INTISARI
Pelayanan kefarmasian pada saat ini telah bergeser orientasinya dari obat ke pasien yang mengacu kepada pelayanan kefarmasian (pharmaceutical care). Kegiatan pelayanan kefarmasian yang semula hanya berfokus pada pengelolaan obat sebagai komoditi menjadi pelayanan yang komprehensif yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup dari pasien. Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia (ISFI) bekerjasama dengan Departemen kesehatan Republik Indonesia mencoba menanggapi hal tersebut dengan cara merumuskan suatu standar pelayanan kefarmasian di apotek seperti termuat dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004. Standar tersebut diharapkan dapat digunakan sebagai pedoman praktik Apoteker dalam menjalankan profesi, untuk melindungi masyarakat dari pelayanan yang tidak profesional, dan melindungi profesi dalam menjalankan praktik kefarmasian.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 di Kabupaten Kulon Progo dan sedikit mengkaji pemahaman apoteker mengenai pengertian medication record dan konseling. Penelitian ini termasuk jenis penelitian non eksperimental dengan rancangan penelitian deskriptif. Responden dalam penelitian ini adalah Apoteker Pengelola Apotek atau Apoteker Pendamping yang bersedia mengisi kuesioner yang merupakan instrumen penelitian ini. Analisis yang dilakukan adalah statistik deskriptif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 belum dilaksanakan secara menyeluruh oleh Apoteker di apotek-apotek Kabupaten Kulon Progo.
Kata kunci : Standar Pelayanan Kefarmasian, Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004, Apotek.
ABSTRACT
Pharmaceutical care orientation has changed from drug oriented to patient oriented which refers to pharmaceutical care. The Pharmaceutical care activities has, which previously only focused on the drugs management as a commodity, become more focused in to a comprehensive care that aimed at increasing the quality of patient’s life. Indonesian Pharmacist Graduated Assosiation( ISFI) work along with Health Department of Indonesia try to answer the mentioned by the way of formulating an pharmaceutical care in dispensary like included in Kepmenkes RI number 1027/MENKES/SK/IX/2004. The standard is expected serve the purpose of guidance of Pharmacist’s practice in implementing profession, to protect public from unprofessional service, and protect profession in implementing practice of pharmacy
This research aimed at knowing the description of the implementation of Pharmaceutical Care Standards in Dispensary based on the Kepmenkes RI Number 1027/MENKES/SK/IX/2004 in Kulon Progo and briefly studying the pharmacist’s comprehension concerning the definition of medication record and counseling. This respondent’s were Administrator Pharmacist or Co-Pharmacist who willing to fills the questionnaire, which was instruments of the research. The analysis performed was descriptive statistic.
Result of the study suggesting that the Pharmaceutical Care Standards in Dispensary based on the Kepmenkes RI No. 1027/MENKES/SK/IX/2004 in Kulon Progo was not well performed yet by pharmacists in dispensaries in Kulon Progo.
Key words : Pharmaceutical Care Standard, Kepmenkes RI Number 1027/MENKES/SK/IX/2004, Dispensary.
KAJIAN PELAKSANAAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN BERDASARKAN KEPMENKES RI NOMOR 1027/MENKES/SK/IX/2004
DI APOTEK -APOTEK KABUPATEN KULON PROGO
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm)
Program Studi Ilmu Farmasi
Oleh :
Ignasius Totok Tri Prasetyo NIM : 038114025
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
Ojo
rumongso
,
ning
ngrumangsanono
…!!!
Semuanya aku serahkan ke dalam tanganMu,
semoga menjadi berkat melimpah bagiku.
Kupersembahkan buat : Jesus Christ Keluargaku (Ibu-Bapak, mas Didik, Danu) No’e almamaterku
PRAKATA
Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan
karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Kajian Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian Berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 di Apotek – Apotek Kabupaten Kulon Progo”.
Penyusunan skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi salah satu syarat
untuk meraih gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.) di Fakultas Farmasi Universitas
Sanata Dharma, Yogyakarta.
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bantuan dan
dukungan dari berbagai pihak, untuk itu penulis ingin mengucapkan terima kasih
kepada :
1. Ibu Rita Suhadi, M.Si., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas
Sanata Dharma, Yogyakarta.
2. Ibu Yustina Sri Hartini, M.Si., Apt selaku pembimbing I yang telah bersedia
meluangkan waktu untuk membimbing, memotivasi, memberikan kritik dan
saran hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
3. Bapak Drs. Sulasmono, Apt. selaku pembimbing II yang juga telah bersedia
meluangkan waktu untuk membimbing, memotivasi, memberikan kritik dan
saran hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
4. Bapak Ipang Djunarko, S.Si., Apt. selaku pencetus ide awal penelitian ini dan
selaku dosen penguji. Terimakasih atas kritik dan saran yang telah diberikan.
5. Bapak Yosef Wijoyo, M.Si., Apt., selaku dosen penguji. Terima kasih atas
kritik dan saran yang telah diberikan.
6. Pemerintah Kabupaten Kulon Progo yang telah memberikan izin sehingga
penelitian ini dapat terlaksana.
7. Seluruh Apoteker Kabupaten Kulon Progo yang telah bersedia menjadi
responden dalam penelitian ini.
8. Ibu dan Bapak,inilah anakmu!
9. Mefta, terima kasih Tuhan atas kasih yang Kau berikan melalui dia. You are
the best I ever had.
10.Rm. Ant. Budi Wihandono, Pr., atas segala doa dan Berkah Dalem.
11.Teman – teman kost: Adit dan Yuda, kebersamaan selama kost; Basil, cartride
dan printernya; Mamat, ayo wisuda; Fetzo, atas servis virusnya.
12.Sahabat terbaik: Ratih, Wati, Nella, Tina, Bambang, Bangun; kita bukan
gerombolan yang tidak berpendidikan!
13.Rekan seperjuangan : Monika, atas semangatnya; Adi, revisiannya, Bambang
dan Bangun, akhirnya kita lulus.
14.Teman - teman senasib : Vian, Rosa, Tata, Syu, Ratih, Andi, Vera; terima
kasih atas solidaritas, sharing dan kebersamaannya.
15.Teman-teman Fakultas Farmasi Sanata Dharma angkatan 2003 kelas A
terutama kelompok B; Nella, Mita, Bambang, Vera, Ana, Angger, Sari, Obe,
Rosa, Andika; kapan kita ngrumpi sambil praktikum lagi?
16.Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu dan telah
memberikan bantuan bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi.
Dalam kesempatan ini, penulis juga memohon maaf kepada semua pihak
atas kekurangan dan kesalahan yang mungkin dilakukan penulis. Oleh karena itu
dengan rendah hati penulis mengharapkan masukan, saran dan kritik yang
membangun.
Yogyakarta, 31 November 2007
Penulis
INTISARI
Pelayanan kefarmasian pada saat ini telah bergeser orientasinya dari obat ke pasien yang mengacu kepada pelayanan kefarmasian (pharmaceutical care). Kegiatan pelayanan kefarmasian yang semula hanya berfokus pada pengelolaan obat sebagai komoditi menjadi pelayanan yang komprehensif yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup dari pasien. Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia (ISFI) bekerjasama dengan Departemen kesehatan Republik Indonesia mencoba menanggapi hal tersebut dengan cara merumuskan suatu standar pelayanan kefarmasian di apotek seperti termuat dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004. Standar tersebut diharapkan dapat digunakan sebagai pedoman praktik Apoteker dalam menjalankan profesi, untuk melindungi masyarakat dari pelayanan yang tidak profesional, dan melindungi profesi dalam menjalankan praktik kefarmasian.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 di Kabupaten Kulon Progo dan sedikit mengkaji pemahaman apoteker mengenai pengertian medication record dan konseling. Penelitian ini termasuk jenis penelitian non eksperimental dengan rancangan penelitian deskriptif. Responden dalam penelitian ini adalah Apoteker Pengelola Apotek atau Apoteker Pendamping yang bersedia mengisi kuesioner yang merupakan instrumen penelitian ini. Analisis yang dilakukan adalah statistik deskriptif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 belum dilaksanakan secara menyeluruh oleh Apoteker di apotek-apotek Kabupaten Kulon Progo.
Kata kunci : Standar Pelayanan Kefarmasian, Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004, Apotek.
ABSTRACT
Pharmaceutical care orientation has changed from drug oriented to patient oriented which refers to pharmaceutical care. The Pharmaceutical care activities has, which previously only focused on the drugs management as a commodity, become more focused in to a comprehensive care that aimed at increasing the quality of patient’s life. Indonesian Pharmacist Graduated Assosiation( ISFI) work along with Health Department of Indonesia try to answer the mentioned by the way of formulating an pharmaceutical care in dispensary like included in Kepmenkes RI number 1027/MENKES/SK/IX/2004. The standard is expected serve the purpose of guidance of Pharmacist’s practice in implementing profession, to protect public from unprofessional service, and protect profession in implementing practice of pharmacy
This research aimed at knowing the description of the implementation of Pharmaceutical Care Standards in Dispensary based on the Kepmenkes RI Number 1027/MENKES/SK/IX/2004 in Kulon Progo and briefly studying the pharmacist’s comprehension concerning the definition of medication record and counseling. This respondent’s were Administrator Pharmacist or Co-Pharmacist who willing to fills the questionnaire, which was instruments of the research. The analysis performed was descriptive statistic.
Result of the study suggesting that the Pharmaceutical Care Standards in Dispensary based on the Kepmenkes RI No. 1027/MENKES/SK/IX/2004 in Kulon Progo was not well performed yet by pharmacists in dispensaries in Kulon Progo.
Key words : Pharmaceutical Care Standard, Kepmenkes RI Number 1027/MENKES/SK/IX/2004, Dispensary.
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL………...…... i
HALAMAN PERSETUJUAN………...…... ii
HALAMAN PENGESAHAN………... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN………... iv
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA………... v
PRAKATA………...………. vi
INTISARI………...………... ix
ABSTRACT………...………. x
DAFTAR ISI………...……….. xi
DAFTAR TABEL………...………….. xv
DAFTAR GAMBAR………...………. xvi
DAFTAR LAMPIRAN………...……….. xix
BAB I PENGANTAR………...……...……… 1
A. Latar Belakang………...……….. 1
1. Rumusan Masalah………...……… 4
2. Keaslian penelitian……….. 4
3. Manfaat Penelitian……….. 6
B. Tujuan Penelitian……….. 7
BAB II PENELAAHAN PUSTAKA………...……... 8
A. Tinjauan Umum Tentang Apotek……….………… 8
B. Tinjauan Umum Tentang Apoteker………...………... 10
1. Menurut Peraturan Perundang – undangan………... 10
2.Apoteker Sebagai Profesi dan Perannya………..… 13
C. Standar Pelayanan Kefarmasian Di Apotek………... 17
D. Sumpah Apoteker………... 21
E. Kode Etik Apoteker……….. 22
F. Etika Bisnis………... 22
G. Keterangan Empiris……….. 25
BAB III METODOLOGI PENELITIAN………. 26
A. Jenis dan Rancangan Penelitian………... 26
B. Definisi Operasional Penelitian……… 26
C. Instrumen Penelitian……….... 27
D. Populasi dan Sampel……….... 27
1. Popoulasi………. 27
2. Sampel………... 28
E. Tata Cara Penelitian……….. 29
1. Pembuatan kuisioner………... 29
2. Pengujian kuisioner………. 29
3. Penyebaran kuisioner……….. 31
4. Pengumpulan kuisioner………... 32
5. Wawancara……….. 32
F. Tata Cara Analisis Data……….... 32
G. Kesulitan Penelitian………. 33
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN………..……... 34
A. Data Deskripsi Responden………... 34
1. Umur responden………...………... 34
2. Posisi responden di apotek..……… 35
3. Pengalaman kerja responden di apotek………...…… 35
4. Adanya pekerjaan lain dari responden……… 36
5. Waktu kerja responden……… 37
B. Pengelolaan Sumber Daya……… 38
1. Sumber daya manusia………. 38
2. Sarana dan prasarana………... 44
3. Pengelolaan sediaan farmasi dan perbekalan lainnya………. 50
4. Administrasi……….... 56
C. Pelayanan………...…... 61
1. Skrining resep………. 61
2. Penyiapan obat……… 63
3. Promosi, Edukasi dan Tindak lnajut Terapi……… 69
D. Evaluasi Mutu Pelayanan………... 71
1. Tingkat kepuasan konsumen………... 71
2. Dimensi waktu……….... 72
3. Prosedur tetap……….. 73
E. Hasil Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek Kabupaten Kulon Progo……….... 75
F. Hasil Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek Kabupaten Kulon Progo Berdasarkan Karakteristik Responden……….. 77
1. Umur responden……….. 77
2. Pengalaman kerja sebagai apoteker……… 80
3. Adanya pekerjaan lain………. 83
4. Waktu kerja responden selama satu minggu………... 86
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN………..……… 89
A. Kesimpulan………..… 89
B. Saran………...…….. 90
DAFTAR PUSTAKA………...………...… 91
LAMPIRAN…………...………..… 95
BIOGRAFI PENULIS……… 111
DAFTAR TABEL
Hal
Tabel I Posisi Responden di Apotek……….. 35
Tabel II Waktu Kerja Responden di Apotek dalam Seminggu……... 38
Tabel III Pengambilan Keputusan di Apotek Selalu Berdasarkan
Persetujuan APA………... 39
Tabel IV Informasi Obat yang Diberikan Apoteker………... 41
Tabel V Adanya Tempat Khusus untuk Mendisplay Informasi…….. 46
Tabel VI Adanya Ruang Racikan di Apotek………... 47
Tabel VII Tersedianya Keranjang Sampah untuk Staf dan Pasien…… 48
Tabel VIII Latar Belakang Perencanaan Pengadaan Sediaan Farmasi
di Apotek………... 51
Tabel IX Apotek yang Pernah Memindahkan Isi Obat ke Wadah
Lain……… 52
Tabel X Informasi yang Disertakan Pada Wadah Baru ………... 53
Tabel XI Apoteker yang Memberikan Konseling Secara
Berkelanjutan……… 67
Tabel XII Apoteker yang Melakukan Tindak Lanjut Terapi ………… 70
Tabel XIII Apotek yang Menetapkan Lama Pelayanan……… 72
DAFTAR GAMBAR
Hal.
Gambar 1. Umur Responden………...……… 34
Gambar 2. Pengalaman Kerja Responden sebagai Apoteker di Apotek
. 36
Gambar 3. Ada Tidaknya Pekerjaan Lain dari
Responden……….………. 36
Gambar 4. Apotek yang Selalu Melakukan Konsultasi dengan Dokter
Apabila Ada Ketidakjelasan pada Resep………... 42
Gambar 5. Hasil Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di
Apotek bagian Sumber Daya Manusia……….. 43
Gambar 6. Adanya Ruang Tunggu bagi Pasien………….……….. 45
Gambar 7. Hasil Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di
Apotek bagian Sumber Daya Manusia……….. 49
Gambar 8. Hasil Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di
Apotek bagian Pengelolaan Sediaan Farmasi dan
Perbekalan Sediaan Lainnya……… 55
Gambar 9. Apotek yang Selalu Menyertakan Faktur atatu Nota
Penjualan……… 57
Gambar 10. Apotek Yang Selalu Melakukan Pengisian Medication
Record……….. 58
Gambar 11. Hasil Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di
Apotek bagian Administrasi…..………. 60
Gambar 12. Hasil Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di
Apotek bagian Skrining Resep…….……… 63
Gambar 13. Apotek yang Pernah Menerima keluhan Tentang Etiket…... 64
Gambar 14. Apoteker yang Selalu Menyediakan jam Konseling Setiap
Hari di
Apotek……….………... 67
Gambar 15. Hasil Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di
Apotek bagian Penyiapan Obat….….……… 68
Gambar 16. Apoteker yang Pernah Melakukan Diseminasi Informasi
Obat……… 69
Gambat 17. Penatalaksanaan Promosi, Edukasi, dan Tidak Lanjut
Terapi………. 71
Gambar 18. Apotek yang Mempunyai Prosedur Tertulis dan Tetap……. 73
Gambar 19. Penatalaksanaan Evaluasi Mutu Pelayanan………... 74
Gambar 20. Hasil Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di
Apotek Kabupaten Kulon Progo………...….… 75
Gambar 21 Rata – Rata Hasil Pelaksanaan Standar Pelayanan
Kefarmasian di Apotek Kabupaten Kulon Progo
Berdasarkan Umur Responden..………...….… 78
Gambar 22 Hasil Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di
Apotek Kabupaten Kulon Progo Berdasarkan Umur
Responden..………..………...….… 79
Gambar 23 Rata – Rata Hasil Pelaksanaan Standar Pelayanan
Kefarmasian di Apotek Kabupaten Kulon Progo
Berdasarkan Pengalaman Kerja Responden…..……...….… 80
Gambar 24 Hasil Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di
Apotek Kabupaten Kulon Progo Berdasarkan Pengalaman
Kerja Responden …………..……….…………...….… 82
Gambar 25 Rata – Rata Hasil Pelaksanaan Standar Pelayanan
Kefarmasian di Apotek Kabupaten Kulon Progo
Berdasarkan Adanya Pekerjaan Lain Responden…... 83
Gambar 26 Hasil Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di
Apotek Kabupaten Kulon Progo Berdasarkan Adanya
Pekerjaan Lain Responden..………..…………....….… 85
Gambar 27 Rata – Rata Hasil Pelaksanaan Standar Pelayanan
Kefarmasian di Apotek Kabupaten Kulon Progo
Berdasarkan Waktu Kerja Responden Dalam Satu Minggu. 87
Gambar 28 Hasil Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di
Apotek Kabupaten Kulon Progo Berdasarkan Waktu Kerja
Responden Dalam Satu Minggu ………...….… 88
DAFTAR LAMPIRAN
Hal.
Lampiran 1. Surat Pengantar Kuisioner Penelitian………. 95
Lampiran 2. Kuesioner Penelitian……….. 96
Lampiran 3. Surat Izin Penelitian……….. 102
Lampiran 4. Tabulasi Data………. 103
Lampiran 5. Sumpah/Janji Apoteker Indonesia………..…… 106
Lampiran 6. Kode Etik Apoteker …... 107
Lampiran 7. Contoh Alur Pelayanan Resep ……….. 109
Lampiran 8. Hasil Wawancara……….………. 110
BAB I PENGANTAR
A. Latar Belakang
Pelayanan kesehatan adalah setiap upaya yang diselenggarakan secara
sendiri atau bersama – sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan
meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit serta
memulihkan kesehatan perorangan, keluarga, kelompok dan atau masyarakat.
Pelayanan kesehatan dapat diselenggarakan oleh pemerintah atau swasta, dalam
bentuk pelayanan kesehatan perorangan atau pelayanan kesehatan masyarakat
(Sirait, 2001)
Dimensi pelayanan farmasi sebagai bagian dari sebagian pelayanan
kesehatan terdiri dari 2 kegiatan utama, yaitu dimensi pelayanan kefarmasian oleh
Apoteker sebagai salah satu tenaga kesehatan, yaitu tenaga kefarmasian dan
dimensi pengelolaan obat sebagai produk barang kesehatan (Anief, 1995).
Pengelolaan apotek menjadi tugas dan tanggung jawab seorang Apoteker.
Saat ini terjadi pergeseran orientasi pelayanan kefarmasian dari drug
oriented menjadi patient oriented. Apoteker yang semula hanya berfokus pada
pengelolaan obat sebagai komoditi berubah menjadi pelayanan yang
komprehensif dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Dalam
hal ini Apoteker dituntut mampu berkomunikasi dengan pasien untuk memberi
informasi, monitoring penggunaan obat dan mengetahui tujuan akhir sesuai
pengobatan (medication error). Disamping itu juga Apoteker harus mampu
berkomunikasi dengan tenaga kesehatan lainnya dalam menetapkan terapi untuk
mendukung pengobatan yang rasional (Anonim, 2004a). Dengan demikian terjadi
pelayanan informasi obat dalam bentuk komunikasi, informasi dan edukasi
tentang obat yang merupakan salah satu fungsi pekerjaan kefarmasian.
Meningkatnya arus globalisasi, semakin canggihnya teknologi farmasi
dan kedokteran, pasar terbuka, perubahan gaya hidup menyebabkan perubahan
tuntutan masyarakat terhadap pelayanan kefarmasian di apotek yang tidak lagi
hanya berorientasi pada obat tetapi lebih berorientasi kepada pasien, sehingga
apotek diharapkan memberi pelayanan sesuai standar pelayanan kefarmasian.
Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia (ISFI) sebagai satu – satunya organisasi
profesi Apoteker di Indonesia bersama dengan Departemen Kesehatan Republik
Indonesia mencoba untuk menanggapi perubahan peran apoteker dengan cara
merumuskan suatu standar pelayanan kefarmasian di apotek seperti termuat dalam
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor
1027/MENKES/SK/IX/2004 (Anonim, 2004a).
Apoteker di apotek dalam menjalankan praktek kefarmasian mendapatkan
perlindungan hukum bila praktek kefarmasian tersebut dijalankan sesuai standar
yang berlaku, yaitu Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek menurut
Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004. Menurut pasal 24 ayat 1
Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 1996 tentang tenaga kesehatan,
perlindungan hukum diberikan kepada tenaga kesehatan yang melakukan
Menurut Penjelasan Peraturan Pemerintah no. 32 tahun 1996 pasal 21,
yang dimaksud standar profesi tenaga kesehatan adalah pedoman yang harus
dipergunakan oleh tenaga kesehatan sebagai petunjuk dalam menjalankan
profesinya secara baik. Standar tersebut diharapkan dapat digunakan sebagai
pedoman praktik Apoteker dalam menjalankan profesi, untuk melindungi
masyarakat dari pelayanan yang tidak profesional, dan melindungi profesi dalam
menjalankan praktik kefarmasian. Dalam meningkatkan kualitas pelayanan
farmasi yang berasaskan pharmaceutical care di apotek dibutuhkan Apoteker
yang profesional. Dengan ditetapkannya Standar Pelayanan Kefarmasian di
apotek ini diharapkan tujuan pelayanan kefarmasian dapat dicapai secara
maksimal (Anonim, 2004a).
Demikian juga, konsumen mendapatkan perlindungan dari pelaku usaha
yang bekerja tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang
dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan; sesuai yang
tercantum dalam Pasal 8 ayat 1 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang
perlindungan konsumen.
Kabupaten Kulon Progo, menurut pokok-pokok pikiran DPRD Propinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dalam rangka penyusunan arah dan kebijakan
umum APBD Propinsi DIY Tahun 2006, merupakan kabupaten di Propinsi DIY
yang memiliki status kesehatan paling rendah. Hal ini ditunjukkan dengan masih
rendahnya status gizi yang ditandai dengan tingginya penderita anemia gizi besi
atau kurang darah pada ibu hamil yang mencapai 73,9 %; gizi kurang pada balita
dan menyusui 26,9 % dan juga masih tingginya angka KLB seperti demam
berdarah dan malaria ditambah problem sanitasi yang masih buruk.
Apotek merupakan salah satu sarana kesehatan yang dapat digunakan
untuk meningkatkan status kesehatan. Apotek akan memberi pengarahan kepada
masyarakat tentang pemilihan obat, konseling kesehatan dan sanitasi lingkungan.
Melihat hal tersebut di atas, peneliti tertarik untuk mengetahui
bagaimana pelaksanaan pelayanan kefarmasian Apoteker di apotek menurut
Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004, terutama apotek - apotek di
Kabupaten Kulon Progo, yang disesuaikan dengan perlindungan konsumen.
1. Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan
sebagai berikut :
a. Apakah apotek-apotek di Kabupaten Kulon Progo telah memenuhi Standar
Pelayanan Kefarmasian berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 ?
b. Parameter manakah dari Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 telah terlaksana dengan
baik, cukup dan kurang sesuai dengan persentase masing - masing ?
c. Parameter manakah dari Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 yang hasilnya berbeda
berdasarkan karakteristik responden, pada pelaksanaan standar pelayanan
2. Keaslian penelitian
Sejauh yang peneliti ketahui belum pernah dilakukan penelitian mengenai
Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek Berdasarkan
Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 di Kabupaten Kulon
Progo. Beberapa penelitian sejenis yang pernah dilakukan sebelumnya, yaitu :
a. Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian Di Apotek Berdasarkan
Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 di Kota Yogyakarta
(Sukmajati, 2007)
Perbedaan penelitian Sukmajati dengan penelitian ini adalah :
1) Daerah penelitian Sukmajati (2007) berada di Kota Yogyakarta
dengan periode September-November 2006, sedangkan pada
penelitian ini daerah penelitian di Kabupaten Kulon Progo dengan
periode Juli-November 2007.
2) Penelitian Sukmajati (2007) tidak mencantumkan hasil
pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian di apotek berdasarkan
karakteristik responden, sedangkan penelitian ini mencantumkan
hasil pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian di apotek
berdasarkan karakteristik responden berikut dengan
b. Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian Di Apotek Berdasarkan
Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 di Kabupaten Sleman
(Soedarsono, 2007)
Perbedaan penelitian Soedarsono dengan penelitian ini adalah :
1) Daerah penelitian Soedarsono (2007) berada di Kabupaten Sleman
dengan periode Oktober-Desember 2006, sedangkan pada
penelitian ini daerah penelitian di Kabupaten Kulon Progo dengan
periode Juli-November 2007.
2) Penelitian Soedarsono (2007) tidak mencantumkan hasil
pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian di apotek berdasarkan
karakteristik responden, sedangkan penelitian ini mencantumkan
hasil pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian di apotek
berdasarkan karakteristik responden berikut dengan
pembahasanannya.
3. Manfaat penelitian
a. Manfaat Teoritis
Memberi gambaran mengenai Pelaksanaan Standar Pelayanan
Kefarmasian berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 di Apotek – Apotek Kabupaten Kulon
b. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai :
1) Bahan evaluasi bagi Apoteker Pengelola Apotek (APA) dalam
pengelolaan apotek
2) Bahan acuan bagi mahasiswa farmasi atau para calon apoteker yang
tertarik dalam pelayanan perapotekkan.
3) Bahan evaluasi bagi pihak-pihak yang terkait berkenaan dengan
pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian di Apotek.
B. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan :
1. Untuk mengetahui apakah apotek-apotek di Kabupaten Kulon Progo telah
memenuhi Standar Pelayanan Kefarmasian berdasarkan Keputusan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor
1027/MENKES/SK/IX/2004.
2. Untuk mengetahui parameter manakah dari Keputusan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 telah terlaksana
dengan baik, cukup dan kurang sesuai dengan persentase masing – masing.
3. Untuk mengetahui parameter manakah dari Keputusan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 yang hasilnya
berbeda pada pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian di apotek
BAB II
PENELAAHAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Tentang Apotek
Peraturan perundang-undangan yang penting mengenai apotek adalah
Peraturan Pemerintah No. 26 tahun 1965 yang kemudian diubah dengan Peraturan
Pemerintah nomor 25 tahun 1980. Apabila Peraturan Pemerintah nomor 25 tahun
1980 ditelaah secara seksama, maka apotek adalah suatu tempat tertentu, tempat
dilakukannya pekerjaan kefarmasian dan penyaluran obat kepada masyarakat
(pasal 1). Tugas dan fungsi apotek (pasal 2) adalah
a. Tempat pengabdian profesi seorang apoteker yang telah mengucapkan sumpah jabatan;
b. Sarana farmasi yang melaksanakan peracikan, pengubahan bentuk, pencampuran, dan penyerahan obat atau bahan obat;
c. Sarana penyalur perbekalan farmasi yang harus menyebarkan obat yang diperlukan masyarakat secara meluas dan merata. (Anonim, 1980)
Menurut KepMenKes RI nomor 1332/MENKES/SK/X/2002, maka izin
apotek diberikan oleh Menteri. Menteri melimpahkaan wewenang pemberian izin
apotek kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Selanjutnya Kepala
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota wajib melaporkan pelaksanaan pemberian izin,
pembekuan izin, pencairan izin, dan pencabutan izin apotek sekali setahun kepada
kepada menteri dan tembusan disampaikan kepada Kepala Dinas Kesehatan (pasal
4).
Persyaratan apotik menurut KepMenKes di atas adalah (pasal 6) :
perlengkapan termasuk sediaan farmasi dan perbekalan lainnya yang merupakan milik sendiri atau milik pihak lain
(2) Sarana Apotek dapat didirikan pada lokasi yang sama dengan kegiatan pelayanan komoditi lainnya di luar sediaan farmasi
(3) Apotek dapat melakukan kegiatan pelayanan komoditi lainnya di luar sediaan farmasi. (Anonim,2002)
Selanjutnya Peraturan Menteri Kesehatan nomor 922/MENKES/PER/1993
pasal 10 menyebutkan, yang dimaksud dengan pengelolaan apotek adalah
pembuatan, pengolahan, peracikan, pengubahan bentuk pencampuran,
penyimpanan dan penyerahan obat atau bahan obat. Selanjutnya pengelolaannya
adalah pengadaan, penyimpanan, penyaluran dan penyerahan perbekalan farmasi
lainnya. Pelayanan informasi mengenai perbekalan farmasi merupakan juga
pengelolaan apotik. Kemudian pasal 11 menyebutkan yang dimaksud dengan
pelayanan informasi , meliputi :
a. Pelayanan informasi tentang obat dan perbekalan farmasi lainnya yang diberikan baik kepada dokter dan tenaga kesehatan lainnya maupun kepada masyarakat.
b. Pengamatan dan pelaporan informasi mengenai khasiat, keamanan, bahaya dan atau mutu obat, danperbekalan farmasi lainnya.
(Anonim, 1993b)
Menurut Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 apotek adalah
tempat tertentu, tempat dilakukan pekerjaan kefarmasian dan penyaluran sediaan
B. Tinjauan Umum Tentang Apoteker
1. Menurut peraturan perundang-undangan
Menurut KepMenKes RI nomor 1332/MENKES/SK/X/2002 pasal 1
menyebutkan bahwa apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus dan
telah mengucapkan sumpah jabatan apoteker, mereka yang berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku berhak melakukan pekerjaan
kefarmasian di Indonesia (Anonim, 2002).
Peraturan Menteri Kesehatan nomor 922/MENKES/PER/X/1993
menyebutkan syarat untuk melakukan pekerjaan kefarmasian sebagai apoteker
(pasal 5) adalah :
a.Ijazah telah terdaftar pada Departemen kesehatan. b.Telah mengucapkan Sumpah/Janji sebagai Apoteker. c.Memiliki Surat Ijin Kerja dari Menteri.
d.Memenuhi syarat-sayarat kesehatan fisik dan mental untuk melaksakan tugasnya, sebagai Apoteker.
e.Tidak bekerja di suatu Perusahaan farmasi dan tidak menjadi apoteker Pengelola Apotik di Apotik lain.
Menurut KepMenKes RI nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004
menyebutkan bahwa apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus
pendidikan profesi dan telah mengucapkan sumpah berdasarkan peraturan
perundangan yang berlaku dan berhak melakukan pekerjaan kefarmasian di
Indonesia sebagai apoteker (Anonim, 2004a).
Di Indonesia pemberian izin menjalankan pekerjaan apoteker
pendamping, diatur oleh KepMenKes RI nomor 279/MENKES/SK/V/1981.
Surat persetujuan sebagai Apoteker Pendamping dapat dicabut apabila, apabila
a. apoteker yang berkepentingan melakukan atau telah melakukan suatu perbuatan pidana
b. melakukan atau telah melakukan perbuatan yang melanggar susila kefarmasian
c. kesehatan fisik maupun mental terganggu sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan dengan baik
d. membuat kesalahan-kesalahan teknis dalm bidang tugas/pekerjaan yang berbahaya
e. melakukan hal-hal yang membahayakan kepentingan umum. (Anonim, 1981a)
Menurut KepMenKes RI nomor 1332/MENKES/SK/X/2002, maka
apoteker berkewajiban menyediakan, menyimpan dan menyerahkan sedian
farmasi yang bermutu baik dan yang keabsahannya terjamin. Sediaan Farmasi
yang karena sesuatu hal tidak dapat digunakan lagi atau dilarang digunakan,
harus dimusnahkan dengan cara dibakar atau ditanam atau, dengan cara lain
yang ditetapkan oleh Menteri. Pemusnahan dilakukan Apoteker Pengelola
Apotek atau Apoteker Pengganti dibantu oleh sekurang-kurangnya seorang
karyawan Apotek. (Anonim, 2002)
Apoteker pengelola apotek adalah apoteker yang telah diberi Surat
Izin Apotek (SIA). Surat Izin Apotik atai SIA adalah Surat izin yang diberikan
oleh Menteri kepada Apoteker atau Apoteker bekerjasama dengan pemilik
sarana untuk menyelenggarakan Apotek di suatu tempat tertentu. Apabila
apoteker pengelola apotek berhalangan melakukan tugasnya pada jam buka
apotek, apoteker pengelola apotek harus menunjuk apoteker pendamping.
Apoteker pendamping adalah apoteker yang bekerja di apotek di samping
apoteker pengelola apotek dan/atau menggantikannya pada jam-jam tertentu
pada hari buka apotek. Apabila apoteker pengelola apotek dan apoteker
apoteker pengelola apotek menunjuk apoteker pengganti. Apoteker pengganti
adalah apoteker yang menggantikan apoteker pengelola apotek selama
apoteker pengelola apotek tersebut tidak berada di tempat lebih dari tiga bulan
secara terus-menerus dan telah memiliki surat izin kerja serta tidak bertindak
sebagai apoteker pengelola apotek di apotek lain (Anonim, 2002).
Peraturan Menteri Kesehatan nomor 922/MENKES/PER/X/1993
menyebutkan bahwa apoteker wajib memberikan informasi (pasal 15) :
a.yang berkaitan dengan penggunaan obat yang diserahkan kepada pasien.
b.penggunaan obat secara tepat, aman, rasional atas permintaan masyarakat.
Dalam Kode Etik apoteker Indonesia pasal 7 juga menyatakan bahwa
seorang apoteker hendaknya menjadi sumber informasi sesuai dengan
profesinya bagi masyarakat dalam rangka pelayanan dan pendidikan
kesehatan.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa salah
satu tugas apoteker adalah memberikan informasi kepada pasien yang datang
ke apotek, sehingga kewajiban apoteker, baik apoteker pengelola apotek atau
apoteker pendamping atau apoteker pengganti adalah berada di apotek selama
jam buka apotek dan memberikan informasi kepada pasien yang datang ke
apotek. Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 1996 pasal 35 (d) menyatakan
berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 23 tahun 1992 tentang
kesehatan, pada pasal 86 yaitu barang siapa dengan sengaja tidak
melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 22 ayat 1,
2. Apoteker sebagai profesi dan perannya
Profesi merupakan suatu pekerjaan yang menuntut suatu pengetahuan
dan keterampilan yang sangat khusus yang diperoleh melalui pelajaran yang
bersifat teoritis dan praktek dan diuji oleh lembaga perguruan tinggi dan kepada
yang bersangkutan diberi kewenangan guna pemberian layanan konsumen atau
kliennya (Harding, 1993).
Menurut ISFI (2004) profesi memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
1. memiliki tubuh pengetahuan yang berbatas jelas.
2. pendidikan khusus berbasis “keahlian” pada jenjang pendidikan tinggi.
3. memberi pelayanan kepada masyarakat, praktek dalam bidang keprofesian.
4. memiliki perhimpunan dalam bidang keprofesian yang bersifat otonom.
5. memberlakukan kode etik keprofesian.
6. memiliki motivasi altruistik dalam memberikan pelayanan.
7. proses pembelajaran seumur hidup.
8. mendapat jasa profesi.
Mengacu pada definisi apoteker di Kepmenkes no. 1027 tahun 2004
maka untuk menjadi seorang apoteker, seseorang harus menempuh pendidikan
diperguruan tinggi farmasi baik dijenjang S-1 maupun jenjang pendidikan
profesi. Lulusan perguruan tinggi farmasi ini tentunya akan memenuhi ciri
profesi yang pertama dan kedua. Ciri ketiga terpenuhi ketika seorang apoteker
melakukan praktek profesi dalam arti kemudian melakukan pelayanan kepada
Berdasarkan Kepmenkes no. 41846/KB/121 tanggal 16 September
1965, Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia (ISFI) merupakan satu – satunya
organisasi sarjana farmasi / apoteker yang bersifat otonom yang menghimpun
seluruh tenaga kesehatan sarjana dibidang farmasi.
Kode Etik Apoteker Indonesia adalah suatu aturan moral sebagai
rambu-rambu yang membatasi seorang apoteker dalam menjalankan pekerjaan
keprofesiannya dari perbuatan tercela dan merugikan martabat profesi apoteker
dan organisasi profesi. Berdasarkan Permenkes Nomor 184 tahun 1995 pasal 18
disebutkan bahwa apoteker dilarang melakukan perbuatan yang melanggar
Kode Etik Apoteker oleh sebab itu seorang apoteker perlu memahami isi dari
Kode Etik Apoteker. Kode Etik Apoteker Indonesia disusun oleh Ikatan Sarjana
Farmasi Indonesia (ISFI). Kode Etik Apoteker Indonesia menurut ISFI hasil
Keputusan Kongres Nasional XVII ISFI tahun 2005 nomor 007/2005 tanggal
18 Juni 2005.
Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan maka proses
pembelajaran seumur hidup merupakan tuntutan bagi Apoteker, hal ini
mendukung ciri profesi yang pertama dan kedua sehingga tujuan profesionalnya
dapat tercapai karena tanpa belajar terus menerus maka tidak akan dapat
memberikan pelayanan yang baik bagi masyarakat.
Satu – satunya ciri yang belum terpenuhi oleh apoteker di Indonesia
adalah mendapat jasa profesi. Hal ini dikarenakan balas jasa pelayanan
masih bekerja sebagai seorang yang bekerja bagi kehidupan apotek untuk
mendapatkan imbal baliknya (Hartini dan Sulasmono,2006).
Di tingkat dunia, International Pharmaceutical Federation
mengidentifikasi bahwa profesi adalah kemauan individu farmasis untuk
melakukan praktek kefarmasian sesuai syarat legal minimun yang berlaku
serta mematuhi standar profesi dan etik kefarmasian. Peran Apoteker yang
digariskan oleh WHO yang dikenal dengan istilah “Seven Stars of
Pharmacist” meliputi :
1. Care Giver. Apoteker sebagai pemberi pelayanan dalam bentuk pelayanan
klinis, analitis, teknis, sesuai peraturan perundang-undangan. Dalam
memberikan pelayanan, apoteker harus berinteraksi dengan pasien secara
individu maupun kelompok, apoteker harus mengintegrasikan
pelayanannya pada sistem pelayanan kesehatan secara berkesinambungan
dan pelayanan apoteker yang dihasilkan harus bermutu tinggi.
2. Decision-maker. Apoteker mendasarkan pekerjaannya pada kecukupan,
keefikasian dan biaya yang efektif dan efisien terhadap seluruh
penggunaan sumber daya misalnya sumber daya manusia, obat, bahan
kimia, peralatan, prosedur, pelayanan dan lain-lain. Untuk mencapai
tujuan tersebut kemampuan dan keterampilan apoteker perlu diukur untuk
kemudian hasilnya dijadikan dasar dalam penentuan pendidikan dan
pelatihan yang diperlukan.
3. Comunicator. Apoteker mempunyai kedudukan penting dalam
karena itu harus mempunyai kemampuan berkomunikasi yang cukup baik.
Komunikasi tersebut meliputi komunikasi verbal, non verbal, mendengar
dan kemampuan menulis, dengan menggunakan bahasa sesuai dengan
kebutuhan.
4. Leader. Apoteker diharapkan memiliki kemampuan untuk menjadi
pemimpin. Kepemimpinan yang diharapkan meliputi keberanian
mengambil keputusan yang empati dan efektif, serta kemampuan
mengkomunikasikan dan mengelola hasil keputusan.
5. Manager. Apoteker harus efektif dalam mengelola sumber daya (manusia,
fisik, anggaran) dan informasi, juga harus dapat dipimpin dan memimpin
orang lain dalam tim kesehatan. Lebih jauh lagi apoteker mendatang harus
tanggap terhadap kemajuan teknologi informasi dan bersedia berbagi
informasi mengenai obat dan hal-hal lain yang berhubungan dengan obat.
6. Life-long learner. Apoteker harus senang belajar sejak dari kuliah dan
semangat belajar harus selalu dijaga walaupun sudah bekerja untuk
menjamin bahwa keahlian dan keterampilannya selalu baru (up-date)
dalam melakukan praktek profesi. Apoteker juga harus mempelajari cara
belajar yang efektif.
7. Teacher. Apoteker mempunyai tanggung jawab untuk mendidik dan
melatih apoteker generasi mendatang. Partisipasinya tidak hanya dalam
berbagai ilmu pengetahuan baru satu sama lain, tetapi juga kesempatan
memperoleh pengalaman dan peningkatan keterampilan.
C. Standar Pelayanan Kefarmasian Di Apotek
Standar Pelayanan Kefarmasian di apotek disusun dengan tujuan sebagai
pedoman praktik apoteker dalam menjalankan profesi, untuk melindungi
masyarakat dari pelayanan yang tidak profesional serta melindungi profesi dalam
menjalankan praktik kefamasian (Anonim, 2004a)
Adapun Standar Pelayanan Kefarmasian di apotek menurut KepMenKes No.
1027/MENKES/SK/IX/2004 antara lain:
a. Pengelolaan sumber daya 1) Sumber daya manusia
Sesuai ketentuan perundangan yang berlaku Apotek harus dikelola oleh seorang apoteker yang profesional . Dalam pengelolaan Apotek, Apoteker senantiasa harus memiliki kemampuan menyediakan dan memberikan pelayanan yang baik, mengambil keputusan yang tepat, kemampuan berkomunikasi antar profesi, menempatkan diri sebagai pimpinan dalam situasi multidisipliner, kemampuan mengelola SDM secara efektif, selalu belajar sepanjang karier, dan membantu memberi pendidikan dan memberi peluang untuk meningkatkan pengetahuan.
2) Sarana dan prasarana
Apotek berlokasi pada daerah yang dengan mudah dikenali oleh masyarakat. Pada halaman terdapat papan petunjuk yang dengan jelas tertulis kata apotek. Apotek harus dapat dengan mudah diakses oleh anggota masyarakat. Pelayanan produk kefarmasian diberikan pada tempat yang terpisah dari aktivitas pelayanan dan penjualan produk lainnya, hal ini berguna untuk menunjukkan integritas dan kualitas produk serta mengurangi resiko kesalahan penyerahan. Masyarakat harus diberi akses secara langsung dan mudah oleh apoteker untuk memperoleh informasi dan konseling. Lingkungan apotek harus dijaga kebersihannya. Apotek harus bebas dari hewan pengerat, serangga/pest. Apotek memiliki suplai listrik yang konstan, terutama untuk lemari pendingin.
Apotek harus memiliki :
1. Ruang tunggu yang nyaman bagi pasien.
2. Tempat untuk mendisplai informasi bagi pasien, termasuk penempatan brosur/materi informasi.
4. Ruang racikan.
5. Keranjang sampah yang tersedia untuk staf maupun pasien. Perabotan apotek harus tertata rapi, lengkap dengan rak-rak penyimpanan obat dan barang-barang lain yang tersusun dengan rapi, terlindung dari debu, kelembaban dan cahaya yang berlebihan serta diletakkan pada kondisi ruangan dengan temperatur yang telah ditetapkan.
3) Pengelolaan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya.
Pengelolaan persediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya dilakukan sesuai ketentuan perundangan yang berlaku meliputi : perencanaan, pengadaan, penyimpanan dan pelayanan. Pengeluaran obat memakai sistim FIFO (first in first out) dan FEFO (first expire first out)
3.1 Perencanaan.
Dalam membuat perencanaan pengadaan sediaan farmasi perlu diperhatikan :
a. Pola penyakit.
b. Kemampuan masyarakat. c. Budaya masyarakat. 3.2 Pengadaan.
Untuk menjamin kualitas pelayanan kefarmasian maka pengadaan sediaan farmasi harus melalui jalur resmi.
3.3 Penyimpanan.
1.Obat / bahan obat harus disimpan dalam wadah asli dari pabrik. Dalam hal pengecualian atau darurat dimana isi dipindahkan pada wadah lain, maka harus dicegah terjadinya kontaminasi dan harus ditulis informasi yang jelas pada wadah baru, wadah sekurang–kurangnya memuat nomor batch dan tanggal kadaluarsa.
2.Semua bahan obat harus disimpan pada kondisi yang sesuai, layak dan menjamin kestabilan bahan.
4) Administrasi.
Dalam menjalankan pelayanan kefarmasian di apotek, perlu dilaksanakan kegiatan administrasi yang meliputi :
4.1. Administrasi umum.
Pencatatan, pengarsipan, pelaporan narkotika, psikotropika dan dokumentasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
4.2. Administrasi pelayanan.
b. Pelayanan
1) Pelayanan resep. 1.1. Skrining resep.
Apoteker melakukan skrining resep meliputi : 1.1.1. Persyaratan administratif :
- Nama,SIP dan alamat dokter. - Tanggal penulisan resep.
- Tanda tangan/paraf dokter penulis resep.
- Nama, alamat, umur, jenis kelamin, dan berat badan pasien. - Nama obat, potensi, dosis, jumlah yang minta.
- Cara pemakaian yang jelas. - Informasi lainnya.
1.1.2. Kesesuaian farmasetik : bentuk sediaan, dosis, potensi, stabilitas, inkompatibilitas, cara dan lama pemberian.
1.1.3. Pertimbangan klinis : adanya alergi, efek samping, interaksi, kesesuaian (dosis, durasi, jumlah obat dan lain-lain). Jika ada keraguan terhadap resep hendaknya dikonsultasikan kepada dokter penulis resep dengan memberikan pertimbangan dan alternatif seperlunya bila perlu menggunakan persetujuan setelah pemberitahuan.
1.2. Penyiapan obat. 1.2.1. Peracikan.
Merupakan kegiatan menyiapkan, menimbang, mencampur, mengemas dan memberikan etiket pada wadah. Dalam melaksanakan peracikan obat harus dibuat suatu prosedur tetap dengan memperhatikan dosis, jenis dan jumlah obat serta penulisan etiket yang benar.
1.2.2. Etiket.
Etiket harus jelas dan dapat dibaca. 1.2.3. Kemasan obat yang diserahkan.
Obat hendaknya dikemas dengan rapi dalam kemasan yang cocok sehingga terjaga kualitasnya.
1.2.4. Penyerahan obat.
Sebelum obat diserahkan pada pasien harus dilakukan pemeriksaan akhir terhadap kesesuaian antara obat dengan resep. Penyerahan obat dilakukan oleh apoteker disertai pemberian informasi obat dan konseling kepada pasien dan tenaga kesehatan.
1.2.5. Informasi obat.
1.2.6. Konseling.
Apoteker harus memberikan konseling, mengenai sediaan farmasi, pengobatan dan perbekalan kesehatan lainnya, sehingga dapat memperbaiki kualitas hidup pasien atau yang bersangkutan terhindar dari bahaya penyalahgunaan atau penggunaan salah sediaan farmasi atau perbekalan kesehatan lainnya. Untuk penderita penyakit tertentu seperti
cardiovascular, diabetes, TBC, asthma, dan penyakit kronis lainnya, apoteker harus memberikan konseling secara berkelanjutan.
1.2.7. Monitoring penggunaan obat.
Setelah penyerahan obat kepada pasien, apoteker harus melaksanakan pemantauan penggunaan obat, terutama untuk pasien tertentu seperti cardiovascular, diabetes ,TBC,
asthma, dan penyakit kronis lainnya.
2) Promosi dan edukasi.
Dalam rangka pemberdayaan masyarakat, apoteker harus berpartisipasi secara aktif dalam promosi dan edukasi . Apoteker ikut membantu diseminasi informasi, antara lain dengan penyebaran leaflet / brosur, poster, penyuluhan, dan lain-lainnya.
3) Pelayanan residensial (Home Care).
Apoteker sebagai care giver diharapkan juga dapat melakukan pelayanan kefarmasian yang bersifat kunjungan rumah, khususnya untuk kelompok lansia dan pasien dengan pengobatan penyakit kronis lainnya. Untuk aktivitas ini apoteker harus membuat catatan berupa catatan pengobatan (medication record).
c. Evaluasi mutu pelayanan
Indikator yang digunakan untuk mengevaluasi mutu pelayanan adalah : 1) Tingkat kepuasan konsumen : dilakukan dengan survey berupa angket
atau wawancara langsung.
2) Dimensi waktu : lama pelayanan diukur dengan waktu (yang telah ditetapkan).
3) Prosedur tetap : untuk menjamin mutu pelayanan sesuai standar yang telah ditetapkan.
Disamping itu prosedur tetap bermanfaat untuk :
• Memastikan bahwa praktik yang baik dapat tercapai setiap saat;
• Adanya pembagian tugas dan wewenang;
• Memberikan pertimbangan dan panduan untuk tenaga .kesehatan lain yang bekerja di apotek;
• Dapat digunakan sebagai alat untuk melatih staf baru;
• Membantu proses audit.
• Tujuan : merupakan tujuan protap.
• Ruang lingkup : berisi pernyataan tentang pelayanan yang dilakukan dengan kompetensi yang diharapkan.
• Hasil : hal yang dicapai oleh pelayanan yang diberikan dan dinyatakan dalam bentuk yang dapat diukur.
• Persyaratan : hal-hal yang diperlukan untuk menunjang pelayanan.
• Proses : berisi langkah-langkah pokok yang perlu diikuti untuk penerapan standar.
• Sifat protap adalah spesifik mengenai kefarmasian.
(Anonim, 2004a)
D. Sumpah Apoteker
Sumpah adalah ikrar yang diucapkan dengan sungguh-sungguh dan
akan melaksanakannya sesuai dengan yang telah diucapkan (Salim, 1991). Selain
terikat secara horizontal dengan masyarakat, Profesi Apoteker terikat pula secara
vertikal dengan Tuhan.
Tujuan mengucapkan suatu sumpah atau janji adalah untuk menyadarkan
bagi yang disumpah bahwa dalam menjalankan tugas dan kewajiban atau
pekerjaannya mengharapkan tanggung jawab yang besar terutama tanggung jawab
kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena apoteker di dalam mengamalkan
keahliannya harus senantiasa mengharapkan bimbingan dan keridhaan-Nya,
sehingga bilamana menyalahgunakan jabatan dari pekerjaannya itu akan
membawa bahaya bagi keselamatan masyarakat yang dilayaninya dan harus
dipertanggung jawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa baik dunia maupun
E. Kode Etik Apoteker
Etika profesi yaitu suatu aturan yang mengatur suatu pekerjaan itu boleh
atau tidak dilakukan oleh pelaku profesi sewaktu menjalankan praktek profesinya
(Anonim, 2003). Kode etik merupakan salah satu pedoman untuk membatasi,
mengatur dan sebagai petunjuk bagi profesi secara baik dan benar serta tidak
melakukan perbuatan tercela dan juiga sebagai aturan – aturan norma yang
menjadi ikatan moral profesi..
Kode Etik Apoteker Indonesia adalah suatu aturan moral sebagai
rambu-rambu yang membatasi seorang apoteker dalam menjalankan pekerjaan
keprofesiannya dari perbuatan tercela dan merugikan martabat profesi apoteker
dan organisasi profesi (Sulasmono, 1997). Berdasarkan Permenkes Nomor 184
tahun 1995 pasal 18 disebutkan bahwa apoteker dilarang melakukan perbuatan
yang melanggar Kode Etik Apoteker oleh sebab itu seorang apoteker perlu
memahami isi dari Kode Etik Apoteker (Hartini dan Sulasmono, 2006).
F. Etika Bisnis
Menurut J.W. Weiss, etika bisnis adalah seni dan disiplin dalam menerapkan
prinsip etika dalam mengkaji dan memecahkan berbagai masalah moral yang
kompleks. Meski belum ada definisi terbaik dari etika bisnis, namun telah muncul
konsensus bahwa etika bisnis adalah studi yang mensyaratkan penalaran dan
penilaian, baik berdasarkan atas prinsip maupun kepercayaan dalam proses
pengambilan keputusan dalam menyeimbangkan kepentingan ekonomi terhadap
Etika bisnis mengajari para pelaku bisnis untuk melakukan refleksi tentang
dunia bisnis dari sudut etika karena keberhasilan suatu bisnis tidak semata – mata
dilihat dari sudut keuntungan yang dapat diraih tetapi dari nilai – nilai luhur yang
dilakukan para pelaku bisnis. Ciri – ciri bisnis beretika adalah:
a. memenuhi kebutuhan dan keinginan konsumen untuk mendapatkan laba
yang wajar dan tidak meneksploitasi konsumen.
b. memberikan barang dan jasa kepada konsumen dengan cara yang
bertanggung jawab dan jujur.
c. peduli pada kepentingan pekerjaannya, pemegang saham dan pihak –
pihak lain yang terlibat didalamnya.
d. berproduksi dengan cara yang paling aman.
e. memberi sumbangan terhadap pembangunan berkelanjutan dan keadilan
sosial, berperan aktif dalam membentuk kepuasan dan kesejahteraan
masyarakat.
Bisnis mempunyai etika, dan lima prinsip yang berlaku dalam kegiatan
bisnis adalah :
1. prinsip otonomi. Yaitu sikap dan kemampuan manusia untuk bertindak
berdasarkan kesadarannya sendiri, disertai kebebasan untuk mengambil
keputusan dan bertindak menurut keputusan itu dan juga harus disertai dengan
tanggung jawab, baik kepada diri sendiri/hati nuraninya, kepada pemilik
perusahaan, pihak yang dilayaninya dan kepada pemerintah dan mayarakat
2. prinsip kejujuran. Yaitu pemenuhan syarat dalam perjanjian dan kontrak,
mutu produk yang ditawarkan, hubungan kerja dalam perusahaan.
3. prinsip tidak berbuat jahat (non-maleficence) dan berbuat baik (beneficence).
Hal ini mengarahkan tindakan bisnis yang baik secara aktif dan maksimal,
minimal tidak merugikan orang lain.
4. prinsip keadilan. Prinsip ini mengharuskan pelaku bisnis untuk memberikan
sesuatu yang menjadi hak orang lain/mitra.
5. prinsip hormat kepada diri sendiri. Artinya memperlakukan diri sendiri dan
orang lain sebagai pribadi yang memiliki nilai yang sama dengan pribadi lain.
(Isdaryadi, 2005)
Apotek merupakan bagian dari bisnis, selayaknya apotek menerapkan pula
prinsip – prinsip etika dalam bisnis. Terlebih pelayanan di apotek menerapkan
pelayanan yang berhubungan langsung dengan manusia sehingga aspek moral dan
kemanusiaan benar – benar dijunjung tinggi. Pasien menghendaki pelayanan yang
cepat, tepat dan benar. Kejujuran, keramahan dan rasa kekeluargaan dengan
pasien dapat memperkuat hubungan pihak apotek dan pasien. Pelayanan yang
terbaik sejak awal hingga akhir proses akan meningkatkan kepuasan pasien
G. Keterangan Empiris
Standar pelayanan kefarmasian di apotek berdasarkan KepMenKes RI nomor
1027/MENKES/SK/IX/2004 mempunyai tiga parameter utama yaitu :
pengelolaan sumber daya, pelayanan dan evaluasi mutu pelayanan. Dari hasil
penelitian diharapkan dapat diperleh gambaran mengenai pelaksanaan standar
pelayanan kefarmasian di apotek berdasarkan KepMenKes RI nomor
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis dan Rancangan Penelitian
Penelitian ini termasuk jenis penelitian non eksperimental dengan rancangan
penelitian deskriptif. Penelitian non eksperimental adalah penelitian yang
observasinya dilakukan terhadap sejumlah ciri subjek menurut keadaan apa
adanya, tanpa ada manipulasi atau intervensi peneliti (Praktiknya, 2001).
Sedangkan rancangan penelitian deskriptif adalah jenis penelitian yang
memberikan gambaran atau uraian atas suatu keadaan sejelas mungkin tanpa ada
perlakuan terhadap obyek yang diteliti (Kontour, 2003).
Penelitian ini terbatas pada usaha mengungkapkan suatu masalah atau
keadaan atau peristiwa sebagaimana adanya sehingga bersifat sekedar untuk
mengungkapkan fakta. Hasil penelitian ditekankan pada penggambaran secara
obyektif tentang keadaan sebenarnya dari obyek yang diselidiki (Nawawi, 1998).
B. Definisi Operasional Penelitian
1. Standar Pelayanan Kefarmasian adalah ukuran tertentu yang digunakan
sebagai patokan dalam pelaksanaan pelayanan kefarmasian, dalam penelitian
ini berdasarkan pada Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004.
2. Pelayanan kefarmasian (pharmaceutical care) adalah bentuk pelayanan dan
tanggung jawab langsung profesi apoteker dalam pekerjaan kefarmasian untuk
3. Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek berdasarkan Kepmenkes RI Nomor
1027/MENKES/SK/IX/2004 dikatakan telah dilaksanakan apabila
persentasenya lebih dari 50%. Bila persentasenya kurang dari 50% maka
dikatakan belum dilaksanakan.
4. Apotek adalah delapan apotek yang berada di wilayah Kabupaten Kulon
Progo.
5. Responden adalah Apoteker Pengelola Apotek atau Apoteker Pendamping
yang bersedia mengisi kuisioner.
6. Periode adalah periode penelitian untuk pengambilan data, yaitu dilakukan
selama bulan Juli 2007.
C. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian ini berupa kuesioner yang berisi tentang :
1. Karakteristik responden.
2. Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek berdasarkan Kepmenkes RI Nomor
1027/MENKES/SK/IX/2004.
D. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi adalah keseluruhan penelitian yang terdiri dari manusia,
benda-benda, hewan, tumbuh-tumbuhan, gejala-gejala, nilai tes atau
suatu penelitian (Nawawi, 1998). Populasi dari penelitian ini adalah semua
apotek yang ada di Kabupaten Kulon Progo.
Menurut data terakhir yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kabupaten
Kulon Progo, diketahui bahwa jumlah apotek di Kabupaten Kulon Progo pada
bulan Juni 2007 berdasarkan data terakhir bulan Agustus 2006 adalah
sebanyak 8 apotek. Sampel
2. Sampel
Sampel adalah sebagian dari populasi yang menjadi sumber data
sebenarnya dalam penelitian. Menurut Gay (1976), penelitian deskriptif
ukuran minimum yang dapat diterima adalah 10 persen dari populasi. Untuk
populasi yang sangat kecil diperlukan minimum 20 persen (Sevilla, dkk,
1993). Namun demikian tidak ada satu formula pun yang dapat digunakan
secara umum untuk semua penelitian (Pratiknya, 2001).
Ada dua pertimbangan pokok untuk penetapan besar sampel, yaitu
pertimbangan representativitas dan pertimbangan analisis. Pertimbangan
representativitas ialah pertimbangan yang menyangkut jumlah minimum
sampel yang masih menjamin representativitasnya terhadap populasi.
Pertimbangan analisis ialah pertimbangan yang menyangkut jumlah minimum
sampel sehingga dapat dilakukan analisis kuantitatif terhadap data (hasil
E. Tata Cara Penelitian
1. Pembuatan kuesioner
Kuesioner merupakan suatu instrumen pengumpulan data dalam
penelitian sosial. Dengan kuesioner tersebut peneliti menggali informasi dari
responden (orang yang menjadi subjek penelitian) (Adi, 2004).
Penelitian ini menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpul data yang
di dalamnya memuat sejumlah pertanyaan yang harus dijawab secara tertulis
oleh responden. Kuesioner terbagi menjadi empat bagian yaitu : deskripsi
responden, pengelolaan sumber daya, pelayanan dan evaluasi mutu pelayanan.
2. Pengujian kuesioner
a. Uji pemahaman bahasa
Uji pemahaman bahasa berfungsi untuk mengetahui sejauh mana
bahasa penyusun pertanyaan-pertanyaan yang terdapat dalam kuesioner
dapat dipahami oleh responden, termasuk di dalamnya kesalahan
pengetikan, pengejaan kata-kata dan susunan kalimat. Uji pemahaman
bahasa dilakukan dengan cara menyebar kuesioner tersebut kepada lima
apotek di luar populasi penelitian.
b. Uji validitas isi
Validitas berarti sejauh mana ketepatan dan kecermatan suatu alat
ukur dalam melaksanakan fungsi ukurnya. Suatu tes atau instrumen
tersebut menjalankan fungsi ukurnya atau memberikan hasil ukur yang
sesuai dengan maksud dilakukannya pengukuran tersebut (Azwar, 2003).
Suatu alat ukur dikatakan valid (benar/sahih) jika alat ukur tersebut jitu
untuk mengukur konsep/variabel yang diukur (Adi, 2004).
Validitas yang diukur dalam kuesioner ini adalah validitas isi.
Validitas isi merupakan tingkat representativitas isi atau substansi
pengukuran terhadap konsep (pengertian) variabel sebagaimana
dirumuskan (Praktiknya, 1991). Validitas isi kuesioner ini diuji dengan
analisis rasional atau lewat Professional Judgement, yaitu bahwa estimasi
validitas isi tidak melibatkan perhitungan statistik apapun, melainkan
hanya dengan analisis teoritik. Maka tidaklah diharapkan setiap orang
akan sama atau sependapat mengenai sejauh mana validitas isi kuesioner
akan tercapai.
c. Uji reliabilitas
Suatu alat ukur dikatakan reliable (dapat dipercaya) jika alat ukur
tersebut mantap, tepat dan homogen. Suatu alat ukur dikatakan mantap
apabila dalam mengukur sesuatu berulang kali, alat ukur tersebut
memberikan hasil yang sama, dengan syarat kondisi pengukuran tidak
berubah. Suatu pertanyaan (alat ukur) dikatakan tepat apabila pertanyaan
tersebut mudah dimengerti dan terperinci. Suatu alat ukur dikatakan
homogen apabila pertanyaan-pertanyaan yang dibuat untuk mengukur
Reliabilitas kuesioner penelitian ini tidak perlu diuji lagi karena
pertanyaan dalam angket/kuesioner berupa pertanyaan yang langsung
terarah pada informasi mengenai data yang hendak diungkap. Reliabilitas
data yang diperoleh terletak pada terpenuhinya asumsi bahwa responden
menjawab dengan jujur seperti apa adanya. Hal ini berkaitan dengan
asumsi dasar penggunaan kuesioner yaitu subjek merupakan orang yang
mengetahui tentang dirinya, sehingga data hasil tidak perlu diuji lagi
reliabilitas secara statistik (Azwar, 1999).
3. Penyebaran kuesioner
Kuesioner langsung disebarkan kepada responden dan peneliti akan
mendampingi dalam pengisian kuesioner agar dapat menjelaskan kepada
responden jika responden mengalami kesulitan dalam mengisi kuesioner
tersebut. Peneliti harus bertemu langsung dengan responden untuk
memastikan bahwa yang menerima kuisioner adalah apoteker. Jika responden
berhalangan mengisi saat itu juga, maka kuesioner tersebut akan ditinggal
selama beberapa waktu untuk kemudian diambil kembali setelah diisi oleh
responden. Periode penyebaran kuesioner dilakukan pada bulan Juli 2007.
Pada penelitian ini ada satu apotek yang apotekernya tidak bisa ditemui
secara langsung dalam beberapa kali rencana pertemuan karena suatu hal
sehingga peneliti tidak dapat meninggalkan kuisioner di apotek. Dengan
demikian pada penelitian ini, apotek yang menjadi objek penelitian hanya
4. Pengumpulan kuesioner
Kuesioner langsung dikumpulkan saat itu juga dan ada yang diambil
setelah ditinggal selama beberapa waktu. Jumlah kuesioner yang
dikembalikan sama dengan jumlah kuesioner yang disebarkan yaitu sebanyak
tujuh apotek.
5. Wawancara
Wawancara adalah usaha mengumpulkan informasi dengan mengajukan
sejumlah pertanyaan lisan, untuk dijawab secara lisan pula (Nawawi, 1985).
Wawancara dapat dipakai untuk melengkapi data yang diperoleh (Mardalis,
2006). Pada penelitian ini, wawancara yang dilakukan bertujuan untuk
mengetahui kesesuaian pemahaman apoteker dengan Kepmenkes RI Nomor
1027/MENKES/SK/IX/2004.
Wawancara yang dilakukan mengenai pengertian konseling, pengertian
medication record dan alasan tidak adanya ruang konseling. Wawancara
dilakukan terhadap beberapa responden yang bersedia untuk diwawancarai,
hasil wawancara dapat dilihat pada lampiran 8.
F. Tata Cara Analisis Data
Teknik analisis yang umumnya digunakan untuk menganalisis data pada
penelitian-penelitian deskriptif ialah dengan menggunakan tabel dan grafik
(Kontour, 2003). Penelitian ini menggunakan analisis data statistik deskriptif
Analisis data dimulai dengan mengelompokkan data berdasarkan tiga
parameter utama Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 kemudian
menghitung jumlah total untuk tiap alternatif jawaban. Dikatakan telah
melaksanakan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek berdasarkan Kepmenkes
RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 apabila persentasenya lebih dari 50% dan
jika kurang dari 50% maka dikatakan belum melaksanakan Standar Pelayanan
Kefarmasian di Apotek berdasarkan Kepmenkes RI Nomor
1027/MENKES/SK/IX/2007 tersebut.
G. Kesulitan Penelitian
Terdapat beberapa kesulitan dalam penelitian ini, yaitu :
1. Peneliti dan responden sulit menentukan waktu bertatap muka secara
langsung dalam pengisian kuisioner.
2. Tidak dilakukannya wawancara kepada responden berkaitan dengan alasan
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Data Deskripsi Responden
Karakteristik responden yang ditanyakan meliputi : umur, posisi di apotek,
pengalaman kerja sebagai apoteker di apotek yang sekarang, adanya pekerjaan
lain, waktu kerja di apotek dalam seminggu dan waktu kerja di apotek dalam
sehari.
1. Usia responden
Gambaran mengenai rentang usia responden dapat dilihat pada Gambar
1 berikut.
UMUR RESPONDEN
21-35 th 57% > 50 th
29%
36-50 th 14%
Gambar 1. Diagram Umur Respoden
Gambar 1 di atas memperlihatkan bahwa sebagian besar responden,
yaitu sebanyak 57% berada dalam rentang usia antara 21-35 tahun yang mana
rentang usia tersebut merupakan usia produktif untuk masa kerja seseorang.
Berdasarkan keterangan tersebut diharapkan responden dapat memahami dan
mengisi kuesioner dengan lebih baik.
2. Posisi responden di apotek
Tabel I. Posisi Responden di Apotek
No Posisi responden di apotek Jumlah Persentase (%) n = 7
1 Apoteker Pengelola Apotek 6 86
2 Apoteker Pendamping 1 14
Total 7 100
Tabel I di atas memperlihatkan bahwa seluruh responden merupakan
apoteker, baik Apoteker Pengelola Apotek maupun Apoteker Pendamping.
Hal ini sesuai dengan yang diharapkan peneliti karena apoteker sangat paham
mengenai semua sistem dan pengelolaan kinerja apotek dibandingkan dengan
staf lainnya.
3. Pengalaman kerja responden sebagai apoteker di apotek yang sekarang
Hasil penelitian menunjukkan responden yang memiliki pengalaman
kerja sebagai apoteker di apotek yang sekarang selama kurang dari 1 tahun
sebesar 14%, 1-5 tahun sebesar 43%, 6-10 tahun sebesar 14% dan yang
bekerja lebih dari 10 tahun sebesar 29%.
LAMA BEKERJA DI APOTEK
< 1 t h 14%
1-5 t h 43% > 10 t h
29%
6-10 t h 14%
Dari data tersebut, yang telah memiliki pengalaman kerja sebagai
apoteker di apotek yang sekarang selama lebih dari 1 tahun sebesar 86%, di
diharapkan bahwa responden telah memahami sistem dan pengelolaan kinerja
apotek mereka yang sekarang dan dapat mengisi kuesioner dengan baik
sehingga dapat diketahui mengenai pelaksanaan Standar Pelayanan
Kefarmasian di Apotek mereka.
4. Adanya pekerjaan lain dari responden
Hasil penelitian dapat dilihat pada gambar 3 berikut.
A D A T ID A KN Y A P E KE R J A A N LA IN
TIDA K 71%
YA 29%
Gambar 3. Ada Tidaknya Pekerjaan Lain dari Responden
Adanya pekerjaan lain, apapun jenisnya dan berapapun frekuensi
pekerjaan tersebut, akan mengganggu kehadiran dan kinerja apoteker di
apotek. Menurut Permenkes No. 26 tahun 1981 pasal 18, yang ditegaskan
dalam KepMenKes No. 1332 tahun 2002, menyatakan bahwa selama apotek
tersebut buka maka Apoteker Pengelola Apotek harus berada di apotek.
Apabila Apoteker Pengelola Apotek berhalangan, maka ia dapat digantikan