ini harus melibatkan berbagai pihak yang terkait termasuk dunia usaha dan para pengguna lahan skala luas untuk berbagi tanggungjawab.

Beberapa contoh tahapan yang harus dilakukan dalam menghadapi konflik satwaliar harimau dan manusia di Sumatra (Tilson et al. 1994), diacu dalam (Nyhus & Tilson 2004 ) adalah: 1. Pengumpulan data observasi dan test hipotesis;

2. Diskusi antara stakeholders terkait dan 3. Jika terjadi konflik harus langsung direspons misalnya dengan translokasi, pemanfaatan dan menjinakkannya.

2.5 Manajemen Kolaboratif

Gagasan dasar pengelolaan kolaboratif adalah kemitraan antara lembaga pemerintah, komunitas lokal dan pengguna sumberdaya, lembaga non pemerintah dan kelompok kepentingan lainnya dalam bernegosiasi dan menentukan kerangka kerja yang tepat tentang kewenangan dan tanggung jawab untuk mengelola daerah spesifik atau sumberdaya. Hubungan kemitraan dalam pengelolaan disebut sebagai co-management (IUCN 1997 dalam Resolusi 142 Tahun 1996).

Manajemen kolaboratif merupakan terjemahan dari istilah collaborative management. (Marshall 1995, diacu dalam Tajudin 2000) menyatakan bahwa kolaborasi merupakan suatu bentuk resolusi konflik yang mengakomodasikan sikap kooperatif dan asertif yang tinggi (nilai positif). Kolaborasi merupakan suatu bentuk resolusi konflik yang menghasilkan situasi ”menang-menang” dan sama sekali tidak mempertimbangkan suatu keputusan atau kesepakatan yang bersifat zero-sum (kebijakan rendah sekali perhatiannya dalam mempertimbangkan alokasi

(11)

sumberdaya langka). Manajemen kolaboratif didefinisikan sebagai bentuk manajemen yang mengakomodasikan kepentingan-kepentingan seluruh stakeholders secara adil, dan memandang harkat setiap stakeholders sebagai entitas yang sederajat sesuai dengan tata nilai yang berlaku, dalam rangka mencapai tujuan bersama (Tajudin 2000). Co-management adalah suatu kondisi dimana dua atau lebih stakeholders bernegosiasi, menetapkan dan memberikan garansi diantara mereka serta membagi secara adil mengenai fungsi pengelolaan, hak dan tanggung jawab dari suatu daerah teritori atau sumberdaya alam tertentu.

Stakeholders adalah mereka yang terlibat dan terpengaruh oleh kebijakan (Borrini-Feyerabend et al. 2000).

Claridge dan O’Callaghan (1995) mengemukakan bahwa pengelolaan kolaboratif adalah partisipasi aktif dalam pengelolaan sumberdaya oleh masyarakat baik secara individu maupun kelompok yang mempunyai keterkaitan atau kepentingan dengan sumberdaya tersebut, sehingga dapat mengatasi kerusakan yang menjadi penyebab konflik. Dikemukakan pula bahwa ada tiga elemen penting dari pengelolaan kolaboratif yaitu:

1. Pembagian wewenang dan tanggung jawab dalam pengelolaan sumberdaya berdasarkan rencana yang dipahami dan disetujui oleh semua pihak.

2. Tujuan sosial, budaya, dan ekonomi merupakan bagian yang terintegrasi dari strategi pengelolaan.

3. Keberlanjutan pengelolaan sumberdaya merupakan tujuan utama.

Partisipasi penuh dari masyarakat akan menentukan keberhasilan co- management. Pemberian insentif, kepercayaan dan penguatan kelembagaan dan kepedulian masyarakat serta institusi akan mendukung keberlanjutan sumberdaya alam (Rodgers et al. 2002). Co-management dapat meningkatkan produktivitas sumber-sumber dan kreasi dari kondisi yang ada untuk memacu pengembangan masyarakat (Bowen 2005). Co-management merupakan pengembangan lapangan dalam pengelolaan kawasan yang dilindungi .

Pada dasarnya tujuan utama yang ingin dicapai dari setiap pelaku dalam pengelolaan sumberdaya melalui co-management adalah pengelolaan yang lebih tepat, lebih efisien, serta lebih adil dan merata. Tujuan utama tersebut menjadi

(12)

lebih konkrit dan lebih nyata ukuran keberhasilannya bila dikaitkan dengan beberapa tujuan sekunder sebagai berikut :

1) Co-management merupakan suatu cara untuk mewujudkan proses pengambilan keputusan secara desentralisasi sehingga dapat memberikan hasil yang lebih efektif

2) Co-management adalah mekanisme atau cara untuk mengurangi konflik masyarakat melalui proses demokrasi partisipatif

3) Co-management mempunyai tugas-tugas dalam hal perumusan kebijakan, estimasi potensi sumberdaya, penentuan hak-hak pemanfaatan, pengendalian dan penegakan hukum

Co-management adalah suatu kesepakatan dimana tanggung jawab pengelolaan sumberdaya dibagi antara pemerintah di satu sisi dan stakeholders di sisi lain dengan tujuan untuk menjaga integritas ekologi sumberdaya alam (National Round Table on the Environment and the Economy / NRTEE 1999). Prinsip dasar Co-management yaitu: 1) perberdayaan dan pembangunan kapasitas, 2) pengakuan terhadap kearifan dan pengelolaan tradisional, 3) perbaikan hak masyarakat lokal, 4) pembangunan berkelanjutan, 5) akuntabel dan transparans, 6) pelestarian lingkungan sumberdaya, 7) pengembangan mata pencaharian, 8) keadilan dan 9) keterpaduan (Knight & Tighe 2003).

Tanggung jawab dan wewenang masing-masing pihak menentukan tipe atau bentuk kolaborasi yang dianut. Dalam hal ini, kerjasama merupakan inti dari co-management. Dari beberapa praktek yang telah dilakukan, secara hirarki co- management dapat ditentukan sebagai berikut Sen dan Nielsen (1996), diacu dalam Nikijuluw (2002) :

1. Instruktif. Dalam bentuk ini tidak banyak informasi yang saling ditukarkan diantara pemerintah dan masyarakat. Hanya sedikit dialog antar kedua pihak namun proses dialog yang terjadi bisa dipandang sebagai suatu instruksi karena pemerintah lebih dominan peranannya, dimana pemerintah menginformasikan kepada masyarakat rumusan-rumusan pengelolaan sumberdaya alam yang pemerintah rencanakan untuk dilaksanakan.

(13)

2. Konsultatif. Menempatkan masyarakat pada posisi yang hampir sama dengan pemerintah. Masyarakat mendampingi pemerintah dalam co-management.

Oleh karenanya ada mekanisme yang membuat pemerintah berkonsultasi dengan masyarakat, hanya saja sekalipun masyarakat bisa memberikan berbagai masukan k epada pemerintah, masukan tersebut digunakan tidaknya tergantung pada pemerintah atau dengan kata lain pemerintahlah yang berperan dalam merumuskan keputusan pengelolaan sumberdaya alam.

3. Kooperatif. Menempatkan pemerintah dan masyarakat pada posisi yang sama atau sederajat, dengan demikian semua tahapan manajemen sejak pengumpulan informasi, perencanaan, pelaksanaan sampai pada evaluasi dan pemantauan co-management menjadi tanggung jawab kedua belah pihak. Pada bentuk ini masyarakat dan pemerintah adalah mitra yang sama kedudukannya.

4. Advokasi atau pendampingan. Peran masyarakat cenderung lebih besar dari pemerintah. Masyarakat memberikan masukan pada pemerintah untuk merumuskan suatu kebijakan. Masyarakat juga dapat mengajukan usul rancangan keputusan yang hanya tinggal dilegalisir oleh pemerintah, kemudian pemerintah mengambil keputusan serta menentukan sikap resminya berdasarkan usulan atau inisiatif masyarakat. Peran pemerintah lebih bersifat mendampingi masyarakat atau memberikan advokasi kepada masyarakat tentang apa yang mereka kerjakan.

5. Informatif. Pada satu pihak pemerintah perannya makin berkurang dan pada pihak lain masyarakat memiliki peran yang lebih besar dibandingkan dengan empat bentuk kolaborasi lainnya. Pemerintah hanya memberikan informasi kepada masyarakat tentang apa yang sepatutnya dikerjakan oleh masyarakat. Dalam kontribusinya yang lebih nyata, pemerintah menetapkan representasinya/delegasinya untuk bekerjasama dengan masyarakat dalam seluruh tahapan pengelolaan sumberdaya, mulai dari pengumpulan data, perumusan kebijakan, implementasi, pemantauan dan evaluasi.

(14)

Tingkat, bentuk atau tipe pengelolaan kolaboratif (co-management) yang diacu berdasarkan hirarki yang digambarkan oleh Nikijuluw (2002), dalam gambar 4 berikut :

Gambar 4 Level hierarki co-management (Nikijuluw 2002)

Gambar 5 Arah kerja co-management (Borrini-Feyerabend 1996)

Gambar 5 mengilustrasikan wilayah pengelolaan kolaboratif yang berada diantara manajemen di bawah kontrol penuh pemerintah dan di bawah kendali penuh masyarakat, sehingga arah kerja co-management mencakup berbagai cara dengan menerapkan manajemen kerjasama yang adaptif, mulai dari konsultasi aktif, mencari konsensus, negosiasi, sharing otoritas dan tanggung jawab serta transfer otoritas dan tanggung jawab.

Kontrol Penuh Pemerintah

Kontrol bersama Pemerintah

Kontrol Penuh stakeholders

Tidak ada intervensi &

konstribusi stakeholders Konsultasi

secara aktif

Mencari konsensus terbaik

COLLABORATIVE MANAGEMENT Negosiasi

(keterlibatan dlm pengamb kpts &

kesepakatan

Sharing otorirtas

& tanggung jwb secara formal

Transfer otoritas &

Tanggung jawab Tidak ada intervensi &

konstribusi pemerintah Harapan stakeholkders meningkat

Kontribusi, komitmen & akuntabilitas stakeholkders meningkat Goverment based

User-group based management

Instruksif

Konsultatif

Kooperatif

Pendampingan

Informatif

(15)

2.6 Pembangunan Berkelanjutan

Pengelolaan kawasan dan nilai sumberdaya alam berperan penting mendukung pembangunan berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan merupakan konsep penting bagi biologi konservasi karena menekankan perbaikan pembangunan masa kini, serta mengefisienkan penggunaan sumberdaya (Indrawan et al. 2007). Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan di masa kini tanpa mengurangi potensi untuk memenuhi kebutuhan generasi mendatang. Pembangunan berkelanjutan berorientasi pada tujuan ekonomi, sosial dan ekologi (Munasinghe 1993). Pembangunan ekonomi yang berorientasi pada pertumbuhan, stabilitas dan efisiensi, pembangunan sosial yang bertujuan pengentasan kemiskinan, pengakuan jati diri dan pemberdayaan masyarakat dan pembangunan lingkungan ekologi berorientasi pada perbaikan lingkungan. Tujuan pembangunan berkelanjutan sejalan dengan tujuan pembangunan dan pengelolaan taman nasional yaitu pembangunan mengintegrasikan komponen- komponen sumberdaya, ekonomi, sosial budaya dan lingkungan secara serasi dan seimbang. Pemanfaatan komponen-komponen sumberdaya secara serasi dan seimbang dimaksudkan untuk mencapai optimalisasi pemanfaatan sumberdaya pada saat sekarang tanpa mengurangi kesempatan dan kebutuhan generasi mendatang (Moffatt and Hanley 2001).

Seiring dengan perkembangan penduduk yang diikuti dengan peningkatan kebutuhan sumberdaya, maka pengelolaan fungsi dan manfaat kawasan konservasi harus mencapai optimalisasi untuk dapat menghasilkan manfaat ekonomi bagi kesejahteraan masyarakat sekitarnya. Manfaat ekonomi bagi masyarakat dapat diwujudkan melalui kegiatan wisata dan budidaya terbatas baik flora maupun fauna seperti banteng. Kegiatan tersebut tentu saja harus menggunakan indikator keberhasilan tidak saja secara ekonomis tetapi secara ekologis untuk keberlanjutan sumberdaya alam dan lingkungannya sesuai dengan tujuan pembangunan berkelanjutan.

Pembangunan berkelanjutan merupakan paradigma penting bagi pengembangan masyarakat dalam mencari jalan untuk mencapai keseimbangan sosial, ekonomi dan ekologi dari komunitas (Hibbard and Tang 2004). Konsep dasar konservasi dan pengelolaan sumberdaya hutan secara efektif adalah

(16)

memberikan kebutuhan yang cukup bagi kesejahteraan masyarakat sekitarnya.

Masyarakat dikatakan sejahtera apabila kebutuhan dasar sudah terpenuhi, bukan keinginannya. Kebutuhan dasar mencakup pada enam hal, yaitu sandang, papan, pangan, pendidikan, keamanan dan kesehatan. Jika kebutuhan terpenuhi maka layak seseorang dikatakan sejahtera walaupun berpenghasilan kurang dari US $ 2 per hari seperti standar PBB.

Taman nasional dianggap bernilai apabila memiliki sifat menyenangkan, berguna, memuaskan, menguntungkan dan menarik bagi penilainya, dalam hal ini adalah masyarakat yang merasakan manfaatnya dari keberadaan taman nasional.

Manfaat tersebut dapat berupa manfaat sosial dan manfaat ekonomi . Alikodra (1979) menyatakan bahwa tujuan pengelolaan taman nasional dapat dikelompokkan menjadi empat aspek utama yaitu konservasi, penelitian, pendidikan dan kepariwisataan. Tujuan tersebut harus dituangkan dalam kebijaksanaan pengelolaan yang memperhatikan kepentingan masyarakat sekitarnya.

World Commission on Environment and Development (1988) menyatakan bahwa tujuan-tujuan kritis bagi kebijaksanaann lingkungan dan pembangunan yang berasal dari gagasan pembangunan berkelanjutan mencakup :

1. Menggiatkan kembali pertumbuhan ekonomi 2. Mengubah kualitas kehidupan sosial

3. Memenuhi kebutuhan esensial berupa pekerjaan, pangan, energi, air, dan sanitasi.

4. Memastikan dicapainya jumlah penduduk yang berlanjut 5. Menjaga kelestarian dan meningkatkan sumberdaya 6. Mereorientasikan teknologi dan mengelola resiko

7. Menggabungkan lingkungan dan ekonomi dalam pengambilan keputusan 8. Penguatan kerjasama internasional

Selanjutnya dikatakan bahwa pembangunan berkelanjutan bukanlah suatu tingkat keselarasan yang tetap, akan tetapi lebih berupa sebuah proses dengan pemanfaatan sumberdaya, arah investasi, orientasi pengembangan teknologi, serta perubahan kelembagaan yang konsisten dengan kebutuhan hari depan dan kebutuhan masa kini.

(17)

2.7 Analisis Kebijakan

Pengelolaan kawasan, pemanfaatan sumberdaya hutan untuk tujuan pembangunan berkelanjutan memerlukan analisis kebijakan tersendiri, terutama pengelolaan pemanfaatan untuk tujuan sosial. Analisis kebijakan adalah suatu disiplin ilmu sosial terapan yang menggunakan berbagai metode penelitian dan argumen untuk menghasilkan dan memindahkan informasi yang relevan dengan kebijakan sehingga dapat dimanfaatkan di tingkat politik dalam rangka memecahkan masalah-masalah kebijakan (Dunn 2000). Suharto (2006) menyatakan bahwa analisis kebijakan publik di bidang sosial merupakan ilmu sosial terapan yang menggunakan berbagai metode penelitian dan argumentasi untuk menghasilkan informasi yang relevan dalam mengatasi masalah-masalah sosial yang mungkin timbul akibat diterapkannya suatu kebijakan.

Ruang lingkup dan metode analisis kebijakan umumnya bersifat deskriptif dan faktual mengenai sebab dan akibat suatu kebijakan. Selanjutnya dikatakan bahwa analisis kebijakan adalah suatu jenis penelaahan yang menghasilkan informasi sedemikian rupa yang dapat dijadikan dasar pertimbangan para pembuat kebijakan dalam memberikan penilaian terhadap penerapan kebijakan sehingga diperoleh alternatif-alternatif perbaikannya (Suharto 2006). Kebijakan sebagai dasar dalam pelaksanaan kegiatan atau pengambilan keputusan, adalah suatu pilihan terhadap berbagai alternatif yang bersaing mengenai suatu hal.

Kegiatan penganalisaan kebijakan dapat bersifat formal dan hati-hati yang melibatkan penelitian mendalam terhadap isu-isu atau masalah-masalah yang berkaitan dengan evaluasi suatu program yang akan maupun telah dilaksanakan.

Beberapa kegiatan analisis kebijakan dapat pula bersifat informal yang melibatkan tidak lebih dari sekadar kegiatan berfikir secara cermat dan hati-hati mengenai dampak-dampak kebijakan terhadap kehidupan masyarakat. Dengan demikian analisis kebijakan sosial dapat diartikan sebagai usaha yang terencana dan sistematis dalam membuat analisis atau asesmen akurat mengenai konsekuensi- konsekuensi kebijakan sosial, baik sebelum maupun sesudah kebijakan tersebut diimplementasikan (Suharto 2006). Kaitannya dengan konservasi banteng bahwa dalam pembuatan kebijakan pengelolaannya harus didasarkan pada analisis yang

(18)

mendalam pada aspek-aspek yang akan dijadikan dasar dalam kebijakan pengelolaannya.

2.8 Analysis Hierarchy Process (AHP)

Purnomo (2005), menyatakan bahwa teknik Analysis Hierarchy Process (AHP) dapat diterapkan dibidang apa saja termasuk manajemen sumberdaya alam.

Sejalan dengan kebijakan kehutanan yang mengikut sertakan masyarakat lokal, masyarakat sekitar sumberdaya alam dan pihak yang berkepentingan lainnya, AHP dapat digunakan untuk membangun collaborative management sumberdaya alam. Collaborative management dapat dijadikan solusi dalam penyelesaian konflik masyarakat dan pengelolaan sumberdaya alam.

Analysis Hierarchy Process merupakan salah satu metode MCMD (Multy Criteria Multy Decision) yang pertama dikembangkan oleh Saaty (1993).

Kelebihan dari metode ini adalah kemampuan untuk memandang masalah dengan faktor yang kompleks dalam suatu kerangka yang terorganisir, dan adanya interaksi dan saling ketergantungan antar faktor, namun tetap memungkinkan kita untuk memikirkan faktor-faktor tersebut secara sederhana.

Beberapa keuntungan menggunakan AHP sebagai alat analisis adalah (Saaty 1993):

1. AHP memberi model tunggal yang mudah dimengerti, luwes untuk beragam persoalan yang tidak terstruktur.

2. AHP memadukan rancangan deduktif dan rancangan berdasarkan sistem dalam memecahkan persoalan kompleks.

3. AHP dapat menangani saling ketergantungan elemen-elemen dalam satu sistem dan tidak memaksakan pemikiran linier.

4. AHP mencerminkan kecenderungan alami fikiran untuk memilah-milah elemen-elemen suatu sistem dalam berbagai tingkat berlainan dan mengelompokkan unsur yang serupa dalam setiap tingkat.

5. AHP memberi suatu skala dalam mengukur hal-hal yang tidak terwujud untuk mendapatkan prioritas.

6. AHP melacak konsistensi logis dari pertimbangan-pertimbangan yang digunakan dalam menetapkan berbagai prioritas.

7. AHP menuntun ke suatu taksiran menyeluruh tentang kebaikan setiap alternatif.

(19)

8. AHP mempertimbangkan prioritas relatif dari berbagai faktor sistem dan memungkinkan orang memilih alternatif terbaik berdasarkan tujuan-tujuan mereka.

9. AHP tidak memaksakan konsensus tetapi mensintesis suatu hasil yang representatif dari penilaian yang berbeda-beda.

10. AHP memungkinkan orang memperhalus definisi mereka pada suatu persoalan dan memperbaiki pertimbangan dan pengertian mereka melalui pengulangan.

Analysis Hierarchy Process pada dasarnya didesain untuk menangkap secara rasional persepsi orang yang berhubungan sangat erat dengan permasalah tertentu melalui suatu prosedur yang didesain untuk sampai pada suatu skala preferensi diantara berbagai set alternatif. Analisis ini ditujukan untuk membuat suatu model permasalahan yang tidak mempunyai struktur. Analisis ini biasanya diterapkan untuk memecahkan masalah yang terukur (kuantitatif) maupun masalah-masalah yang memerlukan pendapat (judgement) maupun pada situasi yang kompleks atau tidak terkerangka pada situasi dimana data informasi statistik sangat minim atau tidak ada sama sekali dan hanya bersifat kualitatif yang didasari oleh persepsi, pengalaman, atau intuisi. AHP banyak digunakan pada pengambilan keputusan pada banyak kriteria.

Kelebihan AHP lebih disebabkan oleh fleksibilitasnya yang tinggi terutama dalam menentukan hierarki. Sifat fleksibilitas membuat model AHP dapat menangkap beberapa tujuan dan beberapa kriteria sekaligus dalam suatu model. Model tersebut dapat memecahkan masalah yang mempunyai tujuan- tujuan yang saling berlawanan, kriteria-kriteria yang saling berlawanan dan tujuan serta kriteria yang saling berlawanan dalam sebuah model. Masalah-masalah seperti konflik, perencanaan, proyeksi, alokasi sumberdaya adalah beberapa dari banyak masalah yang dapat diselesaikan dengan baik oleh model AHP (Purnomo 2005).

2.9 Analisis SWOT

Analisis SWOT (Strengths, weaknesses, Opportunities, Threats) adalah identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan formulasi strategi dalam suatu manajemen. Analisis SWOT dalam kontek penelitian ini dilakukan

(20)

untuk menentukan strategi dalam mengimplementasikan program kegiatan secara kolaboratif yang terpilih atau yang menjadi prioritas dalam rangka meminimalisir konflik konservasi banteng . Analisis didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (Strengths) dan peluang (opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (Weaknesses) dan ancaman (Threats).

Proses pengambilan keputusan strategis selalu berkaitan dengan pengembangan misi, tujuan, strategi dan kebijakan suatu organisasi. Dengan demikian perencanaan strategis (strategic planner) harus menganilisis faktor-faktor strategis (kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman) dalam kondisi yang ada saat ini. Hal ini disebut dengan Analisis Situasi. Model yang paling populer untuk analisis situasi adalah Analisis SWOT (Rangkuti 2006).

Kinerja ditentukan oleh kombinasi faktor internal dan eksternal, kedua faktor tersebut harus dipertimbangkan dalam analisis SWOT. SWOT adalah singkatan dari lingkungan internal Strengths dan Weaknesses serta lingkungan eksternal Opportunities dan threats yang dihadapi oleh organisasi. Analisis SWOT membandingkan antara faktor eksternal peluang dan ancaman dengan faktor internal kekuatan dan kelemahan (Rangkuti 2006).

Gambar 6 Kuadran faktor eksternal dan faktor internal BERBAGAI PELUANG

KELEMAHAN INTERNAL

KEKUATAN INTERNAL

BERBAGAI ANCAMAN 3. Mendukung

strategi turnaround

1. Mendukung strategi agresif

4. Mendukung strategi defensif

2. Mendukung strategi diversifikasi

(21)

Kuadran 1 : ini merupakan situasi yang sangat menguntungkan. Organisasi memiliki peluang dan kekuatan sehingga dapat memanfaatkan peluang yang ada. Strategi yang harus diterapkan dalam kondisi ini adalah mendukung kebijakan pertumbuhan yang agresif (Grouth oriented srategy).

Kuadran 2 : Meskipun menghadapi berbagai ancaman, masih memiliki kekuatan dari segi internal. Strategi yang harus diterapkan adalah menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang jangka panjang dengan cara strategi diversifikasi.

Kuadran 3 : Organisasi menghadapi peluang yang sangat besar, tetapi di lain pihak menghadapi beberapa kelemahan/kendala internal. Kondisi pada kuadran 3 mirip dengan Question Mark pada BCG matrik. Fokus strategi adalah meminimalkan masalah-masalah internal perusahaan sehingga dapat merebut peluang yang lebih baik.

Kuadran 4 : Kuadran ini merupakan situasi yang sangat tidak menguntungkan, karena menghadapi berbagai ancaman dan kelemahan internal.

2.10 Contoh Penyelesaian Konflik dengan Co-management di Luar Negeri Pengalaman beberapa negara dalam menyelesaikan konflik di kawasan konservasi dengan pendekatan kolaboratif

1). Studi kasus dalam penyesaikan konflik antara manusia dan satwaliar terjadi di ekosistem Taman Nasional Amboseli Kenya bagian Selatan sebagai contoh masalah yang dihadapi dalam pelestarian populasi mamalia besar di Afrika.

Satwaliar Amboseli bermigrasi musiman keluar dari batas taman yang telah ditetapkan dan masuk ke lahan milik penggembala subsisten, adanya perubahan gaya hidup ke arah lebih menetap menyebabkan mereka tidak mau menerima kehadiran satwaliar di lahan mereka. Hal ini disebabkan satwaliar tidak memberikan sumbangan apa-apa terhadap perekonomian setempat, walaupun nilai satwaliar secara nasional di bidang pariwisata cukup berarti.

Konflik tersebut diselesaikan dengan cara melibatkan masyarakat dalam pengelolaan taman melalui pengembangan kegiatan wisata satwaliar di lahan masyarakat sehingga dapat memberikan nilai ekonomi bagi masyarakat.

Pemilik lahan memperoleh manfaat dari pengelolaan satwaliar, dan dapat menekan tingkat perburuan liar sehingga satwaliar mengalami peningkatan

(22)

populasi . Pengalaman Amboseli dapat diterapkan pada banyak tempat lain, penduduk dapat memperoleh keuntungan dengan cara melindungi satwaliar yang keluar taman nasional. Tantangan yang dihadapi manajemen adalah menjamin kelangsungan hidup satwaliar di luar taman nasional dengan imbalan keuntungan yang melebihi nilai kerugiannya ( Primack et al. 1998).

2). Kasus konflik di Cagar Alam Kamerun. Masalah yang mengemuka adalah luasan lahan yang dapat dikerjakan atau digarap oleh masyarakat tidak men cukupi, sehingga perambahan meningkat. Masyarakat lokal mengklaim kawasan cagar alam sehingga terjadi konflik. Konflik juga dipicu oleh kurangnya komunikasi dan kolaborasi antara pengelola cagar alam, pemerintah desa dan masyarakat lokal. Untuk itu pengelola membangun kolaborasi yang dimulai dengan mengadakan workshop dengan tujuan untuk meningkatkan komunikasi antar stakeholders.

Solusi yang diambil dalam penyelesaian konflik adalah penambahan lahan usaha masyarakat lokal, berupa penetapan buffer zone dalam kawasan cagar alam. Penambahan lahan dalam rangka meningkatkan pendapatan diperuntukkan bagi pengembangan pertanian dan agroforestry. Aktivitas dalam kawasan buffer zone di monitor dengan indikator keberhasilan menurut prinsip integritas ekosistem yang efektif dan kehidupan manusia yang layak (Jum C and Oyono PR 2005).

3). Kasus pengambilan kayu dan bambu di kawasan Cagar Alam Propinsi Yunan China. Model kolaborasi yang digunakan yaitu Integrated community management planing (ICMP). Model ini dibangun untuk masyarakat sekitar kawasan yang didukung oleh pemerintah daerah setempat dan departemen terkait. Implementasinya dengan cara menanam buah-buahan di daerah penyangga untuk meningkatkan pendapatan masyarakat dan pengenalan kompos biogas untuk menekan penggunaan kayu dari kawasan ( Lai Q 2003).

4). Kasus konflik di The Cerro Azul National Park Honduras. Pengelolaan konflik antara kepentingan perlindungan kawasan taman nasional dan masyarakat sekitar kawasan yang miskin. Kebutuhan sosial dan ekonomi masyarakat berupa: sumber pangan, sekolah , transportasi, listrik dan sarana prasarana

(23)

lain. Solusinya yaitu kawasan penyangga seluas 21.357 ha atau setara 68 % dari keseluruhan kawasan taman nasional digunakan sebagai tempat tinggal masyarakat yang berjumlah dari 19.600 jiwa dan terdiri dari 42 dusun.

Aktivitas masyarakat berupa bertani dengan menanam kopi, nenas dan beternak sapi. Dalam kawasan taman nasional tersebut zona inti hanya 3 % atau seluas 890 ha dan zona pemanfaatan 29 % setara dengan 9.129 ha (Pleffer M J et al. 2001).

5). Konflik gajah dan masyarakat di Simao, China. Judul penelitian An initial study on habitat conservation of Asian elephant (Elephas maximus), with focus on human elephant conflict in Simao, China. Metode yang digunakan yaitu Participatory Rural Appraisal (PRA), Rapid Rural Appraisal (RRA) dan wawancara dengan masyarakat sekitar habitat gajah. Untuk habitat digunakan metode transek, data yang dikumpulkan yaitu tipe vegetasi, jenis pakan, habitat yang terganggu, status populasi dan frekuensi ditemukannya gajah.

Hasil penelitian menyimpulkan bahwa untuk menjamin keberlangsungan hidup gajah, hal yang penting untuk diketahui yaitu struktur habitat, keberlangsungan dan ketersediaan pakan, pola pergerakan kelompok dan struktur kelompok. Hal yang lebih penting lainnya yaitu perilaku masyarakat sekitar terhadap satwa gajah. Kegiatan pertanian masyarakat dilakukan pada kawasan yang jarang didatangi gajah dan jenis tanaman yang ditanam adalah jenis tanaman semusim, hal tersebut dimaksudkan untuk meminimalisir konflik antara gajah dan masyarakat. Saat program konservasi dijalankan secara otomatis kawasan tersebut menjadi kawasan konservasi biodiversitas dan gajah sebagai spesies kuncinya (Zhang Li and Wang Ning 2003).

(24)

Referensi

Dokumen terkait

Strategi wisata bahari yang dimiliki Pantai Patra Sambolo Anyer berada pada kuadran 1 dengan mendukung penerapan kebijakan pertumbuhan yang agresif, yaitu dengan cara

Strategi yang harus diterapkan dalam kondisi ini adalah mendukung kebijakan pertumbuhan yang agresif yaitu memanfaatkan kekuatan dengan menawarkan makanan dengan cita rasa yang khas

Strategi yang mendukung kebijakan pertumbuhan yang agresif (growth oriented strategy) dapat terjadi karena.. faktor kekuatan dan peluang yang jumlahnya besar. Kondisi

Strategi yang harus diterapkan dalam kondisi ini adalah mendukung kebijakan pertumbuhan yang agresif yaitu : mengikuti program–program pemerintah yang terkait

Kuadran II : Meskipun menghadapi berbagai ancaman, perusahaan ini masih memiliki kekuatan dari segi internal, strategi yang harus diterapkan adalah menggambar

Kuadran II : Meskipun menghadapi berbagai ancaman, perusahaan ini masih memiliki kekuatan dari segi internal, strategi yang harus diterapkan adalah menggambar

Kuadran 4 merupakan kondisi yang sangat tidak menguntungkan, perusahaan menghadapi berbagai ancaman dan kelemhan internal Analisis SWOT dapat digunakan sebagai strategi yang dilakukan

Alternatif Strategis BERBAGAI PELUANG BERBAGAI ANCAMAN KELEMAHAN INTERNAL KEKUATAN INTERNAL Mendukung strategi agresif Mendukung strategi diversifikasi Mendukung