• Tidak ada hasil yang ditemukan

1 HUKUM PERDAGANGAN INTERNASIONAL Prinsi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "1 HUKUM PERDAGANGAN INTERNASIONAL Prinsi"

Copied!
214
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

!

" "

# " " $

% " " #

%

& ' "

" ( " #

) * #

+

* #

, #

# "

- $ .//0

(3)

iii

Daftar Isi

BAB I PENGANTAR HUKUM PERDAGANGAN INTERNASIONAL A. Pengantar dan Definisi

1. Definisi

a. Definisi Schmitthoff b. Definisi Rafiqul Islam c. Definisi Michelle Sanson d. Definisi Hercules Booysen

2. Pendekatan Hukum Perdagangan Internasional

a. Hubungan Hukum Perdagangan Internasional dan Bidang Hukum Lainnya

b. Hukum Perdagangan Internasional bersifat Interdisipliner B. Prinsip-prinsip Hukum Perdagangan Internasional

1. Prinsip Dasar Kebebasan Berkontrak 2. Prinsip Dasar Pacta Sunt Servanda

3. Prinsip Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase 4. Prinsip Kebebasan Komunikasi (Navigasi)

C. Eksistensi dan Tujuan Hukum Perdagangan Internasional D. Perkembangan Hukum Perdagangan Internasional

E. Unifikasi dan Harmonisasi Hukum Perdagangan Internasional

1. Perlunya Unifikasi dan Harmonisasi Hukum Perdagangan Internasional

2. Lembaga-lembaga Yang Bergerak dalam Unifikasi dan Harmonisasi Hukum

a. World Trade Organization (WTO)

b. The International Institute for the Unification of Private Law (UNIDROIT)

c. The United Nations Commission on International Trade Law (UNCITRAL)

d. Kamar Dagang Internasional (ICC) F. Penutup

BAB II. SUBYEK HUKUM PERDAGANGAN INTERNASIONAL A. Pengantar

(4)

A. Pengantar

B. Sumber Hukum Perdagangan Internasional 1. Perjanjian Internasional

2. Hukum Kebiasaan Internasional 3. Prinsip-prinsip Hukum Umum

4. Putusan Badan Pengadilan dan Doktrin 5. Kontrak

6. Hukum Nasional C. Penutup

BAB IV. ATURAN-ATURAN HUKUM PERDAGANGAN MENURUT GATT A. Pengantar

BAB V. LETTER OF CREDIT DALAM HUKUM PERDAGANGAN INTERNASIONAL A. Pengantar

2. Penerapan Persyaratan Hukum terhadap Pesan Data 3. Kekuatan Pembuktian Pesan Data

4. Penyimpanan Pesan Data 5. Komunikasi Pesan Data

6. Bentuk dan Keabsahan Kontrak 7. Pengakuan terhadap Pesan Data 8. Pengakuan Penerimaan

9. Waktu dan Tempat Pengiriman dan Penerimaan Pesan Data 10. Bagian II: Obyek tertentu: Pengiriman Brg

11. Dokumen Pengangkutan (Bill of Lading)

12. Tanda Tangan Digital dan Pejabat Verifikasi D. Penutup

(5)

v

A. Pengantar

B. Para Pihak dalam Sengketa

C. Prinsip-prinsip Penyelesaian Sengketa

1. Prinsip Kesepakatan Para Pihak (Konsensus)

2. Prinsip Kebebasan Memilih Cara-cara Penyelesaian Sengketa 3. Prinsip Kebebasan Memilih Hukum

4. Prinsip Itikad Baik (Good Faith) 5. Prinsip Exhaustion of Local Remedies D. Forum Penyelesaian Sengketa

1. Negosiasi 2. Mediasi 3. Konsiliasi 4. Arbitrase

5. Pengadilan (Nasional dan Internasional) E. Hukum Yang Berlaku

1. Pengantar

2. Kebebasan Para Pihak

F. Pelaksaan Putusan Sengketa Dagang 1. Pengantar

1. Pelaksanaan Putusan APS

2. Pelaksanaan Putusan Arbitrase (Asing) 3. Pelaksanaan Putusan Pengadilan

(6)

PENGANTAR HUKUM PERDAGANGAN INTERNASIONAL

A. Pengantar dan Definisi

Hukum perdagangan internasional adalah bidang hukum yang

berkembang cepat. Ruang lingkup bidang hukum ini pun cukup luas.

Hubungan-hubungan dagang yang sifatnya lintas batas dapat

mencakup banyak jenisnya. Dari bentuknya yang sederhana, yaitu

dari barter, jual beli barang atau komoditi (produk-produk

pertanian, perkebunan, dan sejenisnya), hingga hubungan atau

transaksi dagang yang kompleks.

Kompleksnya hubungan atau transaksi dagang internasional

ini sedikit banyak disebabkan oleh adanya jasa teknologi

(khususnya teknologi informasi). Sehingga, transaksi-transaksi

dagang semakin berlangsung dengan cepat. Batas-batas negara bukan

lagi halangan dalam bertransaksi. Bahkan dengan pesatnya

teknologi, dewasa ini para pelaku dagang tidak perlu mengetahui

atau mengenal siapa rekanan dagangnya yang berada jauh di belahan

bumi lain. Hal ini tampak dengan lahirnya transaksi-transaksi

yang disebut dengan e-commerce.

Ada berbagai motif atau alasan mengapa negara atau subyek

hukum (pelaku dalam perdagangan) melakukan transaksi dagang

internasional. Yang menjadi fakta adalah bahwa perdagangan

internasional sudah menjadi tulang punggung bagi negara untuk

menjadi makmur, sejahtera dan kuat. Hal ini sudah banyak terbukti

dalam sejarah perkembangan dunia.

Besar dan jayanya negara-negara di dunia tidak terlepas

dari keberhasilan dan aktivitas negara-negara tersebut di dalam

perdagangan internasional. Sebagai satu contoh, kejayaan Cina

masa lalu tidak terlepas dari kebijakan dagang yang terkenal

dengan nama ‘Silk Route’ atau jalan suteranya. Silk Route tidak

(7)

saudagar-saudagar Cina untuk berdagang dengan bangsa-bangsa lain di

dunia.1

Setelah kejayaan Cina, menyusul negara-negara lain seperti

Spanyol dengan Spanish Conquistadors-nya, Inggris dengan The

British Empire-nya (beserta perusahaan multinasionalnya yang

pertama di dunia, yakni ‘the East-India Company’, Belanda dengan

VOC-nya, dll. Kejayaan negara-negara ini tidak terlepas dari

kebijakan pemerintahnya untuk melakukan transaksi dagang

internasional.

Kesadaran untuk melakukan transaksi dagang internasional

ini juga telah cukup lama disadari oleh para pelaku pedagang di

tanah air sejak. Adalah Amanna Gappa, seorang kepala suku Bugis

yang sadar akan pentingnya dagang (dan pelayaran) bagi

kesejahteraan sukunya. Keunggulan suku bugis dalam berlayar

dengan hanya menggunakan perahu-perahu bugis yang kecil telah

mengarungi lautan luas hingga ke Malaya (sekarang menjadi wilayah

Singapura dan Malaysia).2

Yang menjadi esensi untuk bertransaksi dagang ini adalah

dasar filosofinya. Telah dikemukakan bahwa berdagang ini adalah

1 Jonathan Reuvid, (ed.), The Strategic Guide to International Trade, London: Kogan Page, 1997, para. xv.

(8)

kebebasan ini siapa saja harus memiliki kebebasan untuk

berdagang. Kebebasan ini tidak boleh dibatasi oleh adanya

perbedaan agama, suku, kepercayaan, politik, sistem hukum, dll.

Piagam Hak-hak dan Kewajiban Negara (Charter of Economic

Rights and Duties of States) juga mengakui bahwa setiap negara

memiliki hak untuk melakukan perdagangan internasional. (“Every

State has the right to engage in international trade”) (Pasal 4).

3 Lihat buku penulis, Huala Adolf,

(9)

1. Definisi

Cepatnya perkembangan bidang hukum ini ternyata masih belum

ada kesepakatan tentang definisi untuk bidang hukum ini. Hingga

dewasa ini terdapat berbagai definisi yang satu sama lain

berbeda.

a. Definisi Schmitthoff

Definisi pertama adalah definisi yang dikeluarkan oleh

Sekretaris Jenderal PBB dalam laporannya tahun 1966.4 Definisi

ini sebenarnya adalah definisi buatan seorang guru besar ternama

dalam hukum dagang internasional dari City of London College,

yaitu Professor Clive M. Schmitthoff. Sehingga dapat dikatakan

bahwa definisi yang tercakup dalam Laporan Sekretaris Jenderal

tersebut tidak lain adalah laporan Schmitthoff.

Schmitthoff mendefinisikan hukum perdagangan internasional

sebagai: “... the body of rules governing commercial relationship

of a private law nature involving different nations”.5

Dari definisi tersebut dapat tampak unsur-unsur berikut:

1) Hukum perdagangan internasional adalah sekumpulan aturan

yang mengatur hubungan-hubungan komersial yang sifatnya

hukum perdata,

2) Aturan-aturan hukum tersebut mengatur transaksi-transaksi

yang berbeda negara.

Definisi di atas menunjukkan dengan jelas bahwa

aturan-aturan tersebut bersifat komersial. Artinya, Schmitthoff dengan

tegas membedakan antara hukum perdata (“private law nature”) dan

hukum publik.

Dalam definisinya itu, Schmitthoff menegaskan bahwa ruang

lingkup bidang hukum ini tidak termasuk hubungan-hubungan

komersial internasional dengan ciri hukum publik. Termasuk dalam

(10)

perdagangan yang mempengaruhi wilayahnya.6

Dengan kata lain, Schmitthoff menegaskan wilayah hukum

perdagangan internasional tidak termasuk atau terlepas dari

aturan-aturan hukum internasional publik yang mengatur

hubungan-hubungan komersial. Misalnya, aturan-aturan hukum internasional

yang mengatur hubungan dagang dalam kerangka GATT atau

aturan yang mengatur blok-blok perdagangan regional,

aturan-aturan yang mengatur komoditi, dsb.7 Dalam salah satu tulisannya

Schmitthoff dengan jelas menegaskan sebagai berikut:

“First, the modern law of international trade is not a branch of international law; it does not form part of the

jus gentium, but it is applied in every national

jurisdiction by tolerance of the national sovereign whose public policy may override or qualify a particular rule of that law.”8

Dari latar belakang definisi tersebut pun berdampak pada

ruang lingkup cakupan hukum dagang internasional. Schmitthoff

menguraikan bidang-bidang berikut sebagai bidang cakupan bidang

hukum ini:

1) Jual beli dagang internasional: (i) pembentukan kontrak; (ii)

perwakilan-perwakilan dagang (agency); (iii) Pengaturan

penjualan eksklusif;

6 Secretary General Report, op.cit., para. 11.

7

Secretary General Report, op.cit., para. 11.

8 Schmitthoff, “The Unification of the Law of International Trade,”

(11)

2) Surat-surat berharga

3) Hukum mengenai kegiatan-kegiatan tentang tingkah laku mengenai

perdagangan internasional

Dalam upayanya memberi batasan atau definisi hukum

perdagangan internasional, Rafiqul Islam menekankan keterkaitan

erat antara perdagangan internasional dan hubungan keuangan

(financial relations). Dalam hal ini Rafiqul Islam memberi

batasan perdagangan internasional sebagai "... a wide ranging,

transnational, commercial exchange of goods and services between

individual business persons, trading bodies and States".10

Hubungan finansial terkait erat dengan perdagangan

internasional. keterkaitan erat ini tampak karena

hubungan-hubungan keuangan ini mendampingi transaksi perdagangan antara

para pedagang (dengan pengecualian transaksi barter atau

counter-trade).11

internasional) tunduk pada prinsip-prinsip hukum internasional publik, dalam hal ini prinsip hukum perjanjian internasional.

9 Secretary General Report, op.cit., para. 10.

10

Rafiqul Islam, International Trade Law, NSW: LBC, 1999, hlm. 1. Sarjana-sarjana dewasa ini cenderung untuk membagi ruang lingkup perdagangan internasional ke dalam dua bagian:perdagangan barang dan jasa (sebagaimana halnya dengan Rafiqul Islam di atas). Lihat misalnya, Pablo Vilanueva, "Patterns and Trends in World Trade," dalam: Jonathan Reuvid (ed.), The Strategic Guide to International Trade, Kogan page (tt), hlm 3. (Villanueva menggambarkan bidang perdagangan internasional ke dalam dua bidang: (1) Perdagangan barang (merchandise trade) yang mencakup mineral, produk pertanian, barang industri; dan (2) jasa komersial (commercial services) yang mencakup perbankan, konsultasi dan pariwisata).

11 Pengecualian terhadap kedua bentuk transaksi tersebut karena memang

(12)

perdagangan dan keuangan ("international trade and finance law")

sebagai suatu kumpulan aturan, prinsip, norma dan praktek yang

menciptakan suatu pengaturan (regulatory regime) untuk

transaksi-transaksi perdagangan transnasional dan sistem pembayarannya,

yang memiliki dampak terhadap perilaku komersial lembaga-lembaga

perdagangan.12 Kegiatan-kegiatan komersial tersebut dapat dibagi

ke dalam kegiatan "komersial" yang berada dalam ruang lingkup

hukum perdata internasional atau Conflict of Laws; perdagangan

antar pemerintah atau antar negara, yang diatur oleh hukum

internasional publik.13

Dari batasan tersebut tampak bahwa ruang lingkup hukum

perdagangan internasional sangat luas.14 Karena ruang lingkup

kajian bidang hukum ini sifatnya adalah lintas batas atau

transnasional, konsekuensinya adalah terkaitnya lebih dari satu

sistem hukum yang berbeda.

c. Definisi Michelle Sanson

Sarjana lainnya yang mencoba memberi batasan bidang hukum

ini adalah sarjana Australia Sanson. Sanson memberi batasan

bidang ini sesuai dengan pengeritan kata-kata dari bidang hukum

ini, yaitu hukum, dagang dan internasional (dengan kata dasar

nasion atau negara).

Hukum perdagangan internasional menurut definisi Sanson

‘can be defined as the regulation of the conduct of parties

12 Rafiqul Islam, op.cit., hlm. 1.

13

Rafiqul Islam, op.cit., hlm. 1. Selengkapanya Rafiqul Islam menulis sebagai berikut: "international trade and finance law is a body of rules, principles, norms and their associated payments systems, with a controlling impact on the commercial behaviour of the trading entities").

(13)

involved in the exchange of goods, services and technology

between nations.’15

Definisi di atas sederhana. Ia tidak menyebut secara jelas

bidang hukum ini jatuh ke bidang hukum yang mana: hukum privat,

publik, atau hukum internasional. Sanson hanya menyebut bidang

hukum ini adalah the regulation of the conduct of parties. Para

pihaknya pun dibuat samar, hanya disebut parties. Sedangkan obyek

kajiannya, Sanson agak jelas: yaitu jual beli barang, jasa dan

teknologi.

Meskipun memberi definisi yang mengambang tersebut, Sanson

membagi hukum perdagangan internasional ini ke dalam dua bagian

utama, yaitu hukum perdagangan internasional publik (public

interntional trade law) dan hukum perdagangan internasional

privat (private international trade law).16

Yang pertama, public international trade law adalah hukum

yang mengatur perilaku dagang antar negara. Sedangkan yang kedua,

private international trade law adalah hukum yang mengatur

perilaku dagang secara orang perorangan (private traders) di

negara-negara yang berbeda.17

Meskipun ada pembedaan ini, namun para sarjana mengakui

bahwa batas-batas kedua istilah ini pun sangat sulit untuk dibuat

garis batasnya. Sanson menyatakan bahwa ‘the modern development

is that the distinction between publik and privat international

(14)

mempengaruhi. Beliau menulis:

‘The effect of public international law on private transactons is indirect but can be very profound in certain aspects. Some such aspects of private transactions will be considered merely because public international law has shaped, or is in the process of reshaping, their legal

order.’19

d. Definisi Hercules Booysen

Booysen sarjana Afrika Selatan tidak memberi definisi

secara tegas. Beliau menyadari bahwa ilmu hukum sangatlah

kompleks. Karena itu, upaya untuk membuat definisi bidang hukum,

termasuk hukum perdagangan internasional, sangatlah sulit dan

jarang tepat.20

Karena itu dalam upayanya memberi definisi tersebut, beliau

hanya mengungkapkan unsur-unsur dari definisi hukum perdagangan

internasional. Menurut beliau ada tiga unsur, yakni:

(1) Hukum perdagangan internasional dapat dipandang sebagai suatu

cabang khusus dari hukum internasional (international trade

law may also be regarded as a specialised branch of

international law).

(2) Hukum perdagangan internasional adalah aturan-aturan hukum

internasional yang berlaku terhadap perdagangan barang, jasa

dan perlindungan hak atas kekayaan intelektual (HAKI).

(International trade law can be described as those rules of

international law which are applicable to trade in goods,

services and the protection of intellectual property).

Bentuk-bentuk hukum perdagangan internasional seperti ini

19

Rafiqul Islam, op.cit., hlm. 1.

20 Interlegal's Definitions (http://home.yebro.co.za/~interlegal/

(15)

misalnya saja adalah aturan-aturan WTO, perjanjian

multilateral mengenai perdagnagan mengenai barang seperti

GATT, perjanjian mengenai perdagangan di bidang jasa

(GATS/WTO, dan perjanjia mengenai aspek-aspek yang terkait

dengan HAKI (TRIPS).21

Dalam lingkup definisi ini diakui bahwa negara bukanlah

semata-mata pelaku utama dalam bidang perdagangan

internasional. Negara lebih berperan sebagai regulator

(pengatur). Karena itu hukum perdagangan internasional juga

mencakup aturan-aturan internasional mengenai

transaksi-transaksi nyata yang bersifat internasional dari para

pedagang (international law merchants). Karenanya,

international law merchants ini adalah bagian dari hukum

perdagangan internasional.22

(3) Hukum perdagangan internasional terdiri dari aturan-aturan

hukum nasional yang memiliki atau pengaruh langsung terhadap

perdagangan internasional secara umum. Karena sifat

aturan-aturan hukum nasional tersebut, maka atura-aturan-aturan tersebut

merupakan bagian dari hukum perdagangan internasional. contoh

dari aturan hukum nasional seperti itu adalah

perundang-undangan yang ekstrateritorial (the extraterritorial

legislation).23

Dari 4 (empat) definisi di atas tampak semuanya ada

benarnya. Tetapi penulis lebih pro kepada definisi Rafiqul Islam.

Dari batasan Rafiqul Islam di atas, tampak adanya keterkaitan

erat antara hukum perdagangan internasional dengan hukum

internasional publik. Memang sekilas tampak bahwa dampak dan

pengaruh hukum internasional publik ini tidak langsung. Namun

demikian pengaruh ini dapat berdampak cukup luas terhadap

(16)

telah membentuk dan sedang dalam proses pembentukan

ketentuan-ketentuan yang mengatur aspek-aspek perdata dari transaksi

perdagangan internasional.24

(17)

2. Pendekatan Hukum Perdagangan Internasional

a. Hubungan antara Hukum Perdagangan Internasional dan Bidang Hukum lainnya

Satu catatan lain yang juga penting adalah hubungan antara

hukum perdagangan internasional dan hukum lainnya yang terkait

dengan perdagangan internasional. Di bagian awal tulisan ini

tampak luasnya bidang cakupan hukum perdagangan internasional

ini. Luasnya bidang cakupan membuat cakupan yang dikajinya sulit

untuk tidak tumpang tindih dengan bidang-bidang lainnya. Misalnya

dengan hukum ekonomi internasional, hukum transaksi bisnis

internasional, hukum komersial internasional, dll.25

Catatan di atas menunjukkan kedudukan penulis yang mengakui

adanya keterkaitan antara hukum perdagangan internasional dengan

hukum internasional. Di sisi lain, penulis berpendirian bahwa

hukum ekonomi internasional adalah juga bagian atau cabang dari

hukum internasional.26

Masalahnya adalah di mana letak atau garis batas di antara

hukum perdagangan dengan bidang-bidang hukum lain disebut di

atas, khususnya hukum ekonomi internasional. Ada bidang-bidang

yang sama-sama tunduk pada dua bidang hukum ini. Misalnya saja,

pembahasan mengenai subyek-subyek dan sumber-sumber dari kedua

bidang hukum sedikit banyak hampir sama.27

Sementara ini pendekatan yang ditempuh untuk membedakan

kedua bidang hukum ini adalah melihat subyek hukum yang tunduk

kepada kedua bidang hukum tersebut. Hukum ekonomi internasonal

lebih banyak mengatur subyek hukum yang bersifat publik (policy),

seperti misalnya hubungan-hubungan di bidang ekonomi yang

dilakukan oleh negara atau organisasi internasional. Sedangkan

25 Cf., M. Sanson, op.cit., hlm. 2.

26

Lihat buku penulis, Hukum Ekonomi Internasional: Suatu Pengantar, Jakarta: Rajagrafindo, cet. 3, 2003, Bab I.

27 Lihat lebih lanjut mengenai hukum ekonomi internasional ini, buku

(18)

Dalam kenyataannya pendirian tersebut tidak begitu valid.

Hukum ekonomi internasional dalam kenyataannya juga mengatur

kegiatan-kegiatan atau transaksi-transaksi badan hukum privat

atau yang terkait dengan kepentingan privat, misalnya mengenai

perlindungan dan nasionalisasi atau ekspropriasi perusahaan

asing. Selain itu, meskipun hukum ekonomi internasional mengatur

subyek-subyek hukum publik atau negara, namun aturan-aturan

tersebut bagaimana pun juga akan berdampak pada individu atau

subyek-subyek hukum lainnya di dalam wilayah suatu negara.

b. Hukum Perdagangan Internasional Bersifat Interdisipliner

Karakteristik lain dari hukum perdagangan internasional ini

adalah pendekatannya yang interdisipliner. Untuk dapat memahami

bidang hukum ini secara komprehensif, dibutuhkan sedikit banyak

bantuan disiplin-disiplin (ilmu) lain. Dalam bidang hukum ini

terkait dengan bidang pengangkutan (darat, udara dan khususnya

laut). Hal ini membutuhkan bantuan dan pemahaman disiplin ilmu

pelayaran.

Keterkaitan dengan pembayaran dalam perdagangan

internasional akan terkait dengan praktik perbankan dan lembaga

keuangan lainnya. Hal ini membutuhkan bantuan dan pemahaman

disiplin ilmu perbankan dan keuangan.

Keterkaitan dengan perdagangan itu sendiri akan terkait

dengan praktik dan teknik-teknik perdagangan. Hal ini membutuhkan

bantuan dan pemahaman ilmu praktik perdagangan.

Disiplin-disiplin ilmu lainnya yang terkait lainnya

misalnya adalah teknologi, ekonomi. Yang juga penting adalah ilmu

politik, yaitu bagaimana kebijakan politik suatu negara yang

(19)

B. Prinsip-prinsip Dasar Hukum Perdagangan Internasional

Prinsip-prinsip dasar (fundamental principles) yang dikenal

dalam hukum perdagangan internasional diperkenalkan oleh sarjana

hukum perdagangan internasional Profesor Aleksancer Goldštajn.

Beliau memperkenalkan 3 (tiga) prinsip dasar tersebut, yaitu (1)

prinsip kebebasan para pihak dalam berkontrak (the principle of

the freedom of contract); (2) prinsip pacta sunt servanda; dan

(3) prinsip penggunaan arbitrase.28

1. Prinsip Dasar Kebebasan Berkontrak

Prinsip pertama, kebebasan berkontrak, sebenarnya adalah

prinsip universal dalam hukum perdagangan internasional. Setiap

sistem hukum pada bidang hukum dagang mengakui kebebasan para

pihak ini untuk membuat kontrak-kontrak dagang (internasional).

Schmitthoff menanggapi secara positif kebebasan pertama

ini. Beliau menyatakan:

“The autonomy of the parties’ will in the law of contract is the foundation on which an autonomous law of international trade can be built. The national sovereign has,..., no objection that in that area an autonomous law of international trade is developed by the parties, provided always that that law respects in every national jurisdiction the limitations imposed by public policy.”29

Kebebasan tersebut mencakup bidang hukum yang cukup luas.

Ia meliputi kebebasan untuk melakukan jenis-jenis kontrak yang

para pihak sepakati. Ia termasuk pula kebebasan untuk memilih

forum penyelesaian sengketa dagangnya. Ia mencakup pula kebebasan

untuk memilih hukum yang akan berlaku terhadap kontrak, dll.

Kebebasan ini sudah barang tentu tidak boleh bertentangan

dengan UU, kepentingan umum, kesusilaan, kesopanan, dan lain-lain

persyaratan yang ditetapkan oleh masing-masing sistem hukum.

2. Prinsip Dasar Pacta Sunt Servanda

28

Aleksander Goldštajn, “The New Law of Merchant,” (1961) JBL 12.

29 Clive M. Schmitthoff, Commercial Law in a Changing Economic Climate,

(20)

ditandatangani harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya (dengan

itikad baik). Prinsip ini pun sifatnya universal. Setiap sistem

hukum di dunia menghormati prinsip ini.

3. Prinsip Dasar Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase

Prinsip ketiga, prinsip penggunaan arbitrase tampaknya

terdengar agak ganjil. Namun demikian pengakuan Goldštajn

menyebut prinsip ini bukan tanpa alasan yang kuat. Arbitrase

dalam perdagangan internasional adalah forum penyelesaian

sengketa yang semakin umum digunakan. Klausul arbitrase sudah

semakin banyak dicantumkan dalam kontrak-kontrak dagang.30 Oleh

karena itulah prinsip ketiga ini memang relevan.

Goldštajn menguraikan kelebihan dan alasan mengapa

penggunaan arbitrase ini beliau jadikan prinsip dasar dalam hukum

perdagangan internasional:

“Moreover, to the extent that the settlement of differences is referred to arbitration, a uniform legal order is being created. Arbitration tribunals often apply criteria other than those applied in courts. Arbitrators appear more ready to interpret rules freely, taking into account customs, usage and business practice. Further, the fact that the enforcement of foreign arbitral awards is generally more easy than the enforcement of foreign court decisions is conducive to a preference for arbitration.”31

4. Prinsip Dasar Kebebasan Komunikasi (Navigasi)

Di samping tiga prinsip dasar tersebut, prinsip dasar

lainnya yang menurut penulis relevan adalah prinsip dasar yang

dikenal dalam hukum ekonomi internasonal, yaitu prinsip kebebasan

untuk berkomunikasi (dalam pengertian luas, termasuk di dalamnya

kebebasan bernavigasi). Komunikasi atau navigasi adalah kebebasan

para pihak untuk berkomunikasi untuk keperluan dagang dengan

siapa pun juga dengan melalui berbagai sarana navigasi atau

30

Lihat secara khusus, Rene David, Arbitration in International Trade, The Hague: Kluwer, 1985 (membahas panjang lebar tentang peran arbitrase dalam perdagangan internasional).

(21)

komunikasi, baik darat, laut, udara, atau melalui sarana

elektronik. Kebebasan ini sangat esensial bagi terlaksananya

perdagangan internasional. Aturan-aturan hukum (internasional)

memfasilitasi kebebasan ini.32

Dalam berkomunikasi untuk maksud berdagang ini kebebasan

para pihak tidak boleh dibatasi oleh sistem ekonomi, sistem

politik, atau sistem hukum. Bandingkan dengan pendapat profesor

Goldštajn di bawah ini ketika beliau membahas hubungan antara

sistem ekonomi dan politik dalam kaitannya dengan hukum

perdagangan internasional:

“The law governing trade transactions is neither capitalist nor socialist; it is a means to an end, and therefore, the

perdagangan internasional didasarkan pada prinsip-prinsip umum

yang diterima di seluruh dunia menyatakan seolah-seolah hukum

perdagangan internasional dapat diterima oleh sistem hukum di

dunia. Pendapat ini benar. Sarjana terkemuka lainnya, Profesor

Tammer, memperkuat pernyataan tersebut:

“The law of external trade of the countries of planned economy does not differ in its fundamental principles from the law of external trade of other countries, such as, e.g., Austria or Switzerland. Consequently, international trade law specialists of all countries have found without difficulty that they speak a ‘common language.”34

32 Lihat lebih lanjut, Huala Adolf,

Hukum Ekonomi Internasional: Suatu Pengantar, Jakarta: Rajawali pers, cet. 3, 2003, hlm. 29.

33

Schmitthoff, op.cit., (Commercial Law), hlm. 19.

34 Schmitthoff, ‘The Unification of the Law of Internatioal Trade,’

(22)

Hubungan-hubungan perdagangan internasional antar negara

sudah ada sejak lama. Hubungan-hubungan ini sudah ada sejak

adanya negara-negara dalam arti negara kebangsaan, yaitu

bentuk-bentuk awal negara dalam arti modern. Perjuangan negara-negara

ini untuk memperoleh kemandirian dan pengawasan (kontrol)

terhadap ekonomi internasional telah memaksa negara-negara ini

untuk mengadakan hubungan-hubungan perdagangan yang mapan dengan

negara-negara lainnya. Mereka menyadari bahwa perdagangan adalah

satu-satunya cara untuk pembangunan ekonomi mereka.35

Seperti telah dikemukakan di awal tulisan ini, sejak dulu

dan bahkan dewasa ini semakin banyak negara sadar bahwa kebijakan

menutup diri sudah jauh-jauh ditinggalkan. Pendirian ini semakin

mendorong negara untuk memperluas aktivitas perdagangannya.36

Cara pandang ini sedikit banyak dilatarbelakangi dan

dipengaruhi oleh beberapa aliran atau teori ekonomi. Pada awal

perkembangannya, terutama abad ke 15 dan 16, teori atau aliran

yang mula lahir adalah teori merkantilisme. Para merkantilis

berpendirian perdagangan internasional sebagai instrumen

kebijakan nasional. Mereka menekankan pentingnya ekspor

sebesar-besarnya dan menekan impor serendah-rendahnya. Keuntungan dari

selisih ekspor - impor merupakan keuntungan bagi negara (yang

waktu itu diwujudkan dalam bentuk emas).

Reaksi dari aliran itu adalah teori keunggulan komparatif

yang diperkenalkan oleh David Ricardo (1772-1823). Ricardo

menekankan spesialisasi dari hasil suatu produk. Smith menganggap

perdagangan internasional sebagai salah satu bagian dari

keunggulan komparatif (principle of comparative advantage). Teori

beliau menyatakan bahwa untuk menjadi pemain utama dalam

35

Rafiqul Islam, op.cit., hlm. 1.

(23)

perdagangan, faktor yang penting bukanlah ukuran, tetapi

bagaimana memaksimalkan potensi.37

Contoh klasik adalah Jepang. Dari segi geografis, kekayaan

alam dan luas wilayah, Jepang relatif kurang beruntung. Tetapi

dengan kekuatan manajemen dalam perdagangan internasionalnya,

negeri ini berhasil menjadikannya sebuah negara yang paling

penting di dunia dewasa ini.

Semakin luasnya aktivitas perdagangan ini yang dewasa ini

dikenal dengan "liberalisasi perdagangan", sistem keuangan atau

pasar internasional yang stabil untuk memberikan modal untuk

melaksanakan perdagangan internasional tersebut. Karena itu,

keterkaitan antara perdagangan internasional dan sistem keuangan

atau moneter internasional menjadi semakin penting.38

Tidak terlalu mengherankan apabila masyarakat internasional

kemudian menyelenggarakan konperensi Bretton Woods guna

mendirikan Bank Dunia - IMF untuk maksud ini. Berdirinya ke-2

lembaga keuangan ini semata-mata untuk menjaga agar sistem

moneter internasional dapat terpelihara (stabil) dan juga memberi

pinjaman jangka pendek guna menanggulangi kesulitan neraca

pembayaran yang disebabkan oleh adanya defisit perdagangan

ekspor-impor negara-negara.39 Krisis keuangan internasional pada

tahun 1970-an juga telah mempertegas pentingnya hubungan erat

ini.

Dalam upaya negara-negara ini meningkatkan pertumbuhan

ekonomi mereka, dewasa ini mereka cenderung membentuk blok-blok

perdagangan baik bilateral, regional maupun multilateral. Dalam

kecenderungan ini pun peran perjanjian internasional menjadi

semakin penting.40

37

Lihat misalnya, Ademuni-Odeke, Ibid., hlm. 3-4, M. Sanson, op.cit., hlm. 3; Jonathan Reuvid, op.cit., para. xv.

38 Rafiqul Islam, op.cit., hlm. 2.

39

(24)

yang mengatur perdagangan internasional di bidang barang, jasa

dan penamaman modal di antara negara-negara.41

Tujuan hukum perdagangan internasional sebenarnya tidak

berbeda dengan tujuan GATT (General Agreement on Tariffs and

Trade, 1947) yang termuat dalam Preambule-nya. Tujuan tersebut

adalah:

(a) untuk mencapai perdagangan internasional yang stabil dan

menghindari kebijakan-kebijakan dan praktek-praktek

perdagangan nasional yang merugikan negara lainnya.

(b) untuk meningkatkan volume perdaganan dunia dengan menciptakan

perdagangan yang menarik dan menguntungkan bagi pembangunan

ekonomi semua negara;

(c) meningkatkan standar hidup umat manusia; dan

(d) meningkatkan lapangan tenaga kerja.

Tujuan lainnya yang juga relevan adalah:

(e) untuk mengembangkan sistem perdagangan multilateral, bukan

sepihak suatu negara tertentu, yang akan mengimplementasikan

kebijakan perdagangan terbuka dan adil yang bermanfaat bagi

semua negara;42 dan

(f) meningkatkan pemanfaatan sumber-sumber kekayaan dunia dan

meningkatkan produk dan transaksi jual beli barang.43

Ada pula yang menyatakan bahwa aturan-aturan perdagangan

internasional juga pada analisis akhirnya akan menciptakan

perdamaian dan keamanan internasional. Hal ini antara lain

dinyatakan oleh Menteri Luar Negeri AS, Hull. Tesis ini tampaknya

41 Rafiqul Islam, op.cit., hlm. 2.

42 Rafiqul Islam, op.cit., hlm. 2. Lihat pula tujuan menurut Aleksander

(25)

benar. Manakala dua atau lebih negara berhubungan dan

bertransaksi dagang dan mereka memperoleh keuntungan dari

perdagangan tersebut, otomatis keadaan dunia menjadi sedikit

banyak lebih baik. Artinya, situasi dan kondisi dunia akan

semakin kondusif.

Sebenarnya tesis Hull tersebut sudah lama dikumandangkan

oleh Immanuel Kant, yang selama ini dikenal juga sebagi bapak

hukum internasional. Dalam tulisannya berjudul ‘On Eternal

Peace,’ Kant menyatakan bahwa ‘spirit of trade could not co-exist

with war.’44

Yang juga cukup menarik adalah tesis Hull di atas juga

telah cukup lama disadari di tanah air. Salah seorang kepala suku

Bugis ternama, yaitu Amanna Gappa, juga menyadari bahwa tujuan

(unifikasi) hukum dagang adalah untuk mencegah persaingan di

antara suku bangsanya dan juga memajukan kerjasama di antara

mereka guna kesejahteraan di antara mereka.45 Terjemahan saduran

hasil penelitian terhadap suku terkenal Bugis ini yang terkenal

dengan hukum pelayaran dan dagangnya tergambarkan sebagai

berikut:

“One of thse chiefs was Amanna Gappa (=father of Gappa) who headed his countrymen at Makassar. Most probably he was a very intelligent and energetic man and he may have been the first to realize the great importance of navigation and trade for his people as the only fields of endeavour in which they could earn a living. We may assume that this was the bacground of his taking initiative in inviting his colleagues from other parts of Indonesia in order to collect the different rules which were in force in their respective regions and to compile a uniform navigation and trade law. By doing so he tried to prevent heavy competition among his countrymen and to stimulate

co-operation for their own welfare.”46 (Huruf miring oleh

kami).

43

Cf., Preamble GATT dan Preamble Perjanjian WTO (Marrakesh Agreement Establishing The World Trade Organization).

44 Lihat, Lew and Stanbrook, Interational Trade: Law and Practice, Bath:

Euromoney, 1983, hlm. Xxi. 45

(26)

Kelemahan tersebut tampaknya juga dapat ditemui dalam

bidang-bidang hukum lainnya, yakni terdapatnya pengecualian-pengecualian

atau klausul-klausul 'penyelamat' yang bersifat memperlonggar

kewajiban-kewajiban hukum. Kelemahan spesifik tersebut yaitu:

(a) hukum perdagangan internasional sebagian besar bersifat

pragmatis dan permisif. Hal ini mengakibatkan aturan-aturan

hukum perdagangan internasional kurang obyektif di dalam

'memaksakan' negara-negara untuk tunduk pada hukum. Dalam

kenyataannya, negara-negara yang memiliki kekuatan politis dan

ekonomi memanfaatkan perdagangan sebagai sarana kebijakan

politisnya.

(b) Aturan-aturan hukum perdagangan internasional bersifat

mendamaikan dan persuasif (tidak memaksa). Kelemahan ini

sekaligus juga kekuatan bagi perkembangan hukum perdagangan

internasional yang menyebabkan atau memungkinkan perkembangan

hukum ini di tengah krisis.47

(27)

D. Perkembangan Hukum Perdagangan Internasional

Dari uraian di atas tampak bahwa hukum perdagangan

internasional telah ada sejak lahirnya negara dalam arti modern.

Sejak saat itu, hukum perdagangan internasional telah mengalami

perkembangan yang cukup pesat sesuai dengan perkembangan

hubungan-hubungan perdagangan.

Dilihat dari perkembangan sumber hukumnya (dalam arti

materil), maka perkembangan hukum perdagangan internasional dapat

dikelompokkan ke dalam 3 tahap, yakni:

(1) Hukum perdagangan internasional dalam masa awal pertumbuhan.

Hukum perdagangan internasional lahir pada awalnya dari

praktek para pedagang. Hukum yang diciptakan oleh para pedagang

ini lazim disebut pula sebagai lex mercatoria (law of merchant).48

Pada awal perkembangannya ini Lex Mercatoria tumbuh dari

adanya 4 faktor berikut:

(a) lahirnya aturan-aturan yang timbul dari kebiasaan dalam

berbagai pekan raya (the law of the fairs);

(b) lahirnya kebiasaan-kebiasaan dalam hukum laut;

(c) lahirnya kebiasaan-kebiasaan yang timbul dari praktek

penyelesaian sengketa-sengketa di bidang perdagangan; dan

(d) berperannya notaris (public notary) dalam memberi pelayanan

jasa-jasa hukum(dagang).49

(2) Hukum perdagangan internasional yang dicantumkan dalam hukum

nasional

Dalam tahap perkembangan ini, negara-negara mulai sadar

perlunya pengaturan hukum perdagangan internasional. Mereka lalu

mencantumkan aturan-aturan perdagangan internasional dalam kitab

48

United Nations, Progressive Development of the Law of Internatoinal Trade: Report of the Secretary-General of the United Nations, 1966, para. 20; Chia-Jui Cheng (ed.), Clive M. Schmitthoff's Select Essay on International Trade Law, Doredrecht/Boston/London: Martinus Nijhoff & Graham & Trotman, 1988, hlm. 21.

49 Schmitthoff, “The Unification of the Law of International Trade,”

(28)

adopsi dari lex mercatoria. Misalnya saja Perancis membuat Kitab

Undang-undang Hukum Dagang-nya (code de commerce) tahun 1807,

Jerman menerbitkan Allgemeine Handelsgezetbuch tahun 1861, dll.50

(3) Lahirnya aturan-aturan hukum perdagangan internasional dan

Munculnya Lembaga-lembaga Internasional yang mengurusi

Perdagangan Internasional.

Dalam perkembangan ketiga ini, aturan-aturan hukum

perdagangan internasional lahir sebagian besar karena dipengaruhi

oleh semakin banyaknya berbagai perjanjian internasional yang

ditandatangani baik secara bilateral, regional, maupun

multilateral.51

Secara khusus tahap ketiga ini muncul secara signifikan

setelah berakhirnya Perang Dunia II. Salah satu perjanjian

multilateral yang ditandangani pada masa ini adalah disepakati

lahirnya GATT tahun 1947. Tahap ketiga ini disebut juga dengan

tahap “internationalism”. Schmitthoff menyatakan sebagai berikut:

“We are beginning to rediscover the international character of commercial law and the circle now contemplates itself: the general trend of commercial law everywhere is to move away from the restrictions of national law to a universal, international conception of the law of international trade.”52

Sejak berdiri hingga dewasa ini aturan-aturan perdagangan

GATT telah berkembang dan mengalami pembangunan yang cukup

penting. Bahkan dalam putaran perundingan tahun 1986-1994,

negara-negara anggota GATT telah sepakat untuk membentuk suatu

badan atau lembaga internasional baru, yaitu WTO.

Perubahan dari GATT ke WTO berdampak luas terhadap bidang

hukum perdagangan internasional. Alasannya, bidang pengaturan

50 United Nations, op.cit., para. 20; Chia-Jui Cheng (ed.), op.cit., hlm. 48.

51

United Nations, op.cit., para. 20.

52 Schmitthoff, “The Unification of the Law of International Trade,”

(29)

yang tercakup di dalam WTO sekarang ini adalah kompleks. Ia tidak

semata-mata lagi mengatur tarif dan barang, tetapi juga mengatur

jasa, hak kekayaan intelektual, penanaman modal, lingkungan,

dll.53

Ciri kedua dalam perkembangan tahap ketiga ini yakni

munculnya organisasi internasional. Salah satu badan yang

menonjol adalah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Sebetulnya

peran PBB di bidang perdagangan internasional tidaklah langsung.

Peran PBB di bidang ekonomi dan perdagangan ini termuat dalam

pasal 1:3 Piagam PBB, yakni aturan tentang tujuan PBB yakni

mencapai kerjasama internasional di dalam antara lain

menyelesaikan masalah-masalah ekonomi internasional.

Tujuan-tujuan PBB di atas diupayakan pemenuhannya melalui

berbagai langkah berikut:

i. Negara-negara anggota PBB mendirikan the United Nations

Conference on Trade and Development (UNCTAD) pada tahun 1964.

Tujuan utamanya adalah untuk memberikan kesempatan yang lebih

besar kepada negara sedang berkembang untuk ikut serta dalam

merumuskan kebijakan-kebijakan perdagangan, dengan memperhatikan

kepentingan-kepentingan khusus negara-negara sedang berkembang

ini.54

ii. negara-negara anggota PBB mengesahkan the Charter of Economic

Rights and Duties of States pada tahun 1974 (serta disahkannya

the Declaration and Programme of Action on the Establishment of

the New International Economic Order). Pembentukan Piagam ini

diawali dengan langkah Majelis Umum PBB mengesahkan the

International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights

pada tahun 1966.

53

Uraian tentang perkembangan dari GATT ke WTO, lihat antara lain: Ray August, Internatoinal Business Law: Text, Cases and Readings, New Jersey: Prentice Hall, 3rd.ed., 2000, hlm. 355-360.

(30)

di bidang perdagangan, keuangan dan penanaman modal.55

Ciri ketiga yang juga menonjol adalah disepakatinya

pendirian badan-badan ekonomi regional di suatu kawasan region

tertentu. Blok perdagangan regional yang mula-mula membawa

pengaaruh cukup luas adalah the European Single Market (1992) dan

segera diikuti oleh blok perdagangan Amerika Utara (The North

American Free Trade Agreeement atau NAFTA) (1994).

Di kawasan Asia Tenggara, negara-negara ASEAN mengikuti

langkah serupa dengan membentuk Asean Free Trade Area (AFTA).

AFTA berlaku efektif sejak 1 Januari 2003.56

Kecenderungan pembentukan kelompok-kelompok regional ini di

satu sisi positif. Namun di sisi lain organisasi-organisasi

regional tersebut menimbulkan kekhawatiran dari masyarakat

internasional karena terdapatnya blok-blok perdagangan tersebut

melahirkan peraturan-peraturan regional eksklusif yang ternyata

menyimpangi ketentuan-ketentuan umum yang terdapat dalam

GATT/WTO.

55

Rafiqul Islam, op.cit., hlm. 6.

56 Uraian lebih lanjut mengenai AFTA ini lihat: Huala Adolf,

(31)

E. Unifikasi dan Harmonisasi Hukum Perdagangan Internasional

1. Perlunya Unifikasi dan Harmonisasi Hukum

Di atas dikemukakan bahwa negara-negara mencantumkan

atuaran-aturan hukum perdagangan internasional dalam hukum

nasionalnya. Aturan-aturan hukum nasional di bidang perdagangan

internasional ini karenanya menjadi sumber hukum yang cukup

penting dalam hukum perdagangan internasional.

Tetapi adanya berbagai aturan hukum nasional ini sedikit

banyak kemungkinan dapat berbeda antara satu sama lainnya.

Perbedaan ini kemudian dikhawatirkan akan juga mempengaruhi

kelancaran transaksi perdagangan itu sendiri.

Masalah ini sebelumnya sudah cukup lama disadari oleh

bangsa-bangsa di dunia, termasuk organisasi dunia PBB. Dalam

resolusi Majelis Umum PBB No 2102 (XX), PBB menyatakan bahwa:

"Conflicts and divergencies arising from the laws of different

states in matters relating to international trade constitute an

obstacle to the development of world trade."57

Untuk menghadapi masalah ini, sebenarnya ada 3 teknik yang

dapat dilakukan. Pertama, negara-negara sepakat untuk tidak

menerapkan hukum nasionalnya. Sebaliknya mereka menerapkan hukum

perdagangan internasional untuk mengatur hubungan-hubungan hukum

perdagangan mereka.

Kedua, apabila aturan hukum perdagangan internasional tidak

ada dan atau tidak disepakati oleh salah satu pihak, maka hukum

nasional suatu negara tertentu dapat digunakan. Cara penentuan

hukum nasional yang akan berlaku dapat digunakan melalui

penerapan prinsip choice of laws. Choice of Laws adalah klausul

pilihan hukum yang disepakati oleh para pihak yang dituangkan

dalam kontrak (internasional) yang mereka buat.58

57 United Nations, op.cit., para. 14.

58

(32)

perdagangan internasional.59 Teknik ketiga ini dipandang cukup

efisien. Cara ini memungkinkan terhindarnya konflik di antara

sistem-sistem hukum yang dianut oleh masing-masing negara.

Kedua kata ini hampir sama maksudnya, namun ada nuansa atau

perbedaan yang perlu untuk dicatat. Kedua kata sama-sama berarti

upaya atau proses menyeragamkan substansi pengaturan

sistem-sistem hukum yang ada. Penyeragaman tersebut mencakup

pengintegrasian sistem hukum yang sebelumnya berbeda.

Perbedaan kedua kata tersebut terletak pada derajat

penyeragaman tersebut. Dalam unifikasi hukum, penyeragaman

mencakup penghapusan dan penggantian suatu sistem hukum dengan

sistem hukum yang baru.60 Contohnya adalah pemberlakuan Perjanjian

TRIPS/WTO.

Dengan diperkenalkannya substansi bidang-bidang perjanjian

TRIPS/WTO yang mencakup ketentuan mengenai hak cipta, merek

dagang, indikasi geografis, disain industri, paten, dll.,

meletakkan kewajiban kepada negara anggota untuk membuat

aturan-aturan HAKI nasionalnya yang sesuai dengan substansi perjanjian

TRIPS/WTO.

(Sudargo Gautama menulis: “Tegaslah apabila tidak dilakukan pilihan hukum, maka berbagai kemungkinan dan berbagai kesulitan yang akan timbul tentang hukum yang harus dipakai ii. Maka para lawyers condong untuk selalu menganjurkan para clientnya jangan lewati kesempatan untuk menentukan hukum yang berlaku itu. Dan jika mungkin, maka kamu harus selalu pakai hukum nasional dari negaramu sendiri karena ini adalah hukum yang paling kamu kenal dan paling dikenal oleh Hakim-Hakim yang akan mengadili perkaramu itu”).

59

United Nations, op.cit., para. 15.

(33)

Harmonisasi hukum tidak sedalam unifiksi hukum. Tujuan

utama harmonisasi hukum hanya berupaya mencari keseragaman atau

titik temu dari prinsip-prinsip yang bersifat fundamental dari

berbagai sistem hukum yang ada (yang akan diharmonisasikan).61

Untuk dapat melaksanakan unifikasi dan harmonisasi hukum

ini karenanya hanya dapat dicapai oleh para ahli hukum yang

mendalami atau menguasai perbandingan hukum. Upaya ini dapat

dilakukan oleh suatu tim ahli perbandingan hukum yang terdiri

dari para ahli hukum yang berlatar belakang sistem hukum yang

berbeda-beda yang hendak diupayakan unifikasi dan harmonisasi

hukumnya.

Dalam upaya unifikasi dan harmonisasi hukum, masalah

esensialnya adalah bagaimana metode yang akan diterapkannya.

Dalam kaitan itu, masalah-masalah mengenai perbedaan konsepsi dan

perbedaan bahasa yang terdapat dalam berbagai sistem hukum

tersebut hanya dapat ditanggulangi dengan cara menerapkan metoda

komparatif.62

Menurut Schmitthoff, dalam metode komparatif, dikenal 3

metode, yaitu metode dengan memberlakukan:

a. perjanjian/konvensi internasional (international convention);

b. hukum seragam (uniform laws); dan

c. aturan seragam (uniform rules).63

Ad. a. Perjanjian atau Konvensi Internasional

Penerapan atau pemberlakuan perjanjian atau konvensi

internasional adalah cara yang paling banyak digunakan dalam

61 Chia-Jui Cheng (ed.), op.cit., hlm. 109.

62 Chia-Jui Cheng (ed.), op.cit., hlm. 109.

(34)

dalam sistem hukum nasional.64 Pemberlakuan perjanjian TRIPS/WTO

di atas merupakan salah satu contoh.

Gambaran lainnya adalah CISG 1980 atau Konvensi mengenai

Kontrak Jual Beli Barang Internasional. Konvensi ini dapat

dipandang sebagai upaya mengunifikasi hukum kontrak jual beli

barang internasional. Para perancang konvensi ini telah berupaya

mengkawinkan prinsip-prinsip kontrak yang dikenal dalam sistem

hukum Civil Law dan sistem hukum Common Law.

Salah satu pembatasan cara ini adalah adanya kehendak dari

sesuatu negara untuk mengikatkan diri atau meratifikasi

perjanjian atau konvensi internasional tersebut. Dalam

kenyataannya, untuk mencapai kehendak tersebut banyak bergantung

pada faktor ekonomi, politis, juridis, dll.

b. Hukum seragam (Uniform Laws)

Hukum seragam tidak lain adalah model-model hukum yang

dapat kita lihat misalnya dalam model hukum arbitrase UNCITRAL

1985 (Model Law on International Commercial Arbitration). Model

hukum ini memberikan keleluasaan kepada negara-negara yang hendak

menerapkannya ke dalam hukum nasionalnya.

Keleluasaan tersebut mencakup keleluasaan kepada negara

yang bersangkutan apakah akan menerapkan secara penuh

aturan-aturan substantif Model Law. Kemungkinan lain, negara tersebut

memutuskan untuk menerapkannya dengan melakukan beberapa revisi

atau menerapkan beberapa pengecualian terhadap aturan-aturan di

dalamnya.

Sifat hukum seragam tidak mengikat. Ia hanya bersifat

persuasif. Karena itu derajat pengadopsian atau penerapannya

sangat bergantung kepada masing-masing negara. Model hukum ini

memberi sumbangan bagi perbaikan kualitas (lembaga-lembaga) hukum di suatu negara (ibid).

(35)

karena itu berbeda dengan perjanjian atau konvensi internasional.

Pada saat suatu negara turut serta, aksesi atau meratifikasi

suatu perjanjian atau konvensi internasional, maka pada

prinsipnya seluruh aturan perjanjian mengikat negara tersebut.

c. Aturan Seragam (Uniform Rules)

Aturan-aturan seragam lebih rendah tingkatannya daripada

hukum seragam (Uniform Laws). Bentuk aturan seragam tampak antara

lain dalam modal-model kontrak standar atau kontrak baku. Contoh

bentuk aturan seperti ini adalah the Uniform Customs and Practice

for Documentary Credits (1974) yang dikeluarkan oleh ICC. Aturan

hukum ini telah diterapkan dan dipraktekkan oleh para subyek

hukum perdagangan internasional di dunia.65

Bentuk lainnya adalah klausul standar (baku) yang

dicantumkan oleh para pihak dalam kontrak-kontrak yang mereka

buat.66 Tidak jarang pula lembaga-lembaga atau asosiasi-asosiasi

memperkenalkan klausul-klausul yang perlu dicantumkan dalam suatu

kontrak apabila para pihak hendak memanfaatkan fasilitas lembaga

atau asosiasi yang bersangkutan.

Hal ini antara lain banyak ditemui dalam klausul-klausul

arbitrase baik nasional maupun asing. Klausul-kluasul standar

arbitrase tersebut dimaksudkan agar para pihak tidak perlu lagi

merancang klausul choice of forum-nya, dalam hal ini arbitrase.67

Bagaimana unifikasi dan harmonisasi dapat bekerja, agak

sulit untuk dipaparkan di sini. Namun demikian, Katerina Pistor,

guru besar di Columbia Law School, mengemukakan istilah yang

dinamakannya standardization of law (standardisasi hukum).

Maksud standardisasi di sini mengacu kepada suatu tahap

dari kekhususan dari suatu hukum (the level of specificity of

law). Standar hanya mencakup prinsip-prinsip hukum (legal

65 Chia-Jui Cheng (ed.), op.cit., hlm. 111.

66

Chia-Jui Cheng (ed.), op.cit., hlm. 111.

(36)

Upaya unifikasi dan harmonisasi hukum ini telah cukup

serius dilakukan khususnya oleh the World Trade Organization

(WTO), the International Institute for the Unification of Private

Law (UNIDROIT), The Hague Conference of Private International Law

dan PBB khususnya the United Nations Commission on International

Trade Law (UNCITRAL) dan the United Nations Conference on

International Trade and Law (UNCTAD).

Di samping itu terdapat pula lembaga-lembaga internasional

non-pemerintah yang juga berkepentingan dengan upaya unifikasi

dan harmonisasi hukum perdagangan internasional, yakni, antara

lain, International Chamber of Commerce (ICC atau Kamar Dagang

Internasional), dan International Law Association (ILA atau

Asosiasi Hukum Internasional).69

2. Lembaga-lembaga yang Bergerak dalam Unfikasi dan Harmoniasi Hukum

Berikut adalah uraian secara ringkas beserta upaya

badan-badan atau organisasi-organisasi internasional tersebut di bidang

unifikasi dan harmonisasi hukum perdagangan internasional. Tidak

semua upaya badan atau organisasi internasional akan diuraikan.

Pembahasan dibatasi pada WTO, UNCITRAL, UNIDROIT dan ICC.

68

Katarina Pistor, op.cit., hlm 97.

69 Schmitthoff, op.cit., “Commercial Law,” hlm. 24 (beliau mengemukakan

(37)

a. World Trade Organization (WTO)

1. Pengantar

World Trade Organization atau WTO dihasilkan dari Putaran

Uruguay GATT (1986-1993). Organisasi ini memiliki kedudukan yang

unik karena ia berdiri sendiri dan terlepas dari badan kekhususan

PBB.

Pembentukan WTO ini merupakan realisasi dari cita-cita lama

negara-negara pada waktu merundingkan GATT pertama kali (1948).

Yakni hendak mendirikan suatu organisasi perdagangan internasional

(yang dulu namanya adalah International Trade Organization atau

ITO).

Struktur WTO akan dikepalai oleh suatu badan tertinggi yang

disebut Konperensi Tingkat Menteri (Ministerial Conference). Badan

ini akan bersidang sedikitnya sekali dalam dua tahun. Badan ini

terdiri dari para perwakilan dari semua anggota WTO. Semua

keputusan mengenai kebijakan yang berkaitan dengan perdagangan

multilateral dilakukan melalui badan ini.

Untuk pelaksanaan pekerjaannya sehari-hari, badan tertinggi

ini dibantu oleh badan-badan kelengkapan utama, yaitu Dewan Umum

(General Council) yang terdiri dari semua anggota WTO. Badan ini

bertugas memberikan laporan mengenai kegiatan-kegiatannya kepada

the Ministerial Conference.

General Council memiliki dua fungsi lainnya. Pertama, sebagai

suatu Badan Penyelesaian sengketa (Dispute Settlement Body).

Fungsi kedua, sebagai badan peninjau kebijakan perdagangan

negara-negara anggota GATT (Trade Policy Review Body).

Selain itu, badan ini juga bertugas mengamati masalah-masalah

perdagangan yang akan dicakup oleh WTO. Ia akan menetapkan tiga

badan subsider yakni The Council for Trade in Goods, Council for

Trade in Services, dan Council for TRIPs.

The Council for Trade in Goods mengawasi pelaksanaan dan

berfungsinya semua perjanjian mengenai perdagangan barang (Annex

(38)

dengan perjanjian WTO dan badan-badan tersebut dapat mendirikan

badan-badan subsider lainnya manakala dipandang perlu.

Tiga badan lainnya didirikan oleh the Ministerial Conference

dan mereka melaporkan pekerjaannya kepada the General Council.

Ketiga badan tersebut adalah the Committee on Trade and

Development, yakni badan yang bertanggung jawab untuk

masalah-masalah yang terdapat di negara-negara sedang berkembang. Kedua,

the Committee on Balance of Payments bertanggung jawab untuk

menyelenggarakan konsultasi di antara negara-negara anggota WTO

dan negara-negara yang melaksanakan tindakan-tindakan restriktif

perdagangan (Pasal XII dan XVII GATT), yakni tindakan- tindakan

untuk menghadapi kesulitan-kesulitan neraca pembayarannya.

Ketiga, the Committee on Budget, Finance and Administration

bergerak dalam mengatur masalah-masalah keuangan dan anggaran

WTO.70

Di samping badan tersebut, WTO membentuk pula

badan-badan khusus yang mengawasi pelaksanaan perjanjian-perjanjian

plurilateral (yang sifatnya sukarela), yakni badan untuk

perdagangan pesawat udara sipil, badan untuk pengadaan barang

pemerintah (government procurement), badan untuk produk susu dan

daging (dairy products and bovine meat). Badan-badan khusus ini

melaporkan tugas-tugasnya kepada the General Council.

Sekretariat WTO berkedudukan di Jenewa, Swiss. Sampai tulisan

ini dibuat, Sekretariat WTO memiliki sekitar 450 staf dan diketuai

oleh seorang Direktur Jenderal (Diretor General) dan 4 orang

pembantu Direktur Jenderal.

Dalam membuat putusan, WTO melanjutkan praktek yang telah

lama dilakukan dalam GATT, yaitu melalui konsensus. Namun dalam

hal konsensus ini gagal, maka putusan akan diambil melalui

pemungutan suara atau voting.

70

(39)

Di samping itu, ada 4 hal atau situasi dalam perjanjian WTO

yang memungkinkan dilakukannya voting. Pertama, mayoritas 2/3 dari

anggota WTO diperlukan untuk mengesahkan suatu penafsiran

perjanjian perdagangan multilateral.

Kedua, mayoritas 2/3 dari anggota WTO diperlukan bagi the

Ministerial Conference untuk memutuskan penanggalan suatu

kewajiban yang dikenakan terhadap suatu negara oleh suatu

perjanjian multilateral.

Ketiga, keputusan untuk merubah ketentuan perjanjian

multilateral dapat disahkan melalui kesepakatan seluruh anggotanya

atau melalui mayoritas 2/3 dari anggota WTO. Perubahan-perubahan

demikian hanyalah berlaku bagi negara-negara yang menerimanya

saja.

Keempat, suatu mayoritas 2/3 dari negara anggota WTO

diperlukan untuk menerima masuknya suatu negara menjadi anggota

WTO.71

2. Kebijakan Unifikasi dan Harmonisasi WTO

WTO adalah salah satu contoh yang telah di sebut di atas,

di mana unifikasi aturan-aturan atau hukum perdagangan

internasional diterapkan terhadap negara-negara anggotanya. Pasal

XVI Perjanjian Pembentukan WTO menyatakan: "Each member shall

ensure the conformity of its laws, regulations and administrative

procedures with its obligations as provided in the annexed

Agreements." (Pasal XVI ayat 4 Agreement Establishing the World

Trade Organization).

Ketentuan pasal tersebut menjadi indikator penting

bagaimana WTO mewajibkan negara-negara anggotanya untuk

menyesuaikan aturan-aturan atau hukum perdagangannya dengan

aturan-aturan yang termuat dalam Annex perjanjian WTO. Bahkan

ketentuan pasal XVI tersebut juga mewajibkan negara anggotanya

untuk menyesuaikan administrative procedures-nya (birokrasi)

sesuai dengan administrative procedure-nya WTO.

71

(40)

Perjanjian-perjanjian yang termuat dalam lampiran (Annex)

WTO adalah perjanjian dalam TRIPS (telah diuraikan secara singkat

di atas). Perjanjian-perjanjian lainnya adalah:

GATT 1994; Agreement on Agriculture; Sanitary and Phytosanitary

Measures; Textiles and Clothing; Technical Barriers to Trade;

Trade-Related Investment Measures (TRIMs); Anti-dumping (Article

VI of GATT 1994); Customs valuation (Article VII of GATT 1994);

Preshipment Inspection; Rules of Origin; Import Licensing;

Subsidies and Countervailing Measures; Safeguards; General

Agreement on Trade in Services (GATS); Trade-Related Aspects of

Intellectual Property Rights (TRIPS); Dispute Settlement

Understanding.

Sebenarnya di samping unifikasi hukum, WTO juga berupaya

mendorong harmonisasi hukum, termasuk harmonisasi standar-standar

teknis-nya. Upaya harmonisasi ini telah lama diupayakan GATT

(pendahulu WTO). Pada tahun 1979, GATT berhasil mengeluarkan The

GATT Code on Technical Standards (Standard Code).

Aturan Standard Code ini mendorong negara-negara anggotanya

untuk mengharmonisasikan standar-standar produk domestiknya.

Upaya ini ditempuh agar kebijakan negara-negara mengenai standar

produk tidak malah menjadi penghalang bagi perdagangan dunia.72

Perjanjian lainnya yang dapat digolongkan ke dalam

harmonisasi hukum adalah perjanjian-perjanjian yang berada di

bawah 'Plurilateral Agreement'(Annex 4 Perjanjian WTO).

Perjanjian-perjanjian ini adalah: Agreement on Trade in Civil

Aircraft (Annex 4 (a)); Agreement on Government Procurement

(Annex 4 (b)); International Dairy Agreement (Annex 4 (c));

International Bovine Meat Agreement (Annex 4 (d)).

72 Michael Trebilcock and Robert Howse,

(41)

b. The International Institute for the Unification of Private Law (UNIDROIT).

1. Pengantar

The International Institute for the Unification of Private

Law (UNIDROIT) adalah sebuah organisasi antar pemerintah yang

sifatnya independen. UNCITRAL dibentuk pada tahun 1926 sebagai

suatu badan pelengkap Liga Bangsa-Bangsa (LBB). Sewaktu LBB

bubar, UNIDROIT dibentuk kembali pada tahun 1940 berdasarkan

suatu perjanjian multilateral yakni Statuta UNIDROIT (the

UNIDROIT Statute). UNIDROIT berkedudukan di kota Roma.

Tujuan utama pembentukannya adalah melakukan kajian untuk

memodernisasi, mengharmonisasi dan mengkoordinasikan hukum

privat, khususnya hukum komersial (dagang) di antara negara atau

di antara sekelompok negara.

Keanggotaan UNIDROIT terbatas hanya untuk negara-negara

yang menundukkan dirinya kepada Statuta UNIDROIT. Negara-negara

ini berasal dari 5 benua dan mewakili berbagai sistem hukum,

ekonomi, politik dan budaya yang berbeda.

Dewasa ini UNIDROIT memiliki 59 negara anggota, yakni:

Argentina, Australia, Austria, Belanda, Belgium, Bolivia, Brazil,

Bulgaria, Canada, Chile, China, Colombia, Croatia, Cuba, Cyprus,

Republik Czech, Denmark, Mesir, Estonia, Federasi Rusia

Finlandia, Perancis, Jerman, Holy See (Tahta Suci), Hungaria,

India, Iran, Iraq, Ireland, Israel, Italy, Japan, Luxembourg,

Malta, Mexico, Nikaragua, Nigeria, Norwegia, Pakistan, Paraguay,

Poland, Portugal, Republik Korea, Romania, San Marino, Slovakia,

Slovenia, Africa Selatan, Spanyol, Swedia, Swiss, Tunisia, Turki,

Inggris, Amerika Serikat, Uruguay, Venezuela, Yugoslavia (Federal

Republic of), Yunani.

2. Kebijakan Harmonisasi dan Unifikasi UNIDROIT

Tujuan utama UNIDROIT sebenarnya adalah mempersiapkan

harmonisasi aturan-aturan hukum privat. Upaya ini dipandang

(42)

Masalahnya adalah peraturan tersebut bisa saja berbeda antara

satu aturan hukum dengan aturan hukum lainnya. Karen itu aturan

tersebut perlu diharmonisasi, atau bahkan diunifikasi guna

memperlancar perdagangan internasional.

Masalahnya adalah harmonisasi atau unifikasi hukum tersebut

banyak bergantung kepada keinginan dan kerelaan negara-negara

untuk mau menerimanya.

Meskipun menyadari adanya kesulitan upaya tersebut,

UNIDROIT memiliki kedudukannya yang menguntungkan sebagai

organsiasi antar pemerintah. Dalam kaitan ini, UNDIROIT

menerapkan pemberlakuan konvensi atau perjanjian internasional

yang mensyaratkan penerimaan dari negara-negara anggotanya.

Tujuannya adalah menerapkan aturan-aturan konvensi tersebut ke

dalam sistem hukum negara-negara anggota yang menundukkan dirinya

kepada konvensi tersebut.

Penerimaan suatu aturan konvensi oleh negara akan jauh

lebih memudahkan pemberlakuan aturan-aturan konvensi tersebut ke

dalam wilayah negara anggotanya (termasuk kepada warga negara

atau subyek-subyek hukum di wilayah negara tersebut).

3. Konvensi atau Perjanjian Yang Dihasilkan UNIDROIT

Selama berdiri UNIDROIT telah melakukan lebih dari 70

kajian. Kajian-kajian ini ada yang telah menghasilkan berbagai

perjanjian atau konvensi internasional berikut:

(1) Convention relating to a Uniform Law on the Formation of

Contracts for the International Sale of Goods (The Hague

1964);

(2) Convention relating to a Uniform Law on the International

Sale of Goods (The Hague, 1964);

(3) International Convention on the Travel Contract (Brussels,

Referensi

Dokumen terkait

Mochtar Kusumaatmaja, Hukum Perdata Internasional adalah keseluruhan kaidah dan asas hukum yang mengatur hubungan perdata melewati batas negara, atau dengan kata lain,

Selain menjelaskan makna Hukum Internasional, dalam essay ini juga akan dibahas mengenai seberapa penting Hukum Internasional dalam mewujudkan perdamaian dunia, lalu bagian dari

Secara lebih rinci Pasal 66 menjelaskan bahwa: “Putusan arbitrase internasional hanya diakui serta dapat dilaksanakan di wilayah hukum Republik Indonesia, apabila

perdagangan anak ( child trafficking ) lintas negara dalam kajian hukum internasional sesuai dengan konvensi internasional yang mungkin dapat bermanfaat dan

“ Tinjauan Hukum Terhadap Aturan Internasional Mengenai Liberalisasi Perdagangan Jasa Melalui Kerangka Perjanjan WTO dan Kerangka Perjanjian ASEAN ” belum. pernah dilakukan

Pengertian dumping dalam konteks hukum perdagangan internasional adalah suatu bentuk diskriminasi harga internasional yang dilakukan oleh sebuah perusahaan atau

Peran individu dalam perdagangan internasoinal pun mengalami perkembangan yang sangat pesat.Misalnya, melakukan transaksi perdagangan internasional melalui marketplace atau membuat

Analisis Perdagangan Internasional Melalui Model Politik Heckscher-Ohlin Terhadap Kepentingan Ekonomi Nasional Perspektif Hukum Ekonomi Islam Analisis perdagangan internasional