17
IV.
Hasil dan Pembahasan
A.
Hasil PenelitianPemanfaatan Sumberdaya alam oleh masyarakat
lokal berdasarkan pengetahuan tradisional telah
dikenal masyarakat Raja Ampat sejak dahulu. Budaya
sasi yang berawal dari negeri Maluku telah mereka
laksanakan secara turun menurun hingga saat ini.
Sementara itu, Pemerintah Daerah Raja Ampat telah
menetapkan enam Kawasan Konservasi Laut Daerah
(KKLD) yakni Selat Dampier, Teluk Mayalibit, Wayag,
Misool Timur, Misool Selatan, Batanta, Kofiau dan Ayau
(Coremap, 2009).
Masyarakat adat Pulau Misool mengukuhkan
kepedulian mereka kepada pelestarian sumber daya
laut melaui upacara adat Timai untuk mendeklarasikan
zonasi KKLD Misool Timur Selatan yang mencakup
luasan sebesar 366.000 hektar. Dari luas total KKLD
tersebut, sekitar 82 hektar didedikasikan untuk
menjadi wilayah sasi oleh masyarakat kampung Folley
(TNC, 2013). Peta wilayah Sasi Kabupaten Raja Ampat
18
Gambar 1. Peta Wilayah Sasi Kabupaten Raja Ampat (TNC, 2013)
Hasil penelitian menunjukkan bahwa budaya sasi
masih hidup dan berlaku dengan baik di Raja Ampat
khususnya di Pulau Misool. Menurut pendeta Burdam
melalui komunikasi pribadi mengatakan bahwa,
terdapat 2 jenis sasi yaitu sasi darat dan sasi laut.
Jenis-jenis sasi tersebut di antaranya; sasi kelapa, sasi
19
dengan tabel data base sasi yang ada di Pulau Misool
Kabupaten Raja Ampat berikut.
Tabel 1. Data Base Sasi Misool
21
dilakukan pencabutan papan nama sasi dan barulah dilakukan panen hasil sasi
(sumber: TNC, 2013)
Berdasarkan tabel 1 di atas, dapat diketahui
bahwa budaya sasi masih diberlakukan di Pulau Misool
Kabupaten Raja Ampat sebagai pelestarian alam.
B. Pembahasan Hasil Penelitan
Pengetahuan masyarakat Raja Ampat tentang
sasi masih sangat baik. Hal ini terlihat dari hasil
wawancara dengan masyarakat, 100% responden
mengetahui sistem sasi dan tersebar pada semua
umur, baik responden generasi tua maupun yang
muda. Hukum sasi adalah hukum adat yang berkaitan
dengan larangan untuk mengambil, baik hasil hutan
atau hasil laut dalam jangka waktu tertentu yang
ditetapkan oleh pemerintah setempat (Cooley, 1987).
Sejak beberapa tahun terakhir, dengan
datangnya generasi sekarang yang lebih berpendidikan,
masyarakat kampung Folley bersama dengan
pemuda-pemuda kampung kembali menghidupkan tradisi adat
sasi yang sempat menghilang bertahun-tahun lamanya.
Kebiasaan orang tua terdahulu menjadi alasan
22
sumberdaya alam mereka, dan kemudian agama
dijadikan patokan utama dalam melaksanakan sasi
tersebut sehingga sasi adat yang pernah ada ditransfer
kedalamnya ajaran agama Kristen dan berganti nama
menjadi sasi gereja. Sasi gereja adalah adat sasi yang
pelaksanaannya didoakan dan diumumkan di dalam
gereja. Sasi gereja adalah sasi yang pelaksanaannya
dilakukan di dalam Gereja, didoakan, kemudian
diumumkan dalam ibadah minggu Gereja. Sasi gereja
dipasang dengan jangka waktu tertentu, tergantung
berapa lama tanaman atau lautnya bisa dipanen.
Pelaksanaan sasi dimulai dengan dilakukannya rapat
bersama masyarakat, pemuka kampung, tokoh adat,
dan tokoh agama, untuk menentukan zona wilayah
sasi. Melalui rapat tersebut ditetapkan sumberdaya
atau wilayah yang tertutup dari kegiatan eksploitasi,
dan hal tersebut dinamakan tutup sasi. Artinya, selama
tutup sasi tidak diperkenankan seorangpun untuk
mengambil atau merusak habitat sumberdaya tersebut,
sampai waktu yang kemudian diperbolehkan kembali
atau biasa disebut dengan masa buka sasi (Burdam
2013, komunikasi pribadi).
Bagi masyarakat pesisir seperti penduduk
kampung Folley, menjaga, melindungi, dan
memanfaatkan lingkungan laut pesisir adalah hal yang
23
baik. Untuk itu, masyarakat kampung Folley bersama
dengan tokoh adat, tokoh agama, dan The Nature
Conservancy (TNC) sebagai Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) menetapkan wilayah perlindungan
untuk sasi laut di kampung Folley. Syarat wilayah yang
akan disasi yaitu wilayah tersebut memiliki potensi
hasil laut yang lebih baik seperti lebih banyak terdapat
teripang di kampung Folley, maka yang akan disasi
adalah teripang. Dengan ditetapkannya wilayah sasi
tersebut, selanjutnya diadakan upacara tutup sasi yang
dipimpin oleh seorang pendeta, diikuti oleh
masyarakat, tokoh adat dan tokoh agama. Kemudian
diumumkan kepada seluruh masyarakat kampung
bahwa wilayah tersebut sedang dalam masa sasi.
Masyarakat Raja Ampat melakukan sasi pada
tanamannya dengan beberapa alasan yaitu untuk
mendapatkan hasil panen yang lebih baik (kuantitas
dan kualitas) mencegah pencurian.
Sasi telah menjadi pengamanan terhadap
sumberdaya alam dan lingkungan, mendidik dan
membentuk sikap serta perilaku masyarakat yang
merupakan upaya untuk memelihara tata krama hidup
bermasyarakat termasuk upaya pemerataan dan
pembagian pendapatan dari sumberdaya alam kepada
24
Kerukunan antar umat beragama di Kampung
Folley yang penduduknya terbagi dua agama yaitu
Kristen dan Islam menjadikan hukum sasi berjalan
dengan baik dan tanpa terkendala. Masyarakat yang
beragama Kristen maupun Islam bersama-sama
menjaga dan mentaati semua hukum yang berlaku,
mereka percaya bahwa hukum sasi memiliki tujuan
yang baik dan berguna bagi kelangsungan hidup di
masa yang akan datang.
Praktek sasi bukan hanya dilaksanakan di
kampung-kampung yang penduduknya beragama
Kristen, tetapi juga dilaksanakan di beberapa kampung
wilayah Raja Ampat yang penduduknya beragama
Islam. Perlindungan terhadap alam mereka
dilaksanakan dengan cara sasi adat. Sama seperti sasi
gereja, sasi yang dilaksanakan mereka juga berasal dari
sasi adat yang dimasukkan ke dalamnya ajaran agama
Islam yang dipimpin oleh ketua adat dan Imam masjid
untuk mendoakan dalam setiap upacara buka dan
tutup sasi. Sebelum datangnya agama, perlindungan
terhadap tanaman mereka dilakukan dengan cara sasi
adat dengan mempersembahkan kepala babi kepada
pemimpin adat. Setelah masuknya agama barulah
persembahan tersebut diganti dengan hasil hutan
berupa buah-buahan. Jadi setelah buah-buahan di
25
sudah masak masyarakat adat boleh memakannya
dengan syarat kulitnya tidak boleh sampai hanyut di
pantai, apalagi dijual keluar pulau sebelum diberikan
persembahan kepada pemimpinnya untuk dicicipi
terlebih dahulu, istilah tersebut dinamakan dengan
Soum (persembahan). Setelah itu barulah
diperbolehkan untuk dijual bebas keluar pulau. (Wihel
2013, komunikasi pribadi).
Untuk wilayah yang penduduknya terdapat dua
kepercayaan Islam dan Kristen seperti di kampung
Folley, mereka menerapkan sasi gereja untuk
melindungi alamnya baik yang di darat maupun di laut,
karena penduduknya mayoritas Kristen protestan.
Tetapi ada juga beberapa kampung yang menerapkan
sasi adat untuk wilayah yang terbagi menjadi dua
kepercayaan. Tergantung dari kesepakatan bersama
masyarakat kampung tersebut.
Penduduk kampung Folley yang beragama Islam,
mereka tetap menggunakan sasi gereja untuk
melindungi tanaman mereka, dengan cara membayar
uang seikhlasnya kepada majelis gereja yang kemudian
akan didoakan dan diumumkan digereja dan seluruh
masyarakat kampung bahwa tanaman milik orang
tersebut telah disasi, itu berarti tidak ada yang boleh
mengambil hasil dari tanaman tersebut sekalipun
26
memasang tulisan di sekitar tanaman, contohnya “Dusun Kelapa Ini Telah Disasi Gereja”. Apabila musim panen tiba, pemilik tanaman memberitahukan kepada
majelis gereja agar sasi gereja tersebut dilepas.
Setiap ada larangan, pasti akan ada sanksinya
masing-masing. Pelanggaran atas pelaksanaan sasi
akan memperoleh sanksi berdasarkan dunia spiritual
dan saksi masyarakat (Lakollo 1998). Beberapa saksi di
kampung Folley menyaksikan sendiri bagaimana
seorang anak merasakan sakit akibat memakan buah
yang telah disasi. Sakit perut yang berkepanjangan
akibat memakan buah tersebut, mungkin bisa saja
karena si anak lalai karena belum mencuci buah yang
dimakannya. Tapi dampak yang selalu dan langsung
muncul akibat melanggar sasi mereka percayai bahwa
itu adalah akibat karena telah melanggar sasi, dan
sakit tersebut tidak akan hilang selama sang pelanggar
mengakui kesalahannya kemudian didoakan kembali
oleh pendeta. Kepercayaaan tersebutlah yang selama
ini menjadikan larangan sasi benar-benar ditaati oleh
seluruh penduduk kampung, baik yang muda ataupun
yang tua.
Di kampung Lilinta distrik Misool Selatan,
mereka mempunyai cara yang berbeda untuk sanksi
bagi pelanggar sasi. Orang yang melanggar sasi akan
27
hingga sore hari sampai pelanggar mengakui dan
benar-benar bertaubat untuk tidak melakukan
kesalahannya lagi (Wihel 2013, komunikasi pribadi).
Hukuman tersebut dimaksudkan agar pelaku pelanggar
sasi malu dan tidak akan melakukan kesalahannya
kembali.
Nilai-nilai luhur yang tertanam sejak duhulu
menjadikan semua orang mentaati dan tidak ada yang
berani melanggar hukum adat sasi tersebut.
Pendidikan yang telah didapat di sekolah maupun di
rumah selalu diterapkan dengan baik oleh siswa-siswi
di Kampung Folley.
Luasnya wilayah Kawasan Konservasi Laut
Daerah (KKLD) di Pulau Misool yang telah ditetapkan
oleh pemerintah setempat mendapat respon yang positif
dan negatif oleh masyarakat. Sebagian masyarakat
sepakat dengan adanya luasan wilayah KKLD, karena
dapat menjadi sarana pelestarian dan berguna sebagai
isolasi reproduksi agar tidak terjadi kepunahan, namun
di sisi lain beberapa masyarakat yang bergantung
dengan hasil laut tersebut menjadi kehilangan
matapencaharian mereka. Semakin ke depan, banyak
bertumbuh pula resort yang bisa menghasilkan
pendapatan daerah, namun masyarakat juga menjadi
28
Masyarakat setempat berpendapat bahwa,
sebelum ditetapkannya Kawasan Konservasi Laut
Daerah (KKLD), merekapun memiliki cara tersendiri
untuk melindungi laut mereka tanpa kehilangan hasil
laut mereka sendiri yaitu dengan cara sasi. Pernyataan
tersebut dibuktikan dengan hasil dalam petikan
wawancara berikut ini.
“Dengan adanya Kawasan Konservasi Laut
Daerah di Misool ada bagus, ada tidaknya. Ya..bagusnya pasti karna telah melindungi wilayah tersebut. Tapi ada juga masyarakat yang mengeluh dengan adanya kawasan
konservasi tersebut. Mengapa..? karna
masyarakat sendiri tidak bisa lagi mengambil dan memanen hasil laut di wilayah mereka
sendiri. Padahal dulu sebelum adanya
wilayah konservasi masyarakat kan punya
cara sendiri untuk melindungi wilayah
lautnya. Ya..dengan sasi itu. Wilayah laut mereka bisa terlindungi, namun mereka masih tetap bisa memanen hasil lautnya dan laut tersebut masih terjaga dengan baik hingga sekarang. Beda dengan wilayah konservasi, walaupun memiliki tujuan yang sama yaitu untuk melindungi namun wilayah konservasi
tidak bisa diambil atau dipanen hasilnya”.
Dari pernyataan tersebut di atas dapat
disimpulkan bahwa sebagian masyarakat Raja Ampat
kurang menyetujui adanya luasan KKLD, dengan
alasan bahwa laut yang mereka gunakan sebagai mata
pencaharian mereka tidak bisa diambil hasilnya lagi.
29
melaksanakan budaya sasi yang sebenarnya adalah
praktek konservasi yang dilaksanakan secara
tradisional.
Dengan ditetapkannya KKLD wilayah Raja
Ampat, masyarakat berharap kepada pemerintah
setempat agar mau membuka lapangan pekerjaan
sebagai ganti matapencaharian mereka yang mayoritas