• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEBIASAAN MAKAN DAN BIOLOGI REPRODUKSI IKAN MOTAN (Thynnichthys polylepis) DI WADUK KOTOPANJANG, RIAU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KEBIASAAN MAKAN DAN BIOLOGI REPRODUKSI IKAN MOTAN (Thynnichthys polylepis) DI WADUK KOTOPANJANG, RIAU"

Copied!
62
0
0

Teks penuh

(1)

Kebiasaan Makan dan Biologi ... di Waduk Kotopanjang, Riau (Asyari & K. Fatah)

KEBIASAAN MAKAN DAN BIOLOGI REPRODUKSI IKAN MOTAN

(

Thynnichthys polylepis) DI WADUK KOTOPANJANG, RIAU

Asyari dan Khoirul Fatah

Peneliti pada Balai Riset Perikanan Perairan Umum, Mariana-Palembang Teregistrasi I tanggal: 17 Juni 2010; Diterima setelah perbaikan tanggal: 27 September 2010;

Disetujui terbit tanggal: 16 Pebruari 2011 ABSTRAK

Ikan motan (Thynnichthys polylepis) merupakan jenis ikan yang mempunyai nilai ekonomi yang cukup penting di Kabupaten Kampar. Ikan motan di Waduk Kotopanjang termasuk jenis ikan yang dominan dan digemari masyarakat. Penelitian ini untuk mendapatkan data dan informasi mengenai kebiasaan makan dan biologi reproduksi dilakukan pada bulan Agustus sampai Nopember 2009. Penelitian ini dilakukan melalui metode survei dengan pengambilan contoh dilakukan secara purposive sampling. Untuk mengetahui kebiasaan makan digunakan metode Indeks Preponderan, kematangan gonad diamati secara morfologi dan penentuan fekunditas dihitung dengan metode gravimetrik. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa ikan motan tergolong jenis ikan herbivora dengan pakan utama makrofita 49,9%, pakan pelengkapnya adalah phytoplankton 22,6% dan detritus 17,4%, dan pakan tambahan terdiri atas protozoa 0,8%, rotifera 0,5%, dan crustaceae 0,4%. Selain itu makanan yang tak teridentifikasi 8,4%. Ikan motan memijah secara bertahap (parsial) dimulai pada bulan Nopember. Fekunditas ikan motan berjumlah antara 25.360-61.198 butir dengan diameter telur pada kisaran antara 0,31-0,90 mm, serta indeks kematangan gonad antara 6,65-17,56%.

KATA KUNCI: Kebiasaan makan, biologi reproduksi, motan, Waduk Kotopanjang

ABSTRACT: Food habit and biology reproduction of motan (Thynnichthys polylepis) in Kotopanjang Reservoir, Riau. By: Asyari and Khoirul Fatah

Motan (Thynnichthys polylepis) is one of fish species having the economically important value in Kampar Regency. In Kotopanjang Reservoir motan is a kind of fish which is dominant and it is liked by the people. The objectives of the research were to get data and information of food habit and the biology reproduction such as gonadal maturity, fecundity, and egg diameter has been carried out on August to November 2009. The research is done with the survey method, meanwhile the samples taken by purposive sampling. Food habit can used an index of preponderance method, the gonadal maturity is used by the morphology, meanwhile fecundity is counted by gravimetric. The result of the research shows that motan is belong to a herbivore fish with a mean food macrophyta of 49.9% as a mean food, phytoplankton of 22.6% and detritus of 17.4% as complement food. Meanwhile the addition food such as protozoa of 0.8%, rotiferas of 0.5% and crustaceae of 0.4%. Beside that, the unidentify part is 8.4%. Motan spawning by partial which is started on November. Fecundity of motan shows that the total egg varied between 25,360-61,198 with egg diameter is between 0.31-0.90 mm. Meanwhile index maturity of gonads is between 6.15-17.56 %. Based on the aspects some water quality.

KEYWORDS: food habit, biology reproduction, motan, Kotopanjang Reservoir PENDAHULUAN

Waduk Kotopanjang merupakan waduk baru yang dibangun pada tahun 1996, terjadi akibat dibendungnya Sungai Kampar Kanan dan Sungai Mahat. Luas daerah tangkapan air (cacthment area) diperkirakan mencapai 3.337 km2 dengan luas genangan sekitar 12.400 ha atau 124 km2 pada waktu air tinggi (Anonimous, 1996).

Karakteristik keanekaragaman sumber daya ikan di Waduk Kotopanjang hampir sama dengan sungai yang menjadi sumber air utamanya, yaitu Sungai Kampar Kanan, Sungai Mahat, Sungai Tiwi, Sungai Takus, Sungai Osang, dan Sungai Gulamo. Menurut Nurfiarini et al. (2009) keragaman jenis ikan di Waduk Kotopanjang mencapai 24 spesies, beberapa di antaranya merupakan ikan yang dominan tertangkap di perairan waduk, yaitu jenis ikan barau atau kebarau (Hampala macrolepidota), motan,

baung (Mystus nemurus), siban (Cyclocheilichthys apogon), toman (Channa micropeltes), kalui (Osphronemus gouramy), katung (Pristolepis grooti), kapiek (Barbodes schwanenfeldi), paweh (Osteochilus hasselti), toakang (Helostoma temmincki), dan tapah (Wallago miostoma). Di antara berbagai jenis ikan tangkapan tersebut, ikan baung, toman, tabengalan (Puntius bulu), dan tapah merupakan ikan konsumsi yang bernilai ekonomis tinggi.

Ikan motan merupakan salah satu jenis ikan yang mempunyai nilai ekonomi yang cukup penting di Kabupaten Kampar, ditemukan di habitat-habitat danau, sungai, dan perairan umum lainnya. Di Riau dapat dijumpai di Sungai Kampar, Sungai Rokan, Sungai Siak, dan Sungai Indragiri (Hamidy et al., 1983).

Ciri morfologis ikan motan sebagai berikut (Gambar 1) mempunyai sisik berwarna putih keperakan, ukuran

(2)

BAWAL: Vol.3 No.4-April 2011:

panjang lebih besar daripada ukuran tinggi tubuhnya, dan bentuk bilateral simetris. Kepala meruncing, mulutnya terletak di ujung depan kepala atau agak ke bawah dan kecil, moncongnya dapat ditonjolkan ke depan, tapi tidak ada bibir atas dan rahang bawah. Lipatan bibir yang kecil pada sudut rahang, overculum mempunyai kelopak yang besar, garis rusuk lurus dan memanjang ke tengah-tengah ekor, sirip dorsal kecil, dan terletak sejajar dengan sirip ventral. Memiliki tidak lebih delapan ruji bercabang, tapi

tidak mempunyai sisir insang. Gelembung renang terdiri atas dua bagian, di mana bagian belakang lebih kecil dari bagian depan (Mohsin & Ambak, 1992). Ikan motan tergolong famili Cyprinidae dan klasifikasi selengkapnya menurut Kottelat et al. (1993) adalah phylum Chordata, kelas Pisces atau Teleostei, ordo Cypriniformes, famili Cyprinidae, genus Thynnichthys, dan species Thynnichthys polylepis.

Gambar 1. Bentuk morfologi ikan motan di Waduk Kotopanjang, Provinsi Riau Figure 1. Morphological pattern of motan at Kotopanjang Reservoir, Riau Province Makanan bagi ikan dapat merupakan faktor yang

menentukan populasi, pertumbuhan, dan kondisi ikan, Macam makanan satu spesies ikan tergantung pada umur, tempat, waktu, dan alat pencernaan dari ikan itu sendiri (Effendie, 1992). Pakan ikan secara ekologis merupakan hal yang utama dalam mempengaruhi penyebaran ikan khususnya ikan air tawar (Macpherson, 1981). Dengan mengetahui makanan atau kebiasaan makan satu jenis ikan dapat dilihat hubungan ekologi antara ikan dengan organisme lain yang ada di suatu perairan, misalnya bentuk-bentuk pemangsaan, saingan, dan rantai makanan (Effendie, 1992).

Reproduksi merupakan hal yang sangat penting dari suatu siklus hidup organisme, dengan mengetahui biologi reproduksi ikan dapat memberikan keterangan yang berarti mengenai tingkat kematangan gonad, fekunditas, frekuensi dan musim pemijahan, dan ukuran ikan pertama kali matang gonad dan memijah (Nikolsky, 1963).

Aspek kebiasaan makan dan biologi reproduksi ikan motan sejauh ini belum banyak diteliti dan dilaporkan, oleh sebab itu penelitian ini perlu dilakukan untuk mendapatkan data dan informasi mengenai kebiasaan makan dan tingkat kematangan gonad, fekunditas, diameter telur, dan indeks kematangan gonad dari ikan motan, sehingga diharapkan jadi masukan untuk pengelolaan ikan ini di masa mendatang.

BAHAN DAN METODE

Data dan informasi dikumpulkan pada bulan Agustus, Oktober, dan Nopember 2009 dengan metode survei secara langsung di lapangan dan analisis di laboratorium. Contoh ikan didapat dari hasil tangkapan nelayan dengan alat tangkap jaring insang (gillnet). Pengambilan contoh dilakukan pada beberapa lokasi yaitu Dam site (lokasi pembangkit listrik tenaga air Kotopanjang), Jembatan 1 (Desa Tanjung Alai), Jembatan 2 (Sungai Gulamo), Desa Batu Besurat, dan Desa Muara Takus (Gambar 2). Ikan motan yang tertangkap diukur panjang dan bobot tubuhnya. Untuk menentukan kebiasaan makan ikan, diambil organ pencernaannya yaitu lambung dan usus (Gambar 3). Jenis dan jumlah makanan dianalisis dengan metode indeks bagian terbesar (index of preponderance) dari Natarajan & Jhingran (Effendie, 1992): VixFi IP = ---x100% ... (1 ∑ VixFi di mana: IP = index of preponderance

Vi = persentase volume satu macam makanan Fi = persentase frekuensi kejadian satu macam

makanan

(3)

Kebiasaan Makan dan Biologi ... di Waduk Kotopanjang, Riau (Asyari & K. Fatah)

Untuk mengidentifikasi makanan yang terdapat dalam usus atau lambung digunakan acuan dari (American Public Health Association, 1981; Merrit & Cummins, 1996; Needham & Needham, 1962; Pennak, 1978).

Tingkat kematangan gonad didasarkan atas modifikasi (Cassie, 1954 dalam Effendie, 1992):

1. Tingkat kematangan gonad I: ovari seperti benang, panjangnya sampai ke depan rongga tubuh, warna jernih atau transparan, dan butir telur belum kelihatan. 2. Tingkat kematangan gonad II: ukuran ovari lebih besar,

berwarna lebih gelap kekuning-kuningan, butir telur mulai terlihat tapi belum jelas.

3. Tingkat kematangan gonad III: ovari berwarna kuning. Secara morfologi, telur mulai diamati butirannya dengan mata.

4. Tingkat kematangan gonad IV: ovari makin besar, telur berwarna kuning, butir telur mudah dipisahkan, mengisi 50-60% rongga perut, dan usus agak terdesak.

5. Tingkat kematangan gonad V: ovari berkerut habis memijah, dinding tebal, dan butir telur sisa terdapat di dekat pelepasan. Perkembangan ovari kembali seperti pada tingkat II.

Pengamatan fekunditas dan diameter telur ditentukan dari contoh ikan dengan tingkat kematangan gonad IV. Fekunditas total dihitung berdasarkan atas metode grafimetrik (Effendie, 1992):

F=(G/g)n ... (2

di mana:

F = jumlah total telur dalam gonad (fekunditas) G = bobot gonad tiap satu ekor ikan

g = bobot sebagian gonad (sampel) satu ekor ikan n = jumlah telur dari contoh gonad

Indeks kematangan gonad mengacu kepada Effendie (1992) sebagai berikut: Bg IKG = ____ x100% ... (3 Bi di mana:

IKG = indeks kematangan gonad Bg = bobot gonad (g)

(4)

BAWAL: Vol.3 No.4-April 2011:

Gambar 2. Peta lokasi penelitian di Waduk Kotopanjang Riau, tahun 2009. Figure 2. Map showing research location at Kotopanjang Reservoir Riau, 2009.

Keterangan/Remarks: 1. Dam site atau lokasi bendungan pembangkit listrik tenaga air Kotopanjang, 2. Di bawah Jembatan 1 atau Desa Tanjung ALAI, 3. Di bawah Jembatan 2 atau Sungai Gulamo, 4. Desa Batu Besurat, 5. Desa Muara Takus

(5)

Kebiasaan Makan dan Biologi ... di Waduk Kotopanjang, Riau (Asyari & K. Fatah)

Gambar 3. Contoh organ pencernaan ikan motan yang akan diambil untuk pemeriksaan makanannya di laboratorium. Figure 3. Digestive organ of motan taken for food analysis in the laboratorium.

HASIL DAN BAHASAN Makanan dan Kebiasaan Makan

Makanan ikan adalah organisme hidup baik tumbuhan ataupun hewan yang dapat dikonsumsi ikan di habitatnya, dapat berupa tumbuhan (makrofita), algae, plankton, ikan, udang, cacing, benthos, dan serangga atau larva serangga. Menurut Nikolsky (1963) urutan kebiasaan makanan ikan dikategorikan ke dalam tiga golongan yaitu pakan utama, pelengkap, dan tambahan. Sebagai batasan yang dimaksud dengan pakan utama adalah jenis pakan yang mempunyai index of preponderance lebih besar dari 25%, pakan pelengkap mempunyai index of preponderance antara 4-25%, sedangkan pakan tambahan memiliki index of preponderance kurang dari 4%.

Dari sejumlah ikan motan yang telah diperiksa isi usus dan lambungnya, diketahui bahwa pakan utama ikan motan adalah makrofita (tumbuh-tumbuhan air) 49,9%. Pakan pelengkapnya terdiri atas phytoplankton 22,6% (Cholorophyceae 10,4%; Bacillariophyceae 8,1%; dan Cyanophyceae 4,1%), serta detritus (17,4%). Pakan tambahannya berupa Protozoa 0,8%; Rotifera 0,5%; dan Crustaceae 0,4% dan bagian yang tak teridentifikasi ditemukan 8,4% (Gambar 4). Dengan demikian ikan motan dapat digolongkan ke dalam kelompok ikan herbivora atau pemakan tumbuhan. Menurut Aprilianti (2007), ikan motan adalah pemakan plankton (plankton feeder) dan detritus (detritus feeder), hasil penelitian Pulungan (1999) menunjukan makanan yang paling banyak dikonsumsi ikan motan adalah detritus 53,5-67,6% dan phytoplankton 21,5-26,1%.

Gambar 4. Komposisi makanan alami ikan motan. Figure 4. Food habit composition of motan. Dari hasil analisis di laboratorium diketahui jenis-jenis

plankton yang terdapat dalam usus ikan motan terdiri atas phytoplankton dan zooplankton (Tabel 1).

Menurut Andri (2006), makanan yang terdapat di saluran pencernaan ikan motan (Cyprinidae) di Waduk Kotopanjang adalah phytoplankton (Bacillariophyta, 0 10 20 30 40 50 60

Jenis pakan / Food content

P er s en ta s e ( % ) / P e rc e n ta g e ( % ) Makrofita Phytoplankton Detritus Protozoa Rotifera Crustacea Tak teridentifikasi

(6)

BAWAL: Vol.3 No.4-April 2011:

Chlorophyta, Chrysophyta, Cyanophyta, dan

Euglenophyta), makrofita, dan zooplankton. Kelompok zooplankton terdiri atas Protozoa, Rotifera, Copepoda, dan Cladocera. Penelitian oleh Suryaningsih (2000) menemukan jenis plankton yang sering dimakan oleh ikan motan adalah Ankistrodesmus. sp. dan Synedra sp. Menurut Sanofel (2006) jenis Staurastrum dari Chlorophyceae sering ditemukan dalam saluran pencernaan ikan motan. Selanjutnya Lammens & Hoogenboezem (1981) mengatakan semua saluran pencernaan ikan telah disesuaikan dengan makanan yang dikonsumsi oleh ikan

tersebut, agar proses mencerna makanan dapat berlangsung optimum. Ikan yang bersifat herbivora memiliki saluran pencernaan yang lebih panjang dibandingkan ikan omnivora dan karnívora karena jenis makanan yang dimakan seperti tumbuh-tumbuhan dan lainnya lebih susah hancur sehingga membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mencernanya. Menurut Mudjiman (1991) pada ikan vegetaris (herbivora) saluran pencernaan dapat tiga kali panjang tubuhnya. Dari pengamatan panjang usus ikan motan, panjang saluran pencernaannya bahkan mencapai 5,9 kali panjang tubuh ikan tersebut.

Tabel 1. Komposisi jenis phytoplankton dan zooplankton (%) yang terdapat dalam usus ikan motan di Waduk Kotopanjang

Table 1. The composition of phytoplankton and zooplankton organisms (%) found in stomach of motan at Kotopanjang Reservoir

No.

Kelompok/Group Phytoplankton

Bacillariophyceae (%) Chlorophyceae (%) Cyanophyceae (%) Euglenophyceae (%)

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10 11. 12. 13. Cyclotella (2,15) Diatoma (3,76) Fragillaria (1,92) Navicula (6,44) Nitzschia (7,70) Pinnularia (0,68) Stauroneis (1,28) Surirella (0,86) Synedra (7,38) Ankistrodesmus (8) Cladophora (2,14) Closterium (4,75) Cosmarium (5,66) Desmidium (0,86) Mougeotia (6,64) Oedogonium (0,77) Pediastrum (0,48) Scenedesmus (1,31) Spirogyra (3,82) Staurastrum (10,26) Ulothrix (1,06) Zygnema (0,72) Anabaena (3,28) Aphanizomenon (3) Ghomphosphaeria (2) Oscillatoria (5,56) Spirullina (1,77) Euglena (1,69) Zooplankton

Protozoa (%) Rotifera (%) Crustaceae (%)

1. 2. 3. Brachionus (1,22) Coleps (0,71) Spirostomum (0,46) Keratella (0,26) Rotatoria (1,08) Cyclop (0,21) Nauplius (0,12)

Jumlah total phytoplankton dan zooplankton/Total of phytoplankton and zooplankton = 100% Tingkat Kematangan Gonad

Kematangan gonad ikan adalah tahapan pada saat perkembangan gonad sebelum dan sesudah ikan memijah (Utiah, 2007). Perkembangan gonad pada ikan secara garis besarnya terdiri atas dua tahap yaitu tahap pertumbuhan dan tahap pematangan (Lagler et al., 1977). Penentuan tingkat kematangan gonad dapat dilakukan secara morfologis dan histologis. Secara morfologis, dapat dilihat dari bentuk, panjang, dan bobot, warna, dan perkembangan gonad melalui fase perkembangan gonad, pada umumnya pertambahan bobot gonad ikan betina pada saat matang gonad (tingkat kematangan gonad IV) dapat mencapai 10-25% dari bobot tubuh ikan, dan semakin meningkat tingkat

kematangan gonad, diameter telur yang ada dalam gonad akan semakin besar. (Anonimus, 2007).

Pengamatan tingkat kematangan gonad yang dilakukan selama tiga kali survei, diketahui bahwa ikan motan mengalami proses pematangan gonad dari bulan Agustus sampai Nopember secara bertahap (Tabel 2). Pada bulan Nopember ikan motan banyak yang sudah memijah, ditandai oleh banyaknya telur pada tingkat kematangan gonad V. Secara keseluruhan, telur ikan motan akan dipijahkan antara 2-3 kali sampai semua telur dikeluarkan. Menurut Murtini (2006), ikan motan melakukan pemijahan secara parsial dan berkala karena mengalami kematangan gonad secara bertahap dari bulan ke bulan berikutnya.

(7)

Kebiasaan Makan dan Biologi ... di Waduk Kotopanjang, Riau (Asyari & K. Fatah)

Tabel 2. Tingkat kematangan gonad ikan motan di Waduk Kotopanjang Table 2. Gonad maturity stage of motan in Kotopanjang Reservoir

Tingkat kematangan gonad/ Gonad maturity stage

Persentase tingkat kematangan gonad/ Percentage gonad maturity stage

Agustus Oktober November

I 34 - -

II 45 - -

III 21 32 -

IV - 68 26,5

V - - 73,5

Keterangan/Remarks: - tidak ada data/no data available

Fekunditas, Indeks Kematangan Gonad, dan Diameter Telur

Fekunditas, indeks kematangan gonad, dan diameter telur yang dihitung adalah telur dengan tingkat kematangan gonad IV, karena telur pada saat itu sudah masak dan siap

untuk dipijahkan (Gambar 4). Fekunditas ikan motan di Waduk Kotopanjang pada penelitian ini berada pada kisaran antara 25.360-61.198 butir, dan indeks kematangan gonad berada antara 6,6-17,5% (Tabel 3). Diameter telur antara 0,31-0,90 mm (Gambar 5).

Gambar 5. Telur ikan motan pada tingkat kematangan gonad IV. Figure 5. The eggs of motan on gonad maturity stage IV.

Tabel 3. Fekunditas dan indeks kematangan gonad ikan motan pada tingkat kematangan gonad IV di Waduk Kotopanjang, Provinsi Riau

Table 3. Fecundity and gonado somatic index of motan at stadium IV in Kotopanjang Reservoir, Riau Province No. Total length (cm) Panjang total/ Total weight (g) Bobot total/ Gonad weight (g) Bobot gonad GSI

(%) Fekunditas/ Fecundity 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 24,2 19,6 20,2 20,6 23,8 22,5 20,6 21,4 21,5 21,0 19,3 18,6 18,2 20,6 25,0 21,2 148 64 73 100 150 121 102 112 116 103 74 63 61 76 155 115 12,70 7,83 8,17 6,65 14,44 14,76 10,83 13,24 8,80 10,09 9,20 8,83 8,90 8,55 9,54 7,20 8,58 12,23 11,20 6,65 9,62 12,20 10,62 11,82 7,57 9,79 12,43 14,01 14,59 11,25 6,15 6,26 52.120 35.576 42.780 25.360 56.165 54.374 30.656 46.686 29.384 43.826 38.742 36.425 31.420 34.506 41.664 32.108

(8)

BAWAL: Vol.3 No.4-April 2011: 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 25,4 20,5 19,2 20,3 19,0 20,5 20,3 21,7 26,0 22,5 162 72 69 90 70 98 84 100 160 110 18,26 9,16 6,90 12,82 8,12 17,21 9,16 10,23 11,34 8,73 11,64 12,72 10,00 14,24 11,61 17,56 10,90 10,20 7,09 7,93 54.672 42.702 29.442 49.240 39.424 61.198 34.645 36.062 40.314 25.346

Murtini (2006) mendapatkan dari 40 ekor ikan motan mempunyai fekunditas antara 36.057-83.968 butir. Tingginya fekunditas ini mungkin disebabkan karena ukuran ikan yang diperoleh relatif lebih besar bahkan ada yang bobotnya mencapai 180 g.

Sementara pada penelitian ini bobot ikan motan hanya berkisar 61-162 g. Nilai fekunditas ada hubungannya dengan ukuran ikan, semakin besar atau bobot ukuran ikan semakin bobot atau besar gonad sehingga fekunditas juga semakin banyak. Royce (1984) mengatakan fekunditas satu spesies ikan selain dipengaruhi oleh bobot dan panjang ikan, juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan, genetis, ketersediaan pakan, dan juga berkaitan dengan umur ikan. Menurut Nasution (2005), korelasi fekunditas dengan bobot total ikan lebih tinggi dibandingkan dengan panjang total ikan.

Indeks kematangan gonad adalah suatu nilai persentase hasil perbandingan bobot gonad dengan bobot tubuh ikan secara keseluruhan, nilai indeks kematangan gonad semakin besar dengan semakin berkembangnya gonad sampai ikan memijah atau mengeluarkan telur. Nilai indeks kematangan gonad tertinggi sejalan dengan perkembangan gonad, dan dicapai pada tingkat kematangan gonad IV (Nasution, 2005). Nilai indeks kematangan gonad ikan motan pada

tingkat kematangan gonad IV antara 6,65-17,56%. Dengan demikian telur ikan motan berada pada indeks kematangan gonad yang lebih kecil (<20%). Menurut (Bagenal, 1978 dalam Nasution, 2005), ikan betina yang mempunyai nilai indeks kematangan gonad lebih kecil dari 20 % dapat melakukan pemijahan beberapa kali setiap tahunnya.

Dari 1.881 butir telur yang teramati, diameter telur ikan motan pada tingkat kematangan gonad IV berada antara 0,31-0,90 mm (Gambar 5). Pada Gambar tersebut terlihat bahwa ukuran telur ikan motan tidak seragam. Ukuran diameter telur yang paling banyak ditemukan antara 0,61-0,70 mm (D) 38,65% selanjutnya ukuran 0,71-0,80 mm (E) 35,57%. Selain itu ukuran diameter telur dari 0,31-0,40 mm (A) hanya berjumlah 2,23%, dan ukuran yang paling besar 0,81-0,90 mm (F) hanya 6,11%. Analisis yang dilakukan terhadap seluruh telur yang teramati rata-rata diameter telur ikan motan 0,67 mm, telur yang paling banyak ditemukan mempunyai diameter 0,70 mm. Beragamnya ukuran telur ikan motan ini juga terjadi pada penelitian Murtini (2006), di mana diameter telur ikan motan yang ditemukannya berkisar antara 0,40-0,75 mm. Ukuran telur yang tidak seragam menyebabkan ikan ini melakukan pemijahan secara parsial karena telur belum siap dipijahkan secara keseluruhan.

Gambar 6. Kisaran diameter telur ikan motan di Waduk Kotopanjang, tahun 2009. Figure 6. Range of eggs diameter of motan in Kotopanjang Reservoir, 2009.

Keterangan/Remarks: A = 0,31-0,40 mm; B = 0,41-0,50 mm; C = 0,51-0,60 mm; D = 0,61-0,70 mm; E = 0,71-0,80 mm; F = 0,81-0,90 mm 0.00% 5.00% 10.00% 15.00% 20.00% 25.00% 30.00% 35.00% 40.00% 45.00% A B C D E F D i a m e t e r

(9)

Kebiasaan Makan dan Biologi ... di Waduk Kotopanjang, Riau (Asyari & K. Fatah)

KESIMPULAN

1. Ikan motan merupakan ikan herbivora dengan pakan

utama makrofita, pakan pelengkap berupa

phytoplankton dan detritus, sedangkan pakan tambahannya adalah Protozoa, Rotifera, dan Crustaceae.

2. Tingkat kematangan gonad stadium IV terjadi pada awal musim hujan (bulan Oktober). Pemijahan terjadi beberapa kali setelah musim hujan pada bulan Nopember.

3. Fekunditas ikan motan berjumlah antara 25.360-61.198 butir dengan diameter 0,31-0,90 mm. Indeks kematangan gonad antara 6,15-17,56%.

PERSANTUNAN

Tulisan ini merupakan kontribusi dari kegiatan hasil riset pakan alami dan biologi reproduksi ikan motan (Thynnichthys polylepis) di Waduk Kotopanjang, Provinsi Riau, T. A. 2009, di Balai Riset Perikanan Perairan Umum-Mariana, Palembang dengan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional.

DAFTAR PUSTAKA

American Public Health Association. 1981. Standart Methods for Examinations of Water and Waste Water. American Public Health Association Inc. New York. 1,134 pp.

Anonimus. 1996. Studi zonasi daerah genangan proyek pembangkit listrik tenaga air Kotopanjang. Buku I: Utama. Laporan Akhir. Lembaga Penelitian. Universitas Padjadjaran. Bandung. 75 pp.

Andri, R. J. 2006. Analisis isi saluran pencernaan ikan famili Cyprinidae yang memanfaatkan diatom di sekitar keramba di waduk pembangkit listrik tenaga air Kotopanjang, Provinsi Riau. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Riau Pekanbaru. (Tidak Diterbitkan). 119 pp.

Anonimus. 2007. Pemeriksaan Gonad Ikan. Diunduh

Tanggal 23 Nopember 2009.

http://jlcome,blogspot.Come/2007/05.

Aprilianti, R. 2007. Hubungan kelimpahan fitoplankton dengan jumlah ikan motan (Thynnichthys polylepis) di waduk pembangkit listrik tenaga air Kotopanjang. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Riau. Pekanbaru. (Tidak Dipublikasikan). 55 pp.

Effendie, M. I. 1992. Metoda Biologi Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Bagian Ichtiology. Institut Pertanian Bogor. 112 pp.

Hamidy, R., M. Ahmad, T. Dahril, H. Alawi, M. M. Siregar, & C. P. Pulungan. 1983. Identifikasi dan inventarisasi jenis ikan di Sungai Siak, Riau. Pusat Penelitian. Universitas Riau. Pekanbaru. 63 pp.

Kottelat, M., A. J. Whitten, S. N. Kartikasari, & S. Wirjoatmodjo. 1993. Freshwater Fishes of Western Indonesia and Sulawesi (Ikan Air Tawar Indonesia Bagian Barat dan Sulawesi). Periplus Editions-Proyek EMDI. Jakarta.

Lagler, K. F., J. E. Bardach, R. R. Miller, & D. R. M. Passino. 1977. Ichthyology. 2nd ed. New York. John Wiley & Sons.

Lammens, E. H. R. R & W. Hoogenboezem. 1981. Diets and feeding behavior. In Winfield, I. J. & J. S. Nelson (Eds): Cyprinid Fishes: Systematics, Biology, and Exploitation. Chapman & Hall. London. 353-376.

Macpherson, E. 1981. Resource partitioning in a Mediterranian demersal fish community. Mar. Ecol. Prog. Str. 39: 183-193.

Mudjiman, A. 1991. Makanan Ikan: Seri Perikanan. PT. Penebar Swadaya Anggota IKAPI. Jakarta. 190 pp.

Mohsin, A. K. M. & A. M. Ambak. 1992. Freshwater Fishes of Western Peninsular Malaysia. Penerbit University Pertanian. Malaysia.

Merrit, R. W. & K. W. Cummins. 1996. An Introduction to the Aquatic Insect of North America.

Murtini, S. 2006. Biologi Reproduksi Ikan Motan (Thynnichthys polylepis) secara Histologi di Waduk Kotopanjang, Kabupaten Kampar, Riau. Manajemen Sumber Daya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Riau. (Tidak Dipublikasikan). 59 pp.

Needham, J. G. & D. R. Needham. 1962. Freshwater Biology. Holden Day Inc. Sanfransisco. 108 pp.

Nikolsky, G. V. 1963. The Ecology of Fishes. Academic Press. 325 pp.

Nasution, S. H. 2005. Karakteristik reproduksi ikan endemik rainbow selebensis (Telmatherina celebencis Boulenger) di Danau Towuti. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia: Edisi Sumber Daya dan Penangkapan. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan. 11 (2): 29-37.

(10)

BAWAL: Vol.3 No.4-April 2011:

Nurfiarini, A., F. N. Priyatna, & A. S. N. Krismono. 2009. Status sosial budaya dan kelembagaan masyarakat dalam pemanfaatan sumber daya perikanan di Waduk Kotopanjang, Provinsi Riau. Prosiding Seminar Nasional Tahunan VI Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan Tahun 2009. Jilid II. Manajemen Sumber Daya Perikanan dan Kelautan. Sosial Ekonomi Perikanan/SE.01. Jurusan Ilmu Kelautan dan Perikanan. Fakultas Pertanian. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta. 1-7.

Pennak, R. W. 1978. Freshwater Invertebrates of United Stated. Second Edition. A Wellow Inter Science Publication. Jhon Willey & Sons. New York. 803 pp.

Pulungan, C. P. 1999. Biologi reproduksi ikan motan (Thynnichthys polylepis) dari waduk pembangkit listrik tenaga air Kotopanjang di sekitar Desa Gunung Bungsu, Kecamatan XIII, Koto Kampar, Riau. Jurnal Terubuk. 31: 36-40.

Royce, W. 1984. Introduction to the Practice of Fishery Science. Academic Press Inc. New York. 753 pp.

Suryaningsih. 2000. Aspek biologi ikan motan (Thynnichthys polylepis C. V.) di waduk pembangkit listrik tenaga air Kotopanjang di sekitar Desa Gunung Bungsu, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Riau. Pekanbaru. (Tidak Diterbitkan). 67 pp.

Sanofel, D. 2006. Studi keberadaan ikan motan (Thynnichthys polylepis) pada jenis vegetasi air yang berada di waduk pembangkit listrik tenaga air Kotopanjang, Kecamatan XIII, Koto Kampar, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Riau. Pekanbaru. (Tidak Diterbitkan). 76 pp.

Utiah, A. 2007. Penampilan reproduksi induk ikan baung (Mystus nemurus) dengan pemberian pakan buatan yang ditambah asam lemak N-6 dan N-3 dan dengan implantasi estradiol-17 B dan tiroksin. Makalah Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor Tahun 2006. http://www.damandiri.or.id/detail.php. Diunduh Tanggal 25 Nopember 2009.

(11)

Beberapa Aspek Biologi Ikan ….. Estuaria Banyuasin, Sumatera Selatan (K. Fatah & Asyari)

BEBERAPA ASPEK BIOLOGI IKAN SEMBILANG (

Plotosus canius)

DI PERAIRAN ESTUARIA BANYUASIN, SUMATERA SELATAN

Khoirul Fatah dan Asyari

Peneliti pada Balai Riset Perikanan Perairan Umum, Mariana-Palembang Teregistrasi I tanggal: 21 Juni 2010; Diterima setelah perbaikan tanggal: 24 September 2010;

Disetujui terbit tanggal: 16 Pebruari 2011 ABSTRAK

Ikan sembilang (Plotosus canius) merupakan salah satu sumber daya ikan di perairan estuaria, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan. Penelitian beberapa aspek biologi ikan sembilang dilakukan pada bulan April sampai Juli 2007. Contoh ikan diperoleh dari nelayan yang menangkap dengan alat tangkap belad dan rawai dasar. Hasil penelitian ini menunjukan ratio kelamin jantan terhadap betina yaitu 1:2. Organisme yang ditemukan dalam saluran pencernaan terdiri atas lima jenis yaitu potongan kepiting, udang, ikan, cacing, dan keong, sehingga ikan sembilang dapat digolongkan sebagai ikan karnivora. Pola pertumbuhan ikan sembilang bersifat isometrik (b=3), berarti pertumbuhan panjang seiring dengan pertumbuhan bobot. Kelompok ukuran panjang ikan sembilang tertangkap didominansi oleh ukuran panjang antara 25,1-30,1 cm.

KATA KUNCI: aspek biologi, ikan sembilang, estuaria Banyuasin

ABSTRACT: Some biological aspect of eeltailed catfish (Plotosus canius) in the estuarine waters of Banyuasin, South Sumatera. By: Khoirul Fatah and Asyari

Eeltailed catfish (Plotasus canius) is one of the fish resources in the estuarine waters of Banyuasin South Sumatera. Research on some biological aspect of Plotosus canius was conducted from April to July 2007. Fishes were caught by fishermen using barrier traps and bottom long line. The results show that the sex ratio of male to female was 1:2. Organisms found in the digestive tract consists of five types crabs, shrimp, fish, worms, and snails. Thus eeltailed catfish can be classified as a carnivorous fish. The constant (=b) of length weight relationship of Plotosus canius was 3 (t-test) suggesting this species was length increment as fast as weight increment. Based on total length size group measured, fish dominontly caught in length of 25.1-30.1 cm.

KEYWORDS: fish biology, eeltailed catfish, Banyuasin estuary waters PENDAHULUAN

Estuaria merupakan bagian dari daerah aliran sungai yang berada di bagian hilir. Selain menjadi penangkap hara dan polutan, perairan estuaria sangat dinamis, dipengaruhi oleh pasang surut air laut dan aliran air dari hulu. Secara ekologi, perairan estuaria mempunyai ciri khas oleh adanya pengaruh pasang surut air laut dan fluktuasi salinitas dengan keragaman jenis ikan air tawar maupun ikan laut. Sebagian besar masyarakat yang tinggal di daerah estuari mempunyai mata pencaharian sebagai nelayan (Wardoyo et al., 2001).

Ikan sembilang secara taksonomi, termasuk kelas Actinopterygii, ordo Siluriformes, dan famili Plotosidae. Daerah penyebarannya meliputi perairan laut, muara sungai, dan perairan tawar. Ikan ini merupakan predator

yang memangsa anakan ikan dan hewan yang hidup di dasar dari kelompok gastropoda, moluska, dan crustasea. Menurut Webber & Beufort (1913), ikan sembilang terdiri atas tujuh spesies yaitu satu dari genus Paraplotosus dan enam spesies dari genus Plotosus. Ikan sembilang tersebar di kawasan Pasifik barat dan kepulauan Indo-Australia. Di Sumatera Selatan, ikan sembilang terdapat di daerah Musi Banyuasin dan kadang-kadang di Sungai Musi bagian tengah (Utomo, 2007). Menurut Gaffar et al. (2006), ikan sembilang yang hidup di Banyuasin didominansi oleh jenis Plotosus canius (Gambar 1). Selanjutnya (Webber & Beufort, 1913; Kottelat et al., 1993) mengatakan ciri-ciri ikan sembilang antara lain sirip punggung kedua terletak pada garis tegak antara sirip dubur dan sirip perut; bibir atas dapat membuka ke atas atau ke depan; sungut dapat mencapai bagian belakang mata, dan berwarna gelap kecoklatan. Panjang total dapat mencapai 134 cm.

(12)

BAWAL: Vol.3 No.4-April 2011:

Gambar 1. Ikan sembilang.

Figure 1. Eeltailed catfish. Sampai saat ini belum tersedia data produksi ikan

sembilang di Banyuasin, tetapi dari indikator di lapangan menunjukan ikan sembilang yang di tangkap oleh nelayan didominansi oleh ikan yang berukuran kecil dan belum matang gonad. Ikannya tersebut ditangkap dengan alat tangkap yang tidak selektif misal belad pantai yang mempunyai ukuran mata jaring 0,5 inci. Upaya penangkapan yang dilakukan terus-menerus, dikhawatirkan akan menganggu proses rekruitmen karena banyak ikan yang kecil tertangkap. Sementara upaya pengelolaan sumber daya ikan di daerah estuaria Banyuasin belum dilakukan. Penelitian beberapa aspek biologi ikan sembilang merupakan tahap awal dalam mempelajari

dinamika populasinya sebagai masukan untuk

pengelolaanya. Tujuan penelitian ini adalah untuk

mengetahui beberapa aspek biologi seperti kebiasaan, makanan, dan hubungan panjang dan bobot ikan sembilang di perairan estuaria Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan.

BAHAN DAN METODE Pengambilan Contoh Ikan

Penelitian tentang ikan sembilang dilakukan pada bulan April sampai Juli 2007 di perairan estuaria Upang, Sungsang, dan Banyuasin, Kabupaten Banyuasin (Gambar 2). Pengamatan biologi dilakukan di Laboratorium Biologi, Balai Riset Perikanan Perairan Umum, Palembang.

Gambar 2. Peta lokasi daerah penelitian ikan sembilang di perairan estuaria Kabupaten Banyuasin.

Figure 2. Map showing the research location of eeltailed catfish in the estuarine waters of Banyuasin District. Keterangan/Remarks: A = estuaria Banyuasin; B = estuaria Musi; C = estuaria Upang

Waktu pengambilan contoh ikan dilakukan setiap bulan pada minggu pertama. Contoh ikan dikumpulkan dari hasil tangkapan nelayan yang mengunakan alat tangkap belad (barrier trap), rawai dasar (long line), dan pancing (hook

and line). Pengamatan parameter biologi dilakukan terhadap panjang total dan bobot individu serta kandungan isi lambung dan nisbah kelamin.

BT A B C 2,5° 2,25° 2,0° 103° 104° 105° U LS S

(13)

Beberapa Aspek Biologi Ikan ….. Estuaria Banyuasin, Sumatera Selatan (K. Fatah & Asyari)

Identifikasi isi lambung mengacu pada (Kottelat et al., 1993; Needham & Needham, 1962; Pennak, 1978).

Analisis Data 1. Parameter biologi

Untuk penentuan sebaran frekuensi panjang ikan sembilang jantan dan betina didasarkan atas Walpole (1993). Menentukan banyaknya selang kelas, k=1+3,32 log n, menentukan wilayah kelas, r=db-dk (r = wilayah kelas, db = data terbesar, dk = data terkecil), menghitung lebar kelas, L = r/jumlah kelas (L = lebar kelas, r = wilayah kelas), menentukan limit bawah kelas interval pertama dan batas bawah kelas, mendaftarkan semua limit kelas dan batas kelas dengan cara menambahkan lebar kelas pada limit dan batas selang bawahnya, menentukan titik tengah kelas bagi masing-masing selang dengan meratakan limit kelas atau batas kelasnya, menentukan frekuensi bagi masing-masing kelas.

Nisbah kelamin dihitung dengan cara membandingkan jumlah ikan jantan dan betina yang diperoleh sesuai dengan Haryani (1998). Penentuan seimbang atau tidaknya nisbah kelamin jantan dan betina dilakukan uji Chi-square (Walpole, 1993).

2. Kebiasaan makan

Untuk mengetahui kebiasan makan maka dilakukan analisis isi lambung ikan dengan menghitung index of preponderance yang merupakan gabungan dari metode frekuensi kejadian dengan metode volumetrik sebagai berikut (Effendie, 1979):

VixOi

IP = --- x100% ... (1 ∑Vi x Oi

di mana:

Vi = persentase volume satu macam makanan Oi = persentase frekuensi kejadian satu macam

makanan

∑VixOi = jumlah VixOi dari semua macam makanan IP = index of preponderance

Suatu jenis organisme disebut sebagai makanan utama jika memiliki nilai index of preponderance di atas 40% dan dikatakan sebagai makanan pelengkap jika nilai index of preponderance diantara 4-40%. Jika nilai index of preponderance di bawah 4% maka termasuk kategori makanan tambahan (Noor, 2001).

3. Hubungan panjang dengan bobot

Hubungan bobot tubuh dengan panjang (total) ikan sembilang ditentukan berdasarkan atas rumus Effendie

(1979) yaitu:

W = aLb ... (2

di mana:

W = bobot ikan (g) L = panjang ikan (mm) a dan b = konstanta regresi

4. Faktor kondisi

Faktor kondisi dihitung dengan menggunakan persamaan ponderal indeks untuk pertumbuhan isometrik (b=3) dengan rumus (Effendie, 1979):

5 x10 3 L W K = ………. (3 di mana: K = faktor kondisi

W = bobot rata-rata ikan (g) L = panjang rata-rata ikan (mm)

Bila pertumbuhan tersebut bersifat alometrik (b≠3) maka faktor kondisi dapat dihitung dengan rumus (Effendie, 1979): n cL W Kn = ……….. (4 di mana:

Kn = faktor kondisi nisbi W = bobot rata-rata (g)

C = a dan n = b adalah konstanta yang diambil dari hubungan panjang dan bobot ikan

HASIL DAN BAHASAN Nisbah Kelamin

Jumlah contoh ikan sembilang yang dikumpulkan selama penelitian 137 ekor, terdiri atas kelamin jantan 49 ekor (35,51%) dan betina 89 ekor (64,49%) atau dengan perbandingan 1:2. Rasio kelamin diperlukan untuk mengetahui perbandingan jenis kelamin, sehingga dapat diduga keseimbangan populasinya. Populasi ikan sembilang betina di daerah penelitian lebih banyak dibandingkan dengan jantan. Menurut Rahmawati (2002), rasio kelamin ikan sembilang jantan terhadap betina di perairan estuaria Sungai Siak 1:2. Menurut Effendie (2002), kenyataan di alam perbandingan kelamin jantan dan betina tidak mutlak. Hal ini dipengaruhi oleh pola penyebaran yang disebabkan oleh ketersedian makanan, kepadatan populasi, dan keseimbangan rantai makanan.

(14)

BAWAL: Vol.3 No.4-April 2011:

Kebiasan Makan

Pengamatan isi lambung terhadap 137 ekor ikan sembilang dengan ukuran panjang total antara 20,6-57,6 cm, diperoleh lima jenis makanan yaitu potongan ikan, udang, kepiting, keong, dan cacing. Analisis kebiasaan makanan dengan metode index of preponderance diperoleh nilai masing-masing untuk udang 44,45%, kepiting 39,71%, keong 11,34%, ikan 4,21%, dan cacing 0,29% (Gambar 3).

Makanan utama ikan sembilang adalah udang dengan makanan pelengkap adalah kepiting, keong, ikan, dan sebagai makanan tambahan adalah cacing. Jenis udang yang dimakan ikan sembilang didominansi oleh udang ende (Metapenaeus ensis) lokal pepe. Pada bulan April sampai Juli diduga merupakan musim penangkapan udang ende dan berdampak lebih banyaknya ikan sembilang memakan udang bila dibandingkan dengan jenis makanan lainnya.

Gambar 3. Histogram nilai index of proponderance (%) ikan sembilang. Figure 3. Histogram index of proponderance of eeltailed catfish.

Pengukuran panjang usus terhadap 130 ekor ikan sembilang dengan panjang total berkisar antara 20,6-94,5 cm, rata-rata 32,5 cm diperoleh panjang usus 10-62 cm, dengan rata-rata 25,5 cm. Panjang usus ikan sembilang didapatkan 78,30% dari panjang total. Menurut Tamsil (2000), panjang usus adalah panjang saluran pencernaan ikan yang dikatakan dalam persen dari panjang badan total.

Ikan sembilang dapat digolongkan ke dalam ikan karnivora, dan pada umumnya memiliki panjang usus yang lebih pendek dari panjang total tubuh. Menurut (Effendie, 1979; Affandi et al., 1992; Lagler et al., 1977) Ikan karnivora mempunyai usus pendek dan panjang usus tersebut lebih pendek daripada panjang tubuhnya. Kondisi tersebut dikarenakan makanan ikan sembilang berupa

daging, dan dalam proses pencernaannya tidak memerlukan waktu yang lama seperti pada ikan pemakan tumbuhan.

Hubungan Panjang dan Bobot

Analisis statistik terhadap hubungan panjang dan bobot tubuh ikan sembilang diperoleh persamaan W=5x10-6 L3.0057 dengan nilai b sebesar 3,0057 dan r2 (koefisien korelasi) sebesar 0,96 (Gambar 4). Besarnya nilai r2 tersebut menunjukan bahwa antara panjang dan bobot tubuh mempunyai hubungan yang erat. Uji t terhadap nilai b, diperoleh thitung<ttabel sehingga ikan sembilang mempunyai pola pertumbuhan isometrik (b=3), artinya pertumbuhan panjang seiring dengan pertumbuhan bobotnya.

4,21%

44,45% 39,71%

11,34% 0,29%

(15)

Beberapa Aspek Biologi Ikan ….. Estuaria Banyuasin, Sumatera Selatan (K. Fatah & Asyari)

Gambar 4. Hubungan panjang dan bobot ikan sembilang di perairan estuaria Banyuasin, bulan April sampai Juli 2007.

Figure 4. Length and weight relationship of eeltailed catfish in the estuarine water of Banyuasin, April until July 2007.

Nilai faktor kondisi ikan sembilang berkisar antara 0,58-1, 50. Nilai tersebut menunjukan adanya variasi nilai. Menurut Effendie (1979) yang menyebabkan bervariasinya nilai faktor kondisi adalah tingkat kematangan gonad. Perkembangan gonad seiring dengan pertambahan bobot gonad yang dapat meningkatkan faktor kondisi.

Distribusi Panjang dan Bobot

Ikan sembilang yang tertangkap dengan belad pantai pada bulan April sampai Juli 2007 sebanyak 125 ekor,

dengan distribusi panjang total dan bobot tubuh adalah ikan jantan berukuran panjang total antara 234-597 mm dengan modus panjang 378 mm dan bobot tubuh 61-924 g, ikan betina berukuran panjang total antara 200-550 mm dengan modus panjang 380 mm dan bobot antara 20-1110 g Berdasarkan atas kelompok ukuran panjang total, ikan sembilang baik yang jantan dan betina yang terbanyak pada kelompok ukuran panjang antara 251-301 mm yaitu untuk jantan sekitar 16,80% dan untuk betina sekitar 28,80%, sedangkan pada kelompok ukuran 557-607 mm hanya ditemukan kelompok ikan jantan (Gambar 5).

W=5x10-6L3,0057 R²=0,964 r=0,982 0 500 1.000 1.500 2.000 2.500 3.000 3.500 4.000 4.500 0 200 400 600 800 1.000 Panjang (mm) B o b o t (g )

(16)

BAWAL: Vol.3 No.4-April 2011: 0 5 10 15 20 25 30 35 200 - 250 251 - 301 302 - 352 353 - 403 404 -454 455 - 505 506 - 556 557-607 Kelas panjang (mm) J u m la h ( % ) JANTAN BETINA 0 10 20 30 40 50 60 20 -158 159 -297 298 -436 437 -575 578 -716 71 - 855 856 - 994 995 -1133 Kelas berat (gr) J u m la h ( % ) JA N T A N B ET IN A

Gambar 5. Histogram ukuran panjang total (A) dan bobot (B) ikan sembilang hasil tangkapan belad di perairan estuaria Banyuasin, bulan April sampai Juli 2007.

Figure 5. Histogram of length and weight of eeltailed catfish caught by barrier trap in the estuarine water of Banyuasin, Aprl until July 2007.

Bedasarkan atas ukuran panjang total dan bobot tubuh ikan sembilang yang tertangkap, semakin besar ukuran panjang dan bobot tubuhnya semakin sedikit yang tertangkap, hal ini dikarenakan ikan sembilang sebelum mencapai ukuran dan bobot tersebut tertangkap oleh nelayan, sehingga tidak sempat tumbuh mencapai ukuran dan bobot tubuh yang maksimal. Menurut Soumakil (1996), ukuran ikan berbanding terbalik dengan jumlahnya, karena semakin besar ukuran ikan jumlah tangkapan cendrung semakin sedikit dan sebaliknya.

Pada Gambar 5 dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan persentase yang cukup besar antara ikan jantan dan betina.

Menurut Sumassetiyadi (2003) perbedaan tersebut antara lain disebabkan oleh aktivitas ikan dalam perairan, kemampuan beradaptasi, dan faktor genetik ikan jantan dan betina berbeda.

KESIMPULAN

1. Rasio kelamin ikan sembilang jantan terhadap betina di perairan estuaria Kabupaten Banyuasin adalah 1:2.

2. Pengamatan terhadap 137 ekor ikan sembilang diperoleh komposisi jenis makanan terdiri atas potongan udang 44,45%, kepiting 39,71%, keong 11,34%, ikan A

(17)

Beberapa Aspek Biologi Ikan ….. Estuaria Banyuasin, Sumatera Selatan (K. Fatah & Asyari)

4,21%, dan cacing 0,29%. Ikan sembilang digolongkan sebagai ikan karnivora dengan makanan utama adalah udang.

3. Pola pertumbuhan ikan sembilang bersifat isometrik di

mana pertumbuhan panjang seiring dengan

pertumbuhan bobot.

4. Ukuran panjang ikan sembilang jantan dan betina yang terbanyak berkisar antara 25,1-30,1 cm dengan komposisi ikan jantan 16,80% dan ikan betina 28,80%.

5. Ukuran bobot ikan sembilang jantan dan betina yang terbanyak berkisar antara 20-158 g dengan komposisi ikan jantan 23,8% dan ikan betina 48,4%.

PERSANTUNAN

Tulisan ini merupakan kontribusi dari kegiatan hasil riset penangkapan ikan di perairan estuaria Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan, T. A. 2007, di Balai Riset Perikanan Perairan Umum-Mariana, Palembang.

DAFTAR PUSTAKA

Affandi, R., D. S. Syafei, M. F. Rahardjo, & Sulistiono. 1992. Fisiologi Ikan: Pencernaan Pusat Antar Universitas Ilmu Hayati Institut Pertanian Bogor. 160 pp.

Effendie, M. I. 1979. Metode Biologi Perikanan. Yayasan Dewi Sri. Bogor. 112 pp.

Effendie. 2002. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusantara. Yogyakarta. 163 pp.

Gaffar, A. K., K. Fatah, & Rupawan. 2006. Riset perikanan tangkap di perairan estuaria yang bermuara di Selat Bangka. Laporan Teknis Balai Riset Perikanan Perairan Umum. Palembang. (Tidak Diterbitkan). 33 pp.

Haryani, G. S. 1998. Analisa histologi gonad ikan-ikan di perairan Danau Semayang, Kalimantan Timur. Hasil Penelitian Pusat Penelitian dan Pengembangan Limnologi Tahun 1997/1998. Pusat Penelitian dan Pengembangan Limnologi. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Cibinong. 632-637.

Kottelat, M., A. J. Whitten, S. N. Kartikasari, & S. Wirjoatmodjo. 1993. Ikan Air Tawar Indonesia Bagian Barat dan Sulawesi. Periplus Editions Limited. Jakarta. 293 pp.

Lagler, J. E. Bardach, R. P. Miller, & D. R. M. Passino.

1977. Ichthyology. Jhon Wiley & Sons. Inc. New York. 650 pp.

Needham, J. G. & D. R. Needham. 1962. Freshwater Biology. Holden Day Inc San Francisco. 108 pp.

Noor, A. 2001. Makanan ikan belanak (Mugil dussumien) di perairan Ujung Pangkah, Jawa Timur. Skripsi. Departemen Manajemen Sumber Daya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. 48 pp.

Pennak, R. W. 1978. Freshwater Invertebrates of the United State. Jhon Wiley & Sons. New York. 803 pp.

Rahmawati, I. 2002. Aspek biologi reproduksi ikan sembilang (Plotosus canius) di estuaria Sungai Siak, Provinsi Riau. Skripsi. Departemen Manajemen Sumber Daya Perairan. Universitas Riau. (Tidak Dipublikasi.). 75 pp.

Soumakil, A. 1996. Telah beberapa parameter populasi ikan moma putih (Decapterus rasselli) di perairan Kecamatan Amahai, Maluku Tengah, dan alternatif pengelolaanya. Tesis. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. 60 pp.

Sumassetiyadi, M. A. 2003. Beberapa aspek reproduksi ikan opudi (Telmaterina antoniae) di Danau Metano, Sulawesi Selatan. Skripsi. Departemen Manajemen Sumber Daya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. 75 pp.

Tamsil, A. 2000. Studi beberapa karakteristik reproduksi prapemijahan dan kemungkinan pemijahan buatan ikan bungo (Glossogobius aureus) di Danau Tempe dan Danau Sidenreng, Sulawesi Selatan. Disertasi. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. 80 pp.

Utomo, A. D. 2007. Dinamika sumber daya perikanan di estuaria. Prosiding Seminar Nasional Kelautan III. Universitas Hang Tuah. Surabaya. 12 pp.

Weber, M. & De Beufort. 1913. The Fishes of the Indo-Australian Archipelago. E. J. Brill ltd. Leiden. Jilid 2.

Walpole, R. V. E. 1993. Pengantar Statistik. Terjemahan B. Sumantri (Edisi Tiga). PT. Gramedia. Jakarta. 521 pp.

Wardoyo, H. Ferry, & P. Joko. 2001. Laporan Survei Perikanan di Kawasan CTN Sembilang, Bulan Juli 2001. Proyek Konservasi Lahan Basah Pesisir

Berbak-Sembilang GEF MSP (TF-0240011). Wetland

(18)

Evaluasi Keberhasilan Penebaran Ikan Bandeng (Chanos chanos) di Waduk Ir. H. Djuanda (Tjahjo, D.W.H., et al.)

EVALUASI KEBERHASILAN PENEBARAN IKAN BANDENG (

Chanos chanos)

DI WADUK IR. H. DJUANDA

Didik Wahju Hendro Tjahjo1), Sri Endah Purnamaningtyas1), dan Endi Setiadi Kartamihardja2) 1)

Peneliti pada Balai Riset Pemulihan Sumber Daya Ikan, Jatiluhur-Purwakarta

2)

Peneliti pada Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Ikan, Ancol-Jakarta Teregistrasi I tanggal: 13 April 2010; Diterima setelah perbaikan tanggal: 31 Desember 2010;

Disetujui terbit tanggal: 4 Pebruari 2011 ABSTRAK

Waduk Ir. H. Djuanda mempunyai potensi pengembangan budi daya ikan yang tinggi, dan pertumbuhan budi daya tersebut berkembang sangat pesat. Perkembangan yang pesat tersebut sangat berdampak pada penurunan kualitas air dan mendorong peningkatan kelimpahan plankton yang sangat tinggi. Oleh karena itu, pemerintah melakukan penebaran ikan bandeng (Chanos chanos) pada bulan Juli sampai Agustus 2008 sebanyak 2.116.000 ekor benih dalam upaya menanggulangi kelimpahan plankton yang tinggi dan sekaligus meningkatkan produksi ikannya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi keberhasilan penebaran ikan bandeng di Waduk Ir. H. Djuanda, Purwakarta, Jawa Barat. Penelitian ini dilakukan setiap bulan pada periode bulan Juli 2008 sampai Januari 2009. Pengamatan dilakukan dengan metode teratifikasi dengan enam titik stasiun pengamatan. Evaluasi keberhasilan penebaran ikan bandeng dievaluasi kemampuan memanfaatkan kelimpahan plankton, pertumbuhannya, dan dapat tertangkap kembali. Hasil analisis kebiasaan makan, ikan bandeng mempunyai kemampuan yang tinggi memanfaatkan kelimpahan plankton di perairan tersebut, dan ikan ini mempunyai laju pertumbuhan yang sangat cepat (K=3.381 dengan L=45 cm). Ikan bandeng ini dapat tertangkap kembali oleh nelayan setempat pada bulan September 2008 sampai Pebuari 2009 dan juga secara tidak langsung mampu memperbaiki kualitas perairan Waduk Ir. H. Djuanda. Oleh karena itu, dalam upaya peningkatan dampak penebaran ikan bandeng untuk memperbaiki kualitas perairan dan peningkatan kesejahteraan nelayan, maka perlu dilanjutkan penelitian strategi penebaran ikan bandeng dan penguatan kelembagaan nelayan yang ada.

KATA KUNCI: ikan bandeng (Chanos chanos), kebiasaan makan, pertumbuhan, tertangkap kembali, Waduk Ir. H. Djuanda

ABSTRACT: Evaluation of successfulness of fish stocking on bandeng (Chanos chanos) in Ir. H. Djuanda Reservoir. By: Didik Wahju Hendro Tjahjo, Sri Endah Purnamaningtyas, and Endi Setiadi Kartamihardja

Ir. H. Djuanda Reservoir has high potency in developing of fish culture, that the growth has developed very fast. The fast growth of fish culture affected the degradation of water quality and push increasing of plankton abundance. Therefore, government conduct stocking of bandeng on July until August 2008 as much 2,116,000 individual as on effort of overcoming of plankton bloom and increasing of fish production. The aim of this study is to evaluate the successfulness of fish stocking of bandeng (Chanos chanos) in Ir. H. Djuanda Reservoir, Purwakarta, and West Java. The research was conducted every month at period of July 2008 until January 2009. Observation was done by sampling stratification method at 6 point of observation station. Evaluation of successfulness fish stocking base on the ability using of plankton, the growth and percentage of recaptured. The result should that bandeng have high ability inusing of plankton in waters as a feed (97.8%), and this fish had high growth rate (K=3.381 and L=45 cm). This fish could be recaptured by local fisherman in September 2008 until February 2009. Beside, this bandeng stocking indirectly have been able to improve waters quality of Ir. H. Djuanda Reservoir. Therefore, the effort of increasing impact of bandeng stocking improved waters quality and improvement of fisherman prosperity, thus require to be continued of bandeng stocking and reinforcement institute of local fisherman.

KEYWORDS: bandeng (Chanos chanos), food habit, growth, recaptured, Ir. H. Djuanda Reservoir PENDAHULUAN

Waduk Ir. H. Djuanda terletak di Kabupaten Purwakarta, Provinsi Jawa Barat dan selesai dibangun tahun 1967. Waduk ini mempunyai luas genangan maksimum 8.300 ha dengan kedalaman maksimum 95 m, kedalaman rata-rata 36,4 m dan pengembangan garis pantai 5,96 (Tjahjo, 1986) atau panjang garis pantai 163 km dan terletak pada ketinggian 111,5 m di atas permukaan laut. Waduk ini merupakan waduk serbaguna dan mempunyai fungsi utama untuk Pembangkit Listrik Tenaga Air, irigasi,

pencegah banjir, dan penyedia bahan baku air minum. Saat ini Waduk Ir. H. Djuanda lebih diutamakan ke fungsi penyedia bahan baku air minum untuk wilayah Purwakarta, Karawang, Bekasi, dan Jakarta. Selain fungsi utama waduk tersebut di atas, waduk ini juga dimanfaatkan untuk perikanan, pariwisata, dan transportasi yang disebut sebagai kegiatan tambahan.

Pengembangan kegiatan budi daya ikan dalam keramba jaring apung di Waduk Ir. H. Djuanda telah jauh melampaui jumlah yang diizinkan, pada tahun 2005 telah mencapai

(19)

BAWAL: Vol.3 No.4-April 2011:

lebih dari 15.000 unit dan jumlah yang diizinkan 2.100 unit (berdasarkan atas Surat Keputusan Bupati Purwakarta No.06/2000). Perkiraan limbah organik yang berasal dari kegiatan budi daya di Waduk Ir. H. Djuanda mencapai 21.365,1 ton/tahun (Nastiti et al., 2001) dan meyebabkan perairan tersebut telah mencapai eutrofik dan hipertrofik. Dampaknya terhadap perairan, antara lain blooming algae dan perairan dalam kondisi anoxia yang menghasilkan gas beracun seperti NH3 dan H2S, sehingga sering terjadi kematian massal (Tjahjo et al., 2008).

Waduk Ir. H. Djuanda mempunyai luas 8.300 ha dengan kedalaman maksimum 97 m, dan luas daerah limnetiknya berkisar antara 5.200-7.100 ha atau 63-86% dari luas total (Kartamihardja, 2007). Perkembangan budi daya ikan dalam keramba jaring apung di waduk ini telah berkembang dengan pesat, bahkan telah melampaui daya dukung perairan itu sendiri. Unsur hara (N dan P) yang dihasilkan dari kegiatan budi daya ikan dalam keramba jaring apung di waduk ini pada tahun 1996 ditaksir 36.531,3 ton untuk total N dan 33.968,4 ton untuk total P (Nastiti et al., 2001). Peningkatan unsur hara tersebut telah berdampak terhadap peningkatan pertumbuhan fitoplankton yang tinggi dalam waktu yang singkat (blooming). Daerah limnetik yang kaya akan fitoplankton tersebut dihuni oleh sedikit jenis ikan pemakan plankton.

Hasil penelitian aliran energi biomassa di daerah limnetik oleh Kartamihardja (2007) menunjukan bahwa untuk meningkatkan optimasi pemanfaatan plankton di daerah limnetik, dapat dilakukan penebaran ikan pemakan plankton 4,118 juta ekor pada tahun pertama dan 1,235 juta ekor pada tahun berikutnya. Berdasarkan atas hasil penelitian tersebut, ditindaklanjuti oleh pemerintah telah melakukan penebaran ikan bandeng pada bulan Juli sampai Agustus 2008 dengan jumlah total benih 2.116.000 ekor. Penebaran ikan bandeng tersebut dilaksanakan 28 kali selama tanggal 2 Juli sampai 20 Agustus 2008 dengan ukuran panjang total 2,8-8,5 cm atau bobot 0,1-5,1 g.

Tujuan penebaran ikan bandeng ini untuk

memanfaatkan kelimpahan plankton yang tinggi, peningkatan hasil tangkapan nelayan, dan secara tidak langsung mampu memperbaiki kualitas perairan Waduk Ir. H. Djuanda. Dalam kaitan tersebut, tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi keberhasilan penebaran ikan bandeng di Waduk Ir. H. Djuanda, Purwakarta, Jawa Barat.

BAHAN DAN METODE Metode Pengumpulan Data

Pelaksanaan penelitian dilakukan di Waduk Ir. H. Djuanda (Kabupaten Purwakarta). Pengumpulan data tangkapan ikan dilakukan dengan menggunakan metode survei (stratified sampling method) (Nielsen & Johnson, 1985). Pengumpulan data tersebut di lapangan

direncanakan tujuh kali, setiap bulan selama periode bulan Juli 2008 sampai Januari 2009. Titik pengambilan contoh ditentukan enam titik stasiun pengamatan untuk Waduk Ir. H. Djuanda, yaitu Sodong, Bojong-Jamaras, Kerenceng, Baras Barat-DAM, Taroko, dan Cilalawi (Gambar 1).

Pengambilan contoh ikan dilakukan dengan

menggunakan jaring insang percobaan dan ukuran mata jaringnya 1; 1,5; 2; 2,5; 3; 3,5; dan 4 inci dengan panjang 37,5 m dan dalam 100 mata. Jaring insang tersebut dipasang pada sore hari (pukul 17.00 WIB) dan diangkat pagi hari berikutnya (pukul 7.00 WIB). Ikan bandeng yang tertangkap diukur panjang dan bobotnya, dan diambil lambungnya. Lambung ikan tersebut diawetkan dalam formalin 4%, selanjutnya dianalisis kebiasaan makannya di Laboratorium Loka Riset Pemacuan Stok Ikan, Jatiluhur.

Analisis Data

Ada tiga faktor untuk mengevaluasi keberhasilan penebaran ikan bandeng di Waduk Ir. H. Djuanda, yaitu ikan bandeng dapat ditangkap kembali, ikan bandeng mampu memanfaatkan plankton sebagai makanannya, dan ikan bandeng mampu tumbuh dengan cepat.

Kemampuan ikan bandeng dalam memanfaatkan sumber daya pakan melalui analisis kebiasaan makan dengan menggunakan indeks preponderance (Natarajan & Jhingran dalam Effendie, 1979) dengan rumus sebagai berikut:

(

Vi Oi

)

100 i O i V i I × ∑ × × = …... (1 di mana:

Vi = persentase volume satu macam makanan Oi = persentase frekuensi kejadian satu macam

makanan

Σ(VixOi) = jumlah VixOi dari semua macam makanan

Variabel pertumbuhan panjang ikan bandeng dengan analisis pergerakan modus dan pengukuran pertumbuhan panjang menggunakan rumus yang dikatakan von Bertalanffy dalam King (1995); Quinn II & Deriso (1999); Sparre & Venema (1999), yaitu:

− − − ∞ = ) 0 t 1 K(t e 1 L t L ... (2 di mana:

Lt = panjang ikan pada umur t

L∞ = panjang ikan tak terhingga (panjang asimtotik) K = laju pertumbuhan

(t1-t0) = umur ikan

(20)

Evaluasi Keberhasilan Penebaran Ikan Bandeng (Chanos chanos) di Waduk Ir. H. Djuanda (Tjahjo, D.W.H., et al.)

pengoperasian jaring insang percobaan pada bulan Juli 2008 sampai Januari 2009. Analisis komposisi jenis ikan yang tertangkap berdasarkan atas persentase jumlah, bobot, dan frekuensi kejadian. Di samping itu, juga dilakukan

wawancara dengan nelayan kaitannya dengan penangkapan ikan bandeng.

Gambar 1. Peta Waduk Ir. H. Djuanda dan stasiun pengamatannya. Figure 1. Ir. H. Djuanda Reservoir map and observation station. HASIL DAN BAHASAN

Evaluasi keberasilan penebaran ikan di suatu badan air secara biologis ada tiga faktor, yaitu ikan yang ditebar dapat ditangkap kembali, ikan yang ditebar mampu memanfaatkan sumber pakan alami yang tersedia, dan ikan tersebut mampu tumbuh cepat (Tjahjo, 2004).

Komposisi Hasil Tangkapan Ikan

Hasil percobaan penangkapan ikan selama periode penelitian menunjukan bahwa ada 22 jenis ikan yang tertangkap, yaitu ikan gabus (Channa striata), tagih (Mystus nemurus), hampal (Hampala macrolepidota), kebogerang (M. negriceps), lalawak (Barbonymus bramoides), beunter (Puntius binotatus), lepuk (Ompok bimaculatus), nila (Oreochromis niloticus), patin (Pangasionodon hypopthalmus), mas (Cyprinus carpio), mola (Hypophthalmichthys molitrix), bandeng, tawes (Barbonymus gonionotus), nilem (Osteochilus hasselti), dan

sepat (Trichogaster pectoralis). Komposisi jenis ikan yang tertangkap berdasarkan atas bobot ikan di Waduk Ir. H. Djuanda didominansi oleh ikan oskar (Amphilophus citrinellus) (21,468 kg), bandeng (20,173 kg), golsom (Amphilophus alfari) (11,951 kg), nila (6,005 kg), dan hampal (3,908 kg) (Gambar 2). Komposisi berdasarkan atas frekuensi kejadian didominansi oleh ikan golsom (62,3%), bandeng (57,1%), oskar (52%), nila (20%), dan kebogerang (16,4%). Sedangkan berdasarkan atas jumlah individu didominansi oleh ikan oskar (575 ekor), golsom (319 ekor), bandeng (134 ekor), kebogerang (74 ekor), dan kepiat (Thynnichthys thynnoides) (46 ekor). Sehingga secara umum, komposisi jenis ikan di Waduk Ir. H. Djuanda baik secara bobot, frekuensi kejadian, dan jumlah, didominansi ikan introduksi, yaitu ikan oskar, golsom, dan bandeng. Hasil tangkapan ikan bandeng menduduki urutan ketiga baik secara jumlah, bobot, maupun frekuensi kejadian. kondisi tersebut menunjukan bahwa ikan bandeng dapat mudah tertangkap kembali, sehingga menunjukan keberhasilan penebaran ikan bandeng di perairan Waduk Ir.

(21)

BAWAL: Vol.3 No.4-April 2011:

H. Djuanda.

Hasil penangkapan ikan bandeng oleh nelayan tertingi pada bulan September 2008, dengan rata-rata hasil tangkapan nelayan berkisar 100-150 kg/orang/hari dan ukuran ikan berkisar antara 200-250 g/ekor. Ukuran mata jaring insang yang digunakan nelayan pun cepat berubah, rata-rata setiap dua minggu sekali mata jaringnya dinaikan

0,25 inci dari 2-2,5 inci. Pada bulan Oktober 2008 hasil tangkapan ikan bandeng mulai menurun, dan bulan Pebuari 2009 ikan bandeng sudah jarang tertangkap. Hal tersebut disebabkan ikan bandeng ini bersifat bergerombol dalam jumlah yang besar, dan intensif penangkapan oleh nelayan. Karakteristik ikan bandeng tersebut sangat baik untuk digunakan sebagai jenis ikan stoking dalam rangka meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan nelayan.

Gambar 2. Komposisi jenis ikan di Waduk Ir. H. Djuanda. Figure 2. Fish species composition in Ir. H. Djuanda Reservoir.

Pertumbuhan

Komposisi ukuran panjang hasil tangkapan ikan bandeng pada pengamatan bulan September, Oktober, Nopember, dan Desember 2008, serta bulan Januari 2009 tertera dalam Tabel 1. Pada bulan September 2008 ikan bandeng yang tertangkap 61 ekor dengan rata-rata panjang

total 23,7 cm (14,7-31,0 cm) dan rata-rata bobot 134 g (25-280 g). Pada bulan Oktober 2008 ikan bandeng yang tertangkap 35 ekor dengan rata-rata panjang totalnya 27,3 cm (20,7-32,5 cm) dan rata-rata bobotnya 179 g (67-342 g). Pada bulan Nopember 2008 ikan yang tertangkap 38 ekor dengan rata-rata panjangnya 26,9 cm (20,0-34,5 cm) dan rata-rata bobotnya 158 g (66-347 g). Bulan Desember 2008

(22)

Evaluasi Keberhasilan Penebaran Ikan Bandeng (Chanos chanos) di Waduk Ir. H. Djuanda (Tjahjo, D.W.H., et al.)

ikan bandeng yang tertangkap 54 ekor dengan rata-rata ukuran panjang totalnya 27,5 cm (23,0-31,5 cm) dan rata-rata bobotnya 159 g (95-230 g). Terakhir pengamatan bulan Januari 2009 ikan bandeng yang tertangkap 17 ekor dengan rata-rata ukuran panjang totalnya 31,5 cm (27,6-38,5 cm) dan rata-rata bobotnya 220 g (143-375 g). Perubahan

ukuran ikan bandeng menurut waktu pengamatan menunjukan laju pertumbuhan yang sangat cepat. Hal tersebut juga terlihat dari hasil analisis pentumbuhan von Bertalanfii menunjukan bahwa laju pertumbuhan (K) ikan bandeng ini mencapai 3,381 dengan panjang asimtotnya (L∞) mencapai 45 cm (Gambar 3).

Tabel 1. Jumlah dan ukuran (panjang total dan bobot) benih ikan bandeng yang ditebar dan ditangkap menurut waktu pengamatan

Table 1. Number and size (total length and weight) of seed for stocking and bandeng recaptured during observation

Peubah/Variables

Benih yang ditebar/

Seeds are stocked Hasil ikan yang ditangkap/The result of the fish caught Juli Agustus September Oktober Nopember Desember Januari

Jumlah (individu) 2.116.000 61 35 38 54 17 Panjang (cm) Rata-rata 5,8 4,7 23,7 27,3 26,9 27,5 31,5 Minimum 3,2 2,8 14,7 20,7 20,0 23,0 27,6 Maksimum 7,8 8,5 31 32,5 34,5 31,5 38,5 Bobot (g) Rata-rata 1,3 0,8 134 179 158 159 220 Minimum 0,3 0,1 25 67 66 95 143 Maksimum 3,3 5,1 280 342 347 230 375

Regresi panjang dan bobot

a 0,0033 0,0015 0,0079 0,0244 0,007

b 3,32 3,52 2,99 2,65 3,00

R2 0,99 0,97 0,96 0,61 0,93

Pertumbuhan bobot ikan bandeng ini mulai bulan Nopember menunjukan penurunan, sehingga ikan tersebut cenderung lebih langsing. Hal tersebut terlihat nyata dari hubungan panjang dan bobot untuk bulan September, Oktober, Nopember, dan Desember 2008, serta bulan Januari 2009 masing-masing adalah 3,32; 3,52; 2,99; 2,65; dan 3,00. Hal tersebut diduga berhubungan dengan

kandungan oksigen terlarut yang menurun dan kembali naik pada bulan Januari 2009 (Gambar 4), dan ikan bandeng tidak tahan terhadap oksigen terlarut rendah (Anonimus, 2009). Secara umum, hubungan faktor kondisi ikan bandeng terhadap waktu relatif sama dengan hasil penelitian Kumagai et al. (1985) di Pulau Naburut, Philipina.

Gambar 3. Komposisi ukuran ikan bandeng dan pertumbuhan di Waduk Ir. H. Djuanda. Figure 3. Size of bandeng composition and its growth in Ir. H. Djuanda Reservoir.

L∞=45 cm K=3,381

(23)

BAWAL: Vol.3 No.4-April 2011: 0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 3.5 4.0 4.5

JUL AGU SEP OKT NOV DES JAN

O 2 ( m g /L )

Gambar 4. Kandungan rata-rata oksigen terlarut di Waduk Ir. H. Djuanda pada periode bulan Juli 2008 sampai Januari 2009.

Figure 4. Concentration mean of dissolved oxygen in period of July 2008 until Januari 2009 at Ir. H. Djuanda Reservoir.

Sumber/Sources: Tjahjo et al. (2009) Kemampuan Memanfaatkan Plankton

Ikan bandeng distribusi terbatas di daerah tropik maupun belahan bumi sebelah utara yang sub tropis sepanjang laut perairan kontinetal dan di sekitar pulau, di mana suhu adalah lebih besar dibanding 20ºC (Anonimus, 2009). Ikan ini mempunyai makanan alami berupa klekap (lab-lab) atau kombinasi antara fitoplankton dan makro algae (Anonimus, 2009). Hasil penelitian kebiasaan makan ikan bandeng di Waduk Ir. H. Djuanda sangat bervariasi. Pada bulan September 2008, ikan ini mempunyai makanan utama berupa fitoplankton (50,16%) dan zooplankton (48,72%) (Gambar 5). Pada bulan Oktober dan Nopember 2008 konsumsi akan fitoplankton meningkat secara nyata (77,33-77,76%) dan sebaliknya zooplankton

(20,02-20,44%). Pada bulan Desember 2008, konsumsi ikan bandeng terhadap fitoplankton sedikit menurun menjadi 70,91%, zooplankton menurun secara nyata menjadi 1,62%, dan sebaliknya terhadap detritus (27,48%). Penurunan konsumsi ikan bandeng tersebut akan fitoplankton terus berlanjut sampai bulan Januari 2009 menjadi 47,51% dan detritus menjadi 3,88%, sebaliknya untuk zooplankton meningkat menjadi 48,35%. Dinamika kebiasaan makan ikan bandeng yang cukup tinggi ini diduga dipengaruhi oleh perkembangan umur dari ikan tersebut, kesediaan makanan alami dan kualitas perairan Waduk Ir. H. Djuanda. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Kumagai & Bagarinao dalam Kumagai et al. (1985) bahwa ikan bandeng ini mempunyai kemampuan adaptasi yang tinggi dan sangat baik terhadap perubahan habitat dan makanan.

0% 20% 40% 60% 80% 100% K O M P O S IS I P A K A N

SEP OKT NOV DES JAN

Fitopl. Zoopl. Makrofita Detritus

Gambar 5. Kebiasaan makan ikan bandeng menurut waktu pengamatan. Figure 5. Food habit of bandeng according to observation time.

Keberhasilan penebaran ikan bandeng ini di samping mudah ditangkap kembali dan laju pertumbuhannya yang

tinggi, tetapi juga kemampuannya memanfaatkan kelimpahan plankton yang tinggi. Penebaran ikan ini secara

Gambar

Gambar 3.  Contoh organ pencernaan ikan motan yang akan diambil untuk pemeriksaan makanannya di laboratorium
Gambar 2.  Peta lokasi daerah penelitian ikan sembilang di perairan estuaria Kabupaten Banyuasin
Gambar 3.  Histogram nilai index of proponderance (%) ikan sembilang.
Gambar 4.  Hubungan  panjang  dan  bobot  ikan  sembilang  di  perairan  estuaria  Banyuasin,  bulan  April  sampai  Juli  2007
+7

Referensi

Dokumen terkait

Proses dalam melakukan text mining mulai dari pengumpulan data, pembagian dataset, pre-processing teks, ekstraksi fitur hingga pemilihan algoritma klasifikasi berpengaruh

Tersedianya bantuan kepada para penghasil bahan baku (Petani Ubi Jalar) Ditjen Holtikultura Kementerian Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,

Untuk dapat melaksanakan pembelaja- ran kimia dengan hasil yang baik, selain kuri- kulumnya yang harus sesuai, Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan

Dari prinsip tersebut di atas, Indonesia sebagai negara sumber tidak dapat mengenakan pajak atas penghasilan atau laba usaha yang diperoleh oleh perusahaan penduduk negara

Membantu Kepala Desa dalam melaksanakan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis pengembangan ekonomi masyarakat dan potensi desa, pengelolaan administrasi

Kekuasaan simbolik tersebut menjadi aspek-aspek yang menjadikan FBR sebagai kelompok etnis yang mendominasi di wilayah Kramat Jati, Jakarta Timur.Maka di

Sehingga GDSDW GLGH¿QLVLNDQ VHVXDWX yang dikonstruksikan secara sosial adalah sesuatu yang di bangun berdasarkan komunikasi dan interaksi antar individu

Pada akhirnya keberadaan sertifikat halal di restoran Kentucky Fried Chicken Cabang Manado dapat Membantu konsumen umat islam dalam hal status makanan dan minuman yang