• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS. seseorang atau lebih (yang disebut sebagai Principal) yang menunjuk orang yang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS. seseorang atau lebih (yang disebut sebagai Principal) yang menunjuk orang yang"

Copied!
48
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

A. Teori Agensi

Teori keagenan (Agency Theory) merupakan sebuah kontrak antara seseorang atau lebih (yang disebut sebagai Principal) yang menunjuk orang yang lainnya (yang disebut sebagai Agent) untuk menjalankan layanan sesuai dengan kepentingan prinsipal, yang mencakup pendelegasian beberapa kewenangan pengambilan keputusan kepada Agen (Jensen dan Saham Meckling, 1976).

Stassart dan de Visscher (2005) menjelaskan bahwa:

The supervisory authority thus becomes the principal, which, for reasons of efficiency,delegates part of its mission to specialized implementing parties (the agents). Their relation is mainly governed by means of a contract (formal or no), which determines therights and obligations of each party, including the results that the principal would like tosee, as well as the resources made available by the principal to enable the agencies tocarry out the assignment given to them.

Akibat yang ditimbulkan dari penerapan teori keagenan dapat menimbulkan hal positif dalam bentuk efisiensi, tetapi lebih banyak yang menimbulkan hal negatif dalam bentuk perilaku opportunistik (opportunistic behaviour ). Hal tersebut terjadi karena pihak agensi memiliki informasi keuangan yang lebih daripada pihak prinsipal (keunggulan informasi), sedangkan dari pihak prinsipal memanfaatkan kepentingan pribadi atau golongannya sendiri

(2)

(self-interest ) karena memiliki keunggulan kekuasaan (discretionary power ).

Masalah keagenan yang timbul di kalangan eksekutif cenderung memaksimalkan utiliti (self-interest ) dalam pembuatan atau penyusunan anggaran APBD, karena memiliki keunggulan informasi (asimetric information). Akibatnya eksekutif cenderung melakukan ”budgetary slack ”. Hal ini terjadi disebabkan pihak eksekutif akan mengamankan posisinya dalam pemerintahan di mata legislatif dan masyarakat/rakyat, bahkan untuk kepentingan pilkada berikutnya, tetapi budgetary slack APBD lebih banyak untuk kepentingan pribadi kalangan eksekutif (self interest ) dari pada untuk kepentingan masyarakat (Latifah, 2010).

Teori keagenan berfokus pada persoalan asimetri informasi: agen mempunyai informasi lebih banyak tentang kinerja aktual, motivasi, dan tujuan, yang berpotensi menciptakan moral hazard dan adverse selection. Prinsipal sendiri harus mengeluarkan biaya (costs) untuk memonitor kinerja agen dan menentukan struktur insentif dan monitoring yang efisien (Petrie, 2002). Lebih lanjut, dengan adanya asimetri informasi di antara eksekutif-legislatif dan legislatif-pemilih menyebabkan terbukanya ruang bagi terjadinya perilaku oportunistik dalam proses penyusunan anggaran, yang justru lebih besar daripada di dunia bisnis yang memiliki automatic checks berupa persaingan (Abdullah dan Asmara, 2006).

2. Hubungan Keagenan Antara Legislatif dan Eksekutif

Dalam hubungan keagenan antara eksekutif dan legislatif, eksekutif sebagai agen dan legislatif sebagai prinsipal. Hubungan eksekutif/birokrasi dengan legislatif/kongres dengan sebutan self-interest model. Legislator ingin

(3)

dipilih kembali, birokrat ingin memaksimumkan anggarannya, dan konstituen ingin memaksimumkan utilitasnya. Untuk dapat terpilih kembali, legislator mencari program dan projects yang membuatnya populer di mata konstituen. Birokrat mengusulkan program-program baru agar agency-nya dapat berkembang dan konstituen dapat terus percaya mereka telah menerima manfaat (benefit ) dari pemerintah (Abdullah dan Asmara, 2006).

Menurut Elgie & Jones (2001), legislatif dapat juga berperilaku moral hazard dalam merealisasikan self-interestnya. Lalu dinyatakan oleh Colombatto (2001) bahwa adanya discretionary power (akibat pendelegasian wewenang Prinsipal ke Agen) akan menimbulkan pelanggaran atas kontrak keagenan, dan karenanya dapat diprediksi bahwa semakin besar discretionary power yang dimiliki legislatif semakin besar pula kecenderungan mereka mengutamakan kepentingan pribadinya. Dalam kondisi saat ini, posisi legislatif yang kuat berdasarkan Undang-undang No. 22 Tahun 1999 telah mengalami perubahan setelah diganti dengan Undang-undang No. 32 Tahun 2004.

Perubahan terpenting yang terjadi adalah dalam hal pemilihan kepala daerah, yang dalam aturan baru tersebut dipilih langsung oleh rakyat tanpa melalui perantaraan legislatif dalamparlemen. Selain itu, PP No.110/2000 yang mengatur kedudukan keuangan DPRD, yang mengandung kemungkinan bias interpretasi atas anggaran DPRD, diganti dengan PP No.24/2004. Perubahan ini diharapkan mengurangi perilaku oportunistik legislatif untuk dapat memanfaatkan discretionary power yang dimilikinya dalam mengusulkan kebijakan kepada eksekutif (Halim & Abdullah, 2006).

(4)

3. Hubungan Keagenan Antara Legislatif dan Masyarakat

Von Hagen (2002) menjelaskan bahwa hubungan antara voters- legislatif pada dasarnya menunjukkan bagaimana voters memilih politisi untuk membuat kebijakan publik bagi mereka dan mereka memberikan dana dengan membayar pajak. Dengan demikian, politisi diharapkan mewakili kepentingan prinsipalnya ketika legislatif terlibat dalam pengalokasian anggaran. Pada kenyataannya, legislatif tidak selalu memiliki preferensi yang sama dengan publik (Groehendijk, 1997). Oleh karena itu, Lupia & Mc Cubbins (2000) mengingatkan bahwa pendelegasian memiliki konsekuensi terjadinya abdication, yakni agents areunconstrained by how their actions affect their principal. Persoalan abdication menjadi semakin nyata ketika tidak ada institusi formal yang berfungsi mengawasi kinerja legislatif. Lebih lanjut menurut Von Hagen (2002), sesungguhnya voters memiliki keinginan menghilangkan peluang oportunisme legislatif melalui suatu aturan tentang apa yang harus mereka lakukan pada kondisi tertentu. Namun, membuat aturan untuk sesuatu yang tidak jelas dan tingginya kompleksitas situasi yang dihadapi menyebabkan kontrak yang sempurna sulit dibuat. Karenanya hubungan keagenan voters-politisi dapat dipandang sebagai incomplete contract (Seabright, 1996).

4. Penganggaran Publik di Indonesia

Anggaran merupakan alat utama pemerintah untuk melaksanakan semua kewajiban, janji, dan kebijakannya ke dalam rencana-rencana konkrit dan terintegrasi dalam hal tindakan apa yang akan diambil, hasil apa yang akan

(5)

dicapai, pada biaya berapa dan siapa yang akan membayar biaya-biaya tersebut.

Sementara Freeman & Shoulders (2003) menyatakan bahwa anggaran yang ditetapkan dapat dipandang sebagai suatu kontrak kinerja antara legislatif dan eksekutif. Penganggaran di sektor publik merupakan suatu bargaining process antara eksekutif dan legislatif. Pada sektor publik, penganggaran atau proses penyusunan anggarannya memiliki karakteristik yang berbeda dengan yang terjadi pada penganggaran pada sektor bisnis.

Karakteristik tersebut mencakup ketersediaan sumberdaya, motif laba, barang publik, eksternalitas, penentuan harga pelayanan publik, dan perbedaan lain seperti intervensi pemerintah terhadap perekonomian melalui anggaran, kepemilikan atas organisasi, dan tingkat kesulitan dalam proses pembuatan keputusan. Penganggaran setidaknya mempunyai tiga tahapan, yakni (1) perumusan proposal anggaran, (2) pengesahan proposal anggaran, dan (3) pengimplementasian anggaran yang telah ditetapkan sebagai produk hukum.

Menurut Von Hagen (2002) penganggaran terbagi ke dalam empat tahapan, yaitu executive planning, legislative approval, executive implementation, dan ex post accountability.

Pada kedua tahapan pertama terjadi interaksi antara eksekutif dan legislatif dan politik anggaran paling mendominasi, sementara pada 2 (dua) tahap terakhir hanya melibatkan birokrasi sebagai agen. Latifah (2010) menjelaskan bahwa penerapan otonomi daerah di Indonesia tidak terlepas dari perubahan paradigma dalam pengelolaan dan penganggaran daerah. Sebagai acuan untuk dapat mengukur kinerja orang-orang yang bekerja di sektor publik maka digunakan

(6)

konsep penganggaran kinerja (performance budgeting) dimana konsep tersebut menjelaskan keterkaitan antara pengalokasian sumberdaya dengan pencapaian hasil yang dapat diukur. Penganggaran yang berbasiskan kinerja mulai diterapkan di Indonesia berdasarkan PP No.105/2000 dan Kepmendagri No.29/2002.

Anggaran kinerja mendorong partisipasi dari stakeholders sehingga tujuan pencapaian hasil sesuai dengan kebutuhan publik. Legislatif diberi kesempatan untuk berperan aktif dalam penyusunan dan penetapan anggaran sebagai produk hukum. Proses penyusunan anggaran dalam penganggaran kinerja dimulai dari satuan kerja - satuan kerja yang ada di Kementerian atau Lembaga, melalui dokumen usulan anggaran yang disebut Rencana Kerja Anggaran Kementerian/Lembaga (RKAKL). RKAKL kemudian diteliti oleh tim anggaran eksekutif untuk dinilai kelayakannya (berdasarkan urgensi dan ketersediaan dana) diakomodasi dalam RAPBN yang akan disampaikan kepada legislatif, RAPBN kemudian dipelajari oleh panitia anggaran legislatif dan direspon oleh semua komisi dan fraksi dalam pembahasan anggaran.

5. Teori Agensi Dalam Sistem Manajemen Pengeluaran Pemerintah

Kementerian/Lembaga dalam hal ini Direktorat jenderal Pajak (DJP) dapat dinyatakan sebagai agen dari Ministry of Finance (principles) karena DJP dibutuhkan untuk menghasilkan suatu output bagi masyarakat luas pada tingkatan tertentu, yang mencakup kualitas dari output tersebut, sebagai dasar ketepatan anggaran DJP walaupun DJP sendiri merupakan bagian dari Ministry of Finance (Leruth dan Paul, 2007). Ketepatan pengeluaran anggaran dapat diinterprestasikan sebagai dua komponen kontrak antara MoF dan DJP ( Leruth dan Paul, 2007).

(7)

Tujuan MoF adalah untuk memudahkan DJP dalam mengimplementasikan program pengeluaran mereka, sedangkan DJP mengejar tujuan mereka sendiri.

Hubungan tersebut menimbulkan baik hidden actions (upaya produktif dari pegawai pemerintah, kemungkinan konsumsi yang berlebihan, atau korupsi) dan hidden information (produktivitas sektor ekonomi tertentu diluar DJP), dengan demikian agen memiliki informasi yang lebih baik jika dibandingkan principal.

Hidden information juga dapat dikaitkan dengan buruknya perencanaan program, yang akan mengakibatkan ketidakefisienan akibat lemahnya sistem manajemen pengeluaran pemerintah.

Elemen penting dari principal-agent model adalah untuk menspesifikasi sesuatu yang dapat diamati (observable) yang akan menjadi elemen utama dari kontrak (Leruth dan Paul, 2007). Ketika agen (DJP) mengukur kinerja seharusnya berdasarkan pada berbagai indikator yang mencakup output, outcome, dan pengaruhnya. Seperti informasi yang biasanya sulit untuk didapatkan, dan pengukuran input yang tidak memuaskan. Dalam model penelitian Leruth dan Paul (2007), agen harus mengajukan proposal terkait prioritas mereka, terhadap tujuan-tujuan yang akan dicapai, dan target-target yang dapat dikuantifikasikan.

Pengajuan anggaran DJP kemudian dinegosiasikan dengan MoF. Negosiasi tersebut mencakup output yang akan dihasilkan DJP dan besarnya pagu anggaran yang diperoleh.

Permasalahan agensi meningkat karena adanya perbedaan kepentingan antara MoF dan DJP. Kedua belah pihak bertindak untuk memenuhi keinginannya. Upaya-upaya agen merupakan komponen penting dari fungsi

(8)

produksi, namun tidak memberikan beberapa manfaat. Agen terkadang menggunakan keunggulan informasi yang mereka miliki apabila kondisi eksternal baik (menguntungkan), DJP dapat melakukan sedikit usaha dan menghasilkan output yang rendah, DJP berpendapat hasil output yang rendah dikarenakan kondisi eksternal yang tidak baik.

B. Teori Good Governance 1. Konsep Governance

Konsep Governance semakin popular seiring dengan dinamika sosial politik yang membutuhkan perubahan atas peran pemerintah yang selama ini menjadi titik tumpu utama dalam setiap kebijakan publik. Bonnafous (2005) mengemukakan munculnya konsep governance didasari oleh adanya pergeseran paradigma tata kelola pemerintahan dari government ke arah governance.

Government cenderung lebih mengedepankan pemerintah sebagai aktor utama yang berperan di berbagai kebijakan publik. Apabila hal tersebut diteruskan tanpa ada keseimbangan dan pengawasan oleh elemen-elemen lainnya, maka dikhawatirkan akan menimbulkan penyalahgunaan kewenangan. Sedangkan governance lebih memfokuskan adanya sinergisitas antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat. Pergeseran paradigma tersebut telah mengubah cara pandang publik terhadap tata kelola pemerintahan yang diharapkan dapat meningkatkan akuntabilitas pengelolaan keuangan publik (Sudana dan Sukasih, 2006).

(9)

Tim Pengembangan Kebijakan Nasional Tata Kepemerintahan yang Baik BAPPENAS (2007) mengemukakan bahwa konsep governance idealnya harus bertumpu pada keseimbangan antara tiga komponen utama, yaitu pemerintah, dunia usaha swasta dan masyarakat. Hal tersebut dimaksudkan untuk menghindari dominasi kekuasaan atas satu komponen terhadap komponen lainnya. Melalui perwujudan governance maka setiap komponen akan memegang peranan penting dan secara aktif terlibat dalam penyelenggaraan kebijakan publik.

2. Konsep Good Governance

Konsep Good Governance merujuk pada tata kepemerintahan yang baik dan merupakan perwujudan dari konsep governance. Good Governance merupakan salah satu pilar penting dalam mewujudkan kinerja pengelolaan keuangan publik. Implementasi Good Governance dipercaya dapat memberikan kontribusi strategis dalam peningkatan kesejahteraan rakyat, mewujudkan iklim bisnis yang sehat, meningkatkan daya saing, serta efektif dalam pencegahan terhadap tindak korupsi.

Pengertian Good Governance pada dasarnya merupakan suatu pendekatan yang berorientasi pada pembangunan sektor publik melalui kepemerintahan yang baik. Menurut World Bank dalam (Mardiasmo, 2009), Good Governance diartikan sebagai suatu penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab yang sejalan dengan prinsip demokrasi dan pencegahan korupsi dengan menjalankan disiplin anggaran. Good Governance dapat dipandang sebagai suatu bentuk manajemen pembangunan yang menempatkan peran pemerintah sebagai agent of development. Agent of development diartikan

(10)

sebagai pendorong proses pembangunan dan perubahan masyarakat melalui berbagai kebijakan termasuk anggaran. Pada prinsipnya Good Governance merujuk pada cara kekuasaan dan wewenang itu dikelola dan digunakan untuk merespon masalah-masalah publik dengan mengikuti prinsip atas nilai tertentu yang dinilai baik oleh masyarakat.

3. Prinsip-Prinsip Good Governance

Semakin krusialnya penerapan Good Governance di berbagai sektor menuntut adanya penerapan prinsip-prinsip Good Governance yang konsisten dan berkelanjutan. Prinsip-prinsip Good Governance merupakan suatu landasan yang harus dijunjung tinggi sebagai pedoman dalam pengelolaan anggaran satuan kerja agar mampu mengembangkan kapabilitasnya (Margono, 2005). Pada dasarnya prinsip-prinsip Good Governance diterapkan dengan tujuan untuk menciptakan keselarasan dalam tata kelola suatu organisasi. Adapun menurut OECD inti pokok dari prinsip-prinsip Good Governance (Liou, 2007) antara lain dapat dikelompokkan sebagai berikut:

a Peraturan dan kualitas peraturan (The Rule of Law and Regulation Quality). Dalam proses kebijakan publik termasuk penganggaran harus dilakukan sesuai dengan peraturan atau perundang-undangan yang berlaku. Selain itu, setiap peraturan harus memiliki kualitas yang memadai dan mudah dimengerti agar pelaksanaan peraturan tersebut dapat berjalan dengan baik.

(11)

b Akuntabilitas, transparansi dan partisipasi (Accountability, Transparancy and Participation). Unsur penting yang hendaknya saling bersinergi satu sama lain adalah terkait dengan akuntabilitas, transparansi dan partisipasi. Mulai dari tahap perencanaan sampai pada pelaporan hendaknya dilakukan secara terbuka, melibatkan semua aspirasi pihak terkait dan dipertanggungjawabkan kepada para pemangku kepentingan.

c Kompetensi teknis dan manajerial pegawai (Technical and Managerial Competence of Civil Servants). Agar dapat mencapai tujuan yang diharapkan dan sesuai dengan visi misi, maka komponen yang menjadi titik krusial adalah sumber daya manusia dalam pelaksanaan anggaran tersebut. Pegawai harus memiliki kemampuan teknis dan manajerial yang memadai agar mampu melaksanakan tugas dan wewenang dengan sebaik-baiknya.

d Kapasitas organisasi (Organizational Capacity ). Untuk mencapai tata kelola yang baik, hendaknya kapasitas organisasi yang dinilai dari keberadaan struktur organisasi dan sistem manajerial harus mendukung.

e Teknologi informasi (Information Technology). Dalam rangka mendukung pelaksanaan tata kelola suatu organisasi yang komprehensif, maka diperlukan penggunaan teknologi informasi yang memadai untuk mempermudah dalam pelaksanaan kinerja.

(12)

C. Teori Penganggaran

Anggaran merupakan alat perencanaan dan pengendalian yang efektif dalam pencapaian tujuan organisasi (Govindarajan dan Anthony , 2005).

Anggaran merupakan rencana kerja secara kuantitatif yang diukur dalam satuan moneter dan mencakup jangka waktu satu periode. Anggaran direncanakan oleh manajemen dan membawa organisasi pada suatu kondisi yang diperhitungkan sebelumnya. Anggaran merupakan rencana terperinci dalam perolehan dan penggunaan sumber daya selama satu periode tertentu. Sedangkan dalam lingkup sektor publik, anggaran dibuat untuk membantu menentukan tingkat kebutuhan masyarakat. Anggaran publik merupakan suatu rencana finansial yang menyatakan mengenai biaya atau pengeluaran atas rencana yang dibuat dan cara untuk memperoleh pendanaan (pendapatan) atas rencana tersebut yang diukur secara moneter (Mardiasmo, 2009).

Anggaran memiliki beberapa fungsi yang sangat penting dalam upaya mencapai tujuan organisasi. Menurut Mardiasmo (2009) anggaran sektor publik mempunyai beberapa fungsi utama, antara lain sebagai:

1. Alat perencanaan, anggaran dibuat untuk merencanakan tindakan- tindakan yang akan dilakukan, baik terkait mengenai tujuan atau sasaran kebijakan, program dan kegiatan untuk mencapai tujuan tersebut, serta dana yang dibutuhkan untuk menjalankannya.

2. Alat pengendalian, anggaran yang dipertanggungjawabkan kepada publik akan mengendalikan semua alokasi sumber daya dan

(13)

membatasi kekuasaan eksekutif sehingga anggaran tidak salah sasaran (misappropriation).

3. Alat kebijakan fiskal, anggaran dapat digunakan terkait dengan kebijakan fiskal, yakni dalam rangka menstabilkan dan mendorong pertumbuhan ekonomi.

4. Alat politik, anggaran merupakan bentuk komitmen eksekutif dan kesepakatan legislatif terhadap penggunaan dana publik. Anggaran digunakan untuk memutuskan prioritas dan kebutuhan keuangan atas prioritas tersebut.

5. Alat koodinasi dan komunikasi, dalam proses penyusunan anggaran diperlukan mekanisme koordinasi dan komunikasi dari setiap pihak yang terlibat di dalamnya. Anggaran dapat dikomunikasikan ke setiap satuan kerja untuk dapat dilaksanakan secara menyeluruh.

6. Alat penilai kinerja, anggaran merupakan alat yang efektif untuk pengendalian dan penilaian kineja. Kinerja manajer publik akan dinilai berdasarkan pencapaian target anggaran dan efisiensi pelaksanaan anggaran.

7. Alat motivasi, anggaran dapat mendorong manajer maupun stafnya untuk melakukan tindakan yang ekonomis, efektif dan efisien dalam pencapaian tujuan organisasi.

8. Alat untuk menciptakan ruang publik, dalam proses penganggaran harus melibatkan publik sebagai salah satu komponen penting, publik dapat menyampaikan aspirasi dan pendapatnya untuk

(14)

menciptakan suatu mekanisme pertanggungjawaban keuangan terhadap publik yang lebih transparan dan akuntabel.

Konsep anggaran di sektor publik, selama ini telah banyak mengalami perkembangan, sehingga muncul dua pendekatan utama dalam penyusunan dan perencanaan anggaran publik, yaitu pendekatan anggaran tradisional dan pendekatan New Public Management. Anggaran tradisional hanya menekankan pada pengawasan dan pertanggungjawaban yang terpusat serta tidak memiliki perhatian terhadap konsep value for money. Sedangkan pendekatan baru yaitu New Public Management lebih menekankan pada kinerja organisasi bukan sekedar kebijakan yang terkesan kaku, birokratis dan hierarkis (Mardiasmo, 2009). Salah satu teknik penganggaran publik yang menjadi bagian dari keberadaan pendekatan New Public Management adalah anggaran berbasis kinerja.

Sebagai suatu negara yang berkedaulatan rakyat, berdasarkan hukum, dan menyelenggarakan pemerintahan negara berdasarkan konstitusi, sistem pengelolaan keuangan negara harus didasarkan pada ketentuan perundang- undangan yang berlaku sesuai dengan aturan pokok yang ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar 1945. Dalam rangka memenuhi kewajiban konstitusional yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945 dan sebagai upaya menghilangkan penyimpangan terhadap keuangan negara serta guna mewujudkan sistem pengelolaan keuangan negara yang berkesinambungan (sustainable), profesional, terbuka, dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran

(15)

rakyat, sesuai dengan aturan pokok yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar dan asas-asas umum yang berlaku secara universal dalam penyelenggaraan pemerintahan negara maka sejak tanggal 5 April 2003 telah diundangkan UU No.

17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

Undang-Undang keuangan negara ini merupakan tonggak reformasi pengelolaan keuangan negara di Indonesia, karena memberikan perubahan mendasar dalam ketentuan keuangan negara, dimulai dari pengertian dan ruang lingkup keuangan negara, asas-asas umum pengelolaan keuangan negara, kedudukan Presiden sebagai pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara, pendelegasian kekuasaan Presiden kepada Menteri Keuangan dan Menteri/Pimpinan Lembaga, susunan APBN dan APBD, ketentuan mengenai penyusunan dan penetapan APBN dan APBD, pengaturan hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan bank sentral, pemerintah daerah dan pemerintah/lembaga asing, pengaturan hubungan keuangan antara pemerintah dengan perusahaan negara, perusahaan daerah dan perusahaan swasta, dan badan pengelola dana masyarakat, serta penetapan bentuk dan batas waktu penyampaian laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN dan APBD, termasuk telah mengantisipasi perubahan standar akuntansi di lingkungan pemerintahan di Indonesia yang mengacu kepada perkembangan standar akuntansi di lingkungan pemerintahan secara internasional.

Selain itu, berdasarkan ketentuan Pasal 29 UU No. 17 Tahun 2003, dalam rangka pengelolaan dan pertanggungjawaban Keuangan Negara, termasuk investasi dan kekayaan yang dipisahkan, yang ditetapkan dalam APBN dan

(16)

APBD, diberlakukan UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara sejak tanggal 14 Januari 2004. Dalam Undang-undang Perbendaharaan Negara ini diatur ruang lingkup dan asas umum perbendaharaan negara, kewenangan pejabat perbendaharaan negara, pelaksanaan pendapatan dan belanja negara/daerah, pengelolaan uang negara/daerah, pengelolaan piutang dan utang negara/daerah, pengelolaan investasi dan barang milik negara/daerah, penatausahaan dan pertanggungjawaban APBN/APBD, pengendalian intern pemerintah, penyelesaian kerugian negara/daerah, serta pengelolaan keuangan badan layanan umum.

Ketentuan yang diatur dalam Undang-undang Perbendaharaan Negara ini dimaksudkan pula untuk memperkokoh landasan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah. Dalam rangka pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah, kepada daerah diberikan kewenangan yang luas dan dana yang diperlukan untuk menyelenggarakan kewenangan itu. Oleh karena itu, selain menjadi landasan hukum dalam pelaksanaan reformasi pengelolaan Keuangan Negara pada tingkat pemerintahan pusat, Undang-undang Perbendaharaan Negara ini juga berfungsi untuk memperkokoh landasan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi pada tingkat pemerintah daerah, dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Untuk mewujudkan pengelolaan keuangan negara sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan dalam UU No. 17 Tahun 2003 dan UU No. 1 Tahun 2004 tersebut maka sejak tanggal 19 Juli 2004, diundangkan juga UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan Dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.

UU No. 15 Tahun 2004 memberikan kejelasan posisi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagai badan pemeriksa keuangan negara yang bebas dan mandiri,

(17)

sebagaimana telah ditetapkan dalam Pasal 23E Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Dalam ketentuan UU No. 15 Tahun 2004 antara lain mengatur tentang lingkup pemeriksaan, standar pemeriksaan, kebebasan dan kemandirian BPK dalam pelaksanaan pemeriksaan, akses pemeriksa terhadap informasi, kewenangan untuk mengevaluasi pengendalian intern, hasil pemeriksaan dan tindak lanjutnya dan pengenaan ganti kerugian negara, termasuk sanksi pidana baik yang dapat ditujukan kepada pihak yang diperiksa maupun pemeriksa. Inilah yang digunakan sebagai pedoman ataupun landasan bagi BPK dalam melakukan pemeriksaan pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara, baik yang dikuasai atau dikelola oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Perusahaan Negara/Daerah, maupun badan lain yang ada kaitannya dengan keuangan negara.

Ketiga Undang-undang ini kemudian diistilahkan sebagai paket Undang- undang di bidang Keuangan Negara menggantikan peraturan peninggalan jaman kolonial yang masih digunakan sebelumnya, dan menjadi dasar pembentukan Undang-Undang lainnya, dan Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Peraturan Menteri, Peraturan Lembaga Tinggi Negara, serta Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah, terutama yang terkait dengan pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara.

Keberadaan regulasi atau peraturan perundang-undangan inilah yang menjadi dasar dan pedoman dalam pengelolaan keuangan negara yang dilakukan oleh pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah agar dapat dipertanggungjawabkan kepada rakyat sebagai pemberi amanat. Namun, khusus

(18)

untuk pengelolaan keuangan daerah maka harus dilengkapi dengan Peraturan Daerah dan/atau Peraturan Kepala Daerah (Gubernur/Bupati/ Walikota) yang akan digunakan sebagai dasar pengelolaan keuangan daerah pada pemerintah daerah yang bersangkutan.

1. Anggaran Berbasis Kinerja

Untuk mewujudkan Good Governance diperlukan reformasi kelembagaan (institutional reform) dan reformasi manajemen publik (public management reform). Salah satu reformasi tersebut adalah terkait dengan reformasi sistem penganggaran. Seiring dengan reformasi anggaran, anggaran tradisional berbasis line item telah tergantikan dengan penerapan anggaran berbasis kinerja. Anggaran berbasis kinerja ini diharapkan mampu mengurangi kelemahan-kelemahan yang terdapat pada anggaran tradisional. Anggaran line item tradisional menyajikan pengeluaran-pengeluaran hanya berdasarkan input atau sumber daya yang digunakan. Karakteristik utama dari sistem line item budget adalah menetapkan batas atas line item pada proses alokasi anggaran dan menjamin bahwa unit kerja tidak melakukan pengeluaran melebihi batas tersebut, sehingga anggaran tersebut lebih bersifat rigid. Berbeda dengan anggaran tradisional, anggaran berbasis kinerja tidak hanya sekedar berfokus pada input tetapi lebih memperhatikan keterkaitan antara pendanaan dengan keluaran dan hasil yang diharapkan. Selain itu juga termasuk efisiensi dalam pencapaian hasil dan keluaran tersebut sehingga prinsip-prinsip transparansi, efisiensi, efektivitas dan akuntabilitas dapat dicapai.

(19)

Anggaran Berbasis Kinerja (ABK) merupakan sistem penganggaran yang memiliki orientasi pada output organisasi dan berhubungan erat dengan visi, misi dan rencana strategis organisasi (Bastian, 2006). Sedangkan menurut Mardiasmo (2009), anggaran kinerja pada dasarnya merupakan sistem yang mencakup kegiatan penyusunan program dan tolok ukur kinerja sebagai instrumen untuk mencapai tujuan dan sasaran program.

Berdasarkan definisi-definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa anggaran berbasis kinerja menyediakan informasi kinerja mengenai apa yang dilakukan oleh organisasi atau apa yang diharapkan dari organisasi tersebut dengan dana yang ada. Secara umum prinsip-prinsip anggaran berbasis kinerja didasarkan pada konsep value for money (ekonomis, efisiensi dan efektivitas) dan prinsip Good Governance, termasuk adanya pertanggungjawaban para pengambil keputusan atas penggunaan uang yang dianggarkan untuk mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan (Sancoko, 2008).

2. Pentingnya Implementasi Anggaran Berbasis Kinerja

Di Indonesia, implementasi sistem anggaran berbasis kinerja telah diamanahkan dalam Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang menyatakan bahwa penerapan anggaran berbasis kinerja perlu dilakukan dalam upaya memperbaiki proses penganggaran. Berdasarkan peraturan tersebut, sudah menjadi keharusan anggaran berbasis kinerja untuk diterapkan di berbagai entitas sektor publik, termasuk juga perguruan tinggi yang berstatus Badan Layanan Umum (BLU).

(20)

Anggaran berbasis kinerja dirancang untuk menciptakan efisiensi, efektivitas dan akuntabilitas pemanfaatan anggaran publik dengan output dan outcome yang jelas sesuai dengan prioritas, sehingga semua anggaran yang dikeluarkan dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat. Penerapan anggaran berbasis kinerja juga akan meningkatkan kualitas pelayanan publik dan memperkuat dampak dari peningkatan pelayanan kepada publik tersebut.

Menurut Sancoko (2008), penerapan anggaran berbasis kinerja dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

a Anggaran berbasis kinerja memungkinkan pengalokasian sumber daya yang terbatas untuk membiayai kegiatan prioritas sehingga tujuan dapat tercapai dengan efisien dan efektif.

b Penerapan anggaran berbasis kinerja adalah hal penting untuk menuju pelaksanaan kegiatan dan program yang transparan.

Dengan anggaran yang jelas, dan juga output yang jelas, serta adanya hubungan yang jelas antara pengeluaran dan output yang hendak dicapai maka akan tercipta transparansi.

c Organisasi pembuat kebijakan akan berada pada posisi yang lebih baik untuk menentukan prioritas kegiatan pemerintah yang rasional.

Utomo (2007) menyatakan bahwa anggaran berbasis kinerja dipercaya memberikan manfaat bagi berbagai pihak, baik pemerintah maupun masyarakat terutama dalam mendorong tata kelola pemerintahan yang lebih baik.

Implementasinya diharapkan akan meningkatkan proses pembangunan menjadi

(21)

lebih efisien dan partisipatif, karena melibatkan masyarakat sebagai penerima manfaat dari kegiatan pelayanan publik. Meninjau tujuan dan manfaat anggaran berbasis kinerja tersebut, maka implementasi anggaran berbasis kinerja penting untuk dilaksanakan terutama dengan berpedoman pada peraturan-peraturan terkait yang mewajibkan pelaksanaan anggaran berbasis kinerja.

3. Keberhasilan Penganggaran Berbasis Kinerja

Berbeda dengan penganggaran dengan pendekatan tradisional, penganggaran dengan pendekatan kinerja ini disusun dengan orientasi output.

Jadi, apabila kita menyusun anggaran dengan pendekatan kinerja, maka mindset kita harus fokus pada "apa yang ingin dicapai". Kalau fokus ke "output", berarti pemikiran tentang "tujuan" kegiatan harus sudah tercakup di setiap langkah ketika menyusun anggaran. Sistem ini menitikberatkan pada segi penatalaksanaan sehingga selain efisiensi penggunaan dana juga hasil kerjanya diperiksa. Jadi, tolok ukur keberhasilan sistem anggaran ini adalah performance atau prestasi dari tujuan atau hasil anggaran dengan menggunakan dana secara efisien. Dengan membangun suatu sistem penganggaran yang dapat memadukan perencanaan kinerja dengan anggaran tahunan akan terlihat adanya keterkaitan antara dana yang tersedia dengan hasil yang diharapkan.

Persepsi Keberhasilan Penganggaran Berbasis Kinerja dapat diukur dengan beberapa analisis. Dimensi Keberhasilan PBK dapat diungkapkan dengan 4 (empat) dimensi yang digunakan dalam penelitian Vian (2010), antara lain :

1. Adanya rencana Penganggaran Berbasis Kinerja (Performance- based plan exist)

(22)

2. Adanya Anggaran Belanja Penganggaran Berbasis Kinerja (Performance-based budget exist)

3. Adanya pelaporan dan pengawasan kinerja (Evidence of performing monitoring and reporting)

4. Adanya bukti penggunaan informasi kinerja (Evidence that performance information is used)

D. Kompetensi KPPN

Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) merupakan satuan kerja setingkat eselon III yang berada vertikal dibawah Direktorat Jenderal Perbendaharaan Kementerian Keuangan RI. KPPN memiliki peranan yang penting dalam keberhasilan pelaksanaan PBK. KPPN memiliki fungsi dan tugas pokok melakukan pelayanan pencairan dana APBN dan pengadministrasian penerimaan negara.

Sejak zaman Belanda, urusan perbendaharaan Negara di daerah telah dilaksanakan oleh Central Kantoor Voor de Comptabiliteit (CKC) yang tugasnya melaksanakan wewenang ordonansering. Di Jakarta, kantor ini selanjutnya disebut Kantor Pusat Perbendaharaan Negara atau disingkat KPPN. Selain itu, ada pula S’Land (Kantor Kas Negara) yang mempunyai wewenang comptabel atau Fungsi Bendahara Umum. Dalam pelaksanaan fungsi verifikasi dan penatausahaan pengeluaran negara dikenal Administratie Kantoor Voor de Landkassen atau dalam bahasa Indonesia disebut dengan Kantor Pengawas dan Tata Usaha Kas Negara (KPTUKN). Dalam perkembangannya setelah beberapa tahun Indonesia merdeka, nama CKC diubah menjadi Kantor Pusat

(23)

Perbendaharaan Negara. KPPN di seluruh Indonesia sampai dengan awal tahun 1960-an, berjumlah 15 KPPN. Pemberian wewenang ordonansering kepada KPPN dilakukan berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan tanggal 17 Oktober 1950 No. 214988/PKN.

Selanjutnya dalam Surat Menteri Urusan Pembiayaan (sekarang Menteri Keuangan) tanggal 22 Desember 1964 No. PKN/I/64 ditetapkan bahwa terhitung mulai tanggal 1 Januari 1965, ketiga kantor di atas (KPN, KKN, KPTUKN) diintegrasikan menjadi Kantor Bendahara Negara (KBN). Pada bulan April 1975 melalui Keputusan Menteri Keuangan No. KEP-405/MK/6/4/75 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Departemen Keuangan, Kantor Bendahara Negara diubah menjadi Kantor Perbendaharaan Negara (KPN) dan Kantor Kas Negara (KKN). Bersamaan dengan itu, dibentuk pula Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Anggaran sebanyak 11 (sebelas) buah.

Cikal bakal dan perjalanan sejarah KPPN Jakarta adalah dimulai dari dibentuknya Kantor Kas Negara (KKN) Jakarta dan Kantor Perbendaharaan Negara (KPN) Jakarta berdasarkan Surat Keputusan Menteri Keuangan tanggal 1 Oktober 1984 Nomor 605/KMK.6/X/1984. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Keuangan tanggal 12 Juni 1989 Nomor 645/KMK.10/1989 telah diadakan perubahan organisasi dan tata kerja instansi vertikal di lingkungan Direktorat Jenderal Anggaran, yang antara lain menyebabkan peleburan KKN Jakarta II dan KPN Jakarta menjadi Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara (KPKN) Jakarta.

Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor 214/KMK.01/2005 tanggal 2 Mei 2005 dan diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor

(24)

134/PMK.01/2006 tanggal 22 Desember 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Instansi Vertikal Direktorat Jenderal Perbendaharaan, KPKN Jakarta dengan beberapa penyesuaian tugas pokok dan fungsinya berubah menjadi Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) Jakarta.

Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara Jakarta merupakan salah satu ujung tombak pelayanan publik yang dimiliki oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang memberikan pelayanan berupa pencairan dana APBN, Penatausahaan setoran penerimaan negara dan penyusunan laporan keuangan kantor/satuan kerja instansi pemerintah serta memberikan bimbingan teknis terkait pelaksanaan dan pertanggungjawaban APBN.

KPPN Jakarta lahir seiring dengan terjadinya reorganisasi di tubuh Kementerian Keuangan, sebagai bagian dari implementasi reformasi manajemen keuangan, yaitu dengan terbentuknya Direktorat Jenderal Perbendaharaan.

Perubahan mendasar dari fungsi KPKN menjadi KPPN adalah peniadaan fungsi ordonansering yang sebelumnya ada pada KPKN dialihkan kepada kantor/Satuan kerja kementerian negara/lembaga. KPPN hanya menjalankan fungsi bendahara umum negara (comptabel) sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 dan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004.

Tugas KPPN sebagai Bendahara Umum Negara (BUN) bukan hanya sebagai pemeriksa kebenaran dan kevalidan anggaran yang masuk dan anggaran yang keluar yang digunakan oleh satuan kerja, akan tetapi BUN berperan sebagai kasir, pengawas keuangan dan manajer keuangan dari semua anggaran yang digunakan oleh satker yang berasal dari dana APBN. Dengan peran ini diharapkan

(25)

tercipta keefektifan dan keefisienan dalam pengelolaan anggaran negara.

Kompetensi KPPN dapat memperkuat penerapan Good Governance khususnya dalam teknologi informasi pada satuan kerja K/L terhadap keberhasilan pelasksanaan PBK pada satker K/L (Sriharioto dan Ratna Wardhani, 2012).

1. Tugas dan Pokok Fungsi KPPN

Tugas pokok Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara adalah melaksanakan kewenangan Perbendaharaan dan Bendahara Umum, pengeluaran pembiayaan atas beban negara, serta penatausahaan penerimaan dan pengeluaran anggaran melalui dan dari Kas Negara berdasarkan peraturan perundang- undangan yang berlaku.

Dalam melaksanakan tugas pokonya, Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara menyelenggaran fungsi-fungsi sebagai berikut :

a. Pengujian terhadap dokumen Surat Perintah Membayar (SPM) berdasarkan peraturan yang berlaku;

b. Penerbitan Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D) atas nama Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara;

c. Penyaluran Pembiayaan atas APBN;

d. Penilaian dan Pengesahan terhadap pengguna uang yang telah disalurkan;

e. Penatausahaan penerimaan dan pengeluaran negara melalui dan dari Kas Negara;

f. Pengiriman dan penerimaan kiriman uang;

g. Penyusunan laporan pelaksanaan APBN;

(26)

h. Penyusunan laporan realisasi pembiayaan yang berasal dari Pinjaman Dan Hibah Luar Negeri (PHLN);

i. Penyelenggaraan verifikasi transaksi keuangan dan akuntansi;

j. Pembuatan tanggapan dan penyelesaian temuan hasil pemeriksaan;

k. Pelaksanaan kehumasan;

l. Pelaksanaan administrasi KPPN;

m. Menyelesaikan tugas-tugas lainnya yang berkaitan dengan pelaksanaan tupoksi.

E. Penelitian Sebelumnya

Penelitian terkait dengan Good Governance dan pelaksanaan PBK di Indonesia umumnya membahas secara deskriptif kualitatif, seperti yang telah diteliti oleh Widianto (2010), Akadira (2009), dan Setyo (2007). Namun, Indra (2008) menguji secara empiris (kuantitatif) terkait faktor-faktor yang mempengaruhi keefektifan implementasi PBK dengan memfokuskan pada pengaruh faktor rasional/teknokrat dan politikus/kultural.

Penelitian ini merujuk pada Penelitian yang dilakukan oleh Sriharioto, Ratna Wardhani (2012) yang menyimpulkan bahwa penerapan prinsip-prinsip Good Governance pada satker di bawah Kementerian atau Lembaga (K/L) yang bermitra dengan 10 (sepuluh) KPPN pada tahun 2012 dapat meningkatkan tata kelola keuangan Negara dalam proses Penganggaran Berbasis Kinerja.

Alasan penelitian ini dilakukan karena masih minimnya penelitian yang menguji secara empiris, pengaruh Good Governance dan kompetensi KPPN

(27)

terhadap keberhasilan pelaksanaan PBK pada satker Instansi Pemerintah, terutama pada satuan kerja di bawah Direktorat Jenderal Pajak yang akhir-akhir ini banyak mendapat sorotan tentang kasus korupsi para pegawainya dan juga rencana Pemerintahan yang baru di bawah Presiden Jokowi yang akan mengubah DJP menjadi suatu Badan setingkat Kementerian dengan tujuan untuk meningkatkan realisasi penerimaan pajak sebagai tumpuan utama penerimaan Negara yang pada APBN tahun 2015 penerimaan pajak meningkat sebesar 40 (empat puluh) persen menjadi lebih dari 1.400 triliun atau sebesar 75 (tujuh puluh lima) persen dari penerimaan APBN.

F. Kerangka Pemikiran

Good Governance mempunyai keterkaitan yang erat dengan pelaksanaan anggaran berbasis kinerja. Menurut BPKP (2005), penerapan anggaran berbasis kinerja dapat mendorong peningkatan kualitas pelayanan publik. Sedangkan fokus utama governance adalah perbaikan kinerja atau perbaikan kualitas pelayanan kepada publik. Dengan demikian pada dasarnya, anggaran berbasis kinerja yang berfokus pada peningkatan kualitas pelayanan di masing-masing satker DJP akan menjadi titik tolak utama dalam tercapainya good governance.

Sebagai bendahara umum negara, KPPN juga melakukan verifikasi atas SPM yang diajukan satker DJP di wilayah Jakarta. Jika SPM yang diajukan tidak memenuhi persyaratan sesuai dengan peraturan yang berlaku, maka KPPN Jakarta II berhak untuk menolak dan mengembalikan SPM tersebut ke satker dengan penjelasan lengkap. Selain itu KPPN Jakarta juga mengawasi penggunaan

(28)

anggaran tiap satker agar pengelolaan keuangan menjadi accountable dan transparan, selain itu nantinya diharapkan sesuai dengan pagu yang sudah disusun berdasar dengan output kinerja yang diharapkan masing-masing satker DJP.

Dengan demikian, kualitas pelayanan yang diberikan KPPN Jakarta II akan sangat mempengaruhi keberhasilan PBK satker DJP yang ada di wilayah Jakarta.

Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran

G. Hipotesis

Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap permasalahan yang sedang diteliti kebenarannya dan perlu diuji secara empiris (uji statistik).

Hipotesis memberikan keterangan sementara mengenai fenomena yang diteliti, dalam hal ini adalah hubungan antara variabel bebas dengan variabel tak bebas dan variabel intervening. Hipotesis terbagi menjadi hipotesis nol dan hipotesis kerja.

(29)

Hipotesis nol adalah hipotesis yang diharapkan akan ditolak sedangkan hipotesisi kerja adalah hipotesis yang ingin dipastikan atau diterima dalam penelitian. Penolakan atau penerimaan hipotesis didasarkan pada perhitungan dengan menggunakan uji t. Hipotesis penelitian ini dapat dijabarkan sebagai berikut:

1. Pengaruh Good Governance terhadap Kompetensi KPPN

Implementasi penerapan prinsip-prinsip Good Governance terhadap Kompetensi KPPN khususnya yang berkaitan dengan kinerja pegawai KPPN sering dijadikan tuntutan terhadap kinerja pegawai di lingkungan birokrasi pemerintahan. Oleh karena itu, kinerja pegawai dijadikan tujuan utama pada setiap institusi pemerintahan baik pusat maupun daerah. Namun untuk mewujudkanya bukan pekerjaan yang mudah karena dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain kepemimpinan, kemampuan, motivasi, kebijakan, prosedur kerja, profesionalisme, tersedianya sarana dan prasarana, koordiansi dan faktor lainya. Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja pegawai meliputi kemampuan, motivasi, penghargaan, tantangan, tanggung jawab, pengembangan, keterlibatan dan kesempatan. Drucker (1982) menambahakan faktor lain yang mempengaruhi kinerja pegawai yaitu Good Governance yang di dalamnya menyangkut motivasi, kemampuan dan disiplin.

Penelitian terdahulu menjelaskan bahwa implementasi Good Governance mempunyai pengaruh positif terhadap kualitas kinerja pegawai. Untuk mempertahankan tingkat kualitas kinerja pegawai tersebut, maka perlu dilakukan

(30)

adanya monitoring dan evaluasi kepada satuan kerja dan tindak lanjutnya khususnya dalam penguasaan teknologi informasi satuan kerja yang masih lemah sehingga permintaan pelayanan satuan kerja dapat dilayani dengan prima sehingga target dapat terpenuhi ( Dini Deistiana, 2013).

Hipotesis 1 : Terdapat pengaruh signifikan penerapan prinsip-prinsip Good Governance terhadap Kompetensi KPPN

2. Pengaruh Kompetensi KPPN terhadap Persepsi Keberhasilan PBK

Sebagai Bendahara Umum Negara, KPPN mempunyai tugas yang sangat penting dalam pelaksanaan pengelolaan keuangan Negara. KPPN melakukan verivikasi atas SPM yang diajukan satuan kerja yang telah diteliti terlebih dahulu persayratanya. Apabila tidak sesuai, maka KPPN berhak untuk menolak SPM yang telah diajukan oleh satker. Selain itu KPPN juga melakukan rekonsiliasi Laporan Keuangan masing-masing satker agar seuai dengan anggaran yang telah dikeluarkan sehingga menjaga akuntabilitas dan transparansi dalam pengelolaan anggaran yang bersumber dari APBN. Dengan demikian, kualitas pelayanan yang diberikan KPPN akan sangat mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan PBK satuan kerja.

Penelitian terdahulu menyatakan bahwa Kompetensi KPPN berkontribusi penting terhadap pelaksanaan PBK satuan kerja. Kompetensi , integritas dan komitmen KPPN untuk memberikan pelayanan prima suatu keharusan untuk meningkatkan keberhasilan pelaksaaan PBK yang pada akhirnya akan meningkatkan kualitas pelayanan kepada publik (Sriharioto dan Ratna Wardhani, 2012).

(31)

Hipotesis 2 : Terdapat pengaruh signifikan Kompetensi KPPN terhadap persepsi keberhasilan pelaksanaan PBK

3. Pengaruh Good Governance terhadap Persepsi Keberhasilan PBK

Penerapan prinsip-prinsip Good Governance dimaksudkan untuk memecahkan permasalahan agensi dan asimetri informasi. Korupsi dan buruknya pengelolaan pengeluaran pemerintah karena adanya asimetri informasi dan perbedaan kepentingan antara pihak yang melaksanakan tugas (agents dan pemangku kepentingan yang memiliki tugas untuk dikerjakan (principles) (Leruth dan Paul, 2007) . Peran KPPN sebagai Bendahara Umum Negara juga tidak bisa dikesampingkan mengingat hamper seluruh kegiatan pengelolaan keuangan satker dari mulai penyusunan sampai pembuatan Laporan Keuangan akan melibatkan KPPN sebagai kantor perantara atau mediator.

Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa penerapan prinsip-prinsip Good Governance berpengaruh signifikan terhadap persepsi keberhasilan PBK khususnya Peraturan Pemerintah dan Kualitas Peraturan (The Rule of Law and Regulation Quality) dan Informasi Teknologi (Information Technology) (Sriharioto, 2012).

Hipotesis 3a : Terdapat pengaruh signifikan penerapan prinsip-prinsip Good Governance terhadap persepsi keberhasilan pelaksanaan PBK.

Hipotesis 3b : Terdapat pengaruh signifikan penerapan prinsip-prinsip Good Governance terhadap persepsi keberhasilan pelaksanaan PBK yang dimediasi Kompetensi KPPN.

(32)
(33)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Waktu dan tempat penelitian

Penelitian ini dilakukan di satker-satker di bawah Direktorat Jenderal Pajak yang menyebar di wilayah Jakarta, yang berinteraksi dengan KPPN Jakarta II sebagai mitra kerja dalam setiap pengelolaan anggaran masing- masing satker. Penulis sengaja memilih satker –satker di bawah DJP karena satker-satker ini merupakan penyumbang terbesar dalam penyusunan Laporan Keuangan Kementerian Keuangan yang telah mendapat predikat Wajar Tanpa Pengecualian dari BPK pada tahun anggaran 2013 yang lalu. Bukan berarti satker yang lain di bawah Kementerian Keuangan tidak bisa dilakukan penelitian, akan tetapi mengingat pekerjaan penulis lebih memudahkan untuk mendapatkan data yang lebih valid dan menyebar di wilayah Jakarta dengan hanya berfokus pada salah satu Direktorat saja.

Selain itu satker di DJP merupakan salah satu satker yang telah melakukan reformasi birokrasi dan banyak disorot oleh masyarakat luas terkait dengan beberapa kasus korupsi yang dilakukan oleh sebagian kecil oknumnya. Satker DJP telah teruji dalam perubahan sistem informasi KPPN yang baru sehingga diharapkan data yang didapat akan lebih terpercaya karena dikelola oleh PNS yang telah teruji kompetensi dan profesionalitasnya.

(34)

B. Desain Penelitian

Jenis penelitian yang akan dipergunakan oleh Penulis adalah metode kausal yang akan menjelaskan secara sistematik dan akurat untuk menguji hipotesisi penerapan prinsip-prinsip Good Governance terhadap persepsi Keberhasilan Pelaksanaan Penganggaran Berbasis Kinerja dan kompetensi KPPN sebagai mediator terhadap persepsi keberhasilan pelaksanaan PBK dari satker di bawah Direktorat Jenderal Pajak di wilayah Jakarta.

Penelitian ini menggunakan metode studi kasus dengan berusaha menganalisis secara lebih mendalam tentang prosedur, keadaan masing-masing satker dan interaksi setiap satker dengan KPPN sehingga dapat menjawab hal-hal yang telah dirumuskan dalam perumusan masalah. Dalam penelitian ini penulis tidak dapat mempengaruhi satker yang sedang diteliti, sehingga penulis hanya dapat melakukan pengamatan dan survey dengan pihak-pihak terkait dalam masalah yang diteliti.

C. Definisi dan operasional variabel

Dalam penelitian ini digunakan variabel independen, dependen dan variabel mediasi sebagai berikut :

1. Variabel Bebas (Independent Variable)

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah penerapan prinsip-prinsip Good Governance yang antara lain terbagi dalam beberapa prinsip yang antara lain :

(35)

a. Peraturan dan Kualitas Peraturan

Prinsip ini diukur dengan beberapa pernyataan yang dibuat dan dikembangkan berdasarkan pengalaman di lapangan dengan mengacu pada dimensi resource, procedural, dan incentives yang digunakan dalam penelitian Vian (2010).

b. Akuntabilitas, Transparansi dan Partisipasi

Prinsip ini diukur dengen beberapa pernyataan yang dibuat dan dikembangkan berdasarkan pengalaman di lapangan dengan mengacu pada dimensi partisipasi publik dan saran perbaikan yang digunakan dalam penelitian Vigoda-Gadot dan Yuval (2003).

c. Kompetensi Teknis dan Manajerial Pegawai

Prinsip ini diukur dengen beberapa pernyataan yang dibuat dan dikembangkan berdasarkan pengalaman di lapangan dengan mengacu pada dimensi articulate and communicate vision and direction, motivate staff to take action yang digunakan dalam penelitian Vian (2010).

d. Kapasitas Organisasi

Prinsip ini diukur dengen beberapa pernyataan yang dibuat dan dikembangkan berdasarkan pengalaman di lapangan dengan mengacu pada dimensi motivate staff to take action, create explanation, assign responsbility dan intellectually chalenging staff yang digunakan dalam penelitian Vian (2010).

(36)

e. Teknologi Informasi

Prinsip ini diukur dengen beberapa pernyataan yang dibuat dan dikembangkan berdasarkan pengalaman di lapangan dengan mengacu pada Vigoda-Gadot dan Yuval (2003).

2. Variabel Tidak Bebas (Dependent Variable)

Variabel tidak bebas dalam penelitian ini adalah Persepsi Keberhasilan Pelaksanaan Anggaran Berbasis Kinerja yang diukur dengan 10 (sepuluh) pernyataan yang dibuat dan dikembangkan berdasarkan pengalaman di lapangan merujuk dimensi performanced-based plan exist, performance- informed budget exist, evidence of performance monitoring and reporting, and evidence that performance information is used yang digunakan dalam penelitian Vian (2010).

3. Variabel Mediasi ( Intervening Variable)

Variabel mediasi dalam penelitian ini adalah Kompetensi KPPN yang diukur dengan 5 (lima) pernyataan yang dibuat dan dikembangkan berdasarkan dimensi tujuan dan fungsi pokok KPPN Jakarta.

D. Pengukuran Variabel

Dalam penelitian ini, pengukuran variabel menggunakan skala sebagai berikut :

1. Variabel Bebas ( Independent Variable)

Penentuan skala pengukuran dari prinsip Good Governance sebagai variabel bebas dijelaskan dalam tabel 3.2 sebagai berikut

(37)

Tabel 3.2

Pelaksanaan prinsip Good Governence Variabel

Pokok Dimensi Indikator Skala

(1) (2) (3) (4)

Penerapan Prinsip Good

Governance (X)

Peraturan dan Kualitas Peraturan

1. Tingkat kemudahan

pemahaman peraturan Interval 2. Tingkat hukuman atas

buruknya kinerja Interval Akuntabilitas,

Transparansi dan artisipasi

3. Tingkat pengawasan terhadap pelaksana ananggaran

Interval 4. Tingkat pelaksanaan

sosialisai pelaksana ananggaran

Interval Kompetensi

teknis dan Manajerial Pegawai

5. Tingkat pendidikan dan

keahlian pegawai Interval 6. Tingkat kemudahan

penjelasan dari atasan Interval Kapasistas

Organisasi

7. Tingkat prioritas

program kerja Interval 8. Tingkat keahlian atas

nmembangun kebersamaan

Interval

Teknologi Informasi

9. Tingkat manfaa tpenggunaan aplikasi dari Ditjen

perbendaharaan

Interval 10. Tingkat kemudahan

pembuatan Laporan Keuangan

Interval Sumber : Sriharioto, Ratna Wardhani (2012)

2. Variabel Terikat (Dependent Variable)

Penentuan skala pengukuran dari persepsi keberhasilan Penganggaran Berbasis Kinerja sebagai variabel tidak bebas dijelaskan dalam tabel 3.3sebagai berikut :

(38)

Tabel 3.3

Persepsi Keberhasilan Pelaksanaan Penganggaran Berbasis Kinerja Variabel

Pokok Dimensi Indikator Skala

(1) (2) (3) (4)

Keberhasilan Pelaksanaan Penganggaran

Berbasis Kinerja (Y)

Performance -based plan

exist

1. Tingkat kejelasan dalam

dokumen anggaran Interval 2. Tingkat keaktifan

partisipasi dari staff satuan kerja

Interval 3. Tingkat pemahaman staff

dalam penyusunan anggaran

Interval

Performance –informed budget exist

4. Tingkat kehandalan database dalam monitoring pelaksana ananggaran

Interval 5. Tingkat pelaksanaan

monitoring terhadap pelaksana ananggaran

Interval

Evidence of performance

monitoring and reporting

6. Tingkat kemanfaatan Informasi Kinerja terhadap penghematan biaya

Interval 7. Tingkat kemanfaatan

Informasi Kinerja terhadap pengambilan keputusan

Interval 8. Tingkat kemanfaatan

Informasi Kinerja terhadap koordinasi staff

Interval

Evidence that performance information is used

9. Tingkat kemanfaatan Informasi Kinerja terhadap efektivitas pelaksanaan program

Interval 10. Tingkat kemanfaatan

Informasi Kinerja terhadap kualitas pelayanan publik

Interval Sumber : Sriharioto, Ratna Wardhani (2012)

(39)

3. Variabel Mediasi (Intervening Variable)

Penentuan skala pengukuran dari persepsi keberhasilan Penganggaran Berbasis Kinerja sebagai variabel tidak bebas dijelaskan dalam tabel 3.3 sebagai berikut :

Tabel 3.4 Kompetensi KPPN

VariabelPokok Dimensi Indikator Skala

(1) (2) (3) (4)

Kompetensi KPPN (M)

Tugas dan Fungsi Pokok KPPN

1. Tingkat manfaat sosialisasi KPPN Interval 2. Tingkat peningkatan kinerja

pelaksanaan atas penjelasan langkah-langk ahakhir tahun

Interval 3. Tingkat kemudahan CSO dalam

membantu satker memahami prosedur pencairan dana

Interval 4. Tingkat keinformatifan pegawai

KPPN terkait kesalahan pengajuan dana

Interval 5. Tingkat kepuasan atas pelayanan

KPPN secara umum Interval

Sumber : Sriharioto, Ratna Wardhani (2012)

E. Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi sampel adalah satker-satker di bawah Direktorat jenderal Pajak yang tersebar di wilayah Jakarta yang terdiri dari Kantor Pusat DJP dan 7 (tujuh) Kanwil di Jakarta antara lain 1)Kanwil DJP Jakarta Wajib Pajak Besar 2) Kanwil DJP Jakarta Khusus 3) Kanwil DJP Jakarta Pusat 4) Kanwil DJP Jakarta Selatan 5) Kanwil DJP Jakarta Barat 6) Kanwil DJP Jakarta Utara dan 7)Kanwil DJP

(40)

Jakarta Timur, di mana masing-masing satker ada 4 (empat) responden yang berkompeten untuk mengisi kuisioner, keempat responden tersebut antara lain :

1. Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) 2. Bendahara

3. Penandatangan SPM 4. Pelaksana Anggaran Tabel 3.5 Kanwil dan Jumlah Kantor Pelayanan Pajak di Jakarta

No Nama Kanwil Jumlah Kantor Pajak

1 Kantor Pusat DJP 1 Satker

2 Kanwil DJP Jakarta Pusat 17 Satker 3 Kanwil DJP Jakarta Barat 12 Satker 4 Kanwil DJP Jakarta Selatan 14 Satker 5 Kanwil DJP Jakarta Timur 10 Satker 6 Kanwil DJP Jakarta Utara 10 Satker 7 Kanwil DJP Jakarta Khusus 10 Satker 8 Kanwil DJP Jakarta Besar 5 Satker Total Satker KPP di Jakarta 79 Satker

Pemilihan sampel penelitian ini menggunakan nonprobability dengan convenience sampling, yaitu kuesioner diberikan baik secara langsung kepada responden yang penulis kenal maupun diberikan secara langsung ketika ada forum Bendahara yang berlangsung di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak . Selain diberikan secara langsung, kuisioner juga dikirim lewat e-mail pajak kepada responden yang ada di wilayah Jakarta.

(41)

F. Teknik Pengumpulan Data

Terdapat beberapa teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu :

1. Studi kepustakaan.

Yaitu mempelajari teori-teori dari buku-buku bacaan dan literatur lainnya yang berhubungan dengan pembahasan penelitian yang dilaksanakan untuk mendapatkan landasan dalam penyelesaian masalah.

2. Studi Lapangan.

Yaitu melakukan pendekatan dan pengamatan secara langsung untuk mendapatkan data primer tentang pelaksanaan Penganggaran Berbasis Kinerja, baik dari proses penyusunan anggaranya sampai pencairan anggaranya di KPPN. Dalam penelitian ini variabel tidak terikat (Independent variable) diukur dengan 10 pertanyaan dengan skala likert 4 (dari sangat tidak setuju hingga sangat setuju). Variabel terikat (Dependent variable) diukur dengan 10 pertanyaan dengan skala likert 4 (dari sangat tidak setuju hingga sangat setuju). Dan terakhir untuk variabel mediasi (Intervening) diukur dengan 5 pertanyaan dengan skala likert 4 (dari sangat tidak setuju hingga sangat setuju).

3. Dokumentasi.

Yaitu teknik pengumpulan data dengan meneliti dan mempelajari catatan dan dokumen yang berkaitan dengan penelitian, dalam hal ini untuk mencari besarnya masing-masing anggaran tiap satker di bawah DJP wilayah jakarta.

(42)

4. Survey.

Yaitu prosedur pengumpulan data dengan mengadakan pemilihan sampel menggunakan metode nonprobability dengan convenience sampling, yaitu kuesioner diberikan langsung kepada responden yang kebetulan berada dalam satu acara dengan penulis, dan juga responden yang didatangi secara langsung oleh penulis.

G. Metode Analisis

Hipotesis-hipotesis dalam penelitian ini akan diuji secara empiris dengan menggunakan aplikasi SPSS versi 20. Alasan penelitian ini menggunakan SPSS karena selain jumlah responden yang berjumlah di bawah 200 responden, penggunaan variabel-variabel laten pada regresi berganda akan menyebabkan kesalahan-kesalahan pengukuran (measurement error) yang nantinya akan berpengaruh kepada estimasi parameter dari sisi biased-unbiased dan besar kecilnya variance (Gujarati dan Porter, 2010). Pengujian-pengujian tersebut secara berurutan adalah sebagai berikut :

1. Penelitian Deskriptif

Tujuan dari penelitian deskriptif ini adalah untuk membuat deskipsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar variabel yang diselidiki sehingga dapat dimengerti oleh peneliti maupun pengguna data

(43)

nantinya . Pengujian deskriptif ini terdiri dari 3 (tiga) pengujian yang antara lain adalah sebagai berikut :

a. Statistik Inferensial Kuisioner b. Statistik Deskriptif Responden c. Statistik Deskriptif Data 2. Uji Kualitas Data

Uji kualitas instrumen penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah uji realibilitas dan uji validitas. Pengujian reliabilitas dan validitas wajib dilakukan ketika suatu penelitian dilakukan dengan menggunakan kuesioner. Hal ini berguna untuk mengetahui instrumen tersebut sudah reliabel dan valid (sah) untuk mengukur variabel yang diukur, sehingga dapat mendukung hipotesis yang diajukan.

3. Uji Asumsi Klasik

Uji asumsi klasik terdiri dari : a. Uji Normalitas

Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi variabel terikat dan variabel bebas keduanya apakah mempunyai distribusi normal atau tidak. Model regresi yang baik harus mempunyai distribusi normal atau mendekati normal (Ghozali 2001). Dari pengujian ini dapat diketahui data yang digunakan berdistribusi normal atau tidak. Kriteria pengujian normalitas menggunakan probabilitas yang diperoleh dengan level signifikansi 5%. Apabila nilai probabilitas yang diperoleh lebih

(44)

besar dari level signifikansi 5%, maka data telah terdistribusi normal. Dan sebaliknya, jika nilai probabilitas yang diperoleh lebih kecil dari level signifikansi 5%, maka data tidak terdistribusi secara normal.

b. Uji Murtikolinearitas

Menurut Imam Ghozali Uji Multikolonieritas bertujuan untuk menguji apakah model regresi ditemukan adanya korelasi atar variabel bebas (Independen). Model korelasi yang baik seharusnya tidak terjadi korelasi di antara variabel independen. Jika variabel independen saling berkorelasi maka variabel ini tidak ontogonal.

Variebel ortogonal adalah variabel independen yang nilai korelasi antar sesama variabel independen sama dengan nol.Uji multikolinieritas dilakukan dengan melihat tolerance value dan value-inflating faktor (VIF). Gujarati, (2003:362), memberi rule of thumb bahwa bila VIF > 1,0 atau nilai tolerance < 0,10 maka terjadi multikolinearitas. Apabila hasil analisis menunjukkan nilai VIF di bawah nilai 10 dan tolerance value di atas 0, 10 maka berarti tidak terjadi multikolinearitas sehingga model tersebut reliabel sebagai dasar analisis (Ghozali, 2005). Akibat adanya multikolinearitas adalah koefisien-koefisien regresi menjadi tidak dapat ditaksir dan nilai standar error setiap koefisien regresi menjadi tidak terhingga. Jika terjadi multikolinearitas maka

(45)

variabel yang menyebabkan multikolinearitas harus dikeluarkan dari model.

c. Uji Autokorelasi

Uji autokorelasi bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi linear ada korelasi antara kesalahan pengganggu pada periode t dengan periode t-1 sebelumnya. Jika terjadi korelasi, maka dinamakan problem autokorelasi.

d. Uji Linearitas

Uji linearitas bertujuan untuk mengetahui apakah dua variabel mempunyai hubungan yang linear atau tidak secara signifikan. Uji ini biasanya digunakan sebagai prasyarat dalam analisis korelasi atau regresi linear.

4. Uji Hipotesis

Pengujian hipotesis dalam penelitian ini akan dilakukan atas lima hipotesis. Uji hipotesisi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Uji Koefisien Determinasi (R2)

Uji koefisien determinasi (R2) ini digunakan untuk mengetahui seberapa besar kemampuan variabel independen dalam menjelaskan variabel dependen.

b. Uji Kesesuain Model (F-test)

Uji Kesesuaian model digunakan untuk menganalisis pengaruh variabel independen dan intervening secara simultan terhadap

(46)

variabel dependen dengan tingkat signifikansi yang telah ditentukan sebesar 0,05.

c. Uji Signifikan Parsial (t-test)

Uji t-test ini bertujuan untuk mengetahui besarnya pengaruh masing-masing variabel independen dan variable intervening terhadap variabel dependen. Uji t dilakukan untuk memeriksa lebih lanjut manakah di antara variabel independen berpengaruh terhadap variabel dependen (Persepsi Keberhasilan Pelaksanaan PBK).

d. Analisis Regresi Berganda

Analisis regresi linier berganda adalah hubungan secara linear antara dua atau lebih variabel independen ( Good Governance dan kompetensi KPPN) dengan variabel dependen (persepsi keberhasilan pelaksanaan PBK). Analisis ini untuk mengetahui arah hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen apakah masing-masing variabel independen berhubungan positif atau negatif dan untuk memprediksi nilai dari variabel dependen apabila nilai variabel independen mengalami kenaikan atau penurunan.

e. Analisis Jalur (Path Analysist)

Teknik analisis jalur adalah pengembangan dari analisis regresi berganda. Untuk menguji besarnya sumbangan (kontribusi) yang ditunjukkan oleh koefisien jalur pada setiap diagram jalur dari hubungan kausal antar variabel Good Governance terhadap

(47)

variabel persepsi keberhasilan pelaksanaan PBK serta menguji mediasi yang dilakukan oleh variabel kompetensi KPPN terhadap pengaruh antara variabel Good Governance dan variabel persepsi keberhasilan pelaksanaan PBK.

(48)

Referensi

Dokumen terkait

Pada hasil penelitian tentang penerapan tindak tutur yang terdapat dalam proses jual beli di pasar tradisional Surakarta sesuai dengan teori tindak tutur yang dikemukakan

(1) Laporan Kinerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) disampaikan kepada atasan masing-masing secara berjenjang dan sesuai dengan format dan jadwal yang telah

Irfan Prasatya adalah praktisi yang sangat berpengalaman di bidang Leadership, HRD dan Service Excellence selama lebih dari 20 tahun, Berbagai posisi manajerial di

Pada saat transaksi penjualan dan pembelian tersebut, Accounting Staff melakukan pengecekan jurnal yang dilakukan secara otomatis oleh sistem ERA ERP II dan

Oleh sebab itu, strategi di sini lebih mengutamakan cara orang tua untuk mendidik anak dalam keluarga supaya anak tidak lari dari norma-norma dan nilai-nilai budaya yang dianut

No Judul Jenis Karya Penyelenggara/ Penerbit/Jurnal Tanggal/ Tahun Ketua/ Anggota Tim Sumber Dana Keterangan 1 NA NA NA NA NA NA NA GL. KEGIATAN

Berisi tentang data-data teoritik, data empirik serta gagasan awal berkaitan dengan perancangan sarana pembersih kemoceng, diantaranya data teoritik didapatkan dari berbagai

Kesimpulan yang dapat diambil adalah Undang undang No.12 tahun 2006 mengatur tentang pengaturan kewarganegaraan, pemberian kewarganegraan, hilangnya kewarganegaraan, tata cara