EVALUASI KEKRITISAN LAHAN BERDASARKAN KERUSAKAN TANAH
DI KECAMATAN MANDING, KABUPATEN SUMENEP
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan
dalam Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian
Program Studi Agroteknologi
Oleh :
DEVI ARIASHINTA
NPM : 1025010013
Kepada
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAWA TIMUR
SURABAYA
w
t * I I i l "
'
fu-^
lr. taroiito.-Hp.
Hengetehui:
EVALUASI XEKRITT$A}I TAHAH BERDASARKAN KERUSAKAN TATTIAH XX XECATATAN TA}ITHNG, KABUPATEI.I $UTENEP
Dleiuken
Sch
:Tcleh
dlFrt
henkandi hrdepen
drn
dltcrftne olEhrkn
prngurr
$krlpi
frognm
$hrd: eOoh*notogl
Fekuttel
portenianUr$vcr*tm
PTb.nlrlTn
lhrlonrl
"\lrbren'
Tknur
hdr
tilrgsrt
..sJ...fW.YN
*
4
ITehh
dffirfui
obh:
qrm#
FAKULTAS
SqRAT
PFRNYATAAN
Berdasarkan undang-Undang No. 1g
rahun
2002 tentang Hakcipta
danPermendiknas No. 17 Tahun 2010, pasal 1 Ayat 1 tentang plagiarisme
Maka, saya sebagai Penulis Skripsi dengan judul :
Evaluasi Kekritisan Lahan berdasarkan Kerusakan Tanah
di Kecamatan
tanding,
Kabupaten Sumenep.menyatakan bahwa skripsitersebut di atas bebas dari plagiarism.
Demikian surat pemyataan ini saya buat dengan sebenar-benamya dan
saya
sanggup
mempertanggungiawabkansesuai
dengan hukum
danperundangan yang berlaku.
Surabaya,
Februari 2014KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan petunjuk-Nya,
sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul “EVALUASI KEKRITISAN LAHAN BERDASARKAN KERUSAKAN TANAH DI KECAMATAN MANDING, KABUPATEN SUMENEP”.
Penelitian dilaksanakan di Kecamatan Manding, Kabupaten Sumenep
dengan maksud untuk mengetahui perkembangan kekritisan lahan pada tahun 2011
– 2013. Output dari penelitian berupa rekomendasi solusi atau upaya untuk
meningkatkan produktivitas lahan kritis di Kecamatan Manding, kabupaten
Sumenep. Hasil akhir dari penelitian dapat digunakan sebagai acuan bagi para pihak
dalam perencanaan penggunaan tata guna lahan kritis dan perbaikan lahan kritis di
Kecamatan Manding, Kabupaten Sumenep.
Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang
kepada yang terhormat :
1. I. Krisnaadi, SE., dan Sari Karya Mahani. Kedua orang tua yang selalu
mengajarkan untuk menanamkan kebaikan, kesabaran, keikhlasan, dan
syukur, serta selalu mendoakan dan memberikan semangat serta kasih
sayang.
2. Kementrian Pertahanan (KEMHAN) dan Yayasan Kesejahteraan Pendidikan
dan Perumahan (YKPP) atas beasiswa pendidikan di UPN “Veteran” Jatim,
sehingga penulis dapat melanjutkan studi S1.
3. Ir. Setyo Budi Santoso, MP. Selaku dosen pembimbing utama yang dengan
kebijaksanaan, dedikasi, dan kesabaran beliau dalam membimbing dan
4. Ir. Kemal Wijaya, MTP. Selaku dosen pembimbing pendamping yang dengan
kebijaksanaan, dedikasi, dan kesabaran beliau dalam membimbing dan
mengarahkan penulis dalam menyelesaikan penelitian.
5. Ir. Hadi Sutrisno, MS., Dr. Ir. Rossyda, MP, Ir. Pancadewi. S, MT, Ir. Purwadi,
MP. Selaku dosen penguji yang dengan kesabaran dan ketersediaan beliau
dalam menguji dan memberikan saran penulis dalam menyelesaikan
proposal penelitian dan skripsi.
6. Ir. Maroeto, MP., dan Dr. Ir. Bakti Wisnu Widjajani, MP. Bapak dan Ibu yang
selalu membimbing dan memberikan kasih sayang selama penulis di
Surabaya.
7. Ir. Mulyadi, MS. Selaku Ketua Program Studi Agroteknologi Fakultas
Pertanian, UPN “Veteran” Jawa Timur.
8. Dr. Ir. Ramdan Hidayat, MS. Selaku Dekan Fakultas Pertanian, UPN
“Veteran” Jawa Timur.
9. Ristian. F.A, Fauzi. M.D, Lana. K.A, dan Hana. S.K. Kakak dan adik
tersayang.
10. Fuad. B, A. Transisto, Keluarga besar BATALYON 806 UPN, GITA PERSMA
UPN, serta teman-teman seperjuangan Program Studi Agroteknologi10.
Akhir kata semoga penelitian ini dapat dipergunakan sebagaimana mestinya
dan bermanfaat bagi para pembaca.
Surabaya, 11 Februari 2014
EVALUASI KEKRITISAN LAHAN BERDASARKAN KERUSAKAN TANAH DI KECAMATAN MANDING, KABUPATEN SUMENEP
Devi Ariashinta, Setyo Budi Santoso, dan Kemal Wijaya
Fakultas Pertanian UPN “Veteran” Jawa Timur, Surabaya
ABSTRAK
Lahan kritis merupakan kondisi lahan yang terjadi karena tidak sesuainya
kemampuan lahan dengan penggunaan lahannya. Lahan kritis yang terdapat di Kecamatan Manding mengalami peningkatan yang diindikasikan oleh ketebalan
solum yang semakin menipis dan jumlah batuan di permukaan yang banyak di tahun 2011 – 2012. Meningkatnya kekritisan lahan diduga karena pengelolaan lahan yang belum sesuai dengan kaidah konservasi. Penelitian ini bertujuan mengetahui kerusakan tanah berdasarkan bentuk topografinya tahun 2013, dan
mengevaluasi kekritisan lahan mulai tahun 2011 – 2013, serta merekomendasikan solusi untuk meningkatkan produktivitas lahan kritis di
Kecamatan Manding. Pengambilan sampel tanah dilakukan pada lapisan 0 – 20, 20 – 40, dan 40 – 60 cm dengan metode random sampling. Penetapan titik pengambilan contoh tanah sesuai dengan pengambilan contoh tahun 2011 dan 2012. Selanjutnya masing-masing wilayah digolongkan sesuai dengan bentuk topografinya. Pengamatan yang dilakukan adalah berat isi, porositas total,
derajat pelulusan air, ketebalan solum, dan kebatuan permukaan. Hasil penelitian menunjukan perkembangan wilayah di Kecamatan Manding tahun
2011 – 2013 mengalami perbaikan kondisi lahan yang diindikasikan oleh berat isi, porositas total, dan jumlah batuan menunjukan perubahan ke arah perbaikan.
Ketebalan solum dan permeabilitas mengalami peningkatan kekritisan. Dengan kata lain bila mana tidak segera ditangani maka akan berpotensi semakin kritis.
Rekomendasi meningkatkan produktivitas lahan kritis dengan penambahan bahan organik, pembuatan teras, pergiliran tanaman, dan revegetasi dengan
menanami tanaman yang sesuai dengan kemampuan lahan di sekitar.
THE EVALUATION OF SOIL CRITICALITY BASED ON SOIL DAMAGE IN THE DISTRICT OF MANDING, SUMENEP REGENCY
Devi Ariashinta, Setyo Budi Santoso, and Kemal Wijaya Department of Agriculture, UPN "Veteran" East Java, Surabaya
ABSTRACT
Critical soil is a condition in which the soil is overused and unable to fulfil
its demand. There has been an increase on the soil’s criticality in District of Manding, indicated by the dwindling thickness of solum and the volume of rock
on the soil surface which was plentiful during the period of 2011 – 2012. This increasing criticality is assumed to be the result of soil management that is not in
accordance with the principles of land conservation. The study is dedicated to determine the soil damages based on the topography in 2013, and to evaluate
the soil criticality beginning in 2011 to 2013, as well as to recommend solutions to improve the soil productivity in the District of Manding. The soil sample collection
is performed on the soil layers of 0 – 20 cm, 20 – 40 cm, and 40 – 60 cm using random sampling method. The soil sampling points is determined in accordance with the sampling previously done in 2011 and 2012 based on the use of land.
Then, the samples are classified according to their topography. The observation of samples includes density, total porosity, the degree of water release, solum
thickness, and the volume of rocks. The study shows that the territory development in the District of Manding during the year of 2011 – 2013 was followed by the improvement of soil condition, indicated by the increases on the quality of density, total porosity and the volume of rocks. Solum thickness and
soil permeability increased on its criticality. In other words, if not treated immediately, the soil will potentially become more critical. The study recommends
soil productivity enhancement by adding organic substances, terracing, crop planting rotation and revegetating the land by planting plants suitable for the
surrounding area.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ... i
DAFTAR TABEL ... iii
DAFTAR GAMBAR ... iv
DAFTAR LAMPIRAN ... v
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 2
1.3 Tujuan Penelitian ... 2
1.4 Manfaat Penelitian ... 3
1.5 Hipotesis Penelitian ... 3
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penggunaan Lahan ... 4
2.2 Lahan Kritis ... 5
III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 3.1 Letak Kecamatan Manding ... 14
3.2 Kondisi Fisiografis Kecamatan Manding ... 14
3.3 Kondisi Iklim ... 16
IV. METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian ... 17
4.2 Bahan dan Alat Penelitian... 18
4.3 Metode Penelitian ... 18
4.4 Analisis Data... 19
V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Kondisi Lahan Kritis di Kecamatan Manding ... 21
5.3 Hasil Analisa Kekritisan Lahan berdasarkan Kerusakan Tanah
di Kecamatan Manding Tahun 2013 ... 23
5.4 Perkembangan Kekritisan Lahan di Kecamatan Manding Tahun 2011 – 2013... 23
5.5 Arahan Perbaikan Lahan Kritis di Kecamatan Manding ... 31
VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ... 33
6.2 Saran ... 33
DAFTAR PUSTAKA ... 34
DAFTAR TABEL
No. Halaman
Judul
1 Evaluasi Kerusakan Tanah di Lahan Kering ... 11
2 Tingkat Kekritisan Lahan di Kecamatan Manding ... 15
DAFTAR GAMBAR
No. Halaman
Judul
1 Peta Titik Penelitian di Kecamatan Manding ... 17
2 Alur Proses Penelitian ... 20
3 Kondisi Lahan Kritis di Kecamatan Manding ... 21
4 Penggunaan Lahan di Kecamatan Manding ... 22
5 Grafik Berat Isi Tanah Tahun 2011 – 2013 ... 24
6 Grafik Porositas Total Tahun 2011 – 2013 ... 25
7 Grafik Derajat Pelulusan Air Tahun 2011 – 2013 ... 26
8 Grafik Ketebalan Solum Tahun 2011 – 2013 ... 28
DAFTAR LAMPIRAN
No. Halaman
Judul
Lampiran 1. Pengambilan Contoh Tanah di Lokasi ... 38
Lampiran 2. Ketebalan Solum ... 39
Lampiran 3. Kebatuan Permukaan ... 39
Lampiran 4. Berat Isi, Berat Jenis, dan Porositas Total ... 40
Lampiran 5. Permeabilitas/ Derajat Pelulusan Air ... 41
DAFTAR LAMPIRAN TABEL No. Halaman Judul Lampiran Tabel 1. Tabel Penelitian di Kecamatan Manding Tahun 2011 – 2013 ... 43
DAFTAR LAMPIRAN GAMBAR No. Halaman Judul Lampiran Gambar 1. Topografi Datar ... 44
Lampiran Gambar 2. Topografi Berombak ... 44
Lampiran Gambar 3. Topografi Bergelombang ... 45
1
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penggunaan lahan yang dilakukan dengan tidak memperhatikan kondisi
kemampuan lahan merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya lahan kritis.
Bukhari dan Febryano (2009) mengemukakan bahwa di Indonesia
praktek-praktek usaha tani dan pemanfaatan lahan yang tidak atau kurang
memperhatikan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air, serta praktek
perladangan berpindah menyebabkan timbulnya lahan kritis, erosi, bencana
kekeringan, serta penurunan kualitas dan kuantitas pertanian.
Lahan kritis adalah kondisi lahan yang terjadi karena tidak sesuainya
kemampuan lahan dengan penggunaan lahannya, sehingga mengakibatkan
kerusakan lahan secara fisik, kimia, maupun biologis (Arsyad, 1989). Pada lahan
kritis tanah-tanah yang mengalami kerusakan dapat terlihat dari kenampakan
fisik tanah tersebut seperti tanah terlihat tererosi dan jika ditanami tanaman
tersebut tidak berproduksi secara maksimal sehingga hasil produksi menjadi
rendah. Rehabilitas lahan kritis harus dilakukan guna memulihkan kesuburan
tanah, melindungi tata air dan menjaga kelestarian daya dukung lingkungan.
Kabupaten Sumenep merupakan salah satu Kabupaten di Pulau Madura
yang memiliki kondisi lahan yang kritis. Menurut Anonim (2011a) lahan kritis di
wilayah Kabupaten Sumenep diperkirakan seluas 102.000 hektar. Dari luasan
tersebut 8.000 hektar masuk kategori sangat kritis, dan sisanya adalah lahan
kritis dan potensial kritis. Pada wilayah penelitian di salah satu kecamatan di
Sumenep yaitu Kecamatan Manding memiliki luasan lahan kritis seluas 242
hektar, agak kritis seluas 3.265 hektar, dan potensial kritis seluas 836 hektar
2
Untuk mengetahui kekritisan lahan perlu dilakukan penelitian atau
pengamatan terhadap tanah tersebut. Hasil dari penelitian tersebut dapat
digunakan untuk tindakan penanganan atau penanggulangan agar dapat
meningkatkan produktivitas lahan kritis.
Penelitian mengenai evaluasi kekritisan lahan berdasarkan kerusakan
tanah di Kecamatan Manding perlu dilakukan. Dengan harapan dapat menjadi
bahan masukan maupun evaluasi untuk seluruh pihak yang memiliki kepentingan
dalam kegiatan penggunaan tata guna lahan di Kabupaten Sumenep.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, perumusan masalah penelitian ini adalah :
1. Bagaimana kerusakan tanah di Kecamatan Manding berdasarkan bentuk
topografinya dan kekritisan lahan di wilayah tersebut pada kurun waktu
tahun 2011 – 2013?
2. Upaya apa yang dilakukan untuk meningkatkan produktivitas lahan kritis
di Kecamatan Manding, Kabupaten Sumenep?
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah :
1. Mengetahui kerusakan tanah di Kecamatan Manding berdasarkan bentuk
topografinya tahun 2013, dan perkembangan kekritisan lahan mulai tahun
2011 – 2013.
2. Merekomendasikan solusi untuk meningkatan produktivitas lahan kritis di
3
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan bagi
para pihak dalam perencanaan penggunaan tata guna lahan kritis dan perbaikan
lahan kritis di Kecamatan Manding, Kabupaten Sumenep.
1.5 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah, hipotesis penelitian ini adalah :
1. Hasil pengamatan wilayah tahun 2013 di Kecamatan Manding
berdasarkan bentuk topografi sudah dilakukan revegetasi dengan
menanami tanaman pada lahan terbuka sehingga mengalami perbaikan
kondisi lahan.
2. Kekritisan lahan di Kecamatan Manding pada kurun waktu 2011 – 2013
mengalami penurunan karena adanya revegetasi dengan menanami
tanaman pada lahan terbuka dan upaya perbaikan pengelolaan lahan di
wilayah tersebut.
3. Upaya-upaya konservasi seperti penanaman tanaman yang sesuai
dengan kemampuan lahan, dan adanya tanaman penutup tanah dapat
meningkatkan masukan bahan organik ke dalam tanah dan mengurangi
4
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penggunaan Lahan
Lahan merupakan suatu lingkungan fisik yang meliputi tanah, iklim, relief,
hidrologi dan vegetasi dimana faktor-faktor tersebut mempengaruhi potensi
penggunaannya. Lahan meliputi akibat-akibat yang dihasilkan oleh kegiatan
manusia dalam rentang waktu lampau maupun sekarang, sebagai contoh
reklamasi daerah pantai, reboisasi dan kegiatan manusia yang merugikan yaitu
penebangan hutan, erosi, banjir dan lain-lain. Dalam rangka pemanfaatan dan
penggunaan lahan maka perlu suatu perencanaan tata guna lahan sehingga
pemanfaatan suatu lahan sesuai dengan peruntukkan dan kapasitasnya
(Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007).
Menurut Sitorus (2001), penggunaan lahan merupakan setiap bentuk
campur tangan manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan
hidupnya baik materiil maupun spiritual. Penggunaan lahan berhubungan dengan
kegiatan manusia pada sebidang lahan, sedangkan penutup lahan lebih
merupakan perwujudan fisik obyek-obyek yang menutupi lahan tanpa
mempersoalkan kegiatan manusia terhadap obyek-obyek tersebut. Satuan
penutup lahan kadang-kadang juga bersifat penutup lahan alami (Lillesand dan
Kiefer, 1997 dalam Saribun, 2007).
Penggunaan lahan dapat dikelompokkan dalam dua kelompok yaitu
pengunaan lahan pertanian dan penggunaan lahan bukan pertanian.
Penggunaan lahan secara umum tergantung dari kemampuan lahan dan lokasi
lahan. Aktivitas pertanian, penggunaan lahan tergantung pada kelas kemampuan
lahan yang dicirikan oleh adanya perbedaan pada sifat-sifat yang menjadi
5
tanah, kemampuan menahan air dan tingkat erosi yang telah terjadi
(Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007).
Penggunaan lahan di Kabupaten Sumenep didominasi lahan kering yaitu
seluas 110.359 hektar atau 53,18 % dari setengah luas wilayah Kabupaten
Sumenep. Penggunaan lahan terluas berikutnya berupa hutan yaitu seluas
25.640 hektar atau 12,35 % dari luas wilayah Kabupaten Sumenep. Selanjutnya
berupa sawah dan pemukiman atau perkarangan masing-masing luasnya 23.852
hektar atau 11,49 % dan 22.897 hektar atau 11,03 % (Anonim, 2011b).
2.2 Lahan Kritis
Lahan kritis merupakan lahan yang penggunaannya tidak sesuai dengan
kemampuan lahan sehingga terjadi kerusakan secara fisik, kimia, dan biologis
yang berakibat membahayakan fungsi hidrologis, sosial-ekonomi, produksi
pertanian ataupun bagi permukiman. Hal ini dapat menimbulkan erosi dan
longsor di daerah hulu serta terjadi sendimentasi dan banjir di daerah hilir. Lahan
kritis tidak mampu secara efektif digunakan untuk lahan pertanian, sebagai
media pengatur tata air, maupun sebagai pelindung alam lingkungan (Zain,
1998).
Istilah kritis berkaitan dengan keadaan biofisik yang dapat menyangkut
fungsi produksi, fungsi lingkungan, fungsi konstruksi, dan fungsi lain-lain, atau
semua fungsi lahan. Keadaan ini dapat merupakan bawaan alami lahan
(misalnya lahan gurun), atau karena kerusakan oleh alam (bencana alam) atau
oleh perilaku manusia (salah menggunakan lahan). Kekritisan lahan ditentukan
oleh interaksi antar komponen lahan, baik yang berlangsung secara alamiah
maupun yang berlangsung di bawah pengaruh tindakan manusia
6
Ciri utama lahan kritis adalah gundul, gersang, dan bahkan muncul
batu-batuan di permukaan tanah dengan topografi lahan pada umumnya berbukit atau
berlereng curam. Tingkat produktivitas lahan rendah yang ditandai dengan
tingginya tingkat kemasaman tanah. Kapasitas tukar kation (KTK), kejenuhan
basa dan kandungan bahan organik rendah. Sebaliknya kadar Al, dan Mn tinggi
dapat meracuni tanaman. Lahan kritis juga ditandai dengan tumbuhnya vegetasi
alang-alang yang mendominasi, ditemukan rhizoma dalam jumlah banyak yang
menghasilkan zat allelopati sehingga menghambat pertumbuhan vegetasi (Hakim
1991, dalam Yunita, 2005).
Hasil evaluasi kerusakan tanah di lahan kering pada Kecamatan Manding,
Kabupaten Sumenep, pada tahun 2011 dan 2012 telah mengalami degradasi
tanah. Kerusakan tanah tersebut disebabkan oleh beberapa faktor di antaranya
adalah banyaknya jumlah kebatuan permukaan yang dapat menggangu bagi
pertumbuhan tanaman, kehilangan tanah yang diakibatkan oleh erosi dan
pengolahan lahan yang tidak sesuai kaidah konservasi lahan menyebabkan
lapisan top soil yang merupakan lapisan kaya unsur hara hilang sehingga bahan
organik mengalami penurunan. Kondisi lahan yang demikian jika tidak segera
diupayakan akan menyebabkan kemampuan produktivitas rendah dan lahan
akan semakin kritis (Anonim, 2012).
2.2.1 Faktor Kekritisan Lahan
Menurut Notohadiprawiro (2006), lahan kering marginal yang berstatus
kritis dicirikan oleh solum tanah yang dangkal, lereng curam, tingkat erosi telah
lanjut, serta keraptan tutupan vegetasi. Kondisi demikian umumnya terdapat di
7
mampu melaksanakan upaya-upaya konservasi, sehingga kondisinya makin
lama makin memburuk (Karama dan Abdurrachman, 1995). Kondisi tersebut
lebih diperparah lagi oleh pola usahatani yang orientasinya subsisten, sehingga
mempercepat terbentuknya lahan kritis (Suyana, 2005).
Dalam hubungannya dengan erosi yang menyebabkan degradasi lahan
serta langkah-langkah penanganannya di lahan marginal telah banyak dibahas
pakar antara lain Scwab et.al (1981), Arsyad (2006), Agus dan Widianto (2004).
Pada prinsipnya, kejadian erosi erat kaitannya dengan erosivitas hujan,
erodibilitas tanah serta panjang dan lereng. Sementara itu pendekatan yang
ditempuh untuk pengendalian erosi dilakukan melalui beragam cara.
a. Tutupan Vegetasi
Faktor kondisi tutupan vegetasi sangat berpengaruh terhadap kondisi
hidrologis. Suatu lahan dengan kondisi tutupan vegetasi yang baik memiliki
kemampuan meredam energi kinetis hujan sehingga memperkecil terjadinya
erosi percik (splash erosion), memperkecil koefisien aliran sehingga
mempertinggi kemungkinan penyerapan air hujan, khususnya pada lahan
dengan solum tebal (sponge effect). Faktor tanaman penutup tanah (vegetasi)
memiliki sifat melindungi tanah dari timpaan-timpaan keras butir-butir air hujan ke
permukaan, selain itu vegetasi dapat pula memperbaiki susunan tanah dengan
bantuan akar-akarnya yang menyebar. Sedangkan faktor kegiatan atau
perlakuan manusia terhadap lahan selain dapat mempercepat terjadinya erosi
karena perlakuan-perlakuan buruk dapat pula memegang peranan yang penting
8
b. Kelerengan
Kemiringan dan panjang lereng sangat penting untuk mengetahui
terjadinya erosi karena faktor-faktor yang menentukan besarnya kecepatan dan
volume pergerakan air (Asdak, 2007).
Pada garis besar topografi dibagi menjadi: Topografi datar; permukaan
tanah yang datar atau hampir datar tanpa kenampakan tanda-tanda run off dan
erosi, tapi juga tidak menjadi tempat penampungan dan penimbunan bahan yang
dihanyutkan. Topografi miring; menampakan adanya tanda-tanda run off yang
lambat dan adanya erosi kecil yang disebabkan oleh vegetasi lebat biasanya
tersembunyi. Topografi curam; permukaan tanah yang curam sudah jelas
menampakan tanda run off dan erosi yang merusak, hanya tidak tampak jika
tertutup hutan. Topografi cekung; permukaan tanah cekung yang merupakan
tempat tertimbunnya air dan bahan endapan dari semua arah. Topografi
cembung: aliran air dipermukaan tanah mengalir ke semua arah seolah-olah
datang dari satu pusat. Topografi berbukit: menunjukan permukaan tanah yang
berbuki-bukit (Notohadiprawiro, 2006).
Kemiringan lereng yang dinyatakan dalam satuan persen (%)
dikelompokan menjadi 7 kelas yaitu: Topografi datar (0 – 3 %), Topografi landai/
berombak (3 – 8 %), Topografi agak miring/ bergelombang (8 – 15 %), Topografi
miring berbukit (15 – 30 %), Topografi agak curam (30 – 45 %), Topografi curam
(45 – 65 %), Topografi sangat curam (> 65 %) (Rahim, 2012).
Tanah memiliki tingkat erosi yang besar pada lereng lebih dari 40 %.
Besarnya erosi dapat menyebabkan terjadinya parit-parit erosi yang rapat dan
dalam. Lapisan tanah bagian bawahnya akan tersikap. Dilihat dari tingkat laju
kesuburannya, lapisan tanah bawah lebih rendah dari pada lapisan tanah bagian
9
aliran-aliran deras. Proses ini menyebabkan berkurangnya luas tanah subur
(Kartono, 1989).
Hubungan antara lereng dengan fungsi hidrologis adalah bahwa semakin
kecil lereng akan semakin besar kemungkinan air hujan yang meresap ke dalam
tanah, hal ini dikarenakan semakin kecilnya air hujan yang menjadi air di
permukaan. Di samping itu aliran air pada daerah yang permukaannya datar,
cenderung lebih lambat dibangdingkan dengan daerah dengan lereng yang
curam, sehingga kemungkinan terjadinya erosi juga kecil. Dengan demikian
pengaruh daerah dengan lereng datar terhadap kemungkinan timbulnya lahan
kritis juga semakin kecil. Pada tanah datar kecepatan pengaliran air lebih kecil
dari pada tanah berombak. Topografi miring mempercepat proses erosi air,
sehingga membatasi dalamnya solum (Darmawijaya, 1992).
Pada penelitian yang dilakukan di Sub-Das Cikapundung Hulu faktor lain
yang memungkinkan tidak adanya perbedaan yang nyata pada bobot isi pada
semua tingkat kemiringan lereng adalah adanya penterasan dapat meredam
energi hujan, meredam daya gerus aliran permukaan, mengurangi kuantitas
aliran permukaan, dan dapat memperlambat laju aliran permukaan. Pembuatan
teras bangku memungkinkan terjadinya pemotongan panjang lereng dan
kecuraman lereng, sehingga menghambat laju aliran permukaan dan pada
akhirnya pengangkutan partikel-partikel tanah menjadi terhambat (Saribun,
2007).
Menurut Foth (1995) potensi erosi yang besar pada lahan dengan lereng
panjang dan curam akan diminimalisir dengan adanya vegetasi penutup tanah.
Vegetasi dapat menyerap energi kinetik dari titik-titik hujan yang jatuh dan
mengurangi potensi erosi oleh air hujan. Lebih lanjut, vegetasi itu sendiri dapat
10
c. Kedalaman Tanah
Kedalaman lapisan tanah adalah tebalnya lapisan tanah dari permukaan
tanah sampai bahan induk. Kedalaman efektif tanah merupakan lapisan tanah
yang masih dapat ditembus oleh perakaran tanaman, sehingga ketebalannya
akan mempengaruhi perakaran tanaman (Kartono, 1989).
Kedalaman efektif minimal yang dibutuhkan oleh tanaman budidaya adalah
30 cm. Jika kedalamannnya kurang dari angka tersebut maka perakaran
tanaman akan terganggu dan akibatnya tanaman akan sukar tumbuh.
Kedalaman efektifitas yang dangkal dapat terjadi akibat proses pencucian
(leaching) yang merusak morfogenesa tanah. Pencucian terjadi akibat aliran
suspensi yang diendapkan oleh suatu penghalang bagi aliran suspensi
berikutnya, sehingga endapan suspensi bertambah tebal. Akibatnya ruang
permukaan perakaran tanaman atau lapisan kedalaman efektif menipis
(Notohadiprawiro, 2006).
2.2.2 Kriteria Kerusakan Tanah dan Kekritisan Lahan
Kerusakan tanah di Indonesia terutama disebabkan oleh hilangnya lapisan
permukaan (top soils) oleh kekuatan pukulan butir-butir hujan dan kekuatan daya
angkut aliran permukaan dari air hujan. Sebagai proses selanjutnya akan
terbentuk lahan kritis dan marginal yang semakin bertambah setiap tahunnya
(Anonim, 1985). Parameter evaluasi kerusakan tanah di lahan kering seperti
11
Tabel 2.1 Evaluasi Kerusakan Tanah di Lahan Kering (Kementrian Lingkungan Hidup, 2006)
No. Parameter Ambang Kritis (PP 150/2000)
1 Ketebalan Solum < 20 cm 2 Kebatuan Permukaan > 40 %
3 Komposisi Fraksi < 18 % koloid, > 80% pasir kuarsitik 4 Berat Isi > 1,4 g/cm3
5 Porositas Total < 30 %; > 70 %
6 Derajat Pelulusan Air < 0,7 cm/jam, > 8,0 cm/jam 7 pH (H2O) 1 : 2,5 < 4,5 ; > 8,5
8 Daya Hantar Listrik (DHL) > 4,0 mS/cm 9 Redoks < 200 mV
10 Jumlah Mikroba < 102 cfu/g tanah Keterangan : Melebihi = Kritis ; Tidak melebihi = Tidak kritis
Klasifikasi lahan kritis berdasarkan tingkatannya yaitu: Lahan sangat kritis
dengan kedalaman tanah dangkal sampai sangat dangkal (< 30 cm), presentasi
tutupan (vegetasi permanen) sangat rendah (< 25%) bahkan gundul/ tandus,
lereng umumnya > 45 %. Lahan kritis dengan kedalaman tanah sangat dangkal
(< 60 %), presentasi tutupan lahan (vegetasi permanen) antara 25-50 %, lereng
antara 15-30 %. Lahan semi/ agak kritis dengan kedalaman tanah sedang (60 –
90 cm), presentasi vegetasi permanen (penutup lahan) 50 – 70 %. Lahan
potensial kritis merupakan lahan masih tertutup vegetasi cukup tinggi (vegetasi
permanen) lebih dari 75 %, keadaan lereng sedemikian curam (> 45 %) (Anonim,
2004).
2.2.3 Manajemen/ Pengelolaan Lahan
Menurut Sitorus (1998), pengelolaan lahan dapat diartikan sebagai segala
tindakan atau perlakuan yang diberikan pada sebidang lahan untuk menjaga dan
meningkatkan produktivitas lahan. Sistem pengelolaan lahan mencakup upaya
12
penggunaan lahan sesuai dengan kemampuannya, tindakan konservasi tanah
dan air, penyiapan tanah dalam keadaan olah yang baik, penggunaan sistem
pergiliran tanaman yang baik, menyediakan unsur hara yang cukup dan
seimbang.
Menurut Arsyad (2000), konservasi tanah untuk menanggulangi lahan kritis
diartikan sebagai penempatan setiap bidang tanah pada cara penggunaan yang
sesuai dengan kemampuan tanah tersebut dan memperlakukannya sesuai
dengan syarat-syarat yang diperlukan agar tidak terjadi kerusakan tanah.
Usaha konservasi tanah terdiri dari 3 metode fisik-mekanik, kimiawi, dan
biologis/ vegetatif.
a. Metode Fisik-Mekanik
Metode mekanis konservasi tanah berfungsi sebagai memperlambat aliran
permukaan, menampung dan menyalurkan aliran permukaan dengan kekuatan
yang tidak merusak, memperbesar penyerapan air ke dalam tanah dan
memperbaiki aerasi tanah, penyediaan air bagi tumbuhan. Beberapa metode
konservasi mekanik adalah sebagai berikut: 1) pengolahan tanah (tillage), 2)
pengolahan tanah menurut kontur (contur cultivation), 3) guludan, 4) teras, 5)
dam penghambat (chek dam), 6) waduk, rorak, tanggul, dan 6) perbaikan
drainase dan irigasi (Arsyad, 2012).
b. Metode Kimiawi
Metode kimiawi merupakan usaha konservasi tanah menggunakan bahan
kimia atau secara kimiawi, baik bahan kimia sintesis atau alami. Senyawa
organik tertentu dapat memperbaiki dan meningkatkan stabilitas agregat tanah,
akan tetapi senyawa organik tersebut masih terlalu mahal untuk dipergunakan
secara luas. Metode kimiawi ini jarang digunakan dalam usaha konservasi tanah
13
c. Metode Biologis/ Vegetatif
Metode vegetatif merupakan usaha konservasi tanah dengan melakukan
penanaman dengan berbagai jenis tanaman. Metode vegetatif yang digunakan
dalam konservasi tanah meliputi; penanaman majemuk (multiple cropping),
pergiliran tanaman (crop rotation), tumpang sari (intercropping), mulsa dan
lain-lain. Aplikasi metode vegetatif yang dapat digunakan yaitu sistem pertanaman
lorong, sistem pertanaman strip pagar, tanaman penutup tanah, mulsa,
pengelompokan tanaman dalam bentang alam, penyesuaian jenis tanaman
14
III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
3.1 Letak Kecamatan Manding
Kabupaten Sumenep yang berada di ujung timur Pulau Madura terletak
antara 113° 32’ 54” - 116° 16’ 48” Bujur Timur dan 4°55’ - 7°24’ Lintang Selatan.
Secara geografis berada pada ketinggian antara 250 – 450 m dpl.
Kecamatan Manding merupakan salah satu kecamatan yang terdapat di
Kabupaten Sumenep, Pulau Madura, Jawa Timur. Kecamatan ini memiliki luas
68,88 km2, terdiri dari 11 desa. Batas-batas wilayah meliputi: sebelah Utara
berbatasan dengan Kecamatan Batu Putih, sebelah Selatan berbatasan dengan
Kecamatan Kota Sumenep, sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan
Gapura, dan sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Rubaru.
3.2 Kondisi Fisiografis Kecamatan Manding
Kondisi fisiografis di Kecamatan Manding meliputi bentuk topografinya,
tingkat kekritisan lahan, jenis tanah, jenis vegetasi dan tindakan konservasi.
Berdasarkan kondisi topografinya Kecamatan Manding merupakan daerah datar,
berombak, dan bergelombang dengan bahan induk tanah adalah kapur. Jenis
tanah didominasi oleh Alfisol. Kemiringan lereng berkisar antara 1 – 12 %.
Wilayah pada topografi datar dengan kelerengan < 3 % meliputi Desa
Kasengan, Desa Manding Daya, Desa Manding Laok, dan Desa Manding Timur
(Lampiran Gambar 1). Wilayah pada topografi berombak dengan kelerengan > 3
– 8 % meliputi Desa Gading, Desa Jaba’an, Desa Giring, Desa Tenonan, dan
Desa Gunung Kembar (Lampiran Gambar 2). Sedangkan wilayah dengan
kelerengan > 8 – 15 % topografi bergelombang meliputi Desa Lanjuk dan Desa
15
Jenis vegetasi dan tindakan konservasi di Kecamatan Manding pada tahun
2013 adalah wilayah dengan topografi datar (< 3 %) meliputi padi, jagung,
singkong, tebu, tembakau dan rumput, tindakan konservasi seperti guludan dan
teras. Wilayah dengan topografi berombak (> 3 – 8 %) meliputi cabai, padi,
jagung, tembakau, rumput, tindakan vegetasi seperti guludan dan teras.
Sedangkan wilayah dengan topografi bergelombang (> 8 – 15 %) meliputi padi,
singkong, jambu mente, jati, dan rumput, dengan tindakan konservasi guludan,
teras, dan penanaman sesuai kontur. Produk biomassa Kecamatan Manding
terdapat pada Lampiran Gambar 4.
Tingkat kekritisan lahan di Kecamatan Manding seperti pada Tabel 3.2
sebagai berikut :
Tabel 3.2 Tingkat Kekritisan Lahan di Kecamatan Manding (BP DAS, 2009)
No Topografi
Kawasan Budidaya Pertanian (Ha)
Jumlah Total Tingkat Kekritisan Lahan
Sangat
kritis Kritis
Agak kritis
Potensial kritis
Datar (< 3 %)
1 Desa Kasengan - 46 - 243 290 2 Desa Manding Daya - - 211 - 211 3 Desa Manding Timur - - 321 - 321 4 Desa Manding Laok - - 248 - 248
Berombak (3 - 8 %)
5 Desa Jaba'an - 263 159 421 6 Desa Giring - - 435 - 435 7 Desa Gunung Kembar - 84 105 246 435 8 Desa Gading - - 996 - 996 9 Desa Tenonan - 28 407 - 435
Bergelombang (8 - 15 %)
10 Desa Lanjuk - - 133 144 277 11 Desa Lalangon - 84 146 44 273
16
3.3 Kondisi Iklim
Kecamatan Manding terletak di dataran rendah (50 – 250 m dpl) dengan
tipe iklim muson tropika. Curah hujan paling tinggi terjadi pada bulan Januari,
yaitu 98,5 mm. Gejala alam akhir-akhir ini agak sulit diprediksi sehingga curah
hujan paling tinggi tidak berurutan berdasarkan bulan. Data tahun 2012
memperlihatkan bahwa temperatur paling tinggi mencapai 29,6 ⁰C, yang terjadi
pada bulan Oktober (Anonim, 2012).
Intensitas sinar matahari pada bulan Desember sampai bulan Maret relatif
kecil dengan rata-rata curah hujan tinggi 1.479 mm, sehingga air pengairan untuk
tanah-tanah pertanian berlebihan. Musim kemarau terjadi pada bulan Juli sampai
Oktober. Persediaan air irigasi terbatas, sehingga pada tanah-tanah pertanian
diperlukan tambahan pengairan dengan menggunakan sumur maupun pompa air
17
IV. METODOLOGI
4.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan dari bulan Juli 2013 hingga bulan Desember 2013.
Pengamatan lapangan dilakukan di Kecamatan Manding. Lokasi titik
pengambilan contoh tanah seperti pada Gambar 4.1 Sedangkan analisa sifat fisik
tanah dilakukan di Laboratorium Sumber Daya Lahan Fakultas Pertanian UPN
“Veteran” Jawa Timur.
18
4.2 Bahan dan Alat Penelitian
Bahan dan alat yang digunakan adalah peta lokasi penelitian Kecamatan
Manding skala 1:20.000, Peta lahan kritis skala 1:100.000, Peta produk
biomassa skala 1 : 100.000, GPS (Global Positioning System); untuk mengetahui
posisi/ koordinat, ring sampel; untuk mengambil contoh tanah, bor tanah; untuk
mengebor tanah, dan Software ArcView GIS 3.3.
4.3 Metode Penelitian
Dalam penelitian ini terdapat dua jenis data yang digunakan yaitu data
sekunder dan data primer. Data sekunder didapat melalui buku-buku pustaka,
dan data penelitian terdahulu. Sedangkan data primer didapatkan melalui survei
di lapangan berupa pengamatan dan analisa di laboratorium.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei.
Pengambilan contoh tanah di Kecamatan Manding dilakukan dengan metode
random sampling (secara acak). Pada masing-masing desa dilakukan
pengambilan di 3 titik lahan dengan kedalaman (0 – 20, 20 – 40, 40 – 60 cm).
Penetapan titik pengambilan contoh tersebut sesuai dengan pengambilan contoh
tanah dari penelitian yang dilakukan pada tahun 2011 dan 2012. Selanjutnya
masing-masing wilayah digolongkan sesuai dengan bentuk topografinya.
Bentuk topografi di Kecamatan Manding terbagi menjadi tiga, yaitu datar,
berombak, dan bergelombak. Pada masing-masing titik contoh diamati variabel
seperti tertera pada Tabel 4.3 Pengamatan dari 10 parameter hanya 5 yang
digunakan sebagai parameter pengamatan penelitian kerusakan tanah di
19
Parameter yang diamati pada penelitian evaluasi kekritisan lahan
berdasarkan kerusakan tanah di Kecamatan Manding meliputi; ketebalan solum,
kebatuan permukaan, berat isi, porositas total, dan derajat pelulusan air.
Tabel 4.3 Parameter Pengamatan Evaluasi Kerusakan Tanah di Lahan Kering (Kementrian Lingkungan Hidup, 2006)
No. Parameter Metode
1 Ketebalan Solum Pengukuran Langsung 2 Kebatuan Permukaan Pengukuran Langsung 3 Komposisi Fraksi
4 Berat Isi Gravimetrik pada Satuan Volumetrik 5 Porositas Total Perhitungan Berat Isi dan Berat Jenis 6 Derajat Pelulusan Air Permeabilitas
7 pH (H2O) 1 : 2,5
8 Daya Hantar Listrik (DHL) 9 Redoks
10 Jumlah Mikroba
Keterangan: Parameter yang diamati
Berdasarkan penelitian tahun 2011 – 2012 (Lampiran Tabel 1)
permasalahan yang terjadi di Kecamatan Manding adalah ketebalan solum yang
semakin dangkal dan didominasi oleh batuan di permukaan yang banyak serta
kerapatan bongkah tanah yang tinggi sehingga mempengaruhi ruang pori dan
permeabilitas tanahnya. Hal tersebut membutuhkan perhatian dari para peneliti
untuk mengatasi masalah tersebut. Parameter lainnya seperti komposisi fraksi,
pH, daya hantar listrik (DHL), redoks, dan jumlah mikroba di Kecamatan Manding
tidak bermasalah/ dalam kondisi yang stabil.
4.4 Analisis Data
Data hasil penelitian (Tahun 2013) dianalisa terlebih dahulu untuk
20
Peraturan Kementrian Lingkungan Hidup Tahun 2006 tentang Evaluasi
Kerusakan Tanah di Lahan Kering.
Hasil penelitian (Tahun 2013) kemudian dihubungkan dengan data hasil
penelitian terdahulu (Tahun 2011 – 2012) untuk mengetahui perkembangan
kerusakan tanah pada masing-masing desa yang akan digolongkan berdasarkan
bentuk topografinya di Kecamatan Manding.
Setelah diketahui perkembangan kondisi lahannnya, kemudian
merekomendasi untuk perbaikan produktivitas lahan kritis di Kecamatan Manding,
Kabupaten Sumenep. Alur proses penelitian seperti pada Gambar 4.2.
21
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Kondisi Lahan Kritis di Kecamatan Manding
Berdasarkan bentuk topografinya Kecamatan Manding merupakan daerah
datar, berombak, dan bergelombang dengan kemiringan lereng berkisar antara
1 – 12 %.
Berdasarkan penelitian tahun 2011 – 2012 wilayah tersebut tergolong
lahan kritis sehingga perlu adanya tindakan konservasi untuk meningkatkan
produktivitas lahan kritis. Kondisi lahan kritis di Kecamatan Manding seperti
Gambar 5.3 sebagai berikut.
Gambar 5.3 Kondisi Lahan Kritis di Kecamatan Manding
Jenis tanah di Kecamatan Manding didominasi oleh Alfisol dengan bahan
induk yang kaya akan kapur. Tanah tersebut memiliki potensi sangat produktif
jika dilakukan tindakan konservasi, tetapi dapat dengan mudah terdegradasi jika
mengalami erosi.
Permasalahan yang utama di Kecamatan Manding adalah ketebalan solum
yang semakin dangkal disebabkan oleh hilangnya tanah akibat aliran permukaan
22
5.2 Penggunaan Lahan di Kecamatan Manding
Penggunaan lahan di Kecamatan Manding adalah persawahan dan tegalan
(Gambar 5.4). Kegiatan budidaya tanaman pertanian dilakukan pada lahan-lahan
yang cukup subur untuk tanaman yang dikehendaki seperti tanaman padi,
jagung, tembakau, cabe, jambu mente, kelapa, kacang tanah dan ketela.
Sedangkan untuk lahan yang kurang subur dibiarkan terbuka dan hanya ditanami
oleh vegetasi alang-alang.
Menurut Santoso (2011), tegalan yang didominasi oleh tanaman palawija
membuat lahan sering dalam kondisi terbuka terutama saat tanaman selesai di
panen dan ada waktu tunggu untuk musim tanam berikutnya saat datang hujan.
Vegetasi tanaman tahunan pada tegalan juga cukup jarang karena naungannya
dapat mengurangi pertumbuhan dan hasil tanaman palawija.
23
5.3 Hasil Analisa Kekritisan Lahan berdasarkan Kerusakan Tanah di Kecamatan Manding Tahun 2013
Parameter penelitian kerusakan tanah tahun 2013 di Kecamatan Manding,
meliputi: Ketebalan solum, kebatuan permukaan, berat isi, porositas total, dan
derajat pelulusan air. Hasil analisa seperti pada Tabel 5.4.
Tabel 5.4 Hasil Analisa Tahun 2013 di Kecamatan Manding (Hasil analisa, 2013)
No
Parameter Kerusakan
Tanah
Ambang Kritis Topografi
Datar Berombak Bergelombang
1 Berat Isi > 1,4 g/cm3 1,41 1,37 1,4
2 Porositas Total < 30 % ; > 70 % 51,1 53,75 53,94
3 Derajat Pelulusan Air < 0,7 cm/jam ; > 8,0 cm/jam 1,16 3,11 1,74
4 Ketebalan Solum < 20 cm 52,5 44 40
5 Kebatuan Permukaan > 40 % 7,5 30 15
Hasil analisa tahun 2013 menunjukan berat isi pada topografi datar
melebihi ambang kritis, sedangkan topografi berombak dan bergelombang tidak
melebihi ambang kritis. Porositas total, derajat pelulusan air, ketebalan solum,
dan kebatuan permukaan pada topografi datar, berombak, dan bergelombang
tidak melebihi ambang kritis. Hal ini dapat disimpulkan kondisi Kecamatan
Manding pada tahun 2013 tidak mengalami kerusakan tanah yang melebihi
ambang kritis.
5.4 Perkembangan Kekritisan Lahan di Kec. Manding Tahun 2011 – 2013 5.4.1 Berat Isi dan Porositas Total
Tanah dikatakan bermasalah bila berat isi tanah > 1,4 g/cm³ karena akar
sulit menembus tanah tersebut. Hasil pengamatan berat isi tanah seperti pada
24
``
Gambar 5.5 Grafik Berat Isi Tanah Tahun 2011 – 2013
Berdasarkan hasil pengamatan berat isi tanah pada wilayah dengan
topografi datar mengalami penurunan sebesar 13,09 % di tahun 2011 – 2012 dari
1,68 g/cm3 menjadi 1,46 g/cm3, dan di tahun 2012 – 2013 mengalami penurunan
sebesar 3,42 % dari 1,46 g/cm3 menjadi 1,41 g/cm3. Pada wilayah dengan
topografi berombak mengalami penurunan di tahun 2011 – 2012 sebesar 7,69 %
dari 1,56 g/cm3 menjadi 1,44 g/cm3, dan di tahun 2012 – 2013 mengalami
penurunan sebesar 4, 86 % dari 1,44 g/cm3 menjadi 1, 37 g/cm3 . Penurunan
berat isi juga dialami wilayah dengan topografi bergelombang di tahun 2011 –
2012 sebesar 1,22 % dari 1,63 g/cm3 menjadi 1,61 g/cm3, dan di tahun 2012 –
2013 menurun hingga 13,04 % dari 1,61 g/cm3 menjadi 1,4 g/cm3. Hal tersebut
menyatakan berat isi tanah di Kecamatan Manding semakin mengalami
perbaikan dan tidak melebihi batas ambang kritis.
Berat isi merupakan petunjuk kepadatan tanah, semakin padat suatu
tanah semakin tinggi pula berat isi tanahnya yang berarti semakin sulit
meneruskan atau ditembus akar tanaman. Pemadatan tanah dapat menurunkan
laju infiltrasi yang menyebabkan meningkatnya aliran permukaan sehingga
memperbesar kemungkinan terjadinya erosi.
1,68
1,56 1,63
1,46 1,41 1,44 1,37 1,61 1,4
0 0,5 1 1,5 2
Datar Berombak Bergelombang
BERAT ISI (g/cm
3
)
25
Faktor-faktor yang mempengaruhi berat isi adalah struktur, tekstur,
kandungan bahan organik, ketebalan solum tanah. Penurunan berat isi di
Kecamatan Manding disebabkan oleh revegetasi tanaman dengan cara
penanaman pada lahan-lahan terbuka sehingga pada masing-masing wilayah
dapat menyumbangkan biomass ke dalam tanah.
Tinggi/ rendahnya berat isi tanah dapat berpengaruh terhadap porositas
total tanah. Semakin tinggi berat isi maka akan semakin rendah porositas/ ruang
pori pada tanah begitu juga sebaliknya. Penurunan berat isi yang terjadi di
Kecamatan Manding dapat meningkatkan jumlah porositas tanahnya. Hasil
pengamatan porositas total seperti pada Gambar 5.6.
Gambar 5.6 Grafik Porositas Total Tahun 2011 – 2013
Berdasarkan hasil pengamatan porositas total pada wilayah dengan
topografi datar di tahun 2011 – 2012 mengalami peningkatan porositas sebesar
5,5 % dari 24,28 % menjadi 29,78 %, dan di tahun 2012 – 2013 mengalami
peningkatan sebesar 21,32 % dari 29,78 % menjadi 51,1 %. Pada topografi
berombak mengalami peningkatan di tahun 2011 – 2012 sebesar 0,99 % dari
28,48 % menjadi 29,47 %, dan pada tahun 2012 – 2013 mengalami peningkatan
sebesar 24,28 % dari 29,47 % menjadi 53,75 %. Sedangkan pada wilayah
dengan topografi bergelombang di tahun 2011 – 2012 mengalami penurunan
24,28 28,48 23,98
29,78 29,47
23,85
51,1 53,75 53,94
0 10 20 30 40 50 60
Datar Berombak Bergelombang
POROSITAS TOTAL (%)
26
porositas sebesar 0,13 % dari 23,98 % menjadi 23,85 %, namun mengalami
peningkatan kembali sebesar 30,09 % dari 23,85 % menjadi 53,94 % pada tahun 2012 – 2013.
Peningkatan porositas pada tahun 2013 terjadi pada wilayah dengan
topografi bergelombang sebesar 30,09 %, topografi berombak (24,28 %) dan
topografi datar (21,32 %). Hal ini disebabkan oleh adanya revegetasi tanaman
tahunan seperti tanaman Mente dan Jati di lahan tegalan pada topografi
bergelombang sehingga akar-akar tanaman tersebut mampu meningkatkan
porositas tanah dan menurunkan tingkat kepadatan tanah. Kondisi tersebut dapat
memperbaiki lahan yang semula kritis menjadi tidak kritis.
Menurut Hairiah dkk, (2003), tanaman tahunan memberikan pengaruh
positif terhadap kesuburan tanah, antara lain melalui: (a) peningkatan masukan
bahan organik; (b) mengurangi kehilangan bahan organik tanah dan hara melalui
perannya dalam mengurangi erosi, limpasan permukaan dan pencucian; (c)
perbaikan kehidupan biota; (d) memperbaiki sifat fisik tanah seperti perbaikan
struktur tanah, dan kemampuan menyimpan air.
5.4.2 Derajat Pelulusan Air, Ketebalan Solum, dan Kebatuan Permukaan
Derajat pelulusan air dinyatakan bermasalah jika kecepatan < 0,7 cm/jam,
; > 8,0 cm/jam. Hasil pengamatan derajat pelulusan air seperti pada Gambar 5.7.
Gambar 5.7 Grafik Derajat Pelulusan Air Tahun 2011 – 2013
3,85 3,37 4,99 7,4 4,88 4,31 1,16 3,11 1,74 0 2 4 6 8
Datar Berombak Bergelombang
DERAJAT PELULUSAN AIR (cm/jam
)
27
Berdasarkan hasil pengamatan derajat pelulusan air/ permeabilitas pada
wilayah dengan topografi datar pada tahun 2011 – 2012 mengalami peningkatan
permeabilitas sebesar 47,97 % dari 3,85 cm/jam menjadi 7,4 cm/jam, dan pada
tahun 2012 – 2013 mengalami penurunan hingga 84,32 % dari 7,4 cm/jam
menjadi 1,16 cm/jam tergolong agak lambat permeabilitasnya. Pada topografi
berombak di tahun 2011 – 2012 mengalami peningkatan sebesar 30,94 % dari
3,37 cm/jam menjadi 4,88 cm/jam, dan di tahun 2012 – 2013 mengalami
penurunan sebesar 36,27 % dari 4,88 cm/jam menjadi 3,11 cm/jam tergolong
sedang permeabilitasnya. Pada topografi bergelombang mengalami penurunan
di tahun 2011 – 2012 sebesar 13,62 % dari 4,99 cm/jam menjadi 4,31 cm/jam,
daan di tahun 2012 – 2013 mengalami penurunan sebesar 59,63 % dari 4,99
cm/jam menjadi 1, 74 cm/jam. Kondisi permeabilitas pada tahun 2013 tergolong
agak lambat.
Pada tahun 2013 wilayah dengan topografi datar, berombak, dan
bergelombang mengalami penurunan permeabilitas. Hal ini disebabkan oleh
adanya proses dispersi dengan pecahnya agregat-agregat tanah yang
mengakibatkan partikel-partikel tanah yang halus menyumbat pori-pori tanah
sehingga memperkecil/ memperlambat air masuk ke dalam tanah. Tejadinya
proses dispersi disebabkan oleh kemantapan agregat tanah yang rendah pada
masing-masing wilayah.
Pada topografi datar menunjukan presentasi penurunan lebih tinggi
(84,32 %) dibandingkan topografi berombak (36,27 %) dan bergelombang
(59,63 %). Topografi datar memungkinkan terjadinya erosi adalah kecil sehingga
tanah-tanah yang terdispersi lebih banyak menyumbat pori-pori tanah dan akan
28
Permeabilitas/ derajat pelulusan air dipengaruhi oleh struktur, tekstur,
porositas, viskositas cairan, gravitas, serta berat isi dan berat jenis tanah. Tanah
dengan permeabilitas tinggi dapat menaikan laju infiltrasi sehingga menurunkan
laju air di permukaan (run-off).
Permeabilitas di Kecamatan Manding termaksuk kategori tidak kritis.
Upaya meningkatkan permeabilitas tanah dapat dilakukan dengan sistem
agroforestri pada topografi datar dan penanaman sesuai kontur/ tanaman lorong
pada topografi berombak dan bergelombang.
Permeabilitas tanah yang rendah akan menyebabkan infiltrasi menjadi
rendah sehingga partikel air yang seharusnya dapat tersimpan ke dalam tanah
lebih banyak mengalami run-off/ aliran permukaan.
Aliran permukaan dapat mengikis partikel tanah sehingga semakin lama
tanah akan mudah tererosi dan menjadi dangkal. Hasil pengamatan ketebalan
solum seperti pada Gambar 5.8.
Gambar 5.8 Grafik Ketebalan Solum Tahun 2011 – 2013
Berdasarkan hasil pengamatan ketebalan solum di wilayah dengan
topografi datar di tahun 2011 – 2012 menunjukan penurunan ketebalan solum
sebesar 14,28 % dari 61,25 cm menjadi 52,5 cm, dan di tahun 2012 – 2013 tidak
mengalami perubahan. Pada wilayah dengan topografi berombak mengalami
61,25 59
52,5 52,5
48 52,5
52,5 44 40 0 10 20 30 40 50 60 70
Datar Berombak Bergelombang
KETEBALAN SOLUM (cm)
29
penurunan ketebalan solum di tahun 2011 – 2012 sebesar 18,64 % dari 59 cm
menjadi 48 cm, dan di tahun 2012 – 2013 mengalami penurunan sebesar 8,33 %
dari 48 cm menjadi 44 cm. Sedangkan pada wilayah dengan topografi
bergelombak ketebalan solum tetap stabil di tahun 2011 - 2012 namun
mengalami penurunan sebesar 23,08 % di tahun 2013 dari 52,5 menjadi 40 cm.
Penurunan ketebalan solum pada wilayah dengan topografi datar pada
tahun 2011 disebabkan oleh pengolahan tanah yang tidak sesuai dengan
kelestarian lingkungan. Pada topografi berombak dan bergelombang disebabkan
oleh adanya erosi massa yang terjadi di beberapa lokasi di Kecamatan Manding,
dan jumlah vegetasi penutup tanah yang tidak banyak sehingga tanah menjadi
rentan terhadap gangguan seperti erosi, pencucian (leaching), atau limpasan
permukaan (run-off). Dengan ketebalan solum berkisar antara 40 – 62 cm hal ini
menyatakan ketebalan solum di Kecamatan Manding tidak melebihi ambang
kritis. Terjadinya penurunan ketebalan solum setiap tahunnya merupakan
indikasi peningkatan kekritisan pada wilayah tersebut. Jika tidak ada
penangganan lebih lanjut tanah di wilayah tersebut bisa menjadi semakin kritis.
Pada wilayah Kecamatan Manding yang didominasi oleh batuan
berbahan induk kapur, erosi yang terjadi terus-menerus dapat menyebabkan
hilangnya lapisan tanah atas sehingga mengurangi ketebalan solum dan dapat
mengangkut batuan-batuan kecil hingga sedang di permukaan. Selain itu batuan
tersebut mudah lapuk dan mudah terdispersi oleh tekanan air hujan. Hasil
pengamatan kebatuan permukaan seperti pada Gambar 5.9 sebagai berikut.
Gambar 5.9 Grafik Kebatuan Permukaan Tahun 2011 – 2013
33,75
40,6 45
20 34 42,5 7,5 30 15 0 10 20 30 40 50
Datar Berombak Bergelombang
KEBATUAN PERMUKAAN (%)
30
Berdasarkan hasil pengamatan jumlah batuan di permukaan pada
wilayah dengan topografi datar mengalami penurunan sebesar 13,75 % di tahun
2011 – 2012 dari 33,75 % menjadi 20 % sedangkan di tahun 2012 – 2013
mengalami penurunan sebesar 12,5 % dari 20 % menjadi 7,5 %. Pada topografi
berombak di tahun 2011 – 2012 mengalami penurunan sebesar 6,6 % dari 40.6
% menjadi 34 %, dan di tahun 2012 – 2013 penurunan sebesar 4 % dari 34 %
menjadi 30 %. Sedangkan pada topografi bergelombang mengalami penurunan
di tahun 2011 – 2012 sebesar 2,5 % dari 45 % menjadi 42,5 %, dan di tahun
2012 – 2013 sebesar 27,5 % dari 42,5 % menjadi 15 %.
Batuan di permukaan merupakan batuan yang besarnya > 2mm.
Berkurangnya jumlah batuan di permukaan pada masing-masing wilayah
disebabkan oleh proses pengangkutan yang disebabkan adanya limpasan
permukaan (run-off) dan erosi. Sehingga ketika musim hujan dengan curah yang
cukup tinggi tanah dan batuan di permukaan akan mudah terdispersi dan
terangkut/ tererosi. Kebatuan di pemukaan Kecamatan Manding tidak
menunjukan kekritisan pada wilayah tersebut.
Berdasarkan uraian di atas pada tahun 2011 – 2013 perkembangan
wilayah dengan topografi datar, topografi berombak, dan topografi bergelombang
mengalami perbaikan kondisi lahan. Perbaikan kondisi lahan tersebut dapat
dilihat dari parameter yang diamati seperti kebatuan permukaan, berat isi,
porositas total, yang menunjukan perubahan ke arah perbaikan. Hal ini
disebabkan oleh sudah dilakukannya revegetasi dengan penanaman tanaman
pada lahan terbuka dan terdapat tindakan konservasi pada masing-masing
wilayah. Parameter lainnya seperti ketebalan solum dan derajat pelulusan air/
permeabilitas mengalami peningkatan kekritisan yang bila mana tidak segera
31
5.5 Arahan Perbaikan Lahan Kritis di Kecamatan Manding
Pada kawasan budidaya tingkat kekritisan lahan akan sangat besar
pengaruhnya apabila penggunaan lahannya tidak sesuai atau salah
penggunaan. Faktor pengelolaan yang tepat pada kawasan budidaya akan
mencegah terjadinya lahan kritis. Menurut Santoso (2011), kegiatan
perladangan/ tegalan, sawah, dan sawah tadah hujan pada lahan-lahan dengan
kelerengan curam di kawasan budidaya berpeluang mengubah lahan menjadi
kritis. Kegiatan pada kondisi tersebut harus hati-hati. Penutupan lahan harus
tetap dipertahankan misalnya dengan sistem pertanian tumpangsari.
Pengelolaan lahan yang tidak sesuai dengan kaidah konservasi dengan
kemiringan lereng dan curah hujan cukup tinggi memacu terjadinya erosi dan
degradasi tanah. Jenis dan keragaman vegetasi juga berpengaruh terhadap
erosi. Tutupan vegetasi pada lahan berperan penting dalam melindungi tanah
dari erosi. Menurut Morgan (1979), Adanya vegetasi penutup tanah yang baik,
seperti rumput yang tebal dan hutan yang lebat dapat menghilangkan pengaruh
topografi terhadap erosi. Tanaman yang menutup permukaan tanah secara rapat
tidak saja memperlambat limpasan, tetapi juga menghambat pengangkutan
partikel tanah.
Saran perbaikan kekritisan lahan di Kecamatan Manding dapat dilakukan
dengan melakukan penutupan tanah sempurna untuk lahan terbuka yang hanya
ditumbuhi oleh rerumputan. Menurut Utomo dan Sutrisno (1989) dalam Susilo
(1995), tanaman penutup yang sering digunakan yaitu rumput gajah, rumput
setaris maupun gliricidia dan flamingia. Penanaman ini dapat memberikan unsur
hara dalam tanah. Tanaman penutup sebagai vegetasi yang tumbuh di atas
permukaan tanah, daun-daunnya berfungsi mematahkan/ menahan pukulan air
32
Ragam vegetasi yang ditanami dan penggunaan lahan di Kecamatan
Manding juga dapat berpengaruh terhadap berat isi, porositas, permeabilitas dan
ketersediaan bahan organik dalam tanah. Penambahan bahan organik tanah
seperti pemupukan dan pengembalian sisa-sisa tanaman berfungsi untuk
mempertahankan kesuburan tanah, meningkatkan kapasitas tanah untuk retensi
air, dan menstabilkan agregat tanah, secara tidak langsung dapat mengendalikan
proses leaching dan laju erosi tanah.
Pada wilayah dengan topografi datar yang didominasi oleh persawahan
disarankan untuk membuat guludan dan teras datar serta pemupukan. Menurut
Arsyad (2012) teras datar pada dasarnya berfungsi menahan air dan menyerap
air, yang juga efektif dalam konservasi air di daerah beriklim agak kering dengan
lereng sekitar 2 %.
Pada wilayah dengan topografi berombak dan bergelombang jika
digunakan sebagai lahan pertanian disarankan membuat guludan, tanaman
dalam stip, pengolahan menurut kontur, pergiliran tanaman, mulsa dan
pembuatan teras. Kondisi drainase yang baik juga dapat mengurangi limpasan
air pada permukaan tanah.
Menurut Saribun (2007), kemiringan lereng di lahan tegalan dapat
meminimaliskan dengan penggunaan teras. Hal ini dikarenakan dengan adanya
penterasan dapat meredam energi hujan, meredam daya gerus aliran
permukaan, mengurangi kuantitas aliran permukaan, dan dapat memperlambat
laju aliran permukaan.
Penerapan agroforestri juga disarankan pada tegalan dan kebun
campuran yang ada di Kecamatan Manding untuk meningkatkan produktivitas
33
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.2 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Kecamatan Manding,
Kabupaten Sumenep dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Kekritisan lahan tahun 2011 – 2013 mengalami peningkatan yang
ditunjukan dengan penurunan ketebalan solum dan permeabilitas/ derajat
pelulusan air setiap tahunnya. Indikator lainnya seperti berat isi, porositas
total, dan jumlah batuan di permukaan menunjukan tidak mengalami
kerusakan yang melebihi ambang kritis.
2. Perbaikan kondisi lahan yang sudah dilakukan dengan menanami tanaman
pada lahan terbuka dan pembuatan teras belum mampu menurunkan
kekritisan lahan.
3. Solusi untuk meningkatkan produktivitas lahan kritis adalah dengan
penambahan bahan organik dapat memperbaiki struktur tanah. Mengurangi
aliran permukaan dan erosi tanah dapat dilakukan dengan pembuatan
teras, pergiliran tanaman, dan revegetasi dengan menanam tanaman
tahunan yang sesuai dengan kemampuan lahan di lingkungan sekitar.
6.2 Saran
1. Perlu adanya kesadaran serta pengetahuan dari masyarakat/ pihak yang
berwenang dalam pengelolaan lahan yang tepat dan konservasi lahan
yang sesuai dengan kemampuan lahan guna menjaga kelestarian
lingkungan berkelanjutan.
2. Perlu adanya penelitian lanjutan tentang evaluasi kesesuaian lahan
berdasarkan jenis tanaman yang sesuai dibudidayakan di wilayah
34
DAFTAR PUSTAKA
Agus, F., dan Widianto. 2004. Petunjuk Teknis Konservasi Tanah Pertanian Lahan Kering. World Agroforestry Centre.ICRAF Southeast Asia.
Anonim. 1997. Kriteria Penilaian Lahan Kritis. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat.
_______. 2004. Inventarisasi dan penelitian pengelolaan tanah. Laporan tahunan 2003. Balai Penelitian Tanah. Departemen Pertanian, Bogor
_______. 2006. Tata Cara Pengukuran Kriteria Baku Kerusakan Tanah untuk Produksi Biomassa. Peraturan Kementrian Lingkungan Hidup.
_______. 2009. Laporan Rekapitulasi Kondisi Lahan Kritis di Luar Kawasan Hutan Negara di Kecamatan Manding. Departemen Perhutanan. BP DAS.
_______. 2010. Kabupaten Sumenep dalam Angka 2010. Sumenep: Badan Pusat Statistik.
_______. 2011a. Lahan Kritis di Kabupaten Sumenep. http://www.surabayapost. co.id/?mnu=berita&act=view&id=63874dd0b669d93df48289a49d588795 &jenis=1679091c5a880faf6fb5e6087eb1b2dc. Diakses pada bulan Juni 2013.
_______. 2011b. Kabupaten Sumenep dalam Angka 2011. Sumenep: Badan Pusat Statistik.
_______. 2011c. Laporan Kondisi Fisik Wilayah untuk Pelestarian Sumberdaya Lahan di Kecamatan Manding, kabupaten Sumenep. Badan Lingkungan Hidup Pemerintah Kabupaten Sumenep Kerja Sama dengan Fakultas Pertanian Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.
_______. 2012. Laporan Kondisi Fisik Wilayah untuk Pelestarian Sumberdaya Lahan di Kecamatan Manding, kabupaten Sumenep. Badan Lingkungan Hidup Pemerintah Kabupaten Sumenep Kerja Sama dengan Fakultas Pertanian Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.
_______. 2013, Bimbingan Teknis Pengendalian Kerusakan Tanah Untuk Produksi Biomassa. http://www.bplhdjabar.go.id/index.php/bidang-konservasi/ subid-konservasi-dan-pemulihan/443-bimbingan-teknis-pengendalian-kerusakan-tanah-untuk-produksi-biomassa. Diakses pada bulan Juni 2013.
35
_______. 2012. Konservasi Tanah dan Air. Penerbit IPB. Bogor
Asdak, C. 2007. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Bukhari, Febryano, I.M. 2009. Desain Agroforestry pada Lahan Kritis (Studi Kasus di Kecamatan Indrapuri Kabupaten Aceh Besar); [Jurnal Perennial]. Universitas Lampung.
Darmawijaya, I. 1992. Klasifikasi tanah dasar:Teori bagi peneliti dan pelaksana pertanian di Indonesia. UGM Press, Yogyakarta.
Foth, H. D. 1995. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Edisi Ketujuh. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Hardjowigeno, S dan Widiatmaka. 2007. Evaluasi Kesesuaian Lahan & Perencanaan Tataguna Lahan. Bogor: Gadjah Mada University Press. Jakarta.
Karama, A. S dan A. Abdurrachman. 1995. Kebijaksanaan Nasional dalam Penanganan Lahan Kritis di Indonesia. Prosiding Lokakarya dan Ekspose Teknologi Sistem Usahatani Konservasi dan Alat Mesin Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Yogyakarta.
Kartasapoetra, 2005. Teknologi Konservasi Tanah dan Air. Rineka Cipta. Jakarta.
Kartono, Hari. S. Raharjo & I. M. Sandy. 1989. Esensi pembangunan wilayah dan penggunaan tanah berencana. Geografi FMIPA Universitas Indonesia, Depok.
Morgan, R.P.C 1986. Soil Erossion and Conservation. Longman Sci, and Tech. Essex. England.
Notohadiprawiro. 2006. Pertanian dalam Konteks Tata Guna Lahan. Yogyakarta : Ilmu Tanah UGM.
Rahim, S.E. 2012. Pengendalian erosi tanah dalam rangka pelestarian lingkungan hidup. Bumi Aksara, Jakarta.
Rupaidah. 2008. Tingkat Kekritisan Lahan di Wilayah Pengembangan Selatan Kabupaten Tasik Malaya; [Skripsi]. Universitas Indonesia.
Santoso, E. 2011. Analisis Perubahan Penggunaan Lahan dan Potensi Terjadinya Lahan Kritis di Kabupaten Kulon Progo Daerah Istimewa Yogyakarta; [Tesis]. Institut Pertanian Bogor.
36
Sarief, E.S. 1986. Kesuburan dan Pemupukan Tanah Pertanian. Pustaka Buana. Bandung.
Schwab, G. O., and R. K. Flevert. 1981. Soil and Water Conservation Engineering. Willey. New York. US.
Sitorus SRP. 2001. Pengembangan Sumberdaya Lahan Berkelanjutan. Fakultas Pertanian IPB. Bogor.
Suryana, J. 2005. Berkelanjutan Penerapan Teknologi Konservasi untuk Menciptakan Sistem Usahatani Lahan Kering. IPB.
Susilo, B. R. 1995. Penggunaan Tanaman Penutup dalam Mempertahankan Produktivitas Tanah; [Skripsi]. UPN “Veteran” Jatim.
Sutardjo, 2011. Konservasi Tanah dan Air pada Lahan Kritis.
http://sekarmadjapahit.wordpress.com/2011/12/13/konservasi-tanah-dan-air-pada-lahan-kritis/. Diakses pada tanggal 25 November 2013.
Utomo, W.H. 1989. Konservasi Tanah di Indonesia. Jakarta : Penerbit CV Rajawali.
Yunita, A. 2005. Perencanaan Rehabilitasi Lahan Kritis dengan Sistem Agroforestry Kasus Kecamatan Rambah Rokan Hulu; [Tesis]. Institut Pertanian Bogor.
44
Lampiran Gambar 1. Topografi Datar (< 3 %)
Lampiran Gambar 2. Topografi Berombak (> 3 – 8 %)
Desa Kasengan Desa Manding Timur
Desa Manding Laok Desa Manding Daya
45
Lampiran Gambar 3. Topografi Bergelombang (> 8 – 15 %)
Desa Gunung Kembar Desa Jaba’an
Desa Tenonan
Desa Lalangon Desa Lalangon