• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Volatilitas Inflasi Daerah di Indonesia Tahun 1999-2009 : Moneter atau Fiskal ? T1 222009022 BAB I

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Volatilitas Inflasi Daerah di Indonesia Tahun 1999-2009 : Moneter atau Fiskal ? T1 222009022 BAB I"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Penelitian

Pemerintah maupun masyarakat berkepentingan terhadap harga barang

dan jasa yang (relatif) stabil. Stabilisasi harga perlu dilakukan agar pembangunan

ekonomi berjalan lancar dan kondusif untuk mendukung terciptanya stabilitas

sosial, politik, dan keamanan. Harga yang stabil pada umumnya juga diinginkan

oleh masyarakat karena harga yang sangat berfluktuasi berimplikasi pada risiko

dan ketidakpastian yang harus dihadapi dalam pengambilan keputusan

(Sumaryanto, 2009). Dan, kegelisahan yang paling ditakuti oleh masyarakat

adalah ketika terjadi kenaikan harga-harga secara umum, yang sering dikenal

dengan istilah inflasi.

Pemikiran tentang inflasi yang paling banyak dipahami oleh kita semua

bahwa inflasi merupakan suatu fenomena moneter, sehingga usaha untuk

mengurangi inflasi merupakan domain kebijakan moneter. Seperti dalam teori

kuantitas uang yang menyatakan bahwa “tingginya harga (inflasi) yang terjadi di

suatu negara adalah buah dari tingkat pertumbuhan penawaran uang yang tinggi”,

(Mishkin, 2000: 664).

Di Indonesia, penelitian terkait kebijakan moneter dan fiskal pernah

(2)

Indonesia merupakan fenomena moneter atau fiskal. Dengan menggunakan dua

bentuk persamaan (fenomena moneter dan fiskal), penelitian yang dilakukan oleh

Valerica (2009) menggunakan variabel inflasi ( Indeks Harga Konsumen / IHK ),

jumlah penawaran uang (M2), jumlah utang domestik pemerintah, dan

memasukkan variabel boneka/dummy variable sebagai external shock yang

menggambarkan kepemimpinan Presiden di Indonesia. Hasil yang diperoleh dari

penelitian tersebut bahwa inflasi di Indonesia merupakan fenomena moneter.

Berbeda dengan penelitian Valerica (2009), penelitian yang penulis

lakukan ini lebih spesifik pada volatilitas inflasi di Indonesia secara regional

dengan melibatkan beberapa Provinsi di Indonesia sebagai obyek penelitian.

Mengapa? Penulis berpendapat bahwa peran inflasi daerah dalam sumbangan

inflasi nasional sangat signifikan1. Bobot sumbangan inflasi daerah mencapai

sekitar 78 persen. Artinya, Jakarta -kota besar yang dianggap sebagai pusat

pertumbuhan ekonomi- hanya menyumbang sekitar 22% dari angka inflasi

nasional (Kompas, 2011). Di tahun 2010, 10 besar kota yang mengalami inflasi

tertinggi berada di Pulau Sumatera, Kalimantan, dan Nusa Tenggara (Sukma,

2011).

Jika dilihat lebih dalam lagi, sebagian besar disumbangkan oleh inflasi

bahan makanan. Inflasi bahan makanan memiliki bobot inflasi hampir 20% dari

tujuh sub kelompok pembentuk inflasi. Sekitar 50 kota (dari 66 kota yang disurvei

BPS), mengalami inflasi bahan makanan di atas 10%. Dan lagi-lagi, Kota-Kota

(3)

$

yang berada di luar Jawa mengalami inflasi bahan makanan cukup tinggi seperti

Sampit (20,77%), Bengkulu (20,55%), serta Palangkaraya (19,26%) selama tahun

2010 (Badan Pusat Statistik, 2011).Hal ini menunjukkan bahwa ada permasalahan

dalam supply bahan makanan serta ketersediaan sarana infrastruktur (darat, laut,

dan udara) yang sangat berperan dalam pendistribusiannya di mana permasalahan

utama daerah adalah ketersediaan infrastruktur fisik, baik dari sisi jumlah maupun

kualitasnya yang masih minim2.

Pandangan mengenai inflasi selalu identik dengan inflasi dalam konteks

nasional. Namun kenyataannya, inflasi di tiap kota dalam satu Negara, bahkan

dalam satu Provinsi sekalipun seringkali mengalami perbedaan. Isu penting yang

berkaitan dengan inflasi pada tingkat regional pada saat ini adalah otonomi

daerah. Bank Indonesia sebagai salah satu lembaga Negara yang diamanatkan

untuk menjaga stabilitas inflasi tentunya semakin susah dalam hal pengendalian

inflasi daerah. Bank Indonesia hanya bisa mempengaruhi inflasi dari sisi moneter

dengan instrumen yang ada. Hasil penelitian Bank Indonesia menunjukkan bahwa

respon setiap daerah terhadap kebijakan moneter sangat beragam (BI, 2011).

Hanya menggantungkan pengendalian inflasi daerah melalui BI rate saja dan

menafikan peran pemerintah daerah serta institusi lainnya, tidak akan

menanggulangi inflasi. Ini menunjukkan bahwa inflasi nasional dan daerah

tidaklah sama. Inflasi nasional secara agregat berasal dari inflasi daerah sehingga

perlu sinergi dan keterpaduan upaya untuk kendalian harga.

% &'''# # # # () * +

(4)

-Dalam kasus Indonesia, inflasi tidak boleh dipandang hanya sebagai

fenomena moneter saja. Sebab, volatilitas inflasi di Indonesia bisa dipengaruhi

dari sisi moneter maupun fiskal (Hervino, 2009). Dalam tulisan Hervino (2009)

dikatakan bahwa peran pemerintah juga penting karena hasil penelitiannya

membuktikan bahwa variabel fiskal yang digunakan berupa utang luar negeri

signifikan mempengaruhi inflasi di Indonesia.

Selanjutnya, hal yang menarik bagi penulis untuk melakukan penelitian ini

adalah besarnya dana yang dialokasikan bagi kabupaten/kota di suatu Provinsi

dalam rentang waktu 1999-2009 tidak sejalan dengan pertumbuhan ekonomi

daerah tersebut. Bahkan bisa saja ketidakseimbangan pengelolaan anggaran ini

dapat mengakibatkan defisit anggaran yang secara tidak langsung menyebabkan

pemerintah meminjam dana , atau yang dikenal dengan istilah utang, yang

kemudian memicu tingginya inflasi yang justru berbeda-beda di tiap daerah. Oleh

sebab itu, penulis berpendapat bahwa salah satu kunci sukses penanganan inflasi

daerah adalah kemampuan pemerintah (pusat dan daerah) juga Bank Indonesia

sebagai bank sentral untuk mengidentifikasi serta memitigasi pemicu utama

terjadinya inflasi di Indonesia.

1.2. Masalah Penelitian

Inflasi merupakan fenomena moneter yang dialami oleh semua negara. Tetapi

tidak dapat dipungkiri bahwa tingginya inflasi pun turut disumbangkan oleh

(5)

.

Berdasarkan latar belakang yang sudah disampaikan terdahulu, yang menjadi

masalah penelitian adalah penulis ingin melihat volatilitas inflasi di Indonesia

tahun 1999-2009 ini merupakan fenomena fiskal (utang pemerintah daerah dalam

menutup defisit anggaran) atau masih merupakan fenomena moneter (sesuai teori

Kuantitas Uang).

1.3. Persoalan Penelitian

Berdasarkan masalah penelitian di atas, maka penulis merumuskan persoalan

penelitian sebagai berikut :

1.3.1. Bagaimana pengaruh Jumlah Uang Beredar / Money Supplyyang diproksi

dengan posisi pinjaman Rupiah dan Valuta Asing Bank Umum dan BPR

menurut lokasi proyek Provinsi (Miliar Rp) terhadap inflasi daerah di

Indonesia tahun 1999-2009?

1.3.2. Bagaimana pengaruh Utang Pemerintah Daerah terhadap inflasi daerah di

Indonesia tahun 1999-2009?

1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian

(6)

Adapun tujuan penelitian sebagai berikut :

1.4.1.1. Untuk mengetahui pengaruh Jumlah Uang Beredar / Money

Supplyyang diproksi dengan posisi pinjaman Rupiah dan Valuta

Asing Bank Umum dan BPR menurut lokasi proyek Provinsi

(Miliar Rp) terhadap inflasi daerah di Indonesia tahun 1999-2009.

1.4.1.2. Untuk mengetahui pengaruh Pinjaman/Utang Pemerintah Daerah

terhadap inflasi daerah di Indonesia tahun 1999-2009.

1.4.2. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini antara lain :

1.4.2.1. Dapat melengkapi ragam penelitian yang sudah ada, dan dapat

menjadi bahan referensi secara empiris dan edukatif bagi

terciptanya suatu karya ilmiah selanjutnya;

1.4.2.2. Memberi kontribusi secara Regional dalam menganalisis faktor

penyebab timbulnya inflasi di Indonesia;

1.4.2.3. Dapat menjadi tambahan acuan bagi pengambil kebijakan

moneter maupun fiskal dalam menanggulangi tingginya tingkat

Referensi

Dokumen terkait