• Tidak ada hasil yang ditemukan

Model kepribadian sehat dalam Buddhisme Maitreya.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Model kepribadian sehat dalam Buddhisme Maitreya."

Copied!
155
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

Tren perkembangan psikologi saat ini telah meluas ke arah psikologi pertumbuhan, yakni tidak lagi sekadar berurusan dengan penyakit mental pada manusia, namun juga membicarakan taraf pencapaian potensi psikologis terbaik yang bisa diraih manusia. Untuk mencapai hal ini dibutuhkan sebuah model kepribadian sehat untuk dijadikan sebagai acuan dan contoh dalam pengembangan potensi psikologis seorang manusia. Lebih jauh lagi, pemahaman sebuah model kepribadian sehat sangat erat kaitannya dengan pemahaman tokoh yang melahirkan model tersebut serta budaya setempat dimana model itu dikembangkan.

Bertolak dari pemikiran ini maka penelitian ini bertujuan untuk memahami dan mendeskripsikan model kepribadian sehat menurut Buddhisme Maitreya dengan menggunakan kerangka konseptual perbandingan sifat-sifat kepribadian sehat Schultz. Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan deskriptif-kualitatif dan penganalisisan data penelitian menggunakan analisis isi. Hasil analisis berupa pembahasan disusun dalam bentuk teks naratif dengan sewaktu-waktu berpaling pada data untuk mengonfirmasi kesimpulan yang diambil.

Dari hasil penelitian dapat disusun sebuah pandangan khas Buddhisme Maitreya mengenai kepribadian sehat. Dari hasil penelitian juga dapat dilihat beberapa kesamaan dan perbedaan gagasan dalam konsep ajaran Buddhisme Maitreya dengan konsep para ahli psikologi pertumbuhan mengenai kepribadian sehat. Saran untuk penelitian selanjutnya adalah sebaiknya menggunakan konsep teoretis yang lebih spesifik dan mendalam terhadap kelompok budaya lain yang ingin diteliti.

(2)

ABSTRACT

The development trend of psychology recently has extended up at growth psychology that is not only dealing with mental illness of human but also discuss the level attainment of best psychological potency, which human being can reach. To reach this matter, it is required a healthy personality model to be made as reference and example in the development of psychological potency for human. Moreover, the understanding of healthy personality model is very close associated with the understanding of the figure bear the model and local culture where that model is developed.

Starting from this idea this research aim is to comprehend and describe healthy personality model according to Maitreya Buddhism by using conceptual framework of Schultz’s comparison attribute of healthy personality. This research conducted by using qualitative-descriptive approach and the analysis of research data use content analysis. The result of analysis in the form of discussion constructed in narrative text form with at any times look away to data to confirm the taken conclusion.

From the result of the research it can be compiled a typical view of Maitreya Buddhism regarding healthy personality. It is also could be seen some similarities and differences of idea between teaching concept of Maitreya Buddhism and concept of growth psychology experts concerning healthy personality. Suggestion for research hereinafter is better to use the specific and exhaustive theoretical concept to other cultural group that wish to be researched.

(3)

MODEL KEPRIBADIAN SEHAT DALAM

BUDDHISME MAITREYA

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh : Anthon Jason NIM : 019114167

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(4)
(5)
(6)

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma : Nama : Anthon Jason

Nomor Mahasiswa : 019114167

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :

MODEL KEPRIBADIAN SEHAT DALAM BUDDHISME MAITREYA

beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, me-ngalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal : 20 Januari 2008

Yang menyatakan

(7)

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya sebuah karya ilmiah.

Yogyakarta, 11 Februari 2008

Penulis

(8)

ABSTRAK

Tren perkembangan psikologi saat ini telah meluas ke arah psikologi pertumbuhan, yakni tidak lagi sekadar berurusan dengan penyakit mental pada manusia, namun juga membicarakan taraf pencapaian potensi psikologis terbaik yang bisa diraih manusia. Untuk mencapai hal ini dibutuhkan sebuah model kepribadian sehat untuk dijadikan sebagai acuan dan contoh dalam pengembangan potensi psikologis seorang manusia. Lebih jauh lagi, pemahaman sebuah model kepribadian sehat sangat erat kaitannya dengan pemahaman tokoh yang melahirkan model tersebut serta budaya setempat dimana model itu dikembangkan.

Bertolak dari pemikiran ini maka penelitian ini bertujuan untuk memahami dan mendeskripsikan model kepribadian sehat menurut Buddhisme Maitreya dengan menggunakan kerangka konseptual perbandingan sifat-sifat kepribadian sehat Schultz. Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan deskriptif-kualitatif dan penganalisisan data penelitian menggunakan analisis isi. Hasil analisis berupa pembahasan disusun dalam bentuk teks naratif dengan sewaktu-waktu berpaling pada data untuk mengonfirmasi kesimpulan yang diambil.

Dari hasil penelitian dapat disusun sebuah pandangan khas Buddhisme Maitreya mengenai kepribadian sehat. Dari hasil penelitian juga dapat dilihat beberapa kesamaan dan perbedaan gagasan dalam konsep ajaran Buddhisme Maitreya dengan konsep para ahli psikologi pertumbuhan mengenai kepribadian sehat. Saran untuk penelitian selanjutnya adalah sebaiknya menggunakan konsep teoretis yang lebih spesifik dan mendalam terhadap kelompok budaya lain yang ingin diteliti.

(9)

ABSTRACT

The development trend of psychology recently has extended up at growth psychology that is not only dealing with mental illness of human but also discuss the level attainment of best psychological potency, which human being can reach. To reach this matter, it is required a healthy personality model to be made as reference and example in the development of psychological potency for human. Moreover, the understanding of healthy personality model is very close associated with the understanding of the figure bear the model and local culture where that model is developed.

Starting from this idea this research aim is to comprehend and describe healthy personality model according to Maitreya Buddhism by using conceptual framework of Schultz’s comparison attribute of healthy personality. This research conducted by using qualitative-descriptive approach and the analysis of research data use content analysis. The result of analysis in the form of discussion constructed in narrative text form with at any times look away to data to confirm the taken conclusion.

From the result of the research it can be compiled a typical view of Maitreya Buddhism regarding healthy personality. It is also could be seen some similarities and differences of idea between teaching concept of Maitreya Buddhism and concept of growth psychology experts concerning healthy personality. Suggestion for research hereinafter is better to use the specific and exhaustive theoretical concept to other cultural group that wish to be researched.

(10)

KATA PENGANTAR

Dengan segenap rasa syukur dan sukacita penulis menghaturkan terima kasih kepada Tuhan, Bunda semesta alam, karena dalam kasih-Nya yang tidak pernah putus mengalir telah memberkati penulis untuk menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Juga kepada seluruh Buddha-Bodhisatva dan segenap makhluk yang mendukung penulis dengan menjadi sumber inspirasi, kearifan dan kebijaksanaan yang sangat berharga.

Skripsi ini merupakan karya tulis ilmiah yang disusun sebagai tugas akhir penelitian dalam rangka pelatihan dan pendidikan di bidang karya ilmiah universitas Sanata Dharma. Skripsi ini juga merupakan salah satu syarat untuk meyelesaikan program S1 psikologi dan mendapatkan gelar sarjana psikologi.

Terselesaikannya skripsi ini merupakan hasil dari sebuah proses yang melibatkan banyak pihak. Oleh karena itu melalui kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada segenap pihak yang telah membantu. Pihak-pihak tersebut adalah:

• Pak Pratik sebagai dosen pembimbing atas segala jerih payahnya dalam

membaca dan memberikan masukan dan saran yang sangat berharga bagi penulis.

• Segenap dosen dan karyawan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma,

orang-orang yang membuat penulis tumbuh dan berkembang.

• Papa, mama, kakak dan adik atas segala dukungan kasih, semangat,

pengertian, dan kebaikan yang berlimpah kepada penulis.

• Pandita Halim Zen Bodhi dan Pandita Lusia Anggraini yang telah membuka

(11)

• Seluruh keluarga besar Vihara Bohicitta Maitreya dan Vihara Sukhavati

Maitreya atas momen-momen yang indah dan berarti dalam kehidupan penulis.

• Serta seluruh pihak lain yang telah membantu penulis dalam proses penulisan

skripsi ini. Meskipun tidak disebutkan disini, namun itu tidak bermaksud mengurangi rasa syukur dan terima kasih penulis kepada semuanya.

Pada akhirnya penulis terbuka terhadap segala kritik, saran dan masukan terhadap skripsi ini, demi kemajuan pengembangan ilmu pengetahuan. Setiap kekurangan dan kesalahan yang ada pada skripsi ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis.

Yogyakarta, 22 Januari 2008

(12)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING... ii

HALAMAN PENGESAHAN... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN... iv

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA... vi

ABSTRAK... vii

ABSTRACT... viii

KATA PENGANTAR... ix

DAFTAR ISI... xi

DAFTAR TABEL... xv

DAFTAR GAMBAR... xvi

BAB I. PENDAHULUAN... 1

A. Latar belakang... 1

B. Perumusan Masalah... 5

C. Tujuan penelitian... 5

D. Manfaat penelitian... 5

BAB II. KEPRIBADIAN SEHAT... 6

A. Tinjauan umum... 6

B. Pandangan Para Ahli Psikologi Pertumbuhan... 7

1. Model Allport (Orang Yang Matang)... 7

2. Model Rogers (Orang Yang Berfungsi Sepenuhnya)... 13

(13)

4. Model Maslow (Orang Yang Mengaktualisasikan Diri)... 23

5. Model Jung (Orang Yang Terindividuasi)... 26

6. Model Frankl ( Orang Yang Mengatasi Diri)... 30

7. Model Perls (Orang “Disini Dan Kini”)... 33

C. Kesimpulan... 35

BAB III. BUDDHISME MAITREYA... 40

A. Sejarah Singkat Buddhisme Maitreya... 40

B. Keimanan Terhadap Buddha Maitreya... 41

1. Sabda-sabda Buddha Sakyamuni Tentang Buddha Maitreya Serta Perkembangan Keimanan Terhadap Buddha Maitreya di Dunia... 41

2. Siapakah Buddha Maitreya ?... 43

a. Ciri Khas Wujud Suci Buddha Maitreya... 44

b. Jejak Kasih Buddha Maitreya (berbagai inkarnasi Buddha Maitreya)... 45

3. Makna Iman Maitreya Dalam Buddhisme Maitreya... 50

C. Perkembangan Buddhisme Maitreya ... 50

1. Perkembangan di Dunia Internasional... 50

2. Perkembangan di Indonesia, MAPANBUMI (Majelis Pandita Buddha Maitreya Indonesia)... 52

BAB IV. METODOLOGI PENELITIAN... 54

A. Jenis Penelitian ... 54

B. Metode Penelitian... 54

C. Identifikasi Variabel dan Batasan Istilah... 56

D. Sumber Data... 58

E. Alur penelitian, Penyajian Data dan Pembahasan... 59

(14)

BAB V. MODEL KEPRIBADIAN SEHAT DALAM BUDDHISME MAITREYA

(ORANG YANG MENGAKTUALISASIKAN NURANI)... 61

A. Konsep Ajaran Buddhisme Maitreya Dalam Perspektif Kepribadian Sehat... 61

1. Pandangan Buddhisme Maitreya Tentang Hakikat Manusia ( Diri dari Kepribadian Sehat) ... 61

HATI NURANI DAN DINAMIKANYA DALAM PERSPEKTIF PSIKOLOGI... 66

2. Signifikansi Hati Nurani (Kodrat Eksistensi Kepribadian Sehat)... 70

B. Aspek – aspek Kepribadian Sehat Buddhisme Maitreya (Hasil Analisis Kerangka Konseptual Penelitian Pada Data)... 78

1. Dorongan Pada Kepribadian Sehat... 79

2. Fokus Pada Kesadaran atau Ketidaksadaran... 81

3. Tekanan Pada Masa Lampau, Masa Sekarang, Serta Masa yang Akan Datang... 82

4. Tekanan Pada Peningkatan Atau Reduksi Tegangan... 84

5. Sifat Persepsi... 86

6. Peranan Pekerjaan, Tugas – Tugas dan Tujuan Bagi Kepribadian Sehat... 87

7. Hubungan Serta Tanggung Jawab Terhadap Orang Lain... 88

BAB VI KESIMPULAN, SARAN SERTA REFLEKSI... 91

A. Kesimpulan... 91

B. Saran... 92

C. Refleksi... 93

SENARAI ... 94

(15)
(16)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1. Perbandingan sifat-sifat model kepribadian sehat menurut Schlutz... 35 Tabel 2. Aspek-aspek kepribadian sehat... 57 Tabel 3. Pembagian Siginifikansi Hati Nurani dalam Lokus Aktualisasi Serta

Bentuk Aktualisasinya... 78 Tabel 4. Ringkasan Aspek-aspek Kepribadian Sehat Buddhisme Maitreya

(17)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1. Buddha Maitreya... 44 Gambar 2. Komponen-komponen analisis data... 55 Gambar 3. Dinamika Kepribadian Sehat Dalam Konsep Ajaran Buddhisme

(18)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kesehatan adalah hal yang didambakan oleh setiap manusia, baik secara sadar maupun tidak. Sementara orang tidak menyadari pentingnya kesehatan, sampai ketika ia jatuh sakit. Tanpa kesehatan, banyak hal menjadi tidak berarti dan sulit dilakukan. Sebaliknya dengan kesehatan yang baik, maka lebih banyak hal yang bisa dikerjakan dibanding ketika sakit.

Pada masa lampau, para ilmuwan mendefinisikan kesehatan secara sederhana yaitu “tidak adanya gangguan kesehatan atau penyakit”. Akan tetapi, ketika WHO (World Health Organization) didirikan pada tahun 1948, kesehatan didefinisikan sebagai A complete state of physical, mental and social well-being and not merely the absence of disease or infirmity .

Berdasarkan definisi di atas, kita menyadari bahwa individu bisa sehat dalam salah satu aspek kehidupannya (misalnya tekanan darah normal), tapi tidak sehat dalam aspek yang lain (misalnya menderita depresi). Dalam Notosoedirjo dan Latipun (2005), dijelaskan bahwa :

“Sehat mengandung pengertian keadaan yang sempurna secara biopsikososial, lebih dari sekadar terbebas dari penyakit atau kecacatan. Sakit juga mengandung makna biopsikososial, yang meliputi konsep disease (berdimensi biologis),illness (berdimensi psikologis) dansickness (berdimensi sosiologis). Faktor subjektif dan kultural juga turut menentukan konsep sehat dan sakit.” (hal. 11)

(19)

sulit dan menantang. Pikiran, persepsi-persepsi internal, motif-motif pribadi, semuanya bersifat subjektif dan lebih sulit untuk dikuantifikasi.

Sebenarnya, pengertian kesehatan mental sangat banyak, pandangan dari tiap ahli saling melengkapi satu sama lain. Namun demikian, merumuskan pengertian kesehatan mental secara komprehensif bukan suatu hal yang mudah dilakukan. Untuk membantu memahami makna kesehatan mental, terdapat prinsip-prinsip yang dapat dijadikan sebagai pegangan bagi kita (Altrocchi, 1980; Lehtinen, 1989 dalam Notosoedirjo dan Latipun, 2005: 26-27). Prinsip-prinsip kesehatan mental adalah sebagai berikut:

1. Kesehatan mental adalah lebih dari tiadanya perilaku abnormal. Prinsip ini menegaskan bahwa orang yang dikatakan sehat mentalnya tidak cukup kalau dikatakan sebagai orang yang tidak mengalami abnormalitas atau orang yang normal. Karena pendekatan statistik memberikan kelemahan pemahaman normalitas itu. Konsep kesehatan mental lebih bermakna positif ketimbang makna keadaan umum atau normalitas sebagaimana konsep statitistik.

2. Kesehatan mental adalah konsep yang ideal. Prinsip ini menegaskan bahwa kesehatan mental menjadi tujuan yang amat tinggi bagi seseorang. Apalagi disadari bahwa kesehatan mental itu bersifat kontinum. Jadi sedapat mungkin orang mendapatkan kondisi sehat yang paling optimal, dan berusaha terus untuk mencapai kondisi sehat yang setinggi-setingginya.

3. Kesehatan mental sebagai bagian dan karakteristik kualitas hidup. Prinsip ini menegaskan bahwa kualitas hidup seseorang salah satunya ditunjukkan oleh kesehatan mentalnya.

(20)

lebih lanjut dijelaskan bahwa kalangan ahli kesehatan mental telah membuat kriteria-kriteria atau kondisi optimum seseorang dapat dikatakan berada dalam kondisi sehat. Meskipun istilah yang digunakan untuk menyebut kondisi optimum itu berbeda-beda, serta kriteria yang dibuat pun tidak sama secara tekstual, namun memiliki maksud yang sama. Misalnya, Maslow menyebut kondisi optimum itu dengan self-actualization, Rogers menyebutnya fully functioning, Allport memberi nama mature

personality, dan sebagainya.

Penelitian ini memilih menggunakan istilah healthy personality (kepribadian sehat). Istilah healthy personality (kepribadian sehat) dipinjam dari Duane Schultz (1993). Kepribadian sehat yang dimaksud lebih dari sekadar terbebas dari gangguan mental, namun bagaimana seorang manusia memaknai hidupnya secara penuh, merasakan kepenuhan hidup, dan menjadi seorang yang mampu mengaktualisasikan dirinya.

Salah satu kunci untuk memahami kesehatan mental adalah dengan mendefinisikannya dalam konteks kultural, yaitu lahir dari cara pandang sekelompok orang terhadap sebuah fenomena. Dalam hal ini penulis tertarik untuk mengeksplorasi kesehatan mental yang optimal menurut pandangan Buddhisme Maitreya, yaitu model kepribadian sehat dalam konteks konsep ajaran Buddhisme Maitreya.

(21)

langit, bumi, umat manusia, serta laksa benda dan kehidupan. Doktrin inilah yang melatarbelakangi kelahiran Maha Tao Maitreya/Buddhisme Maitreya (Wang Che Kuang, 2002). Buddha Maitreya mengajarkan bahwa hanya dengan mengembangkan keindahan kodrati yang kita miliki sebagai manusia kita dapat mendatangkan keterbebasan dan kebahagiaan pada diri sendiri, kesejahteraan dan kebahagiaan bagi keluarga, kerukunan dan kedamaian bagi masyarakat, kemakmuran, stabilitas, dan kesentosaan bagi negara, terang dan kedamaian bagi dunia.

Lebih lanjut M. S Yen dan M. S Wang (Majalah Maitreyawira, “Visi Tunggal...”, 2004), pemimpin tertinggi Buddhisme Maitreya, mengatakan bahwa “Visi perjuangan umat Maitreya sedunia adalah satu dan sama, yaitu mewujudkan nurani sadar cemerlang dan mewujudkan Bumi Suci Maitreya” (hal. 20). Visi inilah yang menjadi titik akhir dalam perjalanan pembinaan diri bagi umat Maitreya sedunia. Nurani yang sadar cemerlang adalah perwujudan dari keindahan kodrati manusia (baca: kepribadian sehat). Perjuangan mewujudkan keindahan kodrati manusia adalah perjuangan mencemerlangkan nurani, perjuangan selanjutnya yaitu mencemerlangkan nurani orang lain, demikianlah Bumi Suci Maitreya bisa terwujud. Seperti yang dijelaskan oleh M. S Wang (2003), bahwa “hanya dengan mewujudkan keindahan kodrati manusia, maka terciptalah hidup yang bahagia-leluasa dan penuh makna, keluarga yang harmonis sejahtera, masyarakat yang rukun-damai, bangsa yang makmur sentosa dan dunia yang damai bahagia.” (hal. 12).

(22)

B. Perumusan Masalah

Bagaimana model kepribadian sehat dalam konsep ajaran Buddhisme Maitreya tentang kepribadian sehat menurut kerangka konseptual sifat kepribadian sehat dari Schultz?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan konsep ajaran Buddhisme Maitreya tentang kepribadian sehat menurut kerangka konseptual sifat kepribadian sehat dari Schultz.

D. Manfaat Penelitian 1. Teoretis

Berfungsi sebagai pembanding ataupun sebagai pelengkap terhadap teori-teori psikologi pertumbuhan yang sudah ada. Hasil penelitian ini diharapkan bisa memperkaya teori kepribadian dengan menemukan teori-teori yang lebih grounded, yang dikembangkan oleh masing-masing kebudayaan atau kelompok tertentu.

2. Praktis

(23)

BAB II

KEPRIBADIAN SEHAT

A. Tinjauan umum

Pada bagian teoretis mengenai kepribadian sehat ini, penulis ingin memperjelas konsep mengenai kepribadian sehat yang diacu oleh penulis. Disini penulis mengacu pada konsep yang digunakan oleh Duane Schultz (1993) yang menggunakan istilah healthy personality/kepribadian sehat untuk menggambarkan tingkat kesehatan psikologis yang paling sempurna. Jadi kepribadian sehat yang dimaksud adalah optimalisasi dari kesehatan mental.

Studi tentang healthy personality (kepribadian sehat) tampak diabaikan pada masa awal perkembangan ilmu psikologi tradisional, yaitu psikoanalisis dan behaviorisme. Baik psikoanalisis maupun behaviorisme tidak berbicara mengenai potensi kita untuk bertumbuh, namun yang menjadi perhatian adalah memeriksa sakit jiwa bukan kesehatan jiwa yang optimal. Akan tetapi dalam beberapa dekade belakangan ini, studi-studi dan ahli psikologi yang mempelajari potensi manusia untuk bertumbuh dan berkembang telah meningkat.

Ahli-ahli psikologi pertumbuhan ini (kebanyakan dari mereka lebih senang disebut sebagai ahli psikologi humanistik) memiliki suatu pandangan yang segar terhadap kodrat manusia. Apa yang mereka lihat terhadap manusia berbeda dari apa yang digambarkan oleh behaviorisme dan psikoanalisis. Seperti yang dikatakan oleh Eddington dan Shuman (2005):

(24)

Selanjutnya Eddington dan Shuman (2005) juga menyatakan bahwa “Healthy personality has proven to be a difficult and elusive concept to define” (hal. 2).

Pernyataan ini menunjukkan bahwa hanya terdapat sedikit persesuaian pendapat di kalangan ahli-ahli psikologi yang mempelajari bidang ini. Hal yang dapat dicapai pada tingkat pengetahuan kita adalah meneliti konsepsi-konsepsi tentang kesehatan psikologis yang positif itu, kemudian melihat apa yang dikatakan oleh konsepsi-konsepsi itu tentang diri kita (Schultz, 1993).

B. Pandangan Para Ahli Psikologi Pertumbuhan

Para ahli psikologi pertumbuhan di dunia Barat telah membahas orang-orang dengan kesehatan mental yang optimal. Dalam bukunya, Schultz (1993) memaparkan tujuh model kepribadian sehat menurut tujuh orang ahli psikologi, yang disebutnya para ahli psikologi pertumbuhan atau psikologi humanistik. Model-model kepribadian sehat itu antara lain dikemukakan oleh: Gordon Allport, Carl Rogers, Erich Fromm, Abraham Maslow, Carl Jung, Viktor Frankl, dan Fritz Perls.

Selanjutnya penulis akan membicarakan model-model kepribadian sehat ini. Teori-teori mereka ini dipilih karena mereka tergolong ke dalam mainstream psikologi pertumbuhan. Teori-teori mereka tergolong diantara pendirian-pendirian yang diakui dan dikembangkan secara lebih lengkap dan pengaruhnya terhadap perkembangan ilmu psikologi pada saat ini cukup besar.

1. Model Allport (Orang Yang Matang)

(25)

kekuatan untuk mengontrol kehidupan mereka, dalam tingkat yang rasional dan sadar ke arah masa depan. Sebaliknya orang-orang yang neurotik terikat oleh masa kanak-kanak dan pengalaman-pengalaman traumatik mereka. Alih-alih membuat sebuah garis kontinum antara orang yang neurotik dan sehat, Allport malah melihat sebuah jurang atau dikotomi antara orang yang neurotik dan sehat. Hal ini karena Allport melihat tidak ada kesamaan fungsional antar orang yang neurotik dan orang yang sehat, mereka berbeda dalam jenisnya, bukan dalam tingkatnya (Schultz, 1993: 20).

Allport menekankan pentingnya menerangkan motivasi bagi ahli-ahli yang ingin mempelajari kepribadian, karena motif-motif orang dewasa adalah otonom secara fungsional (functionally outonomous) terhadap masa kanak-kanak (Schultz, 1993: 20). Orang yang matang (baca: sehat) akan membuat rencana-rencana yang sesuai dengan cita-cita, aspirasi dan harapan-harapan mereka. Meskipun tidak terikat oleh masa lalu, tapi pandangan mereka terhadap dunia adalah objektif, dan sesuai realitas. Hal ini berarti mereka tetap belajar dari masa lampau, namun tidak berfokus pada masa lampau, dan tidak terikat oleh pengalaman-pengalaman traumatik di masa lampau.

Yang terpenting bagi kepribadian yang sehat adalah bagaimana mencari suatu arah ke masa depan, dimana mereka dapat menuangkan aspirasi-aspirasi, harapan-harapan, dan cita-cita mereka ke dalamnya. Perjuangan untuk mewujudkan semua itu mendorong orang yang matang untuk semakin bertumbuh dan berkembang (bukan sekedar reduksi tegangan). Allport (1955, dalam Eddington dan Shuman, 2005), menjelaskan: The possession of long-range goals, regarded as central to one s personal existence, distinguishes the human from the animal, the adult from the child,

(26)

henti-hentinya menyibukkan diri dalam mengejar tujuan-tujuan yang pada akhirnya tidak tercapai sepenuhnya” (dalam Schultz 1993: 24).

Memang tujuan-tujuan yang dicita-citakan oleh orang yang sehat pada dasarnya tidak dapat dicapai (Schultz, 1993: 23). Hal ini tampak menjadi suatu paradoks bagi orang dengan kepribadian sehat, tetapi begitulah kenyataannya. Tujuan akhir bagi orang yang matang ini pada dasarnya memang tidak pernah dapat dicapai. Yang dapat dicapai adalah subtujuan-subtujuan dari tujuan yang sebenarnya.

Karena manusia yang sehat memiliki kebutuhan terus-menerus akan variasi, akan sensasi-sensasi dan tantangan baru (lihat Schultz, 1993: 22), maka dapat dibayangkan kalau tujuan-tujuan terakhir sudah tercapai, sama halnya dengan perahu layar yang tidak memiliki angin lagi untuk berlayar, tenaga pendorongnya telah hilang. Oleh karena itu Allport mengemukakan prinsip untuk menjelaskan kebutuhan dalam menemukan motif-motif baru apabila ternyata motif-motif yang ada ternyata tidak cukup atau tidak cocok lagi. Dia menyebutnya principle of organizing the energy level . Orang yang matang dan sehat terus-menerus membutuhkan motif-motif

kekuatan dan daya hidup yang cukup untuk menghabiskan energinya (Schultz, 1993: 24). Prinsip ini juga dipakai Allport untuk menjelaskan kenakalan dan kriminalitas yang dilakukan oleh anak remaja. Menurut Allport mereka tidak mempunyai jalan untuk menyalurkan energinya secara konstruktif, sehingga energi keluar melalui jalan destruktif.

(27)

Tujuh kriteria kematangan berikut ini merupakan pandangan-pandangan Allport tentang sifat-sifat khusus dari kepribadian sehat (Schultz, 1993: 30-36):

1. Perluasan perasaan diri

Disini Allport mengemukakan pentingnya seorang individu yang ingin menjadi matang dan sehat untuk mengembangkan perhatian di luar dirinya. Disini Allport sedikit menyamakan ‘perhatian’ dengan ‘diri’. Dengan meluaskan perhatian yang awalnya hanya berpusat pada individu, maka dirinya pun ikut meluas dan berkembang. Perluasan perasaan diri meliputi tidak hanya benda-benda dan orang-orang disekitar individu, namun juga meliputi nilai-nilai, cita-cita, dan terutama yang ditekankan oleh Allport adalah aktivitas.

Orang harus menjadi partisipan yang langsung dan penuh. Allport menamakan hal ini “partisipasi otentik yang dilakukan oleh orang dalam beberapa suasana yang penting dari usaha manusia” (dalam Schultz, 1993: 30). Penting bagi seorang individu yang sehat dan matang untuk melibatkan diri dalam aktivitas yang relevan dan penting bagi dirinya. Ketika aktivitas-aktivitas itu mendukung tercapainya tujuan-tujuan hidup, menciptakan perasaan yang berharga pada diri, maka saat mengerjakannya akan membuat individu menjadi sehat secara psikologis. Perasaan partisipasi otentik ini berlaku bagi aktivitas kita dengan orang-orang terdekat, spritualitas, serta nilai-nilai yang kita anut, sehingga ini dapat menjadi perluasan perasaan diri.

2. Hubungan diri yang hangat dengan orang-orang lain

(28)

melibatkan dirinya secara penuh ke dalam orang-orang di sekitarnya, ini berarti orang-orang itu adalah orang-orang yang mendukung tujuan hidupnya, yang membuat hidupnya menjadi berharga. Maka bagi individu yang sehat dan matang memberi cinta untuk orang-orang di sekitarnya sama pentingnya dengan kesejahteraannya sendiri. Oleh karena itu cinta dari orang yang matang tidak bersyarat, tidak melumpuhkan dan tidak mengikat. Untuk dapat mencintai dengan sepenuh hati dan memperlihatkan kapasitas keintiman, maka seorang individu harus mempunyai perasaan identitas diri yang berkembang dengan baik.

Jenis lain dari kehangatan hubungan diri dengan orang-orang lain adalah sejenis perasaan empati yang meluas yang disebut ‘perasaan terharu’. Schultz (1993: 31) menjelaskan bahwa perasaan terharu, tipe kehangatan yang kedua adalah suatu pemahaman tentang kondisi dasar manusia dan perasaan kekeluargaan dengan semua bangsa. Dengan memiliki kapasitas perasaan terharu ini, maka orang yang matang mampu memaklumi setiap tingkah laku orang-orang lain. Dia mampu menerima kesalahan-kesalahan orang lain dan memahami sifat universal dari pengalaman-pengalaman dasar manusia.

3. Keamanan emosional

Keamanan emosional yang merupakan sifat ketiga dari kepribadian sehat ini dtandai dengan penerimaan diri yang baik. Orang yang sehat dan matang akan mampu menerima kelemahan dan kekuatan yang ada pada diri mereka, namun tidak berarti membuat mereka menjadi menyerah terhadap keadaan diri mereka. Orang yang matang dan sehat juga mengenali dan mampu mengontrol emosi-emosi mereka, sekaligus menyalurkannya dengan cara yang konstruktif, bukan direpresikan atau disalurkan dengan cara yang destruktif.

(29)

ketakutan-ketakutan hidup dan ancaman-ancaman terhadap ego mereka. Berarti mereka telah memiliki perasaan dasar akan keamanan, terutama keamanan emosional.

4. Persepsi realistis

Orang-orang yang sehat akan melihat dunia sebagaimana adanya, baik ataupun buruk dapat dibedakan dengan jelas. Mereka dapat mengontrol prasangka pribadi, perasaan-perasaan, serta kebutuhan-kebutuhan mereka supaya tidak mendistorsi realitas yang mereka hadapi. Dengan kata lain orang yang sehat melihat dunia secara objektif sedangkan orang sakit mencampurkan khayalan mereka ke dalam realitas. 5. Ketrampilan-ketrampilan dan tugas-tugas

Disini Allport menekankan pentingnya mempunyai pekerjaan-pekerjaan yang baik, yang memerlukan komitmen dan dedikasi yang tinggi. Hal ini akan membuat orang menjadi lebih sehat dan matang. Dengan melakukan pekerjaan atau aktivitas yang bernilai dan memerlukan komitmen dan dedikasi, akan memberikan perasaan kontinuitas dan perasaan positif untuk hidup.

6. Pemahaman diri

Orang-orang yang matang dan sehat akan menuju ke arah pemahaman diri yang baik. Hal ini terutama juga ditunjang oleh keterbukaannya pada pendapat orang lain dalam merumuskan gambaran dirinya yang objektif. Diri dapat dibedakan sebagai diri yang menurut keadaan sesungguhnya, diri menurut gambaran yang dimiliki oleh individu itu sendiri, dan diri menurut pendapat orang lain. Semakin dekat hubungan ketiga gagasan ini, maka individu akan semakin matang.

(30)

7. Filsafat hidup yang mempersatukan

Sifat ketujuh yang digambarkan Allport tentang kepribadian sehat dan matang ini adalah tentang nilai-nilai yang dimiliki individu, serta pengaruhnya dalam memberi “arah” (directness) bagi individu tersebut. Nilai-nilai itu mungkin berupa tujuan-tujuan, cita-cita, aspirasi, harapan-harapan yang diperjuangkan oleh individu tersebut. Perjuangan itulah yang penting bagi orang yang sehat dan matang. Adanya arah dan tujuan ke masa depan akan menyatukan semua segi kehidupan, serta memberi suatu keberhargaan dan perasaan kontinuitas pada kehidupan. Suara hati ikut berperan dalam memilih nilai-nilai. Suatu filsafat hidup yang mempersatukan hanya akan tercipta oleh suara hati yang matang, yang bisa memilih nilai-nilai yang cukup kuat untuk menyatukan semua segi kehidupan. Schultz (1993: 36) menjelaskan bahwa suara hati yang matang adalah suatu perasaan kewajiban dan tanggung jawab kepada diri sendiri dan kepada orang-orang lain, yang berakar dalam nilai-nilai agama atau nilai-nilai etis.

2. Model Rogers (Orang Yang Berfungsi Sepenuhnya)

Rogers, sama seperti Allport, menekankan pentingnya kesadaran bagi kepribadian yang sehat. Yang berbeda adalah bahwa dorongan yang kuat pada kepribadian yang sehat menurut Allport adalah tujuan ke masa depan, sedangkan menurut Rogers kecenderungan aktualisasi diri. Aktualisasi diri adalah proses menjadi diri sendiri dan mengembangkan sifat-sifat serta potensi-potensi psikologis yang unik (Schultz, 1993: 46).

(31)

tergantung pengalaman yang dialaminya. Menurut Rogers persepsi yang unik terhadap realitas merupakan hal nyata dan penting bagi setiap orang. Oleh karena itu setiap orang harus dipahami dan diperiksa melalui pengalaman-pengalaman subjektifnya sendiri (Schultz, 1993).

Dorongan untuk tumbuh dan berkembang bukan semata-mata berasal dari usaha untuk mereduksikan tegangan ataupun untuk mempertahankan keseimbangan homeostatis. Kecenderungan aktualisasi diri merupakan dorongan utama pada diri individu untuk tumbuh dan berkembang dan jauh lebih kuat daripada rasa sakit dan perjuangan. Rogers membandingkannya dengan perjuangan dan rasa sakit yang terjadi pada anak yang belajar berjalan. Meskipun berkali-kali jatuh dan merasa sakit, namun anak itu tetap berusaha untuk berjalan lagi. Hal inilah yang disebut sebagai kecenderungan aktualisasi oleh Rogers (Schultz, 1993: 44).

(32)

Ada tiga hal yang dikemukakan Rogers (Schultz, 1993: 50-51) mengenai aktualisasi diri. Pertama, aktualisasi diri lebih merupakan sebuah arah, sebuah proses. Aktualisasi diri adalah kondisi yang tidak pernah selesai dan tidak statis sampai akhir hayat. Kedua, aktualisasi diri bukanlah proses yang mudah untuk dijalani. Seringkali proses itu menyakitkan dan penuh dengan ujian, namun ini adalah proses yang menantang dan membuat kehidupan menjadi lebih kaya dan berarti. Oleh karena itu Rogers menyatakan bahwa kebahagiaan bukan suatu tujuan dalam diri orang yang mengaktualisasikan diri tersebut. Ketiga, orang-orang yang mengaktualisasikan diri tidak hidup di dalam topeng-topeng ketika menghadapi realitas. Mereka adalah diri mereka sendiri, apa adanya. Mereka dapat hidup menurut arah dan jalan yang dipilih oleh mereka sendiri. Meskipun masyarakat atau orang tua dapat memberi nilai-nilai kepada mereka, tetapi mereka bebas untuk memilih apa yang akan mereka ambil dan jalani. Meskipun demikian Rogers mengatakan bahwa mereka tetap dapat hidup dan berprilaku dalam batas-batas sanksi dan garis-garis pedoman yang jelas dari masyarakat.

Rogers (dalam Schultz, 1977: 51-55) memberikan lima sifat dari orang-orang yang berfungsi sepenuhnya, yaitu:

1. Keterbukaan pada pengalaman

(33)

Dalam keadaan seperti itu diharapkan individu dapat hidup dan bertingkah laku sesuai potensi kodrat aslinya dan mengalami lebih banyak pengalaman emosional yang lebih mendalam daripada orang yang defensif.

2. Kehidupan eksistensial

Kehidupan eksistensial atau hidup secara eksistensial (existential living), sifat kedua dari fully functioning person, berarti individu dapat merasakan bahwa setiap momen kehidupan memiliki kekayaan dan keunikan yang terus-menerus dan senantiasa dirasa baru dan segar. Setiap momen adalah unik, belum pernah ada dalam cara yang persis sama. Setiap saat yang ada dalam hidup akan dijalani dengan sepenuh-penuhnya sebagai sesuatu yang memiliki makna dalam hidup. Individu akan menjadi pusat pengalaman yang aktif bagi dunianya yang senantiasa berubah. Setiap masa sekarang dialami sebagai proses yang terus berubah dan terus mengalir ke masa depan. Mengalami sesuatu secara eksistensial berarti seperti hidup dalam kapal yang mengikuti aliran sungai yang terus berubah. Setiap detik akan memberikan pengalaman baru, ketika individu mampu menarik makna dari setiap momen kehidupan. Inilah yang membuat kehidupannya menjadi kaya dan berarti. Individu rela menjadi suatu proses, merespons setiap kemungkinan-kemungkinan yang berkembang dan tidak akan puas tinggal dalam struktur kaku yang sudah ada.

3. Kepercayaan terhadap Organismenya sendiri

(34)

tekanan-tekanan dari orang lain (persetujuan, kritk, celaan, maupun dorongan). Kepercayaan organismik menekankan perasaaan-perasaan batin sebagai dasar pokok untuk mengambil keputusan-keputusan yang baik. Dengan demikian mereka lebih berhati-hati dan bisa memperhitungkan semua segi yang relevan dalam mengambil keputusan.

4. Perasaan Bebas

Sifat kepribadian sehat dari fully functioning person yang keempat adalah perasaan bebas (a sense of freedom). Sebenarnya sifat ini sudah terkandung dalam sifat-sifat yang telah dibicarakan di atas. Rogers melihat bahwa berdasarkan konteks pengalaman pribadi, manusia adalah pusat dan aktor kebebasan yang seharusnya merencanakan arah hidupnya sendiri dan menciptakan makna hidup pribadinya. Dengan adanya perasaan bebas maka individu yang sehat dapat melihat banyak kemungkinan yang bisa dipilih dalam kehidupannya dan akan bertanggung jawab atas tindakannya beserta segala konsekuensi yang ditimbulkannya. Sebaliknya orang yang defensif (tidak sehat) yang tidak memiliki perasaan bebas melihat keterbatasan-keterbatasan dalam pilihan hidupnya, karena merasa dikontrol oleh kekuatan luar. Dengan demikian ia tidak akan siap untuk bertanggung jawab terhadap keputusannya sendiri.

5. Kreativitas

(35)

dengan tekanan-tekanan sosial dan kultural.

3. Model Fromm (Orang Yang Produktif)

Dalam Schultz (1993: 63), dijelaskan bahwa Fromm melihat kepribadian hanya sebagai suatu produk kebudayaan, karena itu dia percaya bahwa kesehatan jiwa harus didefinisikan menurut bagaimana baiknya individu-individu menyesuaikan diri dengan masyarakat. Yang terpenting adalah bagaimana sebuah masyarakat dapat memuaskan kebutuhan-kebutuhan anggotanya. Masyarakat yang sehat akan menghasilkan manusia-manusia yang sehat, sebaliknya masyarakat yang sakit akan menghasilkan individu-individu yang tidak produktif, tidak sehat dan penuh dengan permusuhan.

Fromm melihat irasionalitas masyarakat ketika terjadi Perang Dunia I. Fromm melihat bagaimana suatu kekuatan yang berlandaskan sosio-ekonomi, politik dan historis-budaya sewaktu Perang Dunia I itu menjadi sebab terjadinya kekejaman antar sesama manusia. Setiap anggota masyarakat yang hidup dalam kekuatan itu mau tidak mau terpengaruh dan menjadi masyarakat penuh dengan kecurigaan, ketidakpercayaan dan permusuhan. Fromm mempelajari hal ini lebih dalam pada ahli-ahli terkemuka dalam bidang ekonomi, sosial, dan politik seperti Karl Marx, Max Weber dan Hebert Spencer.

Karena kesehatan jiwa seorang individu tergantung dari masyarakat dimana dia berada, maka tentunya definisi kesehatan jiwa ini dapat berbeda-beda pada setiap masyarakat, sesuai dengan waktu dan tempat yang berbeda-beda. Dalam penelitiannya yang mendalam terhadap sejarah panjang spesies manusia, Fromm mengemukakan banyak tingkah laku yang dianggap sehat pada suatu masa, namun tidak sehat pada masa yang lain.

(36)

dasarnya adalah sama, yang berbeda adalah cara bagaimana kebutuhan itu dipuaskan. Kebutuhan-kebutuhan itu misalnya kebutuhan fisiologis dasar, seperti makan, minum seks dan beristirahat. Namun pada manusia ada kebutuhan-kebutuhan psikologis yang tidak ada atau sedikit dimiliki oleh organisme lain. Dalam Schultz (1993: 66) dijelaskan bahwa orang-orang yang sehat memuaskan kebutuhan-kebutuhan psikologis secara kreatif dan produktif, sementara orang-orang yang sakit memuaskan kebutuhan-kebutuhan tersebut dengan cara-cara yang irasional. Produktif disini berarti menggunakan seluruh kemampuan dalam usaha memenuhi kebutuhan psikologis. Mereka menjadi diri mereka sekuat kemampuan mereka untuk menjadi, menggunakan seluruh kapasitas mereka untuk berkembang.

Fromm (dalam Schultz 1993: 66-70) mengemukakan 5 kebutuhan yang berasal dari dikotomi kebebasan dan keamanan. Dalam 5 kebutuhan ini kita dapat melihat bagaimana cara orang yang sehat memuaskan kebutuhan ini serta bagaimana orang yang sakit memuaskan kebutuhannya.

1. Hubungan (Relatedness)

Yang dimaksud Fromm dengan kebutuhan ‘hubungan’ ini adalah cara kita dalam berhubungan dengan dunia, dengan alam beserta orang-orang di sekitar kita. Cara yang sehat dalam berhubungan dengan dunia ini adalah melalui ‘cinta’ (love). Cinta yang dimaksud Fromm lebih luas dari sekadar cinta asmara antara dua orang muda-mudi, tetapi meliputi juga solidaritas kepada semua orang, mencintai mereka, juga termasuk mencintai diri sendiri. Sedangkan cara yang tidak sehat dalam berhubungan dengan dunia adalah ‘bersikap tunduk’ (submissive) kepada dunia atau dengan bersikap ‘menguasainya’ dengan memaksa orang lain tunduk kepadanya.

2. Transendensi (Transcendence)

(37)

menjadi arsitek bagi kehidupannya sendiri. Kebutuhan ini dapat juga diartikan sebagai kebutuhan untuk berkreativitas. Tentu saja cara yang sehat dalam memuaskan kebutuhan ini tidak lain adalah dengan ‘mencipta’. Namun jika manusia tidak mampu untuk berkreativitas, tidak mampu untuk mencipta, maka jalan lain yang tidak sehat adalah ‘destruktivitas’. Ketika orang tidak mampu untuk mencipta sebagai jalan dalam menyikapi kodratnya, mengatasi keadaan pasif, maka dia akan terdorong untuk bersikap merusak atau destruktif.

3. Berakar (Rootedness)

Menurut Fromm manusia telah lama terpisah dengan alam, karena telah mengatasi alam. Akibatnya adalah terputusnya ikatan dengan alam, dan tanpa ikatan-ikatan ini manusia menjadi tidak berdaya. Dalam teorinya, Fromm menyebut hakikat keberadaan manusia adalah kesepian dan ketidakberartian (loneliness and insignificance). Oleh karena itu perlu dibangun ikatan-ikatan baru untuk menyatu

(38)

4. Perasaan Identitas (A sense of Identity)

Meskipun manusia perlu senantiasa berhubungan dengan dunia, namun ia juga membutuhkan perasaan untuk bisa menampilkan dirinya yang unik, yang berbeda, yang bisa mencirikan keberadaannya sebagai individu yang terpisah dengan orang lain dalam hal yang pribadi. Manusia butuh personalitas untuk mengembangkan dirinya. Cara yang sehat dalam memuaskan kebutuhan ini menurut Fromm (dalam Schultz 1993: 69) adalah ‘individualitas’ (individuality), yaitu proses dimana seseorang mencapai suatu perasaaan tertentu tentang identitas dirinya. Lebih lanjut Fromm menjelaskan bahwa cara yang sehat untuk mencapai individualitas ini tidak lain adalah dengan memutuskan ikatan-ikatan sumbang yang ada pada diri individu. Sebaliknya, cara yang tidak sehat dalam mencapai perasaan identitas ini adalah ‘menyesuaikan diri’ dengan sifat-sifat suatu bangsa, ras, agama, atau pekerjaan. Dalam hal ini individu hanya meminjam nilai-nilai dari kelompok, sehingga identitas yang didapat adalah identitas kelompok, bukan identitas diri yang asli.

5.Kerangka orientasi (A Frame of Orientation)

Kerangka orientasi adalah semacam kacamata yang digunakan individu untuk memaknai dan memahami gejala yang ada pada dunia di sekitarnya. Dalam Schultz (1993: 70 ) dikatakan bahwa dasar yang ideal (sehat) untuk kerangka orientasi adalah ‘pikiran’, yakni sarana yang digunakan seseorang untuk mengembangkan suatu gambaran realistis dan objektif tentang dunia. Sedangkan cara yang tidak ideal (tidak sehat) adalah lewat ‘irasionalitas’, yakni orang menggunakan pandangan yang subjektif ketika melihat dunia. Dunia dengan segala macam peristiwa dan gejalanya tidak dilihat sebagaimana adanya karena terdistorsi oleh motif-motif yang ada pada diri individu.

(39)

mencintai sepenuhnya, kreatif, memiliki kemampuan-kemampuan pikiran yang sangat berkembang, mengamati dunia dan diri secara objektif, memiliki suatu perasaan identitas yang kuat, berhubungan dan berakar di dunia, subjek atau pelaku dari diri dan nasib, dan bebas dari ikatan-ikatan sumbang.

Ada empat segi dalam kepribadian sehat yang ditambahkan oleh Fromm (Schultz 1993: 72-73), yaitu cinta yang produktif, pikiran yang produktif, kebahagiaan, dan suara hati.

Cinta yang produktif adalah cinta yang tidak mengikat, yaitu ketika seorang individu menjalin hubungan dengan sesamanya ia masih dapat mempertahankan identitas dirinya. Melalui cinta ini, individu bisa semakin mengembangkan dirinya dan menjadi lebih terbuka. Menurut Fromm cinta yang produktif tidak mudah untuk dilakukan, karena cinta yang produktif meliputi juga empat sifat yang menantang yaitu: perhatian, tanggung jawab, respek (rasa hormat) dan pengetahuan. Ketika seorang individu benar-benar mau melakukan cinta yang produktif, maka berarti ia mau memberikan perhatian yang penuh terhadap orang lain. Memperhatikan perkembangan mereka dan turut memikul tanggung jawab atas diri mereka, dalam artian siap mendengarkan kebutuhan-kebutuhan mereka. Respek dan pengetahuan berarti menghormati individu yang dicintai serta memiliki pengetahuan akan diri mereka sehingga individu dihormati sesuai dengan individualitas mereka apa adanya.

Pikiran yang produktif tercapai ketika seorang individu mau mencurahkan seluruh kemampuannya untuk melihat objek dan masalah secara menyeluruh, objektif, penuh rasa hormat, penuh pertimbangan, perhatian yang mendalam (ketelitian), serta mampu berpikir secara cerdas.

(40)

sampingan dari kepribadian sehat. Fromm menyatakan bahwa kehidupan produktif akan menghasilkan kebahagiaan.

Suara hati dibedakan menjadi dua, suara hati sehat yang disebut suara hati humanistis dan suara hati tidak sehat yang disebut suara hati otoriter. Suara hati humanistis adalah suara hati yang berasal dari diri internal individu. Suara hati ini akan membimbing individu dalam melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang cocok dengan dirinya. Sebaliknya suara hati otoriter berasal dari kekuatan luar yang kemudian terinternalisasi dalam diri individu. Kekuatan luar itu bisa siapa saja atau apa saja yang punya kekuasaan pada diri individu. Suara hati otoriter ini akan menghambat pertumbuhan yang penuh dari individu karena suara hati ini seringkali tidak cocok dengan keadaan diri individu yang sesungguhnya.

4. Model Maslow (Orang Yang Mengaktualisasikan Diri)

Agak berbeda dengan ahli yang lain, Maslow mendasarkan penelitiannya tentang kepibadian sehat pada orang yang benar-benar ‘terpilih’, yaitu orang-orang yang tampaknya extremely healthy atau the healthiest personalities. Dia percaya, dengan mempelajari orang-orang ini dia akan memperoleh informasi tentang sifat-sifat kepribadian sehat yang paling dalam dan lengkap dari diri manusia. Maslow memulai penyelidikannya tentang orang-orang yang bermental sehat ini bukan sebagai suatu proyek ilmiah, melainkan sekadar sebagai upaya memuaskan rasa ingin tahunya. Ia tidak sadar bahwa ternyata hasil yang didapatkan akan begitu menakjubkan. Meski penelitian itu sendiri jauh dari persyaratan metodologi penelitian yang ilmiah, namun hasil-hasilnya tetap bernilai penting dan berguna (Goble, 1987).

(41)

maupun kebutuhan lain yang lebih tinggi seperti estetika, cinta dan aktualisasi diri. Setiap kebutuhan bersifat hirarkis. Artinya setiap kebutuhan harus dipuaskan terlebih dahulu, atau paling tidak sebagian, baru bisa mencapai kebutuhan lain yang lebih tinggi. Yang terakhir adalah kebutuhan aktualisasi diri. Hirarki kebutuhan itu adalah (Eddington dan Shuman, 2005): (1) kebutuhan-kebutuhan fisiologis (physiological needs); (2) kebutuhan akan rasa aman (safety needs); (3)

kebutuhan akan memiliki dan cinta (love and belonging needs); (4) kebutuhan-kebutuhan akan penghargaan (esteem needs); (5) kebutuhan-kebutuhan-kebutuhan-kebutuhan kognitif (cognitive needs); (6) kebutuhan-kebutuhan estetika (aesthetic needs); dan (7) kebutuhan-kebutuhan akan aktualisasi diri (self-actualizing needs).

Kebutuhan-kebutuhan itu janganlah dipandang kaku. Meskipun bersifat hirarkis, namun tidak dapat dijamin bahwa kebutuhan-kebutuhan akan rasa aman tidak akan muncul sebelum kebutuhan akan makanan terpuaskan sepenuhnya, atau bahwa kebutuhan akan cinta akan muncul sebelum kebutuhan akan rasa aman terpenuhi. Kebanyakan orang di dalam masyarakat telah mampu memuaskan sebagian besar kebutuhan-kebutuhan dasar mereka meski belum secara penuh, dan masih ada beberapa kebutuhan dasar yang belum terpuaskan sama sekali. Kebutuhan-kebutuhan dasar yang sama sekali belum terpuaskan itulah yang memiliki pengaruh terbesar pada tingkah laku. Begitu terpuaskan, maka suatu kebutuhan tidak lagi memiliki pengaruh yang berarti pada motivasi.

(42)

Sehubungan dengan motivasi orang yang mengaktualisasikan diri, Maslow menulis (Schultz, 1993) “motif yang paling tinggi ialah tidak didorong dan tidak berjuang”(hal. 94). Orang-orang yang sangat sehat ini bukannya didorong-dorong oleh kebutuhan mereka, atau pun karena ada suatu tegangan yang perlu direduksikan, namun mereka bergerak sendiri ke arah kepribadian sehat karena mereka berkembang. Maslow menyebut dorongan pada pengaktualisasi-pengaktualisasi diri

ini metamotivation, sedangkan dorongan yang didasarkan pada kekurangan atau karena ada yang tidak beres pada organisme disebut deficiency motivation atau D-motivation.

Ada kalimat yang bagus dari Maslow (1967, dalam Eddington dan Shuman, 2005) yang cukup baik untuk menggambarkan apa itu aktualisasi diri: If you deliberately plan to be less than you are capable of being, then I warn you that you ll

be unhappy for the rest of your life. (hal. 2). Orang yang mengaktualisasikan diri adalah orang yang menjadi sekemampuan mereka untuk menjadi dan berkembang. Mereka mengungkapkan diri mereka sebagai manusia yang mengalami kepenuhan, spontanitas, keunikan dan kegembiraan.

Dalam Schultz (1993: 95) diungkapkan bahwa orang-orang yang sangat sehat (pengaktualisasi-pengaktualisasi diri) memperhatikan kebutuhan-kebutuhan yang lebih tinggi: memenuhi potensi-potensi mereka dan mengetahui serta memahami dunia sekitar mereka.

(43)

pengalaman-pengalaman mistik atau puncak; (9) minat sosial; (10) hubungan antarpribadi; (11) struktur watak demokratis; (12) perbedaan antara sarana dan tujuan, antara baik dan buruk; (13) perasaan humor yang tidak menimbulkan permusuhan; (14) kreativitas; dan (15) resistensi terhadap inkulturasi.

5. Model Jung (Orang Yang Terindividuasi)

Teori kepribadian Jung pada awalnya bermula dari psikoanalisis, karena memang dari aliran psikologi inilah dia pertama kali mengenal psikologi, namun kemudian akhirnya ia berpisah dengan Freud dan psikoanalisis. Meskipun teori kepribadian Jung biasanya dipandang sebagai teori psikoanalitik karena tekanannya pada proses-proses tak sadar (dalam hal ini ia bahkan melebihi psikoanalisis), namun berbeda dalam sejumlah hal penting dengan teori psikoanalisis Freud. Pandangan Jung tentang kepribadian adalah prospektif dalam arti bahwa ia melihat ke masa depan atau ke arah garis perkembangan individu di masa depan dan retrospektif dalam arti bahwa ia memperhatikan masa lampau.

Ciri khas dari teori Jung ialah tekanannya yang kuat pada dasar-dasar ras dan filogenetik kepribadian. Kepribadian adalah hasil warisan akumulatif dari generasi terdahulu. Manusia saat ini dibentuk dari pengalaman-pengalaman kumulatif nenek moyangnya yang merentang jauh ke belakang. Jung menyelidiki sejarah manusia untuk mengungkap apa saja yang bisa diungkapnya tentang asal-usul ras dan evolusi kepribadian (Schultz, 1993).

(44)

bebas. Proses ini adalah proses menjadi diri atau realisasi diri, perkembangan diri ke arah kesatuan yang stabil.

Dalam tulisan-tulisannya, Jung tidak menyajikan suatu daftar yang eksplisit tentang orang yang terindividuasi ini, namun gambaran-gambarannya tersebar dalam tulisan-tulisannya. Dalam Schultz (1993: 135-140) disajikan beberapa sifat dan karakteristik yang menyertai proses individuasi pada seseorang. Schultz tidak menyajikan sifat-sifat ini dalam poin-poin yang tersusun rapi, akan tetapi berupa deskripsi yang tersebar dalam paragraf-paragraf. Sejumlah sifat itu adalah sebagai berikut:

1. Menyadari segi-segi diri yang telah diabaikan. Syarat pertama dalam proses individuasi adalah individu menyadari segi-segi dalam dirinya yang telah diabaikan, yaitu kekuatan-kekuatan ketidaksadaran dalam diri kita. Untuk itu kita harus berjuang dalam mengenali ketidaksadaran, menghadapinya dengan terbuka dan tanpa syarat. Dalam Schultz (1993: 136) dijelaskan bahwa kita harus membawa suara ketidaksadaran kepada kesadaran kita, mendengar, menerima, dan mengikuti apa yang dikatakannya kepada kita. Bukan hanya ketidaksadaran, namun kita juga harus menyadari setiap segi kepribadian kita, setiaparchetypus, dan membawanya ke dalam suatu kesimbangan yang harmonis. Bahkan kita juga tidak hidup dengan faktor-faktor yang murni rasional saja, Jung menulis (dalam Schultz, 1993) “kita tidak akan pernah mengidentifikasikan diri kita dengan pikiran karena manusia tidak pernah akan menjadi makhluk pikiran saja” (hal. 136).

(45)

bisa dilepaskan, karena dalam individuasi tidak ada satu fungsi atau satu sikap pun yang dominan. Semua sisi kepibadian yang pernah ada tidak boleh lagi mendominasi, namun harus di imbangi dengan segi kepribadian yang selama ini diabaikan. Semua segi kepribadian ini dibawa ke dalam suatu keseimbangan yang harmonis.

Perubahan dalam orang-orang yang menuju individuasi itu antara lain berupa perubahan pada kodrat archetypus-archetypus mereka. Ada empat archetypus utama yang diperkenalkan oleh Jung, yaitu persona, bayang-bayang,anima/animus, dan diri. Menurut Jung kita harus menerima semua perubahan pada archetypus kita, dimulai dari pelepasan persona (topeng-topeng) yang selama ini kita pakai. Lalu kita juga harus bisa menerima kekuatan-kekuatan bayang-bayang, baik yang bersifat destruktif maupun yang bersifat konstruktif. Kemudian kita harus menerima biseksualitas kita (anima dan animus). Kedua sisi kepribadian dalam diri kita harus diungkapkan untuk mengganti dominasi yang eksklusif dari salah satu pihak. Dengan pengungkapan ini maka orang-orang yang terindividuasi akan mencapai suatu tingkat pengetahuan diri yang tinggi dalam semua segi kepribadian mereka, baik pada tingkat sadar maupun pada tingkat tidak sadar. Dengan pengetahuan diri, maka orang-orang yang terindividuasi akan mengalami penerimaan diri. Mereka bukannya menyerah pada satu sisi kepribadian mereka yang ditekan selama ini, ataupun menyembunyikannya lebih lama lagi, namun mereka menerimanya apa adanya.

3. Sifat ketiga dalam proses individuasi ini yaitu integrasi diri. Ini juga merupakan kelanjutan dari proses yang kedua. Seperti yang dikatakan diatas, semua segi kepribadian tidak boleh lagi ada yang dominan. Semua segi kepribadian, baik itu kompleks-kompleks, sifat-sifat jenis kelamin, sikap-sikap, fungsi-fungsi psikologis, dalam tingkat sadar maupun tak sadar, semuanya dintegrasikan dan diharmoniskan. (Schultz, 1993).

(46)

ungkapan-diri. Semua segi kepribadian yang disadari, diintegrasikan dan

diungkapkan haruslah dianggap sebagai suatu ungkapan diri.

Semua proses di atas bukanlah sebuah proses yang mudah. Orang-orang yang terindividuasi ini biasanya adalah orang-orang yang telah berusia setengah baya atau lebih tua dan telah melewati krisis-krisis yang hebat akibat perubahan kodrat kepribadian yang dialaminya.

Ada ciri-ciri tambahan dari orang-orang yang terindividuasi yang merupakan implikasi dari proses yang dilewati mereka saat menuju individuasi (Schultz 1993: 140). Ciri-ciri tersebut yang pertama adalah penerimaan dan toleransi terhadap kodrat manusia. Akibat terbukanya gudang ketidaksadaran kolektif (akumulasi dari semua pengalaman ketidaksadaran manusia), maka mereka akan mempunyai wawasan yang luas terhadap tingkah laku manusia pada umumnya. Mereka dapat memahami mengapa suatu tindakan tertentu diambil oleh orang tertentu. Dengan begitu berarti mereka punya rasa empati yang lebih besar terhadap sesamanya.

Yang kedua adalah bahwa orang-orang yang sehat menerima apa yang tidak diketahui dan misterius. Semua hal yang berada dalam batas-batas pikiran dan logika

rasional telah dirasakan oleh mereka. Kini mereka mulai menerima kekuatan-kekuatan ketidaksadaran, mimpi-mimpi, fantasi-fantasi dan segala peristiwa supernatural dan spiritual. Bukan berarti mereka membuang semua logika rasional dan kesadaran mereka, namun mereka menempanya untuk membimbing mereka dalam menerima kekuatan-kekuatan ketidaksadaran.

Yang ketiga adalah apa yang disebut Jung sebagai suatu kepribadian yang universal. Sifat dari orang dengan kepribadian sehat ini adalah bahwa mereka

(47)

kepribadian tertentu. Tidak ada lagi, misalnya, sebutan kepribadian introvert atau ekstrovert pada diri mereka, karena keduanya sama dominannya pada diri mereka.

6. Model Frankl ( Orang Yang Mengatasi Diri)

Teori-teori dan terapi Frankl tumbuh dan berkembang terutama berdasarkan pengalamannya di kamp-kamp maut konsentrasi Nazi selama tiga tahun. Pada saat itu seluruh keluarganya dibantai dan banyak teman-temannya yang mati karena disiksa atau dimasukkan di kamar gas. Selama disana dia melihat dan merasakan sendiri banyak penderitaan, kekejaman dan kengerian yang sangat mendalam. Tidak banyak orang yang dapat bertahan ketika menghadapi kenyataan seperti itu. Dia melihat hanya orang-orang yang memiliki harapan, cita-cita yang belum selesai, atau iman yang kuat cenderung mampu untuk bertahan dengan lebih baik. Frankl menulis tentang kawan-kawan setahanannya (Schultz 1993): “celakalah dia yang tidak lagi melihat arti dalam kehidupannya, tidak lagi melihat tujuan, tidak lagi melihat maksud, dan karena itu tidak ada sesuatu yang dibawa serta. Dia segera kehilangan” (hal 151).

Frankl menamakan sistem terapi atau teorinya dengan sebutan logotherapy. Kata ini berasal dari bahasa Yunani “logos” yang dapat diartikan sebagai “arti” (meaning) dan terapi. Logoterapi mengatakan bahwa hakikat dan keberadaan manusia untuk hidup adalah untuk menemukan arti dalam hidupnya. Logoterapi sebenarnya adalah suatu metode psikoterapi yang dikembangkan oleh Frankl untuk membantu pasiennya menemukan arti dalam hidupnya. Lebih berupa sebuah sistem atau metode, daripada sebuah teori. Namun penulis tidak akan membahas teknik-teknik dan metode yang digunakan Frankl dalam psikoterapinya, karena fokus tulisan pada bagian ini adalah membicarakan pandangan Frankl tentang orang-orang dengan kepribadian yang sehat.

(48)

1993: 150), yakni kebebasan berkeinginan, keinginan akan makna, dan makna hidup. Dengan tiga konsep ini tampak jelas Frankl menolak pandangan bahwa manusia ditentukan oleh dorongan seksual, atau oleh instink-instink biologisnya atau oleh konflik-konflik masa kanak-kanaknya. Frankl berpendapat, kita sendirilah yang harus bertanggung jawab atas diri kita. Kita yang harus menemukan arti pada kehidupan kita, jangan sampai hidup kita ditentukan oleh sesuatu hal ataupun orang dari luar diri kita. Logoterapi menunjukkan kepada manusia untuk mencari arti bagi kehidupannya agar bisa mencapai tingkat kesehatan psikologis yang lebih baik.

Untuk memberi arti pada kehidupan, Frankl (Schultz 1993) melalui sistem logoterapinya mengemukakan tiga cara, yakni: apa yang kita berikan bagi dunia berkenaan dengan suatu ciptaan, apa yang kita ambil dari dunia dalam pengalaman, dan sikap yang kita ambil terhadap penderitaan (hal. 152). Berkaitan dengan tiga cara ini, terdapat tiga sistem nilai yang fundamental yang dikemukan Frankl (Schultz 1993). Nilai-nilai itu adalah nilai-nilai daya cipta (kreatif), nilai-nilai pengalaman, dan nilai-nilai sikap.

(49)

menemukan dan memberi arti bagi kehidupan kita, sampai momen kehidupan kita yang terakhir. Disinilah nilai-nilai sikap memegang peranan penting dalam memberi arti bagi kehidupan. Orang-orang yang mampu untuk mencapai ketiga nilai-nilai ini disebut mencapai keadaan transendensi-diri, yakni keadaan terakhir untuk kepribadian sehat.

Frankl tidak menyajikan suatu daftar dari sifat-sifat kepribadian yang sehat. Akan tetapi dapat dikemukan secara umum, beberapa sifat mereka adalah (dalam Schultz, 1977: 159):

1. Mereka bebas memilih langkah tindakan mereka sendiri.

2. Mereka secara pribadi bertanggung jawab terhadap tingkah laku hidup mereka dan sikap yang mereka anut terhadap nasib mereka.

3. Mereka tidak ditentukan oleh kekuatan-kekuatan di luar diri mereka. 4. Mereka telah menemukan arti dalam kehidupan yang cocok dengan mereka. 5. Mereka secara sadar mengontrol kehidupan mereka.

6. Mereka mampu mengungkapkan nilai-nilai daya cipta, nilai-nilai pengalaman, atau nilai-nilai sikap.

7. Mereka telah mengatasi perhatian-terhadap diri. (hal. 159).

(50)

7. Model Perls (Orang “Disini Dan Kini”)

Fritz Perls adalah seorang ahli psikoanalisis asal Afrika Selatan yang mengalami reorientasi aliran psikologi karena kekecewaannya dengan Freud. Perls kemudian menjadi seorang tokoh hebat dalam aliran terapi Gestalt. Semua filsafat tentang kodrat manusia yang diajarkannya dipraktekkan dalam kehidupannya sendiri. Perls adalah seorang individu yang memiliki kecakapan luar biasa, kuat, dinamis, sensitif, dan intuitif dalam interaksi-interaksi klinisnya. Karya Perls sangat berpengaruh dalam gerakan potensi manusia (pertumbuhan manusia) di Amerika Serikat. Gaya hidup dan penampilan Perls mungkin menjadi daya tarik tersendiri, karena hal itu sesuai dengan keadaan jiwa masyarakat pada saat itu yaitu sekitar akhir tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an (Schultz, 1993).

Hampir sama seperti Frankl, pendekatan Perls terhadap kepibadian sebenarnya lebih merupakan sebuah terapi daripada sebuah teori (Schultz 1993: 171). Akan tetapi tentunya sebuah terapi pun harus memiliki kerangka yang jelas tentang bagaimana sebuah sistem kepribadian bekerja.

(51)

Karena menghadapi situasi-situasi yang belum selesai, maka setiap individu terdorong untuk menyelesaikannya. Pada orang-orang dengan kepribadian yang sehat, mereka bisa menyelesaikannya dengan baik karena mereka melakukannya dengan menyusunnya sesuai dengan tingkat kepentingannya. Selain itu mereka tidak dikontrol oleh kekuatan luar dalam meyelesaikan Gestalt-Gestalt mereka yang tidak paripurna itu. Hal ini tampaknya agak mirip dengan konsep Rogers yakni “kepercayaan terhadap organisme orang sendiri”. Dengan kesadaran penuh kita percaya pada diri kita untuk bisa mengambil tindakan yang terbaik dalam menyelesaikan Gestalt-Gestalt yang belum selesai itu. Kita sendirilah yang mempunyai tanggung jawab untuk mengatur kehidupan kita.

Orang-orang dengan kepribadian sehat juga tidak hidup di masa lampau dan di masa depan. Perls mengatakan (Schultz, 1993) bahwa kita harus hidup sepenuhnya pada masa sekarang, kita tidak boleh hidup pada masa lampau (watak retrospektif) juga tidak hidup pada masa depan (watak prospektif) (hal. 174-175). Kita mungkin boleh saja mengingat masa lampau untuk belajar darinya atau kita juga boleh saja membuat rencana-rencana untuk masa depan, tetapi fokus utama perhatian kita adalah di masa kini, karena satu-satunya yang nyata adalah masa kini.

(52)

C. Kesimpulan

Demikianlah pemaparan model-model kepribadian sehat menurut tujuh ahli psikologi pertumbuhan. Masing-masing ahli mengemukakan pendapatnya berdasarkan pengalaman hidupnya, penelitian yang dilakukan, serta interaksi mereka dengan para kliennya. Secara lebih jelas dapat dilihat tabel perbandingan sifat-sifat model kepribadian sehat berikut ini:

Tabel 1.

Perbandingan Sifat-Sifat Model Kepribadian Sehat Menurut Schlutz Model-model kepribadian sehat—suatu perbandingan sifat-sifat*

Sifat Allport Rogers Fromm Maslow Jung Frankl Perls

Dorongan

Intensi-Kesadaran Kesadaran Kesadaran Kesadaran

Kedua-duanya

Kesadaran Kesadaran

Tekanan pada masa lampau

Tidak Tidak Ya Tidak Ya Tidak Tidak

Tekanan

Sifat persepsi Objektif Subjektif Objektif Objektif Objektif ( ? ) Objektif

Tanggung jawab terhadap orang lain

Ya ( ? ) Ya Ya ( ? ) Ya Tidak

* ( ? ) menunjukkan bahwa ahli teori yang bersangkutan itu sendiri tidak menjelaskan hal ini, atau

penulis (Schultz—red) tidak menemukan suatu uraian tentang persoalan itu dalam tulisan-tulisannya.

(53)

Seperti yang telah dibahas di awal bab ini bahwa untuk mendefinisikan kepribadian sehat tidaklah mudah. Seperti yang kita lihat pada tabel 1, untuk menemukan titik-titik kesamaan diantara para ahli itu tidaklah mudah. Penulis menyadari bahwa masing-masing ahli psikologi mempunyai pengalaman hidup yang tentunya berbeda-beda. Hal ini tampaknya melatarbelakangi perbedaan model-model kepribadian sehat yang mereka kemukakan. Seperti misalnya, Jung yang banyak meneliti tentang Buddhisme dan agama-agama Timur, kemudian mengemukakan konsep yang cukup kontroversial tentang ketidaksadaran kolektif. Ataupun Maslow, setelah kelahiran anaknya yang pertama, langsung membuang kepercayaannya terhadap behaviorisme. Frankl yang punya pengalaman berada di dalam kamp-kamp konsentrasi Nazi, kemudian mengembangkan Logoterapi. Dan lain sebagainya.

Masing-masing ahli punya teori sendiri tentang kepribadian sehat ini sesuai dengan keyakinan mereka yang terus mereka ujikan dalam laboratorium kehidupan mereka bersama dengan klien-klien mereka, ataupun bersama dengan murid-murid mereka. Bahkan ada sifat-sifat kepribadian sehat yang dikemukakan, saling bertentangan antara satu ahli dengan ahli yang lain.

Salah satu hal yang mendapat suara bulat adalah bahwa mereka sependapat, orang yang sehat secara psikologis berfokus pada kesadaran. Mereka dapat mengatur tingkah laku mereka dan bertanggung jawab terhadap tindakan yang mereka ambil. Mereka dapat menjadi nahkoda bagi nasib mereka sendiri. Meskipun tindakan mereka tidak selalu rasional, tetapi mereka melakukannya dengan suatu kesadaran. Bahkan Jung yang teorinya sangat kental dengan nuansa ketidaksadaran pun sependapat bahwa ketidaksadaran ini harus dibawa ke alam sadar.

(54)

lampau, dan mereka juga umumnya menyadari bahwa individu tidak kebal terhadap masa lampau, namun orang-orang yang sehat secara psikologis tidak menjadi koban dari bayang-bayang ataupun konflik masa lampau. Mereka dapat mengolah masa lampau sebagai bahan pembelajaran dan masa depan sebagai tenaga pendorong. Akan tetapi, seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, tidak semua ahli menekankan masa depan dan masa lampau.

Hal pertama yang paling banyak menimbulkan perbedaan pendapat diantara para ahli ini yaitu mengenai dorongan pada kepribadian sehat. Apa yang menjadi dorongan bagi orang-orang untuk mencapai kepribadian sehat? Bagi Allport tujuan ke masa depan menjadi dorongan utama bagi kepribadian sehat. Tujuan ke masa depan adalah ladang dimana mereka (kepribadian sehat) menaruh aspirasi-aspirasi, harapan-harapan dan cita-cita mereka ke dalamnya. Selanjutnya, Rogers dan Maslow mengemukakan aktualisasi diri sebagai dorongan bagi kepribadian sehat. Namun, aktualisasi diri yang dimaksud Rogers agak berbeda dengan pengertian aktualisasi diri yang dibuat oleh Maslow. Bagi Rogers aktualisasi diri adalah sebuah proses terus-menerus dalam hidup, proses yang seringkali sulit dan menyakitkan untuk dijalani, namun merupakan jalan untuk mengembangkan seluruh potensi diri yang unik. Kecenderungan aktualisasi diri menurut Rogers, terdapat dalam setiap makhluk hidup. Sedangkan menurut Maslow (Goble 1987: 50), aktualisasi diri hanya terdapat pada orang-orang berusia lanjut, cenderung dipandang sebagai keadaan puncak atau keadaan akhir, suatu tujuan jangka panjang, bukan sebagai proses dinamis yang terus aktif sepanjang hidup, lebih sebagai ‘Ada’ daripada ‘Menjadi’.

(55)

usaha untuk mengintegrasikan dan mengungkapkan semua segi kepribadian yang merupakan hakekat diri manusia. Dua ahli yang terakhir, Frankl dan Perls, sama-sama menekankan pentingnya tanggung jawab diri sendiri bagi kepibadian sehat untuk menjalankan kehidupannya. Frankl mengemukakan dorongan bagi kepribadian sehat adalah tanggung jawab dan kebebasan untuk menemukan arti kehidupannya. Bagi Frankl,kemauan akan arti adalah dorongan yang fundamental, sehingga mengalahkan dorongan lainnya. Ahli yang lain, Perls mengemukakan dorongan bagi kepribadian sehat adalah situasi-situasi yang belum selesai (unfinished situation). Kalau Fromm menyebutkan bahwa orang berkepribadian sehat akan memuaskan kebutuhannya dengan cara yang kreatif dan produktif, maka Perls menjelaskan orang berkepribadian sehat akan menyelesaikanunfinished situation dengan menyusunnya menurut tingkat kepentingan. Apa yang penting bagi Perls adalah bahwa orang-orang yang sehat dapat

mengatur diri mereka sendiri untuk hidup sepenuhnya pada masa sekarang.

Rogers menjadi satu-satunya ahli yang menyatakan bahwa sifat persepsi bagi kepribadian sehat bersifat subjektif. Satu-satunya kenyataan bagi seseorang haruslah dilihat melalui persepsinya pada dunia. Pandangan Rogers ini tampak bertentangan dengan para ahli yang lain. Bagi Fromm misalnya, kepribadian yang sehat adalah kepribadian yang produktif, yang berpijak kuat pada kenyataan. Orang-orang yang produktif akan mengamati dunia sekelilingnya dengan objektif dan berada dalam dunia nyata, tidak hidup dalam dunia subjektif buatan mereka sendiri seperti orang yang berfungsi sepenuhnya dari Rogers.

(56)

menolak pentingnya peranan pekerjaan dan tujuan bagi ‘orang disini dan kini’, namun dia menyatakan orang berkepribadian sehat harus mendasarkan diri dengan persepsi yang objektif. Perls juga menyatakan ‘orang disini dan kini’ tidak harus memiliki tanggung jawab terhadap orang lain. Perls menjelaskan orang yang sehat harus melepaskan tanggung jawab terhadap orang lain. Hal ini dikemukakan Perls dalam doa Gestalt (Schultz, 1993): “saya melakukan halku dan kamu melakukan halmu”(hal 186).

Sebaliknya, sebagian ahli lainnya sangat menekankan peranan pekerjaan dan tujuan-tujuan bagi kepribadian sehat. Mereka diantaranya adalah Allport, Maslow dan Frankl. Allport misalnya, sangat menekankan pentingnya tujuan-tujuan ke masa depan bagi kepribadian sehat. Sedangkan Frankl menjelaskan melalui (bukannya dalam) pekerjaan kita dapat menemukanarti kehidupan (hal yang sangat penting bagi

‘orang yang mengatasi-diri’). Baik Allport, Maslow, Frankl, ditambah dengan Fromm juga menyatakan adanya sifat bertanggung jawab terhadap orang lain bagi kepribadian sehat. Baik melalui interaksi dalam pekerjaan maupun melalui kemampuan untuk memberi dan menerima cinta bersama orang lain.

(57)

BAB III

BUDDHISME MAITREYA

A. Sejarah Singkat Buddhisme Maitreya

Jejak sejarah Buddhisme Maitreya sama seperti aliran Buddhisme lainnya -berawal dari Buddha Sakyamuni di India (Sidharta Gautama/pangeran Sidharta, orang suci yang kemudian dikenal sebagai pendiri Buddhisme). Secara historis Buddhisme Maitreya adalah bagian dari Buddhisme Mahayana. Buddhisme Mahayana sendiri adalah salah satu aliran besar dalam Buddhisme. Pada masa awal perkembangan Buddhisme terdapat dua aliran besar yaitu Hinayana dan Mahayana. Meski saat ini terdapat beragam aliran dalam Buddhisme, namun hampir seluruhnya berasal dari kedua aliran besar ini. Berkembangnya berbagai aliran dalam Buddhisme dapat dipandang sebagai suatu perwujudan karakter yang khas dalam Buddhisme, yaitu untuk memecahkan masalah hidup manusia sesuai dengan masa dan tempat berkembangnya ajaran buddhisme itu berada. Demikian sesungguhnya spirit yang terkandung dalam Buddhisme adalah sesuatu yang hidup dan berkembang. Buddhisme akan terus tumbuh dan berkembang sesuai dengan panggilan serta tuntutan zaman dan tempat di mana ia berada.

Gambar

Tabel 4. Ringkasan Aspek-aspek Kepribadian Sehat Buddhisme Maitreya
Gambar 3. Dinamika Kepribadian Sehat Dalam Konsep Ajaran Buddhisme
Tabel 1.Perbandingan Sifat-Sifat Model Kepribadian Sehat Menurut Schlutz
Gambar 1. adalah gambar pratima Buddha Maitreya perunggu setinggi 72
+7

Referensi

Dokumen terkait