LAMPIRAN
Lampiran 1. Tabel Bantu Wawancara GAMBARAN UMUM OBJEK
HASIL WAWANCARA
Kondisi geografis desa Luas wilayah : 2.036.100 Ha Perbatasan
- Utara : Desa Glintang - Timur : Desa Trayu - Selatan : Desa Ketaon - Barat : Desa Gumukrejo Jumlah penduduk : 2432 jiwa Visi dan Misi Desa Visi : Tanjungsari Maju
Misi : memaksimalkan potensi Sumber Daya Alam (SDA) dan Sumber Daya Manusia (SDM)
Struktur organisasi Terlampir
POTENSI FRAUD
HASIL WAWANCARA
Tahap perencanaan :
Terdapat potensi fraud berupa manipulasi laporan keuangan karena RKPDes yang dibagikan dan dijelaskan pada masyarakat dan BPD menggunakan file excel yang dibuat sendiri oleh Kaur Keuangan, bukan menggunakan output dari siskeudes.
Hal ini juga menimbulkan kurangnya transparansi kepada masyarakat desa.
Kaur keuangan :
“Selain di siskeudes, saya juga buat file sendiri di excel. Buat jaga-jaga sekaligus untuk menjelaskan ke masyarakat atau BPD pakainya excel.
Mereka kan cuma ingin tau berapa total pemasukkan dan
pengeluarannya., jadi kadang kalau dijelaskan dengan output siskeudes mereka tidak terlalu paham.”
Kepala Desa, Sekretaris Desa :
“Semuanya kita serahkan ke tim pelaksana, nanti koordinator pelaksananya yang setor keperluan dan harga-harga sekaligus sama pemasoknya juga.”
Kaur Keuangan : Tahap penganggaran :
Hasil APBDes yang telah ditetapkan juga diberikan kepada warga dengan file excel yang dibuat sendiri oleh Kaur Keuangan, bukan hasil dari siskeudes sehingga menimbulkan potensi manipulasi laporan keuangan.
APBDes juga disusun atas usulan pelaksana kegiatan dengan langsung
mencantumkan nama vendor atau pihak ketiga yang terkait dengan proses pelaksanaan kegiatan. Hal ini menimbulkan potensi korupsi berupa kickback yang terjadi antara tim pelaksana kegiatan dan pihak ketiga.
“Ya mekanismenya memang kita terima rekomendasi dari pelaksana kegiatan, sudah lengkap semua (harga dan pemasok) jadi nanti saya tinggal input saja ke siskeudes”
Tahap pelaksanaan kegiatan :
Desa Tanjungsari memiliki aset berupa kantor desa, tanah kas desa, balai desa, dan fasilitas pendukung untuk perangkat desa seperti laptop dan hp. Semua aset yang dimiliki Desa Tanjungsari dikelola dan dimiliki sepenuhnya oleh kepala desa sehingga timbul potensi penyalahgunaan aset dan risiko penggunaan aset desa untuk kepentingan pribadi.
Selain itu, peminjaman untuk penggunaan aset desa seperti lapangan atau balai pertemuan biasanya hanya dilakukan secara lisan kepada Kepala Desa. Hal ini menimbulkan potensi fraud berupa penggunaan aset desa yang berlebihan serta tidak terdapat dokumentasi tertulis untuk melakukan tracing jika nantinya ditemukan kerusakan pada aset desa.
Berkaitan dengan tanah kas desa, belum pernah terjadi penyalahgunaan oleh warga maupun perangkat desa.
Namun berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu warga, untuk hasil pengelolaan sawah desa akan dibagi ke perangkat desa terlebih dahulu, lalu sisanya baru akan dimasukkan ke dalam kas desa.
Masing-masing perangkat desa diberikan laptop dan HP untuk
Kepala Desa :
“Biasanya (peminjaman aset) langsung koordinasi dengan Kepala Desa, karena apapun Kepala Desa itu penguasa aset yang dimiliki desa.
Semua aset itu hak pengelolaannya ada di Kepala Desa.”
Kaur Perencanaan :
“Kalau mau pinjam langsung saja koordinasi sama Kepala Desa, karena pengelola aset dipegang penuh sama Kepala Desa.”
Kepala Desa, Sekretaris Desa :
““Ya kalau biasanya terlisan juga tidak apa-apa, yang penting sudah ada koordinasi dengan Kepala Desa.”
Warga Desa :
“Sudah jadi rahasia umum, Mbak.
Memang tanahnya digarap, nanti kalau dapat hasil dibagi dulu di kantor, baru sisanya dimasukkan ke kas desa.”
Sekretaris Desa :
“Iya masing-masing dibekali dengan laptop, hp juga ada. Jadi tanggung jawab sendiri-sendiri.”
Kaur Keuangan :
menunjang kinerjanya. Perangkat desa diberi kebebasan untuk membawa pulang atau meninggalkan laptop di kantor. Hal ini menimbulkan potensi misaprosiasi aset yaitu menggunakan laptop untuk kepentingan pribadi.
“Ada laptop tapi dipakai untuk kerjaan saja, Mbak. Mau dipakai lain-lain juga gak bisa karena kerjaannya banyak.”
Kaur Perencanaan :
“Ya itu terserah kita sih, Mbak. Kalau lembur banyak pekerjaan boleh dibawa kerumah.”
Tahap penatausahaan :
Tahap penatausahaan di Desa Tanjungsari sudah sepenuhnya dilakukan dengan menggunakan siskeudes. Dalam tahap penatausahaan, kemungkinan terjadinya risiko fraud tergolong kecil karena setiap terjadi transaksi akan langsung di-update ke siskeudes sehingga bersifat lebih real time.
Kaur Keuangan :
“Kalau sudah dapat bukti
pembayaran/billingnya langsung diinput ke siskeudes. Kalau dikumpulin dulu nanti repot sendiri, tidak tertib aplikasi juga.”’
Kepala Desa :
“Semuanya sudah pakai siskeudes, jadi kalau mau neko-neko ya tidak bisa, Mbak, karena langsung terintegrasi sama pusat.”
Tahap pelaporan dan
pertanggungjawaban :
Seluruh Pencairan dana untuk seluruh aktivitas dan kegiatan yang dilakukan di Desa Tanjungsari dapat dilakukan setelah terdapat Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) atas rekomendasi camat. Desa akan membayar terlebih dahulu untuk melaksanakan aktivitas dengan dana yang dimiliki. Hal ini meningkatkan potensi terjadinya fraud dalam bentuk manipulasi LPJ oleh perangkat desa dan camat.
Proses pembuatan LPJ didasari atas nota dan bukti transaksi. Jika terdapat nota atau bukti transaksi yang hilang maka akan menjadi tanggungjawab pelaksana kegiatan untuk mengganti sejumlah nominal atau membuat nota baru. Hal ini menimbulkan potensi
Kepala Desa :
“Semua laporan terkait administrasi dan keuangan dibuat oleh Kaur Keuangan dengan saya (Kepala Desa) sebagai penanggung jawab penuh.
Jadi sistem pencairannya sekarang harus ada LPJ yang direkomendasikan camat dulu, baru bisa cair. Misal LPJ bulan April sudah ada, Mei dananya cair. Jadi LPJnya dibuat secara periodik.”
Kaur Keuangan :
“Semuanya atas dasar nota, jadi kalau belum ada nota, belum bisa buat LPJ, dananya juga tidak bisa cair.”
Sekretaris Desa :
“Kalau nota hilang ya jadi
tanggungjawab pelaksana kegiatan.
Bisa ganti uangnya atau bisa minta nota lagi ke suppliernya.”
manipulasi nota oleh pelaksana kegiatan dengan bekerjasama bersama pemasok.
MOTIF INTERNAL WHISTLEBLOWING
HASIL WAWANCARA
Motif internal pendorong whistleblowing terbesar di Desa Tanjungsari merupakan rasa religiusitas. Namun, terdapat faktor internal lain yang mendorong whistleblowing di Desa Tanjungsari yaitu rasa ketidakadilan. Masyarakat merasa bahwa jika terjadi kecurangan sangat merugikan masyarakat desa dan merasa tidak adil karena dana desa merupakan hak masyarakat dan pembangunan desa.
Warga Desa :
“Iya sudah pasti Mbak kalau berbuat seperti itu (kecurangan) melanggar nilai agama dan akan merugikan banyak pihak, bisa jadi melakukan dosa itu.”
Warga Desa :
“Semua agama pasti mengajarkan mana yang baik untuk dilakukan dan mana yang tidak baik untuk dilakukan.
Kalau-kalau saya tau ada kecurangan terjadi ya saya pasti akan laporkan, Mbak, sesuai ajaran agama saya (islam).”
Perwakilan PKK Tanjungsari :
“Dalam agama apapun pasti diajarkan untuk berperilaku jujur. Kalau ada kecurangan tapi saya diam saja (tidak melapor), sama saja saya tidak
menaati agama saya karena ikut untuk tidak berperilaku jujur.”
Perwakilan Karang Taruna :
“Kalau kasusnya seperti yang Mbak jelasin tadi ya pasti merasa dirugikan banget. Saya akan melaporkan karena saya merasa itu gak adil, Mbak.”
Warga Desa :
“Bagaimanapun kan dana desa ini memang haknya kita, tapi kalau dipakai untuk kepentingan sendiri itu egois namanya, Mbak.”
Kepercayaan terhadap pemimpin di Desa Tanjungsari masih tergolong rendah, hal ini terjadi akibat kurangnya komunikasi dan
Warga Desa :
“Ya gimana ya, Mbak, orang kepala desa aja jarang niliki kalau ada acara- acara pengajian atau kumpul-kumpul.
transparansi yang diberikan pemerintah desa kepada masyarakat.
Jika terjadi kecurangan, masyarakat cenderung tidak mau untuk mengadukan pada kepala desa atau pun perangkat desa yang lainnya karena rasa tidak percaya yang masih tinggi.
Kalau gak diundang ya gak datang, beda sama yang sebelum-
sebelumnya.”
Warga Desa :
“Saya kalau mau lapor lebih baik langsung ke perwakilan DPRD yang ada di desa ini, Mbak. Kalau ke perangkat desa kan bisa jadi malah mereka yang melakukannya.”
Rasa memiliki di Desa Tanjungsari semakin terkikis karena muncul sikap acuh tak acuh terhadap pemerintahan desa. Hal ini juga muncul akibat kurangnya rasa kepercayaan masyarakat kepada pemerintah desa.
Perwakilan BPD :
“Ya sekarang beberapa sudah mulai gak peduli sama pemerintah desa, Mbak. Karena rasa kepercayaannya sudah mulai hilang.”
Warga Desa :
“Kita di RT sini (1 dan 2) saja sudah jarang sekali dilibatkan. Jadi ya seperti jalan sendiri-sendiri kalau di RT sini, Mbak.”
MOTIF EKSTERNAL WHISTLEBLOWING
HASIL WAWANCARA
Motif eksternal pendorong whistleblowing terbesar di Desa Tanjungsari adalah jaminan kerahasiaan. Mayoritas masyarakat menyatakan bahwa lebih nyaman untuk melaporkan secara diam-diam karena masyarakat Desa Tanjungsari saling mengenal satu sama lain dengan baik.
Warga Desa :
“Saya sungkan Mbak kalau disuruh melapor tapi identitas saya diberitahu.
Ada rasa gak enak sama keluarganya juga kalau identitas saya tidak
dirahasiakan, apalagi kalau saya kenal dekat.”
Warga Desa :
“Ya namanya di desa rasa
kekeluargaannya masih sangat erat, Mbak. Masih sering sekali rewangi dan sinoman satu sama lain. Jadi kalau saya pribadi lebih nyaman kalau kerahasiaannya terjaga.”
Perwakilan Karang Taruna :
“Kalau lebih nyaman ya secara rahasia, Mbak. Sekarang kan sudah ada media sosial juga saya rasa itu cukup membantu, hanya saja disini sosialisasinya masih kurang.”
Perwakilan BPD :
“Kalau ada kecurangan mau siapapun pelakunya pasti saya laporkan, Mbak.
Tapi rasa kedekatan itu kan biasanya bikin sungkan ya, semisal saya sering dibantu waktu ada hajatan oleh keluarga beliau (pelaku kecurangan), kalau ketahuan saya yang melaporkan jadi ada rasa gak enak sama keluarga beliau. Kalau menurut saya untuk cari aman dan menjaga silaturahmi ya saya lebih enak kalau dirahasiakan.”
Efektivitas prosedur whistleblowing di Desa Tanjungsari masih tergolong rendah. Pemerintah Desa belum pernah melakukan sosialisasi kepada masyarakat terkait prosedur pengaduan yang dapat menjadi pedoman bagi masyarakat desa.
Warga Desa :
“Gak pernah disosialisasikan, Mbak.
Kurang jelas juga disini kalau mau melapor ke siapa.”
Perwakilan PKK :
“Wah saya sendiri baru tau kalau ada media yang disediakan dari pusat.
Disini tidak pernah disosialisasikan, jadi kita tidak tau.”
Perwakilan Karang Taruna :
“Ya paling taunya media sosial instagram, facebook, Mbak. Untuk media dari pusat kurang tau karena gak pernah disosialisasikan.”
Kegiatan gotong-royong dan saling rewangi membuat kekeluargaan di Desa Tanjungsari masih erat. Hal ini menimbulkan adanya rasa ewuh- pakewuh jika ingin melaporkan kecurangan secara terbuka karena dianggap akan merusak kehidupan bersosialisasi di desa.
Warga Desa :
“Sering sekali disini ada acara, Mbak.
Pasti saling bantu juga jadi
kekeluargaannya sangat erat. Kalau orang Jawa bilangnya ewuh-pakewuh, jadi kalau mau melaporkan buka- bukaan takut nanti rasa
kekeluargaannya malah rusak.”
Perwakilan BPD :
“Saya pribadi juga rasa sungkannya masih besar sekali, Mbak. Kalau mau negur aja kadang masih sungkan, karena di desa ini semua pasti saling kenal.”
MEDIA WHISTLEBLOWING
HASIL WAWANCARA Berdasarkan kasus kecurangan yang
pernah terjadi di Desa Tanjungsari, kasus tersebut terungkap diawali dengan desas-desus dari warga saat sedang mengikuti pertemuan hingga kemudian salah satu warga memberanikan diri untuk mengambil tindakan dengan membuat laporan secara rahasia pada inspektorat kabupaten boyolali karena bukti yang dimiliki sudah cukup kuat.
Perwakilan Karang Taruna :
“Dulu pernah ada kasus, Mbak. Gara- gara ada pembangunan jalan tol, dananya malah dipakai untuk
kepentingan pribadi sama mantan kades disini.”
Perwakilan BPD :
“Iya pernah ada kasus, Mbak.
Kadesnya dijemput paksa sama
kejaksaan. Tapi sebelum dijemput juga sudah ada beberapa warga yang sering membicarakannnya.”
Warga Desa :
“Dulu tidak tau siapa yang melaporkan sih, Mbak. Tapi memang kita sudah ada omong-omongan antar warga. Kita curiga karena dapat uang untuk jalan tol kan gede, tapi gak tau itu uangnya dipakai untuk apa sama pemerintah desa.”
Mayoritas masyarakat Desa Tanjungsari memilih untuk melakukan pengaduan ke satu pihak yang dipercayai untuk kemudian ditindaklanjuti. Hal ini dikarenanakan masyarakat Desa Tanjungsari yang masih cenderung kurang mampu untuk menguasai dan mempelajari teknologi sehingga penyaluran informasi biasanya memang dilakukan dalam pertemuan-pertemuan atau acara seperti sinoman dan rewang.
BPD yang sudah mengetahui tentang sistem pusat untuk melakukan whistleblowing merasa lebih nyaman untuk melaporkan dengan sistem tersebut karena identitas dari pelapor
Warga Desa :
“Saya pakai hp saja cuma untuk telfon, kalau untuk pakai layanan-layanan internet itu jujur saya masih susah memahaminya. Makanya informasi pun itu disini lebih sering dapat dari hasil cerita-cerita.”
Warga Desa :
“Itu biasanya ngomong ke ibu DPRD yang ada disini, nanti pasti
ditindaklanjuti. Namanya masyarakat di desa kalau mau pake teknologi belum bisa maksimal Mbak, jadi lebih pilih yang tradisional saja.”
Perwakilan Karang Taruna :
“Kalau pakai whatsapp sih bisa ya, Mbak, tapi kan di whatsapp itu nomor dan namanya tidak bisa disembunyikan.
Jadi masih takut juga kalau sampai identitasnya ketauan.”
benar-benar dirahasiakan dalam sistem tersebut.
Perwakilan BPD :
“Saya masih paham menggunakan internet itu gimana dan saya memang sudah tau ada media untuk melaporkan tanpa diketahui namanya. Jadi saya lebih nyaman kalau pakai sistem itu.
Kalau omong-omong nanti takut malah identitasnya terungkap.”