• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV.1. PERANAN SEKTOR PERTAMBANGAN BATUBARA IV.1.1.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "IV.1. PERANAN SEKTOR PERTAMBANGAN BATUBARA IV.1.1."

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)

BAB IV

PERHITUNGAN

IV.1. PERANAN SEKTOR PERTAMBANGAN BATUBARA IV.1.1. Sektor Pertambangan Batubara Dalam Pembangunan

Seperti yang sudah disebutkan dalam pembahasan sebelumnya tentang sektor pertambangan batubara, dapat diketahui bahwa batubara memegang peranan yang cukup penting dalam pembangunan nasional. Khususnya untuk masalah yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan energi nasional dan aktivitas tambang batubara. Secara makro, peranan sektor pertambangan batubara di dalam struktur perekonomian terlihat gambarannya dalam model tabel input–output. Dengan menggunakan model I-O dapat dilihat sektor-sektor yang menggunakan output dari sektor pertambangan batubara, maupun sektor-sektor yang memberikan input kepada sektor pertambangan batubara. Termasuk juga permintaan akhir (final demand) terhadap sektor pertambangan batubara.

Dari model I-O 1995 dan model I-O 2000 dilakukan analisis deskriptif untuk mendapatkan parameter-parameter yang menunjukkan peranan sektor pertambangan batubara. Sekaligus dapat juga diperlihatkan bagaimana perkembangan-perkembangan yang dicapai pada kurun waktu tersebut sehingga dapat menjadi dasar dalam merencanakan kebijakan pembangunan pada sektor pertambangan batubara. Parameter-parameter yang dapat dihitung berdasarkan model I-O antara lain parameter keterkaitan dan pengganda dapat dilihat pada Tabel IV.1.

(2)

IV - 2 Tabel IV.1.

Hasil Perhitungan Parameter Keterkaitan dan Pengganda Dari Model I-O Keterkaitan Hulu Keterkaitan Hilir Pengganda Pendapatan Pengganda Nilai Tambah Pengganda Surplus Pengganda Investasi Sektor 1995 2000 1995 2000 1995 2000 1995 2000 1995 2000 1995 2000 Padi 0,766 0,739 0,819 0,828 12,41 15,33 5,91 5,92 3,72 4,02 35,41 31,52

Tanaman Bahan Makanan Lain 0,711 0,674 0,702 0,697 15,34 11,74 5,22 5,57 3,28 3,78 125,36 81,25 Tanaman Pertanian 0,867 0,853 0,893 0,964 7,52 7,37 8,10 8,95 5,10 6,07 21,11 19,96 Peternakan 1,127 1,191 0,922 0,867 16,58 9,99 10,19 15,00 6,41 10,17 64,88 77,71 Kehutanan 0,808 0,792 0,729 0,651 12,55 12,04 6,83 7,07 4,30 4,79 9,01 9,87 Perikanan 0,807 0,826 0,662 0,638 13,10 12,60 6,46 7,16 4,06 4,86 14,60 14,63 Pertambangan Batubara 0,817 0,768 0,694 0,745 6,00 5,16 12,73 13,14 8,01 8,91 7,74 11,72 Pertambangan & Penggalian

Lainnya 0,737 0,700 1,276 1,671 14,98 17,90 5,87 5,93 3,69 4,02 9,47 12,11

Industri Makanan, Minuman, &

Tembakau 1,207 1,209 1,017 1,198 22,79 20,78 21,99 26,20 13,83 17,77 14,16 18,19 Industri Lainnya 1,391 1,333 3,143 2,451 17,08 16,85 22,46 23,93 14,13 16,23 9,61 12,52 Pengilangan Minyak Bumi 1,037 0,942 0,965 1,019 28,26 34,20 13,31 11,11 8,37 7,53 5,47 7,44 Listrik, Gas, & Air Minum 1,132 1,192 0,797 0,741 17,25 25,39 21,69 26,40 13,65 17,90 1,76 3,72 Bangunan 1,346 1,317 0,776 0,774 10,32 11,58 33,63 31,57 21,16 21,41 8,41 16,65 Perdagangan 0,825 0,995 1,063 1,698 10,59 12,05 7,89 10,63 4,96 7,21 4,36 12,14 Restoran & Hotel 1,220 1,213 0,736 0,712 12,64 12,92 17,79 19,38 11,19 13,15 6,69 19,67 Pengangkutan & Komunikasi 1,006 1,207 1,287 1,144 11,96 16,93 12,35 22,88 7,77 15,52 1,21 3,89 Lembaga Keuangan, Bangunan &

Jasa Perusahaan 0,909 0,869 1,425 1,362 9,89 14,27 8,90 7,77 5,60 5,27 2,01 11,74 Pemerintahan Umum & Pertahanan 0,955 0,994 0,602 0,597 2,81 3,10 0,00 0,00 0,00 0,00 2,19 15,92 Jasa-jasa 1,124 1,071 0,839 0,653 5,37 4,74 25,29 34,25 15,91 23,23 0,98 12,12 Diolah dari data Tabel Input-Output Biro Pusat Statistik, 1995 dan 2000

(3)

Dari hasil analisis deskriptif dari model I-O tahun 1995 dan 2000 memberikan hasil sebagai berikut:

• Keterkaitan ke depan (forward linkage) meningkat dari 0,694 menjadi 0,745 Keterkaitan ke depan/hilir yang meningkat menunjukkan bahwa sektor pertambangan batubara semakin memberikan kontribusi output yang lebih baik dari periode sebelumnya. Atau dengan kata lain, peranan sektor pertambangan batubara kepada sektor-sektor hilirnya menjadi lebih besar. Namun walaupun mengalami kenaikan keterkaitan kedepan yang lebih besar dibandingkan dengan periode sebelumnya, keterkaitan sektor pertambangan batubara ke hilir perlu ditingkatkan hingga lebih dari 1. Angka keterkaitan yang kurang dari 1 mengindikasikan sektor pertambangan belum dapat memberikan kontribusi output yang optimal kepada sektor-sektor hilirnya. Peningkatan output sektor pertambangan kepada sektor-sektor yang lain akan dapat meningkatkan keterkaitan ke depan dari sektor pertambangan.

• Keterkaitan ke belakang menurun dari 0,817 menjadi 0,786.

Nilai keterkaitan ke belakang sebesar tersebut di atas membuktikan bahwa investasi di setor pertambangan batubara memberikan hasil yang lebih rendah dibandingkan sektor-sektor keterkaitan hulunya. Jika dilihat dari fungsinya sebagai pusat pertumbuhan ekonomi, maka angka keterkaitan hulu yang lebih kecil dari satu menunjukkan keberadaan sektor pertambangan batubara belum dapat menumbuhkan keberadaan sektor-sektor yang lain.

• Nilai pengganda seperti pengganda nilai tambah, pengganda surplus, dan pengganda investasi yang ditimbulkan karena keberadaan sektor pertambangan batubara mengalami peningkatan dari periode tahun 1995 ke periode tahun 2000. Walaupun demikian, nilai pengganda yang diimbulkan oleh sektor pertambangan batubara relatif kecil dibandingkan dengan sektor-sektor yang lain dalam perekonomian.

Sementara itu, tinjauan dari sisi ekspor dilakukan untuk mengetahui besarnya peranan ekspor batubara dalam pertumbuhan ekonomi. Analisis deskriptif peranan ekpor batubara dalam perekonomian yang diperoleh dari Model I-O tahun 1995 dan 2000 dapat dilihat pada Tabel IV.2. Dari tabel tersebut diketahui bahwa proporsi ekspor batubara baik

(4)

terahadap total ekspor maupun terhadap GDP bernilai sangat kecil, walaupun prosentasenya mengalami kenaikan dari tahun 1995 ke tahun 2000.

Tabel IV.2.

Proporsi Ekspor Batubara Dalam Perekonomian

Melihat perkembangan sektor pertambangan batubara dalam perkonomian, dapat diketahui bahwa peranan sektor pertambangan batubara saat ini belum optimal sehingga masih perlu ditingkatkan peranannya dalam mendukung pembangunan ekonomi.

IV.1.2. Efisiensi Pemanfaatan Energi

Peranan sektor pertambangan batubara dapat dilihat capaiannya dari pemanfaatan batubara sebagai sumber energi. Batubara dan sumber energi yang lain digunakan sebagai faktor produksi dalam pembangunan nasional, yang kemudian menghasilkan pendapatan nasional dan pertumbuhan/penurunan ekonomi. Salah satu cara untuk mengetahui optimal tidaknya pemanfaatan sumberdaya batubara nasional tersebut adalah dengan melihat efisiensinya bersama-sama dengan sumber energi yang lain untuk menghasilkan pendapatan nasional dan pertumbuhan ekonomi. Indikator yang dipakai adalah intensitas energi. Sementara itu, tolak ukur yang digunakan untuk menentukan optimal tidaknya penggunaan faktor produksi tersebut adalah terhadap intensitas energi yang dicapai oleh negara-negara maju di Asia Pasifik. Jika intensitas energi Indonesia telah mendekati rata-rata intensitas energi negara maju di Asia Pasifik, maka pemanfaatan energi sudah optimal. Begitu pula dengan sebaliknya.

Gambaran mengenai efisiensi pemanfaatan energi Indonesia dan negara-negara lainnya di Asia Pasifik dari tahun 1998 – 2004 dapat dilihat pada Tabel IV.3. Dari data tersebut dapat diketahui bahwa intensitas energi Indonesia masih jauh berada di atas intensitas energi negara maju di Asia Pasifik seperti Jepang, Korea Selatan, Taiwan. Hal tersebut menandakan bahwa efisiensi pemanfaatan energi di Indonesia lebih buruk dibandingkan dengan efisiensi pemanfaataan energi negara-negara maju di Asia Pasifik. Sehingga dapat

1995 2000

Prosentase Ekspor Batubara

Terhadap Total Ekspor 1,48% 1,70% Prosentase Ekspor Batubara

(5)

diambil kesimpulan bahwa pemanfaatan faktor produksi energi yang salah satunya adalah batubara, belum dapat memberikan hasil yang optimal untuk memacu pertumbuhan perekonomian di Indonesia.

Tabel IV.3.

Intensitas Energi Negara-Negara di Asia Pasifik Intensitas Energi (TOE/Ribu US$)

Negara 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 Australia 0,248 0,237 0,255 0,285 0,269 0,214 0,190 China 1,669 1,388 1,274 1,286 1,456 1,540 1,610 Hongkong, China 0,104 0,101 0,092 0,111 0,118 0,117 0,123 Indonesia 0,612 0,531 0,575 0,721 0,646 0,567 0,591 Jepang 0,134 0,119 0,111 0,124 0,126 0,114 0,106 Korea Selatan 0,477 0,403 0,373 0,421 0,399 0,381 0,359 Malaysia 0,803 0,752 0,825 0,864 0,884 0,919 0,919 Philipina 1,032 0,966 1,027 1,169 1,173 1,219 1,216 Singapore 0,428 0,384 0,377 0,465 0,440 0,403 0,419 Taiwan 0,287 0,275 0,264 0,297 0,306 0,307 0,290 Thailand 0,875 0,786 0,832 0,919 0,918 0,906 0,891 Diolah dari data BP Statistical Review 2005 dan Data IMF 2006

IV.2. Sistematika Perhitungan

Hasil perhitungan indikator-indikator untuk menilai peran batubara dalam pembangunan nasional pada Sub-bab 4.1 memperlihatkan hasil bahwa peran batubara dalam pembangunan belum optimal. Dengan demikian langkah selanjutnya akan dilakukan perhitungan untuk menentukan produksi batubara yang optimal serta peran batubara dalam pemenuhan kebutuhan energi nasional. Kriteria yang digunakan untuk menentukan produksi batubara yang optimal berdasarkan prinsip konservasi adalah:

1. Produksi batubara yang dihasilkan dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan energi nasional.

2. Efisiensi penggunaan batubara dan sumber energi yang lain untuk menghasilkan pendapatan di negara Indonesia konvergen terhadap negara-negara maju di Asia Pasifik. Atau dengan kata lain terjadi konvergensi intensitas energi.

3. Pertumbuhan penduduk Indonesia diasumsikan tetap mengikuti pertumbuhan rata-rata pada tahun sebelumnya.

Energy Mix nasional tidak dijadikan kriteria dalam menentukan tingkat produksi batubara yang optimal. Karena salah satu keluaran yang diharapkan dari prediksi produksi batubara

(6)

yang optimal adalah bagian/peran batubara dalam pemenuhan kebutuhan energi nasional (peran batubara dalam Energy Mix).

Langkah-langkah perhitungan yang dilakukan untuk menentukan optimasi peroduksi batubara Indonesia dan peranan batubara dalam mendukung pembangunan ekonomi adalah sebagai berikut :

1. Mengelompokkan negara-negara di Asia Pasifik berdasarkan kondisi perekonomiannya untuk menentukan tolok ukur dalam mengkonvergensikan pertumbuhan ekonomi dan intensitas energi Indonesia.

2. Meneliti konvergensi pertumbuhan ekonomi Indonesia terhadap Asia Pasifik, melalui pertumbuhan GDP perkapita. Dimana potensi konvergensi intensitas energi timbul apabila terjadi konvergensi dalam pertumbuhan ekonomi.

3. Membentuk model persamaan ekonometrika untuk melakukan peramalan intensitas energi yang konvergen.

4. Peramalan intensitas energi Indonesia dan melakukan sensitivitas untuk menentukan pertumbuhan ekonomi yang dapat mengkonvergensikan intensitas energi Indonesia terhadap Asia Pasifik.

5. Menggunakan output pertumbuhan ekonomi Indonesia di atas, sebagai masukan dalam model I-O, untuk mendapatkan proyeksi output batubara yang optimal. Output yang dihasilkan meliputi output untuk keperluan dalam negeri dan pasar ekspor.

6. Dari hasil perhitungan peramalan intensitas energi dan tingkat GDP perkapita yang dapat menimbulkan konvergensi intensitas energi dihitung kebutuhan energi Indonesia sampai tahun 2020.

7. Menghitung kebutuhan energi yang dipasok oleh batubara untuk menentukan peranan batubara dalam energy mix nasional.

8. Meramalkan produksi pasar batubara tanpa batasan konservasi, yang diprediksi dari data-data historis produksi batubara Indonesia.

9. Informasi yang diperoleh dari hasil peramalan output batubara optimal, peramalan produksi batubara sesuai mekanisme pasar, dan peranan batubara dalam energy mix nasional dapat menjadi suatu masukan dalam menentukan usulan aturan pengusahaan sumberdaya batubara yang berdasarkan asas konservasi.

(7)

Gambar IV.1. Diagram Alir Perhitungan Menentukan Peran Batubara Dalam Mendukung Pembangunan Ekonomi

(8)

IV.3. Pengelompokan Negara-Negara di Asia Pasifik dan Penentuan Tolok Ukur Konvergensi

Dalam menganalisis konvergensi ekonomi dan konvergensi intensitas energi Indonesia, maka diperlukan suatu tolak ukur yang jelas. Tolak ukur yang digunakan harus realistis, sehingga konvergensi yang dilakukan tidak terlalu berlebihan. Yang pertama dilakukan adalah mengelompokkan negara-negara di Asia Pasifik berdasarkan kondisi ekonominya, sehingga diketahui secara jelas dimana posisi perekonomian Indonesia di Asia Pasifik. Selanjutnya, baru dilakukan prediksi intensitas energi Indonesia berdasarkan tolak ukur yang ditetapkan. Pengelompokan negara-negara Asia Pasifik berdasarkan kondisi perekonomiannya dapat dilihat melalaui data-data pada tabel di bawah ini,

Tabel IV.4.

Perkembangan Perekonomian Negara-Negara Asia Pasifik GDP (Billion USD) GDP per kapita (Thousand USD/kapita) Unemployment Rate Negara 2003 2004 2003 2004 2003 2004 Australia 534,761 625,580 26,863 31,057 6,1 5,5

China 781,895 860,887 0,605 0,662 n.a. n.a. Hongkong 178,587 193,912 26,090 28,038 7,9 6,9

Indonesia 183,930 185,472 0,861 0,857 n.a. n.a. Jepang 4,429,441 4,851,355 34,706 37,983 5.3 4,7 Korea Selatan 556,124 605,484 11,622 12,593 3,6 3,7

Malaysia 61,183 65,609 2,448 2,576 n.a. n.a. Philipina 20,019 20,560 0,247 0,249 n.a. n.a. Singapore 96,013 107,589 22,942 25,375 4,0 3,4 Taiwan 308,761 337,525 13,659 14,876 5,0 4,4 Thailand 83,518 91,454 1,305 1,405 n.a. n.a. Sumber : Data Statistik IMF, 2006

Berdasarkan definisi dari Bank Dunia (World Bank) yang disadur dalam

www.booksites.net/download/mcaleese/student_files/glossary.html, disebutkan bahwa

negara yang digolongkan dalam negara berkembang (Developing Country) merupakan negara yang mempunyai GDP per kapita kurang dari USD 9,200, sementara itu untuk negara dengan GDP per kapita lebih dari USD 9,200 digolongkan negara maju (Developed Country). Sebenarnya kriteria untuk menentukan/mengelompokkan negara maju dan berkembang masih memerlukan beberapa persyaratan, antara lain struktur ekonomi yang tidak lagi bergantung pada sektor ekstraktif dan kondisi sosial budaya yang biasanya diperlihatkan dalam Human Development Index (HDI). Namun berdasarkan ketersediaan

(9)

data, kriteria yang digunakan untuk menentukan negara maju atau berkembang hanya berdasarkan tingkat pendapatan perkapita.

Melihat data dan kriteria di atas, dapat diidentifikasi kategori negara-negara yang berada di Asia Pasifik sebagai berikut,

• Negara Maju (Developed Country), antara lain: o Australia o Hongkong o Jepang o Korea Selatan o Singapore o Taiwan

• Negara Berkembang (Developing Country), antara lain: o China

o Indonesia o Malaysia o Philiphina o Thailand

Parameter lain yang digunakan untuk menentukan tolok ukur konvergensi adalah intensitas energi. Intensitas energi yang merupakan penggunaan energi per unit GDP dapat menunjukkan efisiensi penggunaan energi suatu negara dalam melakukan pembangunan. Oleh karena itu, keberhasilan dalam melaksanakan pembangunan ekonomi juga harus diimbangi oleh efisiensi penggunaan energi. Pada Gambar IV.2 diperlihatkan sebaran GDP per kapita (sumbu x) dan intensitas energi (sumbu y) pada negara-negara di Asia Pasifik pada tahun 2004, yang menunjukkan suatu kondisi dimana:

• Negara-negara maju yang berada di sebelah kanan garis vertikal mempunyai efisiensi penggunaan energi yang tinggi.

• Negara-negara berkembang yang berada di sebelah kiri garis vertikal mempunyai efisiensi penggunaan energi yang rendah, dengan catatan sebagai berikut :

o China merupakan negara yang saat ini sedang dalam tahap pembangunan sektor industri-nya. Akibatnya penggunaan energi besar dengan efisiensi yang rendah.

(10)

o Malaysia dan Thailand juga merupakan negara yang sedang menuju tahap peralihan dari negara yang memanfaatkan sumberdaya alam menjadi negara industri. Diperkirakan kebutuhan energinya juga akan mengalami peningkatan.

o Indonesia merupakan negara yang GDP-nya masih bergantung pada sektor primer, sehingga efisiensi energi-nya masih rendah.

GDP Per Kapita dan Intensitas Energi 2004

0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0 1.2 1.4 1.6 1.8 0 10 20 30 40 GDP Per Kapita In te n s it a s E n e rg i Aus tralia China Hongkong Indones ia Jepang Korea Selatan Malays ia Philiphina Singapore Taiwan Thailand

Gambar IV.2. Plotting GDP per kapita dan Intensitas Energi Negara di Asia Pasifik

Melihat kondisi perekonomian dan efisiensi penggunaan energi di atas, dapat dibuat standar untuk menkonvergesikan intensitas energi Indonesia yaitu intensitas energi rata-rata negara maju di Asia Pasifik. Itu disebabkan karena intensitas energi di Indonesia telah lebih baik daripada negara-negara berkembang di Asia Pasifik. Sehingga perubahan intensitas energi Indonesia yang konvergen kepada intensitas energi rata-rata negara maju di Asia Pasifik dapat membawa ke arah perbaikan efisiensi penggunaan energi Indonesia yang diikuti oleh perubahan struktur ekonomi dan kebijakan pembangunan.

IV.4. Perhitungan Konvergensi Pendapatan

IV.4.1. Memperkirakan Konvergensi Melalui Kecepatan Pertumbuhan

Konsep klasik dari kondisi konvergen mengasumsikan bahwa negara dengan ekonomi yang tergolong rendah (Indonesia digolongkan dalam negara dengan kondisi ekonomi yang rendah) cenderung untuk mengalami pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat daripada negara maju, tidak hanya menurut perhitungan tingkat pendapatan, namun juga pada beberapa variable seperti tingkat teknologi, tingkat pertumbuhan penduduk, etc (Sala-i-Martin, 19961)).

(11)

Perhitungan konvergensi ekonomi diarahkan pada konvergensi GDP per kapita. Dimana pada saat terjadi konvergensi, pertumbuhan GDP perkapita Indonesia akan lebih besar daripada pertumbuhan GDP perkapita rata-rata negara maju Asia Pasifik. Dalam melakukan estimasi terhadap petumbuhan ekonomi menggunakan persamaan bunga gabungan (compound interest) sebagai berikut,

(

)

t t t

y

r

y

=

1

1

+

(4.1)

(

r

)

t

y

y

t

=

ln

t

+

ln

1

+

ln

1 (4.2)

Jika, β1 =lnyt1 dan β2 =ln

(

1+r

)

, dan mensubstitusikan pada persmaan 4.2, maka akan diperoleh :

t

y

t 1 2

ln

=

β

+

β

(4.3)

Dengan memasukkan gangguan, maka persamaan di atas akan menjadi seperti berikut,

t

t

t

y

=

β

1

+

β

2

+

υ

ln

(4.4)

dimana,

yt : pendapatan per kapita

t : waktu

r : rata-rata pertumbuhan dari y

Model di atas merupakan model persamaan regresi linier dengan variable terikat yt dan

variable bebas t serta parameter β1 dan β2. Sehingga untuk menyelesaikannya dapat

menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS).

IV.4.2. Perhitungan Kecepatan Pertumbuhan

Sebagai masukan untuk menentukan tingkat pertumbuhan ekonomi, digunakan data-data pendapatan per kapita Indonesia dan pendapatan per kapita rata-rata negara maju di Asia Pasifik tahun 1998-2004. Data yang digunakan mulai tahun 1998 dan sesudahnya, karena tahun tersebut perekonomian negara-negara di Asia Pasifik mulai mengalami perbaikan lagi setelah terjadinya krisis ekonomi. Data tersebut dapat dilihat pada Tabel IV.5. Sedangkan hasil estimasi persamaan pertumbuhan ekonomi Indonesia dan rata-rata negara maju Asia Pasific dengan menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS) dengan bantuan perangkat lunak Eviews dapat dilihat pada Tabel IV.6 dan IV.7.

(12)

Tabel IV.5.

Data Masukan Menentukan Tingkat Pertumbuhan Ekonomi

Tahun Time yina,t

(ribu US$/kapita) (ribu US$/kapita) yrt-developed,t

1998 1 0,639 19,314 1999 2 0,810 21,070 2000 3 0,807 22,163 2001 4 0,676 20,332 2002 5 0,767 20,802 2003 6 0,861 22,647 2004 7 0,857 19,314 Tabel IV.6.

Hasil Estimasi Menentukan Tingkat Pertumbuhan Ekonomi Indonesia

Dependent Variable: @LOG(YI) Method: Least Squares

Date: 11/22/06 Time: 17:45 Sample: 1998 2004

Included observations: 7

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C -0,397875 0,082688 -4,811779 0.0048 TIME 0,033991 0,018490 1,838413 0.1254 R-squared 0,403324 Mean dependent var -0,261909

Adjusted R-squared 0,283989 S,D, dependent var 0,115623 S.E. of regression 0,097837 Akaike info criterion -1,576063 Sum squared resid 0,047861 Schwarz criterion -1,591517 Log likelihood 7,516219 F-statistic 3,379761 Durbin-Watson stat 2,160270 Prob(F-statistic) 0,125403

Tabel IV.7.

Hasil Estimasi Menentukan Tingkat Pertumbuhan Ekonomi Rata-rata Negara Maju Asia Pasifik

Dependent Variable: @LOG(YDEV) Method: Least Squares

Date: 01/28/07 Time: 22:04 Sample: 1998 2004

Included observations: 7

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C 2,948468 0,048206 61,16346 0.0000 TIME 0,030482 0,010779 2,827816 0.0368 R-squared 0,615282 Mean dependent var 3,070395

Adjusted R-squared 0,538339 S,D, dependent var 0,083947 S.E. of regression 0,057039 Akaike info criterion -2,655223 Sum squared resid 0,016267 Schwarz criterion -2,670677 Log likelihood 11,29328 F-statistic 7,996543 Durbin-Watson stat 1,527257 Prob(F-statistic) 0,036769

(13)

Dari hasil estimasi di atas dapat dibentuk persamaan untuk menentukan rata-rata pertumbuhan GDP perkapita Indonesia dan Asia Pasifik sebagai berikut :

Indonesia :

ln

y

i,t

=

0

,

398

+

0

,

034

t

+

υ

t (4.5) Asia Pasifik :

ln

y

dev,t

=

2

,

950

+

0

,

030

t

+

υ

t (4.6)

Estimasi dari persamaan 4.6 berdasarkan data-data GDP perkapita Indonesia dan rata-rata negara maju di Asia Pasifik menghasilkan nilai slope (β2) untuk Indonesia bernilai 0,034

dan rata-rata Asia Pasifik bernilai 0,030. Dari nilai β2 dapat dihitung pertumbuhan ekonomi

rata-rata Indonesia dan Asia Pasifik pada periode waktu tersebut, yang menghasilkan nilai pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 3,46% dan pertumbuhan ekonomi rata-rata Asia Pasifik 3,05%.

Perhitungan pertumbuhan ekonomi rata-rata di Indonesia dan negara maju di Asia Pasifik menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi di Indonesia sedikit lebih besar daripada pertumbuhan ekonomi rata-rata negara-negara di Asia Pasifik. Dalam hal ini bisa disimpulkan bahwa terdapat konvergensi pendapatan (GDP perkapita) antara Indonesia dengan pendapatan rata-rata negara maju di Asia Pasifik.

Sehubungan dengan konvergensi intensitas energi Indonesia terhadap intensitas energi rata-rata negara maju di Asia Pasifik, maka GDP perkapita merupakan salah satu instrumen untuk konvergensi tersebut. Sasaran yang ingin dicapai adalah menggunakan pertumbuhan ekonomi yang dicerminkan melalui pertumbuhan GDP perkapita sebagai pendorong untuk meningkatkan efisiensi penggunaan energi. Sehingga dengan peningkatan pendapatan perkapita dan efisiensi energi akan menjadikan intensitas energi Indonesia berkurang mendekati rata-rata intensitas energi rata-rata negara maju di Asia Pasifik.

IV.5. Estimasi Konvergensi Pada Intensitas Energi

IV.5.1. Memperkirakan Persamaan Konvergensi Intensitas Energi

Estimasi perubahan dari konsumsi energi per kapita di Indonesia didasarkan pada perubahan intensitas energi dan pendapatan perkapita, seperti dapat dilihat pada persamaan berikut,

(14)

t t t t t

P

Y

Y

E

e

=

×

(4.7) t t t

y

e

=

ε

×

(4.8) dimana,

E : total konsumsi energi final e : konsumsi energi final perkapita P : populasi penduduk

Y : total pendapatan nasional – GDP (Gross Domestic Product) y : GDP perkapita

ε : Intensitas energi rata-rata negara di Asia Pasifik t : waktu

i : Indonesia

a : Rata-rata Asia Pasifik

Dari persamaan yang dibentuk di atas, diharapkan dapat menjawab pertanyaan sebagai berikut:

• Perubahan dari konsumsi energi perkapita Indonesia relatif terhadap rata-rata konsumsi energi perkapita rata-rata negara maju di Asia Pasik.

• Intensitas energi Indonesia untuk tahun berikutnya.

Perubahan dari intensitas energi terhadap rata-rata instensitas energi negara maju di Asia Pasifik dapat didefinisikan pada persamaan 4.9,

t a t i t a t i

y

y

A

, , , ,

*

ε

ε

η

=

(4.9)

Dimana, εi,t* merupakan intensitas energi yang dikehendaki oleh Indonesia. A merupakan

konstanta yang ditentukan, dan η merupakan elastisitas. Seperti yang telah disebutkan dalam bahasan sebelumnya, bahwa GDP perkapita merupakan instrumen untuk melakukan konvergensi intensitas energi Indonesia terhadap intensitas energi rata-rata negara maju Asia Pasifik. Dengan melihat persamaan di atas, dapat diketahui bahwa dengan mengurangi gap antara GDP perkapita rata-rata negara maju di Asia Pasifik maka akan dapat mengurangi gap intensitas energi antara Indonesia dengan Asia Pasifik. Sebagai

(15)

cotoh, nilai A 0,5 dan elastisitas (η) 1, peningkatan GDP perkapita Indonesia sebesar 1% terhadap GDP perkapita akan menyebabkan pengurangan gap intensitas energi sebesar 0,5%. Sebagai tambahan, diperlukan penyesuaian untuk menentukan intensitas energi aktual berdasarkan nilai intensitas energi yang dikehendaki, seperti pada persamaan 4.10,

μ

ε

ε

ε

ε

=

− − 1 , , 1 , ,

*

t i t i t i t i (4.10)

Parameter μ merupakan faktor elastisitas yang menyesuaikan antara intensitas energi aktual berdasarkan perubahan pada intensitas energi yang dikehendaki. Sebagai contoh, A bernilai 0,5 dan μ bernilai 1 akan menyebabkan peningkatan gap antara intensitas energi yang dikehendaki dengan nilai aktual tahun sebelumnya akan menghasilkan pengurangan gap sebesar 0,5%.

Berdasarkan persamaan 4.9 dan 4.10, maka dibentuk suatu persamaan linear untuk dapat melakukan estimasi nilai-nilai parameter yang tidak diketahui, seperti A, η, dan μ. Dengan membentuk persamaan 4.9 dan 4.10 menjadi persamaan logaritma natural, maka persamaan tersebut menjadi seperti berikut,

(

at it

)

at t i,

*

ln

A

ln

y

,

ln

y

,

ln

,

ln

ε

=

+

η

+

ε

(4.11) 1 , , 1 , ,

ln

ln

*

ln

ln

ε

it

=

ε

it

+

μ

ε

it

μ

ε

it (4.12)

Dengan melakukan substitusi persamaan 4.11 pada persamaan 4.12, maka menghasilkan,

(

ln

ε

i,t

ln

ε

i,t−1

)

=

μ

ln

A

+

μ

(

ln

ε

a,t

ln

ε

i,t−1

)

+

μη

(

ln

y

a,t

ln

y

i,t

)

(4.13)

Jika B =μlnA, C = μ, dan D = μ η. Serta memasukkan gangguan, maka persamaan 4.13

menjadi sebagai berikut,

t t i t a t i t a t i t i

y

y

D

C

B

υ

ε

ε

ε

ε

+

+

+

=

− − , , 1 , , 1 , ,

ln

ln

ln

(4.14)

Dari persamaan di atas dapat diuraikan bahwa ln

(

εi,t εi,t1

)

merupakan pertumbuhan intensitas energi di Indonesia, dan

(

εa,t εi,t−1

)

merupakan perbandingan antara intensitas

energi rata-rata negara maju di Asia Pasifik dan intensitas energi awal di Indonesia.

(16)

Pasifik terhadap GDP perkapita Indonesia pada tahun ke-t dan merepresentasikan gap pendapatan antara negara maju di Asia Pasifik dengan Indonesia. Apabila C > 0, maka terdapat korelasi positif antara variabel tak bebas dengan rasio intensitas energi Asia Pasifik dan Indonesia. C merupakan rata-rata dimana intensitas energi dari Indonesia akan disesuaikan (naik atau turun) sehingga dapat konvergen dengan intensitas energi negara maju di Asia Pasifik. Sebagai contoh, penurunan pada rasio tersebut yang berarti εa,t < εi,t-1,

memastikan terjadinya pengurangan intensitas energi di Indonesia dengan pertumbuhan rata-rata sebesar C%. Parameter lain di persamaan di atas adalah D. Apabila D > 0, terdapat hubungan langsung antara variabel tak bebas dan

(

ya,t yi,t

)

dinyatakan dan diperkuat oleh keberadaan konvergensi pendapatan. Apabila terdapat konvergensi pendapatan, D > 0 menunjukkan bahwa penurunan gap dari GDP perkapita antara negara maju di Asia Pasifik dan Indonesia, mengurangi intensitas energi Indonesia dengan pertumbuhan sebesar D%. Dengan memisalkan Z = ln

(

εi,t εi,t−1

)

, X1 = ln

(

εa,t εi,t−1

)

, dan

X2 = ln

(

ya,t yi,t

)

, maka persamaan 4.14 dapat diubah menjadi bentuk umum Z = f (X1, X2)

= B + CX1 + DX2 + υ. Dengan demikian persamaan di atas dapat dilakukan estimasi

menggunakan metode OLS.

IV.5.2. Perhitungan Parameter Persamaan Konvergensi Intensitas Energi

Sebagai data masukan yang digunakan untuk mengestimasi persamaan dalam menentukan konvergensi intensitas adalah data GDP perkapita dan data intensitas energi tahun 1980 – 2004 baik untuk Indonesia maupun rata-rata negara maju di Asia Pasifik. Data yang digunakan untuk estimasi dapat dilihat pada Tabel IV.8. Sementara hasil estimasi persamaan 4.14 dengan menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS) dengan bantuan perangkat lunak Eviews dapat dilihat pada Tabel IV.9.

(17)

Tabel IV.8.

Data Masukan Dalam Menentukan Estimasi Parameter Konvergensi Energi

Tahun yi,t (ribu US$/kapita) εi,t (toe/ribu US$) ya,t (ribu US$/kapita) εa,t (toe/ribu US$) 1980 5,970 0,030 12,637 0,267 1981 6,238 0,030 12,773 0,265 1982 5,960 0,031 11,702 0,268 1983 4,419 0,044 11,054 0,273 1984 4,099 0,055 11,373 0,273 1985 3,808 0,057 10,715 0,287 1986 3,414 0,066 11,991 0,285 1987 2,736 0,086 13,787 0,255 1988 2,764 0,085 15,904 0,241 1989 2,773 0,096 16,650 0,237 1990 2,845 0,104 17,073 0,242 1991 2,826 0,110 17,931 0,234 1992 2,843 0,116 18,694 0,235 1993 2,905 0,118 19,686 0,237 1994 2,969 0,119 21,473 0,227 1995 3,039 0,124 23,160 0,216 1996 3,092 0,131 22,985 0,211 1997 2,572 0,162 22,238 0,228 1998 0,639 0,612 19,314 0,280 1999 0,810 0,531 21,070 0,253 2000 0,807 0,575 22,163 0,246 2001 0,676 0,721 20,332 0,284 2002 0,767 0,646 20,802 0,276 2003 0,861 0,567 22,647 0,256 2004 0,857 0,591 24,987 0,248 Tabel IV.9.

Hasil Estimasi Menentukan Parameter Konvergensi Intensitas Energi

Dependent Variable: @LOG(EI/EI(-1)) Method: Least Squares

Date: 01/29/07 Time: 00:38 Sample(adjusted): 1981 2004

Included observations: 24 after adjusting endpoints

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C -2,470645 0,130652 -18,91010 0.0000 @LOG(EDEV/EI(-1)) 0,873946 0,043856 19,92774 0.0000

@LOG(YDEV/YI) 0,970518 0,049098 19,76694 0.0000 R-squared 0,950542 Mean dependent var 0,124054 Adjusted R-squared 0,945832 S.D. dependent var 0,282790 S.E. of regression 0,065817 Akaike info criterion -2,487422 Sum squared resid 0,090968 Schwarz criterion -2,340165 Log likelihood 32,84906 F-statistic 201,8023 Durbin-Watson stat 0,947205 Prob(F-statistic) 0,000000

(18)

Dari hasil estimasi di atas dapat ditentukan parameter-parameter untuk menentukan konvergensi intensitas energi sebagai berikut,

t t i t a t i t a t i t i

y

y

υ

ε

ε

ε

ε

+

+

+

=

− − , , 1 , , 1 , ,

2

,

470

0

,

874

ln

0

,

970

ln

ln

(4.15)

Estimasi dari persamaan di atas berdasarkan data yang ada menghasilkan nilai intersep B = -2,470, slope C = 0,874 serta D = 0,970. Dengan diketahuinya nilai koefisien B, C, dan D maka parameter-parameter untuk menentukan konvergensi dapat dianalisis dan dilakukan perhitungan sebagai berikut,

• Nilai C sebesar 0,874 menunjukkan adanya korelasi positif antara pertumbuhan intensitas energi Indonesia dengan rasio intenitas energi negara maju Asia Pasifik terhadap Indonesia, dimana penurunan rasio energi intensitas tersebut akan menyebabkan pengurangan sebesar 12,6% {(1 – 0,874) x 100%}.

• Nilai D sebesar 0,970 menunjukkan adanya korelasi positif antara pertumbuhan intensitas energi Indonesia dengan rasio GDP perkapita rata-rata negara maju di Asia Pasifik terhadap Indonesia, dimana penurunan rasio GDP perkapita tersebut menyebabkan pengurangan intensitas energi sebesar 3% {(1 – 0,970) x 100%}

• Dengan nilai-nilai parameter B, C, dan D seperti di atas, maka : o C = μ = 0,874

o D = μ x η = 0,970 Æ η = 0,970/0,874 = 1,111 o B=μlnA Æ A = e(-2,47/0,874) = 0.059

o Sehingga, A = 0,059, μ = 0,874, dan η = 1,111

Dengan memasukkan parameter-parameter yang dihitung berdasarkan hasil estimasi, maka persamaan 4.9 dan 4.10 menjadi seperti berikut,

t a t i t a t i

y

y

, 111 , 1 , , ,

*

0

,

059

ε

ε

×

=

(4.16) 874 , 0 1 , , 1 , ,

*

=

− − t i t i t i t i

ε

ε

ε

ε

(4.17)

(19)

IV.6. Peramalan Intensitas Energi Indonesia

Peramalan intensitas energi di Indonesia untuk tahun-tahun berikutnya akan dilakukan dengan menggunakan instrumen GDP perkapita. Dimana dalam menurunkan intensitas energi Indonesia adalah dengan mengurangi gap GDP perkapita Indonesia dengan rata-rata GDP perkapita negara maju di Asia Pasifik. Sehingga pada akhirnya dapat diketahui besarnya pertumbuhan ekonomi Indonesia yang perlu dicapai untuk mencapai konvergensi pada intensitas energi. Dalam mencari konvergensi intensitas energi menggunakan persamaan di atas, akan digunakan beberapa asumsi, yaitu :

• Pertumbuhan GDP perkapita rata-rata negara maju di Asia Pasifik diasumsikan tetap, mengikuti pertumbuhan saat ini yaitu 3.05% pertahun.

• Intensitas energi negara maju di Asia Pasifik diperkirakan akan terus mengalami penurunan, karena negara-negara maju tersebut telah cukup baik dalam melakukan efisiensi dalam penggunaan energinya.

• Pertumbuhan GDP perkapita Indonesia alternatif 1 adalah sesuai dengan perhitungan, yaitu 3,46% pertahun.

• Pertumbuhan GDP perkapita Indonesia alternatif 2 adalah sesuai dengan pertumbuhan ekonomi 2 tahun terakhir (2004 dan 2005), yaitu 5% pertahun. • Pertumbuhan GDP perkapita Indonesia alternatif 3 adalah sesuai dengan

pertumbuhan ekonomi 6,5% pertahun.

IV.6.1. Perhitungan Pertumbuhan Intensitas Energi Asia Pasifik

Berdasarkan persamaan 4.16 dan 4.17, variabel yang diperlukan untuk melakukan peramalan intensitas energi namun belum terdefinisi adalah pertumbuhan intensitas energi negara maju di Asia Pasifik untuk peramalan tahun ke-t. Intensitas energi negara maju Asia Pasifik diasumsikan mengalami peningkatan sesuai dengan tingkat pertumbuhan yang telah dicapai sampai dengan saat ini. Persamaan regresi linier yang digunakan untuk memperkirakan pertumbuhan intensitas energi negara maju di Asia Pasifik adalah persamaan log-linier compound interest seperti pada persamaan 4.4. Data-data yang dipergunakan adalah data intensitas energi Asia Pasifik tahun 1998-2004, seperti yang terlihat pada Tabel IV.10.

(20)

Tabel IV.10.

Data Masukan Menentukan Pertumbuhan Intensitas Energi Pada Negara maju Asia Pasifik

Tahun Time (toe/ribu US$) εa,t

1998 1 0,280 1999 2 0,253 2000 3 0,246 2001 4 0,284 2002 5 0,276 2003 6 0,256 2004 7 0,248

Sumber, BP Statistical Review 2005 dan Data Statistik IMF 2006

Persamaan 4.4 tersebut akan diselesaikan dengan menggunkan metode OLS menggunakan data pada Tabel IV.10 untuk mendapatkan pertumbuhan intensitas energi rata-rata negara maju di Asia Pasifik. Hasil estimasi menggunakan bantuan perangkat lunak Eviews dapat dilihat pada Tabel IV.11.

Tabel IV.11.

Hasil Estimasi Penentuan Pertumbuhan Intensitas Energi Negara Maju Asia Pasifik

Dependent Variable: @LOG(EDEV) Method: Least Squares

Date: 01/29/07 Time: 12:35 Sample: 1998 2004

Included observations: 7

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C -1,304862 0,054631 -23,88492 0.0000 TIME -0,007906 0,012216 -0,647155 0.5461 R-squared 0,077288 Mean dependent var -1,336484

Adjusted R-squared -0,107254 S.D. dependent var 0,061430 S.E. of regression 0,064641 Akaike info criterion -2,404994 Sum squared resid 0,020892 Schwarz criterion -2,420448 Log likelihood 10,41748 F-statistic 0,418810 Durbin-Watson stat 1,829755 Prob(F-statistic) 0,546065

Dari hasil estimasi di atas dapat dibentuk persamaan untuk menentukan rata-rata pertumbuhan intesitas energi rata-rata negara maju di Asia Pasifik sebagai berikut,

t t

a

t

υ

ε

=

1

,

305

0

,

008

+

(21)

Pada persamaan 4.18 tersebut diketahui nilai β2 adalah -0,008. Nilai β2 yang merupakan

ln(1+r), menghasilkan nilai r, yang juga merupakan rata-rata pertumbuhan intensitas energi rata-rata negara Asia Pasifik sebesar -0,8% per tahun (mengalami penurunan).

IV.6.2. Perhitungan Peramalan Intensitas Energi Sampai Tahun 2030

Dengan menggunakan asumsi-asumsi di atas dan persamaan model fit hasil estimasi untuk memperkirakan intensitas energi di Indonesia (persamaan 4.16 dan 4.17), maka dapat dihitung intensitas energi Indonesia sampai tahun 2030 seperti yang terlihat pada Tabel IV.12 dan Gambar IV.3.

(22)

IV - 22 Tabel IV.12.

Peramalan Intensitas Energi Indonesia Sampai Tahun 2020

Negara Maju di Asia Pasific Indonesia**) Indonesia**) Indonesia**)

Tahun

ra,t ya,t εa,t ri,t yi,t ε*i,t εi,t ri,t yi,t ε*i,t εi,t ri,t yi,t ε*i,t εi,t

1998 3,05% 19,314 0,280 3,46% 0,639 0,612 3,46% 0,639 0,612 3,46% 0,639 0,612 1999 3,05% 21,070 0,253 3,46% 0,810 0,531 3,46% 0,810 0,531 3,46% 0,810 0,531 2000 3,05% 22,163 0,246 3,46% 0,807 0,575 3,46% 0,807 0,575 3,46% 0,807 0,575 2001 3,05% 20,332 0,284 3,46% 0,676 0,721 3,46% 0,676 0,721 3,46% 0,676 0,721 2002 3,05% 20,802 0,276 3,46% 0,767 0,646 3,46% 0,767 0,646 3,46% 0,767 0,646 2003 3,05% 22,647 0,256 3,46% 0,861 0,567 3,46% 0,861 0,567 3,46% 0,861 0,567 2004 3,05% 24,987 0,248 3,46% 0,857 0,591 3,46% 0,857 0,591 3,46% 0,857 0,591 2005*) 3,05% 25,748 0,246 3,46% 0,887 0,613 0,610 5,00% 0,900 0,603 0,601 6,50% 0,913 0,594 0,593 2006*) 3,05% 26,532 0,244 3,46% 0,917 0,605 0,606 5,00% 0,945 0,586 0,588 6,50% 0,972 0,568 0,571 2007*) 3,05% 27,340 0,242 3,46% 0,949 0,598 0,599 5,00% 0,992 0,569 0,571 6,50% 1,035 0,543 0,546 2008*) 3,05% 28,173 0,240 3,46% 0,982 0,591 0,592 5,00% 1,042 0,553 0,555 6,50% 1,103 0,519 0,523 2009*) 3,05% 29,031 0,238 3,46% 1,016 0,583 0,584 5,00% 1,094 0,537 0,539 6,50% 1,174 0,497 0,500 2010*) 3,05% 29,915 0,236 3,46% 1,051 0,576 0,577 5,00% 1,149 0,522 0,524 6,50% 1,251 0,475 0,478 2011*) 3,05% 30,826 0,234 3,46% 1,087 0,569 0,570 5,00% 1,206 0,507 0,509 6,50% 1,332 0,454 0,457 2012*) 3,05% 31,765 0,232 3,46% 1,125 0,562 0,563 5,00% 1,266 0,493 0,495 6,50% 1,419 0,434 0,437 2013*) 3,05% 32,732 0,231 3,46% 1,164 0,555 0,556 5,00% 1,330 0,479 0,481 6,50% 1,511 0,415 0,418 2014*) 3,05% 33,729 0,229 3,46% 1,204 0,548 0,549 5,00% 1,396 0,465 0,467 6,50% 1,609 0,397 0,400 2015*) 3,05% 34,756 0,227 3,46% 1,246 0,541 0,542 5,00% 1,466 0,452 0,454 6,50% 1,714 0,380 0,382 2016*) 3,05% 35,814 0,225 3,46% 1,289 0,535 0,536 5,00% 1,539 0,439 0,441 6,50% 1,825 0,363 0,366 2017*) 3,05% 36,905 0,223 3,46% 1,333 0,528 0,529 5,00% 1,616 0,426 0,428 6,50% 1,944 0,347 0,350 2018*) 3,05% 38,029 0,222 3,46% 1,380 0,521 0,522 5,00% 1,697 0,414 0,416 6,50% 2,070 0,332 0,334 2019*) 3,05% 39,187 0,220 3,46% 1,427 0,515 0,516 5,00% 1,782 0,403 0,404 6,50% 2,204 0,318 0,320 2020*) 3,05% 40,381 0,218 3,46% 1,477 0,509 0,510 5,00% 1,871 0,391 0,393 6,50% 2,348 0,304 0,306 2021*) 3,05% 41,611 0,216 3,46% 1,528 0,502 0,503 5,00% 1,965 0,380 0,382 6,50% 2,500 0,291 0,293 2022*) 3,05% 42,878 0,215 3,46% 1,580 0,496 0,497 5,00% 2,063 0,369 0,371 6,50% 2,663 0,278 0,280 2023*) 3,05% 44,184 0,213 3,46% 1,635 0,490 0,491 5,00% 2,166 0,359 0,360 6,50% 2,836 0,266 0,268 2024*) 3,05% 45,529 0,211 3,46% 1,692 0,484 0,485 5,00% 2,274 0,348 0,350 6,50% 3,020 0,254 0,256 2025*) 3,05% 46,916 0,209 3,46% 1,750 0,478 0,479 5,00% 2,388 0,338 0,340 6,50% 3,217 0,243 0,245 2026*) 3,05% 48,345 0,208 3,46% 1,811 0,472 0,473 5,00% 2,507 0,329 0,330 6,50% 3,426 0,233 0,234 2027*) 3,05% 49,817 0,206 3,46% 1,873 0,466 0,467 5,00% 2,633 0,320 0,321 6,50% 3,648 0,222 0,224 2028*) 3,05% 51,334 0,204 3,46% 1,938 0,461 0,461 5,00% 2,764 0,310 0,312 6,50% 3,886 0,213 0,214 2029*) 3,05% 52,897 0,203 3,46% 2,005 0,455 0,456 5,00% 2,903 0,302 0,303 6,50% 4,138 0,203 0,205 2030*) 3,05% 54,508 0,201 3,46% 2,074 0,449 0,450 5,00% 3,048 0,293 0,294 6,50% 4,407 0,195 0,196 Keterangan :

*) : Estimasi ***) : Alternatif 2 dengan tingkat pertumbuhan ekonomi 5,00%

(23)

Prediksi Intensitas Energi Sampai Tahun 2030 0.0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 1998 2002 2006 2010 2014 2018 2022 2026 2030 Tahun In te n s ita s E n er g i (t oe/ ri bu U S D ) Negara Maju Ina Alt 1 Ina Alt 2 Ina Alt 3 Aktual Prediksi Convergece

Gambar IV.3. Peramalan Intensitas Energi Indonesia dan Negara Maju di Asia Pasifik Sampai Tahun 2030

Hasil peramalan intensitas energi di Indonesia dengan memasukkan unsur konvergensi pada GDP perkapita dan konvergensi intensitas energi mengindikasikan hal-hal sebagai berikut:

• Pada tingkat pertumbuhan ekonomi saat ini, dimana pertumbuhan GDP perkapita Indoensia mencapai 3,46% pertahun dan pertumbuhan GDP perkapita rata-rata negara maju di Asia Pasifik mencapai 3,05% pertahun, maka konvergensi pendapatan tersebut akan menjadikan berkurangnya intensitas energi Indonesia sehingga konvergen mendekati rata-rata intensitas energi negara Asia Pasifik. Namun sampai dengan tahun 2030 pertumbuhan ekonomi tersebut belum bisa memacu intensitas energi Indonesia untuk menyamai intensitas energi rata-rata negara maju di Asia Pasifik. Kondisi yang sama juga dijumpai ketika tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 5,00% pertahun.

• Dengan menaikkan instrumen konvergensi intensitas energi yaitu pertumbuhan ekonomi menjadi 6,5% pertahun, maka konvergensi intensitas energi Indonesia

(24)

terhadap intensitas energi negara maju di Asia Pasifik menjadi lebih cepat. Dimana intensitas energi Indonesia akan sama dengan rata-rata intensitas energi negara maju di Asia Pasifik setelah tahun 2029.

IV.7. Perhitungan Pertumbuhan GDP Indonesia IV.7.1. Penentuan Pertumbuhan Penduduk Indonesia

Salah satu kegunaan model I-O adalah untuk melakukan proyeksi output nasional. Yaitu dengan melihat peningkataan output karena peningkatan pada permintaan akhir. Permintaan akhir pada model I-O, yang terdiri atas C, G, I, X dan M dapat didefinisikan sebagai GDP. Sehingga peningkatan permintaan akhir pada model I-O merupakan peningkatan perekonomian/pertumbuhan ekonomi.

Pada Sub-bab sebelumnya telah dilakukan perhitungan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang dapat menimbulkan konvergensi intensitas energi Indonesia terhadap negara maju di Asia Pasifik. Pertumbuhan ekonomi yang ditentukan tersebut adalah pertumbuhan GDP perkapita Indonesia. Sementara untuk menentukan proyeksi output nasional diperlukan proyeksi parameter GDP yang berarti GDP perkapita dikalikan dengan jumlah seluruh penduduk Indonesia. Untuk itu, perlu dilakukan penyesuaian pertumbuhan ekonomi Indonesia yang semula berdasarkan pada pertumbuhan GDP perkapita menjadi berdasarkan GDP. Faktor untuk menyesuaikan tersebut adalah proyeksi pertumbuhan dan jumlah penduduk Indonesia pada masa yang akan datang.

Seperti yang disebutkan dalam Sub-bab 4.2, dalam melakukan optimasi produksi batubara salah satu kriterianya adalah mengasumsikan bahwa pertumbuhan penduduk Indonesia sama dengan pertumbuhan rata-rata pada tahun sebelumnya. Untuk melakukan perhitungan pertumbuhan rata-rata penduduk Indonesia digunakan data-data populasi Indonesia tahun 1998 – 2004 seperti pada Tabel IV.13. Sedangkan untuk perhitungan digunakan persamaan compound interest (persamaan 4.4) dan penyelesaian metode OLS dengan bantuan perangkat lunak Eviews. Hasil estimasi persamaan compound interest untuk menentukan pertumbuhan penduduk dapat dilihat pada Tabel IV.14.

(25)

Tabel IV.13.

Data Perhitungan Pertumbuhan Populasi Indonesia Tahun Time Jumlah Penduduk (Juta Jiwa)

1998 1 204,393 1999 2 207,437 2000 3 205,132 2001 4 207,928 2002 5 210,736 2003 6 213,551 2004 7 216,382

Sumber: Data IMF 2006

Tabel IV.14.

Hasil Estimasi Penentuan Pertumbuhan Penduduk Indonesia

Dependent Variable: @LOG(P) Method: Least Squares

Date: 04/16/07 Time: 09:45 Sample: 1998 2004

Included observations: 7

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C 5,307313 0,006627 800,8686 0.0000 TIME 0,009145 0,001482 6,171199 0.0016 R-squared 0,883947 Mean dependent var 5,343892

Adjusted R-squared 0,860736 S.D. dependent var 0,021012 S.E. of regression 0,007841 Akaike info criterion -6,623917 Sum squared resid 0,000307 Schwarz criterion -6,639371 Log likelihood 25,18371 F-statistic 38,08369 Durbin-Watson stat 1,676522 Prob(F-statistic) 0,001627

Dari hasil estimasi di atas dapat dibentuk persamaan untuk menentukan rata-rata pertumbuhan intesitas energi rata-rata negara maju di Asia Pasifik sebagai berikut,

t

t

t

P

=

5

,

307

+

0

,

009

+

υ

ln

(4.19)

Pada persamaan 4.19 tersebut diketahui nilai β2 adalah 0,009. Nilai β2 yang merupakan

ln(1+r), menghasilkan nilai r, yang merupakan rata-rata pertumbuhan penduduk Indonesia sebesar 0,92% per tahun.

IV.7.2. Penentuan Pertumbuhan GDP Indonesia

Dalam menentukan pertumbuhan GDP Indonesia memerlukan beberapa masukan antara lain; prediksi GDP perkapita dan prediksi jumlah penduduk pada tahun tertentu.

(26)

Pertumbuhan GDP tersebut nantinya akan menjadi masukan dalam model I-O untuk menentukan besarnya ouput sektoral. Berdasarkan perhitungan pada Tabel IV.15 dapat diketahui bahwa pertumbuhan GDP Indonesia pada saat pertumbuhan GDP perkapita 6,50% pertahun dan pertumbuhan penduduk 0,92% pertahun adalah 7,48% pertahun. Pertumbuhan GDP sebesar 7,48% pertahun merupakan pertumbuhan GDP yang dapat menimbulkan konvergensi intensitas energi Indonesia terhadap negara maju di Asia Pasifik.

Tabel IV.15.

Penentuan Pertumbuhan GDP Indonesia

Tahun Pertumbuhan GDP perkapita Pertumbuhan Penduduk GDP perkapita (Ribu USD/kapita) Jumlah Penduduk (Juta Jiwa) GDP (Milyar USD) Pertumbuhan Ekonomi 2005 6,50% 0,92% 0,913 218,370 199,343 7,48% 2006 6,50% 0,92% 0,972 220,376 214,250 7,48% 2007 6,50% 0,92% 1,035 222,401 230,273 7,48% 2008 6,50% 0,92% 1,103 224,444 247,493 7,48% 2009 6,50% 0,92% 1,174 226,506 266,002 7,48% 2010 6,50% 0,92% 1,251 228,587 285,895 7,48% 2011 6,50% 0,92% 1,332 230,687 307,275 7,48% 2012 6,50% 0,92% 1,419 232,806 330,254 7,48% 2013 6,50% 0,92% 1,511 234,945 354,952 7,48% 2014 6,50% 0,92% 1,609 237,103 381,497 7,48% 2015 6,50% 0,92% 1,714 239,281 410,027 7,48% 2016 6,50% 0,92% 1,825 241,480 440,690 7,48% 2017 6,50% 0,92% 1,944 243,698 473,647 7,48% 2018 6,50% 0,92% 2,070 245,937 509,068 7,48% 2019 6,50% 0,92% 2,204 248,196 547,139 7,48% 2020 6,50% 0,92% 2,348 250,477 588,056 7,48%

IV.8. Perhitungan Proyeksi Produksi Batubara Optimal

Perhitungan proyeksi output sektor pertambangan batubara dilakukan dengan menggunakan bantuan tabel I-O Indonesia tahun 2000 dengan pertumbuhan GDP sebesar 7,48% pertahun selama tahun proyeksi. Pertumbuhan GDP tersebut merupakan perubahan permintaan akhir (final demand) pada model I-O yang selanjutnya akan dihitung output total menggunakan matriks pengganda (Leontief Inverse Matrix). Perhitungan proyeksi permintaan akhir dan output nasional khususnya pada sektor pertambangan batubara sampai tahun 2020 seperti yang terlihat pada Tabel IV.16.

Hasil perhitungan proyeksi output sektor pertambangan batubara tersebut masih dalam satuan nilai uang, sehingga perlu dilakukan konversi untuk mendapatkan output batubara

(27)

dalam bentuk satuan massa (tonase terproduksi). Untuk itu perlu dilakukan pembagian proyeksi output sektor pertambangan batubara pada Tabel IV.16 dengan faktor harga. Harga yang digunakan untuk menentukan jumlah tonase dari batubara adalah harga pada saat tabel I-O tersebut dibentuk, yaitu tahun 2000. Harga pada tahun 2000 akan digunakan sebagai alat untuk memprediksi jumlah output batubara yang optimal pada tahun berikutnya disebabkan sifat dari tabel I-O yang statik. Akibatnya, harga yang digunakan untuk prediksi merupakan harga pada tahun dasar. Dengan membagi output sektor pertambangan batubara dengan harga tahun dapat dihitung prediksi output (produksi) batubara Indonesia untuk keperluan dalam negeri dan keperluan ekspor seperti yang terlihat pada Tabel IV.17. Komponen yang digunakan untuk memprediksi output dalam negeri adalah menggunakan proyeksi output antara. Sementara untuk memprediksi output ekspor menggunakan proyeksi permintaan akhir. Komponen permintaan akhir sebenarnya meliputi C, G, I, X, dan M. Namun pada sektor pertambangan batubara permintaan akhir hanya terdiri dari komponen ekspor. Sehingga jumlah permintaan akhir batubara merupakan nilai ekspor dari batubara.

Tabel IV.16.

Proyeksi Output Optimal Sektor Pertambangan Batubara Tahun Output Antara (Juta Rupiah) Permintaan Akhir (Juta Rupiah) (Juta Rupiah) Total Output

2005 12.874.512 13.720.173 26.594.684 2006 13.837.525 14.746.442 28.583.967 2007 14.872.572 15.849.476 30.722.048 2008 15.985.040 17.035.017 33.020.057 2009 17.180.721 18.309.236 35.489.957 2010 18.465.839 19.678.767 38.144.606 2011 19.847.084 21.150.738 40.997.822 2012 21.331.646 22.732.814 44.064.459 2013 22.927.253 24.433.228 47.360.481 2014 24.642.212 26.260.833 50.903.045 2015 26.485.449 28.225.144 54.710.593 2016 28.466.561 30.336.385 58.802.945 2017 30.595.859 32.605.546 63.201.405 2018 32.884.430 35.044.441 67.928.870 2019 35.344.185 37.665.765 73.009.950 2020 37.987.930 40.483.164 78.471.094

(28)

Tabel IV.17.

Prediksi Output Optimal Batubara Indonesia Tahun Pasar Domestik (Juta Ton) Pasar Ekspor (Juta Ton) Total Produksi (Juta Ton)

2005 36,78 80,71 117,49 2006 39,54 86,74 126,28 2007 42,49 93,23 135,73 2008 45,67 100,21 145,88 2009 49,09 107,70 156,79 2010 52,76 115,76 168,52 2011 56,71 124,42 181,12 2012 60,95 133,72 194,67 2013 65,51 143,72 209,23 2014 70,41 154,48 224,88 2015 75,67 166,03 241,70 2016 81,33 178,45 259,78 2017 87,42 191,80 279,21 2018 93,96 206,14 300,10 2019 100,98 221,56 322,55 2020 108,54 238,14 346,67

Hasil prediksi output batubara sampai tahun 2020 menunjukkan bahwa jumlah batubara yang optimal untuk diproduksi sampai dengan tahun 2020 adalah sejumlah 346,67 juta ton pada tingkat pertumbuhan ekonomi yang diinginkan sebesar 7,48% per tahun. Pembagian output tersebut adalah 108 juta ton untuk output dalam negeri, sementara 346 juta ton untuk output ekspor (pasar internasional). Dengan tingkat output (produksi) batubara sejumlah tersebut diharapkan akan dapat menimbulkan konvergensi pada intensitas energi indonesia terhadap rata-rata intensitas energi negara maju di Asia Pasifik.

IV.9. Perhitungan Produksi Batubara Dengan Metode ARIMA

Perhitungan produksi batubara yang dilakukan pada sub-bab sebelumnya akan dilakukan perbandingan dengan perhitungan produksi batubara yang dihitung dengan menggunakan metode ARIMA. Peramalan dengan metode ARIMA akan meneliti trend produksi batubara pada tahun sebelumnya, untuk meramalkan produksi tahun berikutnya. Pembentukan model ARIMA dari produksi batubara dilakukan dengan meneliti lag variable dari faktor-faktor yang mempengaruhi produksi batubara Indonesia. Perhitungan produksi di sini tidak memperhatikan keseimbangan permintaan dan penawaran ataupun harga pada titik keseimbangan permintaan dan penawaran batubara. Hal tersebut didasari oleh asumsi berikut:

(29)

• Permintaan batubara yang bersifat hampir tidak elastis

Permintaan terhadap batubara hampir bersifat tidak elastis. Dimana berapapun harga yang berlaku di pasar, permintaan terhadap batubara relatif tetap. Kondisi tersebut disebabkan karena peran dari produk batubara itu sendiri sebagai sumber energi yang strategis, sehingga setiap produksi yang dilakukan oleh perusahaan pertambangan batubara di Indonesia selalu dapat terserap oleh pasar.

• Penawaran batubara yang bersifat hampir tidak elastis

Ditinjau dari sisi penawaran, produk batubara mempunyai elastisitas penawaran rendah sehingga berapapun harga yang berlaku di pasar, batubara yang diproduksi tidak akan berubah secara signifikan. Hal ini lebih disebabkan karena kemenerusan produksi suatu tambang batubara. Dimana produksi batubara tidak dapat berubah secara fleksibel karena penjadwalan produksi dan keberadaan alat produksi.

Kedua faktor di atas yang mendasari peramalan produksi batubara Indonesia menggunakan menggunakan metode ARIMA. Peramalan menggunakan metode ARIMA akan dilakukan dengan terlebih dahulu membentuk model fit dari produksi batubara Indonesia dari lag variabel produksi batubara. Model fit yang terbentuk selanjutnya akan digunakan untuk meramal produksi batubara Indonesia untuk tahun-tahun berikutnya.

IV.9.1. Data Perhitungan

Model ARIMA dari produksi batubara Indonesia dibentuk dari lag variable produksi batubara. Data produksi batubara Indonesia bersumber dari BP Statistik Review 2005, dapat dilihat pada Tabel IV.18.

(30)

Tabel IV.18.

Produksi Batubara Indonesia dan Harga Batubara Tahun

Benchmark Harga Import Steam Coal Jepang

(USD/ton) Produksi Batubara Indonesia (Juta Ton) 1987 41.28 3.0 1988 42.47 4.5 1989 48.86 8.7 1990 50.81 10.7 1991 50.30 13.8 1992 48.45 22.4 1993 45.71 27.6 1994 43.66 32.9 1995 47.58 41.8 1996 49.54 50.4 1997 45.53 54.8 1998 40.51 62.2 1999 35.74 73.7 2000 34.58 77.0 2001 37.96 92.6 2002 36.90 103.4 2003 34.74 112.8 2004 51.34 132.4 Sumber : Statistical Review 2005, BP

IV.9.2. Identifikasi Stasionary

Pembuatan model dan peramalan menggunakan metode ARIMA mensyaratkan data yang stasioner. Peramalan menggunakan data yang tidak stasioner menjadikan regresi yang dilakukan menjadi palsu (sporious regression). Stationary dicapai apabila variabel pada time series data mempunyai rataan dan variance yang konstan untuk setiap periode waktu serta mempunyai covariance diantara dua periode waktu hanya bergantung pada jarak atau gap diantara dua periode waktu tersebut dan tidak pada waktu aktual dimana covariance dihitung.

Stasionary diidentifikasi dengan menggunakan beberapa metode, seperti uji korelogram dan unit root test. Uji korelogram dan unit root test yang dilakukan pada variabel produksi batubara Indonesia menunjukkan hasil seperti yang ditunjukkan pada Tabel IV.19 dan IV.20.

(31)

Tabel IV.19.

Corelogram Produksi Batubara

Tabel IV.20.

Unit Root Test Produksi Batubara

Null Hypothesis: PRODUKSI has a unit root Exogenous: None

Lag Length: 3 (Automatic based on SIC, MAXLAG=8)

t-Statistic Prob.*

Augmented Dickey-Fuller test statistic 0,333456 0,7718

Test critical values: 1% level -2,685718

5% level -1,959071

10% level -1,607456

*MacKinnon (1996) one-sided p-values. Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(PRODUKSI) Method: Least Squares

Date: 01/22/07 Time: 12:08 Sample(adjusted): 1985 2004

Included observations: 20 after adjusting endpoints

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

PRODUKSI(-1) 0,016658 0,049955 0,333456 0,7431

D(PRODUKSI(-1)) -0,114422 0,205395 -0,557086 0,5852

D(PRODUKSI(-2)) 0,328269 0,224985 1,459073 0,1639

D(PRODUKSI(-3)) 0,949692 0,229599 4,136311 0,0008

R-squared 0,789529 Mean dependent var 6,545000

Adjusted R-squared 0,750066 S.D. dependent var 5,178750

S.E. of regression 2,589032 Akaike info criterion 4,917302

Sum squared resid 107,2494 Schwarz criterion 5,116448

Log likelihood -45,17302 Durbin-Watson stat 2,064630

Setelah dilakukan pengujian dengan menggunakan korelogram dan Unit Root Test, dilanjutkan dengan melihat signifikansi parameter-parameter yang dihasilkan oleh kedua uji tersebut untuk menentukan stasioner tidaknya data time series tersebut. Uji yang dilakukan adalah sebagai berikut:

(32)

• Uji pada korelogram

Uji dilakukan dengan melihat autocorrelation function (ρk). Hipotesis yang

digunakan adalah :

H0 : ρ1 = ρ2 = ρ3 = ... = ρk = 0

H1 : ρ1 ≠ ρ2 ≠ ρ3 ≠ ... ≠ ρk ≠ 0

Jika nilai Qstat pada ρ8 lebih besar daripada Qtabel, maka H0 ditolak dan H1

diterima. Akibatnya adalah data time series produksi batubara non stasioner, serta sebaliknya. Perhitungan Qtabel dari distribusi χ2 memperlihatkan nilai

sebesar 42,80. Sehingga Qstat > Qtabel Æ 58,88 > 42,80. Sehingga berdasarkan

uji korelogram data time series produksi batubara Indonesia adalah non stasioner.

• Uji pada Unit Root Test

Untuk uji Unit Root Test dilakukan dengan melihat nilai Augmented Dicky-Fuller (ADF) Test Statistic. Hipotesis yang digunakan adalah :

H0 : δ= 0

H1 : δ≠ 0

Jika nilai ADF lebih besar daripada |τ| pada tingkat kepercayaan tertentu, maka H0 ditolak dan H1 diterima. Akibatnya adalah data time series produksi batubara

stasioner, serta sebaliknya. Pada perhitungan di atas menunjukkan bahwa nilai mutlak ADF lebih kecil daripada |τ| pada berbagai tingkat kepercayaan. Sehingga berdasarkan Unit Root Test, data time series produksi batubara adalah non stasioner.

Hasil dari korelogram dan Unit Root Test pada produksi batubara Indonesia menunjukkan bahwa data time series produksi batubara tidak stasioner. Sehingga apabila dibentuk model fit untuk keperluan peramalan, maka persamaan regresi yang dibuat adalah palsu. Karena data pada level tidak dapat digunakan untuk membentuk persamaan model fit, maka akan diteliti turunan pertama (first difference) dari produksi batubara. Jika turunan pertama dari produksi batubara stasioner, maka terunan pertama tersebut yang akan digunakan untuk meramalkan produksi batubara Indonesia untuk tahun berikutnya. Hasil uji korelogram dan Unit Root Test produksi batubara dapat dilihat pada Tabel IV.21 dan IV.22.

(33)

Tabel IV.21.

Korelogram Turunan Pertama Produksi Batubara

Tabel IV.22.

Unit Root Test Turunan Pertama Produksi Batubara

Null Hypothesis: D(PRODUKSI) has a unit root Exogenous: None

Lag Length: 2 (Automatic based on SIC, MAXLAG=8)

t-Statistic Prob.*

Augmented Dickey-Fuller test statistic 3,276680 0,9992

Test critical values: 1% level -2,685718

5% level -1,959071

10% level -1,607456

*MacKinnon (1996) one-sided p-values. Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(PRODUKSI,2) Method: Least Squares

Date: 01/22/07 Time: 12:10 Sample(adjusted): 1985 2004

Included observations: 20 after adjusting endpoints

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

D(PRODUKSI(-1)) 0,304052 0,092793 3,276680 0,0044

D(PRODUKSI(-1),2) -1,378970 0,188270 -7,324421 0,0000

D(PRODUKSI(-2),2) -0,997247 0,175169 -5,693051 0,0000

R-squared 0,756169 Mean dependent var 0,940000

Adjusted R-squared 0,727483 S.D. dependent var 4,828141

S.E. of regression 2,520443 Akaike info criterion 4,824227

Sum squared resid 107,9947 Schwarz criterion 4,973587

Log likelihood -45,24227 Durbin-Watson stat 2,102260

Setelah dilakukan test stasionary dengan menggunakan uji korelogram dan Unit Root Test, maka dilakukan uji statistik untuk mengetahui stasionary dari data statistik. Uji statistik yang dilakukan menerikan hasil bahwa pada uji korelogram, data time series turunan pertama dari produksi batubara adalah stasioner karena nilai Qstat < Qtabel Æ 24,79 < 42,80.

(34)

Sementara itu dengan menggunakan Unit Root Test juga didapatkan kesimpulan yang sama, bahwa data produksi batubara adalah stasioner, karena nilai ADF > |τ| pada berbagai tingkat kepercayaan. Dari kedua cara pengujian tersebut diperoleh hasil bahwa data produksi batubara Indonesia adalah stasioner pada turunan pertama. Sehingga pembuatan model fit maupun peramalan akan menggunakan data-data turunan pertama dari produksi batubara Indonesia.

IV.9.3. Identifikasi AR dan MA

Identifikasi bertujuan untuk menentukan nilai Auto Regresif, Moving Average, dan Orde Diferensiasi untuk mendapatkan data yang stasioner. Metode yang digunakan untuk mengidentifikasi adalah dengan mengamati geometri yang dihasilkan dari korelogram data time series dari produksi batubara yang stasioner, yaitu pada perbedaan pertama (Tabel 4.21). Pada tabel tersebut terlihat bahwa ;

• Auto-Corelation (AC) mengalami penurunan secara eksponensial dengan signifikansi pada lag 1,2, dan 3.

• Partial-Autocorelation (PAC) terpotong setelah lag ke-3, dengan nilai PAC yang signifikan pada lag 1 dan 3.

Dari korelogram data tersebut dapat diidentifikasi bahwa model ARIMA yang tepat adalah ARIMA (2,1,0) atau AR (2). Sehingga persamaan model fit yang terbentuk adalah sebagai berikut : 3 3 1 1

(

)

(

)

)

(

produksi

=

+

d

produksi

t

+

d

produksi

t

d

δ

α

α

(4.20)

IV.9.4. Estimasi Model Fit

Persamaan model fit ARIMA seperti pada persamaan 4.20 di atas dilakukan estimasi dengan menggunakan metode OLS. Hasil estimasi persamaan di atas dengan menggunakan metode OLS menggunakan bantuan perangkat lunak Eviews dapat dilihat pada Tabel IV.23.

(35)

Tabel IV.23.

Hasil Estimasi Persamaan ARIMA Produksi Batubara Indonesia

Dependent Variable: D(PRODUKSI) Method: Least Squares

Date: 01/29/07 Time: 20:44 Sample(adjusted): 1985 2004

Included observations: 20 after adjusting endpoints

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C 1,875600 1,026038 1,828003 0,0852 D(PRODUKSI(-1)) -0,053882 0,178967 -0,301073 0,7670

D(PRODUKSI(-3)) 1,078397 0,179391 6,011436 0,0000 R-squared 0,758605 Mean dependent var 6,545000 Adjusted R-squared 0,730206 S.D. dependent var 5,178750 S.E. of regression 2,689930 Akaike info criterion 4,954388 Sum squared resid 123,0073 Schwarz criterion 5,103748 Log likelihood -46,54388 F-statistic 26,71206 Durbin-Watson stat 2,459678 Prob(F-statistic) 0,000006

Representasi dari output adalah sebagai berikut :

3 1

1

,

08

(

)

)

(

05

,

0

88

,

1

)

(

produksi

=

d

produksi

t

+

d

produksi

t

d

(4.21)

Atau bisa juga dituliskan sebagai berikut :

)

(

08

,

1

)

(

05

,

0

88

,

1

1 2 3 4 1 − − − − −

+

+

=

t t t t t

t

prod

prod

prod

prod

prod

prod

(4.22)

IV.9.5. Diagnostic Checking

Diagnostic checking dilakukan untuk mengetahui apakah model yang terbentuk telah benar-benar fit terhadap data. Salah satu metode diagnostic checking yang sederhana adalah dengan mendapatkan residual dan mendapatkan ACF dan PACF dari residual tersebut. ACF dan PACF itu kemudian akan diuji signifikansi statistiknya baik secara individual ataupun secara bersama-sama. Korelogram dari residual yang diperoleh dari persamaan ARIMA 4.22. dapat dilihat pada Tabel IV.24.

(36)

Tabel IV.24.

Korelogram Dari Residual Pada Model ARIMA Persamaan 4.22.

Uji signifikansi statistik pada masing-masing leg, menunjukkan bahwa ACF dan PAC tidak ada yang signifikan secara statistik. Dengan kata lain semuanya berada dalam selang kepercayaan 95%. Sementara itu untuk menguji apakah ACF dan PACF secara bersama-sama signifikan secara statistik adalah dengan melakukan pengujian, dimana jika Qstat <

Qtabel maka ACF dan PACF tidak signifikan secara statistik. Hasil pengujian menunjukkan

bahwa Qstat < Qtabel Æ 14,356 < 40,00. Dengan melihat pengujian ACF dan PACF secara

individual maupun secara bersama-sama, dapat diketahui bahwa residual yang diestimasi dari persamaan 4.22 adalah purely random. Sehingga model ARIMA yang dibangun merupakan model fit dan dapat digunakan untuk keperluan peramalan.

IV.9.6. Peramalan (Forecasting)

Menggunakan persamaan ARIMA model fit seperti yang ditunjukkan pada persamaan 4.22 dapat diramalkan produksi batubara sampai tahun 2020 seperti pada Tabel IV.25.

Gambar

Tabel IV.2.
Tabel IV.3.
Gambar IV.1.   Diagram Alir Perhitungan Menentukan Peran Batubara Dalam  Mendukung Pembangunan Ekonomi
Tabel IV.4.
+7

Referensi

Dokumen terkait

organik pada air limbah pencucian kendaraan bermotor akan diserap oleh permukaan karbon aktif sehingga jumlah bahan organik dalam air limbah

Bentuk-bentuk pelanggaran tersebut salah satunya seperti: bangunan yang tidak memiliki ijin mendirikan bangunan, terdapat berbagai permasalahan yang timbul dari

Drummer yang baik cenderung untuk memainkan masing- masing drum pada volume yang berhubungan dengan drum lainnya, sehingga drumset menghasilkan suara yang konsisten

Untuk mengetahui exercise Half Semont Manuver lebih baik dari exercise Brandt-doroff Manuver dalam menggurangi keluhan vertigo pada gangguan fungsi Vestibular Posterior

Kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah Jenis perilaku harian burung Salmon-Crested Cockatoo (Cacatua moluccensis) yang ditemukan di penangkaran Eco Green

Pengaruh pemberian ekstrak kulit apel ( Malus sylvestris mill ) terhadap kadar GLUT4 dan gambaran histopatologi ginjal pada tikus putih ( Rattus novergicus ) model Diabetes Mellitus

Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi serasah pada penelitian ini adalah kerapatan pohon mangrove, diameter pohon, persentase tutupan mangrove, jumlah tegakan pohon

Semakin banyak rasa ketidakpastian pada perilaku penjualan yang ditunjukkan oleh para penjual, maka hal ini akan mempengaruhi para pembeli untuk tertarik terhadap barang