Kekejaman Herodes Agung
(Studi Sosio-politik terhadap Rivalitas Herodes Agung dengan Mesias dalam Matius 2:1-18)
Oleh
Albert Josua Putra Maliogha 71 2009 038
Tugas Akhir
Diajukan Kepada Program Studi Teologi, Fakultas Teologi
Guna memenuhi sebagian dari persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Sains Teologi
Program Studi Teologi
Fakultas Teologi
Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga,
v
Kata Pengantar
Manakala kekuasaan dipegang oleh orang-orang bangsat selama periode itu sinisme cenderung tumbuh dengan cepat. - Bertrand Russell Perkataan Russell yang penulis kutip pada titik tertentu mencapai kebenaran. Teks
Matius yang penulis teliti melalui proses penafisran ternyata menunjukan kebenaran itu.
Akan tetapi sinisme pada teks Matius tak hanya diam sebagai sebuah -isme namun bergerak
menjadi sebuah seruan yang mendorong hadirnya praxis dalam menentang kekuasaan yang
dipegang oleh orang-orang yang disebut Russell sebagai “para bangsat.” Redaktur Matius
yang hidup dalam konteks tertentu dan dalam pergumulan yang khas mencoba mengatakan
sesuatu hal yang penting dari apa-apa yang ia dan komunitasnya alami.
Gaya berpikir sinis yang muncul dalam teks Matius bukan suatu tindakan seseorang
atau kelompok orang kurang kerja. Sinisme yang muncul tersebut tak datang begitu saja dari
ruang kosong. Ada dorongan yang khas dari konteks yang membuat redaktur Matius memilih
sinisme sebagai caranya menanggapi kenyataan. Dalam tulisan ini penulis mencoba
merekonstruksikan bagaimana sinisme itu coba diketengahkan oleh redaktur Matius dalam
teks Matius 2:1-18.
Tulisan ini penulis ajukan bukan pertama-tama demi mencapai gelar sarjana teologi –
suatu upaya melanggengkan pragmatisme- seperti yang dituliskan dalam format administrasi
Universitas (nampak pada halaman cover tugas akhir ini). Akan tetapi tulisan ini penulis
ajukan sebagai realisasi kecintaan terhadap studi hermeneutik dan latihan diri. Maka tentu
tulisan ini memuat banyak kelemahan sebab ia adalah langkah awal dari proses belajar.
Atas rampungnya tugas akhir ini maka puji syukur tak terbilang penulis haturkan bagi
Tuhan Yang Maha Kuasa. Sebab penulis sadar bila tanpa ijin-Nya tentu tulisan ini tak akan
pernah terselesaikan dan bahkan ada sekalipun. Akan tetapi penulis juga sadar bahwa
pencapaian ini dapat terwujud juga berkat bantuan banyak pihak. Untuk itu penulis ingin
menghaturkan rasa terima kasih dan hormat kepada seluruh pihak yang telah membantu dan
mendukung sehingga tugas akhir ini boleh terselesaikan. Kepada Orang tua dan keluarga
yang rela menderita demi kebahagiaan yang sekarang penulis rasakan, kepada merekalah rasa
terima kasih dan hormat terbesar penulis berikan. Kemudian, tak kurang juga ungkapan
terima kasih penulis sampaikan kepada Pdt. Yusak Setyawan, Ph.D yang ialah pembimbing
vi
dorongan Bapak yang membuat penulis bekerja keras dan sekaligus melakukan dua proses
tafsir, yaitu menafsir keinginan Bapak sebagai pembimbing serta menafsir teks Matius 2:1-18
sebagai bahan penelitian penulis. Ketiga, penulis memberikan penghargaan kepada Ibu Ira D.
Mangililo, Ph.D dan Bapak Pdt. Dr. Eben Nuban Timo selaku reviewer tugas akhir ini.
Terkhusus Ibu Ira Mangililo, Ph.D penulis haturkan terima kasih yang sangat besar atas dua
poin kritik yang sangat substansial terhadap tugas akhir ini. Kritik ibu tentang adanya gap
antara locus sosio-politik Komunitas Yahudi dan Komunitas Matius dengan tafsir terhadap
resistensi Komunitas Matius terhadap Kubu Status Quo Sinanoge dan Imperium Romanum,
serta kencederungan penulis yang anakronistik melakukan simplifikasi terhadap konteks
Komunitas Matius dengan kondisi Indonesia dewasa ini sangat membantu penulis
membenahi tulisan ini. Meski begitu dua kritik tersebut baru akan penulis akomodir lebih
jauh dalam pengembangan tulisan ini sebab secara jujur harus penulis kemukakan bahwa
waktu yang sempit dan energi yang tak lagi memadai membuat penulis tak dapat mengubah
tulisan ini secara signifikan. Kepada kolega yang banyak membantu membentuk saya dalam
mengarahkan diri pada hasrat episteme, ucapan terima kasih juga penulis berikan. Kepada
kelompok diskusi Bona Fide, Ladies Club, mahasiswa kelas-kelas Filsafat kepada kalian
semua penulis ucapkan terima kasih atas ruang diskusi dan kesempatan untuk mengenal
berbagai pemikir-pemikir besar yang membantu penulis mengubah cara memandang
kehidupan ini. Kepada mentor Filsafat penulis, Bapak Gusti Menoh, M.Hum penulis
mengucapkan terima kasih atas diskusi dan keterbukaan untuk mengajak penulis keluar dari
Goa sehingga penulis kembali memercayai Tuhan dan sekaligus sadar bahwa Filsafat
Hermeneutik a la Schleiermacher dan Dilthey termasuk positivisme Comte tak lagi pantas
untuk di- idola- kan oleh karena kelemahan epistemologi mereka juga karena kenyataan
jaman terus berkembang tak pernah stagnan serta lebih-lebih kesadaran untuk tak
memperlakukan ilmu apapun sebagai ideologi.
Semoga tulisan ini dapat berguna bagi mereka yang membacanya. Kritik dan saran
dari siapapun yang membaca tulisan ini sangat penulis harapkan guna perbaikan kualitas
penulisan. Tuhan kiranya memberkati kita.
Salatiga, 18 Februari 2015
vii
Daftar Isi Cover
Lembar Pengesahan
Pernyataan Tidak Plagiat
Persetujuan Akses
Kata Pengantar
Daftar Isi
Abstrak
1 Pendahuluan
1.1Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah & Tujuan Penelitian
1.3 Metode & Teknik Pengumpulan Data
1.4 Manfaat Penelitian
1.5 Sistematika Penulisan
2 Injil Matius dalam Konteks Sosi-politiknya
2.1 Anthiokhia
2.2 Komunitas Sinagoge di Anthiokhia
3 Memahami Kembali Matius 2:1-18
3.1 Mesias yang selamat dari pembantaian adalah tanda penolakan Tuhan
terhadap dominasi status quo
3.2 Revolusi yang berdarah-darah bukanlah pilihan ideal dari perjuangan
melawan dominasi status quo
3.3 Penolakan Tuhan melalui diri Mesias terhadap kekuasaan politik a la Status
Quo menubuh dalam sebuah pranata sosio-politik
4 Relevansi Narasi Rivalitas Herodes Agung dan Yesus Sang Mesias bagi proses
Demokratisasi pasca Reformasi
4.1 Indonesia dalam 16 tahun Reformasi
4.2 Visi Sosial Mesianik sebagai dasar melawan Oligarki bertopeng Demokrasi di
Indonesia
4.3 Landasan Biblis dalam hubungan sosio-politik dengan Sang Liyan
viii
Abstrak
Injil Matius merupakan bentuk counter narrative terhadap kekuasaan Imperium
Romanum dan Aristokrasi Sinagoge yang mempraktekan dominasi dalam pranata
sosio-politik sebagai tujuan kekuasaan. Pax Romana yang universal ialah yang terbaik menurut
Imperium Romanum. Teologi Sosial Millitary Messiah menjadi penuntun pemberontakan orang Yahudi melawan si kafir Romawi. Namun keduanya dituduh secara sinis oleh redaktur Matius sebagai model kekuasaan politik yang haus dominasi, manipulatif, menindas dan tak mencerminkan kehendak Allah, itulah mengapa Herodes Agung
digambarkan ingin membunuh Mesias. Untuk itu pranata sosio-politik Mesias Yang
Terselamatkan sebagai model yang visioner dan melawan arus utama diajukan sebagai
ganti dua model pertama yang sama-sama palsu dan rentan pelanggengan status quo.
Prinsip normatif sebagaimana yang diajukan redaktur Matius dalam menyikapi carut marut pranata sosio-politik dari awal abad pertama ternyata menembus jauh hingga masa Indonesia pasca reformasi. Sebagai negara yang baru lepas dari otokrasi dan bergerak lambat dalam demokrasi, Indonesia tengah terengah-engah mengatasi cengkraman oligarki (dekadensi aristokrasi) yang bertopeng demokrasi. Melalui
pengalaman komunitas Matius yang mengajukan pranata sosial Mesias Yang
Terselamatkan, rupanya demokrasi di Indonesia yang hampir kehilangan daya dapat diperkuat kembali sehingga mampu melawan oligark yang menguasai dua preferensi politik utama di Indonesia: fundamentalisme pasar dan fundamantalisme agama. Pranata Mesianik ini dapat menjadi basis moral religius bagi pembaca Matius di Indonesia sebab prinsip mesianik inheren dalam prinsip demokrasi. Pembaca Matius di Indonesia dapat
menengok dasar biblis untuk mewujudkan gerakan Demokrasi yaitu dari uncivil society
menjadi civil society yang dididam-idamkan.
1
1 Pendahuluan 1.1Latar Belakang
Kitab-kitab injil dalam tradisi kekristenan umumnya diterima sebagai sumber
primer serta terpercaya oleh orang Kristen guna memahami dan mengetahui ragam hal
tentang Yesus Kristus. Meski demikian secara faktual injil-injil tersebut kerap kali
menunjukan beberapa jejak yang justru menghadirkan persoalan dalam upaya memahami
dan mengetahui perihal Sang Mesias. Secara khusus sebagai contoh: kisah seputar
kelahiran Yesus dalam kaitan dengan upaya pembunuhan diri-Nya oleh Herodes Agung
hanya ada pada injil Matius 2:1-18.
Mengenai ketiadaan kisah pembunuhan bayi-bayi pada injil lain sebenarnya telah
mengundang berbagai tanggapan para ahli. Misalnya saja pendapat Drewes yang
menyatakan bahwa merujuk teori 4 sumber maka kisah ini merupakan cerita yang berasal
dari Sumber M, sehingga memang secara eksklusif hanya ada di Matius saja.1 Stefan
Leeks pada satu bagian dalam bukunya menyatakan bahwa penulis injil Matius ingin
menyampaikan suatu pesan tertentu melalui kisah yang menghubungkan Raja Herodes
Agung dengan Yesus.2 Sedangkan, R.T. France secara meyakinkan menulis bahwa kisah
pembunuhan anak-anak ditambahkan oleh redaktur Matius sebagai bentuk folklore yang
umum dalam berbagai tradisi bahwa kelahiran seseorang yang hebat sudah selalu diikuti
oleh ancaman karena kecemburuan para penguasa.3
Namun pendapat John Drane terhadap narasi Matius 2:1-18 ialah yang paling
signifikan tetapi sekaligus melahirkan problem serius. Terkait historisitas Matius 2:16,
Drane justru berpendapat bahwa tidak ada catatan sejarah dalam dokumen-dokumen lain
tentang cerita ini, meskipun cerita ini bersesuaian dengan tabiat kejam Herodes Agung.4
Artinya, John Drane meyakini bahwa kisah ini tak faktual secara historis.
Surip Stanislaus menegaskan bahwa kisah itu tak perlu dilihat dalam kerangka
historisnya sekalipun informasi-informasi dalam narasi tersebut telah coba diuji secara
1 Stefan Leeks, Tafsir Injil Matius (Yogyakarta: Kanisius, 2007), 38
2
B. F. Drewes, Satu Injil Tiga Pekabar (Jakarta: Gunung Mulia,2000), 32.
3France membandingkan Matius 2:13-18 dengan cerita masa kanak-kanak Sargon, Gilgamesh, dan bahkan kisah
dua bersaudara pendiri Roma yaitu Romulus dan Remus, sebagai bentuk folklore yang umum muncul dalam masyarakat kala itu. Lih. R. T. France, “Herod and The Children of Bethlehem,” ζovum Testamentum Vηδ. XXI No. 2 (1979), 98.
4 John Drane, Memahami Perjanjian Baru: Pengantar Historis-Teologis (Jakarta: Gunung Mulia, 2005), 39.
2
saintifik.5 Rekonstruksi yang melibatkan astronomi dalam menyelidiki Matius 2 hanya
berhasil sampai pada kesimpulan yang tak determinan berkaitan dengan historisitas
Matius 2:1-18. Pandangan semacam ini didukung kuat oleh ahli lainya. Misalnya
menyebut bahwa penjelasan yang menyebut supernova Kepler, komet Heley dan
hipotesis Konjugasi Planet-planet yang secara historis terjadi berdekatan dengan masa
kelahiran Yesus dan kematian Herodes Agung, tetap saja kesemuanya itu tak memiliki
relasi logis langsung dengan kisah pembunuhan anak-anak di bawah usia dua tahun oleh
Herodes Agung.6
Keraguan tentang aspek historis dari Matius 2 membuat pernyataan Leeks menjadi
kuat. Anjuran Leeks untuk memperlakukan kisah ini sebagai “yang mewakili suatu
keadaan sebenarnya” jauh lebih masuk akal daripada menerima narasi ini sebagai sebuah
laporan pandangan mata. Sebab perbedaan mencolok kisah kelahiran Yesus dalam Matius
dan Lukas7 membuat logika internal dari ide bahwa kisah ini ialah laporan pandangan
mata menjadi tak konsisten sehingga secara epistemologis runtuh dengan sendirinya.
Antonhy Saldarini menulis satu esai menarik tentang ciri khas Matius sebagai
sebuah kitab yang memperlihatkan banyak jejak konflik antara kelompok Kristen dengan
Yahudi. Untuk itulah alasan mengapa Yesus berulang kali digambarkan berada dalam
posisi tegang yang vis-a-vis dengan para penguasa termasuk sejak kelahiran-Nya dalam
Matius 2:1-18. Bila saya mencoba menafsirkan kisah ini dalam kerangka konflik antar
kelompok maka persoalan historisitas seperti apakah benar secara faktual Herodes Agung
pernah menggerakan pasukanya untuk memburu bayi Yesus dan membantai anak-anak
tak berdosa tak lagi bermasalah. Akan tetapi sebagai sebuah narasi tentang konflik antar
kelompok maka pola konflik itu menjadi menarik untuk dibahas. Fenomena ini
merupakan gesekan antara Komunitas Matius dengan Penguasa Sinagoge yang oleh Saldarini disebut sebagai upaya melawan Yudaisme demi sebuah “Yudaisme Baru”
melalui perjuangan dalam nama Yesus.8
Selain teks ini bicara pada konteksnya tentu ia juga dapat berbicara lintas waktu
bagi pembaca di masa kini. Dengan memperhatikan nuansa sosio-politik yang kuat pada
teks Matius 2:13-18, baik berkaitan dengan konteks dalam teks maupun konteks dari teks,
5 Surip Stanislaus, Rahasia di Balik Kisah Natal 1 (Yogyakarta: Kanisius, 2012), 72-74.
6 Howard W. Clarke, The Gospel of Matthew and Its Rea der: a Historical Introduction to the First Gospel
(Indiana: Indiana University Press, 2008), 18.
7 Kesimpulan bahwa Kisah Kelahiran Yesus berdasarkan Injil Sinoptik ialah faktual secara induktif bermasalah.
Kedua Injil itu membuat kisah kelahiran yang bertolak belakang (Matius 1:18-2:23 & Lukas 2:1-7) yang mana tentu tak dapat diterima prinsip logika. Bnd. Stanislaus, Rahasia, 29-30.
8τnthony Saldarini, “
3
saya menduga bahwa gerakan pembaharuan dalam narasi Matius dapat menjadi sangat
aktual bagi pembacanya di Indonesia. Konteks Indonesia yang tengah dalam transisi
negara otoritarian a la orde baru kepada negara demokratis pasca reformasi ternyata
masih diselubungi skandal oligarki9 sehingga sebuah gerakan pembahuruan seperti
dengungan Revolusi Mental Jokowian sebagai model normatif yang dikampanyekan
untuk mengubah mental bangsa muncul kuat. Menurut hemat saya fenomena ini mungkin
dapat diteropong dari model perlawanan komunitas Matius pada sistem lama yang tak
berjalan semestinya seperti apa yang coba ditulis dalam Matius 2:1-18.
1.2Rumusan Masalah & Tujuan Penelitian
Dua rumusan masalah coba diketengahkan, yaitu: Pertama, bagaimana kisah
pembantaian anak di bawah usia dua tahun yang dilakukan oleh Herodes Agung dalam
Matius 2:1-18 ditinjau dari konteks sosio-politiknya? Kedua, bagaimana benang merah
kisah pembantaian anak dibawah usia dua tahun yang dilakukan oleh Herodes Agung
dalam Matius 2:1-18 dengan kehidupan pembacanya di Indonesia pasca reformasi?
Tujuan dalam melakukan penelitian ini adalah: Pertama, menjelaskan bagaimana
kisah pembantaian anak dibawah usia dua tahun yang dilakukan oleh Herodes Agung
dalam Matius 2:1-18 ditinjau dari konteks sosio-politiknya. Kemudian kedua,
menjelaskan bagaimana benang merah kisah pembantaian anak dibawah usia dua tahun
yang dilakukan oleh Herodes Agung dalam Matius 2:1-18 dengan kehidupan pembacanya
di Indonesia pasca reformasi.
1.3Metode & Teknik Pengumpulan Data Penelitian
Dalam penelitian ini saya akan menggunakan metode hermeneutik yang berfungsi
untuk menguak makna dari suatu teks.10 Metode ini digunakan dengan memperhatikan
nuansa sosio-politik dari teks. Melalui upaya ini penafsir diandaikan dapat
merekonstruksi teks Matius 2:1-18 sehingga paling tidak tenunan sosio-politiknya dapat
terurai kembali. Sementara itu, teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara studi
kepustakaan dan menafsirkan teks Matius 2:1-18. Baik hasil tafsir teks Matius 2:1-18 dan
sumber-sumber pustaka relevan inilah yang menjadi data-data yang kemudian saya
kelolah dan analisa. Hasil pengelolahan dan analisa terhadap data tersebut diharapkan
mampu menjawab masalah yang diteliti.
9 Lih. Budi Hardiman, Di Dalam Moncong Oligark: Skandal Demokrasi di Indonesia (Yogyakarta: Kanisius,
2014), 53.
10
4
1.4Manfaat Penelitian
Saya berharap tulisan pada akhirnya dapat digunakan guna pengembangan ilmu
teologi yang mencakup terhadap studi Hermeneutik Perjanjian Baru serta studi Agama
dan Politik bagi Fakultas Teologi UKSW secara khusus dan dunia teologi di Indonesia
pada umumnya. Selain itu juga melalui studi terhadap Matius 2:1-18, saya berharap agar
penelitian ini dapat memberikan sumbangsih gagasan bagi paham tentang kondisi
normatif kehidupan sosio-politik orang Kristen di Indonesia dewasa ini.
1.5Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dalam kajian ini akan saya tulis dalam lima bagian. Pada
bagian pertama berisikan pendahuluan. Bagian kedua dari tulisan ini akan memuat
informasi terkait konteks sosio-politik Injil Matius. Selanjutnya pada bagian ketiga saya
akan memberikan pemaparan tentang pemahaman ulang terhadap teks Matius 2:1-18.
Bagian keempat berisi mengenai refleksi terhadap teks Matius 2:1-18 yaitu aktualisasinya
bagi kehidupan pembaca Matius di Indonesia. Terakhir, bagian kelima akan memuat
penutup daripada tulisan ini.
2 Injil Matius dalam Konteks Sosio-Politiknya
Banyak ahli menduga kuat bahwa injil Matius ditulis di Anthiokhia di wilayah
Siria. Injil Matius menunjukan nuansa-nuansa yang mendukung pemahaman tersebut,
seperti: disebutkanya mata uang dirham (mata uang Siria); diperlunaknya hukum tahir
dan najis (bagi non Yahudi), serta ada nuasa ketegangan antara pimpinan Yahudi dengan
jemaat.11 Dugaan ini diperkuat melalui fakta bahwa naskah injil Matius ditulis dalam
bahasa Yunani dengan menyertakan nuansa semitis pada berbagai ungkapan yang kualitas
bahasanya bukan terjemaham dari bahasa Ibrani ataupun bahasa Aram. Dengan
memperhatikan penggunaan bahasa semacam itu patut diduga bahwa tujuan tulisan ini
untuk mereka yang menggunakan bahasa Yunani. Lagipula penggunaan bahasa Yunani
berlaku luas terutama di kota-kota Romawi.
Penulis dan waktu penulisan injil Matius dipercayai dilakukan oleh seseorang
dalam kurun waktu tahun 70-90 ZB. Perkiraan waktu tersebut memberikan gambaran
penulisan Injil terjadi pasca penghancuran Bait Allah di Yerusalem pada tahun 70 ZB.
Gambaran itu dipercayai oleh para ahli dinarasikan implisit dalam bagian teks Matius
22:7. Meski begitu dugaan yang didasarkan menurut teks Matius 22:7 itu sendiri belum
menyelesaikan variasi pendapat para ahli tentang kapan persisnya penulisan dilakukan.
5
Hal yang sama juga terjadi pada upaya untuk melacak identitas asli dari penulis injil ini.
Siapa persisnya yang menulis tak dapat diketahui secara pasti. Ada yang menyebutnya
sebagai seorang pembina jemaat, seorang Yahudi yang menjadi Kristen yang berani
mengecam orang Yahudi yang tak mau mengikut Yesus, seorang pelarian dari
Yerusalem, ataupun seorang dari generasi Kristen kedua yang misioner yang berbahasa
Yunani.12 Tidak ada satupun dari pendapat tadi yang menegaskan secara pasti siapa yang
menjadi penulis injil Matius. Akan tetapi pada saat yang sama bermacam pendapat itu
juga tidak meneguhkan pandangan Papias bahwa penulis injil ini ialah Matius salah satu
Rasul Yesus.13
Melalui upaya rekonstruksi yang cermat para ahli juga mencoba merumuskan
tujuan penulisan injil Matius. Sama seperti analisis sebelumnya, tujuan penulisan didapat
melalui telaah terhadap karakteristik dari teks itu sendiri. Salah satu hasil telaah itu
dikemukakan oleh De Heer. Menurut De Heer, injil ini ada demi tiga tujuan utama yaitu:
(1) Maksud Apologetis: menyatakan bahwa nubuatan di dalam Perjanjian Lama telah
terpenuhi dan sekaligus membela status Yesus sebagai Mesias. (2) Maksud Katekesis:
merujuk pada Grundmman bahwa injil ini bertujuan untuk menyampaian pokok-pokok
ajaran Kristen agar dimengerti dan demi mengajarkanya kepada orang lain. Hal itu
nampak dari begitu banyak teladan Yesus yang dimuat oleh penulis injil. (3) Maksud
Parenetis: untuk menegur jemaat Matius di Siria yang yang hidup tidak harmonis (kasih
diantara mereka telah dingin).14
2.1Anthiokhia
Para ahli menduga cukup kuat bahwa teks Matius ditulis di Anthiokhia. Kota ini
ialah ketiga terbesar di kekaisaran Romawi yang berpopulasi lebih dari 500.000 jiwa
terdiri dari orang Siria, Yunani-Romawi, juga minoritas Yahudi yang. Pada tahun 300
SZB Anthiokhia didirikan oleh Seleukus I di dekat sungai Orontes (berada jauh dari laut
dan terlindungi benteng alami yaitu Gunung Silpius) untuk menghormati ayahnya
sekaligus menampung para veteran perang Makedonia serta berfungsi guna menguasai
12
Para ahli umumnya bersepakat bahwa sangat sulit mempercayai Rasul Matius yang menulis injil ini. Alasan-alasan yang dikemukakan seperti: Jika benar Matius yang menulis maka ia tentu saksi mata lalu mengapa seorang saksi mata perlu merujuk kepada teks Markus yang penulisnya bukan saksi mata? Juga bahasa yang Matius gunakan ialah Bahasa Aram bukan Bahasa Yunani padahal injil ini ditulis dalam bahasa Yunani. Lih. Drewes, Satu Injil, 176; Bnd. Drane, Memahami, 219; Rudolf Schnackenburg, The Gospel of Matthew, (Wm. B. Eerdmans Publishing Co: Michigan, 2007), 6-7.
13Pandangan bahwa Matius sang Rasul sebagai penulis Injil Matius baru muncul belakangan pada abad II
setelah injil Matius ditulis. Ialah Papias, seorang penulis dari Hireapolis yang menyatakan hal ini. Lih. Jakob van Bruggen, Kristus di Bumi: Penuturan kehidupan-Nya oleh murid-murid dan oleh penulis-penulis sezaman, (Jakarta: Gunung Mulia, 2004), 63-65.
6
jalur-jalur darat yang menghubungkan Asia Kecil, Mesir, tak ketinggalan Eufrat.15 Dewi
Tikhe (Fortuna: Keberuntungan) dipercaya menguasai nasib semua kerajaan Helenis,
menguasai kesuburan tanah, dan menguasai keamanan kota atas banjir serta gempa,
dijadikan dewi kota oleh penduduk di sana. Anthiokhia ialah pusat intelektual yang besar
serta menjadi pusat perjalanan dan perdagangan yang sangat makmur serta merupakan
ibu kota Provinsi Romawi gabungan Suriah dan Kilikia sehingga pada jaman Romawi
mendapat perlindungan langsung dari Kaisar.16
Seorang Gubernur Romawi menjadi perwakilan Kaisar memerintah atas
Anthiokhia. Ia bertugas menegakan hukum dan memelihara ketertiban umum masyarakat.
Namun ketertiban umum yang diupayakan berlangsung di Antiokhia berada dalam
bayang-bayang: (1) tatanan masyarakat hirarkis17 dan (2) demografi penduduk yang
beragam budaya.18 Dua hal ini sebenarnya membawa ancaman persoalan sosial bagi
Gubernur Romawi di Antokhia. Pertama, potensi ancaman terletak pada pola piramida
kekuasaan politik terpusat pada golongan elit yang jumlahnya lebih sedikit dibanding
masyarakat kebanyakan yang berada di luar golongan itu. Golongan elit itu menguasai
sendi-sendi ekonomi, hukum, dan mengatur kesejaterahaan yang akibatnya sendi-sendi
itu (terutama politik) diatur menurut kepentingan mereka.19 Dalam hal ini tercipta suatu
tatanan sosial dalam bentuk kelas sosial yang tidak adil: golongan elit dan golongan
nonelit. Persoalanya ialah kondisi sosial ini melahirkan rasa saling benci antara kedua
kelas sosial itu. Kedua, sebagai kota yang mempertemukan beragam identitas dan etnis,
Anthiokhia menyimpan potensi gesekan sosial manakala terjadi pertemuan dua atau lebih
entitas yang saling bertolak belakang. Ner Dah mengutip Streeter menyebut kondisi itu sebagai “τntagonisme Etnis” yang mana kota itu diliputi ancaman kejahatan dan konflik
akibat percampuran orang-orang dari latar belakang etnis berbeda.20
Akan tetapi meski menyimpan potensi konflik rupaya gubernur romawi mampu
mengatasi gesekan sosial tersebut. Piramid kekuasaan itu menempatkan ia berada pada
puncak kelas sosial sedangkan dasar terendah ada pada golongan kecil termasuk budak.
15 Peter Walker, In Steps of Saint Paul, (Yogyakarta: Kanisius, 2013), 43; Bnd. John Staumbaugh dan David
Balch, Dunia Sosial Kekristenan Mula -mula, (Jakarta: Gunung Mulia, 2008), 179.
16 Staumbaugh dan Balch, Dunia Sosial,180. Bnd. David J. Bosch, Transformasi Misi Kristen: Sejarah teologi
misi yang mengubah dan berubah, (Jakarta: Gunung Mulia, 2006), 67.; Robert Coote dan Mary Coote, Kuasa, Politik & Proses pembuatan Alkitab: Suatu Pengantar, (Jakarta: Gunung Mulia, 2004), 164.
17
Warren Carter, Matthew & The Margnis: A Sociopolitical and Religious Reading, (New York: Orbis Book, 2000), 20.
18 Staumbaugh dan Balch, Dunia Sosial,183.
19 Carter, Matthew & The Margins, 18.
20 Streeter, The Four Gospel, dalam Ner Dah, "Reading the Kingdom Teaching of Matthew from the Context of
7
Kekuasaan itu membuka peluang baginya untuk mendapatkan “dukungan” dari golongan di bawahnya demi tujuan yang ingin ia capai. Cara gubernur romawi mengatasi
kerusuhan yang terjadi dikemudian hari khususnya berkaitan dengan isu sektarian di τnthiokhia menunjukan betapa “tangan besi” romawi efektif meminimalisir konflik
terbuka.21
Bersama para pejabat romawi dan anggota senat, gubernur selain memimpin
legiun juga mendapat dukungan dari para imam di kuil, para pegawai kekaisaraan,
pengumpul pajak dll. dalam relasi patron-klien.22 Kenyataan itu menunjukan hubungan
transaksional yang sarat kepentingan politik sudah merupakan hal lumrah terjadi di
golongan masyarakat atas di Antiokhia. Pola relasi yang sangat rapuh karena didasarkan
pada loyalitas semu yang dapat dibeli oleh kekuasaan.
2.2Komunitas Sinagoge di Anthiokhia
Orang Yahudi yang telah tinggal di Anthiokhia sama tuanya dengan kota tersebut
hidup dalam situasi sosial masyarakat hirarkis. Menurut Warren Carter argumen para ahli
menunjukan dimensi-dimensi penting yang menunjukan kelas sosial orang Yahudi di kota
ini, seperti: (1) pendapat Kingsbury bahwa bahasa Yunani yang digunakan penulis Matius
mengindikasikan masyarakat ini ialah komunitas urban, (2) penggunaan kata Kota
dilakukan 26 kali dibandingkan Desa, (3) jemaat Matius diasumsikan tidak asing dengan
kekayaan, hal itu ditunjukan oleh misalnya letak perbandingan identitas Yusuf orang
Arimatea yang pada Markus dan Lukas ia dikenal sebagai anggota dewan tinggi namun
pada Matius ia disebut sebagai Si Orang Kaya, (4) penggunaan sebutan emas, perak dan
talenta dilakukan sebanyak 26 kali, lebih banyak jika dibandingkan dengan Markus yang
hanya sekali menyebut perak dan Lukas hanya empat kali lebih banyak dari Markus.23
Argumen-argumen itu menguatkan dugaan bahwa komunitas Matius terdiri dari mereka
yang hidup kaya, artinya ada jejak dari mereka berada pada golongan elit. Akan tetapi
sebagai ganti keengganan Carter untuk secara deterministik menentukan kedudukan
orang Yahudi itu, ia memberi anjuran yang secara probabilistik menempatkan orang
Yahudi ada di kedua kelas sosial (Cross section) sebab selain karakteristik teks
menunjukan nuansa orang terdidik (golongan elit), teks ini juga bernafaskan tindakan
untuk menjangkau orang-orang yang dimarjinalkan.24
21 Upaya untuk merayakan Perbedaan Kultur dan Toleransi pernah dilakukan di Anthiokhia. Lih. Trudy Ring &
Robert Salkin (ed.), International Dictionary of Historic Places, (London: WIPIDE, 1995), 40.
22 Carter, Matthew & The Margins, 19.
23
Carter, Matthew & The Margins, 25.
8
Dugaan Carter tentang Cross section itu dapat diperkuat melalui laporan Josephus
bahwa orang Yahudi yang tinggal di Anthiokhia hidup tentram dan secara ekonomi cukup
kaya.25 Menurut Staumbaugh dan Balch, kunjungan Herodes Agung beberapa kali ke
Anthiokhia diduga kuat yang memicu naiknya gengsi, pengaruh dan kedudukan orang
Yahudi di sana.26 Laporan betapa kayanya orang Yahudi di Anthiokhia nampaknya bukan
hisapan jempol belaka. Sebab, berdasarkan catatan Josephus, orang Yahudi di Anthiokhia
mampu mengirimkan persembahan yang mahal ke Yerusalem.27 Tidak hanya itu, pada
masa pemerintahan Klaudius tatkala Yudea dilanda kelaparan, bantuan dari Anthiokhia
datang untuk menanggulangi bencana tersebut.28
Lalu bagaimana dapat diandaikan bahwa selain jejak keberadaan orang Yahudi
dalam lingkaran elit, terdapat pula informasi yang menunjukan bahwa ada orang Yahudi
hidup dalam kelas non elit? Hal itu dapat dijelaskan melalui identifikasi pekerjaan
mereka. Orang Yaudi nonelit di Antiokhia ada yang hidup bekerja sebagai tukang dan
budak yang mana secara kasat mata sudah cukup menunjukan bahwa mereka ialah
golongan kecil yang dimarjinalkan.29 Mereka ialah kelompok yang hidup bekerja demi
memenuhi kesejaterahaan hidup para elit.
Kondisi kehidupan yang baik dalam aspek sosial, ekonomi, religius, bahkan akses
politik terhadap kekuasaan memang dinikmati oleh sebagian orang Yahudi di Anthiokhia
untuk kurun waktu yang cukup lama. Sisanya meski dipinggirkan namun cukup untuk
melanjutkan kehidupan dengan bekerja bagi para elit. Kehidupan yang tentram dan
mapan di Anthiokhia bahkan telah dinikmati orang Yahudi sejak jaman Hasmonean yang
dipicu oleh banyaknya orang baru yang hidup menyatu dengan penduduk tertarik masuk
ke dalam komunitas sinagoge.30 Selain bahwa pengaruh Hasmonean yang mendahului
kunjungan Herodes Agung yang berdampak signifikan itu, perilaku sosio-politik orang
Yahudi yang menunjukan loyalitas membuat mereka mendapatkan perlindungan.31
Akan tetapi keadaan berbalik dan semakin memburuk bagi mereka sejak tahun 40
ZB. Mulai saat itu hubungan sosio-politik antara orang Yahudi dengan orang Antiokhia
25 Josephus, Jewish War, 7.13. Bnd. Walker, In Steps, 44.
26 Nama besar Herodes Agung yang dikenal sebagai sekutu dekat Kaisar Agustus dan juga sebagai The Great
Builder lewat pembangunan luar biasa misalnya: Bait Allah, berbagai benteng hebat termasuk Masada, kota-kota Helenis seperti Sebaste dan Kaisera yang terkenal dengan pelabuhannya, tersiar ke luar Yudea bahkan sampai Anthiokhia. Hal itu menempatkan Herodes Agung sebagai orang yang cukup penting sehingga tidak heran apabila kunjungan tersebut membawa keuntungan bagi kedudukan sosio-politik orang Yahudi di Anthiokhia. Lih. Staumbaugh dan Balch, Dunia Sosial, Bnd. F. F. Bruce, New Testament History, (London: Thomas Nelson & Sons Ltd, 1969).
27 Josephus, Jewish War, 7.45.
28 Walker, In Steps, 47.
29 Staumbaugh dan Balch, Dunia Sosial, 181.
30
Justin Taylor, Asal Usul Agama Kristen, (Yogyakarta: Kanisius, 2012), 156.
9
berada dibawah ketegangan hebat. Permusuhan yang timbul bahkan tidak bisa menahan
mereka untuk berhadapan dalam konflik terbuka yang berdarah-darah. Sejak terjadi
pogrom32 dan dekrit Kaisar Kaligula yang memuat perintah penempatan patung dirinya di
Bait Allah di Yerusalem, bentrok pecah di Antiokhia.33 Pembunuhan terhadap orang
Yahudi di Anthiokhia terjadi dan sinagoge-sinagoge mereka dibakar. Mulai saat itu
sentimen anti semit kian meninggi dan tak berhenti hingga kira-kira tahun 48 ZB. Puncak
konflik terjadi tatkala pemberontakan Yudea melawan Romawi terjadi hingga tahun 70
ZB.
Konflik di Yudea turut menyeret keterlibatan Anthiokhia karena kota itu menjadi
basis dukungan pasukan militer yang dikirim untuk menumpas pemberontakan di
Yudea.34 Ketegangan perang itu merembes sampai ke Anthiokhia terutama bagi orang
Yahudi di sana. Ikut terseretnya Antiokhia dalam tensi perang Yudea membuat beberapa
orang Yahudi di sana tidak mampu menahan diri. Beberapa anggota dari penguasa
Yahudi merencanakan perlawanan. Komunitas Yahudi di Anthiokhia dituduh
merencanakan membakar kota. Akibatnya, Gubernur Romawi menyerang mereka dan
mencabut hak-hak istimewa orang Yahudi.
Penaklukan Yudea membawa dampak tidak saja pada memburuknya hubungan
sosial antara orang Yahudi dengan orang Anthiokhia dan sekaligus melemahkan pengaruh
32 Sebab terjadinya Pogrom diduga karena muncul kecemburuan sosial terhadap orang Yahudi yang melalui lobi
politik mendapat hak istimewa yang mana telah berlangsung sejak jaman Koresh lalu terus menguat ketika Romawi menjadi sekutu keluarga Hasmonean. Orang yahudi dibenci oleh orang Yunani-Romawi sebab mereka dapat mengakses fasilitas dan hidup layak sama seperti orang Yunani-Romawi tanpa perlu melakukan kewajiban yang sama. Ditambah dengan kecenderungan Kaisar-kaisar Romawi yang meski berganti-ganti tetap saja membela orang yahudi membuat kebencian orang yunani semakin menjadi-jadi. Hak istimewa itu meliputi diperbolehkan melaksanakan hukum Sabat, tidak melakukan kegiataan keagamaan kekaisaraan, boleh membayar pajak kepada Bait Allah di Yerusalem dan bahkan mendapatkan otonomi terbatas untuk menegakan hukum (politeuma) Yudaisme di Sinagoge. Lih. Staumbaugh dan Balch, Dunia Sosial, 50-51.
33 Bentrokan ini terjadi jelas dalam dua aspek yang berkaitan yaitu: Sosio-politik dan Sosio-religius.
Kecemburuan sosial nyata dalam pogrom dan resistensi keagamaan nampak dalam perlawanan dekrit Kaligula yang sangat “menyakiti” hati orang Yahudi. εenurut saya, motivasi perlawanan terhadap pogrom yang jelas muncul sebagai reaksi mempertahankan “pemberian Romawi” sebagai keberhasilan lobi politik tentu berbeda dengan perlawanan terhadap dekrit Kaligula. Identitas keagamaan Yudaisme bukan “pemberian Romawi.” Namun resistensi itu juga bukan hanya soal ortodoksi. Ia merupakan peneguhan kemerdekaan politik secara religius yang saya kategorikan sebagai Hak Milik. Mengapa hak milik kemerdekaan politik secara religius sangat penting? Sebab, orang Yahudi begitu percaya bahwa YHWH tidak mengijinkan mereka dipimpin oleh orang Kafir. Penjajahan atas mereka hanyalah teguran YHWH karena mereka lalai menjalankan hukum Tuhan. Dalam pada itu kemerdekaan religius berkaitan erat dengan dinantikanya “Hari YHWH” atau datangnya εesias untuk membebaskan mereka dari teguran. Ortodoksi bukan tujuan pada dirinya sebab jika mereka tidak mampu menjaga kemerdekaan religius maka sama saja melepaskan peluang hidup bebas untuk kembali mendirikan kedigdayaan kerajaan Daud. Gagasan untuk menjaga ortodoksi sebagai implikasi teguran YHWH itu sangat ditekankan oleh golongan Parisi yang ternyata ialah pemimpin sinagoge Anthiokhia Bnd. Jeffrey J. Butz, The Secret Legacy of Jesus: the Judaic teachings that passed from James the Just to the founding fathers,(Inner Tradition/Bear & Co., 2009), 281; F. F. Bruce, History; Alan Richardson, Political Christ, (Philadelpia: Westminster Press, 1973).
10
mereka secara politik, tetapi juga memberikan pengaruh kepada tatanan beragama dalam
komunitas mereka sendiri. Melalui kejatuhan dengan demikian berakhir juga otoritas Bait
Allah di Yerusalem. Pasca penghancuran yang dilakukan oleh Titus pada 70 ZB membuat
kekuasaan dalam urusan keagamaan komunitas Yahudi di diaspora menjadi wewenang
sektoral di masing-masing Sinagoge.
Perlu dicatat bahwa pergeseran otoritas keagamaan ke sinagoge sesungguhnya
secara terbatas membuat mereka tetap memiliki kekuasaanya sendiri, meskipun pada
masyarakat kota Anthiokhia mereka tidak lagi menikmati keleluasaan. Atas otoritas itu
perselisihan dengan orang Yunani-Romawi di Anthiokhia terus berlanjut namun lebih
banyak terjadi di dalam sinagoge. Perselisihan tersebut nampak ketika orang-orang
Yunani mulai masuk ke dalam komunitas. Terjadi perdebatan apakah mereka harus
menjalankan hukum Yahudi terutama sunat dan makanan halal atau tidak. Akan tetapi hal
terpenting dari pergeseran itu bukan terletak pada bagaimana orang Yahudi mulai
menerapkan standar tegas terhadap hukum mereka, namun terletak pada: apa motif dari
kekuasaan itu mereka pergunakan? Merujuk pada Groenen, ia menegaskan bahwa akibat
dari bergesernya otoritas keagamaan tersebut membawa dampak yang tidak
menyenangkan bagi orang Kristen di Antiokhia, yaitu penindasan oleh Sinagoge terhadap
mereka.35
3 Memahami Kembali Matius 2:1-18
Melalui bantuan pendekatan hermeneutik yang secara khusus menyoroti teks
dalam kerangka sosio-politiknya, maka narasi Matius 2:1-18 memberikan
sekurang-kurangnya tiga pemahaman teologis yang memperluas horizon berpikir pembacanya.
3.1Mesias yang selamat dari pembantaian adalah tanda penolakan Tuhan terhadap dominasi status quo.
Gelar Mesias yang redaktur Matius tempelkan pada mulut Herodes di ayat ke-4
menjadi kata kunci yang menunjukan posisi komunitas Matius yang berbeda dengan
kelompok status quo Yahudi. Teks secara eksplisit menunjukan bahwa Para Majus
sebagai tokoh yang muncul pertama menyinggung perihal kelahiran Yesus (ayat 1-3)
justeru tak sekalipun menyebut gelar Sang Bayi sebagai Mesias (ayat 2). Sebutan dalam
ayat 2 yang para εajus berikan ialah “Raja ηrang Yahudi itu: ὁ α ὺ ῶ
Ἰ ο αί ω ” ( α ὺ menjadi penanda identitas khusus bayi Yesus).36 Istilah Mesias
35 Groenen, Pengantar, 90.
36
11
sendiri baru kemudian muncul manakala Herodes menanyakan perihal kelahiran Yesus
kepada pemuka agama Yahudi (ayat 4).
Pemilihan gelar ὁ α ὺ yang ditempelkan ke mulut Para Majus oleh
redaktur Matius ialah jelas berbeda dengan ὁ ὸ yang ditempelkan ke mulut
Herodes Agung meskipun merujuk pada subjek yang sama, yaitu Yesus. Terma ὁ
α ὺ ialah istilah Yunani bagi Raja tetapi tak memiliki nuansa berarti dalam
kosmologi Yudaisme. Berkebalikan dari itu ὁ ὸ 37 justru memiliki makna spesifik
dan sarat nuansa dalam Yudaisme. Ada hal penting yang coba disampaikan oleh redaktur
Matius dari distingsi ini.
Yosephus memberikan catatan yang sangat berharga perihal gelar “raja orang
Yahudi (ὁ α ὺ ῶ Ἰ ο αί ω ).” εenurutnya gelar raja orang Yahudi ialah tanda
yang diberikan oleh Senat Romawi kepada Herodes Agung ketika mereka
mengangkatnya sebagai raja pada tahun 40 SZB.38 Craig Evans menafsirkan bahwa
tindakan para majus menyebut Yesus sebagai raja orang yahudi (ayat 2) ialah tindakan
sewajarnya sebab mereka hanya ingin menanyakan perihal suksesi Herodes Agung.39
Akan tetapi persoalan yang serius ialah narasi ini sulit dipercayai sungguh-sungguh
faktual secara historis.40 Dengan memperhatikan distingsi antara gelar raja orang yahudi
dengan gelar mesias yang muncul dalam tokoh-tokoh pada teks maka saya justeru
melihat kencederungan lain. Redaktur Matius secara sengaja ingin menunjukan bahwa
Herodes Agung bersama para Pemuka Agama Yahudi yang berhasil merumuskan perihal
identitas Yesus secara tepat sebagai Mesias merupakan personifikasi status quo Yahudi.
Tidak hanya menjadikan Herodes Agung dan Pemuka Agama Yahudi sebagai
personifikasi kelompok status quo, melalui narasi ini penulis Matius sekaligus
menyerang mereka.
Gelar raja orang Yahudi seharusnya milik Herodes Agung tetapi dengan
munculnya gelar itu disebut oleh para majus maka hal ini menurut saya jelas merupakan
sebuah sinisme. Hal tersebut saya argumentasikan sebab penulis Matius menempatkan
Herodes Agung dalam posisi yang sangat ironis. Berdasarkan tafsir Evans maka Herodes
lah yang jelas-jelas bergelar raja orang Yahudi sehingga seharusnya ia dapat langsung
memberikan klarifikasi kepada para majus perihal suksesinya. Tetapi yang nampak ialah menerjemahkan έ ο ·dengan “bertanya-tanya.” Kata yang sesuai dengan bahasa Yunani έ ο · ialah “berkata (to speak). εaka sebenarnya para majus lebih cenderung mendeklarasikan kelahiran Raja Yahudi.
37 Dalam terjemahan Ibraninya yaitu Mesias (Massiah dari bentuk Massah) keduanya berarti Yang Diurapi.
38 Yosephus, Jewish War, 1.282.
39 Craig Evans, Matthew, (New York: Cambridge University Press, 2012), 53.
40 R. T. France menegaskan bahwa tak ada laporan sekunder di luar injil yang dapat mengkonfirmasikan
12
justru Herodes Agung seperti seorang bodoh yang tak menyadari bahwa dia sendiri yang
adalah raja orang Yahudi itu. Herodes Agung digambarkan seperti tak punya petunjuk
apakah benar ada pengganti dirinya yang baru saja lahir.
Warren Carter mengajukan pendapat bahwa respon Herodes Agung yang begitu
saja rela mencarikan informasi lebih jauh bagi para majus (ayat 1-6) perlu dilihat dalam
kerangka pikir bahwa para majus ialah astrolog yang biasa diminta menjelaskan arti
kemunculan tanda alam (seperti bintang) dan relasinya dengan kekuasaan.41 Pandangan
Carter itu bersesuaian dengan Craig Keneer yang secara eksplisit berani mengatakan
bahwa para majus ialah astrolog kerajaan Persia yang memiliki peran politik sangat
penting.42 Ada tafsiran yang menyebut para majus ialah raja-raja yang bangsa kafir
sehingga dimengerti sebagai jalan soteriologi untuk menjangkau bangsa-bangsa di luar
Yahudi. Namun tanda bahwa mereka melihat bintang ialah petunjuk lebih jelas mengenai
tujuan disebutkannya tokoh ini oleh redaktur Matius.
Persoalanya apakah bintang raja orang Yahudi itu (ayat 2) ialah bintang per se?
Anggapan tersebut dipersoalkan oleh Howard Clarke dengan mengatakan bahwa jika
benar bintang tersebut muncul lalu tidak masuk akal jika Herodes Agung tak
melihatnya.43 Umumnya para pakar memandang bahwa bintang ( ὸ ἀ έ α, ayat 2)
dikutip redaktur Matius dari Bilangan 24:17 dan menautkan kisah penglihatan Bileam
tentang bintang Daud pada kisah kelahiran Yesus. Hal ini menunjukan indikasi bahwa
terjadi pemenuhan dari apa yang dikisahkan dalam perjanjian lama.
Namun hal yang saya catat ialah redaktur Matius sedang dalam perjuangan
mendapatkan pengaruh melawan pihak yang merasa secara yuridis berwenang atas
penetapan ajaran Yudaisme. Pemenuhan kisah perjanjian lama dalam rentang waktu
ketika komunitas Matius hidup baru dapat dikonfirmasikan bukan oleh sekte ini tetapi
oleh otoritas Yahudi di Sinagoge yang notabene lawan mereka.44 Maka dari itu saya
mengira bahwa redaktur Matius ingin menelanjangi posisi penguasa Sinagoge yang tak
benar-benar paham tradisi Yudaisme melalui upaya menegaskan status Yesus sebagai
Mesias.45
41
Warren Carter, Matthew and the Margins,74.
42 Craig S. Keener, A Commentary on the Gospel of Matthew (Michigan: Wm. B. Eerdmans Publishing Co.,
2013). 100.
43 Clarke, The Gospel of Matthew, 18.
44
Pasca penghancuran Bait Allah ketika terjadi penumpasan pemberontakan Yerusalem otoritas Yudaisme berpindah ke masing-masing Sinagoge. Akan tetapi Saldarini menunjukan bahwa Komunitas Matius tidak menerima otoritas itu bahkan menganggap bahwa model di masing-masing Sinagoge perlu diatur ulang. Lih. Saldarini, The Gospel, 52.
45 Masa pasca Bait Allah (Post Temple) ialah masa dimana para Rabi Yahudi di Sinagoge-sinagoge mulai
13
Dengan menautkan tradisi Yudaisme tentang kisah bintang Daud seperti yang
para ahli katakan dan dengan menempelkan gelar raja orang yahudi pada mulut para
majus maka apa yang saya sebut sebagai sinisme menjadi lebih jelas. Redaktur Matius
menempatkan para majus yang ialah personifikasi komunitas Matius sebagai pihak di
luar status quo Sinagoge yang justru lebih ketat dan peka terhadap tradisi Yudaisme
dalam hal melihat pentingnya kehadiran Yesus yang sudah terjadi di dunia.46
Perihal kelahiran Mesias ke bumi apabila merujuk pada teks rupanya bukanlah
suatu kabar gembira bagi kelompok status quo. Pemilihan kata ἐ α ά 47 yang
muncul di ayat ke-3 oleh redaktur memberikan kesan kuat bahwa Yesus yang sudah lahir
ialah sebuah masalah bagi kelompok status quo. Anggapan bahwa Yesus menimbulkan
masalah oleh kelompok status quo dipertegas melalui keengganan mereka untuk
mengakui bahwa Mesias telah lahir. Redaktur Matius menggunakan kata ᾶ α48
yang menunjukan kelompok status quo tak setuju dengan klaim kelompok Matius
tentang ke-mesias-an Yesus.
Ketidaksetujuan itu juga nampak dari disebutkannya Bethlehem (ayat 1) sebagai
tempat kelahiran Yesus dan Yerusalem (ayat 3) sebagai tempat yang menolak kelahiran
Yesus. Seisi Yerusalem menanggapi kabar bahwa Yesus Sang Mesias sudah hadir di
dunia sebagai masalah. Yerusalem ialah pusat kekuasan atau dalam hal ini menjadi
lambang sistem kekuasaan status quo yang mana enggan mengakui bahwa Yesus benar
Mesias. Melalui pengecekan tradisi Yudaisme dalam diri Herodes Agung dan para
pemuka agama Yahudi (4-6), redaktur Matius sekaligus menyerang mereka sebagai
pemegang otoritas keagamaan yang tidak paham mengenai tradisi Yudaisme itu sendiri.
Pharisi) untuk menjadi pegangan bersama Komunitas Yahudi di Anthiokhia. Tradisi tentang Midrash membantu membentuk pemahaman ini. Lih. Brian M. Nolan, The Roayal Son of God: the Christology of Matthew 1-2 in the Setting of the Gospel (Gottingen: Universtaries Fribourg, 1979), 52-58. Bnd. Robert M. Prince, New
Testament Narative as Old Testament Midrash dalam
http://www.robertmprice.mindvendor.com/art_midrash1.htm, diakses 8 November 2014.
46
έ ο ialah kata kerja aoris geniitif pasif yang tak hanya menunjukan penegasan tetapi juga sekaligus menujukan tindakan yang sudah pernah terjadi. Artinya penegasan bahwa Raja orang Yahudi sudah pernah dilahirkan. Kata ini juga menjadi penegasan tentang status kemesiasan Yesus.
47
Kata ἐ α ά dari bentuk kata α ά ω kurang tepat jika diterjemahkan dengan “terkejut.” Kata itu berarti: meresahkan, mengacaukan, menganggu, atau menakutkan. Terjemahan King James Version (KJV) “troubled (menyusahkan)” menurut saya jauh lebih memadai dibandingkan terjemahan dalam TB-LAI. Untuk keperluan tulisan ini maka saya menggunakan kata “mengganggu” sebagai ganti kata “terkejut.”
48
14
Dengan menempatkan berturut-turut gelar mesias di mulut Herodes Agung,
kontras antara Bethlehem dengan Yerusalem, penyelidikan dan afirmasi perihal kelahiran
Mesias dari tradisi Yudaisme di mulut para pemuka agama Yahudi maka hal ini jelas
menunjukan apa yang saya sebut di atas sebagai ironi. Upaya ini menunjukan bahwa
redaktur Matius menganggap kelompok status quo di Sinagoge tak lagi memiliki
legitimasi. Hal tersebut didasarkan pada ironi kelompok status quo yang tidak
benar-benar memahami isi ajaran Yudaisme manakala mereka tak mengakui Yesus sebagai
Mesias padahal mereka ialah pemimpin agama.
Perseteruan antara kelompok Matius dengan kelompok status quo tentang
pengakuan Yesus sebagai Mesias sebenarnya merupakan masalah yang sentral. Bagi
kelompok status quo mengakui Yesus sebagai Mesias ialah sama dengan memberi
pengakuan akan kehadiran kelompok Yahudi yang menyimpang (Deviant Jews).49
Sedangkan pengkuan akan kelompok yang menyimpang ialah sama dengan membuka
celah bagi perubahan yang radikal dalam diri komunitas Yahudi. Artinya memberikan
ruang secara sosio-politik bagi komunitas Matius untuk hidup ialah pilihan yang
membunuh kelompok status quo. Maka tentu konsekuensi logisnya ialah dominasi atas
Yudaisme harus terus dilakukan.
Persoalan semakin rumit sebab komunitas Matius tidak merasa dirinya ialah
bagian luar dari kelompok Yahudi. Mereka tetap yakin jika dirinya merupakan bagian
dari kelompok itu. Dalam kesadaran semacam ini mereka berpretensi melakukan
perubahan atas praktek lama yang tak benar. Anthony Saldarini menegaskan apabila
komunitas Matius tidak sedang mencoba menciptakan sebuah masyarakat Agama Baru
tetapi tengah berupaya medelegitimasi kelompok status quo dengan membongkar
praktek Yudaisme mereka yang keliru.50
Kekeliruan kelompok status quo sebenarnya bukan semata berkaitan dengan
persoalan perbedaan pandangan antara mereka dengan komunitas Matius mengenai
status Yesus sebagai Mesias. Akan tetapi juga terletak pada persengkongkolan kelompok
status quo untuk menghancurkan komunitas Matius. Sebab secara sosio-politik kehadiran komunitas Matius ibarat duri dalam daging. Maka daripada duri itu terus melukai diri
sendiri lebih baik segera disingkirkan. Jejak ini muncul kuat disepanjang ayat 4 dan 7
pada narasi. Tindakan Herodes Agung melakukan pertemuan terpisah dengan pemuka
49 Perihal telaah tentang Deviant Jews lihat Kai Ericson, Wayward Puritans: A Study in the Sociology of
Deviance (New York: Wiley, 1966) 3-5.
15
yahudi dan lalu melaksanakan pertemuan rahasia51 dengan para majus ialah bentuk
persengkongkolan demi dominasi status quo. Poin yang redaktur Matius angkat ialah
pendekatan kelompok status quo identik dengan sikap penguasa yang manipulatif dan
menindas.
Para majus setelah ayat 7 digambarkan sebagai pihak yang awalnya mengikuti
gerak manipulasi kekuasaan ala kelompok status quo dalam diri Herodes Agung. Sang
raja yang seolah memberikan ruang pada para majus dan mendengarkan pendapat
mereka sebenarnya hanya tindakan manipulasi untuk menggali informasi guna
menghancurkan Yesus dan para majus sendiri. Richard T. France menyebut peran para
majus dalam ayat 7-9 sebagai alat spionase sang raja.52 Artinya tujuan Herodes Agung
bertemu dengan para majus bukan pertama-tama demi mendengarkan apa yang para
majus itu inginkan tetapi justru untuk memperalat mereka.
Ujaran Saldarini dan penjelasan France menurut saya sangat penting dalam
memahami posisi komunitas Matius dalam konteks tidak ingin mengganti Yudaisme
dengan suatu agama baru. Melalui kisah kelahiran Yesus, komunitas Matius menegaskan
bahwa bentuk dominasi dalam kehidupan bersama tidak dapat diterima. Mereka tidak
sedang bicara ortodoksi Agama Yahudi. Agama Yahudi yang dalam hal ini hanya
menjadi locus bagi suatu kehidupan bersama atau menjadi arena perebutan pengaruh.
Dengan ketiadaan tendensi membentuk locus baru maka komunitas Matius sebenarnya
tengah mencoba mempertahankan diri sebagai bagian dari kesatuan komunitas Yahudi
umunya. Akan tetapi dengan suatu harapan bahwa hidup bersama itu dilakukan tidak
dalam penindasan.
Penolakan paham tentang dominasi ini menurut saya muncul dalam suatu
pernyataan teologis di sepanjang ayat 10-12. Hal yang sangat menarik ialah upaya
persekongkolan untuk memperalat para majus agar dominasi dapat dilanggengkan justru
digagalkan oleh Tuhan melalui mimpi para majus dan penyataan malaikat kepada Yusuf.
Dalam kepolosanya para majus terjebak pada permainan kekuasaan Herodes Agung
tetapi permainan itu tidak sampai selesai sebab Tuhan menggagalkannya di tengah jalan.
Pada titik ini saya menduga redaktur Matius menegaskan bahwa Tuhan justru tidak
menghendaki model dominasi status quo yang menghalalkan praktek kekuasaan
manipulatif seperti yang dipraktekan kelompok status quo dalam diri Herodes Agung.
51τda dua kata kunci dalam pertemuan rahasia ini, yaitu “Secara rahasia ( ά ᾳ)” dan “memastikan secara
tepat (ἠ ί ω ).” Pertemuan ini terpisah dan tertutup bersifat rahasia antara Herodes τgung dengan para majus. apa tujuan pertemuan ini? Untuk memastikan dengan tepat apakah Yesus Mesias. Dalam hal ini untuk memastikan dampak dari status Yesus sebagai Mesias.
16
Tidak kembalinya para majus ke istana Herodes Agung lalu disambung pelarian
Yusuf yang membawa serta keluarganya ke Mesir (ayat 12-15) menjadi indikasi redaktur
Matius ingin menyampaikan bahwa apa yang telah diupayakan oleh kelompok status quo
mengalami kegagalan sebab tak dikehendaki oleh Tuhan. Sambil memposisikan diri
sebagai komunitas yang mengupayakan tidak munculnya suatu locus hidup bersama
yang baru, redaktur Matius mengetengahkan gagasan bahwa Tuhan menghendaki suatu
penyelenggaraan kekuasaan yang tak di dominasi oleh kubu yang tak lagi memahami
benar perintah Tuhan dan yang melakukan praktek memperalat kekuasaanya untuk
mendominasi sekaligus membungkam pihak yang berbeda. Dengan luputnya Yesus sang
Mesias dari cengkraman sang penguasa Herodes Agung maka hal ini jelas ialah sindiran
redaktur Matius bahwa tidak ada basis moral religius lagi bagi dominasi kelompok status
quo sebab rencana brilian mereka untuk menegaskan kekuasaan telah digagalkan oleh
Tuhan sendiri.
Pada cerita pembantaian anak-anak oleh Herodes Agung (ayat 16-18) redaktur
Matius menunjukan bahwa praktek dominasi status quo tak kunjung berakhir.
Pembunuhan anak-anak dibawah dua tahun seperti yang Herodes Agung lakukan
merupakan tanda betapa sang raja tak siap memiliki rival dan bertindak untuk
menyingkirkanya.53 Redaktur Matius dengan tepat meminjam tokoh Herodes Agung
yang memiliki karakter yang begitu cocok tentang ketidaksiapan penguasa menerima
adanya rival yang mengganggu dominasi mereka.54 Tabiat Herodes Agung tersebut
benar-benar mewakili cibiran redaktur Matius terhadap sikap bebal kelompok status quo
dengan tetap ingin dominan meski secara moral religius mereka dinilai telah benar-benar
salah oleh redaktur Matius.
3.2Revolusi yang berdarah-darah bukanlah pilihan ideal dari perjuangan melawan dominasi status quo.
Sentralnya topik tentang Mesias pada narasi ini juga menunjukan bagaimana
gagasan tersebut digunakan dalam perjuangan kelompok Matius. Ayat 15 dan 18 dalam
narasi merupakan kutipan dari Hosea 11:1 dan Yeremia 31:15. Kutipan ini menurut saya
digunakan redaktur untuk mendramatisir teks yang sebenarnya merupakan puncak dari
pengantar mengenai pertentangan kelompok Matius dengan kelompok Status quo. Cara
pengutipan semacam ini begitu populer oleh komunitas Yahudi pada masa pasca Bait
53 France, Herod, 105.
54 Jika saya membuat semacam tipologi maka ada dua Kelompok dalam narasi ini: (1) Para Majus, Yesus dan
17
Allah untuk tujuan menggambarkan situasi hidup mereka yang kerap kali dalam
kelompok Yahudi dikenal sebagai bentuk Midrash.55
Richard T. France yang secara spesifik meneliti narasi pembantaian anak-anak
menyebut bahwa kisah itu tak lebih dari sebuah folklore.56 Cerita ini dikembangkan
terutama berada pada peran teks Yeremia 31:15 yang dikutip oleh redaktur Matius.
Beberapa penafsir menjelaskan bahwa pengutipan teks Yeremia 31:15 ialah cara
menautkan Yesus dengan Musa. Akan tetapi France membantah argumen tersebut. Ia
berpendapat jika memang upaya Kristologi semacam itu dapat diterima maka ia
seharusnya juga muncul di injil lainya.57 Richard T. France sependapat dengan Jean
Dean Kingsbury, bahwa ada dua kemungkinan besar yang melahirkan teks pembantaian
ini, yaitu: (1) alasan apologetis; dan (2) alasan polemik.58
Dengan memberi ruang kepada pendapat Saldarini tentang konflik antara
kelompok Matius dengan kelompok status quo maka saya memandang jika teks tentang
pembantaian anak-anak sebagai klimaks cerita antara rivalitas Yesus Kristus dengan
Herodes Agung terutama ditempatkan dalam tipologi Polemik seperti dalam teori France.
Kedudukan teks yang lahir dari situasi problematis dan penuh polemik semacam itu
membuat peran sentral Mesias dalam narasi menjadi jelas. Sebab jika tak begitu, saya
melihat implikasi dari sentralnya Mesias dalam tulisan redaktur Matius sulit untuk
dipahami.
Sebagai cerita yang lahir dari polemik, alasan Herodes Agung membunuh
anak-anak setelah intensinya tak tercapai menjadi penting untuk ditelaah. Apabila diperhatikan
dari teks maka penyebab dibantainya anak-anak seolah-olah oleh kemarahan Herodes
Agung karena diperdaya (ἐ νεπαί χ ) para majus (ayat 16). Menurut saya melampaui
kemarahan seperti disebutkan teks sebenarnya tindakan brutal Herodes Agung dipicu bukan oleh “keterperdayaan” an sich melainkan tak tercapainya kalkulasi politik tentang Mesias. Meski Herodes Agung nampak begitu tertarik bahkan disebutkan ingin
menyembah Mesias (ayat 8) namun intensinya terhadap bayi Yesus sebenarnya ialah
jelas berkaitan dengan status Sang Bayi sebagai Mesias.
F. F. Bruce menjelaskan dengan baik perihal makna Mesias dalam alam berpikir
orang Yahudi. Mesias bukan hanya persoalan gelar semata namun melampui itu ia
adalah sebuah tanda pengharapan (the Messianic Hope) di mana terpenuhinya Hari
55 Pendapat bahwa narasi Matius ialah Midrash datang dari McNeile seperti dikutip Frederick D. Bruner,
Matthew A Commentary (Michigan: Wm. B. Eerdmans Publishing Co. 2004), Kindle Version.
56 R. T. France menjelaskan kemungkinan narasi pembantaian diambil dari model tradisi yang berkembang
umum dalam Komunitas Yahudi, yaitu: kisah hidup Musa, Abraham dan Yakub. Lih. France, Herod, 105-108.
57
France, The Gospel, Kindle Version.
18
YHWH dan sekaligus kebangkitan kembali kedaulatan kerajaan wangsa Daud.59 Ada
beberapa jenis Pengharapan Mesias namun yang paling banyak berpengaruh di masa
penjajahan Romawi manakalah komunitas Matius diduga hidup ialah Millitary
Messiah.60 Model Millitary Messiah banyak menginspirasi pemberontakan kelompok Yahudi terhadap kekuasaan Romawi dengan melalukan perlawanan fisik (kerusuhan,
perampokan bahkan perang) yang oleh Imperium Romanum sering dikategorikan sebagai
aksi teror. Dibawah panji Pax Romana maka aksi teror semacam ini tidak akan
ditoleransi dan bahkan akan ditumpas habis melaui pedang Legiun.61
Jika saya menganalisis narasi maka redaktur Matius cenderung menolak model
Millitary Messiah. Saya menduga sebab penolakan itu karena pemberontakan a la
Millitary Messiah nyata-nyata menemui kegagalan besar manakala Yerusalem dihancurkan oleh Jenderal Titus tahun 70 ZB. Harga yang harus dibayar oleh bangsa
Yahudi atas pilihan untuk mendahulukan model Millitary Messiah sangat mahal. Pasca
penghancuran Yerusalem beserta Bait Allah bangsa Yahudi diusir dari tanah mereka
sendiri dan dampaknya bagi mereka yang berada di diaspora ialah dicabutnya oleh
otoritas Romawi atas berbagai hak istimewa yang telah lama dinikmati.
Munculnya Herodes Agung yang merasa Mesias ialah rivalnya (sepanjang ayat
1-18) dapat memberikan jejak bagi pemahaman di atas. Stefan Leeks menafisrkan bahwa
gelar orang Yahudi yang disebut para majus ialah untuk mengantipasi bahwa Yesus
Kritus tidak diterima penguasa.62 Mengenai nyawa Yesus yang diincar Herodes Agung
(ayat 13-15) Leeks memberikan komentar yang sangat baik. Ia menilai bahwa introduksi
pada genealogi Yesus sebagai keturunan Daud memberikan legitimasi kuat bahwa Ia
pewaris sah kerajaan Daud sehingga membuat Herodes Agung panik.63 Artinya
mengikuti pola Messianic Hope maka Yesus ialah yang dapat dipercaya sebagai Mesias
yang akan menegakan kembali supremasi kerajaan Daud dari tangan Herodes Agung.
Secara sosio-politik ini adalah tanda akan terjadinya Revolusi Mesias yang mana
membuat orang-orang Yahudi bangkit melawan Romawi melalui kelahiran Yesus.
59
F. F. Bruce, New Testament, 116.
60 (1) Davidic Messiah (muncul pasca pendudukan Babilonia yang mana berpusat pada janji bahwa kerajaan
Daud yang jatuh akan dibangun lagi dengan lebih hebat), (2) High-priesthood Messiah (muncul pada jaman Hasmonean), (3) Priestly-Royal Messiah (diajukan oleh Komunitas Qumran), (4) Millitary Messiah (muncul dan mendominasi sebagai ekstrim baru dari Davidic Messiah yang begitu mengharapkan keturunan Daud memimpin “pelepasan” umat Tuhan dari cengkraman Herodian atau Gubernur Romawi) dan (η) Spiritual Messiah (model yang menurut Bruce sebenarnya dipilih oleh Yesus namun baru disadari pada abad pertama Kekristenan). Lih. F. F. Bruce, New Testament, 116-127.
61 Benjamin Isaac, The Near East Under Roman Rules (Leiden:Brill, 1998), 377-379.
62
Leeks, Tafsir, 40.
19
Akan tetapi fakta sejarah berkata berkebalikan: sampai Yesus mati karena
disalibkan, Ia tak melakukan Revolusi dalam paham Millitary Messiah. Saya sepakat
bahwa sosok Yesus Kristus dalam narasi tak diterima oleh penguasa seperti yang Leeks
kemukakan. Akan tetapi konsekuensi lebih jauh dari dampak garis keturunan Yesus
Putra Daud yang membuat penguasa Yahudi panik agaknya ahistoris. Lagipula
orang-orang Yahudi ternyata tidak semua bersepakat atau satu suara perihal memaknai
keterjajahan mereka oleh bangsa-bangsa kafir dan termasuk memaknai perlawanan
terhadap penjajah.64 Agaknya Leeks tidak melihat kecenderungan redaktur Matius
sengaja membedakan sebutan untuk Yesus ini dalam diri Herodes Agung dan para
majus. Maka mengenai rivalitas itu saya lebih memilih untuk melihat peran terma Mesias
yang memiliki konsekuensi politik berkaitan dengan konteksnya pada polemik
komunitas Matius.
Guna mengatasi celah historis terma Mesias dari rivalitas antara Herodes Agung
dengan Yesus maka saya mengusulkan untuk mencoba memahami posisi redaktur
Matius dalam perspektif penggunaan dua tokoh ini. Menurut saya redaktur Matius ingin
mengecam tradisi dalam komunitas yahudi yang begitu fantatik terhadap model Millitary
Messiah namun disisi lain menerima berbagai keistimewaan dari penjajah. Padahal keistimewaan itu malah menjamin komunitas Yahudi untuk tidak menista Tuhan dengan
melanggar hukum mereka sendiri melalui kewajiban melakukan praktek-praktek kafir
yang ditetapkan Imperium Romanum bagi setiap wilayah kekaisaraan. Akan tetapi karena
fanatisme terhadap Millitary Messiah mereka justru kehilangan dispensasi sosio-politik
itu.
Komunitas Yahudi di Anthiokhia ikut terhisap dalam situasi perang di Yerusalem
yang akhirnya ditumpas tahun 70 ZB. Komunitas Yahudi di Anthiokhia mengambil sikap
melakukan pembentorakan dan mengakibatkan kerusuhan. Akibatnya Gubernur
Anthiokhia mengerahkan pasukan untuk membasmi kerusuhan itu. Kecemburuan sosial
yang diterima orang Yahudi atas hak eksklusif mereka membuat komunitas ini bukan
meredam konflik malah makin kukuh dalam resistensi Millitary Messiah sehingga makin
menambah ketegangan dengan orang-orang kafir di Anthiokhia.
Padahal menurut redaktur Matius terbebasnya Yesus Sang Mesias dari upaya
pembunuhan Herodes Agung yang takut kepada dampak Millitary Mesiah (mengikuti
tafsir Leeks pada konteks dalam teks) ialah tanda bahwa model itu bukan yang
64 Perihal perbedaan pandangan antar kelompok agama Yudaisme ini telah dijelaskan dengan sangat baik oleh
20
diharapkan. Herodes Agung secara faktual ialah kaki tangan Romawi dan orang dekat
Kaisar. Dengan menempatkan seolah Yesus Sang Mesias ialah pemberontak yang
mencoba melawan otoritas Herodes Agung yang didukung Kaisar, redaktur Matius
kembali lagi menggunakan model sinisme untuk mengecam baik Imperium Romanum
maupun kelompok Status quo Yahudi yang mendukung pemberontakan. Dalam satu
pukulan redaktur Matius ingin menunjukan bahwa sosok Herodes Agung yang ialah
mewakili dua kelompok penguasa itu telah salah kaprah mengenai kehadiran Yesus
sebagai Mesias.
Sikap Romawi yang tak lagi ramah pada orang Yahudi merupakan tindakan salah
kaprah bahwa seluruh kelompok Yahudi mendukung pemberontakan. Redaktur Matius
ingin mengatakan bahwa Romawi salah memahami arti Mesias yaitu terbatas pada dan
identik dengan Millitary Mesiah. Padahal model itu hanya ekstrim dari salah satu bentuk
penafsiran tradisi Yudaisme. Dampak sosio-politik Millitary Mesiah tentu merupakan
dua hal yang berbeda dari keyakinan kepada Mesianic Hope. Di bagian lain dari narasi
mengikuti Lukas dan Markus redaktur Matius menunjukan bahwa sikap umum kelompok
yahudi khususnya yang mengikuti ajaran Yesus ialah tak mendukung pemberontakan
(bnd. Matius 22:21).
Sedangkan kelompok status quo di Antiokhia yang masih mendukung paham
Mesias Sang Liberator disentil oleh redaktur sebagai penganut paham ekstrim yang salah
kaprah. Yesus Kristus yang lolos dari pembantaian menunjukan bahwa model
perlawanan dengan kekerasan ialah tak realistis. Bahkan Tuhan sendiri tak menghendaki
model pemberontakan berdarah-darah itulah sebabnya Yesus luput dari pembantaian.
Maka posisi pemimpin Sinagoge Antiokhia yang cenderung mendukung agenda
pemberontakan di Yerusalem tengah dipersoalkan oleh redaktur Matius.
Melalui teks pembantaian anak-anak (ayat 16-18) redaktur Matius menegaskan
bahwa kekerasan hati untuk mendukung pemberontakan hanya melahirkan pembunuhan
bagi orang Yahudi yang tak berdosa dan yang tak tahu menahu perihal pilihan politik
para pemimpin Yahudi. Anak-anak yang dibantai oleh Herodes Agung ialah gambaran
karena kecerobohan pemimpin Yahudi65 membuat Imperium Romanum yang juga adalah
patron pemuka Yahudi sendiri membunuh orang-orang Yahudi yang tak bersalah dan
membawa kerugian bagi komunitas Sinagoge di Anthiokhia.
Pengutipan Yeremia 31:15 pada narasi pembantaian sebagai apa yang disebut R.
T. France floklore bukan untuk mengatakan bahwa kisah Yesus sama seperti Musa.
65
21
Namun lebih kepada teknik mirip Midrash yang mengungkapkan penyelasan redaktur
Matius atas kehidupan komunitas Yahudi yang mana ia bagian dari dalamnya yang
tengah menderita pasca Perang Yerusalem.
Penderitaan itu secara sosial jelas berat sebab dengan pilihan politik melawan
Imperium Romanum maka apa yang Yosephus sebut sebagai kondisi komunitas Yahudi di Anthokhia hidup bahagia, mapan dan cukup kaya raya karena mereka sebagian
merupakan anggota strata sosial tinggi tak lagi mereka nikmati seperti saat sebelum
perang. Orang yahudi umumnya pasca perang Yerusalem dan kerusuhan dimusuhi oleh
warga kota Antiokhia bahkan pernah muncul petisi untuk mengusir mereka keluar dari
kota itu kepada Jenderal Titus manakala ia berkunjung ke sana pasca perang Yerusalem.
Pada giliranya orang-orang Yahudi berada dalam pengawasan Gubernur Romawi yang
mana kedudukan politik mereka yang semula cukup baik kini tak ada nilai tawar lagi.
3.3Penolakan Tuhan melalui diri Mesias terhadap kekuasaan politik a la Status Quo menubuh dalam sebuah pranata sosio-politik.
Penyingkiran ke Mesir seperti yang muncul pada ayat 13-15 dalam narasi dapat
ditafsirkan sebagai sebuah alternatif atau jalan keluar.66 Setelah muncul nuanasa tegang
dan upaya dominasi kelompok status quo terhadap komunitas Matius (ayat 1-12) lalu
kemudian adanya nada protes dan penyelasan atas sikap mendukung pikiran ekstrimis,
maka redaktur Matius mencoba memberikan sebuah gagasan bagi kelompok Yahudi di
Anthiokhia secara umum. Gagasan itu ialah sebuah pemahaman ten