TESIS
FOKAL LESI TRAUMATIK PADA CT SCAN KEPALA
MENENTUKAN TINDAKAN OPERASI DAN OUTCOME
(GOSE) PADA PENDERITA CEDERA KEPALA RINGAN
DI RSUP SANGLAH DENPASAR BALI
NYOMAN DWI AUSSIE HARY MASTIKA
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
TESIS
FOKAL LESI TRAUMATIK PADA CT SCAN KEPALA
MENENTUKAN TINDAKAN OPERASI DAN OUTCOME
(GOSE) PADA PENDERITA CEDERA KEPALA RINGAN
DI RSUP SANGLAH DENPASAR BALI
NYOMAN DWI AUSSIE HARY MASTIKA NIM 1014028102
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
FOKAL LESI TRAUMATIK PADA CT SCAN KEPALA
MENENTUKAN TINDAKAN OPERASI DAN OUTCOME
(GOSE) PADA PENDERITA CEDERA KEPALA RINGAN
DI RSUP SANGLAH DENPASAR BALI
Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister
pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik, Program Pascasarjana Universitas Udayana
NYOMAN DWI AUSSIE HARY MASTIKA NIM 1014028102
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2016
TESIS INI TELAH DISETUJUI
PADA TANGGAL 26 JANUARI 2016
Pembimbing I, Pembimbing II,
Dr. dr. Nyoman Golden, SpBS(K) Dr. dr. I Ketut Widiana, Sp.B(K)Onk
NIP 196203071989031001 NIP 195707031985111001
Mengetahui,
Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Direktur
Program Pascasarjana Program Pascasarjana Universitas Udayana, Universitas Udayana,
Dr.dr.Gde Ngurah Indraguna Pinatih M.Sc, Sp.GK Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K) NIP 195805211985031002 NIP 195902151985102001
Tanggal 26 JANUARI 2016
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor
Universitas Udayana, No : 599/UN14.4/HK/2016, Tanggal 26 Januari 2016
Penguji :
1. Dr. dr. Nyoman Golden, Sp.BS(K)
2. Dr. dr. I Ketut Widiana, SpB(K)Onk
3. Prof. dr. N. Tigeh Suryadi,MPH, Phd
4. dr. INW Steven Christian, SpB(K)Onk
Saya panjatkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan
rahmat–Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan karya tulis dengan judul “Fokal Lesi Traumatik Pada CT Scan Kepala Dalam Menentukan Tindakan Operasi Dan Outcome (GOSE) Pada Penderita Cedera Kepala Ringan Di RSUP Sanglah Denpasar”.
Karya tulis ini adalah salah satu persyaratan dalam menempuh Program
Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Bedah Umum di Departemen/SMF Bedah Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar. Terima kasih yang tak
terhingga dan penghargaan yang setinggi–tingginya saya haturkan kepada :
Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, SpPD–KEMD, selaku rektor Universitas Udayana yang telah memberikan kesempatan belajar di universitas yang beliau pimpin.
Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, SpS (K), selaku Ketua Program Studi Ilmu
Biomedik atas kesempatan yang diberikan untuk menjadi mahasiswa Program Studi
Ilmu Bedah dan Program Studi Ilmu Biomedik pada Program Pascasarjana Universitas
Udayana
Dr. dr. Gde Ngurah Indraguna Pinatih, MSc, Sp.GK selaku Ketua Program Studi
Ilmu Biomedik Program Pascasarjana Universitas Udayana yang telah memberikan
kesempatan untuk menimba ilmu.
Dr. dr. Nyoman Golden, Sp.BS(K) selaku pembimbing utama penelitian yang
dengan penuh perhatian dan kesabaran telah memberikan inspirasi, bimbingan, dan
Dr. dr. Ketut Widiana, Sp.B(K)Onk selaku pembimbing kedua dalam penelitian
ini yang telah memberikan bimbingan dan masukan untuk memperlancar penyelesaian
karya tulis ini.
Prof. Dr. dr. Sri Maliawan, SpBS(K) selaku Kepala Departemen/SMF Bedah
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar, yang telah
memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter
Spesialis di program studi Bedah Umum.
dr. Ketut Wiargitha, SpB(K) Trauma selaku Ketua Program Studi Ilmu Bedah
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar dan dr. Putu Anda
Tusta Adiputra, SpB(K)Onk. sebagai Sekretaris Program Studi Ilmu Bedah Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar yang memberikan dukungan
dan semangat dalam menyelesaikan pendidikan.
dr. Anak Ayu Sri Saraswati, MKes selaku Direktur Utama RSUP Sanglah
Denpasar yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk belajar di lingkungan
rumah sakit yang beliau pimpin.
Prof. Dr. dr. Putu Astawa, SpOT(K) selaku Dekan Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana yang telah memberikan saya kesempatan untuk mengikuti
pendidikan spesialis Bedah Umum di fakultas yang beliau pimpin.
Seluruh Staf Pengajar Departemen/SMF Bedah Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana/ RSUP Sanglah Denpasar sebagai guru dan teladan saya yang dengan penuh
dedikasi dan kesabaran telah banyak memberikan bimbingan dan dukungan kepada saya
Orang tua saya, Prof. Ir. I Made Mastika MSc. PhD, A.A Istri Ngurah SP, Istri
saya dr. Nyoman Sri Rahayu Wulandari, dan putra saya Gede Krishna Abhinaya
Mastika dan Made Arsyanendra Daneswara Mastika kakak saya dr Gede Ngurah Bayu
Dalem putra SpOG, Made Aussieadi Surya Mastika atas cinta kasih, motivasi, dan
dukungan yang tiada henti selama saya menjalani pendidikan spesialis ini.
dr. Ketut Subhawa, dr. I.A.Putranti, dr. A.A Budhi Kusuma, dan dr. I Putu Harina
Kusuma, serta seluruh rekan PPDS I Bedah Umum atas kerjasama, dukungan dan
bantuannya dalam proses penelitian serta selama proses pendidikan.
Seluruh staf dan paramedis di Instalasi Bedah Sentral RSUP Sanglah, seluruh staf
sekretariat Bedah, serta paramedis di Instalasi Rawat Inap Bedah, Instalasi Rawat Jalan
Bedah RSUP Sanglah Denpasar.
Akhir kata, semoga karya tulis ini dapat bermanfaat,dan mohon maaf atas segala
kekurangan.
Denpasar, 26 Januari 2016
Nyoman Dwi Aussie Hary Mastika
ABSTRAK
FOKAL LESI TRAUMATIK PADA CT SCAN KEPALA DALAM MENENTUKAN TINDAKAN OPERASI DAN OUTCOME (GOSE) PADA PENDERITA CEDERA KEPALA RINGAN DI RSUP SANGLAH DENPASAR
BALI
meneliti pengaruh fokal lesi traumatik dan GCS terhadap tindakan operasi dan outcome pasien.
Studi prospektif dilakukan pada 306 pasien dengan GCS antara 14 -15 yang datang ke RS Sanglah antara tahun 2014 sampai 2015. Data mengenai nilai GCS, hasil CT scan kepala, terapi dan outcome 3 bulan dikumpulkan dan dianalisa.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa fokal lesi traumatik merupakan faktor yang berpengaruh terhadap perlunya tindakan operasi dan outcome pada pasien tanpa memandang nilai GCS ( nilai P 0,000). Penelitian ini juga menunjukkan bahwa GCS tidak memiliki pengaruh terhadap perlunya tindakan operasi dan outcome (nilai P 0,409)
Berdasarkan hasil penelitian, penulis membagi pasien CKR menjadi kelompok low risk dan high risk CKR. Low risk CKR didefinisikan sebagai pasien dengan GCS 14-15 tanpa fokal lesi traumatic pada hasil CT scan, sedangkan High risk CKR didefinisikan sebagai pasien dengan GCS 14-15 dengan fokal lesi traumatic pada hasil CT scan.
Kata kunci: cedera kepala ringan, fokal lesi traumatik, outcome (GOSE)
ABSTRACT
FOCAL TRAUMATIC LESIONS ON HEAD CT SCAN IN DETERMINING
THE NEED FOR SURGERY AND OUTCOME (GOSE) IN SANGLAH GENERAL HOSPITAL DENPASAR BALI
Mild head injury (MHI) is a case that is often encountered in the emergency department. Although very rare, patients with GCS 15 may experience acute
Prospective study was performed on 306 patients with GCS between 14 -15 who came to Sanglah Hospital from 2014 to 2015. Data on the value of GCS, a CT scan of the head, therapy and outcomes 3 months were collected and analyzed.
These results indicate that focal traumatic lesions are factors that influence the need for surgery and outcome in patients regardless of the value of GCS (P 0.000). This study also demonstrated that GCS has no influenced on the need for surgery and the outcome (P .409)
Based on the result of this study, the author divided MHI into low and high risk MHI groups. Low risk MHI is defined as GCS score of 14 or 15 without acute traumatic focal lesions, whereas High risk MHI is defined as GCS score of 14 or 15 with acute traumatic focal lesions.
Keywords: mild head injury, traumatic focal lesions, outcome (GOSE)
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DALAM ... ... i
PRASYARAT GELAR .... ... ii
LEMBAR PENGESAHAN ... ... iii
PENETAPAN PANITIA PENGUJI ... ... iv
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ... ... v
ABSTRAK ... ... ix
2.2 Cedera Kepala Ringan dan Permasalahannya ... 9
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP PENELITIAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN ... 17
3.2 Kerangka Konsep ... 18
3.3 Hipotesis Penelitian... 18
BAB IV METODE PENELITIAN ... 20
4.1 Rancangan Penelitian ... 20
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian ... 20
4.3 Populasi dan Sampel Penelitian ... 20
4.3.1 Kriteria Inklusi ... 20
4.3.2 Kriteria Eksklusi ... 21
4.4 Besar Sampel... 21
4.5 Variabel Penelitian ... 22
4.6 Definisi Operasional ... 22
4.7 Prosedur Penelitian ... 24
4.8 Alur Penelitian ... 25
4.9 Analisis data ... 25
BAB V HASIL PENELITIAN... 27
5.1 Analisa statistik deskriptif ... 28
5.2 Analisa bivariate pengaruh variabel dalam menentukan tindakan operasi………..………...28
5.3 Analisa bivariate pengaruh variabel dalam menentukan outcome………..30
5.5 Analisa pengaruh GCS terhadap perlunya tindakan operasi pada
pasien CKR tanpa dan dengan fokal lesi ... 33
5.6 Analisa pengaruh fokal lesi terhadap outcome pada pasien dengan GCS 14 dan 15... 34
5.7 Analisis pengaruh fokal lesi erhadap perlunya tindakan operasi pada pasien dengan GCS 14 dan 15 ... 35
5.8 Analisis multivariate pengaruh variabel factor resiko dalam menentukan outcome ... 37
BAB VI PEMBAHASAN ... 38
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ... 45
DAFTAR PUSTAKA ... 45
LAMPIRAN…. ... 52
DAFTAR TABEL Tabel 5.1 Gambaran karakteristik subjek dan variable penelitian ... 28
Tabel 5.2 Hasil analisis bivariate (pengaruh variabel faktor risiko dalam menentukan tindakan operasi) ... 30
Tabel 5.4 Hasil analisis pengaruh GCS terhadap outcome pada pasien CKR tanpa dan dengan fokal lesi33
Tabel 5.5 Hasil analisis pengaruh GCS terhadap perlunya tindakan operasi pada pasien CKR tanpa dan dengan fokal lesi34
Tabel 5.6 Hasil analisis pengaruh Fokal lesi terhadap outcome pada pasien CKR dengan GCS 14 dan 1535
Tabel 5.7 Hasil analisis pengaruh Fokal lesi terhadap perlunya tindakan operasi pada pasien CKR dengan GCS 14 dan 1536
Tabel 5.8 Hasil analisis multivariate (pengaruh variabel faktor risiko terhadap outcome)37
DAFTAR SINGKATAN
GCS : Glasgow Coma Scale
GOSE : Glasgow Outcome Scale Extended
CT Scan : Computed Tomography Scan Kepala.
CKR : Cedera Kepala Ringan
LOC : Lost of Consciousness
EDH : Epidural Hematome
IVH : Intra ventricular Hemorrhage
ICH : Intra Cerebral Hemorrhage
SAH : Sub Arachnoid Hemorrhage
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Amandemen Penelitian ... 52
Lampiran 2 Form Kelayakan Etik ... 53
Lampiran 2 Surat Ijin Penelitian ... 54
Lampiran 3 Form Inform Consent ... 55
Lampiran 4 Data Subyek Penelitian ... 58
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Cedera kepala merupakan penyebab kematian dan kecacatan pada usia
dewasa dibawah 45 tahun (Andrade, et al., 2006). Berdasarkan Glasgow Coma
Scale (GCS) klasifikasi cedera kepala dibagi atas 3 yaitu cedera kepala ringan
(GCS 115), cedera kepala sedang (GCS 9-12) dan cedera kepala berat (GCS
3-8). Beberapa penulis mendefinisikan cedera kepala ringan dengan nilai GCS
14-15 (Golden, et al., 2013; Stein dan Ross, 1992). Pasien dengan cedera kepala
ringan merupakan mayoritas dari pasien cedera kepala yang memerlukan rawat
inap di Amerika Serikat. Kraus dan Nourjah (1989) memperkirakan sekitar
325.000 pasien memerlukan penanganan di rumah sakit tiap tahunnya. Sekitar
80% dari seluruh penderita cedera kepala merupakan cedera kepala ringan
(Andrade, et al., 2006; Saadat, et al., 2009). Di RSUP Sanglah Denpasar, rata-rata
insiden cedera kepala per tahun diatas 2000 kasus, lebih dari 70% didominasi
pasien cedera kepala ringan (Register IRD Sanglah, 2010).
GCS pada cedera kepala ringan, tidak sepenuhnya mencerminkan derajat
kerusakan otak (Decayet, et al., 1986; Gomez, et al., 1996). Contohnya pada
penderita yang datang di unit gawat darurat dengan GCS 15, mungkin saja
memiliki lesi traumatik intrakranial yang berkembang menjadi koma atau bahkan
kematian (Marshall, et al.,1983). Penderita “who talk and deteriorate” masih
2
karena berhubungan dengan isu medik dan hukum (Galbraith, 1976; Marshall, et
al., 1983; Andrade, et al., 2006).
Semua peneliti sepakat bahwa penderita dengan GCS 13 dan 14 merupakan
indikasi untuk melakukan CT scan (Gomez, et al., 1996; Hsiang, et al.,1997;
Miller, et al.,1997; Turedi, et al., 2008; Golden, et al., 2013), sebaliknya GCS 15
masih belum sepenuhnya disepakati. Para peneliti menggunakan berbagai kriteria
untuk melakukan CT scan penderita dengan GCS 15, seperti miller’s criteria,
New Orleans Criteria, Canadian CT Head Rule, CT in Head Injury Patient
(CHIP), (Stiell, et al., 2001; Saboori, et al., 2007; Golden, et al., 2013).
Kontroversi ini disebabkan oleh adanya keinginan untuk memotong biaya rumah
sakit dan disisi lain keinginan untuk mendeteksi semua lesi intrakranial pada
penderita CKR (Miller, et al., 1997; Haydel, et al., 2000). Akan tetapi suatu studi
melaporkan bahwa rata-rata biaya penderita CKR yang perlu observasi di rumah
sakit tanpa CT scan lebih mahal dibandingkan dengan penderita CKR dengan CT
scan normal dan langsung dipulangkan (Geijerstam, et al., 2006 ).Oleh karena itu
CT scan awal adalah strategi yang aman untuk mentriase penderita CKR yang
perlu dirawat (Stein dan Ross, 1990; Geijerstam, et al., 2004). Mengingat tingkat
seriusnya cedera kepala ditentukan dengan adanya lesi intrakranial, maka
beberapa peneliti melakukan CT scan pada semua penderita CKR (Geijerstam, et
al., 2004).
Melihat rentang GCS cedera kepala ringan, maka sangat mungkin terjadi
variasi lesi intrakranial, perlunya tindakan operasi, dan outcome (Cullota, et al.,
3
peluang untuk terjadi lesi intrakranial dan memerlukan tindakan operasi (Stein
dan Ross, 1990; Cullotta, et al., 1996; Gomez, et al., 1996; Hsiang, et al., 1997;
Turedi, et al., 2008). Lesi intrakranial dan perlunya tindakan operasi merupakan
indeks beratnya cedera oleh karena keduanya berhubungan erat dengan outcome
(Gomez, et al., 1996; Vincent, et al., 1996; Hsiang, et al., 1997) yang ditentukan
dengan Glasgow outcome scale (Jennet dan Bond, 1975).
Berkaitan dengan risiko untuk terjadinya CT scan abnormal, maka beberapa
peneliti membagi CKR dalam risiko tinggi, dan rendah (tanpa resiko) (Wiliam, et
al., 1990; Lee, et al.,1992; Culotta, et al., 1996; Hsianget, al.,1997; Servadei, et
al., 2001; Turedi, et al., 2008). Dari kajian pustaka, CKR dengan GCS 13-14, dan
fraktur linear, dikategorikan sebagai CKR dengan risiko tinggi, sedangkan GCS
15 tanpa fokal lesi dianggap CKR dengan risiko rendah atau tanpa risiko.
Walaupun CKR dengan GCS 15 dikategorikan sebagai CKR risiko rendah, namun
ada beberapa kasus dilaporkan terjadi deteriorasi akut. (Chan, et al., 1990).
Turedi, et al (2008) melaporkan insiden sebanyak 6% CT abnormal pada CKR
resiko rendah (GCS 15 tanpa faktor risiko).
Fokus perawatan CKR adalah deteksi dini CT scan abnormal dan tindakan
sedini mungkin untuk menekan morbiditas dan mortalitas. Jadi CT abnormal
memiliki peran sentral dalam perawatan pasien CKR walaupun penderita dengan
GCS 15, oleh karena berkaitan dengan tindakan operasi dan outcome (Gomez, et
al., 1996; Hsiang, et al., 1997; Vincent, et al., 1996). Oleh karena itu penulis
mengganggap klasifikasi CKR hanya berdasarkan GCS tidak selalu dapat dipakai
4
Walaupun ada penelitian lain yang melihat bahwa lesi intrakranial pada GCS 15
tidak mempengaruhi outcome (Lannsjo, et al.,2013), namun penelitian ini hanya
dilakukan padapenderita CKR dengan GCS 15.
Penulis menganggap perlu adanya kombinasi antara GCS dengan CT scan
untuk mengsubklasifikasikan CKR. Setiap lesi traumatik intrakranial seberapapun
kecilnya adalah serius, walaupun ada beberapa penulis menganggap lesi yang
serius adalah lesi intrakranial yang memerlukan tindakan operasi. Untuk
menjamin keamanan pasien maka penulis lebih memilih bahwa setiap lesi
intrakranial traumatik adalah serius. Pendapat penulis didukung oleh laporan
beberapa peneliti yang mendapatkan pembesaran lesi intrakranial saat obervasi
dan akhirnya memerlukan tindakan operasi (Vincent, et al.,1996; Saadat, et al.,
2009).
Untuk menguji hipotesis bahwa setiap lesi intrakranial tanpa melihat GCS
adalah lesi serius maka penulis melakukan penelitian peran lesi intrakranial pada
penderita CKR tanpa melihat rentang GCS dalam menentukan perlunya tindakan
operasi dan outcome. Dengan asumsi bahwa CKR dengan lesi intrakranial tanpa
melihat rentang GCS memiliki outcome lebih buruk daripada penderita tanpa
fokal lesi tanpa memandang GCS saat masuk rumah sakit dan CKR dengan fokal
lesi, dan CKR dengan fokal lesi memiliki peluang untuk menjalani tindakan
5
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan kajian pustaka di atas maka dibuat rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apakah ada perbedaan outcome penderita CKR tanpa lesi fokal pada CT
scan kepala antara GCS 14 dan 15?
2. Apakah ada perbedaan outcome penderita CKR dengan lesi fokal pada CT
scan kepala antara GCS 14 dan 15?
3. Apakah ada perbedaan tindakan operasi pada penderita CKR dengan lesi
fokal antara GCS 14 dan 15?
4. Apakah ada perbedaan tindakan operasi pada penderita CKR tanpa lesi
fokal antara GCS 14 dan 15?
1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan umum
1. Untuk melihat bahwa outcome CKR ditentukan oleh ada tidaknya lesi
fokal pada CT scan kepala.
2. Untuk melihat bahwa tindakan operasi pada CKR ditentukan oleh ada
tidaknya lesi fokal CT scan kepala.
1.3.2. Tujuan khusus
1. Mengetahui adanya perbedaan outcome pada penderita CKR tanpa lesi
fokal pada CT scan kepala antara GCS 14 dan 15.
2. Mengetahui adanya perbedaan outcome penderita CKR dengan lesi fokal
6
3. Mengetahui adanya perbedaan tindakan operasi penderita CKR dengan
lesi fokal pada CT scan antara GCS 14 dan 15.
4. Mengetahui adanya perbedaan tindakan operasi penderita CKR tanpa lesi
fokal pada CT scan kepala antara GCS 14 dan 15.
1.4. Manfaat penelitian
1.4.1. Manfaat Akademis Penelitian
Penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi pengetahuan bahwa GCS
pada penderita CKR tidak selalu dipakai untuk melihat derajat kerusakan jaringan
otak dan menentukan outcome
1.4.2 Manfaat Praktis Penelitian
Penderita CKR GCS 15 dengan lesi fokal traumatic memerlukan observasi
lebih ketat dibandingan dengan GCS 14 dengan CT scan kepala normal.
Observasi penderita CKR tidak hanya melihat GCS, tetapi juga memperhatikan
7
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Cedera Kepala
2.1.1. Batasan cedera kepala
Cedera kepala menurut istilah anatomis dikatakan bahwa seluruh trauma
yang terjadi diatas batas bawah dari mandibula (Reilly dan Bullock, 2005).
Menurut Field, (1976) cedera kepala merupakan trauma dimana menyebabkan
risiko terjadinya kerusakan pada otak. Menurut Jagger, et al (1984) trauma kepala
yang terdokumentasi dengan disertai hilangnya kesadaran, amnesia pasca trauma,
dan fraktur tengkorak. Sedangkan menurut Brookes, et al (1990) cedera kepala
merupakan cedera pada scalp termasuk pembengkakan, abrasi, atau kontusio serta
laserasi, atau adanya riwayat benturan yang jelas pada kepala, atau penderita
dimana telah dilakukan rontgen tengkorak segera setelah trauma, dan penderita
yang memiliki bukti klinis adanya fraktur dasar tengkorak (Reilly dan Bullock,
2005).
Trauma merupakan penyebab kematian terbanyak diantara orang dengan
usia dibawah 45 tahun, dimana sebagian besar disebabkan oleh cedera kepala
(Andrade, et al.,2006). Kematian yang terjadi akibat cedera kepala sekitar 1-2
persen dari seluruh penyebab kematian dan 25-50% penyebab kematian yang
disebabkan oleh trauma (Goldstein,1990). Kecelakaan kendaraan bermotor
merupakan penyebab tersering cedera kepala ringan, terjatuh dari ketinggian,
8
cedera kepala pada laki-laki 58% lebih banyak dibandingkan perempuan. Hal ini
disebabkan karena mobilitas yang tinggi dikalangan usia produktif sedangkan
kesadaran untuk menjaga keselamatan dijalan masih rendah disamping
penanganan pertama yang belum benar dan rujukan yang terlambat. (Kraus dan
Nourjah, 1988).
2.1.2. Klasifikasi cedera kepala
Cedera kepala pada umumnya dikategorikan berdasarkan Glasgow coma
scale (GCS). Glasgow coma scale (GCS) pertama kali diperkenalkan oleh
Teasdale dan Jennet tahun 1974 untuk menyediakan suatu metode yang mudah
dan dapat dipercaya untuk menilai tingkat kesadaran pasien dan mengawasi
perubahan yang terjadi (Teasdale dan Jennet,1974). Glasgow coma scale (GCS)
menilai tingkatan kesadaran berdasarkan tiga komponen klinis yaitu respon
membuka mata, motorik dan verbal (Teasdale dan Jennet,1974).
Nilai GCS adalah nilai total dari ketiga komponen yaitu antara 3-15. Nilai
3 berarti penderita tidak memberikan respon terhadap rangsangan apapun
sedangkan nilai 15 berarti penderita sadar penuh. Penilai GCS dilakukan pasca
resusitasi setelah trauma.
Klasifikasi cedera kepala dibagi menjadi 3 dimana cedera kepala berat
dengan skor GCS dibawah 8, cedera kepala sedang dengan skor GCS 9 sampai
9
2.2 Cedera Kepala Ringan dan Permasalahannya
Cedera kepala ringan merupakan hal yang sering ditemui pada unit gawat
darurat. Berbagai definisi cedera kepala ringan telah diajukan. Beberapa penulis
mendefinisikan cedera kepala ringan sebagai kehilangan ingatan sesaat setelah
trauma pada kepala, sedangkan studi lain menggolongkan derajat cedera
berdasarkan lamanya amnesia post trauma (Hsiang, et al.,1997; Sarvadei, et al.,
2001; Gejerstam, et al., 2005). Rimel, et al (1981) mendefinisikan CKR sebagai
cedera pada kepala dengan Glasgow Coma Scale 13 sampai 15 pada saat masuk
rumah sakit, kehilangan kesadaran (LOC) kurang dari 20 menit. Definisi cedera
kepala yang dapat diterima secara luas sekarang ini berdasarkan Glasgow Coma
Scale (GCS). Pasien dengan pukulan pada kepala dan skor GCS 13 sampai 15,
tanpa memperhatikan tanda klinis lain, diklasifikasikan sebagai cedera kepala
ringan ( Teasdale dan Jennet, 1974; Hsiang, et al.,1997). Sadowski, et al (2006)
mendefinisikan cedera kepala dengan GCS 14 dan 15, hal ini sama dengan
pendapat Servadei et al (2001) yang mendefinisikan cedera kepala dengan GCS
14-15, dimana pasien dengan GCS 13 tidak dimasukkan kedalam kelompok
cedera kepala ringan karena risiko terjadinya lesi intracranial sama dengan pasien
dengan cedera kepala sedang. Pada penelitian ini, penulis memakai definisi
terakhir. Dengan menggunakan kriteria CKR (GCS 14-15) di atas maka beberapa
penderita CKR mengalami skuele neurologic. Rimel, et al (1981) melaporkan
bahwa 79% pasiennya memiliki nyeri kepala menetap, 59% memiliki gangguan
ingatan, dan 34% pasien tidak mampu kembali bekerja 3 bulan setelah mengalami
10
Makin rendah GCS penderita CKR makin tinggi insiden CT scan
abnormal dan perlunya tindakan operasi (Borczuk, et al., 1994; Hsiang,
et al.,1997; Turedi, et al., 2008). Secara keseluruhan insiden CT abnormal sangat
bervariasi dari beberapa peneliti. Borczuk (1995) melaporkan 8,2% CT scan
abnormal dan 0,76% memerlukan tindakan operasi. Golden et al(2013)
melaporkan insiden CT abnormal 13,2% dan perlunya tindakan operasi 3,6%.
Hsiang et al (1997) melaporkan insiden CT scan anbormal 17% dan perlunya
tindakan operasi 3,2%. Shackford et al (1992) melaporkan 15% abnormal CT scan
dan 3,9% perlunya tindakan operasi.
Mengingat heterogenitas penderita CKR baik dari risiko terjadinya
abnormalitas pada CT scan, perlunya tindakan operasi dan outcome, maka banyak
penulis membuat klasifikasi yang pada umumnya berdasarkan dari tiga faktor di
atas (William, et al.,1990; Cullota, et al.,1996; Hsiang, et al.,1997; Turedi,
et al.,2008). Hsiang, et al (1997) membedakan CKR menjadi CKR dan CKR
dengan risiko tinggi berdasarkan perlu tindakan operasi dan outcome. Yang
termasuk dalam CKR risiko tinggi adalah penderita CKR dengan GCS 13 atau 14,
atau GCS 15 dengan abnormalitas radiografik akut, sedang yang termasuk dalam
CKR tanpa risiko adalah penderita CKR tanpa kelainan radiologi akut. Yang
dimaksudkan temuan radiografik abnormal pada penelitian ini adalah fraktur pada
tulang tengkorak termasuk fraktur depresi, hematoma intrakranial atau kontusio
dan perdarahan subarachnoid traumatik. Willliams, et al.,(1990) membagi CKR
menjadi CKR dengan komplikasi dan CKR tanpa komplikasi. Yang termasuk
11
scan normal, foto kepala normal atau abnormal sebatas fraktur linear atau fraktur
basis kranii. Sedangkan penderita CKR dengan komplikasi adalah GCS 13-15 dan
ada fokal lesi otak, fraktur depresi atau keduanya. Penilaian outcome 6 bulan
menunjukkan bahwa CKR dengan komplikasi memiliki sekuele neurologik lebih
berat dibanding dengan CKR tanpa komplikasi. Hasil penelitian tersebut
menunjukkan adanya heterogenitas patofisiologi penderita dengan rentang GCS
13 sampai 15 (Williams et al.,1990).
Cullota, et al (1996) meneliti setiap GCS yaitu 13, 14 dan 15 penderita
CKR terhadap derajat kerusakan otak dan kemungkinan perlunya tindakan
operasi. Hasilnya sangat jelas menunjukkan bahwa derajat kerusakan otak dan
kemungkinan perlunya tindakan operasi secara signifikan meningkat dengan
turunnya GCS dari 15 sampai 13. Lee, et al (2009) membagi lagi CKR lebih detail
lagi menjadi 4 kelompok. Pengelompokan tersebut berdasarkan faktor risiko
seperti LOC, umur, GCS score, fraktur skull untuk terjadinya lesi intrakranial.
Kelompok CKR dengan risiko sangat rendah yaitu GCS 15 tanpa riwayat LOC
atau nyeri kepala, risiko rendah GCS 15 dengan LOC dan/atau nyeri kepala, risiko
sedang GCS 15 dengan fraktur skull, defisit neurologik, atau dengan satu atau
lebih faktor risiko, risiko tinggi yaitu GCS 15 dengan CT scan abnormal dan GCS
14 dan 13. Sekali lagi hasil dari kedua penelitian ini mengindikasikan bahwa
adanya heterogenitas patofisiologi pada penderita dengan GCS score antara 13-15,
dan ini mengisaratkan bahwa definisi CKR yang hanya dilihat berdasarkan GCS
12
CT scan merupakan diagnostik standar pada pasien dengan cedera kepala.
Dimana CT scan ini sangat membantu untuk menentukan derajat cedera
intracranial, terapi, memperediksi outcome, dan apabila hasil CT scan normal,
mencegah perawatan di rumah sakit yang sia-sia (Yassir, S., 2010). Indikasi untuk
CT scan pada penderita CKR dari berbagai studi menggunakan berbagai kriteria
klinis ( Duus, et al.,1993; Miller, et al., 1997; Haydel, et al.,2000; Saadat, et al.,
2009; Golden, et al., 2013). Dan tindakan CT scan ini adalah untuk mendeteksi
sedini mungkin adanya lesi intrakranial. Deteksi dini ini berkaitan dengan tujuan
dari penanganan penderita CKR adalah deteksi dini kelainan intrakranial diikuti
dengan tindakan operasi bila indikasi untuk menekan morbiditas dan mortalitas
(Ibanez, et al., 2004). Faktor-faktor klinis yang merupakan faktor risiko juga
sangat variatif dari berbagai penulis ( Duus, et al., 1993; Miller, et al., 1996;
Gomez, et al.,1996; Turedi, et al., 2008; Saadat, et al., 2009; Golden, et al.,
2013). Namun yang sudah disepakati adalah GCS 13 dan 14 indikasi mutlak
untuk dilakukan CT scan (Cullota, et al.,1996). Hal ini berkaitan dengan besarnya
peluang untuk terjadi lesi intrakranial akut pada GCS 13 dan 14. Oleh karena itu
beberapa peneliti memasukkan GCS 13 dan 14 sebagai CKR dengan risiko tinggi
(Hsiang et al., 1997). Sedangkan indikasi CT scan pada GCS 15 masih
kontroversi. Kontroversi ini disebabkan oleh karena adanya keinginan untuk
mendeteksi semua lesi intrakranial pada CKR dan keinginan memotong biaya
pengobatan. Untuk mengurangi cost/biaya rumah sakit (Haydel, et al., 2000;
13
berdasarkan faktor risiko penyerta (Miller, et al., 1997; Haydel, et al., 2000; Stiell,
et al., 2001; Smiths, et al., 2007; Golden, et al., 2013).
Selain GCS 13 dan 14 yang sudah disepakati untuk indikasi CT scan pada
CKR, fraktur skull juga telah disepakati untuk indikasi CT scan, karena ini secara
signifikan meningkatkan kejadian lesi intrakranial (Mendelow, et al., 1983;
Dacey, et al., 1986; Servadei, et al., 1988; Chan, et al., 1990; Shackford, 1992;
Cullota, et al.,1996; Gomez, et al., 1996; Stiell, et al., 2001; Ibanez, et al., 2004;
Tamara, et al., 2005; Turedi, et al, 2008; Golden, et al.,2013). Adanya fraktur
mengindikasikan adanya trauma yang kuat untuk menimbulkan kerusakan
intrakranial (Servadei, et al., 1988; Chan, et al.,1990 ). Oleh karena itu CKR
dengan fraktur skull dimasukkan CKR dengan risiko tinggi tanpa melihat GCS.
Suatu hal yang perlu dipertimbangkan bila mengajukan CT scan pada
penderita CKR apakah kita mencari suatu model untuk mendeteksi semua
pendertita cedera kepala dengan lesi intrakranial atau apakah hanya mendeteksi
mereka secara klinis, lesi tersebut penting/serius (Ibanez, et al., 2004 ). Aspek
medikolegal dan fakta bahwa risiko deteriorasi dan outcomeneurobehavior/prilaku
tidak sama pada penderita dengan hasil CT scan positif dengan hasil CT scan
negatif mendukung untuk mengidentikasikan semua penderita dengan lesi akut
intrakaranial (Ibanez, et al.,2004)
Selain kedua faktor di atas yang mempunyai peranan untuk terjadinya lesi
intrakranial akut, berbagai penulis mengajukan berbagai presentasi klinis yang
dianggap sebagai faktor risiko lesi intrakranial akut, seperti LOC, cephalgia berat,
14
berbagai penelitian tentang faktor risiko sangat bervariasiatau adanya perbedaan
temuan faktor risiko diantara para penulis.
Fokus dari penanganan CKR adalah deteksi dini lesi intrakranial dan
diikuti dengan tindakan operasi untuk live saving (Chan, et al., 1990; Stiell, et
al.,2001). GCS tidak sepenuhnya dapat mencerminkan patologi akut pada
penderita CKR, walaupun beberapa laporan dari penulis membuktikan bahwa
makin rendah GCS makin besar peluang untuk terjadi lesi intrakranial akut dan
makin buruknya outcome (Ibanez, et al.,2004; Saadat, et al.,2009). Turedi et al
(2008), melaporkan insiden CT abnormal 6% pada CKR risiko rendah yaitu
penderita dengan GCS 15 tanpa faktor risiko, sedangkan Golden, et al (2013)
melaporkan insiden CT scan abnormal 13,8% dan 3,6% perlu tindakan operasi
pada penderita CKR dengan GCS 15 tanpa melihat ada atau tidaknya faktor risiko.
Walaupun dengan insiden kecil, penderita dengan GCS 15 bisa mengalami
deteriorasi akut dengan perdarahan luas, bahkan tidak jarang diikuti dengan
kematian (Marshall, et al.,1983; Chan, et al.,1990). Penderita “who talk and
deteriorated” menjadi isu menarik di UGD, oleh karena berkaitan dengan aspek
medic dan hukum (Marshall, et al.,1983). Menggabungkan penderita dengan GCS
13 sampai 15 dalam satu kelompok mungkin akan menyesatkan, karena mereka
memiliki insiden yang berbeda untuk timbul komplikasi, perlu tindakan operasi
dan outcome (Gomez, et al., 1996).
Dari kajian di atas, permasalahan utama pada CKR adalah deteksi dini lesi
akut yang tidak semuanya bisa diungkapkan bila penggunaan CT scan dibatasi. Di
15
memegang peran perlunya tindakan operasi dan outcome (Gomez, et al., 1996;
Stiell, et al., 2001). Gomez, et al (1996) merekomendasikan mereka yang
termasuk CKR hanya penderita dengan GCS 15 tanpa CT scan abnormal. Fabbri,
et al (2004) melaporkan penderita CKR risiko tinggi dengan CT scan negatif
(normal) aman untuk di pulangkan. Dacey, et al (1986) melaporkan insiden 3%
penderita CKR bahkan dengan tingkat kesadaran normal memerlukan tindakan
operasi. Penelitian ini menunjukan peran sentral adanya CT abnormal dalam
penanganan penderita CKR khususnya dalam obeservasi atau keputusan untuk
memulangkan pasien. Memang telah dibuktikan bahwa makin rendah GCS makin
besar peluang untuk terjadi CT scan abnormal pada penderita CKR, dan ini
berkaitan erat dengan perlunya tindakan operasi dan penentuan outcome. Bila kita
simak maka sebetulnya perhatian kita adalah adanya CT abnormal. Dan adanya
lesi tidak selalu dapat direpresentasikan dari GCS. Walaupun penderita dengan
GCS 13 mempunyai peluang terjadinya abnormal CT scan lebih tinggi dari GCS
15, tetapi ada beberapa kasus yang dengan GCS 13 yang tidak memiliki kelainan
pada hasil CT scan. Kalau kita melihat bahwa adanya CT scan abnormal
menceminkan seriusnya injury maka penderita dengan GCS 15 dengan lesi
intrakranial mempunyai injury lebih serius dari pada GCS 13 atau 14 tanpa CT
abnormal demikian pula sebaliknya. Dengan mengganggap adanya CT abnormal
sebagai cedera serius, maka dalam observasi penderita CKR di ruangan akan lebih
fokus pada CKR dengan fokal lesi walaupun GCS 15.
Pada penelitian ini, peneliti ingin melihat bahwa walaupun GCS rendah,
16
tidak akan berbeda dengan GCS yang lebih tinggi. Penelitian yang akan dilakukan
ingin mengungkap bahwa, perlunya tindakan operasi dan penentuan outcome
tidak dapat ditentukan oleh GCS saja, perlu juga melihat adanya CT scan
abnormal. Dengan kata lain peran CT scan pada semua penderita CKR sangat
penting dalam menentukan perlunya tindakan operasi dan penentuan outcome.
Penelitian ini diharapakan dapat memberikan kontribusi peran CT scan pada CKR