Vol.
22, No. 1 - lanuan 2012
: 0854-()039
Jumal 5ejarah dan Pembelajaran Sejarah
PE DU
DUK D
IHUBU NGAN ANTAR ETN IS DJ IKOTA SURABAYA
PADA MASA KOLO IAL
:1u111AMU1
s....,..,.do..,
PENDiKATA ' SOSJOLOGI SEJARAH PADA KOMODITAS GA.RAM RAKYAT!
DARI EJ<SPOR ME>
JADJ
IMPOR
'tJdlJ
:R'°'=•tmti..,,ift
MODER ls.Ml PEMKRJNl'AHA PRAJA MANGKtJ
GARAN
SURAKARTA
-U\a..w
8
CANA DA
PElESTARIAN LlNGKUNCiA : PA DA
GAN ETNfK
111
IA\VA DA MADURA
DI
WllAYAH
U)U
G TIMUR )AWA
- '~
WAY
G
B£8
1£fl
PACIT/tN
~
FUNGSI,
MAKNA. DA USAllA REVITALISAS1
Wa
1 h
KONFUK TANAH DI ARSO PA-PUA 1980-2002
c
llllk
.It.
£""""""'9
PE DIDI KAN BJARAH UNTUK M13MPERKUAT P 'DIDllCAN
KARAKTIR
$.
:Jt.amJd :JtOMM
MODEL KEPfMIMPI A DAN SUASANA AKADEMIK DAUM
PE.:MBEIAJARAN SIJAJRAH SMA DI KOTA SEMARANG
e . .
~Wart.
WAC'.Afa IDENTITAS ;UIONAl: ANAUSJS ISi' HUKU TEKS PEI.AJAR.AN
~ ":'fllil-il
;..
SE)ARAll SMA 1975 - 2008
~
.!f"WJCUlla
P£ GGUNAA KO
EP I
U SOSIAL DAl.AM KO 'STRUKSI
PEMBEIAJARAN SEJAMH KRITIS
Paramita Vol. 22, No. 1 - Januari 2012: 1-130
108
WACANA IDENTITAS NASIONAL:
ANALISIS ISI BUKU TEKS
PELAJARAN SEJARAH SMA 1975 – 2008
Hieronymus Purwanta
Jurusan Sejarah, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta
sastrosukamiskin@yahoo.com
ABSTRACT
This study analyze the discourse of national
identity found on history textbooks for high
school in 1975 - 2008 period. The objective was
motivated by concerns of the decrease tendency
of national identity among Indonesian people,
especially young people. Through the study, it
will be obtained an understanding of how new
order groups, especially modernist, reconstruct
national identity on history textbooks used by
high school students. The research method used
is qualitative, which is focused on content
analy-sis of history textbooks. Analyanaly-sis will focus on
the growth of nationalism (1908 – 1945). The
results show that national identity discourse in
narration of the growth of nationalism (1908 –
1945) is influenced by modernist views.
Keywords: text book, learning history, national
identity
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis
wacana identitas nasional ditemukan di buku
pelajaran sejarah untuk SMA di periode 1975 -
2008. Tulisan ini didorong oleh kekhawatiran
dari kecenderungan penurunan identitas
na-sional di kalangan masyarakat Indonesia,
teru-tama kaum muda. Melalui penelitian ini, maka
akan diperoleh pemahaman tentang bagaimana
kelompok Orde Baru, terutama modernis,
mere-konstruksi identitas nasional pada buku
pela-jaran sejarah yang digunakan oleh siswa SMA.
Metode penelitian yang digunakan adalah
kuali-tatif, yang difokuskan pada analisis isi buku
pe-lajaran sejarah. Analisis akan fokus pada
per-tumbuhan nasionalisme (1908 - 1945). Hasil
penelitian menunjukkan bahwa identitas wacana
nasional dalam narasi dari pertumbuhan
nasion-alisme (1908 - 1945) dipengaruhi oleh
pandan-gan modernis.
Kata kunci: buku teks, pembelajaran sejarah,
identitas nasional
PENDAHULUAN
Ketika wacana kosmopolitanisme
diproduksi dan dipropagandakan oleh
para pendukung globalisasi melalui
ber-bagai institusi multi nasional, fenomena
yang cukup menarik adalah gigihnya
usaha untuk memperkokoh identitas
nasional di antara berbagai negara
bangsa. Fenomena memperkokoh
iden-titas nasional dengan menggunakan
buku teks pelajaran sejarah, yang sering
dinegasikan dengan diberi label sebagai
konservatisme, semakin menarik
dicer-mati karena muncul dan berkembang
justru di negara-negara maju.
Di Jepang, gerakan memperkokoh
identitas nasional ditandai dengan
ber-d i r i n y a
K y o k a s h o o T s u k u r u k a i
(Masyarakat Jepang untuk reformasi
buku teks pelajaran sejarah) pada tahun
1996 dengan tokoh utamanya Fujioka
Nobukatsu, profesor dari University of
Tokyo (Nozaki and Selden, 2009).
Kelompok itu mengkritik buku teks
mata pelajaran sejarah yang beredar
se-bagai
masochistic
dan anti Jepang.
Paramita Vol. 22, No. 1 - Januari 2012: 1-130
109
ria seleksi yang ditetapkan departemen
pendidikan pada tahun 1982, yaitu
“untuk mempertimbangkan
kepentin-gan persahabatan dan kerjasama
inter-nasional” justru menjadikan bangsa
Jepang lemah. Oleh karena itu, mereka
kemudian menerbitkan
Atarashii Rekishi
Kyokasho
(Buku teks sejarah baru).
Dalam buku teks itu berbagai ekspansi
dan perlakuan buruk tentara Jepang
selama PD II tidak ditulis, sehingga
yang tampak adalah serba positif.
Fenomena memperkokoh identitas
nasional dengan menggunakan buku
teks pelajaran sejarah juga terjadi di
Amerika Serikat. Secara turun temurun,
negara-negara bagian menyusun buku
teks pelajaran sejarah dengan
menonjol-kan berbagai peristiwa sejarah yang
heroik dan mampu membangkitkan
ke-banggaan generasi muda terhadap masa
lampau bangsanya. Kebanggaan itu
ter-manifestasikan dalam judul-judul
seperti
The American Pageant, Our
Ameri-can Heritage, The Great Republic, The
En-during Vision, and America: The Glorious
Republic.
Selain itu banyak kalimat yang
menarasikan tentang kebanggaan
terha-dap berbagai keberhasilan Amerika,
khususnya dalam demokrasi,
kese-jahteraan, penguasaan teknologi dan
b e r k e m b a n g n y a k e p e m i m p i n a n
Amerika Serikat di tingkat dunia
(Selden, 2005; Loewen, 1995).
Pada tahun 1994 NCHS (
National
Center for History in Schools)
mengeluar-kan
National Standards for United States
History
yang antara lain
berisi lima
ket-erampilan berpikir historis yang harus
dikuasai oleh siswa SMA, yaitu
chrono-logical thinking, historical comprehension,
historical analysis and interpretation,
his-torical research capabilities, hishis-torical issues
-analysis and decision-making.
Banyak
kritik yang muncul, salah satunya dari
William J. Bennetta, presiden Liga Buku
teks. Dia menyatakan bahwa penulis
standar buku teks pelajaran sejarah
menggunakan model penulisan sejarah
korban, yaitu mengekspos korban dan
menegasikan pemenang.
…students are to learn about various
In-dian cultures, with attention to such
things as languages, origin myths, foods,
agricultural practices, tools, cultural
tra-ditions, and social organization; and they
are to learn about West African peoples,
with attention to things like folklore,
fam-ily structures, political structures, works
of art, and even "the achievements and
grandeur" of the court of Mansa Musa (a
14th-century king of Mali). But wait:
Where's the analogous stuff about the
Europeans? Aren't the students supposed
to study some European cultures and
learn about European origin myths,
folk-lore, foods, political structures,
agricul-tural practices, tools, machinery, religious
practices, languages, literature, music,
and so on? No. Nor are they to learn
about the "achievements and grandeur" of
any court in, say, Italy... That's bad, but
we find worse when we look at some of the
specific distortions that mark the UCLA
crowd's depiction of Indians. For instance,
we don't see anything about how any
In-dians waged war, carried out conquests,
or practiced slavery, although various
groups of Indians did all those things.
(National Standards for United States
History evidently seeks to affirm the
fash-ionable Victimist delusion that slavery
was unknown in the New World until it
was introduced by Europeans) (Benneta,
1995).
Pada kutipan itu Benneta
menje-laskan bahwa siswa harus belajar
ten-tang berbagai budaya Indian, seperti
bahasa, mitos asal usul, makanan,
prak-tik pertanian, peralatan, tradisi budaya,
dan organisasi sosial. Mereka juga
bela-jar tentang masyarakat Afrika Barat,
seperti cerita rakyat, struktur keluarga,
struktur politik, karya seni, dan bahkan
"prestasi dan keagungan" dari istana
Mansa Musa (seorang raja abad
14-Mali). Benneta juga mempertanyakan
ketiadaan hal-hal sejenis tentang Eropa.
Bukankah seharusnya para siswa untuk
Paramita Vol. 22, No. 1 - Januari 2012: 1-130
110
belajar beberapa budaya Eropa dan
be-lajar tentang mitos asal Eropa, cerita
rakyat, makanan, struktur politik,
prak-tik-praktik pertanian, alat-alat, mesin,
praktik agama, bahasa, sastra, musik,
dan sebagainya. Tidakkah mereka juga
perlu untuk belajar tentang "prestasi
dan keagungan" dari setiap
pemerin-tahan, misalnya tentang Italia.
Penje-lasan historis tersebut buruk, tetapi
menurut Benneta ada yang lebih buruk,
yaitu berbagai distorsi yang dilakukan
oleh UCLA (
University of California, Los
A n g e l e s
) k e t i k a m e n g g a m b a r k a n
masyarakat Indian. Sebagai contoh,
pembaca tidak dapat menemukan
ba-gaimana orang Indian mengobarkan
perang, melakukan penaklukan, atau
mempraktekkan perbudakan, meskipun
berbagai kelompok Indian melakukan
semua hal tersebut.
National Standards
for United States History
jelas berusaha
untuk menggunakan model penulisan
Victimist
(sejarah korban) bahwa
perbu-dakan tidak dikenal di Dunia Baru
sam-pai diperkenalkan oleh bangsa Eropa.
Berdasar berbagai temuannya
dalam standar yang disusun NCHS,
Benneta memprovokasi bahwa “
There
are no national standards for teaching
American history, and there won't be any
such standards unless a federal panel
certi-fies and promulgates them. So far, that
has-n't happened
”. Tidak ada standar
na-sional untuk pelajaran sejarah Amerika,
kecuali pemerintah federal
menetap-kannya. Dari sudut pandang ini,
kepu-tusan tentang pemilihan buku teks mata
pelajaran sejarah tetap pada level negara
bagian (
state
). Salah satu kasus yang
merepresentasikan perlawanan
terha-dap standard yang ditetapkan NCHS
terjadi di Texas.
New York Times
pada
tanggal 12 Maret 2010 memberitakan
bahwa Dewan Pendidikan Texas, pada
hari Jumat menyetujui kurikulum Ilmu
Pengetahuan Sosial (IPS) yang akan
menggunakan pandangan konservatif
pada buku teks pelajaran sejarah dan
ekonomi, yaitu pandangan yang
mene-k a n mene-k a n mene-k e u n g g u l a n mene-k a p i t a l i s m e
Amerika, mengkaji komitmen para
pendiri bangsa terhadap sistem
peme-rintahan yang sangat sekuler dan
men-yajikan filsafat politik Republikan
den-gan nuansa yang lebih positif.
Di Indonesia, perkembangan yang
terjadi menunjukkan kecenderungan ke
arah yang berbeda, untuk tidak
menga-takan berkebalikan. Pada kajian
terha-dap wacana dalam buku teks pelajaran
sejarah untuk SMU (sekarang disebut
SMA) yang diterbitkan Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan RI tahun
1975, Agus Mulyana dan Darmiasti
me-nemukan bahwa pada jilid tiga yang
menyajikan materi mulai dari
pergera-kan nasional sampai dengan zaman
Orde Baru didominasi oleh uraian yang
bersifat deskriptif naratif dengan model
penulisan ideologis, yaitu untuk
men-dukung kekuasaan Orde Baru (Mulyana
dan Darmiasti, 2009: 85).
Penonjolan kepentingan
kekua-saan yang bersifat sementara
menjadi-kan narasi buku teks pelajaran sejarah
kurang mampu
menumbuhkembang-kan identitas nasional yang visioner
dalam diri generasi muda. Kajian
Nord-holt menemukan bahwa historiografi
Indonesia terjebak pada narasi sejarah
yang tidak memiliki masyarakat, dan
akibatnya masyarakat menjalani
ke-hidupan dengan “tanpa berlandas
se-jarah”. Dari perspektif ini, menjadi
wa-jar apabila generasi muda Indonesia
menjadi tidak lagi memiliki ikatan
emosional dengan tanah tumpah
darah-nya:
Paramita Vol. 22, No. 1 - Januari 2012: 1-130
111
when she was asked about what it meant
being an Indonesian… For many of
to-day's young people, being Indonesian
means nothing more than a "geographical
fact" -- because they were born and raised
in the country. Nothing more, nothing
less. Ramadhani, 22, a high school
drop-out and a street beggar, and Ismail, 17, a
student at the Santi Rama school for the
disabled, said they were Indonesians only
because they lived here (The Jakarta Post,
16 Agustus 2002).
Kesadaran bahwa buku teks
pela-jaran sejarah menjadi salah satu
pen-yokong terjadinya krisis identitas
na-sional, pada masa reformasi
berkem-bang kesadaran untuk mengatasi
ma-salah tersebut melalui berbagai jalan.
Salah satunya adalah memperbaharui
kurikulum dan sekaligus buku teks.
Per-tanyaannya adalah seberapa jauh
pem-baharuan dilakukan dan apakah
lang-kah itu efektif.
Penelitian ini mencoba untuk
mengkaji isi buku teks dari perspektif
identitas nasional. Sartono Kartodirdjo
(Mulyana dan Darmiasti 2009) memberi
rambu-rambu bahwa sejarah nasional
harus merupakan “sejarah dari dalam”,
uraian kekuatan yang mempengaruhi,
representasi semua golongan
masyara-kat, dan merupakan sintesis ke arah
in-tegrasi nasional.
Dengan berlandas pada gagasan
Sartono, permasalahan penelitian ini
dirumuskan sebagai berikut: (1)
Bagai-mana pendekatan yang dikembangkan
dalam buku teks pelajaran sejarah SMA
Jurusan IPS pada periode tahun 1975 –
2008. (2) Bagaimana keberagaman yang
dikembangkan dalam buku teks
pela-jaran sejarah SMA Jurusan IPS pada
pe-riode tahun 1975 – 2008. (3) Bagaimana
integrasi nasional yang dikembangkan
dalam buku teks pelajaran sejarah SMA
Jurusan IPS pada periode tahun 1975 –
2008. (4) Bagaimana wacana yang
dike-mukakan penulis dalam buku teks
pela-jaran sejarah SMA Jurusan IPS pada
pe-riode tahun 1975 – 2008.
METODE PENELITIAN
Penelitian mengkaji tiga buku teks
untuk setiap periode kurikulum,
se-hingga keseluruhannya menjadi 12
buku teks pelajaran sejarah. Di lain
pi-hak, agar lebih fokus, pengkajian
diba-tasi pada eksplanasi buku teks pelajaran
sejarah tentang sejarah pergeranakan
nasional Indonesia (1908 – 1945).
Penelitian ini merupakan
peneli-tian kualitatif untuk mengkaji wacana
rekonstruksi identitas nasional melalui
konten buku teks yang diproduksi
se-lama pemerintahan Presiden Suharto.
Dalam konteks ini, buku teks
ditempat-kan sebagai dokumen historis yang
mengandung “ekspresi subjektif”
pen-garang (Schleiermacher dan Dilthey)
yang terkait dengan kepentingan dan
kekuasaan sebagai konteks dalam
pro-duksi dan repropro-duksi wacana (Wodak
and Meyer, 2001: 24) serta asumsi,
ideologi dan pesan yang diwacanakan
dan disampaikan oleh penulis kepada
siswa sebagai audien (Crawford, 2001:
327).
Oleh ka re na it u, pe ngkaj ia n
diarahkan untuk menganalisis
term-term superior, baik dalam bentuk kata,
kalimat maupun frasa,. Term-term
supe-rior itu “
not only the object of a particular
knowledge, but also the object of a
vi-sion
” (Spivak dalam Derrida, 1997: lviii),
sehingga ditempatkan sebagai penanda
kehadiran kelompok kepentingan
(Derrida, 1997: 12); serta
inferior terms
yang difungsikan untuk menegasikan
pihak-pihak lain (
others
). Penegasian
dapat berupa ungkapan yang
menya-lahkan, mempenjahatkan maupun
men-gorbankan pihak-pihak yang dianggap
tidak sejalan dengan kelompok
ke-pentingan yang sedang berkuasa.
Paramita Vol. 22, No. 1 - Januari 2012: 1-130
112
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pendekatan yang Digunakan dalam
Buku Teks
Dari perspektif pendekatan, pada
periode berlakunya Kurikulum 1975
ter-lihat ada perkembangan yang menjadi
tonggak bagi dinamika yang terjadi
pada periode-periode berikutnya, yaitu
digunakannya pendekatan struktural
dalam menyusun buku teks pelajaran
s e ja r a h un t u k S M A. P e n g g u n a a n
pendekatan struktural dalam
penyu-sunan buku teks dipelopori oleh tim
yang diketuai oleh Nugroho
Noto-susanto. Penggunaan pendekatan
struk-tural terlihat semakin berkembang pada
periode 1984 – 1994. Selain edisi revisi
dan cetak ulang buku teks pelajaran
se-jarah karangan tim di bawah pimpinan
Nugroho Notosusanto, pada periode ini
muncul buku teks karangan tim di
bawah pimpinan G. Moedjanto.
Karakteristik penulisan buku teks
yang menggunakan pendekatan
struk-tural sampai periode ini adalah
penem-patan struktur kolonial sebagai pihak
yang paling besar peranannya dalam
melahirkan pergerakan nasional
Indo-nesia. Di luar struktur kolonial, buku
teks juga menyinggung struktur
re-gional, yaitu pergerakan nasional di
Asia, tetapi relatif kecil peranannya.
P e r k e m b a n g a n p e n g g u n a a n
pendekatan struktural terlihat jelas pada
industri buku teks pada periode-periode
berikutnya. Dari tiga buku yang dikaji,
dua buku berusaha menggunakan
pendekatan struktural, yaitu buku teks
pelajaran sejarah karangan I Wayan
Badrika serta Siti Waridah Q. dkk. Hal
yang sama juga terjadi pada produksi
buku teks untuk kurikulum 2006. Buku
teks karangan Ratna Hapsari dan Abdul
Syukur serta Tarunasena menggunakan
pendekatan struktural, sedang Mustopo
memlih pendekatan narratif.
Meski pendekatan struktural telah
terdesiminasi pada penulisan buku teks,
bukan berarti kemampuan
mengguna-kan pendekatan itu telah dengan baik
dikuasai oleh para pengarang buku teks.
Dari 12 buku yang dikaji, hanya dua
buku yang menunjukkan kemampuan
penggunaan pendekatan struktural
de-ngan baik, yaitu buku teks karade-ngan
Nugroho Notosusanto (buku paket
un-tuk kurikulum 1975 dan 1984) dan buku
teks karangan Moedjanto (untuk
kuri-kulum 1984). Keduanya mampu
menje-laskan pengaruh struktur kolonial
terha-dap tumbuhnya nasionalisme
Indone-sia.
Pada buku teks untuk kurikulum
1994 dan 2006, secara kurikuler, para
pengarang dituntut untuk menjelaskan
pengaruh struktur global, yaitu
paham-paham baru di Eropa dan Amerika
Seri-kat, terhadap munculnya pergerakan
nasional Indonesia. Tuntutan itu tidak
dapat ditunaikan dengan baik. Semua
pengarang buku teks yang
mengguna-kan pendekatan struktural gagal
menje-laskan pengaruh tersebut. Kegagalan
pengarang yang memilih pendekatan
struktural memiliki latar belakang yang
kompleks. Salah satu faktor terpenting
adalah latar belakang pendidikan dan
tingkat pemahaman penulis terhadap
dasar-dasar ilmu sejarah (Mulyana,
2009: 3). Tanpa pendidikan kesejarahan
yang memadai dan pemahaman
men-dalam tentang metodologi sejarah,
pe-ngarang buku teks akan mustahil
mampu menerapkan pendekatan
struk-tural dengan baik.
tu-Paramita Vol. 22, No. 1 - Januari 2012: 1-130
113
juan seluruh umat manusia.”Narasi
be-sar SPM bersifat teleologis dalam arti
menyajikan semua bergerak ke arah
satu tujuan tertentu, sebagai
perkem-bangan dari hal yang sederhana dan
ti-dak sempurna ke hal yang kompleks,
rasional dan efisien” (Sutherland, 2008:
34 – 35).
Meskipun memiliki aspek positif,
bukan berarti penerapan pendekatan
s t r u k t u r a l p a d a b u k u t e k s t i d a k
memiliki kekurangan. Hasil penelitian
Bambang Purwanto (2006) terhadap
ka-jian sejarah di Indonesia, penggunaan
pendekatan struktural di Indonesia
ter-jebak pada rekonstruksi sejarah yang
deterministik. Temuan Purwanto
terse-but juga terjadi dalam buku teks
pela-jaran sejarah. Rekonstruksi pergerakan
nasional dalam buku teks untuk
kuriku-lum 1975 menempatkan struktur
kolo-nial sebagai determinan. Pada buku teks
karangan Notosusanto dkk (1992. Jilid 2:
24 – 25) menempatkan politik etis dan
penetrasi ekonomi Barat sebagai
kekua-tan determinan yang melahirkan
per-gerakan nasional Indonesia. Bahkan
ketika menjelaskan tentang pendidikan,
p e n g a r a n g m e n e g a s k a n b a h w a
“pengaruh sistem pendidikan Barat
adalah sangat menonjol dalam
menum-buhkan elite nasional. Dengan ilmu,
m e r e k a m e n g h a s i l k a n i d e d a n
pemikiran sendiri untuk kemajuan
masyarakat. Begitu pun keahlian
seseo-rang dalam suatu ilmu telah mendesak
keturunan sebagai ukuran bagi
penen-tuan status seseorang” (Notosusanto
dkk.,1992. Jilid 3: 27).
Penempatan struktur kolonial
se-bagai kekuatan determinan juga terjadi
pada buku teks untuk kurikulum 1984
yang menggunakan pendekatan
struk-tural. Hal itu tampak dari uraian buku
teks karangan Moedjanto dkk (1992.
Jilid 2) yang mengungkapkan bahwa
“pengajaran membawa akibat semakin
luasnya wawasan segenap peserta
didik” sebagai latar dari munculnya
pergerakan nasional. Bakan pengarang
juga menyampaikan bahwa “pada
per-alihan abad XX masuk penetrasi
eko-nomi Barat ke pedesaan secara intensif”
yang membawa efek domino pada
tum-buhnya kota sebagai pusat kegiatan
eko-nomi dan nasionalisme (Moedjanto,
1992. Jilid 2: 3)
Pada buku teks untuk kurikulum
1994, pemerintah kolonial Belanda tetap
ditempatkan sebagai kekuatan
determi-nan dalam menjelaskan lahirnya
nasion-a l i s m e I n d o n e s i nasion-a . P e r k e m b nasion-a n g nasion-a n
penting pada periode ini adalah dari
tiga buku teks yang dikaji, semuanya
menempatkan tumbuhnya nasionalisme
Indonesia secara deterministik pada
ke-kuatan Barat pada umumnya. Hal itu
tampak dari judul bab yang mereka
gunakan, yaitu “Paham-Paham Baru
yang Berpengaruh Terhadap
Pergera-kan Nasional Asia-Afrika Serta
Perjua n g Perjua n K e m e r d e k Perjua Perjua n I n d o n e
-sia” (Badrika, 1995: 84); “Perkembangan
Paham-paham Baru di Eropa dan
Amerika Sampai Perang Dunia II dan
Pergerakan Nasional di Asia dan Afrika
Serta Pengaruhnya Terhadap
Perju-a n g Perju-a n K e m e r d e k Perju-a Perju-a n I n d o n e s i Perju-a
(Sardiman, dkk., 1996. Jilid 2b: 142),
serta “Pengaruh Paham Baru dan
Peristiwa Penting Dunia Terhadap
Perj u a n g a n K e m e r d e k a a n I n d o n e
-sia” (Waridah, 2000: 36). Dari
judul-judul bab tersebut dapat diambil
pema-haman yaitu para pengarang buku teks
berusaha menyampaikan pesan bahwa
paham-paham baru yang berkembang
di Barat merupakan payung yang
me-lingkupi dinamika nasionalisme di
In-donesia.
Dari judul bab yang telah
meng-ungkapkan kecenderungan
determin-istik, dapat diperkirakan bahwa uraian
penjelasannya pun akan tidak jauh dari
usaha menempatkan Barat sebagai
ke-kuatan determinan. Usaha itu antara
Paramita Vol. 22, No. 1 - Januari 2012: 1-130
114
lain tampak pada pendahuluan bab II
yang di buat oleh Badrika (1995. Jilid 2:
34) di bawah.
Bangsa-bangsa terjajah di Asia, Afrika
dan di Amerika tampil memekik
"merdeka!"
"Usirlah bangsa kolonialis
d a n i m p e r i a l i s d a r i b u m i k i t a
tercinta!"
Mengapa mereka berontak
setelah sekian abad seolah terlelap
dalam seribu kepahitan yang
melilit-nya? Mengapa mereka berontak? Ada
sejumlah jawaban yang bisa
dikemu-kakan. Tetapi yang jelas bahwa dasar
dari seluruh gerakan nasionalisme
dan pergerakan kemerdekaan di
negeri-negeri terjajah itu karena
pe-ngaruh langsung dan tidak langsung
dari beberapa paham baru yang
berkembang di Eropa dan merambat
ke negeri-negeri jajahan.
Reformasi yang berlangsung pada
tahun 1998, tidak membawa perubahan
yang berarti dalam arti fakta dan dasar
pemikiran baru dari pengarang buku
teks. Bahkan pada buku-buku teks
un-tuk kurikulum 2006, pola pemikiran
juga tidak banyak berubah. Pada
pe-riode ini, buku teks juga menempatkan
kebudayaan Barat pada umumnya dan
politik kolonial Belanda pada
khusus-nya sebagai satu-satukhusus-nya kekuatan
p e n e n t u a t a u d e t e r m i n a n . P o l a
pemikiran itu dapat disimak pada
Ta-runasena. Penempatan kebudayaan
Barat sebagai kekuatan determinan
ti-dak hanya tampak pada uraian, tetapi
juga pada kegiatan atau tugas yang
diberikan kepada siswa. Pada halaman
206, menyusun kegiatan siswa sebagai
berikut.
Cari di internet atau di surat kabar
atau sumber lain yang berhubungan
dengan paham-paham tersebut di
atas. Selanjutnya, jelaskan hubungan
paham-paham tersebut dengan
mun-culnya pergerakan nasional di
Indo-nesia? (Tarunasena, 2009)
Eksplanasi deterministik menjadi
dapat dipahami sebagai usaha
mewaca-nakan pemikiran pengarang dari
kelom-pok Sejarawan Profesional Modern
(SPM). Karakteristik eksplanasi sejarah
SPM adalah “menampilkan sejarah
se-bagai kemajuan yang berpuncak pada
kejayaan modernitas negara-bangsa,
yaitu cara berpikir atau cara hidup
Barat” serta eksplanasi teleologis yang
berpuncak pada terbentunya
masyara-kat yang oleh Francis Fukuyama disebut
s e b a g a i d e m o k r a s i p a s a r b e b a s
(Sutherland dalam Nordholt, Purwanto
dan Saptari, ed., 2008: 34 – 35). Dengan
kata lain, identitas nasional yang
hen-dak diwacanakan oleh SPM adalah
In-donesia yang “berbudaya Barat”. Dari
sudut pandang ini, pemberian peran
kunci terhadap Barat sebagai kekuatan
determinan pada fenomena historis
muncul dan berkembangnya
nasional-isme Indonesia merupakan representasi
dari pandangan sejarawan modernis
bahwa identitas nasional Indonesia
pada masa modern dewasa ini
diharap-kan mampu mencontoh dan mengikuti
modernitas Barat sebagai tipe ideal.
Paramita Vol. 22, No. 1 - Januari 2012: 1-130
115
Selain menonjolkan kelompok
masyarakat yang sudah mengalami
Westernisasi, pengarang juga berusaha
menegasikan kelompok yang tetap
ber-pola pikir dan ber-pola hidup Indonesia
se-bagai bersifat kedaerahan, tradisional,
dan pekerjaannya diperoleh dari
wari-san turun temurun. Bahkan Moedjanto
menjelaskan bahwa kelompok ini
seba-g a i “ a r s i t e k k e s e n seba-g s a r a a n
rakyat” (Moedjanto, 1992. Jilid 2: 11)
Sealur dengan pandangan yang
menonjolkan modernitas sebagai cara
berpikir dan cara hidup seperti Barat,
pengarang menempatkan Perhimpunan
Indonesia (PI) yang beranggotakan
mahasiswa Indonesia di Belanda
seba-gai organisasi pergerakan terpenting
bagi terbentuknya identitas nasional
In-donesia merdeka. Peran penting PI
antara lain dimunculkan oleh
penga-rang pada pencetusan manifesto politik
pada tahun 1925 yang isinya mengubah
PI menjadi organisasi politik dengan
empat landasan perjuangan, yaitu
per-satuan nasional, solidaritas,
non-kooperasi dan swadaya (Badrika, 1995
Jilid 2: 221-222; Tarunasena, 2009. Jilid 2:
223-224). Kedudukan landasan
perjuan-gan yang dirumuskan PI dipandang
sangat penting, karena memberi arah
pergerakan nasional di tanah air
seka-ligus fondasi negara Indonesia merdeka.
Selain mengemukakan bahwa
manifesto politik PI sangat penting,
wacana yang juga hendak disampaikan
adalah bahwa pada tingkat praksis
peran anggota dan terutama eks
anggo-tanya sangat besar dalam mengarahkan
pergerakan nasional Indonesia. “Pada
bulan Juni 1925 Perhimpunan Indonesia
menugaskan Budiarto, Sartono dan
Ar-nold Monomutu untuk menyiapkan dan
menyebarluaskan propaganda
Perhim-punan Indonesia di negeri Belanda dan
di Indonesia” tulis Badrika (1995. Jilid 2:
225). Di antara berbagai peristiwa
his-toris yang dibuat, keikutsertaan menjadi
arsitek berdirinya Partai Nasional
Indo-nesia (PNI) merupakan ikon gerak para
anggota PI di tanah air.
Wacana bahwa mengadopsi
kebu-dayaan Barat dan sekaligus
meninggal-kan budaya asli sebagai satu-satunya
identitas nasional bangsa modern tidak
hanya dinarasikan oleh buku teks. Salah
satu kajian sejarawan Barat yang banyak
dirujuk oleh sejarawan Indonesia,
ter-masuk di dalamnya para pengarang
buku teks, adalah karya Robert van
Niel,
The Emergence of the Modern
Indone-sian Elite
yang terbit pada tahun 1960
dan diterjemahkan ke dalam bahasa
In-donesia tahun 1984.
Tesis yang diangkat Niel adalah
bahwa semua elite modern Indonesia
merupakan hasil didikan Barat dan
pa-ling sedikit telah mengadopsi beberapa
aspek kebudayaan Barat. Mereka
di-gambarkan sebagai “lebih bersifat Barat
dalam pendidikan dan pengajarannya
dan dalam konsepsinya mengenai
ne-gara dan masyarakat” (Niel, 2009: 43).
Oleh karena itu, menjelaskan kebijakan
pemerintah kolonial sebagai
trigger
munculnya elite modern Indonesia
me-rupakan konsekuensi logis dari posisi
yang diambilnya. Untuk memperkuat
tesisnya, Niel berusaha mem-Barat-kan
semua fenomena historis yang terkait
dengan muncul dan berkembangnya
nasionalisme Indonesia. Salah satu
anal-isisnya terhadap berdirinya Sarekat
Da-gang Islam yang notabene berjiwa
bu-kan Barat sebagai berikut.
Karena Samanhudi sendiri tidak
mempunyai waktu maupun bakat
untuk membentuk suatu organisasi,
ia pun berusaha mencari seorang
di-rektur-organisator. Pilihannya jatuh
pada seorang yang telah mempunyai
pengalaman dalam organisasi
perdag a n perdag a n : R a d e n M a s T i r
-toadisuryo...Tirto telah mendapat
pendidikan sekolah administratur
(OSVIA) (Niel, 2009: 135)
Paramita Vol. 22, No. 1 - Januari 2012: 1-130
116
Dengan memasukkan tokoh
Tir-toadisuryo, Niel telah berhasil
mem-B a r a t k a n S a r e k a t D a g a n g I s l a m ,
meskipun hanya wadah atau
bungkus-nya. Dari sudut pandang ini, tesis Niel
tetap dapat dipertahankan, yaitu bahwa
semua gerak elite modern Indonesia
merupakan hasil dari proyek
wester-nisasi. Pola yang sama dilakukannya
terhadap berbagai gerakan yang
ber-basis Islam, termasuk terhadap
Muham-madiyah (Niel, 2009: 129 – 130).
Wacana sejenis juga dikemukakan
oleh sejarawan Indonesia. Salah satunya
adalah Sartono Kartodirdjo yang
men-jadi editor kunci dalam penulisan
Se-jarah Nasional Indonesia (1975). Ketika
membahas Politik Etis sebagai pilar
utama program westernisasi, dia
menje-laskan sebagai berikut.
Perlu dijelaskan di sini, bahwa pada
masa peralihan dari abad ke-19 ke-20
politik Ethis berkembang hampir
ber-samaan dengan, dan dimungkinkan
oleh, arah baru di dalam politik
kolo-nial partai-partai Belanda; arah baru
itu biasanya disebut dengan nama
politik kolonial dari pada pendidikan
moral. Sehubungan dengan arah baru
di dalam politik kolonial itu, maka
tugas kolonial selanjutnya dipandang
sebagai missi kebudayaan yang
bersi-fat moral, sedang “politik mencari
keuntungan” telah ditinggalkan.
Cita-cita yang ideal ialah “memasukkan
rakyat Indonesia ke dalam orbit
kebu-dayaan penguasanya, supaya mereka
m e m i l i k i k e b u d a y a a n
Barat” (Kartodirdjo, 1992. Jilid 2: 50).
Meskipun pernyataan bahwa
Belanda telah meninggalkan politik
mencari untung perlu diragukan
ke-benarannya, tetapi dalam konteks ini
kutipan di atas pengarang dengan
sa-ngat jelas menarasikan politik Etis
seba-gai politik westernisasi.
Hasil dari politik Etis adalah
ter-bentuknya kaum intelektual yang
memiliki cara berpikir dan cara hidup
Barat. Mereka sangat terkesan dengan
“tingkat kemajuan yang telah dicapai di
Barat” dan “menyebabkan timbulnya
aspirasi-aspirasi untuk mengadakan
in-vasi atau modernisasi menurut model
Barat pada umumnya dan Belanda pada
khususnya” (Kartodirdjo, 1992. Jilid 2:
84). Selain menonjolkan proses
wester-nisasi, pengarang menegasikan
kebu-dayaan asli sebagai yang layak dan
pan-tas untuk ditinggalkan. Penegasian itu
dilakukan dengan jalan menyusun
ek-splanasi sebagai berikut.
Dalam menghadapi perubahan sosial
yang diakibatkan oleh penetrasi
sis-tem kolonial di satu pihak, dan
terbu-kanya masyarakat pribumi terhadap
pengaruh-pengaruh dari luar di pihak
lain, mau tak mau tradisi mengalami
keretakan yang lama-lama
menimbul-kan krisis. Kekuatan-kekuatan
sosial-ekonomi menciptakan kondisi hidup
baru yang tidak hanya mendobrak
sistem serba tertutup tetapi juga
membuka kesempatan-kesempatan
baru... Kejutan-kejutan kultural
ter-jadi; banyak pertanyaan dan
persoa-lan sekitar tradisi sendiri; maka
mele-daklah krisis dalam kehidupan
tra-disional. Nilai-nilai goncang dan
dipertanyakan relevansinya dengan
zaman baru, banyak lambang
kehilan-gan maknanya, orientasi hidup tidak
mantap lagi, pendeknya tradisi mulai
g o n c a n g p a d a d a s a r - d a s a r n y a
(Kartodirdjo, 1992. Jilid 2: 99 – 100).
Dari kutipan di atas tampak
bahwa pengarang berpendapat bahwa
tradisi asli tidak mampu bertahan ketika
menghadapi arus penetrasi Barat dan
zaman keterbukaan. Ketidakmampuan
itu mengakibatkan krisis dan “goncang
pada dasar-dasarnya”.
Indo-Paramita Vol. 22, No. 1 - Januari 2012: 1-130
117
nesia semata hanya sebagai manifestasi
dari kebudayaan Barat yang diserap
oleh para pelaku sejarah.
Ketidakmam-puan mendekati realitas obyektif paling
tampak adalah ketika menempatkan
kaum intelektual hasil pendidikan Barat
sebagai satu-satunya kelompok yang
menjadi pelopor pergerakan nasional
dan membentuk negara bangsa seperti
Barat sebagai tujuan. Pandangan itu
menutup berbagai fenomena sejarah
pergerakan nasional, misalnya Sarekat
Dagang Islam (SDI), Jamiat Khier dan
Perhimpunan Minahasa yang ditinjau
dari pendirinya berada di luar proses
westernisasi, dalam arti mengikuti
pen-didikan Barat. Penjelasan Robert van
Niel bahwa organisasi SDI disusun oleh
Tirtoadisuryo tidak dapat menutupi
re-alitas bahwa kehidupan pendirinya
berada di luar lingkaran westernisasi,
t e r m a s u k d i d a l a m n y a a l a m
pemikirannya.
Salah satu fenomena historis lain
yang tidak mampu diwadahi oleh
pan-dangan modernis bahwa mengadopsi
budaya Barat merupakan cita-cita
Indo-nesia modern adalah polemik
kebu-dayaan yang terjadi pada tahun 1935.
Berawal dari perdebatan dalam kongres
Permusyawaratan Perguruan Indonesia
di Solo, berkembang menjadi polemik di
suratkabar. Polemik memperdebatkan
tentang kebudayaan Indonesia di masa
depan. Sutan Takdir Alisjahbana
seo-rang diri yang berpendapat bahwa
bangsa Indonesia harus mengadopsi
jiwa kebudayaan Barat harus
mengha-dapi tokoh-tokoh pergerakan lainnya
yang berpandangan bahwa bangsa
In-donesia harus mempertahankan dan
mengembangkan kebudayaan aslinya
(Mihardja, 1977). Oleh karena fenomena
historis itu bertolak belakang dengan
pandangan sejarawan modernis, maka
tidak satupun buku teks yang
memuat-nya. Dengan kata lain, peristiwa historis
itu ditenggelamkan atau dipandang
ti-dak penting untuk ditulis.
Oleh karena menempatkan Barat
pada umumnya dan pemerintah
kolo-nial Belanda pada khususnya sebagai
kekuatan determinan, tidak satupun
buku teks yang berusaha menggali
ke-budayaan lokal sebagai habitus bagi
la-hirnya nasionalisme Indonesia. Struktur
lokal, yaitu kondisi sosio-kultural
tem-pat para pelaku sejarah pergerakan
na-sional dilahirkan dan dibesarkan,
cenderung diabaikan atau dipandang
sebagai unsur yang tidak memiliki
rele-vansi tinggi untuk dibahas dalam
rekon-struksi sejarah nasionalisme Indonesia.
Akibatnya, penjelasan yang diberikan
tidak mampu menjangkau “history from
within” seperti dianjurkan oleh Sartono
Kartodirdjo. Fenomena muncul dan
berkembangnya nasionalisme bukan
dipandang sebagai representasi pelaku
sejarah dengan seluruh konstruk
men-talnya, tetapi sekedar sebagai akibat tak
terduga dari inovasi Barat.
Eksplanasi struktural
determin-istik yang dikembangkan para
penga-rang buku teks pelajaran sejarah
mela-hirkan persepsi dalam diri para siswa
bahwa kebudayaan Barat merupakan
tipe ideal. Dengan kata lain,
determi-nisme tersebut mengakibatkan mata
pe-lajaran sejarah menjadi kontra produktif
dalam mewariskan dan
mengembang-kan identitas nasional. Para siswa amengembang-kan
berpendapat bahwa identitas nasional
tidak perlu dipertahankan dan
dikem-bangkan, karena kualitasnya jauh di
bawah identitas global yang “secara
his-toris” telah terbukti mampu memainkan
peran penting dalam dinamika sejarah
nasional Indonesia.
Keberagaman dalam Buku Teks
Dari perspektif keberagaman,
ter-lihat bahwa seluruh buku teks lebih
me-nekankan ragam organisasi pergerakan
Paramita Vol. 22, No. 1 - Januari 2012: 1-130
118
nasional yang berkembang di Jawa. Hal
itu dimungkinkan karena Jawa menjadi
pusat pemerintahan pada zaman
kolo-nial, sehingga sumber-sumber yang
di-jadikan landasan penulisan sejarah
tersedia relatif lengkap. Penekanan pada
ragam organisasi tingkat nasional dapat
disimak dalam uraian buku teks tentang
organisasi sosial, politik, keagamaan,
wanita dan pemuda/pelajar. Dari
buku-buku teks yang dikaji, semua membahas
ragam organisasi nasional tersebut.
Per-bedaan antara satu buku dengan buku
lainnya terletak pada tingkat kedalaman
pembahasannya.
Selain fokus pada ragam
or-ganisasi, karakteristik lain yang cukup
menonjol adalah penekanan uraiannya
pada pribumi. Sebaliknya, penjelasan
tentang etnik non pribumi, seperti
Indo-Belanda, Tionghoa, dan Hadrami/Arab
hampir-hampir tidak pernah dilakukan.
Penyebutan, dan bukan penjelasan,
et-nik non pribumi dilakukan oleh
se-bagian besar pengarang buku teks
ketika menjelaskan organisasi nasional
atau pergerakan kaum pribumi.
Misal-nya, ketika menjelaskan tentang
In-dische Partij, pengarang antara lain
menyebutkan bahwa “Pendiri Indische
Partij adalah tiga serangkai, yaitu
Dou-wes Dekker (Setyabudi Danudirjo),
Su-wardi Suryaningrat (Ki Hajar
Dewant a r a ) , d a n C i p Dewant o M a n g u n k u
-sumo” (Moedjanto, 1992. Jilid 2: 41)
tanpa menjelaskan identitas Douwes
Dekker sebagai Indo-Belanda.
Penjela-san agak mendalam tentang
Indo-Belanda diberikan oleh
Badrika (
1997.
Jilid 2).
Tarunasena (2009) yang buku
teksnya berhasil lolos seleksi dari
pe-merintah melalui Badan Standar
Na-sional Pendidikan (BSNP) sama sekali
tidak menjadikan keberagaman etnik
dalam eksplanasinya.
Dari buku-buku teks yang dikaji
tampak bahwa eksplanasi historis
ten-tang keberagaman masih sangat kurang.
Sebagai buku teks pelajaran sejarah,
kurangnya perhatian terhadap
keraga-man etnik dan disertai keberimbangan
dalam narasi akan menyampaikan
pesan kepada siswa SMA bahwa
kelahi-ran Indonesia adalah sekedar keputusan
politik yang terjadi di Jawa pada tahun
1945 oleh orang Jawa atau orang luar
J a w a y a n g t e l a h m e n g a l a m i
“penjawaan”. Dengan kata lain,
identi-tas kein donesiaan yang seka rang
mereka miliki adalah status politik
se-lama masih dalam dominasi etnik Jawa.
Dalam realitas kehidupan sehari-hari,
secara sosio-kultural etnik-etnik di
Indo-nesia masih tetap menempatkan
identi-tas etnik mereka pada posisi yang
tertinggi. Kasus penolakan etnik Dayak
terhadap etnik Madura pada tahun 2001
mengindikasikan bahwa meski secara
legal setiap warga negara dapat
bertem-pat tinggal dimana saja di wilayah
Indo-nesia, pandangan bahwa etnik lain
se-bangsa sebagai “
the others
” tetap
di-hidupi (Purwanto, 2006).
Integrasi Nasional
Dari perspektif integrasi nasional,
terlihat hampir semua buku teks telah
berusaha untuk menarasikannya sesuai
dengan pendekatan yang digunakan.
Pola yang umum digunakan oleh
pe-ngarang buku teks untuk
menggambar-kan integrasi nasional adalah
terdapat-nya kerjasama antar kaum pergerakan
di tingkat nasional. Kerjasama itu dapat
bersifat sementara atau
ad hoc
, yaitu
ketika organisasi-organisasi pergerakan
menggalang kekuatan bersama untuk
menghadapi suatu permasalahan.
Seba-gai contoh adalah pembentukan
Radicale
Consentratie
pada tahun 11918 (Siswoyo,
1979. Jilid 1).
Paramita Vol. 22, No. 1 - Januari 2012: 1-130
119
ada. Kerjasama tersebut relatif lebih
per-manen dengan tanpa menghilangkan
eksistensi dan kegiatan internal
masing-masing organisasi pergerakan. Kerja
sama pola federasi itu cukup populer di
antara kaum pergerakan, sehingga
pa-ling banyak digunakan. Tujuannya
adalah untuk menyamakan arah aksi
kebangsaan, memperkuatnya dengan
memperbaiki organisasi dan melakukan
kerjasama dalam perjuangan, serta
menghindarkan perselisihan antar
ang-gota yang hanya merugikan perjuangan
(Notosusanto, 1992. Jilid 2: 81 – 82). Pola
ketiga adalah fusi atau peleburan
berba-gai organisasi pergerakan ke dalam satu
organisasi baru. Melalui proses
pelebu-ran, berbagai organisasi lama
meng-akhiri eksistensinya dan sepenuhnya
menggunakan identitas baru. Salah satu
contoh proses peleburan terjadi pada
tahun 1935 yang melahirkan Partai
In-donesia Raya atau dikenal sebagai
Parindra.
Penulisan buku teks pelajaran
se-jarah periode 1975 - 2006 didominasi
oleh pendekatan struktural yang secara
konseptual akrab dengan struktur dan
penyusunan generalisasi terbatas
(pola-pola). Akan tetapi, dalam kenyataannya
kelemahan utama eksplanasi tentang
integrasi nasional adalah tidak
disusun-nya generalisasi terbatas, dalam konteks
ini adalah pola-pola integrasi, untuk
menjelaskan kerjasama yang
berlang-sung di antara kaum pergerakan.
Aki-batnya aspek diakronis perkembangan
integrasi nasional tidak dapat
terjelas-kan secara optimal.
Secara teoritis, integrasi nasional
paling tidak mengandung dua unsur
utama, yaitu integrasi vertikal yang
ber-kait dengan hubungan antara elite
de-ngan massa rakyat serta integrasi
hori-sontal yang terkait dengan dinamika
sosio kultural daerah dan penciptaan
hubungan yang kohesif dengan
daerah-daerah lain secara nasional (Sjamsuddin
dalam Bahar dan Tangdililing, 1996: 4).
Dari sudut pandang teoretis, para
pe-ngarang buku teks lebih banyak
menje-laskan integrasi vertikal dan sangat
kurang pada integrasi horisontal.
Kekurangan pada eksplanasi
inte-grasi horisontal antara lain tampak pada
kekosongan dalam menjelaskan
etno-nasionalisme. Bukan berarti di
Indone-sia tidak terdapat fenomena historis
ten-tang etno-nasionalisme, tetapi oleh para
pengarang buku teks ditempatkan
seba-gai fenomena nasionalisme.
Penem-patan etno-nasionalisme sebagai
nasion-alisme Indonesia seperti yang terjadi
pada kasus Budi Utomo, menjadikan
dinamika terbentuknya integrasi
na-sional yang terikonkan dalam “
Bhineka
Tunggal Ika
” tidak dapat terkemukakan
dengan baik. Purwanto (2006: 182)
men-jelaskan bahwa “proses pembentukan
identitas keindonesiaan berjalan seiring
dengan identitas etnik. Dua-duanya
mengalami proses transformasi secara
sinergis membentuk identitas
masing-masing tanpa harus saling
bertentan-gan”. Dari sudut pandang ini, buku teks
pelajaran sejarah sudah seharusnya
menjelaskan proses transformasi
terse-but dengan tanpa menghilangkan aspek
kebhinekaan identitas masing-masing
etnik. Proses tersebut antara lain terlihat
pada isi Sumpah Pemuda pada tahun
1928, yaitu “
Kami putra dan putri
Indo-nesia menjunjung Bahasa Persatuan,
Bahasa Indonesia”.
Para pemuda pada
t a h u n 1 9 2 8 t i d a k m e r u m u s k a n
“berbahasa satu, bahasa Indonesia”
tetapi “menjunjung bahasa persatuan,
bahasa Indonesia”. Perumusan itu
san-gat tepat, karena tetap mengakui
pentingnya eksistensi bahasa daerah.
Dari sudut pandang ini, distorsi makna
yang sangat fatal apabila Sumpah
Pe-muda dirumuskan oleh pengarang buku
teks sebagai “Ikrar satu nusa, satu
bangsa, dan satu bahasa” (Moedjanto,
1992. Jilid 2: 14), karena akan
Paramita Vol. 22, No. 1 - Januari 2012: 1-130
120
masi penetrasi bahasa nasional dengan
cenderung meminggirkan, dan bahkan
menghapuskan bahasa daerah.
SIMPULAN
Sejak penerapan kurikulum 1975,
sedikit demi sedikit buku teks pelajaran
sejarah menggunakan pendekatan
struktural, terutama ketika membahas
muncul dan berkembangnya
pergera-kan nasional di Indonesia.
Permasala-hannya adalah bahwa sebagian besar
pengarang kurang memahami secara
mendalam dan terampil menerapkan
pendekatan struktural dalam
rekon-struksi sejarah. Hal itu terutama terlihat
pada periode kurikulum 1994 dan 2006
yang memuat pembahasan tentang
pa-ham-paham baru di Eropa dan
penga-ruhnya di Asia dan Afrika. Kegagalan
penerapan pendekatan struktural oleh
pengarang diantaranya dalam
menjelas-kan penyebaran paham-paham baru di
Eropa yang dilakukan oleh struktur
ko-lonial. Permasalahan lain adalah
pendekatan struktural yang diterapkan
melahirkan penjelasan deterministik
yang mewacanakan identitas nasional
Indonesia sebagai hasil pengabdosian
budaya Barat. Wacana itu perlu dikritisi,
k a r e n a m e n g a n d u n g n u a n s a
“penjajahan budaya”.
Dari perspektif keberagaman,
ke-kurangan utama buku teks pelajaran
sejarah periode 1975 – 2008 adalah pada
narasi tentang etnik-etnik di Indonesia.
Bahkan untuk etnik Indo Belanda dan
Timur Asing, dapat dikatakan terjadi
kekosongan. Hal itu akan mewacanakan
bahwa kelahiran Indonesia adalah
seka-dar keputusan politik yang terjadi di
Jawa pada tahun 1945 oleh orang Jawa
atau orang luar Jawa yang telah
men-galami “penjawaan”. Dari perspektif
integrasi nasional, pengarang buku teks
pelajaran sejarah lebih banyak
memba-has integrasi vertikal dan sangat kurang
pada proses integrasi horisontal.
Ke-kurangan tersebut menjadikan wacana
yang ternarasikan adalah bahwa
identi-tas nasional menggantikan identiidenti-tas
lo-kal. Wacana itu perlu dikritisi karena
akan melegitimasi penetrasi identitas
nasional terhadap identitas lokal dan
eksplanasi yang dilakukan jauh dari
re-alitas obyektif yang menunjukkan
bahwa semua etnik tetap menghidupi
identitas mereka.
DAFTAR PUSTAKA
Adam, Asvi Warman. 2009.
Membongkar
Manipulasi Sejarah: Kontroversi Pelaku
dan Peristiwa
. Jakarta: Kompas.
Badrika, I Wayan. 1997.
Sejarah Nasional
In-donesia dan Umum untuk SMA
, Jilid 2.
Jakarta: Erlangga.
Benneta. 1995. “Victimist:
Delusions Are In.
Science and Technology Are Out.”
E-article
pada
The Textbook Letter.
The
Textbook League (PMB 272, 40 Fourth
Street, Petaluma, California 94952)
.
Crawford, Keith. 2001. “Constructing
na-tional memory: The 1940/41 Blitz in
British history textbooks”
.
Internation-ale Schulbuchforschung
23. Verlag
Hahnsche Buchhandlung . ISSN
0172-8237.
Derrida, Jacques. 1997.
Of Grammatology
.
Translated by Gayatri Chakravorty
Spivak. London: The Johns Hopkins
University Press
Hapsari, Ratna dan Abdul Syukur. 2008.
Eksplorasi Sejarah Indonesia dan Dunia
.
Jilid 3. Jakarta: Erlangga.
Idris, Z.H., dkk. (1979).
Sejarah Untuk SMA
.
Jakarta: Mutiara
Jakarta Post
, 16 Agustus 2003.
Kartodirdjo, Sartono. 1982.
Pemikiran dan
Perkembangan Historiografi Indonesia:
Suatu Alternatif
. Jakarta: Gramedia.
---. 1992.
Pendekatan Ilmu Sosial dalam
Metodologi Sejarah.
Jakarta: Gramedia.
Kartodirdjo, Sartono. 1992.
Pengantar Sejarah
Paramita Vol. 22, No. 1 - Januari 2012: 1-130
121
sampai Indonesia.
Jakarta: Kompas.
Loewen, W. 1995.
Lies My Teacher Told Me:
Everything Your American History
Text-book Got Wrong
. New York:
Touch-stone Rockeveller Center.
Moedjanto, G., dkk. 1992)
Sejarah Nasional
Indonesia.
Jilid 3. Jakarta: Gramedia
Widiasarana.
Mulyana, Agus dan Darmiasti. 2009.
Histo-riografi di Indonesia
. Bandung: Refika
Aditama.
Mulyana, Agus. 2009. “Pendekatan
Histo-riografi Dalam Memahami Buku Teks
Pelajaran Sejarah”.
Makalah
pada
Seminar Nasional “Mendekonstruksi
Permasalahan Pembelajaran Sejarah
Di Sekolah’, Jurusan Pendidikan
Se-jarah FPIPS UPI pada tanggal 19
Ok-tober 2009.
Mustopo, Habib, dkk. 2007.
Sejarah SMA.
Jilid 3. Surabaya: Yudhistira.
New York Times,
12 Maret 2010
Nordholt, Henk Schulte, Bambang
Pur-wanto dan Ratna Saptari, (ed). 2008.
Perspektif Baru Penulisan Sejarah
Indo-nesia
. Jakarta: Yayasan Obor
Indone-sia.
N o r d h o l t
,
H e n k S c h u l te . 2 0 0 4 . “ D e
-colonising Indonesian
Historiogra-phy”.
Paper
delivered at the Centre for
East and South-East Asian Studies
public lecture series “Focus Asia”,
25-27 May, 2004 at Lund University,
Sweden.
Notosusanto, Nugroho dkk.. (1981 dan
1992).
Sejarah Nasional Indonesia Untuk
SMA
. Jilid 3. Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
Nozaki, Yoshiko and Mark Selden. 2009.
“Japanese Textbook Controversies,
Nationalism, and Historical Memory:
Intra- and Inter-national Conflicts”
dalam
Asia-Pacific Journal, Vol 24-5-09,
June 15, 2009
Purwanto, Bambang dan Asvi Warman
Adam. 2005.
Menggugat Historiografi
Indonesia.
Yogyakarta, Ombak.
Purwanto, Bambang. 2006.
Gagalnya
Histo-riografi Indonesia?!
. Yogyakarta:
Om-bak.
Sardiman, A.M., dkk. 1996.
Sejarah Nasional
dan Umum untuk SMA
, Jilid 2b dan 2c.
Surabaya: Kendang Sari
Selden, Mark. 2005.
Remembering 'The Good
War': The Atomic Bombing and the
In-ternment of Japanese-Americans in U.S.
History Textbooks
. E-paper diakses dari
h t t p : / / j a p a n f o c u s . o r g / M a r k
-Selden/1943
Siswojo, S.W. 1979.
Sejarah Untuk SMA
, Jilid
1. Klaten: Intan
Sjamsuddin, Nazaruddin, “Dimensi Politik
dari Integrasi Nasional: Tinjauan
Teo-retis” dalam Bahar, Safroedin dan AB
Tangdililing. 1996.
Integrasi Nasional:
Teori, Masalah dan Strategi
. Jakarta:
Ghalia Indonesia.
Soewarso, Ibnoe. 1986.
Sejarah Nasional
Indo-nesia dan Dunia
. Jilid 3. Surakarta:
Widya Duta.
Sutherland, Heather. (2008). “Meneliti
se-jarah penulisan sese-jarah” dalam
Nord-holt, Henk Schulte, Bambang
Pur-wanto dan Ratna Saptari, ed.
Perspek-tif Baru Penulisan Sejarah Indonesia
.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Tarunasena. 2009.
Sejarah SMA/MA
. Jilid 3.
Bandung: Armico.
Waridah Q., Siti, dkk. 2000.
Sejarah Nasional
dan Umum untuk SMA
. Jilid 2. Jakarta:
Bumi Aksara
Wodak, R. and M. Meyer (eds.). 2006.
Meth-ods of Critical Discourse Analysis
.
Lon-don: Sage.
LE MB AR
BASIL PENILAIAN SEJA WAT SEBIDANG ATAU PEER REVIEW
Jurnal Nasional Terakreditasi
Judul Jurnal Ilmiah (Artikel)
: Wacana Identitas Nasional : Analisis Isi Buku Teks Pelajaran
Sejarah SMA 1975-2008
Penulis Jurnal Ilmiah
: Dr. Hieronymus Purwanta, M.A.
Identitas Jurnal Ilmiah:
a) Nama Jurnal
: Paramita
b)
NomorNolume
: No. lNolume 22
c) Edisi (bulan/tahun) : Januari/2012
d)
Penerbit
: Jurusan Sejarah, FIS , Universitas Negeri Semarang
e) Jumlah halaman
: 14 halaman
f)
ISSN/ISBN
: ISSN 0854-0039
g) Url
: http://repository.usd.ac.id/5901 /
Nilai Maksimal Jurnal Ilmiah
Komponen yang
Inter
Nasional
Nasional
Nilai Akhir
Inter
Nasional
Yang
dinilai
nasional
nasional
Terakreditasi
Tidak
Terindeks
diperoleh
Bereputasi
Terakredi tasi
DOAJ
Kelengkapan dan
kesesuaian isi Jurnal
2.50
2,2
(10%)
Ruang Lingkup dan
Kedalaman
7.50
6,6
Pembahasan (30%)
Kecukupan dan
Kemutakhiran Data/
7.50
6,6
Informasi dan
Metodologi (30%)
Kelengkapan Unsur
dan Kualitas Penerbit
7.50
6,6
(30%)
Total= 100%
25 .00
22,0
Kontribusi Pengusul : Penulis Tunggal/ Penulis Pertama/ Penulis Anggota
Komentar Per Reviewer :
1.
Tentang Kelengkapan dan Kesesuaian Unsur
P#~ZJ/L~
2.
Tentang Ruang Lingkup dan Kedalaman Pembahasan
--+---
---.----+-+--
--~~---,---+-+-
k
r
Jz;·
3.
Kecu
4.
Kelengkapan Unsur Kualitas Penerbit
J
5.
lndikasi P'Ji'e
I.//;
6.
Kesesuaian Bidang Ilmu
A;;;;
&v?f-Lt
~
Surakarta, 08
ret 2017
NPP/NIP
. HERMANU JOEBAGIO M.PD.)
: 19560303198603100 I
Jabatan Akademik : Guru Besar (IV-b)
Unit Kerja
: Pasca Sarjana UNS
-LE MB AR
HASIL PENILAIAN SEJAWAT SEBIDANG ATAU
PEER REVIEW
Jurnal Nasional Terakreditasi
Judul Jurnal Ilmiah (Artikel)
: Wacana Identitas Nasional: Analisis Isi Buku Teks Pelajaran
Sejarah SMA 1975-2008
Penulis Jumal Ilmiah
: Dr. Hieronymus Purwanta, M.A.
Identitas Jurnal Ilmiah:
a) Nama Jurnal
: Paramita
b)
NomorN olume
: No. lN olume 22
c) Edisi (bulan/tahun) : Januari/2012
d)
Penerbit
: Jurusan Sejarah, FIS, Universitas Negeri Semarang
e) Jumlah halaman
: 14 halaman
f)
ISSN/ISBN
: ISSN 0854-0039
g) Url
: http://repository.usd.ac.id/5901/
Nilai Maksimal Jurnal Ilmiah
Komponen yang
Inter
Nasional
Nasional
Nilai Akhir
Inter
Nasional
Yang
dinilai
nasional
nasional
Terakreditasi
Tidak
Terindeks
diperoleh
Bereputasi
Terakreditasi
DOAJ
Kelengkapan dan
kesesuaian isi Jurnal
2.50
2
(10%)
Ruang Lingkup dan
Kedalaman
7.50
6,5
Pembahasan (30%)
•
Kecukupan dan
Kemutakhiran Data/
7.50
7
Informasi dan
Metodologi (30%)
Kelengkapan Unsur
dan Kualitas Penerbit
7.50
.
7
(30%)
Total=100%
25.00
22,5
Komentar Per Reviewer :
I.
Tentang Kelengkapan dan Kesesuaian Unsur
Uf\.S\Af
-\M\tur
~GHMA
\\ffl\et~
\.-eng\Ca~
t\an
S~ltt\
t\Af'\1\J\tl~
redtil(fl
2.
Tentang Ruang Lingkup dan Kedalaman Pembahasan
~j\0Y\
W)
ew\\-)aWu'
~\
YJu\lU
bU!-
ve\~t\fAYI
~fed1
lVit\on0ttt.
tDpik
~er3er~~n
nCAr\o~.
3.
Kecukupan dan Kemutakhiran data serta Metodologi
~ermr.u
<A\<A'tl~
don
jOl)l~loan
~Urtti'l(Ob
dtir1,pn
j
elcrr- .
.sium
b.tr
M\tbo\chir
dan
tflemct-lcti
£enl\Q\cawn
Cd-ti
col
Dirtot«-.se
Anat~.rtr-
(
C
~)
t'na~-pv
'SY\ev'ljeletr\41n
\.\.lt:IUJ~
dala~
U'i
bvicu
-te\4'.
4.
Kelengkapan Unsur Kualitas Penerbit
5.
Indikasi Plagiasi
6.
Kesesuaian Bidang Ilmu
Surakarta, 08 Maret 2017
(PROF. DR. SARIY ATUN M.PD., M.HUM.)
NPP/NIP
:96103181989032001
Jabatan Akademik : Guru Besar (IV-b)
55% Unique
Total 48852 chars, 7634 words, 169 unique sentence(s).
Custom Writing Services
-
Paper writing service you can trust. Your assignment is our priority! Papers ready in 3 hours!
Proficient writing: top academic writers at your service 24/7! Receive a premium level paper!
@charset "UTF-8"; html{height:100%;padding-bottom:1px;} small,.small{font-size:0.9em;} .cssTable { margin:0px;padding:0px; width:100%; box-shadow: 10px 10px 5px
#888888; border:1px solid #ffffff; mozborderradiusbottomleft:0px; webkitborderbottomleftradius:0px; borderbottomleftradius:0px; mozborderradiusbottomright:0px;
-webkit-border-bottom-right-radius:0px; border-bottom-right-radius:0px; border-radius-topright:0px; -webkit-border-top-right-radius:0px; border-top-right-radius:0px;
-moz-border-radius-topleft:0px; -webkit-border-top-left-radius:0px; border-top-left-radius:0px; } .cssTable table { border-collapse: collapse; border-spacing: 0; width:100%; height:100%;
margin:0px;padding:0px; } .cssTable tr:last-child td:last-child { -moz-border-radius-bottomright:0px; -webkit-border-bottom-right-radius:0px; border-bottom-right-radius:0px; }
.cssTable table tr:first-child td:first-child { -moz-border-radius-topleft:0px; -webkit-border-top-left-radius:0px; border-top-left-radius:0px; } .cssTable table tr:first-child td:last-child
{ mozborderradiustopright:0px; webkitbordertoprightradius:0px; bordertoprightradius:0px; }.cssTable tr:lastchild td:firstchild{ mozborderradiusbottomleft:0px;
-webkit-border-bottom-left-radius:0px; border-bottom-left-radius:0px; } .cssTable tr:hover td{ color:#e5e5e5; } .cssTable td{ vertical-align:middle;
background-color:#fcfcfc; border:1px solid #ffffff; border-width:0px 1px 1px 0px; text-align:left; padding:7px; font-size:12px; font-family:Arial; font-weight:normal; color:#000000; } .cssTable
tr:last-child td { border-width:0px 1px 0px 0px; } .cssTable tr td:last-child { border-width:0px 0px 1px 0px; } .cssTable tr:last-child td:last-child { border-width:0px 0px 0px 0px; }
.cssTable tr:first-child td { background:-o-linear-gradient(bottom, #cccccc 5%, #cccccc 100%); background:-webkit-gradient( linear, left top, left bottom, color-stop(0.05, #cccccc),
color-stop(1, #cccccc) ); background:-moz-linear-gradient( center top, #cccccc 5%, #cccccc 100% ); filter:progid:DXImageTransform.Microsoft.gradient(startColorstr="#cccccc",
endColorstr="#cccccc"); background: -o-linear-gradient(top,#cccccc,cccccc); background-color:#cccccc; border:0px solid #ffffff; text-align:center; border-width:0px 0px 1px 1px;
font-size:14px; font-family:Arial; font-weight:bold; color:#000000; } .cssTable tr:first-child:hover td { background:-o-linear-gradient(bottom, #cccccc 5%, #cccccc 100%);
background:-webkit-gradient( linear, left top, left bottom, color-stop(0.05, #cccccc), color-stop(1, #cccccc) ); background:-moz-linear-gradient( center top, #cccccc 5%, #cccccc
100% ); filter:progid:DXImageTransform.Microsoft.gradient(startColorstr="#cccccc", endColorstr="#cccccc"); background: -o-linear-gradient(top,#cccccc,cccccc);
background-color:#cccccc; } .cssTable tr:first-child td:first-child { border-width:0px 0px 1px 0px; } .cssTable tr:first-child td:last-child { border-width:0px 0px 1px 1px; }
Results
Query
Domains (original links)
417 results
Paramita Vol
issuu.com
academia.edu
researchgate.net
researchgate.net
innovareacademics.in
studiesincomparativereligion.com
journal.unnes.ac.id
unri.academia.edu
ojs.uph.edu
journal.unnes.ac.id
3 results
The objective was motivated by concerns of the decrease tendency of national identity among Indonesian people,
especially young people
penelitian.lppm.upi.edu
researchgate.net
researchgate.net
3 results
Through the study, it will be obtained an understanding of how new order groups, especially modernist, reconstruct
national identity on history textbooks used by high school students
citralekha.com
researchgate.net
researchgate.net
JUDUL:
Wacana identitas nasional
PENGARANG: H. Purwanta
CATATAN: Di
unggah
pada
ACADEMIA:
http://www.academia.edu/3544757/
1 result
The research method used is qualitative, which is focused on content analy- sis of history textbooks
researchgate.net
Unique
Analysis will focus on the growth of nationalism (1908 – 1945)
-1 result
The results show that national identity discourse in narration of the growth of nationalism (1908 – 1945) is
influenced by modernist views
researchgate.net
1 result
Tulisan ini didorong oleh kekhawatiran dari kecenderungan penurunan identitas na- sional di kalangan masyarakat
Indonesia, teru- tama kaum muda
researchgate.net
1 result
Melalui penelitian ini, maka akan diperoleh pemahaman tentang bagaimana kelompok Orde Baru, terutama
modernis, mere- konstruksi identitas nasional pada buku pela- jaran sejarah yang digunakan oleh siswa SMA
researchgate.net
1 result
Metode penelitian yang digunakan adalah kuali- tatif, yang difokuskan pada analisis isi buku pe- lajaran sejarah
researchgate.net
1 result
Analisis akan fokus pada per- tumbuhan nasionalisme (1908 - 1945)
researchgate.net
1 result
Hasil penelitian menunjukkan bahwa identitas wacana nasional dalam narasi dari pertumbuhan nasion- alisme
(1908 - 1945) dipengaruhi oleh pandan- gan modernis
researchgate.net
1 result
Kelompok itu mengkritik buku teks mata pelajaran sejarah yang beredar se- bagai masochistic dan anti Jepang
researchgate.net
1 result
Krite- Paramita Vol
academia.edu
2 results
1 - Januari 2012 [ISSN: 0854-0039] Hlm
academia.edu
researchgate.net
1 result
108—121 Paramita Vol
researchgate.net
1 result
Oleh karena itu, mereka kemudian menerbitkan Atarashii Rekishi Kyokasho (Buku teks sejarah baru)
researchgate.net
1 result
Dalam buku teks itu berbagai ekspansi dan perlakuan buruk tentara Jepang selama PD II tidak ditulis, sehingga
yang tampak adalah serba positif
researchgate.net
1 result
Fenomena memperkokoh identitas nasional dengan menggunakan buku teks pelajaran sejarah juga terjadi di
Amerika Serikat
researchgate.net
1 result
Kebanggaan itu ter- manifestasikan dalam judul-judul seperti The American Pageant, Our Ameri- can Heritage, The
Great Republic, The En- during Vision, and America: The Glorious Republic
researchgate.net
1 result
Banyak kritik yang muncul, salah satunya dari William
researchgate.net
1 result
Bennetta, presiden Liga Buku teks
researchgate.net
2 results
Dia menyatakan bahwa penulis standar buku teks pelajaran sejarah menggunakan model penulisan sejarah korban,
yaitu mengekspos korban dan menegasikan pemenang
textbookleague.org
researchgate.net
1 result
Nor are they to learn about the "achievements and grandeur" of any court in, say, Italy
researchgate.net
1 result
That's bad, but we find worse when we look at some of the specific distortions that mark the UCLA crowd's
depiction of Indians
researchgate.net
1 result
For instance, we don't see anything about how any In- dians waged war, carried out conquests, or practiced slavery,
although various groups of Indians did all those things
researchgate.net
Unique
Benneta juga mempertanyakan ketiadaan hal-hal sejenis tentang Eropa
-1 result
Bukankah seharusnya para siswa untuk 109 Wacana Identitas Nasional - Hieronymus Purwanta Paramita Vol
researchgate.net
3 results
Tidakkah mereka juga perlu untuk belajar tentang "prestasi dan keagungan" dari setiap pemerin- tahan, misalnya
tentang Italia
education.ti.com
journal.unnes.ac.id
badfinance.org
1 result
Sebagai contoh, pembaca tidak dapat menemukan ba- gaimana orang Indian mengobarkan perang, melakukan
penaklukan, atau mempraktekkan perbudakan, meskipun berbagai kelompok Indian melakukan semua hal tersebut
researchgate.net
1 result
So far, that has- n't happened”
researchgate.net
1 result
Tidak ada standar na- sional untuk pelajaran sejarah Amerika, kecuali pemerintah federal menetap- kannya
researchgate.net
1 result
Dari sudut pandang ini, kepu- tusan tentang pemilihan buku teks mata pelajaran sejarah tetap pada level negara
bagian (state)
researchgate.net
5 results
Salah satu kasus yang merepresentasikan perlawanan terha- dap standard yang ditetapkan NCHS terjadi di Texas
mieranadhirah.com
quora.com
directory.ucanews.com
youtube.com
youtube.com
2 results
Di Indonesia, perkembangan yang terjadi menunjukkan kecenderungan ke arah yang berbeda, untuk tidak menga-
takan berkebalikan
researchgate.net
academia.edu
318,000 results
Penonjolan kepentingan kekua- saan yang bersifat sementara menjadi- kan narasi buku teks pelajaran sejarah
kurang mampu menumbuhkembang- kan identitas nasional yang visioner dalam diri generasi muda
keepbelieving.com
searchquotes.com
idioms.thefreedictionary.com
youtube.com
english.stackexchange.com
imdb.com
bookdaily.com
facebook.com
1 result
Kajian Nord- holt menemukan bahwa historiografi Indonesia terjebak pada narasi sejarah yang tidak memiliki
masyarakat, dan akibatnya masyarakat menjalani ke- hidupan dengan “tanpa berlandas se- jarah”
researchgate.net
1 result
1 - Januari 2012: 1-130 111 when she was asked about what it meant being an Indonesian
researchgate.net
1 result
For many of to- day's young people, being Indonesian means nothing more than a "geographical fact" -- because
they were born and raised in the country
researchgate.net
1 result
Nothing more, nothing less
researchgate.net
1 result
Per- tanyaannya adalah seberapa jauh pem- baharuan dilakukan dan apakah lang- kah itu efektif
researchgate.net
1 result
Penelitian ini mencoba untuk mengkaji isi buku teks dari perspektif identitas nasional
researchgate.net
1 result
(2) Bagaimana keberagaman yang dikembangkan dalam buku teks pela- jaran sejarah SMA Jurusan IPS pada pe-
riode tahun 1975 – 2008
researchgate.net
1 result
(3) Bagaimana integrasi nasional yang dikembangkan dalam buku teks pelajaran sejarah SMA Jurusan IPS pada
periode tahun 1975 – 2008
researchgate.net
1 result
(4) Bagaimana wacana yang dike- mukakan penulis dalam buku teks pela- jaran sejarah SMA Jurusan IPS pada pe-
riode tahun 1975 – 2008
researchgate.net
1 result
METODE PENELITIAN Penelitian mengkaji tiga buku teks untuk setiap periode kurikulum, se- hingga keseluruhannya
menjadi 12 buku teks pelajaran sejarah
researchgate.net
1 result
Di lain pi- hak, agar lebih fokus, pengkajian diba- tasi pada eksplanasi buku teks pelajaran sejarah tentang sejarah
pergeranakan nasional Indonesia (1908 – 1945)
researchgate.net
Unique
Penelitian ini merupakan peneli- tian kualitatif untuk mengkaji wacana rekonstruksi identitas nasional melalui
konten buku teks yang diproduksi se- lama pemerintahan Presiden Suharto
-Unique
Oleh karena itu, pengkajian diarahkan untuk menganalisis term- term sup