!
" "
# " " $
% " " #
%
& ' "
" ( " #
) * #
+
* #
, #
# "
- $ .//0
iii
Daftar Isi
BAB I PENGANTAR HUKUM PERDAGANGAN INTERNASIONAL A. Pengantar dan Definisi
1. Definisi
a. Definisi Schmitthoff b. Definisi Rafiqul Islam c. Definisi Michelle Sanson d. Definisi Hercules Booysen
2. Pendekatan Hukum Perdagangan Internasional
a. Hubungan Hukum Perdagangan Internasional dan Bidang Hukum Lainnya
b. Hukum Perdagangan Internasional bersifat Interdisipliner B. Prinsip-prinsip Hukum Perdagangan Internasional
1. Prinsip Dasar Kebebasan Berkontrak 2. Prinsip Dasar Pacta Sunt Servanda
3. Prinsip Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase 4. Prinsip Kebebasan Komunikasi (Navigasi)
C. Eksistensi dan Tujuan Hukum Perdagangan Internasional D. Perkembangan Hukum Perdagangan Internasional
E. Unifikasi dan Harmonisasi Hukum Perdagangan Internasional
1. Perlunya Unifikasi dan Harmonisasi Hukum Perdagangan Internasional
2. Lembaga-lembaga Yang Bergerak dalam Unifikasi dan Harmonisasi Hukum
a. World Trade Organization (WTO)
b. The International Institute for the Unification of Private Law (UNIDROIT)
c. The United Nations Commission on International Trade Law (UNCITRAL)
d. Kamar Dagang Internasional (ICC) F. Penutup
BAB II. SUBYEK HUKUM PERDAGANGAN INTERNASIONAL A. Pengantar
A. Pengantar
B. Sumber Hukum Perdagangan Internasional 1. Perjanjian Internasional
2. Hukum Kebiasaan Internasional 3. Prinsip-prinsip Hukum Umum
4. Putusan Badan Pengadilan dan Doktrin 5. Kontrak
6. Hukum Nasional C. Penutup
BAB IV. ATURAN-ATURAN HUKUM PERDAGANGAN MENURUT GATT A. Pengantar
BAB V. LETTER OF CREDIT DALAM HUKUM PERDAGANGAN INTERNASIONAL A. Pengantar
2. Penerapan Persyaratan Hukum terhadap Pesan Data 3. Kekuatan Pembuktian Pesan Data
4. Penyimpanan Pesan Data 5. Komunikasi Pesan Data
6. Bentuk dan Keabsahan Kontrak 7. Pengakuan terhadap Pesan Data 8. Pengakuan Penerimaan
9. Waktu dan Tempat Pengiriman dan Penerimaan Pesan Data 10. Bagian II: Obyek tertentu: Pengiriman Brg
11. Dokumen Pengangkutan (Bill of Lading)
12. Tanda Tangan Digital dan Pejabat Verifikasi D. Penutup
v
A. Pengantar
B. Para Pihak dalam Sengketa
C. Prinsip-prinsip Penyelesaian Sengketa
1. Prinsip Kesepakatan Para Pihak (Konsensus)
2. Prinsip Kebebasan Memilih Cara-cara Penyelesaian Sengketa 3. Prinsip Kebebasan Memilih Hukum
4. Prinsip Itikad Baik (Good Faith) 5. Prinsip Exhaustion of Local Remedies D. Forum Penyelesaian Sengketa
1. Negosiasi 2. Mediasi 3. Konsiliasi 4. Arbitrase
5. Pengadilan (Nasional dan Internasional) E. Hukum Yang Berlaku
1. Pengantar
2. Kebebasan Para Pihak
F. Pelaksaan Putusan Sengketa Dagang 1. Pengantar
1. Pelaksanaan Putusan APS
2. Pelaksanaan Putusan Arbitrase (Asing) 3. Pelaksanaan Putusan Pengadilan
PENGANTAR HUKUM PERDAGANGAN INTERNASIONAL
A. Pengantar dan Definisi
Hukum perdagangan internasional adalah bidang hukum yang
berkembang cepat. Ruang lingkup bidang hukum ini pun cukup luas.
Hubungan-hubungan dagang yang sifatnya lintas batas dapat
mencakup banyak jenisnya. Dari bentuknya yang sederhana, yaitu
dari barter, jual beli barang atau komoditi (produk-produk
pertanian, perkebunan, dan sejenisnya), hingga hubungan atau
transaksi dagang yang kompleks.
Kompleksnya hubungan atau transaksi dagang internasional
ini sedikit banyak disebabkan oleh adanya jasa teknologi
(khususnya teknologi informasi). Sehingga, transaksi-transaksi
dagang semakin berlangsung dengan cepat. Batas-batas negara bukan
lagi halangan dalam bertransaksi. Bahkan dengan pesatnya
teknologi, dewasa ini para pelaku dagang tidak perlu mengetahui
atau mengenal siapa rekanan dagangnya yang berada jauh di belahan
bumi lain. Hal ini tampak dengan lahirnya transaksi-transaksi
yang disebut dengan e-commerce.
Ada berbagai motif atau alasan mengapa negara atau subyek
hukum (pelaku dalam perdagangan) melakukan transaksi dagang
internasional. Yang menjadi fakta adalah bahwa perdagangan
internasional sudah menjadi tulang punggung bagi negara untuk
menjadi makmur, sejahtera dan kuat. Hal ini sudah banyak terbukti
dalam sejarah perkembangan dunia.
Besar dan jayanya negara-negara di dunia tidak terlepas
dari keberhasilan dan aktivitas negara-negara tersebut di dalam
perdagangan internasional. Sebagai satu contoh, kejayaan Cina
masa lalu tidak terlepas dari kebijakan dagang yang terkenal
dengan nama ‘Silk Route’ atau jalan suteranya. Silk Route tidak
saudagar-saudagar Cina untuk berdagang dengan bangsa-bangsa lain di
dunia.1
Setelah kejayaan Cina, menyusul negara-negara lain seperti
Spanyol dengan Spanish Conquistadors-nya, Inggris dengan The
British Empire-nya (beserta perusahaan multinasionalnya yang
pertama di dunia, yakni ‘the East-India Company’, Belanda dengan
VOC-nya, dll. Kejayaan negara-negara ini tidak terlepas dari
kebijakan pemerintahnya untuk melakukan transaksi dagang
internasional.
Kesadaran untuk melakukan transaksi dagang internasional
ini juga telah cukup lama disadari oleh para pelaku pedagang di
tanah air sejak. Adalah Amanna Gappa, seorang kepala suku Bugis
yang sadar akan pentingnya dagang (dan pelayaran) bagi
kesejahteraan sukunya. Keunggulan suku bugis dalam berlayar
dengan hanya menggunakan perahu-perahu bugis yang kecil telah
mengarungi lautan luas hingga ke Malaya (sekarang menjadi wilayah
Singapura dan Malaysia).2
Yang menjadi esensi untuk bertransaksi dagang ini adalah
dasar filosofinya. Telah dikemukakan bahwa berdagang ini adalah
1 Jonathan Reuvid, (ed.), The Strategic Guide to International Trade, London: Kogan Page, 1997, para. xv.
kebebasan ini siapa saja harus memiliki kebebasan untuk
berdagang. Kebebasan ini tidak boleh dibatasi oleh adanya
perbedaan agama, suku, kepercayaan, politik, sistem hukum, dll.
Piagam Hak-hak dan Kewajiban Negara (Charter of Economic
Rights and Duties of States) juga mengakui bahwa setiap negara
memiliki hak untuk melakukan perdagangan internasional. (“Every
State has the right to engage in international trade”) (Pasal 4).
3 Lihat buku penulis, Huala Adolf,
1. Definisi
Cepatnya perkembangan bidang hukum ini ternyata masih belum
ada kesepakatan tentang definisi untuk bidang hukum ini. Hingga
dewasa ini terdapat berbagai definisi yang satu sama lain
berbeda.
a. Definisi Schmitthoff
Definisi pertama adalah definisi yang dikeluarkan oleh
Sekretaris Jenderal PBB dalam laporannya tahun 1966.4 Definisi
ini sebenarnya adalah definisi buatan seorang guru besar ternama
dalam hukum dagang internasional dari City of London College,
yaitu Professor Clive M. Schmitthoff. Sehingga dapat dikatakan
bahwa definisi yang tercakup dalam Laporan Sekretaris Jenderal
tersebut tidak lain adalah laporan Schmitthoff.
Schmitthoff mendefinisikan hukum perdagangan internasional
sebagai: “... the body of rules governing commercial relationship
of a private law nature involving different nations”.5
Dari definisi tersebut dapat tampak unsur-unsur berikut:
1) Hukum perdagangan internasional adalah sekumpulan aturan
yang mengatur hubungan-hubungan komersial yang sifatnya
hukum perdata,
2) Aturan-aturan hukum tersebut mengatur transaksi-transaksi
yang berbeda negara.
Definisi di atas menunjukkan dengan jelas bahwa
aturan-aturan tersebut bersifat komersial. Artinya, Schmitthoff dengan
tegas membedakan antara hukum perdata (“private law nature”) dan
hukum publik.
Dalam definisinya itu, Schmitthoff menegaskan bahwa ruang
lingkup bidang hukum ini tidak termasuk hubungan-hubungan
komersial internasional dengan ciri hukum publik. Termasuk dalam
perdagangan yang mempengaruhi wilayahnya.6
Dengan kata lain, Schmitthoff menegaskan wilayah hukum
perdagangan internasional tidak termasuk atau terlepas dari
aturan-aturan hukum internasional publik yang mengatur
hubungan-hubungan komersial. Misalnya, aturan-aturan hukum internasional
yang mengatur hubungan dagang dalam kerangka GATT atau
aturan yang mengatur blok-blok perdagangan regional,
aturan-aturan yang mengatur komoditi, dsb.7 Dalam salah satu tulisannya
Schmitthoff dengan jelas menegaskan sebagai berikut:
“First, the modern law of international trade is not a branch of international law; it does not form part of the
jus gentium, but it is applied in every national
jurisdiction by tolerance of the national sovereign whose public policy may override or qualify a particular rule of that law.”8
Dari latar belakang definisi tersebut pun berdampak pada
ruang lingkup cakupan hukum dagang internasional. Schmitthoff
menguraikan bidang-bidang berikut sebagai bidang cakupan bidang
hukum ini:
1) Jual beli dagang internasional: (i) pembentukan kontrak; (ii)
perwakilan-perwakilan dagang (agency); (iii) Pengaturan
penjualan eksklusif;
6 Secretary General Report, op.cit., para. 11.
7
Secretary General Report, op.cit., para. 11.
8 Schmitthoff, “The Unification of the Law of International Trade,”
2) Surat-surat berharga
3) Hukum mengenai kegiatan-kegiatan tentang tingkah laku mengenai
perdagangan internasional
Dalam upayanya memberi batasan atau definisi hukum
perdagangan internasional, Rafiqul Islam menekankan keterkaitan
erat antara perdagangan internasional dan hubungan keuangan
(financial relations). Dalam hal ini Rafiqul Islam memberi
batasan perdagangan internasional sebagai "... a wide ranging,
transnational, commercial exchange of goods and services between
individual business persons, trading bodies and States".10
Hubungan finansial terkait erat dengan perdagangan
internasional. keterkaitan erat ini tampak karena
hubungan-hubungan keuangan ini mendampingi transaksi perdagangan antara
para pedagang (dengan pengecualian transaksi barter atau
counter-trade).11
internasional) tunduk pada prinsip-prinsip hukum internasional publik, dalam hal ini prinsip hukum perjanjian internasional.
9 Secretary General Report, op.cit., para. 10.
10
Rafiqul Islam, International Trade Law, NSW: LBC, 1999, hlm. 1. Sarjana-sarjana dewasa ini cenderung untuk membagi ruang lingkup perdagangan internasional ke dalam dua bagian:perdagangan barang dan jasa (sebagaimana halnya dengan Rafiqul Islam di atas). Lihat misalnya, Pablo Vilanueva, "Patterns and Trends in World Trade," dalam: Jonathan Reuvid (ed.), The Strategic Guide to International Trade, Kogan page (tt), hlm 3. (Villanueva menggambarkan bidang perdagangan internasional ke dalam dua bidang: (1) Perdagangan barang (merchandise trade) yang mencakup mineral, produk pertanian, barang industri; dan (2) jasa komersial (commercial services) yang mencakup perbankan, konsultasi dan pariwisata).
11 Pengecualian terhadap kedua bentuk transaksi tersebut karena memang
perdagangan dan keuangan ("international trade and finance law")
sebagai suatu kumpulan aturan, prinsip, norma dan praktek yang
menciptakan suatu pengaturan (regulatory regime) untuk
transaksi-transaksi perdagangan transnasional dan sistem pembayarannya,
yang memiliki dampak terhadap perilaku komersial lembaga-lembaga
perdagangan.12 Kegiatan-kegiatan komersial tersebut dapat dibagi
ke dalam kegiatan "komersial" yang berada dalam ruang lingkup
hukum perdata internasional atau Conflict of Laws; perdagangan
antar pemerintah atau antar negara, yang diatur oleh hukum
internasional publik.13
Dari batasan tersebut tampak bahwa ruang lingkup hukum
perdagangan internasional sangat luas.14 Karena ruang lingkup
kajian bidang hukum ini sifatnya adalah lintas batas atau
transnasional, konsekuensinya adalah terkaitnya lebih dari satu
sistem hukum yang berbeda.
c. Definisi Michelle Sanson
Sarjana lainnya yang mencoba memberi batasan bidang hukum
ini adalah sarjana Australia Sanson. Sanson memberi batasan
bidang ini sesuai dengan pengeritan kata-kata dari bidang hukum
ini, yaitu hukum, dagang dan internasional (dengan kata dasar
nasion atau negara).
Hukum perdagangan internasional menurut definisi Sanson
‘can be defined as the regulation of the conduct of parties
12 Rafiqul Islam, op.cit., hlm. 1.
13
Rafiqul Islam, op.cit., hlm. 1. Selengkapanya Rafiqul Islam menulis sebagai berikut: "international trade and finance law is a body of rules, principles, norms and their associated payments systems, with a controlling impact on the commercial behaviour of the trading entities").
involved in the exchange of goods, services and technology
between nations.’15
Definisi di atas sederhana. Ia tidak menyebut secara jelas
bidang hukum ini jatuh ke bidang hukum yang mana: hukum privat,
publik, atau hukum internasional. Sanson hanya menyebut bidang
hukum ini adalah the regulation of the conduct of parties. Para
pihaknya pun dibuat samar, hanya disebut parties. Sedangkan obyek
kajiannya, Sanson agak jelas: yaitu jual beli barang, jasa dan
teknologi.
Meskipun memberi definisi yang mengambang tersebut, Sanson
membagi hukum perdagangan internasional ini ke dalam dua bagian
utama, yaitu hukum perdagangan internasional publik (public
interntional trade law) dan hukum perdagangan internasional
privat (private international trade law).16
Yang pertama, public international trade law adalah hukum
yang mengatur perilaku dagang antar negara. Sedangkan yang kedua,
private international trade law adalah hukum yang mengatur
perilaku dagang secara orang perorangan (private traders) di
negara-negara yang berbeda.17
Meskipun ada pembedaan ini, namun para sarjana mengakui
bahwa batas-batas kedua istilah ini pun sangat sulit untuk dibuat
garis batasnya. Sanson menyatakan bahwa ‘the modern development
is that the distinction between publik and privat international
mempengaruhi. Beliau menulis:
‘The effect of public international law on private transactons is indirect but can be very profound in certain aspects. Some such aspects of private transactions will be considered merely because public international law has shaped, or is in the process of reshaping, their legal
order.’19
d. Definisi Hercules Booysen
Booysen sarjana Afrika Selatan tidak memberi definisi
secara tegas. Beliau menyadari bahwa ilmu hukum sangatlah
kompleks. Karena itu, upaya untuk membuat definisi bidang hukum,
termasuk hukum perdagangan internasional, sangatlah sulit dan
jarang tepat.20
Karena itu dalam upayanya memberi definisi tersebut, beliau
hanya mengungkapkan unsur-unsur dari definisi hukum perdagangan
internasional. Menurut beliau ada tiga unsur, yakni:
(1) Hukum perdagangan internasional dapat dipandang sebagai suatu
cabang khusus dari hukum internasional (international trade
law may also be regarded as a specialised branch of
international law).
(2) Hukum perdagangan internasional adalah aturan-aturan hukum
internasional yang berlaku terhadap perdagangan barang, jasa
dan perlindungan hak atas kekayaan intelektual (HAKI).
(International trade law can be described as those rules of
international law which are applicable to trade in goods,
services and the protection of intellectual property).
Bentuk-bentuk hukum perdagangan internasional seperti ini
19
Rafiqul Islam, op.cit., hlm. 1.
20 Interlegal's Definitions (http://home.yebro.co.za/~interlegal/
misalnya saja adalah aturan-aturan WTO, perjanjian
multilateral mengenai perdagnagan mengenai barang seperti
GATT, perjanjian mengenai perdagangan di bidang jasa
(GATS/WTO, dan perjanjia mengenai aspek-aspek yang terkait
dengan HAKI (TRIPS).21
Dalam lingkup definisi ini diakui bahwa negara bukanlah
semata-mata pelaku utama dalam bidang perdagangan
internasional. Negara lebih berperan sebagai regulator
(pengatur). Karena itu hukum perdagangan internasional juga
mencakup aturan-aturan internasional mengenai
transaksi-transaksi nyata yang bersifat internasional dari para
pedagang (international law merchants). Karenanya,
international law merchants ini adalah bagian dari hukum
perdagangan internasional.22
(3) Hukum perdagangan internasional terdiri dari aturan-aturan
hukum nasional yang memiliki atau pengaruh langsung terhadap
perdagangan internasional secara umum. Karena sifat
aturan-aturan hukum nasional tersebut, maka atura-aturan-aturan tersebut
merupakan bagian dari hukum perdagangan internasional. contoh
dari aturan hukum nasional seperti itu adalah
perundang-undangan yang ekstrateritorial (the extraterritorial
legislation).23
Dari 4 (empat) definisi di atas tampak semuanya ada
benarnya. Tetapi penulis lebih pro kepada definisi Rafiqul Islam.
Dari batasan Rafiqul Islam di atas, tampak adanya keterkaitan
erat antara hukum perdagangan internasional dengan hukum
internasional publik. Memang sekilas tampak bahwa dampak dan
pengaruh hukum internasional publik ini tidak langsung. Namun
demikian pengaruh ini dapat berdampak cukup luas terhadap
telah membentuk dan sedang dalam proses pembentukan
ketentuan-ketentuan yang mengatur aspek-aspek perdata dari transaksi
perdagangan internasional.24
2. Pendekatan Hukum Perdagangan Internasional
a. Hubungan antara Hukum Perdagangan Internasional dan Bidang Hukum lainnya
Satu catatan lain yang juga penting adalah hubungan antara
hukum perdagangan internasional dan hukum lainnya yang terkait
dengan perdagangan internasional. Di bagian awal tulisan ini
tampak luasnya bidang cakupan hukum perdagangan internasional
ini. Luasnya bidang cakupan membuat cakupan yang dikajinya sulit
untuk tidak tumpang tindih dengan bidang-bidang lainnya. Misalnya
dengan hukum ekonomi internasional, hukum transaksi bisnis
internasional, hukum komersial internasional, dll.25
Catatan di atas menunjukkan kedudukan penulis yang mengakui
adanya keterkaitan antara hukum perdagangan internasional dengan
hukum internasional. Di sisi lain, penulis berpendirian bahwa
hukum ekonomi internasional adalah juga bagian atau cabang dari
hukum internasional.26
Masalahnya adalah di mana letak atau garis batas di antara
hukum perdagangan dengan bidang-bidang hukum lain disebut di
atas, khususnya hukum ekonomi internasional. Ada bidang-bidang
yang sama-sama tunduk pada dua bidang hukum ini. Misalnya saja,
pembahasan mengenai subyek-subyek dan sumber-sumber dari kedua
bidang hukum sedikit banyak hampir sama.27
Sementara ini pendekatan yang ditempuh untuk membedakan
kedua bidang hukum ini adalah melihat subyek hukum yang tunduk
kepada kedua bidang hukum tersebut. Hukum ekonomi internasonal
lebih banyak mengatur subyek hukum yang bersifat publik (policy),
seperti misalnya hubungan-hubungan di bidang ekonomi yang
dilakukan oleh negara atau organisasi internasional. Sedangkan
25 Cf., M. Sanson, op.cit., hlm. 2.
26
Lihat buku penulis, Hukum Ekonomi Internasional: Suatu Pengantar, Jakarta: Rajagrafindo, cet. 3, 2003, Bab I.
27 Lihat lebih lanjut mengenai hukum ekonomi internasional ini, buku
Dalam kenyataannya pendirian tersebut tidak begitu valid.
Hukum ekonomi internasional dalam kenyataannya juga mengatur
kegiatan-kegiatan atau transaksi-transaksi badan hukum privat
atau yang terkait dengan kepentingan privat, misalnya mengenai
perlindungan dan nasionalisasi atau ekspropriasi perusahaan
asing. Selain itu, meskipun hukum ekonomi internasional mengatur
subyek-subyek hukum publik atau negara, namun aturan-aturan
tersebut bagaimana pun juga akan berdampak pada individu atau
subyek-subyek hukum lainnya di dalam wilayah suatu negara.
b. Hukum Perdagangan Internasional Bersifat Interdisipliner
Karakteristik lain dari hukum perdagangan internasional ini
adalah pendekatannya yang interdisipliner. Untuk dapat memahami
bidang hukum ini secara komprehensif, dibutuhkan sedikit banyak
bantuan disiplin-disiplin (ilmu) lain. Dalam bidang hukum ini
terkait dengan bidang pengangkutan (darat, udara dan khususnya
laut). Hal ini membutuhkan bantuan dan pemahaman disiplin ilmu
pelayaran.
Keterkaitan dengan pembayaran dalam perdagangan
internasional akan terkait dengan praktik perbankan dan lembaga
keuangan lainnya. Hal ini membutuhkan bantuan dan pemahaman
disiplin ilmu perbankan dan keuangan.
Keterkaitan dengan perdagangan itu sendiri akan terkait
dengan praktik dan teknik-teknik perdagangan. Hal ini membutuhkan
bantuan dan pemahaman ilmu praktik perdagangan.
Disiplin-disiplin ilmu lainnya yang terkait lainnya
misalnya adalah teknologi, ekonomi. Yang juga penting adalah ilmu
politik, yaitu bagaimana kebijakan politik suatu negara yang
B. Prinsip-prinsip Dasar Hukum Perdagangan Internasional
Prinsip-prinsip dasar (fundamental principles) yang dikenal
dalam hukum perdagangan internasional diperkenalkan oleh sarjana
hukum perdagangan internasional Profesor Aleksancer Goldštajn.
Beliau memperkenalkan 3 (tiga) prinsip dasar tersebut, yaitu (1)
prinsip kebebasan para pihak dalam berkontrak (the principle of
the freedom of contract); (2) prinsip pacta sunt servanda; dan
(3) prinsip penggunaan arbitrase.28
1. Prinsip Dasar Kebebasan Berkontrak
Prinsip pertama, kebebasan berkontrak, sebenarnya adalah
prinsip universal dalam hukum perdagangan internasional. Setiap
sistem hukum pada bidang hukum dagang mengakui kebebasan para
pihak ini untuk membuat kontrak-kontrak dagang (internasional).
Schmitthoff menanggapi secara positif kebebasan pertama
ini. Beliau menyatakan:
“The autonomy of the parties’ will in the law of contract is the foundation on which an autonomous law of international trade can be built. The national sovereign has,..., no objection that in that area an autonomous law of international trade is developed by the parties, provided always that that law respects in every national jurisdiction the limitations imposed by public policy.”29
Kebebasan tersebut mencakup bidang hukum yang cukup luas.
Ia meliputi kebebasan untuk melakukan jenis-jenis kontrak yang
para pihak sepakati. Ia termasuk pula kebebasan untuk memilih
forum penyelesaian sengketa dagangnya. Ia mencakup pula kebebasan
untuk memilih hukum yang akan berlaku terhadap kontrak, dll.
Kebebasan ini sudah barang tentu tidak boleh bertentangan
dengan UU, kepentingan umum, kesusilaan, kesopanan, dan lain-lain
persyaratan yang ditetapkan oleh masing-masing sistem hukum.
2. Prinsip Dasar Pacta Sunt Servanda
28
Aleksander Goldštajn, “The New Law of Merchant,” (1961) JBL 12.
29 Clive M. Schmitthoff, Commercial Law in a Changing Economic Climate,
ditandatangani harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya (dengan
itikad baik). Prinsip ini pun sifatnya universal. Setiap sistem
hukum di dunia menghormati prinsip ini.
3. Prinsip Dasar Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase
Prinsip ketiga, prinsip penggunaan arbitrase tampaknya
terdengar agak ganjil. Namun demikian pengakuan Goldštajn
menyebut prinsip ini bukan tanpa alasan yang kuat. Arbitrase
dalam perdagangan internasional adalah forum penyelesaian
sengketa yang semakin umum digunakan. Klausul arbitrase sudah
semakin banyak dicantumkan dalam kontrak-kontrak dagang.30 Oleh
karena itulah prinsip ketiga ini memang relevan.
Goldštajn menguraikan kelebihan dan alasan mengapa
penggunaan arbitrase ini beliau jadikan prinsip dasar dalam hukum
perdagangan internasional:
“Moreover, to the extent that the settlement of differences is referred to arbitration, a uniform legal order is being created. Arbitration tribunals often apply criteria other than those applied in courts. Arbitrators appear more ready to interpret rules freely, taking into account customs, usage and business practice. Further, the fact that the enforcement of foreign arbitral awards is generally more easy than the enforcement of foreign court decisions is conducive to a preference for arbitration.”31
4. Prinsip Dasar Kebebasan Komunikasi (Navigasi)
Di samping tiga prinsip dasar tersebut, prinsip dasar
lainnya yang menurut penulis relevan adalah prinsip dasar yang
dikenal dalam hukum ekonomi internasonal, yaitu prinsip kebebasan
untuk berkomunikasi (dalam pengertian luas, termasuk di dalamnya
kebebasan bernavigasi). Komunikasi atau navigasi adalah kebebasan
para pihak untuk berkomunikasi untuk keperluan dagang dengan
siapa pun juga dengan melalui berbagai sarana navigasi atau
30
Lihat secara khusus, Rene David, Arbitration in International Trade, The Hague: Kluwer, 1985 (membahas panjang lebar tentang peran arbitrase dalam perdagangan internasional).
komunikasi, baik darat, laut, udara, atau melalui sarana
elektronik. Kebebasan ini sangat esensial bagi terlaksananya
perdagangan internasional. Aturan-aturan hukum (internasional)
memfasilitasi kebebasan ini.32
Dalam berkomunikasi untuk maksud berdagang ini kebebasan
para pihak tidak boleh dibatasi oleh sistem ekonomi, sistem
politik, atau sistem hukum. Bandingkan dengan pendapat profesor
Goldštajn di bawah ini ketika beliau membahas hubungan antara
sistem ekonomi dan politik dalam kaitannya dengan hukum
perdagangan internasional:
“The law governing trade transactions is neither capitalist nor socialist; it is a means to an end, and therefore, the
perdagangan internasional didasarkan pada prinsip-prinsip umum
yang diterima di seluruh dunia menyatakan seolah-seolah hukum
perdagangan internasional dapat diterima oleh sistem hukum di
dunia. Pendapat ini benar. Sarjana terkemuka lainnya, Profesor
Tammer, memperkuat pernyataan tersebut:
“The law of external trade of the countries of planned economy does not differ in its fundamental principles from the law of external trade of other countries, such as, e.g., Austria or Switzerland. Consequently, international trade law specialists of all countries have found without difficulty that they speak a ‘common language.”34
32 Lihat lebih lanjut, Huala Adolf,
Hukum Ekonomi Internasional: Suatu Pengantar, Jakarta: Rajawali pers, cet. 3, 2003, hlm. 29.
33
Schmitthoff, op.cit., (Commercial Law), hlm. 19.
34 Schmitthoff, ‘The Unification of the Law of Internatioal Trade,’
Hubungan-hubungan perdagangan internasional antar negara
sudah ada sejak lama. Hubungan-hubungan ini sudah ada sejak
adanya negara-negara dalam arti negara kebangsaan, yaitu
bentuk-bentuk awal negara dalam arti modern. Perjuangan negara-negara
ini untuk memperoleh kemandirian dan pengawasan (kontrol)
terhadap ekonomi internasional telah memaksa negara-negara ini
untuk mengadakan hubungan-hubungan perdagangan yang mapan dengan
negara-negara lainnya. Mereka menyadari bahwa perdagangan adalah
satu-satunya cara untuk pembangunan ekonomi mereka.35
Seperti telah dikemukakan di awal tulisan ini, sejak dulu
dan bahkan dewasa ini semakin banyak negara sadar bahwa kebijakan
menutup diri sudah jauh-jauh ditinggalkan. Pendirian ini semakin
mendorong negara untuk memperluas aktivitas perdagangannya.36
Cara pandang ini sedikit banyak dilatarbelakangi dan
dipengaruhi oleh beberapa aliran atau teori ekonomi. Pada awal
perkembangannya, terutama abad ke 15 dan 16, teori atau aliran
yang mula lahir adalah teori merkantilisme. Para merkantilis
berpendirian perdagangan internasional sebagai instrumen
kebijakan nasional. Mereka menekankan pentingnya ekspor
sebesar-besarnya dan menekan impor serendah-rendahnya. Keuntungan dari
selisih ekspor - impor merupakan keuntungan bagi negara (yang
waktu itu diwujudkan dalam bentuk emas).
Reaksi dari aliran itu adalah teori keunggulan komparatif
yang diperkenalkan oleh David Ricardo (1772-1823). Ricardo
menekankan spesialisasi dari hasil suatu produk. Smith menganggap
perdagangan internasional sebagai salah satu bagian dari
keunggulan komparatif (principle of comparative advantage). Teori
beliau menyatakan bahwa untuk menjadi pemain utama dalam
35
Rafiqul Islam, op.cit., hlm. 1.
perdagangan, faktor yang penting bukanlah ukuran, tetapi
bagaimana memaksimalkan potensi.37
Contoh klasik adalah Jepang. Dari segi geografis, kekayaan
alam dan luas wilayah, Jepang relatif kurang beruntung. Tetapi
dengan kekuatan manajemen dalam perdagangan internasionalnya,
negeri ini berhasil menjadikannya sebuah negara yang paling
penting di dunia dewasa ini.
Semakin luasnya aktivitas perdagangan ini yang dewasa ini
dikenal dengan "liberalisasi perdagangan", sistem keuangan atau
pasar internasional yang stabil untuk memberikan modal untuk
melaksanakan perdagangan internasional tersebut. Karena itu,
keterkaitan antara perdagangan internasional dan sistem keuangan
atau moneter internasional menjadi semakin penting.38
Tidak terlalu mengherankan apabila masyarakat internasional
kemudian menyelenggarakan konperensi Bretton Woods guna
mendirikan Bank Dunia - IMF untuk maksud ini. Berdirinya ke-2
lembaga keuangan ini semata-mata untuk menjaga agar sistem
moneter internasional dapat terpelihara (stabil) dan juga memberi
pinjaman jangka pendek guna menanggulangi kesulitan neraca
pembayaran yang disebabkan oleh adanya defisit perdagangan
ekspor-impor negara-negara.39 Krisis keuangan internasional pada
tahun 1970-an juga telah mempertegas pentingnya hubungan erat
ini.
Dalam upaya negara-negara ini meningkatkan pertumbuhan
ekonomi mereka, dewasa ini mereka cenderung membentuk blok-blok
perdagangan baik bilateral, regional maupun multilateral. Dalam
kecenderungan ini pun peran perjanjian internasional menjadi
semakin penting.40
37
Lihat misalnya, Ademuni-Odeke, Ibid., hlm. 3-4, M. Sanson, op.cit., hlm. 3; Jonathan Reuvid, op.cit., para. xv.
38 Rafiqul Islam, op.cit., hlm. 2.
39
yang mengatur perdagangan internasional di bidang barang, jasa
dan penamaman modal di antara negara-negara.41
Tujuan hukum perdagangan internasional sebenarnya tidak
berbeda dengan tujuan GATT (General Agreement on Tariffs and
Trade, 1947) yang termuat dalam Preambule-nya. Tujuan tersebut
adalah:
(a) untuk mencapai perdagangan internasional yang stabil dan
menghindari kebijakan-kebijakan dan praktek-praktek
perdagangan nasional yang merugikan negara lainnya.
(b) untuk meningkatkan volume perdaganan dunia dengan menciptakan
perdagangan yang menarik dan menguntungkan bagi pembangunan
ekonomi semua negara;
(c) meningkatkan standar hidup umat manusia; dan
(d) meningkatkan lapangan tenaga kerja.
Tujuan lainnya yang juga relevan adalah:
(e) untuk mengembangkan sistem perdagangan multilateral, bukan
sepihak suatu negara tertentu, yang akan mengimplementasikan
kebijakan perdagangan terbuka dan adil yang bermanfaat bagi
semua negara;42 dan
(f) meningkatkan pemanfaatan sumber-sumber kekayaan dunia dan
meningkatkan produk dan transaksi jual beli barang.43
Ada pula yang menyatakan bahwa aturan-aturan perdagangan
internasional juga pada analisis akhirnya akan menciptakan
perdamaian dan keamanan internasional. Hal ini antara lain
dinyatakan oleh Menteri Luar Negeri AS, Hull. Tesis ini tampaknya
41 Rafiqul Islam, op.cit., hlm. 2.
42 Rafiqul Islam, op.cit., hlm. 2. Lihat pula tujuan menurut Aleksander
benar. Manakala dua atau lebih negara berhubungan dan
bertransaksi dagang dan mereka memperoleh keuntungan dari
perdagangan tersebut, otomatis keadaan dunia menjadi sedikit
banyak lebih baik. Artinya, situasi dan kondisi dunia akan
semakin kondusif.
Sebenarnya tesis Hull tersebut sudah lama dikumandangkan
oleh Immanuel Kant, yang selama ini dikenal juga sebagi bapak
hukum internasional. Dalam tulisannya berjudul ‘On Eternal
Peace,’ Kant menyatakan bahwa ‘spirit of trade could not co-exist
with war.’44
Yang juga cukup menarik adalah tesis Hull di atas juga
telah cukup lama disadari di tanah air. Salah seorang kepala suku
Bugis ternama, yaitu Amanna Gappa, juga menyadari bahwa tujuan
(unifikasi) hukum dagang adalah untuk mencegah persaingan di
antara suku bangsanya dan juga memajukan kerjasama di antara
mereka guna kesejahteraan di antara mereka.45 Terjemahan saduran
hasil penelitian terhadap suku terkenal Bugis ini yang terkenal
dengan hukum pelayaran dan dagangnya tergambarkan sebagai
berikut:
“One of thse chiefs was Amanna Gappa (=father of Gappa) who headed his countrymen at Makassar. Most probably he was a very intelligent and energetic man and he may have been the first to realize the great importance of navigation and trade for his people as the only fields of endeavour in which they could earn a living. We may assume that this was the bacground of his taking initiative in inviting his colleagues from other parts of Indonesia in order to collect the different rules which were in force in their respective regions and to compile a uniform navigation and trade law. By doing so he tried to prevent heavy competition among his countrymen and to stimulate
co-operation for their own welfare.”46 (Huruf miring oleh
kami).
43
Cf., Preamble GATT dan Preamble Perjanjian WTO (Marrakesh Agreement Establishing The World Trade Organization).
44 Lihat, Lew and Stanbrook, Interational Trade: Law and Practice, Bath:
Euromoney, 1983, hlm. Xxi. 45
Kelemahan tersebut tampaknya juga dapat ditemui dalam
bidang-bidang hukum lainnya, yakni terdapatnya pengecualian-pengecualian
atau klausul-klausul 'penyelamat' yang bersifat memperlonggar
kewajiban-kewajiban hukum. Kelemahan spesifik tersebut yaitu:
(a) hukum perdagangan internasional sebagian besar bersifat
pragmatis dan permisif. Hal ini mengakibatkan aturan-aturan
hukum perdagangan internasional kurang obyektif di dalam
'memaksakan' negara-negara untuk tunduk pada hukum. Dalam
kenyataannya, negara-negara yang memiliki kekuatan politis dan
ekonomi memanfaatkan perdagangan sebagai sarana kebijakan
politisnya.
(b) Aturan-aturan hukum perdagangan internasional bersifat
mendamaikan dan persuasif (tidak memaksa). Kelemahan ini
sekaligus juga kekuatan bagi perkembangan hukum perdagangan
internasional yang menyebabkan atau memungkinkan perkembangan
hukum ini di tengah krisis.47
D. Perkembangan Hukum Perdagangan Internasional
Dari uraian di atas tampak bahwa hukum perdagangan
internasional telah ada sejak lahirnya negara dalam arti modern.
Sejak saat itu, hukum perdagangan internasional telah mengalami
perkembangan yang cukup pesat sesuai dengan perkembangan
hubungan-hubungan perdagangan.
Dilihat dari perkembangan sumber hukumnya (dalam arti
materil), maka perkembangan hukum perdagangan internasional dapat
dikelompokkan ke dalam 3 tahap, yakni:
(1) Hukum perdagangan internasional dalam masa awal pertumbuhan.
Hukum perdagangan internasional lahir pada awalnya dari
praktek para pedagang. Hukum yang diciptakan oleh para pedagang
ini lazim disebut pula sebagai lex mercatoria (law of merchant).48
Pada awal perkembangannya ini Lex Mercatoria tumbuh dari
adanya 4 faktor berikut:
(a) lahirnya aturan-aturan yang timbul dari kebiasaan dalam
berbagai pekan raya (the law of the fairs);
(b) lahirnya kebiasaan-kebiasaan dalam hukum laut;
(c) lahirnya kebiasaan-kebiasaan yang timbul dari praktek
penyelesaian sengketa-sengketa di bidang perdagangan; dan
(d) berperannya notaris (public notary) dalam memberi pelayanan
jasa-jasa hukum(dagang).49
(2) Hukum perdagangan internasional yang dicantumkan dalam hukum
nasional
Dalam tahap perkembangan ini, negara-negara mulai sadar
perlunya pengaturan hukum perdagangan internasional. Mereka lalu
mencantumkan aturan-aturan perdagangan internasional dalam kitab
48
United Nations, Progressive Development of the Law of Internatoinal Trade: Report of the Secretary-General of the United Nations, 1966, para. 20; Chia-Jui Cheng (ed.), Clive M. Schmitthoff's Select Essay on International Trade Law, Doredrecht/Boston/London: Martinus Nijhoff & Graham & Trotman, 1988, hlm. 21.
49 Schmitthoff, “The Unification of the Law of International Trade,”
adopsi dari lex mercatoria. Misalnya saja Perancis membuat Kitab
Undang-undang Hukum Dagang-nya (code de commerce) tahun 1807,
Jerman menerbitkan Allgemeine Handelsgezetbuch tahun 1861, dll.50
(3) Lahirnya aturan-aturan hukum perdagangan internasional dan
Munculnya Lembaga-lembaga Internasional yang mengurusi
Perdagangan Internasional.
Dalam perkembangan ketiga ini, aturan-aturan hukum
perdagangan internasional lahir sebagian besar karena dipengaruhi
oleh semakin banyaknya berbagai perjanjian internasional yang
ditandatangani baik secara bilateral, regional, maupun
multilateral.51
Secara khusus tahap ketiga ini muncul secara signifikan
setelah berakhirnya Perang Dunia II. Salah satu perjanjian
multilateral yang ditandangani pada masa ini adalah disepakati
lahirnya GATT tahun 1947. Tahap ketiga ini disebut juga dengan
tahap “internationalism”. Schmitthoff menyatakan sebagai berikut:
“We are beginning to rediscover the international character of commercial law and the circle now contemplates itself: the general trend of commercial law everywhere is to move away from the restrictions of national law to a universal, international conception of the law of international trade.”52
Sejak berdiri hingga dewasa ini aturan-aturan perdagangan
GATT telah berkembang dan mengalami pembangunan yang cukup
penting. Bahkan dalam putaran perundingan tahun 1986-1994,
negara-negara anggota GATT telah sepakat untuk membentuk suatu
badan atau lembaga internasional baru, yaitu WTO.
Perubahan dari GATT ke WTO berdampak luas terhadap bidang
hukum perdagangan internasional. Alasannya, bidang pengaturan
50 United Nations, op.cit., para. 20; Chia-Jui Cheng (ed.), op.cit., hlm. 48.
51
United Nations, op.cit., para. 20.
52 Schmitthoff, “The Unification of the Law of International Trade,”
yang tercakup di dalam WTO sekarang ini adalah kompleks. Ia tidak
semata-mata lagi mengatur tarif dan barang, tetapi juga mengatur
jasa, hak kekayaan intelektual, penanaman modal, lingkungan,
dll.53
Ciri kedua dalam perkembangan tahap ketiga ini yakni
munculnya organisasi internasional. Salah satu badan yang
menonjol adalah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Sebetulnya
peran PBB di bidang perdagangan internasional tidaklah langsung.
Peran PBB di bidang ekonomi dan perdagangan ini termuat dalam
pasal 1:3 Piagam PBB, yakni aturan tentang tujuan PBB yakni
mencapai kerjasama internasional di dalam antara lain
menyelesaikan masalah-masalah ekonomi internasional.
Tujuan-tujuan PBB di atas diupayakan pemenuhannya melalui
berbagai langkah berikut:
i. Negara-negara anggota PBB mendirikan the United Nations
Conference on Trade and Development (UNCTAD) pada tahun 1964.
Tujuan utamanya adalah untuk memberikan kesempatan yang lebih
besar kepada negara sedang berkembang untuk ikut serta dalam
merumuskan kebijakan-kebijakan perdagangan, dengan memperhatikan
kepentingan-kepentingan khusus negara-negara sedang berkembang
ini.54
ii. negara-negara anggota PBB mengesahkan the Charter of Economic
Rights and Duties of States pada tahun 1974 (serta disahkannya
the Declaration and Programme of Action on the Establishment of
the New International Economic Order). Pembentukan Piagam ini
diawali dengan langkah Majelis Umum PBB mengesahkan the
International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights
pada tahun 1966.
53
Uraian tentang perkembangan dari GATT ke WTO, lihat antara lain: Ray August, Internatoinal Business Law: Text, Cases and Readings, New Jersey: Prentice Hall, 3rd.ed., 2000, hlm. 355-360.
di bidang perdagangan, keuangan dan penanaman modal.55
Ciri ketiga yang juga menonjol adalah disepakatinya
pendirian badan-badan ekonomi regional di suatu kawasan region
tertentu. Blok perdagangan regional yang mula-mula membawa
pengaaruh cukup luas adalah the European Single Market (1992) dan
segera diikuti oleh blok perdagangan Amerika Utara (The North
American Free Trade Agreeement atau NAFTA) (1994).
Di kawasan Asia Tenggara, negara-negara ASEAN mengikuti
langkah serupa dengan membentuk Asean Free Trade Area (AFTA).
AFTA berlaku efektif sejak 1 Januari 2003.56
Kecenderungan pembentukan kelompok-kelompok regional ini di
satu sisi positif. Namun di sisi lain organisasi-organisasi
regional tersebut menimbulkan kekhawatiran dari masyarakat
internasional karena terdapatnya blok-blok perdagangan tersebut
melahirkan peraturan-peraturan regional eksklusif yang ternyata
menyimpangi ketentuan-ketentuan umum yang terdapat dalam
GATT/WTO.
55
Rafiqul Islam, op.cit., hlm. 6.
56 Uraian lebih lanjut mengenai AFTA ini lihat: Huala Adolf,
E. Unifikasi dan Harmonisasi Hukum Perdagangan Internasional
1. Perlunya Unifikasi dan Harmonisasi Hukum
Di atas dikemukakan bahwa negara-negara mencantumkan
atuaran-aturan hukum perdagangan internasional dalam hukum
nasionalnya. Aturan-aturan hukum nasional di bidang perdagangan
internasional ini karenanya menjadi sumber hukum yang cukup
penting dalam hukum perdagangan internasional.
Tetapi adanya berbagai aturan hukum nasional ini sedikit
banyak kemungkinan dapat berbeda antara satu sama lainnya.
Perbedaan ini kemudian dikhawatirkan akan juga mempengaruhi
kelancaran transaksi perdagangan itu sendiri.
Masalah ini sebelumnya sudah cukup lama disadari oleh
bangsa-bangsa di dunia, termasuk organisasi dunia PBB. Dalam
resolusi Majelis Umum PBB No 2102 (XX), PBB menyatakan bahwa:
"Conflicts and divergencies arising from the laws of different
states in matters relating to international trade constitute an
obstacle to the development of world trade."57
Untuk menghadapi masalah ini, sebenarnya ada 3 teknik yang
dapat dilakukan. Pertama, negara-negara sepakat untuk tidak
menerapkan hukum nasionalnya. Sebaliknya mereka menerapkan hukum
perdagangan internasional untuk mengatur hubungan-hubungan hukum
perdagangan mereka.
Kedua, apabila aturan hukum perdagangan internasional tidak
ada dan atau tidak disepakati oleh salah satu pihak, maka hukum
nasional suatu negara tertentu dapat digunakan. Cara penentuan
hukum nasional yang akan berlaku dapat digunakan melalui
penerapan prinsip choice of laws. Choice of Laws adalah klausul
pilihan hukum yang disepakati oleh para pihak yang dituangkan
dalam kontrak (internasional) yang mereka buat.58
57 United Nations, op.cit., para. 14.
58
perdagangan internasional.59 Teknik ketiga ini dipandang cukup
efisien. Cara ini memungkinkan terhindarnya konflik di antara
sistem-sistem hukum yang dianut oleh masing-masing negara.
Kedua kata ini hampir sama maksudnya, namun ada nuansa atau
perbedaan yang perlu untuk dicatat. Kedua kata sama-sama berarti
upaya atau proses menyeragamkan substansi pengaturan
sistem-sistem hukum yang ada. Penyeragaman tersebut mencakup
pengintegrasian sistem hukum yang sebelumnya berbeda.
Perbedaan kedua kata tersebut terletak pada derajat
penyeragaman tersebut. Dalam unifikasi hukum, penyeragaman
mencakup penghapusan dan penggantian suatu sistem hukum dengan
sistem hukum yang baru.60 Contohnya adalah pemberlakuan Perjanjian
TRIPS/WTO.
Dengan diperkenalkannya substansi bidang-bidang perjanjian
TRIPS/WTO yang mencakup ketentuan mengenai hak cipta, merek
dagang, indikasi geografis, disain industri, paten, dll.,
meletakkan kewajiban kepada negara anggota untuk membuat
aturan-aturan HAKI nasionalnya yang sesuai dengan substansi perjanjian
TRIPS/WTO.
(Sudargo Gautama menulis: “Tegaslah apabila tidak dilakukan pilihan hukum, maka berbagai kemungkinan dan berbagai kesulitan yang akan timbul tentang hukum yang harus dipakai ii. Maka para lawyers condong untuk selalu menganjurkan para clientnya jangan lewati kesempatan untuk menentukan hukum yang berlaku itu. Dan jika mungkin, maka kamu harus selalu pakai hukum nasional dari negaramu sendiri karena ini adalah hukum yang paling kamu kenal dan paling dikenal oleh Hakim-Hakim yang akan mengadili perkaramu itu”).
59
United Nations, op.cit., para. 15.
Harmonisasi hukum tidak sedalam unifiksi hukum. Tujuan
utama harmonisasi hukum hanya berupaya mencari keseragaman atau
titik temu dari prinsip-prinsip yang bersifat fundamental dari
berbagai sistem hukum yang ada (yang akan diharmonisasikan).61
Untuk dapat melaksanakan unifikasi dan harmonisasi hukum
ini karenanya hanya dapat dicapai oleh para ahli hukum yang
mendalami atau menguasai perbandingan hukum. Upaya ini dapat
dilakukan oleh suatu tim ahli perbandingan hukum yang terdiri
dari para ahli hukum yang berlatar belakang sistem hukum yang
berbeda-beda yang hendak diupayakan unifikasi dan harmonisasi
hukumnya.
Dalam upaya unifikasi dan harmonisasi hukum, masalah
esensialnya adalah bagaimana metode yang akan diterapkannya.
Dalam kaitan itu, masalah-masalah mengenai perbedaan konsepsi dan
perbedaan bahasa yang terdapat dalam berbagai sistem hukum
tersebut hanya dapat ditanggulangi dengan cara menerapkan metoda
komparatif.62
Menurut Schmitthoff, dalam metode komparatif, dikenal 3
metode, yaitu metode dengan memberlakukan:
a. perjanjian/konvensi internasional (international convention);
b. hukum seragam (uniform laws); dan
c. aturan seragam (uniform rules).63
Ad. a. Perjanjian atau Konvensi Internasional
Penerapan atau pemberlakuan perjanjian atau konvensi
internasional adalah cara yang paling banyak digunakan dalam
61 Chia-Jui Cheng (ed.), op.cit., hlm. 109.
62 Chia-Jui Cheng (ed.), op.cit., hlm. 109.
dalam sistem hukum nasional.64 Pemberlakuan perjanjian TRIPS/WTO
di atas merupakan salah satu contoh.
Gambaran lainnya adalah CISG 1980 atau Konvensi mengenai
Kontrak Jual Beli Barang Internasional. Konvensi ini dapat
dipandang sebagai upaya mengunifikasi hukum kontrak jual beli
barang internasional. Para perancang konvensi ini telah berupaya
mengkawinkan prinsip-prinsip kontrak yang dikenal dalam sistem
hukum Civil Law dan sistem hukum Common Law.
Salah satu pembatasan cara ini adalah adanya kehendak dari
sesuatu negara untuk mengikatkan diri atau meratifikasi
perjanjian atau konvensi internasional tersebut. Dalam
kenyataannya, untuk mencapai kehendak tersebut banyak bergantung
pada faktor ekonomi, politis, juridis, dll.
b. Hukum seragam (Uniform Laws)
Hukum seragam tidak lain adalah model-model hukum yang
dapat kita lihat misalnya dalam model hukum arbitrase UNCITRAL
1985 (Model Law on International Commercial Arbitration). Model
hukum ini memberikan keleluasaan kepada negara-negara yang hendak
menerapkannya ke dalam hukum nasionalnya.
Keleluasaan tersebut mencakup keleluasaan kepada negara
yang bersangkutan apakah akan menerapkan secara penuh
aturan-aturan substantif Model Law. Kemungkinan lain, negara tersebut
memutuskan untuk menerapkannya dengan melakukan beberapa revisi
atau menerapkan beberapa pengecualian terhadap aturan-aturan di
dalamnya.
Sifat hukum seragam tidak mengikat. Ia hanya bersifat
persuasif. Karena itu derajat pengadopsian atau penerapannya
sangat bergantung kepada masing-masing negara. Model hukum ini
memberi sumbangan bagi perbaikan kualitas (lembaga-lembaga) hukum di suatu negara (ibid).
karena itu berbeda dengan perjanjian atau konvensi internasional.
Pada saat suatu negara turut serta, aksesi atau meratifikasi
suatu perjanjian atau konvensi internasional, maka pada
prinsipnya seluruh aturan perjanjian mengikat negara tersebut.
c. Aturan Seragam (Uniform Rules)
Aturan-aturan seragam lebih rendah tingkatannya daripada
hukum seragam (Uniform Laws). Bentuk aturan seragam tampak antara
lain dalam modal-model kontrak standar atau kontrak baku. Contoh
bentuk aturan seperti ini adalah the Uniform Customs and Practice
for Documentary Credits (1974) yang dikeluarkan oleh ICC. Aturan
hukum ini telah diterapkan dan dipraktekkan oleh para subyek
hukum perdagangan internasional di dunia.65
Bentuk lainnya adalah klausul standar (baku) yang
dicantumkan oleh para pihak dalam kontrak-kontrak yang mereka
buat.66 Tidak jarang pula lembaga-lembaga atau asosiasi-asosiasi
memperkenalkan klausul-klausul yang perlu dicantumkan dalam suatu
kontrak apabila para pihak hendak memanfaatkan fasilitas lembaga
atau asosiasi yang bersangkutan.
Hal ini antara lain banyak ditemui dalam klausul-klausul
arbitrase baik nasional maupun asing. Klausul-kluasul standar
arbitrase tersebut dimaksudkan agar para pihak tidak perlu lagi
merancang klausul choice of forum-nya, dalam hal ini arbitrase.67
Bagaimana unifikasi dan harmonisasi dapat bekerja, agak
sulit untuk dipaparkan di sini. Namun demikian, Katerina Pistor,
guru besar di Columbia Law School, mengemukakan istilah yang
dinamakannya standardization of law (standardisasi hukum).
Maksud standardisasi di sini mengacu kepada suatu tahap
dari kekhususan dari suatu hukum (the level of specificity of
law). Standar hanya mencakup prinsip-prinsip hukum (legal
65 Chia-Jui Cheng (ed.), op.cit., hlm. 111.
66
Chia-Jui Cheng (ed.), op.cit., hlm. 111.
Upaya unifikasi dan harmonisasi hukum ini telah cukup
serius dilakukan khususnya oleh the World Trade Organization
(WTO), the International Institute for the Unification of Private
Law (UNIDROIT), The Hague Conference of Private International Law
dan PBB khususnya the United Nations Commission on International
Trade Law (UNCITRAL) dan the United Nations Conference on
International Trade and Law (UNCTAD).
Di samping itu terdapat pula lembaga-lembaga internasional
non-pemerintah yang juga berkepentingan dengan upaya unifikasi
dan harmonisasi hukum perdagangan internasional, yakni, antara
lain, International Chamber of Commerce (ICC atau Kamar Dagang
Internasional), dan International Law Association (ILA atau
Asosiasi Hukum Internasional).69
2. Lembaga-lembaga yang Bergerak dalam Unfikasi dan Harmoniasi Hukum
Berikut adalah uraian secara ringkas beserta upaya
badan-badan atau organisasi-organisasi internasional tersebut di bidang
unifikasi dan harmonisasi hukum perdagangan internasional. Tidak
semua upaya badan atau organisasi internasional akan diuraikan.
Pembahasan dibatasi pada WTO, UNCITRAL, UNIDROIT dan ICC.
68
Katarina Pistor, op.cit., hlm 97.
69 Schmitthoff, op.cit., “Commercial Law,” hlm. 24 (beliau mengemukakan
a. World Trade Organization (WTO)
1. Pengantar
World Trade Organization atau WTO dihasilkan dari Putaran
Uruguay GATT (1986-1993). Organisasi ini memiliki kedudukan yang
unik karena ia berdiri sendiri dan terlepas dari badan kekhususan
PBB.
Pembentukan WTO ini merupakan realisasi dari cita-cita lama
negara-negara pada waktu merundingkan GATT pertama kali (1948).
Yakni hendak mendirikan suatu organisasi perdagangan internasional
(yang dulu namanya adalah International Trade Organization atau
ITO).
Struktur WTO akan dikepalai oleh suatu badan tertinggi yang
disebut Konperensi Tingkat Menteri (Ministerial Conference). Badan
ini akan bersidang sedikitnya sekali dalam dua tahun. Badan ini
terdiri dari para perwakilan dari semua anggota WTO. Semua
keputusan mengenai kebijakan yang berkaitan dengan perdagangan
multilateral dilakukan melalui badan ini.
Untuk pelaksanaan pekerjaannya sehari-hari, badan tertinggi
ini dibantu oleh badan-badan kelengkapan utama, yaitu Dewan Umum
(General Council) yang terdiri dari semua anggota WTO. Badan ini
bertugas memberikan laporan mengenai kegiatan-kegiatannya kepada
the Ministerial Conference.
General Council memiliki dua fungsi lainnya. Pertama, sebagai
suatu Badan Penyelesaian sengketa (Dispute Settlement Body).
Fungsi kedua, sebagai badan peninjau kebijakan perdagangan
negara-negara anggota GATT (Trade Policy Review Body).
Selain itu, badan ini juga bertugas mengamati masalah-masalah
perdagangan yang akan dicakup oleh WTO. Ia akan menetapkan tiga
badan subsider yakni The Council for Trade in Goods, Council for
Trade in Services, dan Council for TRIPs.
The Council for Trade in Goods mengawasi pelaksanaan dan
berfungsinya semua perjanjian mengenai perdagangan barang (Annex
dengan perjanjian WTO dan badan-badan tersebut dapat mendirikan
badan-badan subsider lainnya manakala dipandang perlu.
Tiga badan lainnya didirikan oleh the Ministerial Conference
dan mereka melaporkan pekerjaannya kepada the General Council.
Ketiga badan tersebut adalah the Committee on Trade and
Development, yakni badan yang bertanggung jawab untuk
masalah-masalah yang terdapat di negara-negara sedang berkembang. Kedua,
the Committee on Balance of Payments bertanggung jawab untuk
menyelenggarakan konsultasi di antara negara-negara anggota WTO
dan negara-negara yang melaksanakan tindakan-tindakan restriktif
perdagangan (Pasal XII dan XVII GATT), yakni tindakan- tindakan
untuk menghadapi kesulitan-kesulitan neraca pembayarannya.
Ketiga, the Committee on Budget, Finance and Administration
bergerak dalam mengatur masalah-masalah keuangan dan anggaran
WTO.70
Di samping badan tersebut, WTO membentuk pula
badan-badan khusus yang mengawasi pelaksanaan perjanjian-perjanjian
plurilateral (yang sifatnya sukarela), yakni badan untuk
perdagangan pesawat udara sipil, badan untuk pengadaan barang
pemerintah (government procurement), badan untuk produk susu dan
daging (dairy products and bovine meat). Badan-badan khusus ini
melaporkan tugas-tugasnya kepada the General Council.
Sekretariat WTO berkedudukan di Jenewa, Swiss. Sampai tulisan
ini dibuat, Sekretariat WTO memiliki sekitar 450 staf dan diketuai
oleh seorang Direktur Jenderal (Diretor General) dan 4 orang
pembantu Direktur Jenderal.
Dalam membuat putusan, WTO melanjutkan praktek yang telah
lama dilakukan dalam GATT, yaitu melalui konsensus. Namun dalam
hal konsensus ini gagal, maka putusan akan diambil melalui
pemungutan suara atau voting.
70
Di samping itu, ada 4 hal atau situasi dalam perjanjian WTO
yang memungkinkan dilakukannya voting. Pertama, mayoritas 2/3 dari
anggota WTO diperlukan untuk mengesahkan suatu penafsiran
perjanjian perdagangan multilateral.
Kedua, mayoritas 2/3 dari anggota WTO diperlukan bagi the
Ministerial Conference untuk memutuskan penanggalan suatu
kewajiban yang dikenakan terhadap suatu negara oleh suatu
perjanjian multilateral.
Ketiga, keputusan untuk merubah ketentuan perjanjian
multilateral dapat disahkan melalui kesepakatan seluruh anggotanya
atau melalui mayoritas 2/3 dari anggota WTO. Perubahan-perubahan
demikian hanyalah berlaku bagi negara-negara yang menerimanya
saja.
Keempat, suatu mayoritas 2/3 dari negara anggota WTO
diperlukan untuk menerima masuknya suatu negara menjadi anggota
WTO.71
2. Kebijakan Unifikasi dan Harmonisasi WTO
WTO adalah salah satu contoh yang telah di sebut di atas,
di mana unifikasi aturan-aturan atau hukum perdagangan
internasional diterapkan terhadap negara-negara anggotanya. Pasal
XVI Perjanjian Pembentukan WTO menyatakan: "Each member shall
ensure the conformity of its laws, regulations and administrative
procedures with its obligations as provided in the annexed
Agreements." (Pasal XVI ayat 4 Agreement Establishing the World
Trade Organization).
Ketentuan pasal tersebut menjadi indikator penting
bagaimana WTO mewajibkan negara-negara anggotanya untuk
menyesuaikan aturan-aturan atau hukum perdagangannya dengan
aturan-aturan yang termuat dalam Annex perjanjian WTO. Bahkan
ketentuan pasal XVI tersebut juga mewajibkan negara anggotanya
untuk menyesuaikan administrative procedures-nya (birokrasi)
sesuai dengan administrative procedure-nya WTO.
71
Perjanjian-perjanjian yang termuat dalam lampiran (Annex)
WTO adalah perjanjian dalam TRIPS (telah diuraikan secara singkat
di atas). Perjanjian-perjanjian lainnya adalah:
GATT 1994; Agreement on Agriculture; Sanitary and Phytosanitary
Measures; Textiles and Clothing; Technical Barriers to Trade;
Trade-Related Investment Measures (TRIMs); Anti-dumping (Article
VI of GATT 1994); Customs valuation (Article VII of GATT 1994);
Preshipment Inspection; Rules of Origin; Import Licensing;
Subsidies and Countervailing Measures; Safeguards; General
Agreement on Trade in Services (GATS); Trade-Related Aspects of
Intellectual Property Rights (TRIPS); Dispute Settlement
Understanding.
Sebenarnya di samping unifikasi hukum, WTO juga berupaya
mendorong harmonisasi hukum, termasuk harmonisasi standar-standar
teknis-nya. Upaya harmonisasi ini telah lama diupayakan GATT
(pendahulu WTO). Pada tahun 1979, GATT berhasil mengeluarkan The
GATT Code on Technical Standards (Standard Code).
Aturan Standard Code ini mendorong negara-negara anggotanya
untuk mengharmonisasikan standar-standar produk domestiknya.
Upaya ini ditempuh agar kebijakan negara-negara mengenai standar
produk tidak malah menjadi penghalang bagi perdagangan dunia.72
Perjanjian lainnya yang dapat digolongkan ke dalam
harmonisasi hukum adalah perjanjian-perjanjian yang berada di
bawah 'Plurilateral Agreement'(Annex 4 Perjanjian WTO).
Perjanjian-perjanjian ini adalah: Agreement on Trade in Civil
Aircraft (Annex 4 (a)); Agreement on Government Procurement
(Annex 4 (b)); International Dairy Agreement (Annex 4 (c));
International Bovine Meat Agreement (Annex 4 (d)).
72 Michael Trebilcock and Robert Howse,
b. The International Institute for the Unification of Private Law (UNIDROIT).
1. Pengantar
The International Institute for the Unification of Private
Law (UNIDROIT) adalah sebuah organisasi antar pemerintah yang
sifatnya independen. UNCITRAL dibentuk pada tahun 1926 sebagai
suatu badan pelengkap Liga Bangsa-Bangsa (LBB). Sewaktu LBB
bubar, UNIDROIT dibentuk kembali pada tahun 1940 berdasarkan
suatu perjanjian multilateral yakni Statuta UNIDROIT (the
UNIDROIT Statute). UNIDROIT berkedudukan di kota Roma.
Tujuan utama pembentukannya adalah melakukan kajian untuk
memodernisasi, mengharmonisasi dan mengkoordinasikan hukum
privat, khususnya hukum komersial (dagang) di antara negara atau
di antara sekelompok negara.
Keanggotaan UNIDROIT terbatas hanya untuk negara-negara
yang menundukkan dirinya kepada Statuta UNIDROIT. Negara-negara
ini berasal dari 5 benua dan mewakili berbagai sistem hukum,
ekonomi, politik dan budaya yang berbeda.
Dewasa ini UNIDROIT memiliki 59 negara anggota, yakni:
Argentina, Australia, Austria, Belanda, Belgium, Bolivia, Brazil,
Bulgaria, Canada, Chile, China, Colombia, Croatia, Cuba, Cyprus,
Republik Czech, Denmark, Mesir, Estonia, Federasi Rusia
Finlandia, Perancis, Jerman, Holy See (Tahta Suci), Hungaria,
India, Iran, Iraq, Ireland, Israel, Italy, Japan, Luxembourg,
Malta, Mexico, Nikaragua, Nigeria, Norwegia, Pakistan, Paraguay,
Poland, Portugal, Republik Korea, Romania, San Marino, Slovakia,
Slovenia, Africa Selatan, Spanyol, Swedia, Swiss, Tunisia, Turki,
Inggris, Amerika Serikat, Uruguay, Venezuela, Yugoslavia (Federal
Republic of), Yunani.
2. Kebijakan Harmonisasi dan Unifikasi UNIDROIT
Tujuan utama UNIDROIT sebenarnya adalah mempersiapkan
harmonisasi aturan-aturan hukum privat. Upaya ini dipandang
Masalahnya adalah peraturan tersebut bisa saja berbeda antara
satu aturan hukum dengan aturan hukum lainnya. Karen itu aturan
tersebut perlu diharmonisasi, atau bahkan diunifikasi guna
memperlancar perdagangan internasional.
Masalahnya adalah harmonisasi atau unifikasi hukum tersebut
banyak bergantung kepada keinginan dan kerelaan negara-negara
untuk mau menerimanya.
Meskipun menyadari adanya kesulitan upaya tersebut,
UNIDROIT memiliki kedudukannya yang menguntungkan sebagai
organsiasi antar pemerintah. Dalam kaitan ini, UNDIROIT
menerapkan pemberlakuan konvensi atau perjanjian internasional
yang mensyaratkan penerimaan dari negara-negara anggotanya.
Tujuannya adalah menerapkan aturan-aturan konvensi tersebut ke
dalam sistem hukum negara-negara anggota yang menundukkan dirinya
kepada konvensi tersebut.
Penerimaan suatu aturan konvensi oleh negara akan jauh
lebih memudahkan pemberlakuan aturan-aturan konvensi tersebut ke
dalam wilayah negara anggotanya (termasuk kepada warga negara
atau subyek-subyek hukum di wilayah negara tersebut).
3. Konvensi atau Perjanjian Yang Dihasilkan UNIDROIT
Selama berdiri UNIDROIT telah melakukan lebih dari 70
kajian. Kajian-kajian ini ada yang telah menghasilkan berbagai
perjanjian atau konvensi internasional berikut:
(1) Convention relating to a Uniform Law on the Formation of
Contracts for the International Sale of Goods (The Hague
1964);
(2) Convention relating to a Uniform Law on the International
Sale of Goods (The Hague, 1964);
(3) International Convention on the Travel Contract (Brussels,