• Tidak ada hasil yang ditemukan

Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi"

Copied!
138
0
0

Teks penuh

(1)

TERHADAP HILANGNYA PASANGAN HIDUP

PADA LANSIA

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh:

Carolina Retno Ekowati

NIM : 019114063 NIRM :

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)

iv

Karya ini penulis persembahkan untuk Ibu dan Bapak, adik-adik,

juga untuk Mas Budi

Untuk Mbah Se, sampai karya ini selesai kau telah dipanggil Bapa ke surga…

(5)

v

Motto

TUHAN sudah dekat !

Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga,

Tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu

Kepada ALLAH dalam doa dan permohonan dengan

ucapan syukur.

Damai sejahtera Allah,

Yang melampaui segala akal,

akan memelihara hati dan pikiranmu dalam Kristus Yesus.

(6)

vi ABSTRAK

Penyesuaian Diri Terhadap Hilangnya Pasangan Hidup Pada Lansia Carolina Retno Ekowati

019114063 Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta

Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan penyesuaian diri terhadap hilangnya pasangan hidup pada lansia. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh permasalahan lansia menghadapi banyak perubahan dalam hidupnya, salah satunya kehilangan pasangan hidup.

Penelitian ini dilakukan di Bantul. Responden penelitian ini sebanyak 68 orang dengan rincian 32 subjek pria dan 36 subjek wanita. Pengambilan data dilakukan dengan alat ukur skala penyesuaian diri terhadap hilangnya pasangan hidup. Kesahihan item bergerak antara 0,377 sampai dengan 0,823. Uji reliabilitas dengan teknik Alpha Cronbach menghasilkan koefisien reliabilitas skala sebesar 0,970.

(7)

vii ABSTRACT

Self Adjustment Of The Elders About The Losing Of The Spouse Carolina Retno Ekowati

019114063 Faculty of Psychology Sanata Dharma University

Yogyakarta

This research is aimed to describe the self adjustments of the elders due to their lost of their spouse. The background of this study was the problem of the elders to face many changes in their lives and one of them is to lose their spouse.

This research was conducted at Bantul, including 68 subjects of respondent that consist of 32 males and 36 females. The data that has been taken is measured by the scale of self adjustment due to the lost of spouse. The validity items move from 0,377 to 0,823 of the scale. The reliability test that used Cronbach Alpha Technique gives result 0,970 of reliability coefficient of the scale.

(8)
(9)

ix

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, terima

kasih karena berkah dan anugerah yang diberikan sehingga penulis dapat

menyelesaikan karya tulis ini. Penulisan karya tulis ini diajukan untuk memenuhi

syarat untuk memperoleh gelar sarjana.

Karya tulis berbentuk skripsi ini mengambil topik tentang penyesuaian diri

terhadap hilangnya pasangan hidup pada lansia. Dalam penulisan tugas akhir ini,

penulis mendapat bimbingan, semangat, inspirasi, dan dukungan dari berbagai pihak.

Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima

kasih.

Ucapan terima kasih yang tak terhingga penulis ingin sampaikan kepada :

1. Bapak Edi Suhartanto, S. Psi, M. Si sebagai Dekan Fakultas Psikologi

Universitas Sanata Dharma.

2. Ibu Silvia Carolina MYM, S. Psi, M, Si sebagai Kaprodi Fakultas Psikologi

Universitas Sanata Dharma yang memberikan dukungan begitu besar untuk

penulis dalam menyelesaikan penulisan Tugas Akhir ini.

3. Ibu Dra. Lucia Pratidarmanstiti M.S yang telah dengan sabar menghadapi

penulis, membantu dan membimbing tiada henti penulisan ini sampai akhir.

(10)

x

4. Bapak Dr. T. Priyo Widiyanto, M. Si dan Ibu ML. Anantasari, S. Psi., M. Si.,

sebagai tim penguji. Terima kasih bapak dan ibu.

5. Dosen-dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma, atas bimbingan,

pelajaran “hidup” yang tak terlupakan untuk penulis. Bu Agnes, Pak Sis, Bu

Nimas, Bu Tanti, semuanya saja...terima kasih.

6. Kedua orang tua, Bapak Ag. Sudaryadi dan Ibu LM. Siti Lumantari atas

segala cinta, perhatian, dukungan, kesabaran, dan doa yang tiada henti.

7. Kedua adikku L. Octa Dwi Prasetyo dan Y. Yesse Pungkar Heryadi. De’,

terima kasih banyak untuk tawa, canda, marah-marahan, terlebih atas

pengertian kalian. Yesse, semangat kuliah yaaa....

8. Untuk nenek, kakek, eyang, bapak, dan ibu yang telah membantu penulis

dalam penelitian. Tanpa kalian semua ini tidak akan ada. Semoga Tuhan

selalu memberkati...

9. Untuk karyawan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma yang dengan

sabar membantu penulis selama belajar dan penulisan Tugas Akhir. Mas

Gandung, Mbak Nanik, Pak Gik, Mas Muji, dan Mas Doni.

10.Untuk teman-teman Psikologi USD, Rani (kamu pasti juga bisa....semangat

terus...GBU), Mita, Dina, Devi, Tien, Diana, Juli (Thank’s Jul), James, Novi,

(11)

xi

terus de’), Jane, Mellisa, Melati, mbak Dini, Komeng dan masih banyak lagi,

maaf kalau ada yang tidak disebut...thank’s kawan!!!

11.Untuk keluarga besar Mbah Sewaya, mbah kakung putri di surga, Sr.

Angelina CB, juru doaku paling setia...sembah nuwun budhe.... Budhe Niek

dan Pakdhe Wiek atas doa dan semangatnya, juga Inar-Inu dan Banu (thanks

bro, abstraknya), keluarga Budhe Noek, Bulik Ipho dan Alm. Om Jar. D’

Erdha atas izin ngeprint setiap saat, thank’s banget.... Vita-Mas Wuri (kapan

kalian nikah??). Sr. Alexia CB, Sr. Adolpin CB(eyang, semoga lekas sembuh

n pulih lagi). Keluarga Wijaya Merauke, Om Eddy Bulik Martha dan

Lady....terima kasih atas tawaran hijrahnya, tapi...ga deh kayaknya.

12.Untuk keluarga besar Mbah Somo, mbah kakung di surga, mbah putri (atas

inspirasi dan semangat hidupmu....), keluarga pakdhe Sudaryono, keluarga

Bulik Tini, keluarga bulik Yanti, bulik Yam.

13.Untuk Rm. Willem Tee Daia, Pr. (terima kasih untuk segala bentuk

pencerahan, penguatan, dan doa), Rm. Ece muda-seorang sahabat jauh.

14.Untuk keluarga Mbah Parto, Ibu Warjiyati (selalu sehat ya bu…), Mbah Ro,

keluarga bulik War, Iik, Nunung, Maya, om Kartono, keluarga Om Karyono,

terima kasih semangat dan dukungan kalian.

15.Untuk keluarga Mas Mul alias Indah Cell untuk numpang ngeprint juga untuk

(12)

xii

16.Untuk AB 4663 BG, “pacar” yang dengan setia dan tidak pernah rewel

mengantar kemanapun...

17.Keluarga Shinta, Caca, dan Nana....yang dah jadi semangat lain dalam hidup

Bulik Tiwuk.

18.Untuk sahabat-sahabatku, Aan (sms inspiratifmu….), mbak Nuri, Simon,

Ami, mas Yuni, Umi (juragan lombok), Om Wid, mbak Asih dan baby dalam

rahimmu... terima kasih, dukungan kalian luar biasa, terima kasih telah

menjadi bagian hidupku....God bless u all....

19.Untuk yang tercinta, mas Yustinus Budi Wiarso....terima kasih atas segala

bentuk cinta, perhatian, doa yang tiada putus, semangat, kesabaran menunggu

dan kesetiaan yang luar biasa....menjadi orang yang selalu ada... terima kasih

karena mau menjadi tumpahan segala bentuk emosi, tetes air mata, suka dan

duka. Tunggu di Ciputat yaaa…. Terima kasih...nuwun ☺☺☺. Tuhan

memberkati.

Tak ada gading yang tak retak, pepatah ini menyadarkan penulis

bahwa karya ini jauh dari sempurna. Oleh karena itu penulis mohon maaf

apabila terdapat kesalahan. Semoga berguna untuk para pembaca.

Yogyakarta, September 2008

(13)
(14)

xiv

halaman

Halaman judul……….. i

Halaman pengesahan dosen..………... ii

Halaman pengesahan dosen penguji……….iii

Halaman persembahan………..iv

Motto………v

Abstrak……….vi

Abstact……….vii

Lembar pernyataan persetujuan publikasi karya ilmiah……….. viii

Kata pengantar………. ix

Surat pernyataan keaslian karya ilmiah………... xii

Daftar isi……….. xiv

Daftar tabel………...xvii

Daftar skema………xviii

Daftar lampiran……… xix

BAB I. PENDAHULUAN……….. 1

A. Latar Belakang………1

B. Rumusan Masalah……….. 8

C. Tujuan Penelitian………... 8

D. Manfaat Penelitian………. 8

(15)

xv

2. Tugas-tugas perkembangan lansia………... 13

3. Teori-teori penuaan……….. 13

B. Penyesuaian Diri Terhadap Hilangnya Pasangan Hidup………... 15

1. Pengertian penyesuaian diri………..15

2. Aspek-aspek penyesuaian diri………..17

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri………... 18

4. Ciri-ciri penyesuaian diri yang baik………. 21

C. Penyesuaian Diri terhadap Hilangnya Pasangan Hidup pada Lansia……….24

D. Pertanyaan Penelitian………. 29

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN……….. 31

A. Jenis Penelitian………..………. 31

B. Identifikasi Variabel Penelitian……….. 32

C. Definisi Operasional Variabel Penelitian………... 32

1. Variabel utama atau variabel pokok……….32

2. Variabel kontrol………... 34

D. Subjek Penelitian………... 35

E. Metode Pengambilan Data……….36

F. Pertanggungjawaban Mutu……….38

1. Validitas………38

2. Seleksi item……….. 39

(16)

xvi

A. Pelaksanaan Penelitian………... 46

B. Hasil Penelitian……….. 47

1. Deskripsi Subjek Penelitian………. 47

2. Deskripsi Data Penelitian secara Umum………. 49

3. Analisa Uji t Mean Empirik Pria dan Mean Empirik Wanita………….. 51

4. Deskripsi Data Penelitian Ditinjau Dari Tiap Aspek………... 52

C. Pembahasan………53

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN………. 58

A. Kesimpulan……….58

B. Kelemahan Penelitian……… 58

C. Saran……….. 59

1. Bagi Subjek Penelitian………..59

2. Bagi Keluarga………59

3. Bagi Peneliti Selanjutnya yang Tertarik Pada Topik Penelitian Ini…… 60

(17)

xvii

Tabel 1.Blue print item sebelum uji cobaPenyesuaian Diri

terhadap Kehilangan Pasangan Hidup pada Lansia……….38

Tabel 2. Blue print item setelah uji coba Penyesuaian Diri terhadap Kehilangan Pasangan Hidup pada Lansia………41

Tabel 3. Perbandingan Mean Empirik dan Mean Teoritik………..44

Tabel 4. Deskripsi Data Subjek Penelitian Berdasarkan Usia Subjek……….47

Tabel 5. Deskipsi Data Subjek Penelitian Berdasarkan Lama ditinggalkan Pasangan Hidup………48

Tabel 6. Deskripsi Data Subjek Penelitian Berdasarkan Usia dan Lama Ditinggalkan Pasangan Hidup………48

Tabel 7. Deskripsi Data Penelitian Secara Umum………....49

Tabel 8. Perbandingan Mean Empirik dan Mean Teoritik……….…………...49

Tabel 9. Uji t Mean Empirik dengan Mean Teoritik ………...50

Tabel 10.Uji t Mean Empirik dan Mean Teoritik Pria dan Wanita……….51

(18)

xviii

halaman

(19)

xix

Lampiran 1. Skala uji coba………..……… 64

Lampiran 2. Data uji coba dan Reliabilitas item total statistik……… 70

Lampiran 3. Skala penelitian………... 94

Lampiran 4. Data penelitian dan Statistik deskriptif data penelitian,

uji t with one sample, uji t with independent sample, deskripsi data penelitian

ditinjau tiap aspek………100

(20)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Setiap orang mengalami proses perkembangan dalam kehidupannya, baik

secara fisik maupun psikologis. Perkembangan yang terjadi tersebut akan

membawa perubahan bahkan dapat menyebabkan munculnya masalah. Hal

tersebut sangat normal. Seiring dengan perubahan yang terjadi, maka seseorang

akan membentuk reaksi-reaksi tertentu untuk menghadapinya. Mekanisme

tersebut dinamakan penyesuaian diri. Penyesuaian diri merupakan proses yang

berkesinambungan berupa reaksi individu terhadap berbagai stress yang muncul

dalam kehidupan individu (Pettijohn, 1992: 282).

Ada berbagai perubahan dalam kehidupan seseorang, mulai dari bayi yang

baru lahir sampai dengan orang pada tahap akhir kehidupan atau yang kita sebut

sebagai lansia, yang membutuhkan penyesuaian diri yang baik. Seorang lansia

mengalami banyak perubahan, bahkan pada tahap ini dicirikan sebagai tahap

kemunduran karena pada tahap ini, seseorang mengalami kemunduran baik

kemunduran secara fisik maupun mental, sehingga hal tersebut membawa

permasalahan yang sulit dan unik bagi seseorang yang tidak siap menghadapinya.

Lansia dapat mengalami permasalahan psikologis (Hurlock, 1999: 380), seperti

adanya perasaan tak berguna, perubahan pada pola hidup, kecenderungan untuk

(21)

kesepian karena kehilangan pasangan hidup dan teman sebaya. Berbagai

perubahan dan rasa kehilangan yang dialami oleh lansia membuat mereka harus

banyak melakukan penyesuaian diri. Lansia yang tidak siap menghadapi

permasalahan psikologis akan mengalami permasalahan-permasalahan baru

dalam kehidupannya bahkan dapat mempengaruhi keluarga dimana lansia berada.

Permasalahan lansia dan keluarga ini dapat menjadi permasalahan sosial baru

dalam masyarakat.

Salah satu tugas perkembangan lansia adalah menyesuaikan diri terhadap

hilangnya pasangan hidup. Kehilangan pasangan hidup dapat disebabkan

perceraian atau karena kejadian kematian, akan tetapi pada lansia kehilangan

pasangan hidup lebih banyak disebabkan oleh kematian pasangan hidup (Hurlock,

1999: 425; Zimbardo, 1979: 218).

Penyesuaian diri membutuhkan kemampuan yang baik. Penyesuaian diri

yang baik akan membawa dampak yang baik pula bagi seseorang yaitu

tercapainya kebahagiaan hidup, tetapi sebaliknya, apabila seseorang tidak dapat

menyesuaikan diri dengan baik maka akan mengalami masalah baru, misalnya

penyesuaian diri yang buruk karena ditinggalkan pasangan hidup pada lansia akan

menimbulkan masalah baginya dalam menjalin relasi sosial (Hurlock, 1999 :

408).

Pengalaman akan kematian orang lain terutama orang terdekat atau

keluarga mampu menimbulkan trauma dan akan mempengaruhi perspektif

(22)

terhadap kematian baik ketakutan dirinya yang akan mati maupun ketakutan akan

kematian orang lain. Oleh karena itu, kematian pasangan hidup merupakan

peristiwa yang paling sulit untuk dihadapi sehingga sulit juga untuk melakukan

penyesuaian diri (Holmes and Rahe dalam Calhoun and Acocella, 1996: 14).

Kematian pasangan hidup menempati urutan teratas penyebab stress dalam

kehidupan karena adanya perasaan kehilangan terhadap orang yang dicintai yang

telah hidup bersama selama bertahun-tahun (Santrock, 1995: 271).

Kehilangan pasangan hidup membuat lansia merasa kesepian dan sedih,

bahkan tidak jarang mengalami stress dan depresi dalam kehidupannya. Depresi

merupakan suatu gangguan suasana hati di mana individu merasa tidak bahagia,

kehilangan semangat, merasa terhina, dan bosan. Depresi membawa dampak yang

buruk bagi individu yang mengalaminya karena individu tidak hanya mengalami

kesedihan, tetapi individu juga dapat memiliki kecenderungan melakukan bunuh

diri. Faktor resiko dari bunuh diri diantaranya adalah laki-laki (being male) yang kehilangan pasangan hidup (Santrock, 1995: 230). Rasa kesepian akibat

hilangnya pasangan hidup merupakan masalah utama yang dihadapi oleh lansia

(Treas dalam Zimbardo, 1979: 218) hal ini sejalan dengan penelitian

Listyaningsih (1999: 38) terhadap 300 orang lansia yang tinggal di Kecamatan

Kraton, Pakualaman, dan Umbulharjo menunjukkan bahwa kesepian timbul

akibat kehilangan berbagai aspek kehidupan, kehilangan teman akrab, kehilangan

(23)

tersembunyi dalam pikiran dan hati para lansia, tetapi yang paling utama adalah

kehilangan suami atau istri karena meninggal.

Kenyataan yang dihadapi oleh seseorang yang pasangan hidupnya sudah

meninggal adalah bahwa ia harus melanjutkan hidupnya tanpa pasangannya lagi.

Beberapa orang memilih untuk menikah lagi setelah kehilangan pasangan hidup,

tetapi lansia banyak yang memilih untuk menduda atau menjanda di sisa

hidupnya. Lansia lebih banyak menggunakan waktu untuk melakukan kegiatan

sosial, mendekatkan diri pada Tuhan, dan menjalin relasi sosial (Prawitasari,

1994: 32). Salah satu bentuk adanya kemampuan menjalin relasi sosial yang baik

adalah persahabatan. Persahabatan dapat menjadi sistem pendukung yang penting

ketika seseorang mengalami peristiwa kehidupan termasuk salah satunya

kematian pasangan hidup (Santrock, 1995: 246), karena melalui persahabatan

yang terjalin, maka lansia akan mendapatkan dukungan sosial yang dibutuhkan

dalam melakukan penyesuaian diri.

Lingkungan dapat mempengaruhi bagaimana seseorang akan

menyesuaikan diri. Apabila lingkungan tempat tinggal mendukung, maka

kemungkinan besar seseorang yang tinggal di dalamnya dapat menyesuaikan diri

dengan baik pula. Penyesuaian diri akan terwujud dalam perilaku individu yang

mampu menerima diri sendiri, memiliki hubungan positif dengan orang lain,

mandiri, dapat menguasai lingkungan, memiliki tujuan hidup dan masih mampu

untuk mengembangkan diri. Lansia masih mendapat perhatian yang cukup dalam

(24)

Banyak lansia yang tinggal bersama keluarga, meskipun ada juga dari lansia yang

memilih tinggal di rumah sendiri karena merasa sayang dengan rumahnya dan

tidak mau merepotkan anak-anaknya. Hal tersebut kadang membawa dampak

lain, yaitu lansia merasa kesepian karena tinggal sendiri dan menghadapi masalah

dalam menjalani hidup mereka selanjutnya sendirian, dan dapat pula terjadi,

mereka mudah sakit karena kesepian. Lansia yang tinggal dalam keluarga

biasanya tinggal bersama anaknya (ikut anak) sehingga ada yang memperhatikan

dan lebih mungkin terkontrol kesehatannya dibanding dengan lansia yang tinggal

sendiri.

Penyesuaian diri karena kehilangan pasangan pada lansia perlu cara yang

berbeda antara pria dan wanita. Para ahli berpendapat bahwa cara pria dan wanita

mengatasi pengalaman yang menyebabkan stress amat dipengaruhi oleh proses

belajar sejak kecil (Sebatu, 1994: 28). Pria akan mengalami masalah karena

adanya perasaan kesepian, sedangkan wanita bermasalah karena berkurangnya

pendapatan.

Pria merasa kesepian seiring dengan menyusutnya kegiatan dan merasa

tidak siap untuk hidup sendiri serta mengatur hidupnya, yang biasanya dilakukan

dengan istri. Pria juga menjalani penyesuaian diri dengan masa pensiun. Pria yang

biasa bekerja, kemudian kehilangan kegiatan akan membuatnya menganggur.

Apabila tidak memiliki kegiatan yang menyenangkan maka akan merasa

kesepian. Pria akan mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan tempat

(25)

keluarga anaknya atau kerabat dekat lainnya. Hal ini disebabkan karena pria

merasa kemerdekaannya telah dirampas. Pria menganggap kehidupan sebagai

suatu peristiwa yang otonom dan ingin menguasai dunia (Kartono, 1980: 142).

Pria lebih dapat menyesuaikan diri dalam hal keuangan atau segala sesuatu

menyangkut ekonomi dibanding dengan wanita karena pria sudah terbiasa bekerja

dan mendapatkan penghasilan sendiri atau karena memiliki pensiun.

Wanita mengalami masalah ketika tidak lagi memiliki pasangan hidup,

karena wanita akan mengalami berkurangnya pendapatan. Wanita, terlebih dalam

budaya Timur, banyak bergantung pada penghasilan suami sehingga akan

mengalami masalah dalam hal ekonomi ketika sudah tidak memiliki suami

(Hurlock, 1999: 425 ; Santrock, 1995: 229). Wanita lebih dapat menyesuaikan

diri dengan keluarga anaknya apabila harus tinggal bersama. Hal ini disebabkan

karena wanita pada umumnya memiliki sifat keibuan yang lebih tinggi (Kartono,

1980: 143). Wanita mencurahkan hidupnya untuk keluarganya karena keluarga

merupakan sumber kepuasan dan harga diri (Calhoun and Acocella, 1996: 439).

Wanita dinilai lebih luwes dalam menyelesaikan soal karena lebih fleksibel.

Wanita cenderung tidak diam pada suatu posisi akan tetapi dengan rela mau

mengubah sesuatu jika dirasakan kurang bijaksana. Wanita sering hidup dalam

sikap responsif, mau mendengar dan mengerti perasaan orang lain, selain itu

wanita dinilai memiliki kemampuan mengatasi situasi dan berfirasat tinggi (Moris

dalam Sebatu, 1994: 97). Wanita dinilai mampu mengatasi stress yang mereka

(26)

mana wanita boleh memiliki keterbatasan sehingga mudah mendapatkan bantuan

dari orang lain, sementara untuk pria hal tersebut tidak diperbolehkan. Pria

dituntut untuk tidak bergantung pada orang lain, dan harus bergantung pada

kompetensinya sendiri. Masyarakat patriarkhat menuntut pria tidak boleh

mengeluh dalam kesulitan, apabila pria mengeluh dan mencari bantuan pada

wanita maka dianggap sebagai tindakan yang memalukan.

Faktor lain yang dapat menentukan kemampuan untuk menyesuaikan diri

terhadap hilangnya pasangan selain lingkungan tempat tinggal adalah lamanya

waktu telah ditinggalkan. Semakin lama waktu sudah ditinggalkan, harapan

penyesuaian diri yang dilakukan juga semakin baik, karena seiring dengan

berjalannya waktu, seseorang akan dapat menerima kematian pasangan hidup dan

kemudian dapat menyesuaikan diri dengan keadaannya yang baru, yaitu hidup

tanpa pasangan hidup lagi atau menjanda (Averill dalam Santrock, 1995: 272).

Setiap orang membutuhkan waktu yang berbeda-beda untuk dapat menyesuaikan

diri. Di Jawa, terdapat tradisi seseorang yang sudah meninggal akan diperingati

sampai seribu hari meninggalnya dengan upacara-upacara tertentu. Rentang

waktu kurang lebih tiga tahun tersebut merupakan proses untuk dapat menerima

dan menyesuaikan diri, karena selama tiga tahun itu kemungkinan untuk masih

mengingat-ingat seseorang yang sudah meninggal akan lebih sering dilakukan.

Melihat berbagai masalah yang dapat terjadi pada lansia ketika pasangan

hidupnya meninggal, peneliti ingin melihat dan meneliti lebih lanjut mengenai

(27)

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimanakah penyesuaian diri lansia terhadap kematian pasangan

hidup?

2. Apakah terdapat perbedaan penyesuaian diri terhadap kematian pasangan

hidup pada lansia pria dan lansia wanita ?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan tentang penyesuaian diri

terhadap kematian pasangan hidup pada lansia dan mengetahui apakah terdapat

perbedaan dalam hal menyesuaikan diri terhadap kematian pasangan hidup pada

lansia pria dan lansia wanita.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat teoretis

Secara teoretis, penelitian ini dapat menambah khasanah wawasan

ilmu pengetahuan dan mendukung kemajuan ilmu pengetahuan khususnya

Psikologi Perkembangan tentang lansia.

2. Manfaat praktis

a. Bagi subjek

Bagi subjek, penelitian ini dapat memberikan pengetahuan tentang

(28)

mempengaruhi penyesuaian diri sehingga mereka dapat menerapkannya

dalam kehidupan sehari-hari dan menemukan solusi yang tepat bagi

masalah yang mereka hadapi.

b. Bagi keluarga

Bagi keluarga, penelitian ini diharapkan dapat memberikan

pengetahuan berupa aspek-aspek yang mendukung penyesuaian diri yang

baik kepada anggota keluarga yang memiliki lansia yang sudah tidak

memiliki pasangan, sehingga dapat membantu lansia dalam menyesuaikan

(29)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Lansia

1. Pengertian Lansia

Lansia merupakan tahap terakhir dalam kehidupan seseorang sebelum

meninggal. Hurlock (1999: 380) membagi rentang kehidupan terakhir ini

dalam dua tahap. Pertama, usia lanjut dini yang berkisar antara usia enam

puluh sampai tujuh puluh tahun. Kedua, usia lanjut yang berkisar antara usia

tujuh puluh sampai akhir kehidupan seseorang. Tahap akhir dari rentang

kehidupan seseorang ini biasanya berupa periode di mana seseorang merasa

“beranjak jauh” dari periode terdahulu yang lebih menyenangkan, atau

beranjak dari waktu yang penuh dengan manfaat. James N. Lapsley (dalam

Widjojo, 2000: 152) mengatakan, di Amerika Serikat orang yang disebut

lansia adalah orang yang berumur antara 65 sampai dengan 70 tahun.

Sedangkan menurut Gary R. Collins (dalam Widjojo, 2000: 152), lansia

berkisar antara 60 sampai dengan 65 tahun.

Ahli psikologi perkembangan (dalam Santrock, 1995: 193) membagi

periode lansia dalam tiga bagian atau sub periode, yaitu:

a. The young old or old age

Lansia yang termasuk dalam sub periode ini adalah lansia

(30)

dihadapkan pada masalah berkurangnya peran, aktivitas, teman, dan

penghasilan sebagai konsekuensi masa pensiun yang juga baru

dimasukinya. Lansia pada usia ini juga mengalami kondisi yang

mulai menurun tetapi masih memiliki kekuatan untuk beraktivitas.

b. The old old or late old age (75 years and older)

Lansia pada usia ini mengalami penurunan kondisi fisik secara

nyata mulai dari tidak berfungsi dengan baik organ-organ tubuhnya

sampai munculnya penyakit-penyakit. Produktivitas mengalami

penurunan karena daya tahan kerja juga menurun, kecepatan dan

ketepatan gerak pun menurun.

c. The oldest old (85 years and older)

Lansia pada usia ini semakin mengalami keterbatasan fisik

yang berat, ketergantungan pada orang lain pun juga semakin besar.

Para ahli perkembangan menyatakan, penting membuat pembagian ini

agar lebih nyata ketika akan membedakan antara the oldest old (85 years and

older) dengan the young old (Santrock, 1997: 194), selain itu juga terdapat

heterogenitas pada setiap periode atau sub periode perkembangan.

Erikson membagi rentang kehidupan dalam 8 tahap perkembangan

psikososial. Tahap yang terakhir dalam dalam pembagiannya adalah integrity

versus despair yaitu tahap yang dialami pada usia tua atau lansia. Tahap

integritas versus keputusasaan di mana integritas merupakan keadaan yang

(31)

ancaman. Integritas dicapai setelah berhasil menyesuaikan diri dengan

peristiwa hidup dan melakukan refleksi serta evaluasi atas peristiwa hidup

tersebut (Hall dalam Supratiknya, 1993: 154). Lawan integritas adalah

keputusasaan tertentu menghadapi perubahan siklus kehidupan. Keputusasaan

terjadi karena terdapat ketakutan akan kematian dan diperburuk dengan

adanya perasaan bahwa kehidupan ini tidak berarti. Lansia yang terintegrasi

akan mencapai kebahagiaan.

Peck (dalam Santrock, 1995: 250) mengolah kembali tahapan akhir

Erikson dan membaginya dalam 3 tugas perkembangan yang dihadapi pria

dan wanita saat mereka tua. Pertama, diferensiasi versus kesibukan terhadap

peran (differentiation versus role preoccupation) merupakan tugas

perkembangan di mana lansia harus mendefinisikan nilai dirinya dalam istilah

yang berbeda dari peran-peran kerja. Pada tahap sebelumnya, lansia

menghabiskan waktu dengan bekerja dan anak-anaknya oleh karena itu untuk

mengganti kegiatannya yang hilang itu maka lansia membutuhkan

serangkaian aktivitas yang bernilai. Kedua, kekuatiran pada tubuh versus

kesibukan dengan tubuh (body trancendence versus body preoccupation)

merupakan tugas perkembangan dari Peck di mana lansia harus mengatasi

penurunan kesehatan fisik termasuk penyakit baru yang muncul. Ketiga,

melampaui ego versus kesibukan dengan ego (ego trancendence versus ego

preoccupation) merupakan tugas perkembangan dari Peck, di mana lansia

(32)

tentram dan bahagia karena telah memberi sumbangan untuk masa depan

melalui pekerjaan dan pengasuhan anak yang sudah dilakukan.

2. Tugas Perkembangan Lansia

Havighurst (dalam Hurlock, 1996: 10) menyebutkan tugas-tugas

perkembangan usia lanjut adalah sebagai berikut :

a. Menyesuaikan diri dengan menurunnya kekuatan fisik dan

kesehatan.

b. Menyesuaikan diri dengan masa pensiun dan berkurangnya

pendapatan (income) keluarga.

c. Menyesuaikan diri dengan kematian pasangan hidup.

d. Membentuk hubungan dengan orang-orang yang seusia.

e. Membentuk pengaturan kehidupan fisik yang memuaskan, dan

menyesuaikan diri dengan peran social secara luwes.

3. Teori-Teori Penuaan

Teori-teori mengenai penuaan banyak disampaikan oleh ahli

perkembangan, diantaranya adalah mengenai teori-teori sosial mengenai

penuaan (dalam Santrock, 1995: 239).

a. Teori aktivitas (activity theory)

Teori ini mengemukakan bahwa semakin lansia melakukan

banyak aktivitas dan terlibat dalam kegiatan-kegiatan, maka semakin

kecil kemungkinan lansia tersebut menjadi renta dan semakin besar

(33)

harus terus meneruskan peran-peran dan tugas perkembangan

selanjutnya dan memelihara hubungan sosial yang baik.

b. Teori rekonstruksi gangguan sosial (social breakdown-reconstruction

theory)

Penuaan dikembangkan melalui fungsi psikologis yang negatif

yang dibawa oleh pendangan negatif tentang dunia sosial dari

orang-orang lansia dan tidak memadainya penyediaan layanan untuk

mereka. Rekonstruksi sosial terjadi dengan mengubah pandangan

dunia sosial dari orang-orang lansia dan menyediakan sistem yang

mendukung para lansia. Menurut teori ini, gangguan sosial dimulai

dari pandangan dunia sosial yang negatif mengakibatkan identifikasi

dan pemberian label untuk seseorang sebagai individu yang tidak

mampu. Rekonstruksi sosial dapat mengembalikan gangguan sosial.

Teori aktivitas dan teori rekonstruksi gangguan sosial menunjukkan

kapasitas dan kompetensi lansia jauh lebih tinggi daripada pengakuan

masyarakat masa lampau.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan yang

dimaksud lansia adalah seseorang yang berumur 60 sampai akhir kehidupan

seseorang atau meninggalnya seseorang di mana pada rentang usia ini

seseorang mengalami kemunduran baik secara fisik maupun mental sehingga

pada tahap ini seseorang harus melakukan penyesuaian diri karena

(34)

berbagai kemunduran yang ia alami ditandai dengan adanya aktivitas yang

kontinyu.

B. Penyesuaian Diri terhadap Hilangnya Pasangan Hidup

1. Pengertian Penyesuaian Diri

Penyesuaian diri diperlukan dalam menghadapi masalah dalam hidup.

Calhoun dan Accocella (1990: 13) mendefinisikan penyesuaian diri adalah

proses interaksi yang berkelanjutan terhadap diri sendiri, orang lain, serta

dunia sekitar. Penyesuaian diri dapat dilakukan dengan mengubah tingkah

laku sampai ditemukan reaksi yang tepat, sehingga masalah dapat

diselesaikan.

Ahli-ahli psikologi humanistic seperti Abraham Maslow dan Carl

Rogers (dalam Calhoun dan Accocella 1990: 23) mengatakan bahwa

penyesuaian yang baik adalah aktualisasi diri, yakni seseorang mampu

mengembangkan potensi unik menjadi suatu realisasi yang penuh, oleh karena

itu diperlukan konsep diri yang luas dan fleksibel. Penyesuaian diri

merupakan suatu proses yang dialami individu dalam usaha melakukan

keseimbangan fisiologis dan psikologis serta mendorong dirinya menuju

peningkatan diri. Hal tersebut didukung oleh ahli psikologi eksistensial yang

menyamakan penyesuaian diri yang baik dengan realisasi potensi diri.

Menurut Hurlock (1999: 3) penyesuaian diri diperlukan untuk

(35)

hidup. Keberhasilan penyesuaian diri memungkinkan terjadinya keberhasilan

menghadapi perubahan perkembangan selanjutnya.

Penilaian terhadap penyesuaian diri merupakan penilaian mengenai

kualitas, yaitu penyesuaian diri yang baik dan penyesuaian diri yang buruk

(maladjusment). Calhoun dan Accocella (1990: 16) menyebutkan dalam

mengevaluasi penyesuaian diri ditentukan oleh situasi dan nilai di mana

tingkah laku itu terjadi. Tingkah laku yang dianggap baik dalam satu situasi

tertentu bisa jadi dikatakan tingkah laku yang buruk dalam situasi lain.

Penyesuaian diri yang baik berdasar satu set nilai tertentu bisa jadi kelihatan

buruk bagi satu set nilai yang lain.

Thomae (dalam Monks, dkk., 2001: 339) mengungkapkan bahwa

penyesuaian diri dan keseimbangan akan dapat dicapai bila seseorang dapat

memadukan keinginan dan pengharapannya dengan apa yang ia lihat dan

dialaminya sehingga seseorang dapat mengubah keinginan ataupun

persepsinya. Keseimbangan akan terwujud bila orang tersebut memperoleh

apa yang diinginkannya dan menginginkan apa yang diperolehnya.

Individu dalam kehidupannya akan mencapai tahap di mana individu

menikah atau berpasangan dengan orang lain. Pada waktu tertentu, individu

juga akan mencapai tahap kehilangan pasangannya. Penyesuaian diri terhadap

hilangnya pasangan hidup merupakan proses penerimaan secara sadar dari

individu terhadap lingkungan, baik secara fisik, psikis, maupun sosial sesuai

(36)

lingkungannya karena hal-hal negatif dapat terjadi pada seseorang yang

kehilangan pasangan hidup, antara lain : menjadi sangat perasa dan banyak

menuntut pada orang-orang di sekitarnya. Perhatian dan pengertian dari

lingkungan tempat individu berada dapat membantu individu tersebut dalam

mengatasi perasaan sedih, perasaan kesepian, bahkan stress yang dapat

muncul akibat hilangnya pasangan hidup (Santrock, 1995: 271).

2. Aspek-Aspek Penyesuaian Diri

Penyesuaian diri dapat dibedakan menjadi dua, yaitu penyesuaian diri

yang baik dan penyesuaian diri yang buruk. Vembriarto (1993: 17)

mengemukakan kriteria-kriteria penyesuaian diri. Kriteria-kriteria tersebut

adalah sebagai berikut :

a. Kepuasan psikis

Penyesuaian diri yang baik akan menimbulkan kepuasan psikis

sehingga menimbulkan kebahagiaan, yang tampak dengan tidak

terdapatnya perasaan kecewa, gelisah, lesu, depresi, dan tidak

bersemangat.

b. Efisiensi kerja

Penyesuaian diri yang baik akan tampak dalam kerja atau kegiatan

yang efisien. Aktivitas yang dilakukan, merupakan aktivitas yang

berdasarkan minat yang kuat dan mampu menikmatinya, sehingga mampu

(37)

c. Gejala fisik

Penyesuaian diri yang baik akan memunculkan gejala fisik yang

positif dan sehat, tidak mudah sakit kepala ataupun perut, tidak

mengalami gangguan pencernaan, dan gejala fisik yang positif lainnya.

d. Penerimaan sosial

Penyesuaian diri yang baik akan menimbulkan reaksi setuju dari

masyarakat sehingga akan tampak adanya dukungan sosial. Individu

mampu berpartisipasi dalam kegiatan kemasyarakatan, dan membangun

relasi yang baik dengan orang lain.

3. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Penyesuaian Diri

Penyesuaian diri merupakan suatu proses mental dan tingkah laku yang

mendorong seseorang untuk melakukan reaksi terhadap kejadian-kejadian

dalam kehidupan. Reaksi yang dilakukan sesuai dengan keinginan yang

berasal dari dalam diri dan dapat diterima oleh lingkungannya. Kemampuan

penyesuaian diri antara individu satu dengan yang lain dapat berbeda-beda

tingkatnya. Schneiders (1964: 122) menyebutkan faktor – faktor yang dapat

mempengaruhi kemampuan seseorang dalam menyesuaikan diri antara lain :

a. keadaan fisik dan faktor genetik yang diturunkan meliputi: persyarafan,

kelenjar, otot – otot, serta kesehatan dan penyakit yang menurun.

b. Perkembangan kematangan, khususnya kematangan intelektual, sosial,

(38)

c. Faktor psikologis meliputi: pengalaman belajar, kondisioning, frustrasi,

konflik, dan self determination.

d. Kondisi lingkungan meliputi: rumah, keluarga, sekolah, dan lingkungan

pergaulan.

e. Faktor kebudayaan yang berlaku di rumah, keluarga, lingkungan

pergaulan, dan sekolah.

Sedangkan Darajad (1996: 24-27) menyatakan bahwa faktor yang

mempengaruhi penyesuaian diri lebih banyak berasal dari internal individu

yang bersangkutan seperti:

a. frustrasi (tekanan terhadap perasaan)

b. konflik (pertentangan batin)

c. kecemasan

Penyesuaian diri secara terus menerus diupayakan oleh setiap individu

untuk mencapai keseimbangan hidup setelah mengalami perubahan, salah

satunya adalah penyesuaian diri terhadap hilangnya pasangan hidup.

Faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri terhadap hilangnya pasangan

hidup antara lain adalah sebagai berikut :

a. Kondisi ekonomi

Individu yang menjanda (duda ataupun janda) akan mengalami

berkurangnya pendapatan. Berkurangnya pendapatan dapat mempengaruhi

(39)

yang sebelumnya bergantung pada penghasilan pasangan hidup (Santrock,

1995: 229; Hurlock, 1999: 425)

b. Lamanya ditinggalkan pasangan hidup

Lamanya ditinggalkan pasangan hidup merupakan faktor yang

mempengaruhi penyesuaian diri terhadap hilangnya pasangan hidup terlebih

yang sangat dicintai karena akan meninggalkan duka cita. Fase duka cita

menurut Averill (dalam Santrock, 1995: 272) adalah terkejut, putus asa, dan

pulih kembali. Fase pertama, terkejut, orang yang ditinggalkan akan merasa

terkejut, tidak percaya, dan lumpuh emosi, serta menolak, sehingga akan

membuatnya sering menangis, atau bahkan mudah marah dan tersinggung.

Fase ini biasanya terjadi 1 – 3 hari setelah kematian orang yang disayangi.

Fase kedua, putus asa, ditandai dengan perasaan sakit yang berkepanjangan

atas kematian, memori yang indah, kesedihan, kegelisahan, susah tidur, dan

mudah tersinggung. Fase putus asa ini dapat terjadi beberapa minggu saja,

tetapi ada yang mengalami 1 – 2 tahun setelah kematian. Fase ketiga, pulih

kembali, biasanya terjadi 1 tahun setelah kematian. Fase pulih kembali

diiringi dengan penerimaan dan meningkatnya aktivitas kembali sehingga

semakin waktu berjalan, diharapkan seseorang yang kehilangan pasangan

dapat menyesuaikan diri kembali.

c. Tempat tinggal atau lingkungan

Lingkungan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi

(40)

individu yang ada di dalamnya (Vembriarto, 1993: 22). Individu

menyesuaikan diri dengan cara-cara yang dapat diterima oleh lingkungannya,

sehingga dukungan dan penerimaan sosial turut membantu lansia dalam

menyesuaikan diri terhadap hilangnya pasangan hidup.

Dari beberapa uraian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa

penyesuaian diri dipengaruhi oleh faktor internal berupa faktor fisik, psikis,

dan kognitif serta faktor eksternal berupa kondisi lingkungan sekitar individu,

rumah, keluarga, lingkungan pergaulan, dan kebudayaan yang berlaku

didalamnya. Penyesuaian diri terhadap hilangnya pasangan hidup dipengaruhi

oleh kondisi ekonomi, lamanya ditinggalkan pasangan hidup, dan lingkungan

tempat tinggal.

4. Ciri – Ciri Penyesuaian Diri Yang Baik

Penyesuaian diri yang efektif dapat memberikan pengaruh yang positif,

seperti tercapainya kepuasan hidup dan tujuan hidup. Individu dapat mencapai

kesejahteraan psikologis yang diinginkan. Penyesuaian diri yang efektif

menjadi tanda adanya kemampuan individu dalam menyesuaikan diri terhadap

apa yang sedang dihadapinya.

Warga (1983: 24) menyebutkan ciri – ciri individu yang dapat

menyesuaikan diri dengan baik yaitu:

a. Memperlakukan orang lain sebagai individu.

b. Bekerja dengan kemampuan penuh.

(41)

d. Mampu menikmati banyak hal.

e. Mampu memecahkan masalah internal dan eksternal.

f. Mengenal dengan baik, memahami, dan menerima orang lain.

g. Melakukan aktivitas yang sesuai minatnya.

h. Emosi yang dimiliki stabil.

i. Rasa ingin tahu terhadap banyak hal cukup besar.

Haber dan Ruyon (1984: 10-18) mengungkapkan cirri-ciri penyesuaian

diri yang sehat sebagai berikut :

a. Terdapatnya akurasi persepsi terhadap realitas.

b. Mampu mengatasi stress dan kecemasan.

c. Mempunyai self image yang positif.

d. Mampu mengekspresikan emosi secara tepat.

e. Mampu menjalin hubungan interpersonal dengan baik.

Hurlock (1999: 258) menjabarkan ciri – ciri individu yang mempunyai

kemampuan menyesuaikan diri dengan baik sebagai berikut:

a. Mampu dan bersedia bertanggung jawab.

b. Mampu perpartisipasi dalam kegiatan yang sesuai dengan tingkatan

usianya.

c. Mampu mengatasi masalah dengan segera.

d. Mampu mengambil keputusan tanpa konflik dan banyak pertimbangan

orang lain.

(42)

f. Mempunyai sikap sesuai dengan situasi dan kondisinya.

g. Mampu menunjukkan kemampuan afeksinya berupa kasih sayang dan

empatinya secara langsung.

h. Mampu menunjukkan reaksi emosi secara positif.

i. Mampu menerima kenyataan hidupnya sendiri.

j. Mempunyai konsentrasi pada tujuan yang hendak dicapai.

Uraian mengenai ciri – ciri individu yang dapat menyesuaikan diri

dengan baik di atas dapat disimpulkan bahwa individu yang mempunyai

kemampuan yang baik dalam menyesuaikan diri adalah individu yang dapat

mengatasi diri dan masalah yang sedang dihadapi dengan cara yang tepat

tanpa mengganggu aktivitas ataupun hubungannya dengan orang lain.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan yang dimaksud

dengan penyesuaian diri merupakan proses tercapainya keseimbangan antara apa

yang diinginkan individu dan harapannya dengan apa yang dilihat dan dialami

individu. Penyesuaian diri merupakan proses yang berkelanjutan antara diri

sendiri, orang lain, dan dunia sekitar. Penyesuaian diri dilakukan untuk

menghadapi perubahan dalam perkembangan lingkungan. Penyesuaian diri yang

baik ditandai dengan adanya indikasi sebagai berikut:

1). kepuasan psikis

2). efisiensi kerja

3). gejala fisik

(43)

C. Penyesuaian Diri Terhadap Hilangnya Pasangan Hidup Pada Lansia

Penyesuaian diri merupakan proses tercapainya keseimbangan antara apa

yang diinginkan individu dan harapannya dengan apa yang dilihat dan dialami

individu dan merupakan proses yang berkelanjutan antara diri sendiri, orang lain,

dan dunia sekitar. Penyesuaian diri dipengaruhi oleh faktor internal berupa faktor

fisik, psikis, dan kognitif serta faktor eksternal berupa kondisi lingkungan sekitar

individu, rumah, keluarga, lingkungan pergaulan, beserta kebudayaan yang

berlaku didalamnya. Ciri – ciri individu yang dapat menyesuaikan diri dengan

baik adalah individu yang dapat mengatasi diri dan masalah yang sedang dihadapi

dengan cara yang tepat tanpa mengganggu aktivitas ataupun hubungannya dengan

orang lain.

Penyesuaian diri yang baik ditandai dengan adanya indikasi kepuasan

psikis, efisiensi kerja, gejala fisik, dan penerimaan sosial. Penyesuaian diri yang

baik akan menimbulkan kepuasan psikis sehingga menimbulkan kebahagiaan,

yang tampak dengan tidak terdapatnya perasaan kecewa, gelisah, lesu, depresi,

dan tidak bersemangat. Penyesuaian diri yang baik juga akan tampak dalam kerja

atau kegiatan yang efisien. Aktivitas yang dilakukan, merupakan aktivitas yang

berdasarkan minat yang kuat dan mampu menikmatinya, sehingga mampu

menciptakan produktivitas yang stabil bahkan cenderung meningkat. Gejala fisik

yang positif dan sehat, tidak mudah sakit kepala ataupun perut, tidak mengalami

gangguan pencernaan, dan gejala fisik yang positif lainnya. Selain itu

(44)

akan tampak adanya dukungan sosial. Individu mampu berpartisipasi dalam

kegiatan kemasyarakatan, dan membangun relasi yang baik dengan orang lain.

Individu dalam kehidupannya akan mencapai tahap di mana individu

menikah atau berpasangan dengan orang lain. Pada waktu tertentu, individu juga

akan mencapai tahap kehilangan pasangannya. Peristiwa hilangnya pasangan

hidup dapat terjadi kapan saja, dapat terjadi ketika seseorang masih dalam tahap

usia dewasa maupun lansia. Hilangnya pasangan dapat dikarenakan oleh peristiwa

perceraian maupun peristiwa kematian, akan tetapi pada lansia, kehilangan

pasangan hidup lebih banyak dikarenakan oleh peristiwa kematian (Hurlock,

1999: 425; Zimbardo, 1979: 218).

Lansia melakukan penyesuaian diri terhadap perubahan yang ia alami

salah satunya penyesuaian diri terhadap hilangnya pasangan hidup. Upaya

penyesuaian diri pada lansia meliputi penerimaan secara sadar dari individu

terhadap lingkungan, baik secara fisik, psikis, maupun sosial sesuai dengan

kondisi yang dimiliki dan membutuhkan perhatian dan pengertian dari

lingkungannya (Abbas, 1999: 2) karena hal-hal negatif dapat terjadi pada lansia,

antara lain : menjadi sangat perasa dan banyak menuntut pada orang-orang di

sekitarnya. Lain halnya dengan lansia yang memiliki kematangan sebagai

individu. Lansia yang matang dapat mengalami vitalitas yang baru, harapan baru,

dan perhatian baru, yang memungkinkan lansia tersebut menerima dan

(45)

Kemampuan dan jenis penyesuaian diri terhadap hilangnya pasangan

hidup pada lansia dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut adalah

jenis kelamin dan kondisi ekonomi, lamanya sudah ditinggalkan pasangan, serta

lingkungan tempat tinggal.

Troll (dalam Zimbardo, 1979: 218) mengungkapkan bahwa kehilangan

pasangan hidup karena kematian lebih banyak terjadi pada lansia dan lebih

banyak dialami oleh wanita daripada pria. Hal ini disebabkan karena beberapa

sebab. Pertama, usia wanita ketika menikah lebih muda daripada pria. Kedua,

wanita mempunyai harapan hidup lebih panjang daripada pria. Ketiga, duda yang

masih muda akan senang menikah lagi daripada janda karena suami tergantung

pada istri dalam hal pemenuhan kebutuhan makanan, perawatan rumah, dan tugas

– tugas ibu rumah tangga yang lain; selain itu istri juga sering lebih bertanggung

jawab menjaga hubungan dengan keluarga dan sanak saudara. Sedangkan

menurut Hurlock (1999: 425), jenis kelamin lansia dalam menyesuaikan diri

dibedakan karena antara pria dan wanita mengalami masalah yang berbeda dalam

menghadapi hilangnya pasangan karena pasangan meninggal. Wanita mengalami

masalah karena kesepian dan pendapatan yang berkurang, sedangkan pria karena

merasa kesepian.

Pria merasa kesepian seiring dengan menyusutnya kegiatan dan merasa

tidak siap untuk hidup menyendiri serta mengatur hidupnya yang biasanya ia

lakukan dengan istri. Pria dalam hal keuangan atau segala sesuatu menyangkut

(46)

terbiasa bekerja dan mendapatkan penghasilan sendiri atau apabila ia memiliki

pensiun.

Wanita merasa kesepian ketika ia tidak lagi memiliki pasangan hidup, ia

akan mengalami kurangnya pendapatan. Wanita, terlebih dalam budaya timur,

hidup bersama pasangan dan banyak bergantung pada penghasilan suami

sehingga mengalami masalah dalam hal perekonomiannya ketika sudah tidak

memiliki suami, meskipun ada juga yang dapat hidup secara mandiri karena

memiliki pekerjaan. Wanita lebih dapat menyesuaikan diri dengan keluarga

anaknya apabila ia harus tinggal bersama. Hal ini dapat disebabkan karena wanita

pada umumnya memiliki sifat keibuan yang lebih tinggi (Kartono, 1980: 142).

Wanita mencurahkan hidupnya untuk keluarganya karena keluarga merupakan

sumber kepuasan dan harga diri (Calhoun and Acocella, 1996: 439).

Atwater (1979: 414) menyatakan bahwa wanita lebih siap menyesuaikan

diri kehilangan pasangan hidup daripada pria meskipun duda biasanya lebih baik

secara finansial daripada janda, tetapi duda lebih sulit menghadapi tugas-tugas

rumah tangga.

Lamanya ditinggalkan pasangan hidup merupakan faktor yang

mempengaruhi penyesuaian diri terhadap hilangnya pasangan hidup terlebih yang

sangat dicintai karena akan meninggalkan duka cita. Fase duka cita menurut

Averill (dalam Santrock, 1995: 272) adalah terkejut, putus asa, dan pulih kembali.

Fase pertama, terkejut, orang yang ditinggalkan akan merasa terkejut, tidak

(47)

menangis, atau bahkan mudah marah dan tersinggung. Fase ini biasanya terjadi 1

– 3 hari setelah kematian orang yang disayangi. Fase kedua, putus asa, ditandai

dengan perasaan sakit yang berkepanjangan atas kematian, memori yang indah,

kesedihan, kegelisahan, susah tidur, dan mudah tersinggung. Fase putus asa ini

dapat terjadi beberapa minggu saja, tetapi ada yang mengalami 1 – 2 tahun setelah

kematian. Fase ketiga, pulih kembali, biasanya terjadi 1 tahun setelah kematian.

Fase pulih kembali diiringi dengan penerimaan dan meningkatnya aktivitas

kembali sehingga semakin waktu berjalan, diharapkan seseorang yang kehilangan

pasangan dapat menyesuaiakan diri kembali.

Lingkungan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi penyesuaian

diri karena lingkungan memberikan batasan-batasan terhadap individu yang ada

di dalamnya (Vembriarto, 1993: 22). Individu menyesuaikan diri dengan

cara-cara yang dapat diterima oleh lingkungannya, sehingga dukungan dan penerimaan

sosial turut membantu lansia dalam menyesuaikan diri terhadap hilangnya

pasangan hidup.

Atwater (1979: 415) mengungkapkan bahwa teman memegang peranan

penting dalam menghadapi kesendirian dan perasaan kesepian pada lansia yang

kehilangan pasangan hidup karena teman dapat menjadi tempat berbagi kisah bagi

lansia.

Lingkungan tempat tinggal lansia sangat beragam. Lansia dapat tinggal di

rumahnya sendiri, atau tinggal bersama keluarga sehingga ada yang mengawasi

(48)

dukungan dari keluarga sebagai tempat bergantung yang terdekat. Hubungan yang

baik di antara semua anggota keluarga merupakan suatu kebahagiaan yang besar

bagi lansia. Lansia juga dapat memilih tinggal di panti sosial tresna wreda karena

alasan-alasan tertentu (Monks, dkk., 2001: 351).

Penelitian ini mengambil lansia yang tinggal di rumah sendiri bersama

keluarga sebagai subjek penelitian.

D. Pertanyaan Penelitian

Pertanyaan penelitian yang muncul dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimanakah penyesuaian diri terhadap hilangnya pasangan hidup pada

lansia?

2. Apakah ada perbedaan penyesuaian diri terhadap hilangnya pasangan hidup

(49)

Skema 1: Proses Penyesuaian Diri Terhadap Hilangnya Pasangan Hidup Pada Lansia LANSIA

Kehilangan Pasangan Hidup

PENYESUAIAN DIRI Aspek-aspek :

- kepuasan psikis - efisiensi kerja - gejala fisik - penerimaan sosial Faktor-faktor yang

mempengaruhi penyesuaian diri terhadap hilangnya

pasangan hidup : - Kondisi ekonomi - Lama

ditinggalkan pasangan hidup - Tempat tinggal

(50)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kuantitatif tentang penyesuaian diri terhadap hilangnya pasangan hidup pada lansia. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang dilakukan untuk mendeskripsikan atau memberi gambaran terhadap satu objek penelitian melalui data sampel atau populasi sebagaimana adanya, dengan melakukan analisis dan membuat kesimpulan yang berlaku secara umum (Sugiyono, 2000: 29).

Suryabrata (1998: 18) mengatakan bahwa tujuan penelitian deskriptif adalah untuk membuat penjabaran secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat populasi atau daerah tertentu.

(51)

B. Identifikasi Variabel Penelitian

Variabel-variabel yang tercakup dalam penelitian ini adalah 1. Variabel utama atau pokok

Penyesuaian diri lansia terhadap kematian pasangan hidup pada lansia 2. Variabel kontrol

a. jenis kelamin lansia (pria dan wanita) b. tempat tinggal lansia (non panti)

c. lama ditinggalkan pasangan (1-3 tahun) d. status ekonomi (punya penghasilan sendiri)

C. Definisi Operasional Variabel Penelitian

1. Variabel utama atau pokok

(52)

a. Kepuasan psikis, di mana penyesuaian diri yang baik akan menimbulkan kepuasan psikis sehingga menimbulkan kebahagiaan, yang tampak dengan tidak terdapatnya perasaan kecewa, gelisah, lesu, depresi, dan tidak bersemangat.

b. Efisiensi kerja, di mana penyesuaian diri yang baik akan tampak dalam kerja atau kegiatan yang efisian. Aktivitas yang dilakukan, merupakan aktivitas yang berdasarkan minat yang kuat dan mampu menikmatinya, sehingga mampu menciptakan produktivitas yang stabil bahkan cenderung meningkat.

c. Gejala fisik, di mana penyesuaian diri yang baik akan memunculkan gejala fisik yang positif dan sehat, tidak mudah sakit kepala ataupun perut, tidak mengalami gangguan pencernaan, dan gejala fisik yang positif lainnya.

d. Penerimaan sosial, di mana penyesuaian diri yang baik akan menimbulkan reaksi setuju dari masyarakat sehingga akan tampak adanya dukungan sosial. Individu mampu berpartisipasi dalam kegiatan kemasyarakatan, dan membangun relasi yang baik dengan orang lain.

(53)

peneliti. Skor rendah mengindikasikan penyesuaian diri yang cenderung negatif atau buruk, sebaliknya skor tinggi mengindikasikan penyesuaian diri yang positif atau baik.

2. Variabel kontrol

Variabel kontrol dalam penelitian ini yaitu :

a. Tempat tinggal lansia

Penelitian ini menggunakan subjek penelitian lansia yang tinggal atau hidup di rumah sendiri bersama keluarga (non panti).

b. Lama ditinggal pasangan

Penelitian ini menggunakan subjek penelitian lansia yang sudah pernah menikah dan sudah ditinggalkan pasangannya kurang dari 3 tahun. Pada kurun waktu tersebut seseorang yang sudah ditinggalkan sedang mengalami masa penyesuaian dan proses penerimaan akan kepergian pasangannya untuk selama-lamanya. Seseorang mengalami fase putus asa dan kesedihan ditinggalkan pasangan.

c. Status ekonomi

(54)

mempunyai penghasilan dari pensiun, maka pensiun tersebut merupakan pensiun sendiri (hasil dari pekerjaan subjek di masa lampau katika subjek masih bekerja). Hal ini untuk mengurangi bias yang dapat mempengaruhi variabel utama.

D. Subjek Penelitian

Subjek yang digunakan dalam penelitian ini adalah lansia yang sudah tidak mempunyai pasangan hidup karena pasangannya meninggal.

Metode pengambilan sampel yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling, yaitu mengambil sejumlah sampel dengan mengikuti ciri-ciri yang diketahui sebelumnya.

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah lansia yang memenuhi ciri-ciri sebagai berikut :

a. Lansia dengan umur 60-75 tahun b. Jenis kelamin pria dan wanita

c. Dapat diajak berkomunikasi dengan baik

d. Pernah menikah dan saat ini sudah tidak memiliki pasangan karena suami atau istrinya meninggal

(55)

E. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah metode rating yang dijumlahkan (method of summate rating) atau populasi dengan nama penskalaan respons atau penskalaan Likert (Gable dalam Azwar, 2003: 46). Metode ini merupakan metode pengukuran sikap yang mengusahakan respon subjek sebagai dasar penentuan nilai skala 4 kategori kesesuaian dan ketidaksesuaian. Skala terdiri dari sejumlah item favorable dan unfavorable. Ketentuan penilaian adalah sebagai berikut:

Favorable

Sangat Sesuai (SS) : apabila subjek memberi respon ini mendapat nilai 4 Sesuai (S) : apabila subjek memberi respon ini mendapat nilai 3 Tidak Sesuai : apabila subjek memberi respon ini mendapat nilai 2 Sangat Tidak Sesuai (STS): apabila subjek memberi respon ini mendapat nilai 1

Unfavorable

(56)

Maka bila seseorang mempunyai penyesuaian diri yang baik akan mendapat skor yang tinggi dan sebaliknya, apabila seseorang mempunyai penyesuaian diri yang buruk memiliki skor yang rendah.

(57)

Tabel 1

Blue print item sebelum uji coba

Penyesuaian Diri terhadap Kehilangan Pasangan Hidup pada Lansia

No

Komponen aspek yang hendak diukur

Kepuasan psikis 1,2,4,10,12,15, 20, 22,33

3,5,11,14,16,23, 37,44,53

18 2. Efisiensi kerja 8,17,18,29,30,

34,36,55,57

6,7,9,19,32,56,5 8,67,68

18 3. Gejala fisik 24,25,26,28,41,

51,52,54,60

27,31,35,38,39, 40,45,46,59

18 4. Penerimaan sosial 13,43,47,48,49,

50,61,64,69

21,42,62,63,65, 66,70,71,72

18

Jumlah 36 36 72

F. Pertanggungjawaban Mutu

1. Validitas

Validitas merupakan tingkat kemampuan suatu alat penelitian untuk mengungkapkan sesuatu yang menjadi sasaran pokok pengukuran yang dilakukan dengan alat ukur atau ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur untuk mengungkapkan sesuatu yang menjadi sasaran pokok pengukuran yang dilakukan dengan alat ukur tersebut (Azwar,2003: 99).

(58)

atas pertimbangan subjektif individual, dan prosedur validasinya tidak melibatkan perhitungan statistik apapun (Azwar, 1986: 57). Penelitian ini menggunakan prosedur validasi isi berdasarkan professional judgement yang dilakukan oleh dosen pembimbing.

2. Seleksi item

Seleksi item bertujuan untuk meningkatkan kualitas skala psikologi karena kualitas skala psikologi ditentukan oleh kualitas item yang ada didalamnya. Prosedur seleksi item dapat dilakukan dengan analisis dan seleksi berdasarkan evaluasi kualitatif yang melihar apakah item yang ditulis sudah sesuai dengan blue print dan indikator atau komponen perilaku yang hendak diungkapnya, melihat apakah item telah ditulis sesuai dengan kaidah penulisan yang benar, dan melihat apakah item yang ditulis masih mengandung social desirability yang tinggi. Prosedur ini dapat dilakukan oleh suatu panel ahli (Azwar, 2002: 55). Setelah dilakukan evaluasi kualitatif, tahap selanjutnya adalah seleksi item berdasarkan data empiris atau data hasil uji coba item pada kelompok subjek yang karakteristiknya setara dengan subjek yang hendak dikenai skala itu nantinya dengan melakukan analisis secara kuantitatif terhadap parameter item.

(59)

dilakukan dalam penelitian ini dilakukan dengan penghitungan koefisien korelasi item total (r it). Koefisien korelasi item total adalah koefisien korelasi

antara item dan skor total yang merupakan indeks validitas item dalam arti kesesuaian item dengan skor total dalam membedakan subjek yang mendapat skor tinggi dan yang mendapat skor rendah (Azwar, 1986: 75). Item yang dikatakan telah dapat memberikan kontribusi yang baik terhadap suatu alat ukur memiliki koefisien yang berkisar antara 0,30-0,50 (Cronbach dalam Azwar, 2002: 103).

Uji coba terhadap skala penelitian ini dilakukan pada tanggal 10 Agustus 2005 sampai 1 Oktober 2005. Subjek yang dikenakan alat ukur berdomisili di Kabupaten Bantul. Analisa yang dilakukan menggunakan program SPSS 12.0 for windows.

(60)

hidup pada lansia. Masing-masing komponen yang hendak diukur terdiri dari 10 buah item, 5 favorabel dan 5 unfavorabel.

Tabel 2

Blue print item setelah uji coba

Penyesuaian Diri terhadap Kehilangan Pasangan Hidup pada Lansia

No

Komponen aspek yang hendak diukur

(61)

Dalam penerapannya, reliabilitas dinyatakan oleh koefisien reliabilitas. Pengujian reliabilitas alat ukur dilakukan dengan teknik pengujian konsistensi internal (menganalisis konsistensi antar item) Alpha Cronbach. Pendekatan Alpha mempunyai nilai praktis dan efisiensi tinggi karena hanya didasarkan pada pengukuran satu kali pada sekelompok individu sebagai subjek penelitian (single trial administration). Nilai reliabilitas skala dianggap memuaskan apabila koefisien Alpha lebih dari 0,90 karena dengan demikian perbedaan atau variasi yang tampak pada skor tes tersebut mampu mencerminkan 90 % dari variasi yang terjadi pada skor murni subjek yang bersangkutan, dan 10 % dari perbedaan skor yang tampak disebabkan oleh variasi error pengukuran (Azwar, 2003: 86). Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini mendapatkan hasil berupa koefisien Alpha Cronbach sebesar 0,970.

G. Analisis Data

(62)

adalah nilai tengah setelah data diurutkan dari yang terkecil sampai terbesar atau sebaliknya.

Hasil penelitian ditentukan dengan membandingkan antara mean teoritik dan mean empirik. Untuk mengetahui data teoritik maka dilakukan perhitungan sebagai berikut :

a. Skor maksimum : 40 x 4 = 160 b. Skor minimum : 40 x 1 = 40 c. Range : 160 – 40 = 120 d. SD : 120

--- = 20

6

e. Mean teoritik : 160 + 40

--- = 100 2

Data teoritik di atas dapat dijelaskan sebagai berikut :

a. Skor maksimum : skor paling tinggi yang mungkin diperoleh subjek pada skala, dalam hal ini X max teo 4

b. Skor minimum : skor paling rendah yang mungkin diperoleh subjek pada skala. Dalam hal ini X min teo 1

c. Range : luas jarak sebaran antara skor maksimum dan skor minimum

(63)

e. Mean teoritik : rata-rata teoritik dari skor maksimum dan skor minimum.

Selain analisis statistik deskriptif, penelitian ini ingin melihat apakah ada perbedaan penyesuaian diri terhadap hilangnya pasangan hidup pada lansia antara pria dan wanita, maka digunakan analisis uji t sebagai bentuk pembuktiannya. Adapun rancangan penyajian dalam tabel perbandingan mean empirik dan mean teoritik adalah sebagai berikut :

Tabel 3

Perbandingan Mean Empirik dan Mean Teoritik

Mean teoritik

Mean empirik

Keterangan

Pria 100 X1 Penyesuaian diri positif bila mean empirik > mean teoritik Wanita 100 X2 Penyesuaian diri positif bila

mean empirik > mean teoritik Total 100 Xtot Penyesuaian diri positif bila

mean empirik > mean teoritik

Keterangan : X1 = besarnya mean empirik pria X2 = besarnya mean empirik wanita

(64)
(65)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Pelaksanaan Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada tanggal 15 Januari 2006 sampai dengan 4 Februari 2006 di Kecamatan Bambanglipuro, Kecamatan Pandak, dan Kecamatan Bantul, Kabupaten Bantul dengan menggunakan surat izin penelitian dari Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma dengan nomor surat 95a/D/Psi/USD/ix/2005 untuk subjek penelitian. Subjek penelitian memiliki karakteristik sesuai dengan tujuan dan sasaran penelitian yakni lansia dengan umur 60 – 75 tahun, jenis kelamin pria dan wanita, lama ditinggalkan pasangan hidupnya karena meninggal maksimal 3 tahun, tinggal di rumah, dan mempunyai penghasilan sendiri dari pekerjaan sendiri, apabila subjek mendapat penghasilan berupa pensiun, maka pensiun tersebut adalah hasil dari pekerjaan subjek di masa lalu.

(66)

Skala yang disebarkan dalam penelitian ini sebanyak 70 eksemplar untuk 70 responden, akan tetapi 2 responden gugur karena tidak mengembalikan skala sehingga tersisa 68 responden sebagai subjek penelitian yang terdiri dari 32 orang pria dan 36 orang wanita. Seluruh subjek penelitian yang di dapat mempunyai Suku Bangsa Jawa. Tiap eksemplar terdiri dari petunjuk pengisian dan skala penyesuaian diri sebanyak 40 item yang terdiri dari 20 item favourable dan 20 item unfavourable.

B. Hasil Penelitian

1. Deskripsi Subjek Penelitian

Berikut ini adalah tabel yang berisi deskripsi subjek penelitian: Tabel 4

Deskripsi Data Subjek Penelitian Berdasarkan Usia Subjek Usia

(dalam tahun)

Jenis kelamin

Jumlah Pria Wanita

(67)

Tabel 5

Deskripsi Data Subjek Penelitian

Berdasarkan Lama Ditinggalkan Pasangan Hidup Lamanya

ditinggalkan pasangan hidup

(dalam bulan)

Jenis kelamin Jumlah Pria Wanita

Deskripsi Data Subjek Penelitian

Berdasarkan Usia dan Lama Ditinggalkan Pasangan Hidup Usia dan

Jenis kelamin

(68)

2. Deskripsi Data Penelitian Secara Umum

Berikut ini adalah tabel yang berisi data penelitian berdasarkan perhitungan komputerisasi dengan SPSS versi 12.0 :

Tabel 7

Deskripsi Data Penelitian Secara Umum

Pria Wanita

Skor minimum teoritik 40 40 Skor minimum empirik 86 80 Skor maksimum teoritik 160 160 Skor maksimum empirik 156 150

Mean teoritik 100 100

Mean empirik 126.13 117.03

Median 127.50 121.50

Modus 123 123

Standar deviasi 16.867 19.118

Variance 284.500 368.513

N 32 36

Tabel 8

Perbandingan Mean Empirik dan Mean Teoritik Mean

teoritik

Mean empirik

Kesimpulan

Pria 100 126,13 Penyesuaian diri positif karena mean empirik > mean teoritik

Wanita 100 117,03 Penyesuaian diri positif karena mean empirik > mean teoritik Total 100 121,31 Penyesuaian diri positif karena

(69)

Berdasarkan hasil analisis deskriptif data diperoleh bahwa nilai mean empirik pria (126,13) lebih besar dari nilai mean teoritik pria (100) dan mean empirik wanita (117,03) lebih besar dari mean teoritik wanita (100). Mean empirik total dari data penelitian sebesar 121,31 lebih besar dari mean teoritik (100). Hal ini menunjukkan bahwa nilai rata – rata subjek penelitian kelompok data lebih tinggi dari nilai rata – rata toeritik, yang berarti subjek penelitian secara umum memiliki penyesuaian diri yang positif baik pada subjek pria maupun wanita.

Uji signifikansi perbedaan mean empirik dan mean teoritik yang membuktikan bahwa mean empirik lebih besar dari mean teoritik secara signifikan dilakukan dengan t test one sample dengan menggunakan SPSS for windows versi 12.0 yang hasilnya adalah sebagai berikut :

Tabel 9

Uji t Mean Empirik dengan Mean Teoritik One-Sample Statistics jumlah 68 121.31 18.534 2.248

One-Sample Test

95% Confidence Interval of the Difference

(70)

Berdasarkan hasil perhitungan diketahui bahwa nilai t = 9.481 dengan probabilitas sebesar 0,000. Oleh karena p < 0,05 maka terdapat perbedaan yang signifikan antara mean empirik dengan mean teoritik.

3. Analisa Uji t Mean Empirik Pria dan Mean Empirik Wanita

Berikut adalah tabel uji t hasil analisis dengan menggunakan program

SPSS for windows versi 12.0 :

Tabel 10

Uji t Mean Empirik dan Mean Teoritik

Group Statistics

JK N Mean Std. Deviation Std. Error Mean jumlah 1 32 126.13 16.867 2.982 2 36 117.03 19.118 3.186

Independent Samples Test

for Equality of

Variances t-test for Equality of Means

F Sig. t df Interval of the

(71)

Berdasar hasil penghitungan diperoleh mean empirik subjek penelitian pria sebesar 126,13 dan mean empirik subjek penelitian wanita sebesar 117,03. Hasil ini menunjukkan adanya perbedaan penyesuaian diri pada pria dan wanita dan penyesuaian diri pria lebih tinggi disbanding penyesuaian diri wanita. Pembuktian dilanjutkan dengan uji t untuk membuktikan adanya perbedaan penyesuaian diri pada pria dan wanita dan hasil penghitungan uji t didapatkan t = 2,069, p = 0,042 (p < 0,05), maka menunjukkan adanya perbedaan secara signifikan dalam melakukan penyesuaian diri subjek pria dan wanita.

4. Deskripsi Data Penelitian Ditinjau Dari Tiap Aspek Penyesuaian

Diri

Berikut adalah tabel hasil analisis data ditinjau dari tiap aspek penyesuaian diri dari hasil penghitungan dengan bantuan program SPSS for windows versi 12.0:

Tabel 11

Deskripsi Data Tiap Aspek Penyesuaian Diri Aspek penyesuaian

diri

Mean empirik

Standar

deviasi Range Variance N Kepuasan psikis 29,31 4,585 20 21,023 68 Efisiensi kerja 30,32 5,106 19 26,073 68 Gejala fisik 29,93 4,669 21 21,800 68 Penerimaan sosial 31,75 4,823 18 23,265 68

Gambar

Tabel 1 Blue print item sebelum uji coba
Tabel 2 Blue print item setelah uji coba
Tabel 3 Perbandingan Mean Empirik dan Mean Teoritik
Tabel 4 Deskripsi Data Subjek Penelitian Berdasarkan Usia Subjek
+6

Referensi

Dokumen terkait

Indeks Tendensi Konsumen (ITK) Provinsi Gorontalo pada Triwulan I-2015 sebesar 95,18, yang berarti kondisi ekonomi konsumen pada Triwulan I-2015 menurun dari triwulan

Direksi memuji reformasi penentu atas subsidi energi di tahun 2015, termasuk rencana untuk subsidi listrik sebagai sasaran subsidi yang lebih baik, dan penggunaan ruang fiskal

terasa di awal tahun 2009, yang ditunjukkan dengan perkiraan pertumbuhan ekonomi Jawa Barat sebesar 4,1% (yoy) pada triwulan I-2009, melambat dibandingkan dengan triwulan

Pada kondisi awal, kemampuan pemecahan masalah siswa SMP N 1 Ngemplak masih rendah. Hal tersebut disebabkan oleh guru yang masih menerapkan strategi pembelajaran

Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2005 tentang Sistem Informasi Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik

Aktualisasi diri yang terdapat dalam UKM Sepak Bola USU dapat dilihat dari kebutuhan fisiologis yang didapat oleh mahasiswa, kenyamanan berada dilingkungan

P Permanen: 2) P-O-P Temporer; dan 3) Media in store (di dalam toko). Bagi para manajer ritel penerapan Point-of-Purchase dilakukan karena keinginan untuk mencapai: 1) Hasil

Yang dimaksud dengan “kondisi krisis atau darurat penyediaan tenaga listrik” adalah kondisi dimana kapasitas penyediaan tenaga listrik tidak mencukupi kebutuhan beban di daerah