vi ABSTRAK
Penyesuaian Diri Terhadap Hilangnya Pasangan Hidup Pada Lansia Carolina Retno Ekowati
019114063 Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta
Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan penyesuaian diri terhadap hilangnya pasangan hidup pada lansia. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh permasalahan lansia menghadapi banyak perubahan dalam hidupnya, salah satunya kehilangan pasangan hidup.
Penelitian ini dilakukan di Bantul. Responden penelitian ini sebanyak 68 orang dengan rincian 32 subjek pria dan 36 subjek wanita. Pengambilan data dilakukan dengan alat ukur skala penyesuaian diri terhadap hilangnya pasangan hidup. Kesahihan item bergerak antara 0,377 sampai dengan 0,823. Uji reliabilitas dengan teknik Alpha Cronbach menghasilkan koefisien reliabilitas skala sebesar 0,970.
vii ABSTRACT
Self Adjustment Of The Elders About The Losing Of The Spouse Carolina Retno Ekowati
019114063 Faculty of Psychology Sanata Dharma University
Yogyakarta
This research is aimed to describe the self adjustments of the elders due to their lost of their spouse. The background of this study was the problem of the elders to face many changes in their lives and one of them is to lose their spouse.
This research was conducted at Bantul, including 68 subjects of respondent that consist of 32 males and 36 females. The data that has been taken is measured by the scale of self adjustment due to the lost of spouse. The validity items move from 0,377 to 0,823 of the scale. The reliability test that used Cronbach Alpha Technique gives result 0,970 of reliability coefficient of the scale.
TERHADAP HILANGNYA PASANGAN HIDUP
PADA LANSIA
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Oleh:
Carolina Retno Ekowati
NIM : 019114063 NIRM :
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
iv
Karya ini penulis persembahkan untuk Ibu dan Bapak, adik-adik,
juga untuk Mas Budi
Untuk Mbah Se, sampai karya ini selesai kau telah dipanggil Bapa ke surga…
v
Motto
TUHAN sudah dekat !
Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga,
Tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu
Kepada ALLAH dalam doa dan permohonan dengan
ucapan syukur.
Damai sejahtera Allah,
Yang melampaui segala akal,
akan memelihara hati dan pikiranmu dalam Kristus Yesus.
vi ABSTRAK
Penyesuaian Diri Terhadap Hilangnya Pasangan Hidup Pada Lansia Carolina Retno Ekowati
019114063 Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta
Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan penyesuaian diri terhadap hilangnya pasangan hidup pada lansia. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh permasalahan lansia menghadapi banyak perubahan dalam hidupnya, salah satunya kehilangan pasangan hidup.
Penelitian ini dilakukan di Bantul. Responden penelitian ini sebanyak 68 orang dengan rincian 32 subjek pria dan 36 subjek wanita. Pengambilan data dilakukan dengan alat ukur skala penyesuaian diri terhadap hilangnya pasangan hidup. Kesahihan item bergerak antara 0,377 sampai dengan 0,823. Uji reliabilitas dengan teknik Alpha Cronbach menghasilkan koefisien reliabilitas skala sebesar 0,970.
vii ABSTRACT
Self Adjustment Of The Elders About The Losing Of The Spouse Carolina Retno Ekowati
019114063 Faculty of Psychology Sanata Dharma University
Yogyakarta
This research is aimed to describe the self adjustments of the elders due to their lost of their spouse. The background of this study was the problem of the elders to face many changes in their lives and one of them is to lose their spouse.
This research was conducted at Bantul, including 68 subjects of respondent that consist of 32 males and 36 females. The data that has been taken is measured by the scale of self adjustment due to the lost of spouse. The validity items move from 0,377 to 0,823 of the scale. The reliability test that used Cronbach Alpha Technique gives result 0,970 of reliability coefficient of the scale.
ix
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, terima
kasih karena berkah dan anugerah yang diberikan sehingga penulis dapat
menyelesaikan karya tulis ini. Penulisan karya tulis ini diajukan untuk memenuhi
syarat untuk memperoleh gelar sarjana.
Karya tulis berbentuk skripsi ini mengambil topik tentang penyesuaian diri
terhadap hilangnya pasangan hidup pada lansia. Dalam penulisan tugas akhir ini,
penulis mendapat bimbingan, semangat, inspirasi, dan dukungan dari berbagai pihak.
Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima
kasih.
Ucapan terima kasih yang tak terhingga penulis ingin sampaikan kepada :
1. Bapak Edi Suhartanto, S. Psi, M. Si sebagai Dekan Fakultas Psikologi
Universitas Sanata Dharma.
2. Ibu Silvia Carolina MYM, S. Psi, M, Si sebagai Kaprodi Fakultas Psikologi
Universitas Sanata Dharma yang memberikan dukungan begitu besar untuk
penulis dalam menyelesaikan penulisan Tugas Akhir ini.
3. Ibu Dra. Lucia Pratidarmanstiti M.S yang telah dengan sabar menghadapi
penulis, membantu dan membimbing tiada henti penulisan ini sampai akhir.
x
4. Bapak Dr. T. Priyo Widiyanto, M. Si dan Ibu ML. Anantasari, S. Psi., M. Si.,
sebagai tim penguji. Terima kasih bapak dan ibu.
5. Dosen-dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma, atas bimbingan,
pelajaran “hidup” yang tak terlupakan untuk penulis. Bu Agnes, Pak Sis, Bu
Nimas, Bu Tanti, semuanya saja...terima kasih.
6. Kedua orang tua, Bapak Ag. Sudaryadi dan Ibu LM. Siti Lumantari atas
segala cinta, perhatian, dukungan, kesabaran, dan doa yang tiada henti.
7. Kedua adikku L. Octa Dwi Prasetyo dan Y. Yesse Pungkar Heryadi. De’,
terima kasih banyak untuk tawa, canda, marah-marahan, terlebih atas
pengertian kalian. Yesse, semangat kuliah yaaa....
8. Untuk nenek, kakek, eyang, bapak, dan ibu yang telah membantu penulis
dalam penelitian. Tanpa kalian semua ini tidak akan ada. Semoga Tuhan
selalu memberkati...
9. Untuk karyawan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma yang dengan
sabar membantu penulis selama belajar dan penulisan Tugas Akhir. Mas
Gandung, Mbak Nanik, Pak Gik, Mas Muji, dan Mas Doni.
10.Untuk teman-teman Psikologi USD, Rani (kamu pasti juga bisa....semangat
terus...GBU), Mita, Dina, Devi, Tien, Diana, Juli (Thank’s Jul), James, Novi,
xi
terus de’), Jane, Mellisa, Melati, mbak Dini, Komeng dan masih banyak lagi,
maaf kalau ada yang tidak disebut...thank’s kawan!!!
11.Untuk keluarga besar Mbah Sewaya, mbah kakung putri di surga, Sr.
Angelina CB, juru doaku paling setia...sembah nuwun budhe.... Budhe Niek
dan Pakdhe Wiek atas doa dan semangatnya, juga Inar-Inu dan Banu (thanks
bro, abstraknya), keluarga Budhe Noek, Bulik Ipho dan Alm. Om Jar. D’
Erdha atas izin ngeprint setiap saat, thank’s banget.... Vita-Mas Wuri (kapan
kalian nikah??). Sr. Alexia CB, Sr. Adolpin CB(eyang, semoga lekas sembuh
n pulih lagi). Keluarga Wijaya Merauke, Om Eddy Bulik Martha dan
Lady....terima kasih atas tawaran hijrahnya, tapi...ga deh kayaknya.
12.Untuk keluarga besar Mbah Somo, mbah kakung di surga, mbah putri (atas
inspirasi dan semangat hidupmu....), keluarga pakdhe Sudaryono, keluarga
Bulik Tini, keluarga bulik Yanti, bulik Yam.
13.Untuk Rm. Willem Tee Daia, Pr. (terima kasih untuk segala bentuk
pencerahan, penguatan, dan doa), Rm. Ece muda-seorang sahabat jauh.
14.Untuk keluarga Mbah Parto, Ibu Warjiyati (selalu sehat ya bu…), Mbah Ro,
keluarga bulik War, Iik, Nunung, Maya, om Kartono, keluarga Om Karyono,
terima kasih semangat dan dukungan kalian.
15.Untuk keluarga Mas Mul alias Indah Cell untuk numpang ngeprint juga untuk
xii
16.Untuk AB 4663 BG, “pacar” yang dengan setia dan tidak pernah rewel
mengantar kemanapun...
17.Keluarga Shinta, Caca, dan Nana....yang dah jadi semangat lain dalam hidup
Bulik Tiwuk.
18.Untuk sahabat-sahabatku, Aan (sms inspiratifmu….), mbak Nuri, Simon,
Ami, mas Yuni, Umi (juragan lombok), Om Wid, mbak Asih dan baby dalam
rahimmu... terima kasih, dukungan kalian luar biasa, terima kasih telah
menjadi bagian hidupku....God bless u all....
19.Untuk yang tercinta, mas Yustinus Budi Wiarso....terima kasih atas segala
bentuk cinta, perhatian, doa yang tiada putus, semangat, kesabaran menunggu
dan kesetiaan yang luar biasa....menjadi orang yang selalu ada... terima kasih
karena mau menjadi tumpahan segala bentuk emosi, tetes air mata, suka dan
duka. Tunggu di Ciputat yaaa…. Terima kasih...nuwun ☺☺☺. Tuhan
memberkati.
Tak ada gading yang tak retak, pepatah ini menyadarkan penulis
bahwa karya ini jauh dari sempurna. Oleh karena itu penulis mohon maaf
apabila terdapat kesalahan. Semoga berguna untuk para pembaca.
Yogyakarta, September 2008
xiv
halaman
Halaman judul……….. i
Halaman pengesahan dosen..………... ii
Halaman pengesahan dosen penguji……….iii
Halaman persembahan………..iv
Motto………v
Abstrak……….vi
Abstact……….vii
Lembar pernyataan persetujuan publikasi karya ilmiah……….. viii
Kata pengantar………. ix
Surat pernyataan keaslian karya ilmiah………... xii
Daftar isi……….. xiv
Daftar tabel………...xvii
Daftar skema………xviii
Daftar lampiran……… xix
BAB I. PENDAHULUAN……….. 1
A. Latar Belakang………1
B. Rumusan Masalah……….. 8
C. Tujuan Penelitian………... 8
D. Manfaat Penelitian………. 8
xv
2. Tugas-tugas perkembangan lansia………... 13
3. Teori-teori penuaan……….. 13
B. Penyesuaian Diri Terhadap Hilangnya Pasangan Hidup………... 15
1. Pengertian penyesuaian diri………..15
2. Aspek-aspek penyesuaian diri………..17
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri………... 18
4. Ciri-ciri penyesuaian diri yang baik………. 21
C. Penyesuaian Diri terhadap Hilangnya Pasangan Hidup pada Lansia……….24
D. Pertanyaan Penelitian………. 29
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN……….. 31
A. Jenis Penelitian………..………. 31
B. Identifikasi Variabel Penelitian……….. 32
C. Definisi Operasional Variabel Penelitian………... 32
1. Variabel utama atau variabel pokok……….32
2. Variabel kontrol………... 34
D. Subjek Penelitian………... 35
E. Metode Pengambilan Data……….36
F. Pertanggungjawaban Mutu……….38
1. Validitas………38
2. Seleksi item……….. 39
xvi
A. Pelaksanaan Penelitian………... 46
B. Hasil Penelitian……….. 47
1. Deskripsi Subjek Penelitian………. 47
2. Deskripsi Data Penelitian secara Umum………. 49
3. Analisa Uji t Mean Empirik Pria dan Mean Empirik Wanita………….. 51
4. Deskripsi Data Penelitian Ditinjau Dari Tiap Aspek………... 52
C. Pembahasan………53
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN………. 58
A. Kesimpulan……….58
B. Kelemahan Penelitian……… 58
C. Saran……….. 59
1. Bagi Subjek Penelitian………..59
2. Bagi Keluarga………59
3. Bagi Peneliti Selanjutnya yang Tertarik Pada Topik Penelitian Ini…… 60
xvii
Tabel 1.Blue print item sebelum uji cobaPenyesuaian Diri
terhadap Kehilangan Pasangan Hidup pada Lansia……….38
Tabel 2. Blue print item setelah uji coba Penyesuaian Diri terhadap Kehilangan Pasangan Hidup pada Lansia………41
Tabel 3. Perbandingan Mean Empirik dan Mean Teoritik………..44
Tabel 4. Deskripsi Data Subjek Penelitian Berdasarkan Usia Subjek……….47
Tabel 5. Deskipsi Data Subjek Penelitian Berdasarkan Lama ditinggalkan Pasangan Hidup………48
Tabel 6. Deskripsi Data Subjek Penelitian Berdasarkan Usia dan Lama Ditinggalkan Pasangan Hidup………48
Tabel 7. Deskripsi Data Penelitian Secara Umum………....49
Tabel 8. Perbandingan Mean Empirik dan Mean Teoritik……….…………...49
Tabel 9. Uji t Mean Empirik dengan Mean Teoritik ………...50
Tabel 10.Uji t Mean Empirik dan Mean Teoritik Pria dan Wanita……….51
xviii
halaman
xix
Lampiran 1. Skala uji coba………..……… 64
Lampiran 2. Data uji coba dan Reliabilitas item total statistik……… 70
Lampiran 3. Skala penelitian………... 94
Lampiran 4. Data penelitian dan Statistik deskriptif data penelitian,
uji t with one sample, uji t with independent sample, deskripsi data penelitian
ditinjau tiap aspek………100
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap orang mengalami proses perkembangan dalam kehidupannya, baik
secara fisik maupun psikologis. Perkembangan yang terjadi tersebut akan
membawa perubahan bahkan dapat menyebabkan munculnya masalah. Hal
tersebut sangat normal. Seiring dengan perubahan yang terjadi, maka seseorang
akan membentuk reaksi-reaksi tertentu untuk menghadapinya. Mekanisme
tersebut dinamakan penyesuaian diri. Penyesuaian diri merupakan proses yang
berkesinambungan berupa reaksi individu terhadap berbagai stress yang muncul
dalam kehidupan individu (Pettijohn, 1992: 282).
Ada berbagai perubahan dalam kehidupan seseorang, mulai dari bayi yang
baru lahir sampai dengan orang pada tahap akhir kehidupan atau yang kita sebut
sebagai lansia, yang membutuhkan penyesuaian diri yang baik. Seorang lansia
mengalami banyak perubahan, bahkan pada tahap ini dicirikan sebagai tahap
kemunduran karena pada tahap ini, seseorang mengalami kemunduran baik
kemunduran secara fisik maupun mental, sehingga hal tersebut membawa
permasalahan yang sulit dan unik bagi seseorang yang tidak siap menghadapinya.
Lansia dapat mengalami permasalahan psikologis (Hurlock, 1999: 380), seperti
adanya perasaan tak berguna, perubahan pada pola hidup, kecenderungan untuk
kesepian karena kehilangan pasangan hidup dan teman sebaya. Berbagai
perubahan dan rasa kehilangan yang dialami oleh lansia membuat mereka harus
banyak melakukan penyesuaian diri. Lansia yang tidak siap menghadapi
permasalahan psikologis akan mengalami permasalahan-permasalahan baru
dalam kehidupannya bahkan dapat mempengaruhi keluarga dimana lansia berada.
Permasalahan lansia dan keluarga ini dapat menjadi permasalahan sosial baru
dalam masyarakat.
Salah satu tugas perkembangan lansia adalah menyesuaikan diri terhadap
hilangnya pasangan hidup. Kehilangan pasangan hidup dapat disebabkan
perceraian atau karena kejadian kematian, akan tetapi pada lansia kehilangan
pasangan hidup lebih banyak disebabkan oleh kematian pasangan hidup (Hurlock,
1999: 425; Zimbardo, 1979: 218).
Penyesuaian diri membutuhkan kemampuan yang baik. Penyesuaian diri
yang baik akan membawa dampak yang baik pula bagi seseorang yaitu
tercapainya kebahagiaan hidup, tetapi sebaliknya, apabila seseorang tidak dapat
menyesuaikan diri dengan baik maka akan mengalami masalah baru, misalnya
penyesuaian diri yang buruk karena ditinggalkan pasangan hidup pada lansia akan
menimbulkan masalah baginya dalam menjalin relasi sosial (Hurlock, 1999 :
408).
Pengalaman akan kematian orang lain terutama orang terdekat atau
keluarga mampu menimbulkan trauma dan akan mempengaruhi perspektif
terhadap kematian baik ketakutan dirinya yang akan mati maupun ketakutan akan
kematian orang lain. Oleh karena itu, kematian pasangan hidup merupakan
peristiwa yang paling sulit untuk dihadapi sehingga sulit juga untuk melakukan
penyesuaian diri (Holmes and Rahe dalam Calhoun and Acocella, 1996: 14).
Kematian pasangan hidup menempati urutan teratas penyebab stress dalam
kehidupan karena adanya perasaan kehilangan terhadap orang yang dicintai yang
telah hidup bersama selama bertahun-tahun (Santrock, 1995: 271).
Kehilangan pasangan hidup membuat lansia merasa kesepian dan sedih,
bahkan tidak jarang mengalami stress dan depresi dalam kehidupannya. Depresi
merupakan suatu gangguan suasana hati di mana individu merasa tidak bahagia,
kehilangan semangat, merasa terhina, dan bosan. Depresi membawa dampak yang
buruk bagi individu yang mengalaminya karena individu tidak hanya mengalami
kesedihan, tetapi individu juga dapat memiliki kecenderungan melakukan bunuh
diri. Faktor resiko dari bunuh diri diantaranya adalah laki-laki (being male) yang kehilangan pasangan hidup (Santrock, 1995: 230). Rasa kesepian akibat
hilangnya pasangan hidup merupakan masalah utama yang dihadapi oleh lansia
(Treas dalam Zimbardo, 1979: 218) hal ini sejalan dengan penelitian
Listyaningsih (1999: 38) terhadap 300 orang lansia yang tinggal di Kecamatan
Kraton, Pakualaman, dan Umbulharjo menunjukkan bahwa kesepian timbul
akibat kehilangan berbagai aspek kehidupan, kehilangan teman akrab, kehilangan
tersembunyi dalam pikiran dan hati para lansia, tetapi yang paling utama adalah
kehilangan suami atau istri karena meninggal.
Kenyataan yang dihadapi oleh seseorang yang pasangan hidupnya sudah
meninggal adalah bahwa ia harus melanjutkan hidupnya tanpa pasangannya lagi.
Beberapa orang memilih untuk menikah lagi setelah kehilangan pasangan hidup,
tetapi lansia banyak yang memilih untuk menduda atau menjanda di sisa
hidupnya. Lansia lebih banyak menggunakan waktu untuk melakukan kegiatan
sosial, mendekatkan diri pada Tuhan, dan menjalin relasi sosial (Prawitasari,
1994: 32). Salah satu bentuk adanya kemampuan menjalin relasi sosial yang baik
adalah persahabatan. Persahabatan dapat menjadi sistem pendukung yang penting
ketika seseorang mengalami peristiwa kehidupan termasuk salah satunya
kematian pasangan hidup (Santrock, 1995: 246), karena melalui persahabatan
yang terjalin, maka lansia akan mendapatkan dukungan sosial yang dibutuhkan
dalam melakukan penyesuaian diri.
Lingkungan dapat mempengaruhi bagaimana seseorang akan
menyesuaikan diri. Apabila lingkungan tempat tinggal mendukung, maka
kemungkinan besar seseorang yang tinggal di dalamnya dapat menyesuaikan diri
dengan baik pula. Penyesuaian diri akan terwujud dalam perilaku individu yang
mampu menerima diri sendiri, memiliki hubungan positif dengan orang lain,
mandiri, dapat menguasai lingkungan, memiliki tujuan hidup dan masih mampu
untuk mengembangkan diri. Lansia masih mendapat perhatian yang cukup dalam
Banyak lansia yang tinggal bersama keluarga, meskipun ada juga dari lansia yang
memilih tinggal di rumah sendiri karena merasa sayang dengan rumahnya dan
tidak mau merepotkan anak-anaknya. Hal tersebut kadang membawa dampak
lain, yaitu lansia merasa kesepian karena tinggal sendiri dan menghadapi masalah
dalam menjalani hidup mereka selanjutnya sendirian, dan dapat pula terjadi,
mereka mudah sakit karena kesepian. Lansia yang tinggal dalam keluarga
biasanya tinggal bersama anaknya (ikut anak) sehingga ada yang memperhatikan
dan lebih mungkin terkontrol kesehatannya dibanding dengan lansia yang tinggal
sendiri.
Penyesuaian diri karena kehilangan pasangan pada lansia perlu cara yang
berbeda antara pria dan wanita. Para ahli berpendapat bahwa cara pria dan wanita
mengatasi pengalaman yang menyebabkan stress amat dipengaruhi oleh proses
belajar sejak kecil (Sebatu, 1994: 28). Pria akan mengalami masalah karena
adanya perasaan kesepian, sedangkan wanita bermasalah karena berkurangnya
pendapatan.
Pria merasa kesepian seiring dengan menyusutnya kegiatan dan merasa
tidak siap untuk hidup sendiri serta mengatur hidupnya, yang biasanya dilakukan
dengan istri. Pria juga menjalani penyesuaian diri dengan masa pensiun. Pria yang
biasa bekerja, kemudian kehilangan kegiatan akan membuatnya menganggur.
Apabila tidak memiliki kegiatan yang menyenangkan maka akan merasa
kesepian. Pria akan mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan tempat
keluarga anaknya atau kerabat dekat lainnya. Hal ini disebabkan karena pria
merasa kemerdekaannya telah dirampas. Pria menganggap kehidupan sebagai
suatu peristiwa yang otonom dan ingin menguasai dunia (Kartono, 1980: 142).
Pria lebih dapat menyesuaikan diri dalam hal keuangan atau segala sesuatu
menyangkut ekonomi dibanding dengan wanita karena pria sudah terbiasa bekerja
dan mendapatkan penghasilan sendiri atau karena memiliki pensiun.
Wanita mengalami masalah ketika tidak lagi memiliki pasangan hidup,
karena wanita akan mengalami berkurangnya pendapatan. Wanita, terlebih dalam
budaya Timur, banyak bergantung pada penghasilan suami sehingga akan
mengalami masalah dalam hal ekonomi ketika sudah tidak memiliki suami
(Hurlock, 1999: 425 ; Santrock, 1995: 229). Wanita lebih dapat menyesuaikan
diri dengan keluarga anaknya apabila harus tinggal bersama. Hal ini disebabkan
karena wanita pada umumnya memiliki sifat keibuan yang lebih tinggi (Kartono,
1980: 143). Wanita mencurahkan hidupnya untuk keluarganya karena keluarga
merupakan sumber kepuasan dan harga diri (Calhoun and Acocella, 1996: 439).
Wanita dinilai lebih luwes dalam menyelesaikan soal karena lebih fleksibel.
Wanita cenderung tidak diam pada suatu posisi akan tetapi dengan rela mau
mengubah sesuatu jika dirasakan kurang bijaksana. Wanita sering hidup dalam
sikap responsif, mau mendengar dan mengerti perasaan orang lain, selain itu
wanita dinilai memiliki kemampuan mengatasi situasi dan berfirasat tinggi (Moris
dalam Sebatu, 1994: 97). Wanita dinilai mampu mengatasi stress yang mereka
mana wanita boleh memiliki keterbatasan sehingga mudah mendapatkan bantuan
dari orang lain, sementara untuk pria hal tersebut tidak diperbolehkan. Pria
dituntut untuk tidak bergantung pada orang lain, dan harus bergantung pada
kompetensinya sendiri. Masyarakat patriarkhat menuntut pria tidak boleh
mengeluh dalam kesulitan, apabila pria mengeluh dan mencari bantuan pada
wanita maka dianggap sebagai tindakan yang memalukan.
Faktor lain yang dapat menentukan kemampuan untuk menyesuaikan diri
terhadap hilangnya pasangan selain lingkungan tempat tinggal adalah lamanya
waktu telah ditinggalkan. Semakin lama waktu sudah ditinggalkan, harapan
penyesuaian diri yang dilakukan juga semakin baik, karena seiring dengan
berjalannya waktu, seseorang akan dapat menerima kematian pasangan hidup dan
kemudian dapat menyesuaikan diri dengan keadaannya yang baru, yaitu hidup
tanpa pasangan hidup lagi atau menjanda (Averill dalam Santrock, 1995: 272).
Setiap orang membutuhkan waktu yang berbeda-beda untuk dapat menyesuaikan
diri. Di Jawa, terdapat tradisi seseorang yang sudah meninggal akan diperingati
sampai seribu hari meninggalnya dengan upacara-upacara tertentu. Rentang
waktu kurang lebih tiga tahun tersebut merupakan proses untuk dapat menerima
dan menyesuaikan diri, karena selama tiga tahun itu kemungkinan untuk masih
mengingat-ingat seseorang yang sudah meninggal akan lebih sering dilakukan.
Melihat berbagai masalah yang dapat terjadi pada lansia ketika pasangan
hidupnya meninggal, peneliti ingin melihat dan meneliti lebih lanjut mengenai
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimanakah penyesuaian diri lansia terhadap kematian pasangan
hidup?
2. Apakah terdapat perbedaan penyesuaian diri terhadap kematian pasangan
hidup pada lansia pria dan lansia wanita ?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan tentang penyesuaian diri
terhadap kematian pasangan hidup pada lansia dan mengetahui apakah terdapat
perbedaan dalam hal menyesuaikan diri terhadap kematian pasangan hidup pada
lansia pria dan lansia wanita.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoretis
Secara teoretis, penelitian ini dapat menambah khasanah wawasan
ilmu pengetahuan dan mendukung kemajuan ilmu pengetahuan khususnya
Psikologi Perkembangan tentang lansia.
2. Manfaat praktis
a. Bagi subjek
Bagi subjek, penelitian ini dapat memberikan pengetahuan tentang
mempengaruhi penyesuaian diri sehingga mereka dapat menerapkannya
dalam kehidupan sehari-hari dan menemukan solusi yang tepat bagi
masalah yang mereka hadapi.
b. Bagi keluarga
Bagi keluarga, penelitian ini diharapkan dapat memberikan
pengetahuan berupa aspek-aspek yang mendukung penyesuaian diri yang
baik kepada anggota keluarga yang memiliki lansia yang sudah tidak
memiliki pasangan, sehingga dapat membantu lansia dalam menyesuaikan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Lansia
1. Pengertian Lansia
Lansia merupakan tahap terakhir dalam kehidupan seseorang sebelum
meninggal. Hurlock (1999: 380) membagi rentang kehidupan terakhir ini
dalam dua tahap. Pertama, usia lanjut dini yang berkisar antara usia enam
puluh sampai tujuh puluh tahun. Kedua, usia lanjut yang berkisar antara usia
tujuh puluh sampai akhir kehidupan seseorang. Tahap akhir dari rentang
kehidupan seseorang ini biasanya berupa periode di mana seseorang merasa
“beranjak jauh” dari periode terdahulu yang lebih menyenangkan, atau
beranjak dari waktu yang penuh dengan manfaat. James N. Lapsley (dalam
Widjojo, 2000: 152) mengatakan, di Amerika Serikat orang yang disebut
lansia adalah orang yang berumur antara 65 sampai dengan 70 tahun.
Sedangkan menurut Gary R. Collins (dalam Widjojo, 2000: 152), lansia
berkisar antara 60 sampai dengan 65 tahun.
Ahli psikologi perkembangan (dalam Santrock, 1995: 193) membagi
periode lansia dalam tiga bagian atau sub periode, yaitu:
a. The young old or old age
Lansia yang termasuk dalam sub periode ini adalah lansia
dihadapkan pada masalah berkurangnya peran, aktivitas, teman, dan
penghasilan sebagai konsekuensi masa pensiun yang juga baru
dimasukinya. Lansia pada usia ini juga mengalami kondisi yang
mulai menurun tetapi masih memiliki kekuatan untuk beraktivitas.
b. The old old or late old age (75 years and older)
Lansia pada usia ini mengalami penurunan kondisi fisik secara
nyata mulai dari tidak berfungsi dengan baik organ-organ tubuhnya
sampai munculnya penyakit-penyakit. Produktivitas mengalami
penurunan karena daya tahan kerja juga menurun, kecepatan dan
ketepatan gerak pun menurun.
c. The oldest old (85 years and older)
Lansia pada usia ini semakin mengalami keterbatasan fisik
yang berat, ketergantungan pada orang lain pun juga semakin besar.
Para ahli perkembangan menyatakan, penting membuat pembagian ini
agar lebih nyata ketika akan membedakan antara the oldest old (85 years and
older) dengan the young old (Santrock, 1997: 194), selain itu juga terdapat
heterogenitas pada setiap periode atau sub periode perkembangan.
Erikson membagi rentang kehidupan dalam 8 tahap perkembangan
psikososial. Tahap yang terakhir dalam dalam pembagiannya adalah integrity
versus despair yaitu tahap yang dialami pada usia tua atau lansia. Tahap
integritas versus keputusasaan di mana integritas merupakan keadaan yang
ancaman. Integritas dicapai setelah berhasil menyesuaikan diri dengan
peristiwa hidup dan melakukan refleksi serta evaluasi atas peristiwa hidup
tersebut (Hall dalam Supratiknya, 1993: 154). Lawan integritas adalah
keputusasaan tertentu menghadapi perubahan siklus kehidupan. Keputusasaan
terjadi karena terdapat ketakutan akan kematian dan diperburuk dengan
adanya perasaan bahwa kehidupan ini tidak berarti. Lansia yang terintegrasi
akan mencapai kebahagiaan.
Peck (dalam Santrock, 1995: 250) mengolah kembali tahapan akhir
Erikson dan membaginya dalam 3 tugas perkembangan yang dihadapi pria
dan wanita saat mereka tua. Pertama, diferensiasi versus kesibukan terhadap
peran (differentiation versus role preoccupation) merupakan tugas
perkembangan di mana lansia harus mendefinisikan nilai dirinya dalam istilah
yang berbeda dari peran-peran kerja. Pada tahap sebelumnya, lansia
menghabiskan waktu dengan bekerja dan anak-anaknya oleh karena itu untuk
mengganti kegiatannya yang hilang itu maka lansia membutuhkan
serangkaian aktivitas yang bernilai. Kedua, kekuatiran pada tubuh versus
kesibukan dengan tubuh (body trancendence versus body preoccupation)
merupakan tugas perkembangan dari Peck di mana lansia harus mengatasi
penurunan kesehatan fisik termasuk penyakit baru yang muncul. Ketiga,
melampaui ego versus kesibukan dengan ego (ego trancendence versus ego
preoccupation) merupakan tugas perkembangan dari Peck, di mana lansia
tentram dan bahagia karena telah memberi sumbangan untuk masa depan
melalui pekerjaan dan pengasuhan anak yang sudah dilakukan.
2. Tugas Perkembangan Lansia
Havighurst (dalam Hurlock, 1996: 10) menyebutkan tugas-tugas
perkembangan usia lanjut adalah sebagai berikut :
a. Menyesuaikan diri dengan menurunnya kekuatan fisik dan
kesehatan.
b. Menyesuaikan diri dengan masa pensiun dan berkurangnya
pendapatan (income) keluarga.
c. Menyesuaikan diri dengan kematian pasangan hidup.
d. Membentuk hubungan dengan orang-orang yang seusia.
e. Membentuk pengaturan kehidupan fisik yang memuaskan, dan
menyesuaikan diri dengan peran social secara luwes.
3. Teori-Teori Penuaan
Teori-teori mengenai penuaan banyak disampaikan oleh ahli
perkembangan, diantaranya adalah mengenai teori-teori sosial mengenai
penuaan (dalam Santrock, 1995: 239).
a. Teori aktivitas (activity theory)
Teori ini mengemukakan bahwa semakin lansia melakukan
banyak aktivitas dan terlibat dalam kegiatan-kegiatan, maka semakin
kecil kemungkinan lansia tersebut menjadi renta dan semakin besar
harus terus meneruskan peran-peran dan tugas perkembangan
selanjutnya dan memelihara hubungan sosial yang baik.
b. Teori rekonstruksi gangguan sosial (social breakdown-reconstruction
theory)
Penuaan dikembangkan melalui fungsi psikologis yang negatif
yang dibawa oleh pendangan negatif tentang dunia sosial dari
orang-orang lansia dan tidak memadainya penyediaan layanan untuk
mereka. Rekonstruksi sosial terjadi dengan mengubah pandangan
dunia sosial dari orang-orang lansia dan menyediakan sistem yang
mendukung para lansia. Menurut teori ini, gangguan sosial dimulai
dari pandangan dunia sosial yang negatif mengakibatkan identifikasi
dan pemberian label untuk seseorang sebagai individu yang tidak
mampu. Rekonstruksi sosial dapat mengembalikan gangguan sosial.
Teori aktivitas dan teori rekonstruksi gangguan sosial menunjukkan
kapasitas dan kompetensi lansia jauh lebih tinggi daripada pengakuan
masyarakat masa lampau.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan yang
dimaksud lansia adalah seseorang yang berumur 60 sampai akhir kehidupan
seseorang atau meninggalnya seseorang di mana pada rentang usia ini
seseorang mengalami kemunduran baik secara fisik maupun mental sehingga
pada tahap ini seseorang harus melakukan penyesuaian diri karena
berbagai kemunduran yang ia alami ditandai dengan adanya aktivitas yang
kontinyu.
B. Penyesuaian Diri terhadap Hilangnya Pasangan Hidup
1. Pengertian Penyesuaian Diri
Penyesuaian diri diperlukan dalam menghadapi masalah dalam hidup.
Calhoun dan Accocella (1990: 13) mendefinisikan penyesuaian diri adalah
proses interaksi yang berkelanjutan terhadap diri sendiri, orang lain, serta
dunia sekitar. Penyesuaian diri dapat dilakukan dengan mengubah tingkah
laku sampai ditemukan reaksi yang tepat, sehingga masalah dapat
diselesaikan.
Ahli-ahli psikologi humanistic seperti Abraham Maslow dan Carl
Rogers (dalam Calhoun dan Accocella 1990: 23) mengatakan bahwa
penyesuaian yang baik adalah aktualisasi diri, yakni seseorang mampu
mengembangkan potensi unik menjadi suatu realisasi yang penuh, oleh karena
itu diperlukan konsep diri yang luas dan fleksibel. Penyesuaian diri
merupakan suatu proses yang dialami individu dalam usaha melakukan
keseimbangan fisiologis dan psikologis serta mendorong dirinya menuju
peningkatan diri. Hal tersebut didukung oleh ahli psikologi eksistensial yang
menyamakan penyesuaian diri yang baik dengan realisasi potensi diri.
Menurut Hurlock (1999: 3) penyesuaian diri diperlukan untuk
hidup. Keberhasilan penyesuaian diri memungkinkan terjadinya keberhasilan
menghadapi perubahan perkembangan selanjutnya.
Penilaian terhadap penyesuaian diri merupakan penilaian mengenai
kualitas, yaitu penyesuaian diri yang baik dan penyesuaian diri yang buruk
(maladjusment). Calhoun dan Accocella (1990: 16) menyebutkan dalam
mengevaluasi penyesuaian diri ditentukan oleh situasi dan nilai di mana
tingkah laku itu terjadi. Tingkah laku yang dianggap baik dalam satu situasi
tertentu bisa jadi dikatakan tingkah laku yang buruk dalam situasi lain.
Penyesuaian diri yang baik berdasar satu set nilai tertentu bisa jadi kelihatan
buruk bagi satu set nilai yang lain.
Thomae (dalam Monks, dkk., 2001: 339) mengungkapkan bahwa
penyesuaian diri dan keseimbangan akan dapat dicapai bila seseorang dapat
memadukan keinginan dan pengharapannya dengan apa yang ia lihat dan
dialaminya sehingga seseorang dapat mengubah keinginan ataupun
persepsinya. Keseimbangan akan terwujud bila orang tersebut memperoleh
apa yang diinginkannya dan menginginkan apa yang diperolehnya.
Individu dalam kehidupannya akan mencapai tahap di mana individu
menikah atau berpasangan dengan orang lain. Pada waktu tertentu, individu
juga akan mencapai tahap kehilangan pasangannya. Penyesuaian diri terhadap
hilangnya pasangan hidup merupakan proses penerimaan secara sadar dari
individu terhadap lingkungan, baik secara fisik, psikis, maupun sosial sesuai
lingkungannya karena hal-hal negatif dapat terjadi pada seseorang yang
kehilangan pasangan hidup, antara lain : menjadi sangat perasa dan banyak
menuntut pada orang-orang di sekitarnya. Perhatian dan pengertian dari
lingkungan tempat individu berada dapat membantu individu tersebut dalam
mengatasi perasaan sedih, perasaan kesepian, bahkan stress yang dapat
muncul akibat hilangnya pasangan hidup (Santrock, 1995: 271).
2. Aspek-Aspek Penyesuaian Diri
Penyesuaian diri dapat dibedakan menjadi dua, yaitu penyesuaian diri
yang baik dan penyesuaian diri yang buruk. Vembriarto (1993: 17)
mengemukakan kriteria-kriteria penyesuaian diri. Kriteria-kriteria tersebut
adalah sebagai berikut :
a. Kepuasan psikis
Penyesuaian diri yang baik akan menimbulkan kepuasan psikis
sehingga menimbulkan kebahagiaan, yang tampak dengan tidak
terdapatnya perasaan kecewa, gelisah, lesu, depresi, dan tidak
bersemangat.
b. Efisiensi kerja
Penyesuaian diri yang baik akan tampak dalam kerja atau kegiatan
yang efisien. Aktivitas yang dilakukan, merupakan aktivitas yang
berdasarkan minat yang kuat dan mampu menikmatinya, sehingga mampu
c. Gejala fisik
Penyesuaian diri yang baik akan memunculkan gejala fisik yang
positif dan sehat, tidak mudah sakit kepala ataupun perut, tidak
mengalami gangguan pencernaan, dan gejala fisik yang positif lainnya.
d. Penerimaan sosial
Penyesuaian diri yang baik akan menimbulkan reaksi setuju dari
masyarakat sehingga akan tampak adanya dukungan sosial. Individu
mampu berpartisipasi dalam kegiatan kemasyarakatan, dan membangun
relasi yang baik dengan orang lain.
3. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Penyesuaian Diri
Penyesuaian diri merupakan suatu proses mental dan tingkah laku yang
mendorong seseorang untuk melakukan reaksi terhadap kejadian-kejadian
dalam kehidupan. Reaksi yang dilakukan sesuai dengan keinginan yang
berasal dari dalam diri dan dapat diterima oleh lingkungannya. Kemampuan
penyesuaian diri antara individu satu dengan yang lain dapat berbeda-beda
tingkatnya. Schneiders (1964: 122) menyebutkan faktor – faktor yang dapat
mempengaruhi kemampuan seseorang dalam menyesuaikan diri antara lain :
a. keadaan fisik dan faktor genetik yang diturunkan meliputi: persyarafan,
kelenjar, otot – otot, serta kesehatan dan penyakit yang menurun.
b. Perkembangan kematangan, khususnya kematangan intelektual, sosial,
c. Faktor psikologis meliputi: pengalaman belajar, kondisioning, frustrasi,
konflik, dan self determination.
d. Kondisi lingkungan meliputi: rumah, keluarga, sekolah, dan lingkungan
pergaulan.
e. Faktor kebudayaan yang berlaku di rumah, keluarga, lingkungan
pergaulan, dan sekolah.
Sedangkan Darajad (1996: 24-27) menyatakan bahwa faktor yang
mempengaruhi penyesuaian diri lebih banyak berasal dari internal individu
yang bersangkutan seperti:
a. frustrasi (tekanan terhadap perasaan)
b. konflik (pertentangan batin)
c. kecemasan
Penyesuaian diri secara terus menerus diupayakan oleh setiap individu
untuk mencapai keseimbangan hidup setelah mengalami perubahan, salah
satunya adalah penyesuaian diri terhadap hilangnya pasangan hidup.
Faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri terhadap hilangnya pasangan
hidup antara lain adalah sebagai berikut :
a. Kondisi ekonomi
Individu yang menjanda (duda ataupun janda) akan mengalami
berkurangnya pendapatan. Berkurangnya pendapatan dapat mempengaruhi
yang sebelumnya bergantung pada penghasilan pasangan hidup (Santrock,
1995: 229; Hurlock, 1999: 425)
b. Lamanya ditinggalkan pasangan hidup
Lamanya ditinggalkan pasangan hidup merupakan faktor yang
mempengaruhi penyesuaian diri terhadap hilangnya pasangan hidup terlebih
yang sangat dicintai karena akan meninggalkan duka cita. Fase duka cita
menurut Averill (dalam Santrock, 1995: 272) adalah terkejut, putus asa, dan
pulih kembali. Fase pertama, terkejut, orang yang ditinggalkan akan merasa
terkejut, tidak percaya, dan lumpuh emosi, serta menolak, sehingga akan
membuatnya sering menangis, atau bahkan mudah marah dan tersinggung.
Fase ini biasanya terjadi 1 – 3 hari setelah kematian orang yang disayangi.
Fase kedua, putus asa, ditandai dengan perasaan sakit yang berkepanjangan
atas kematian, memori yang indah, kesedihan, kegelisahan, susah tidur, dan
mudah tersinggung. Fase putus asa ini dapat terjadi beberapa minggu saja,
tetapi ada yang mengalami 1 – 2 tahun setelah kematian. Fase ketiga, pulih
kembali, biasanya terjadi 1 tahun setelah kematian. Fase pulih kembali
diiringi dengan penerimaan dan meningkatnya aktivitas kembali sehingga
semakin waktu berjalan, diharapkan seseorang yang kehilangan pasangan
dapat menyesuaikan diri kembali.
c. Tempat tinggal atau lingkungan
Lingkungan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
individu yang ada di dalamnya (Vembriarto, 1993: 22). Individu
menyesuaikan diri dengan cara-cara yang dapat diterima oleh lingkungannya,
sehingga dukungan dan penerimaan sosial turut membantu lansia dalam
menyesuaikan diri terhadap hilangnya pasangan hidup.
Dari beberapa uraian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa
penyesuaian diri dipengaruhi oleh faktor internal berupa faktor fisik, psikis,
dan kognitif serta faktor eksternal berupa kondisi lingkungan sekitar individu,
rumah, keluarga, lingkungan pergaulan, dan kebudayaan yang berlaku
didalamnya. Penyesuaian diri terhadap hilangnya pasangan hidup dipengaruhi
oleh kondisi ekonomi, lamanya ditinggalkan pasangan hidup, dan lingkungan
tempat tinggal.
4. Ciri – Ciri Penyesuaian Diri Yang Baik
Penyesuaian diri yang efektif dapat memberikan pengaruh yang positif,
seperti tercapainya kepuasan hidup dan tujuan hidup. Individu dapat mencapai
kesejahteraan psikologis yang diinginkan. Penyesuaian diri yang efektif
menjadi tanda adanya kemampuan individu dalam menyesuaikan diri terhadap
apa yang sedang dihadapinya.
Warga (1983: 24) menyebutkan ciri – ciri individu yang dapat
menyesuaikan diri dengan baik yaitu:
a. Memperlakukan orang lain sebagai individu.
b. Bekerja dengan kemampuan penuh.
d. Mampu menikmati banyak hal.
e. Mampu memecahkan masalah internal dan eksternal.
f. Mengenal dengan baik, memahami, dan menerima orang lain.
g. Melakukan aktivitas yang sesuai minatnya.
h. Emosi yang dimiliki stabil.
i. Rasa ingin tahu terhadap banyak hal cukup besar.
Haber dan Ruyon (1984: 10-18) mengungkapkan cirri-ciri penyesuaian
diri yang sehat sebagai berikut :
a. Terdapatnya akurasi persepsi terhadap realitas.
b. Mampu mengatasi stress dan kecemasan.
c. Mempunyai self image yang positif.
d. Mampu mengekspresikan emosi secara tepat.
e. Mampu menjalin hubungan interpersonal dengan baik.
Hurlock (1999: 258) menjabarkan ciri – ciri individu yang mempunyai
kemampuan menyesuaikan diri dengan baik sebagai berikut:
a. Mampu dan bersedia bertanggung jawab.
b. Mampu perpartisipasi dalam kegiatan yang sesuai dengan tingkatan
usianya.
c. Mampu mengatasi masalah dengan segera.
d. Mampu mengambil keputusan tanpa konflik dan banyak pertimbangan
orang lain.
f. Mempunyai sikap sesuai dengan situasi dan kondisinya.
g. Mampu menunjukkan kemampuan afeksinya berupa kasih sayang dan
empatinya secara langsung.
h. Mampu menunjukkan reaksi emosi secara positif.
i. Mampu menerima kenyataan hidupnya sendiri.
j. Mempunyai konsentrasi pada tujuan yang hendak dicapai.
Uraian mengenai ciri – ciri individu yang dapat menyesuaikan diri
dengan baik di atas dapat disimpulkan bahwa individu yang mempunyai
kemampuan yang baik dalam menyesuaikan diri adalah individu yang dapat
mengatasi diri dan masalah yang sedang dihadapi dengan cara yang tepat
tanpa mengganggu aktivitas ataupun hubungannya dengan orang lain.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan yang dimaksud
dengan penyesuaian diri merupakan proses tercapainya keseimbangan antara apa
yang diinginkan individu dan harapannya dengan apa yang dilihat dan dialami
individu. Penyesuaian diri merupakan proses yang berkelanjutan antara diri
sendiri, orang lain, dan dunia sekitar. Penyesuaian diri dilakukan untuk
menghadapi perubahan dalam perkembangan lingkungan. Penyesuaian diri yang
baik ditandai dengan adanya indikasi sebagai berikut:
1). kepuasan psikis
2). efisiensi kerja
3). gejala fisik
C. Penyesuaian Diri Terhadap Hilangnya Pasangan Hidup Pada Lansia
Penyesuaian diri merupakan proses tercapainya keseimbangan antara apa
yang diinginkan individu dan harapannya dengan apa yang dilihat dan dialami
individu dan merupakan proses yang berkelanjutan antara diri sendiri, orang lain,
dan dunia sekitar. Penyesuaian diri dipengaruhi oleh faktor internal berupa faktor
fisik, psikis, dan kognitif serta faktor eksternal berupa kondisi lingkungan sekitar
individu, rumah, keluarga, lingkungan pergaulan, beserta kebudayaan yang
berlaku didalamnya. Ciri – ciri individu yang dapat menyesuaikan diri dengan
baik adalah individu yang dapat mengatasi diri dan masalah yang sedang dihadapi
dengan cara yang tepat tanpa mengganggu aktivitas ataupun hubungannya dengan
orang lain.
Penyesuaian diri yang baik ditandai dengan adanya indikasi kepuasan
psikis, efisiensi kerja, gejala fisik, dan penerimaan sosial. Penyesuaian diri yang
baik akan menimbulkan kepuasan psikis sehingga menimbulkan kebahagiaan,
yang tampak dengan tidak terdapatnya perasaan kecewa, gelisah, lesu, depresi,
dan tidak bersemangat. Penyesuaian diri yang baik juga akan tampak dalam kerja
atau kegiatan yang efisien. Aktivitas yang dilakukan, merupakan aktivitas yang
berdasarkan minat yang kuat dan mampu menikmatinya, sehingga mampu
menciptakan produktivitas yang stabil bahkan cenderung meningkat. Gejala fisik
yang positif dan sehat, tidak mudah sakit kepala ataupun perut, tidak mengalami
gangguan pencernaan, dan gejala fisik yang positif lainnya. Selain itu
akan tampak adanya dukungan sosial. Individu mampu berpartisipasi dalam
kegiatan kemasyarakatan, dan membangun relasi yang baik dengan orang lain.
Individu dalam kehidupannya akan mencapai tahap di mana individu
menikah atau berpasangan dengan orang lain. Pada waktu tertentu, individu juga
akan mencapai tahap kehilangan pasangannya. Peristiwa hilangnya pasangan
hidup dapat terjadi kapan saja, dapat terjadi ketika seseorang masih dalam tahap
usia dewasa maupun lansia. Hilangnya pasangan dapat dikarenakan oleh peristiwa
perceraian maupun peristiwa kematian, akan tetapi pada lansia, kehilangan
pasangan hidup lebih banyak dikarenakan oleh peristiwa kematian (Hurlock,
1999: 425; Zimbardo, 1979: 218).
Lansia melakukan penyesuaian diri terhadap perubahan yang ia alami
salah satunya penyesuaian diri terhadap hilangnya pasangan hidup. Upaya
penyesuaian diri pada lansia meliputi penerimaan secara sadar dari individu
terhadap lingkungan, baik secara fisik, psikis, maupun sosial sesuai dengan
kondisi yang dimiliki dan membutuhkan perhatian dan pengertian dari
lingkungannya (Abbas, 1999: 2) karena hal-hal negatif dapat terjadi pada lansia,
antara lain : menjadi sangat perasa dan banyak menuntut pada orang-orang di
sekitarnya. Lain halnya dengan lansia yang memiliki kematangan sebagai
individu. Lansia yang matang dapat mengalami vitalitas yang baru, harapan baru,
dan perhatian baru, yang memungkinkan lansia tersebut menerima dan
Kemampuan dan jenis penyesuaian diri terhadap hilangnya pasangan
hidup pada lansia dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut adalah
jenis kelamin dan kondisi ekonomi, lamanya sudah ditinggalkan pasangan, serta
lingkungan tempat tinggal.
Troll (dalam Zimbardo, 1979: 218) mengungkapkan bahwa kehilangan
pasangan hidup karena kematian lebih banyak terjadi pada lansia dan lebih
banyak dialami oleh wanita daripada pria. Hal ini disebabkan karena beberapa
sebab. Pertama, usia wanita ketika menikah lebih muda daripada pria. Kedua,
wanita mempunyai harapan hidup lebih panjang daripada pria. Ketiga, duda yang
masih muda akan senang menikah lagi daripada janda karena suami tergantung
pada istri dalam hal pemenuhan kebutuhan makanan, perawatan rumah, dan tugas
– tugas ibu rumah tangga yang lain; selain itu istri juga sering lebih bertanggung
jawab menjaga hubungan dengan keluarga dan sanak saudara. Sedangkan
menurut Hurlock (1999: 425), jenis kelamin lansia dalam menyesuaikan diri
dibedakan karena antara pria dan wanita mengalami masalah yang berbeda dalam
menghadapi hilangnya pasangan karena pasangan meninggal. Wanita mengalami
masalah karena kesepian dan pendapatan yang berkurang, sedangkan pria karena
merasa kesepian.
Pria merasa kesepian seiring dengan menyusutnya kegiatan dan merasa
tidak siap untuk hidup menyendiri serta mengatur hidupnya yang biasanya ia
lakukan dengan istri. Pria dalam hal keuangan atau segala sesuatu menyangkut
terbiasa bekerja dan mendapatkan penghasilan sendiri atau apabila ia memiliki
pensiun.
Wanita merasa kesepian ketika ia tidak lagi memiliki pasangan hidup, ia
akan mengalami kurangnya pendapatan. Wanita, terlebih dalam budaya timur,
hidup bersama pasangan dan banyak bergantung pada penghasilan suami
sehingga mengalami masalah dalam hal perekonomiannya ketika sudah tidak
memiliki suami, meskipun ada juga yang dapat hidup secara mandiri karena
memiliki pekerjaan. Wanita lebih dapat menyesuaikan diri dengan keluarga
anaknya apabila ia harus tinggal bersama. Hal ini dapat disebabkan karena wanita
pada umumnya memiliki sifat keibuan yang lebih tinggi (Kartono, 1980: 142).
Wanita mencurahkan hidupnya untuk keluarganya karena keluarga merupakan
sumber kepuasan dan harga diri (Calhoun and Acocella, 1996: 439).
Atwater (1979: 414) menyatakan bahwa wanita lebih siap menyesuaikan
diri kehilangan pasangan hidup daripada pria meskipun duda biasanya lebih baik
secara finansial daripada janda, tetapi duda lebih sulit menghadapi tugas-tugas
rumah tangga.
Lamanya ditinggalkan pasangan hidup merupakan faktor yang
mempengaruhi penyesuaian diri terhadap hilangnya pasangan hidup terlebih yang
sangat dicintai karena akan meninggalkan duka cita. Fase duka cita menurut
Averill (dalam Santrock, 1995: 272) adalah terkejut, putus asa, dan pulih kembali.
Fase pertama, terkejut, orang yang ditinggalkan akan merasa terkejut, tidak
menangis, atau bahkan mudah marah dan tersinggung. Fase ini biasanya terjadi 1
– 3 hari setelah kematian orang yang disayangi. Fase kedua, putus asa, ditandai
dengan perasaan sakit yang berkepanjangan atas kematian, memori yang indah,
kesedihan, kegelisahan, susah tidur, dan mudah tersinggung. Fase putus asa ini
dapat terjadi beberapa minggu saja, tetapi ada yang mengalami 1 – 2 tahun setelah
kematian. Fase ketiga, pulih kembali, biasanya terjadi 1 tahun setelah kematian.
Fase pulih kembali diiringi dengan penerimaan dan meningkatnya aktivitas
kembali sehingga semakin waktu berjalan, diharapkan seseorang yang kehilangan
pasangan dapat menyesuaiakan diri kembali.
Lingkungan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi penyesuaian
diri karena lingkungan memberikan batasan-batasan terhadap individu yang ada
di dalamnya (Vembriarto, 1993: 22). Individu menyesuaikan diri dengan
cara-cara yang dapat diterima oleh lingkungannya, sehingga dukungan dan penerimaan
sosial turut membantu lansia dalam menyesuaikan diri terhadap hilangnya
pasangan hidup.
Atwater (1979: 415) mengungkapkan bahwa teman memegang peranan
penting dalam menghadapi kesendirian dan perasaan kesepian pada lansia yang
kehilangan pasangan hidup karena teman dapat menjadi tempat berbagi kisah bagi
lansia.
Lingkungan tempat tinggal lansia sangat beragam. Lansia dapat tinggal di
rumahnya sendiri, atau tinggal bersama keluarga sehingga ada yang mengawasi
dukungan dari keluarga sebagai tempat bergantung yang terdekat. Hubungan yang
baik di antara semua anggota keluarga merupakan suatu kebahagiaan yang besar
bagi lansia. Lansia juga dapat memilih tinggal di panti sosial tresna wreda karena
alasan-alasan tertentu (Monks, dkk., 2001: 351).
Penelitian ini mengambil lansia yang tinggal di rumah sendiri bersama
keluarga sebagai subjek penelitian.
D. Pertanyaan Penelitian
Pertanyaan penelitian yang muncul dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimanakah penyesuaian diri terhadap hilangnya pasangan hidup pada
lansia?
2. Apakah ada perbedaan penyesuaian diri terhadap hilangnya pasangan hidup
Skema 1: Proses Penyesuaian Diri Terhadap Hilangnya Pasangan Hidup Pada Lansia LANSIA
Kehilangan Pasangan Hidup
PENYESUAIAN DIRI Aspek-aspek :
- kepuasan psikis - efisiensi kerja - gejala fisik - penerimaan sosial Faktor-faktor yang
mempengaruhi penyesuaian diri terhadap hilangnya
pasangan hidup : - Kondisi ekonomi - Lama
ditinggalkan pasangan hidup - Tempat tinggal
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kuantitatif tentang penyesuaian diri terhadap hilangnya pasangan hidup pada lansia. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang dilakukan untuk mendeskripsikan atau memberi gambaran terhadap satu objek penelitian melalui data sampel atau populasi sebagaimana adanya, dengan melakukan analisis dan membuat kesimpulan yang berlaku secara umum (Sugiyono, 2000: 29).
Suryabrata (1998: 18) mengatakan bahwa tujuan penelitian deskriptif adalah untuk membuat penjabaran secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat populasi atau daerah tertentu.
B. Identifikasi Variabel Penelitian
Variabel-variabel yang tercakup dalam penelitian ini adalah 1. Variabel utama atau pokok
Penyesuaian diri lansia terhadap kematian pasangan hidup pada lansia 2. Variabel kontrol
a. jenis kelamin lansia (pria dan wanita) b. tempat tinggal lansia (non panti)
c. lama ditinggalkan pasangan (1-3 tahun) d. status ekonomi (punya penghasilan sendiri)
C. Definisi Operasional Variabel Penelitian
1. Variabel utama atau pokok
a. Kepuasan psikis, di mana penyesuaian diri yang baik akan menimbulkan kepuasan psikis sehingga menimbulkan kebahagiaan, yang tampak dengan tidak terdapatnya perasaan kecewa, gelisah, lesu, depresi, dan tidak bersemangat.
b. Efisiensi kerja, di mana penyesuaian diri yang baik akan tampak dalam kerja atau kegiatan yang efisian. Aktivitas yang dilakukan, merupakan aktivitas yang berdasarkan minat yang kuat dan mampu menikmatinya, sehingga mampu menciptakan produktivitas yang stabil bahkan cenderung meningkat.
c. Gejala fisik, di mana penyesuaian diri yang baik akan memunculkan gejala fisik yang positif dan sehat, tidak mudah sakit kepala ataupun perut, tidak mengalami gangguan pencernaan, dan gejala fisik yang positif lainnya.
d. Penerimaan sosial, di mana penyesuaian diri yang baik akan menimbulkan reaksi setuju dari masyarakat sehingga akan tampak adanya dukungan sosial. Individu mampu berpartisipasi dalam kegiatan kemasyarakatan, dan membangun relasi yang baik dengan orang lain.
peneliti. Skor rendah mengindikasikan penyesuaian diri yang cenderung negatif atau buruk, sebaliknya skor tinggi mengindikasikan penyesuaian diri yang positif atau baik.
2. Variabel kontrol
Variabel kontrol dalam penelitian ini yaitu :
a. Tempat tinggal lansia
Penelitian ini menggunakan subjek penelitian lansia yang tinggal atau hidup di rumah sendiri bersama keluarga (non panti).
b. Lama ditinggal pasangan
Penelitian ini menggunakan subjek penelitian lansia yang sudah pernah menikah dan sudah ditinggalkan pasangannya kurang dari 3 tahun. Pada kurun waktu tersebut seseorang yang sudah ditinggalkan sedang mengalami masa penyesuaian dan proses penerimaan akan kepergian pasangannya untuk selama-lamanya. Seseorang mengalami fase putus asa dan kesedihan ditinggalkan pasangan.
c. Status ekonomi
mempunyai penghasilan dari pensiun, maka pensiun tersebut merupakan pensiun sendiri (hasil dari pekerjaan subjek di masa lampau katika subjek masih bekerja). Hal ini untuk mengurangi bias yang dapat mempengaruhi variabel utama.
D. Subjek Penelitian
Subjek yang digunakan dalam penelitian ini adalah lansia yang sudah tidak mempunyai pasangan hidup karena pasangannya meninggal.
Metode pengambilan sampel yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling, yaitu mengambil sejumlah sampel dengan mengikuti ciri-ciri yang diketahui sebelumnya.
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah lansia yang memenuhi ciri-ciri sebagai berikut :
a. Lansia dengan umur 60-75 tahun b. Jenis kelamin pria dan wanita
c. Dapat diajak berkomunikasi dengan baik
d. Pernah menikah dan saat ini sudah tidak memiliki pasangan karena suami atau istrinya meninggal
E. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah metode rating yang dijumlahkan (method of summate rating) atau populasi dengan nama penskalaan respons atau penskalaan Likert (Gable dalam Azwar, 2003: 46). Metode ini merupakan metode pengukuran sikap yang mengusahakan respon subjek sebagai dasar penentuan nilai skala 4 kategori kesesuaian dan ketidaksesuaian. Skala terdiri dari sejumlah item favorable dan unfavorable. Ketentuan penilaian adalah sebagai berikut:
Favorable
Sangat Sesuai (SS) : apabila subjek memberi respon ini mendapat nilai 4 Sesuai (S) : apabila subjek memberi respon ini mendapat nilai 3 Tidak Sesuai : apabila subjek memberi respon ini mendapat nilai 2 Sangat Tidak Sesuai (STS): apabila subjek memberi respon ini mendapat nilai 1
Unfavorable
Maka bila seseorang mempunyai penyesuaian diri yang baik akan mendapat skor yang tinggi dan sebaliknya, apabila seseorang mempunyai penyesuaian diri yang buruk memiliki skor yang rendah.
Tabel 1
Blue print item sebelum uji coba
Penyesuaian Diri terhadap Kehilangan Pasangan Hidup pada Lansia
No
Komponen aspek yang hendak diukur
Kepuasan psikis 1,2,4,10,12,15, 20, 22,33
3,5,11,14,16,23, 37,44,53
18 2. Efisiensi kerja 8,17,18,29,30,
34,36,55,57
6,7,9,19,32,56,5 8,67,68
18 3. Gejala fisik 24,25,26,28,41,
51,52,54,60
27,31,35,38,39, 40,45,46,59
18 4. Penerimaan sosial 13,43,47,48,49,
50,61,64,69
21,42,62,63,65, 66,70,71,72
18
Jumlah 36 36 72
F. Pertanggungjawaban Mutu
1. Validitas
Validitas merupakan tingkat kemampuan suatu alat penelitian untuk mengungkapkan sesuatu yang menjadi sasaran pokok pengukuran yang dilakukan dengan alat ukur atau ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur untuk mengungkapkan sesuatu yang menjadi sasaran pokok pengukuran yang dilakukan dengan alat ukur tersebut (Azwar,2003: 99).
atas pertimbangan subjektif individual, dan prosedur validasinya tidak melibatkan perhitungan statistik apapun (Azwar, 1986: 57). Penelitian ini menggunakan prosedur validasi isi berdasarkan professional judgement yang dilakukan oleh dosen pembimbing.
2. Seleksi item
Seleksi item bertujuan untuk meningkatkan kualitas skala psikologi karena kualitas skala psikologi ditentukan oleh kualitas item yang ada didalamnya. Prosedur seleksi item dapat dilakukan dengan analisis dan seleksi berdasarkan evaluasi kualitatif yang melihar apakah item yang ditulis sudah sesuai dengan blue print dan indikator atau komponen perilaku yang hendak diungkapnya, melihat apakah item telah ditulis sesuai dengan kaidah penulisan yang benar, dan melihat apakah item yang ditulis masih mengandung social desirability yang tinggi. Prosedur ini dapat dilakukan oleh suatu panel ahli (Azwar, 2002: 55). Setelah dilakukan evaluasi kualitatif, tahap selanjutnya adalah seleksi item berdasarkan data empiris atau data hasil uji coba item pada kelompok subjek yang karakteristiknya setara dengan subjek yang hendak dikenai skala itu nantinya dengan melakukan analisis secara kuantitatif terhadap parameter item.
dilakukan dalam penelitian ini dilakukan dengan penghitungan koefisien korelasi item total (r it). Koefisien korelasi item total adalah koefisien korelasi
antara item dan skor total yang merupakan indeks validitas item dalam arti kesesuaian item dengan skor total dalam membedakan subjek yang mendapat skor tinggi dan yang mendapat skor rendah (Azwar, 1986: 75). Item yang dikatakan telah dapat memberikan kontribusi yang baik terhadap suatu alat ukur memiliki koefisien yang berkisar antara 0,30-0,50 (Cronbach dalam Azwar, 2002: 103).
Uji coba terhadap skala penelitian ini dilakukan pada tanggal 10 Agustus 2005 sampai 1 Oktober 2005. Subjek yang dikenakan alat ukur berdomisili di Kabupaten Bantul. Analisa yang dilakukan menggunakan program SPSS 12.0 for windows.
hidup pada lansia. Masing-masing komponen yang hendak diukur terdiri dari 10 buah item, 5 favorabel dan 5 unfavorabel.
Tabel 2
Blue print item setelah uji coba
Penyesuaian Diri terhadap Kehilangan Pasangan Hidup pada Lansia
No
Komponen aspek yang hendak diukur
Dalam penerapannya, reliabilitas dinyatakan oleh koefisien reliabilitas. Pengujian reliabilitas alat ukur dilakukan dengan teknik pengujian konsistensi internal (menganalisis konsistensi antar item) Alpha Cronbach. Pendekatan Alpha mempunyai nilai praktis dan efisiensi tinggi karena hanya didasarkan pada pengukuran satu kali pada sekelompok individu sebagai subjek penelitian (single trial administration). Nilai reliabilitas skala dianggap memuaskan apabila koefisien Alpha lebih dari 0,90 karena dengan demikian perbedaan atau variasi yang tampak pada skor tes tersebut mampu mencerminkan 90 % dari variasi yang terjadi pada skor murni subjek yang bersangkutan, dan 10 % dari perbedaan skor yang tampak disebabkan oleh variasi error pengukuran (Azwar, 2003: 86). Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini mendapatkan hasil berupa koefisien Alpha Cronbach sebesar 0,970.
G. Analisis Data
adalah nilai tengah setelah data diurutkan dari yang terkecil sampai terbesar atau sebaliknya.
Hasil penelitian ditentukan dengan membandingkan antara mean teoritik dan mean empirik. Untuk mengetahui data teoritik maka dilakukan perhitungan sebagai berikut :
a. Skor maksimum : 40 x 4 = 160 b. Skor minimum : 40 x 1 = 40 c. Range : 160 – 40 = 120 d. SD : 120
--- = 20
6
e. Mean teoritik : 160 + 40
--- = 100 2
Data teoritik di atas dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Skor maksimum : skor paling tinggi yang mungkin diperoleh subjek pada skala, dalam hal ini X max teo 4
b. Skor minimum : skor paling rendah yang mungkin diperoleh subjek pada skala. Dalam hal ini X min teo 1
c. Range : luas jarak sebaran antara skor maksimum dan skor minimum
e. Mean teoritik : rata-rata teoritik dari skor maksimum dan skor minimum.
Selain analisis statistik deskriptif, penelitian ini ingin melihat apakah ada perbedaan penyesuaian diri terhadap hilangnya pasangan hidup pada lansia antara pria dan wanita, maka digunakan analisis uji t sebagai bentuk pembuktiannya. Adapun rancangan penyajian dalam tabel perbandingan mean empirik dan mean teoritik adalah sebagai berikut :
Tabel 3
Perbandingan Mean Empirik dan Mean Teoritik
Mean teoritik
Mean empirik
Keterangan
Pria 100 X1 Penyesuaian diri positif bila mean empirik > mean teoritik Wanita 100 X2 Penyesuaian diri positif bila
mean empirik > mean teoritik Total 100 Xtot Penyesuaian diri positif bila
mean empirik > mean teoritik
Keterangan : X1 = besarnya mean empirik pria X2 = besarnya mean empirik wanita
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Pelaksanaan Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada tanggal 15 Januari 2006 sampai dengan 4 Februari 2006 di Kecamatan Bambanglipuro, Kecamatan Pandak, dan Kecamatan Bantul, Kabupaten Bantul dengan menggunakan surat izin penelitian dari Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma dengan nomor surat 95a/D/Psi/USD/ix/2005 untuk subjek penelitian. Subjek penelitian memiliki karakteristik sesuai dengan tujuan dan sasaran penelitian yakni lansia dengan umur 60 – 75 tahun, jenis kelamin pria dan wanita, lama ditinggalkan pasangan hidupnya karena meninggal maksimal 3 tahun, tinggal di rumah, dan mempunyai penghasilan sendiri dari pekerjaan sendiri, apabila subjek mendapat penghasilan berupa pensiun, maka pensiun tersebut adalah hasil dari pekerjaan subjek di masa lalu.
Skala yang disebarkan dalam penelitian ini sebanyak 70 eksemplar untuk 70 responden, akan tetapi 2 responden gugur karena tidak mengembalikan skala sehingga tersisa 68 responden sebagai subjek penelitian yang terdiri dari 32 orang pria dan 36 orang wanita. Seluruh subjek penelitian yang di dapat mempunyai Suku Bangsa Jawa. Tiap eksemplar terdiri dari petunjuk pengisian dan skala penyesuaian diri sebanyak 40 item yang terdiri dari 20 item favourable dan 20 item unfavourable.
B. Hasil Penelitian
1. Deskripsi Subjek Penelitian
Berikut ini adalah tabel yang berisi deskripsi subjek penelitian: Tabel 4
Deskripsi Data Subjek Penelitian Berdasarkan Usia Subjek Usia
(dalam tahun)
Jenis kelamin
Jumlah Pria Wanita
Tabel 5
Deskripsi Data Subjek Penelitian
Berdasarkan Lama Ditinggalkan Pasangan Hidup Lamanya
ditinggalkan pasangan hidup
(dalam bulan)
Jenis kelamin Jumlah Pria Wanita
Deskripsi Data Subjek Penelitian
Berdasarkan Usia dan Lama Ditinggalkan Pasangan Hidup Usia dan
Jenis kelamin
2. Deskripsi Data Penelitian Secara Umum
Berikut ini adalah tabel yang berisi data penelitian berdasarkan perhitungan komputerisasi dengan SPSS versi 12.0 :
Tabel 7
Deskripsi Data Penelitian Secara Umum
Pria Wanita
Skor minimum teoritik 40 40 Skor minimum empirik 86 80 Skor maksimum teoritik 160 160 Skor maksimum empirik 156 150
Mean teoritik 100 100
Mean empirik 126.13 117.03
Median 127.50 121.50
Modus 123 123
Standar deviasi 16.867 19.118
Variance 284.500 368.513
N 32 36
Tabel 8
Perbandingan Mean Empirik dan Mean Teoritik Mean
teoritik
Mean empirik
Kesimpulan
Pria 100 126,13 Penyesuaian diri positif karena mean empirik > mean teoritik
Wanita 100 117,03 Penyesuaian diri positif karena mean empirik > mean teoritik Total 100 121,31 Penyesuaian diri positif karena
Berdasarkan hasil analisis deskriptif data diperoleh bahwa nilai mean empirik pria (126,13) lebih besar dari nilai mean teoritik pria (100) dan mean empirik wanita (117,03) lebih besar dari mean teoritik wanita (100). Mean empirik total dari data penelitian sebesar 121,31 lebih besar dari mean teoritik (100). Hal ini menunjukkan bahwa nilai rata – rata subjek penelitian kelompok data lebih tinggi dari nilai rata – rata toeritik, yang berarti subjek penelitian secara umum memiliki penyesuaian diri yang positif baik pada subjek pria maupun wanita.
Uji signifikansi perbedaan mean empirik dan mean teoritik yang membuktikan bahwa mean empirik lebih besar dari mean teoritik secara signifikan dilakukan dengan t test one sample dengan menggunakan SPSS for windows versi 12.0 yang hasilnya adalah sebagai berikut :
Tabel 9
Uji t Mean Empirik dengan Mean Teoritik One-Sample Statistics jumlah 68 121.31 18.534 2.248
One-Sample Test
95% Confidence Interval of the Difference