MOTTO
“Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan” - QS Tr Rahman ayat 13.
“Dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Tllah” – QS Yusuf ayat 87.
At the end of the day, we believe what we want to believe. Berhati-hatilah dengan harapan, karena ekspektasi akan menentukan reaksi. Berani berharap tinggi, maka
harus berani terhempas ke bumi – Ernest Prakasa.
Seburuk apapun hidup itu nampaknya, selalu ada sesuatu yang kau bisa lakukan dan berhasil di dalamnya.Di mana ada kehidupan, ada harapan – Stephen
Hawking.
PERSEMBAHAN
Tlhamdulillah setelah melalui perjalanan yang panjang, akhirnya tugas terakhir saya sebagai mahasiswa telah selesai. Tugas akhir skripsi ini saya persembahkan untuk:
1. TLLTH SWT yang senantiasa memberikan karunia berupa kasih sayang, kesehatan dan kesabaran. Engkau yang selalu memberi kekuatan di saat semua terasa berat. Engkau yang memberikan cinta di saat sikap acuh menguasai dunia. Terima kasih telah memberikan hamba umur yang panjang hingga saat ini masih bisa merasakan hebatnya kuasa-Mu.
2. Kedua orang tua saya yang selalu menyayangi dan memberi semangat setiap waktu. Terima kasih atas kasih sayang yang selalu mama papa berikan serta doa tulus yang senantiasa menyertai saya. Mother, thank you for taking care of me until now. I love you a lot, Mom. I feel bad but I’m very appreciative. I’ll always try to be a good daughter and a good person for you, Mom.
3. Seseorang yang nantinya akan menjadi rumah tempat di mana semua kenyamanan, keamanan dan kedamaian selalu saya rasakan. Tempat kembali saat saya pergi ke mana pun itu.
5. Ragil Nur Rahmawati yang selalu bersikap baik kepada saya walaupun terkadang saya menjengkelkan. Terima kasih telah menemani saya selama di kampus. Terima kasih karena bersedia menemani saya mengambil data penelitian ini. Kamu sering membantuku melihat hikmah dari setiap masalahku. Maaf, kalau saya sering tidak paham dengan masalah yang kamu hadapi dan jarang ada saat kamu butuhkan. Maaf, karena saya belum bisa jadi sahabat yang baik.
6. Ika Pratiwi yang menghiasi suasana perkuliahan saya dengan tawa dan kisah hidupnya. Terima kasih telah mendengarkan keluh kesahku atas betapa tidak adilnya dunia ini. Mungkin persahabatan kita belum terlalu lama tapi kamu teman kuliah yang selalu menemaniku, mendukungku dan tidak langsung termakan kabar burung tentangku. Kuharap kamu juga menganggapku begitu. Cepet ketemu jodohnya ya :*
7. Personil CNBLUE dan BTS yang lagunya selalu menemani setiap pengerjaan skripsi ini. Jeongmal gamsahamnida.
STRUKTUR KOMUNITAS PLANKTON PADA MUSIM PENGHUJAN DI TELAGA BROMO KECAMATAN PALIYAN KABUPATEN
GUNUNGKIDUL YOGYAKARTA
Oleh:
Tnnisa Kusumaningrum NIM 12308141033
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui struktur komunitas plankton serta kualitas fisik-kimia perairan di Telaga Bromo selama musim penghujan pada bulan Januari-Maret 2016.
Penelitian ini merupakan penelitian observasi dengan 4 stasiun yaitu pada tempat mencuci, tengah telaga, tempat dengan naungan vegetasi dan tempat yang tidak memiliki naungan vegetasi. Pengambilan sampel dilakukan 5 kali dengan 5 kali ulangan pada masing-masing stasiun.
Hasil identifikasi diperoleh 2 divisi fitoplankton dengan 8 marga dan 3 filum zooplankton dengan 8 marga. Rata-rata densitas fitoplankton berkisar antara 499,13-1.188.576,82 sel/l, sedangkan rata-rata densitas zooplankton berkisar antara 0-138.319,12 ind/l. Data curah hujan dan data kelimpahan plankton yang didapat menunjukkan bahwa semakin tinggi intensitas hujan semakin berkurang kelimpahan plankton. Nilai indeks keanekaragaman berdasarkan persamaan Shanon-Wiener menunjukkan skala 0<H’<1 sehingga Telaga Bromo memiliki kualitas air tercemar dengan status ekosistem yang labil. Indeks kemerataan jenis menunjukkan bahwa komunitas di Telaga Bromo tidak beragam sehingga terdapat dominansi. Genus yang mendominasi fitoplankton adalah Microcystis sedangkan zooplankton adalah genus Brachionus.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ekosistem air yang terdapat di daratan secara umum dibagi atas dua yaitu
perairan lentik yang disebut juga perairan tenang (misalnya waduk, danau, telaga
dan rawa) dan perairan lotik yang disebut juga perairan berarus deras (misalnya
sungai, kanal dan parit). Perbedaan utama antara perairan lentik dan perairan lotik
adalah kecepatan arus. Perairan lentik memiliki kecepatan arus yang lambat serta
terjadi akumulasi massa air dalam periode waktu yang lama, sedangkan perairan
lotik umumnya memiliki kecepatan arus yang tinggi disertai perpindahan massa
air yang berlangsung dengan cepat (Barus. 2004: 21).
Perairan air tawar menempati ruang yang lebih kecil bila dibandingkan
dengan lautan dan daratan namun ekosistem air tawar merupakan sumber air
rumah tangga dan industri. Ciri-ciri ekosistem air tawar antara lain variasi suhu
tidak menyolok dan penetrasi cahaya kurang. Cuaca akan sangat mempengaruhi
lingkungan air tawar karena sumber airnya hanya dari air hujan. Berbagai
perubahan akan terjadi pada tiap musim. Saat musim penghujan, kandungan
nutrisi yang diperlukan oleh organisme di perairan air tawar akan lebih banyak
daripada saat musim kemarau sebagai dampak positif dari air limpasan. Air
limpasan adalah bagian curahan hujan (curah hujan dikurangi evapotranspirasi
dari subpermukaan (sub surface). Selain dampak positif, air limpasan juga
membawa dampak negatif bagi perairan air tawar yaitu meningkatnya nilai
kekeruhan perairan. Tidak hanya nutrisi yang terbawa oleh air limpasan namun
sampah yang berada di permukaan tanah juga turut terbawa sehingga menambah
kekeruhan perairan. Meningkatnya kekeruhan perairan akan mengurangi tingkat
penetrasi cahaya yang akan berdampak pada proses fotosintesis yang dilakukan
oleh organisme air (Luthfiana, N.F,dkk. 2013:1-3).
Sebagian besar wilayah kabupaten Gunungkidul merupakan bentangan
karst dari Gunung Sewu. Wilayah karst secara alami menjadi daerah yang tandus
dan kering. Ketiadaan aliran permukaan menyebabkan telaga dan mata air
menjadi sumber air yang sangat penting di kawasan karst. Telaga adalah
ledokan-ledokan berbentuk corong pada daerah berbatuan karbonat yang terisi baik secara
permanen (terisi air sepanjang tahun) ataupun tidak permanen (terisi air hanya
pada musim penghujan) (Darmakusuma dan Ahmad. 2013: 94).
Berdasarkan data dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, di
Gunungkidul terdapat 280 telaga. Dari jumlah tersebut, hanya ada 70 telaga yang
dimanfaatkan, sementara 210 telaga lainnya mengalami kekeringan. Mayoritas
kekeringan disebabkan karena adanya proses sedimentasi
(http://harianjogja.bisnis.com/telaga-di-gunungkidul-mulai-mengering).
Salah satu telaga di Gunungkidul yang masih dimanfaatkan masyarakat
karena tempatnya tidak berada dekat jalan besar bahkan jalanan menuju ke sana
belum beraspal. Telaga yang memiliki luas 1,014 Ha ini digunakan oleh
masyarakat untuk mencuci pakaian, mandi dan memancing. Kondisi ekosistem
perairan sangat berkaitan erat dengan jenis dan intensitas kegiatan manusia.
Peningkatan kebutuhan manusia memacu meningkatnya degradasi lingkungan
perairan yang akhirnya akan mempengaruhi sumberdaya hayati perairan. Kondisi
lingkungan yang berubah mempengaruhi organisme dan biota yang ada di dalam
perairan, salah satunya adalah plankton. Keberadaan plankton di suatu perairan
dipengaruhi oleh faktor fisik dan kimia perairan.
Plankton adalah organisme yang terapung atau melayang-layang di dalam
air yang pergerakannya relatif pasif (Suin. 2002: 118). Plankton adalah organisme
baik hewan maupun tumbuhan yang hidup mengapung, mengambang atau
melayang di dalam air yang pergerakannya sangat terbatas sehingga selalu
terbawa hanyut oleh arus air (Davis, 1955: 2 dalam Mohammad Faiz, 2012: 6).
Perubahan yang terjadi akibat kegiatan warga dikhawatirkan dapat
mempengaruhi kualitas air telaga. Keberadaan plankton di suatu perairan dapat
memberikan informasi mengenai kondisi perairan. Plankton sangat
mempengaruhi kehidupan perairan karena berperan sebagai produsen dan
konsumen primer. Oleh karenanya, data dasar komponen biotik serta abiotik yang
mempengaruhi ekosistem telaga pada musim penghujan sangat penting diketahui
B. Identifikasi Masalah
1. Bagaimana struktur komunitas plankton di Telaga Bromo ?
2. Bagaimana status ekosistem Telaga Bromo pada musim penghujan?
3. Bagaimana kondisi fisik-kimia perairan di Telaga Bromo ?
4. Apakah kawasan karst berpengaruh terhadap kondisi ekosistem Telaga Bromo ?
5. Bagaimana kualitas perairan Telaga Bromo ?
6. Apakah kondisi perairan Telaga Bromo sesuai dengan baku mutu untuk
pengairan tanaman?
C. Batasan Masalah
Dalam penelitian ini masalah akan dibatasi pada:
1. Struktur komunitas plankton berupa densitas, indeks keanekaragaman, indeks
kemerataan jenis dan indeks dominansi.
2. Kondisi fisik kimiawi perairan berupa intensitas cahaya, kekeruhan,
kedalaman, suhu, pH, DO, COD, BOD, nitrat, fosfat, sulfat dan kalsium.
3. Data fisik kimiawi yang diperoleh merupakan data pendukung untuk struktur
komunitas plankton.
4. Pengambilan sampel dilakukan pada musim penghujan.
D. Rumusan Masalah
1. Bagaimana struktur komunitas plankton di Telaga Bromo pada musim
penghujan ?
E. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui struktur komunitas plankton di Telaga Bromo pada
musim penghujan.
2. Untuk mengetahui kondisi fisik dan kimia perairan di Telaga Bromo pada
musim penghujan.
F. Manfaat Penelitian
1. Bagi Masyarakat
a. Sebagai media informasi tentang adanya komunitas organisme mikro
di perairan air tawar.
b. Sebagai media informasi tentang kondisi perairan Telaga Bromo
berdasarkan struktur komunitas plankton ada musim penghujan.
c. Sebagai media informasi tentang pemanfaatan telaga sesuai dengan
kondisi perairan Telaga Bromo.
2. Bagi Akademisi
a. Sebagai bahan diskusi tentang struktur komunitas plankton di
ekosistem perairan air tawar terutama Telaga Bromo pada awal musim
penghujan.
b. Sebagai bahan informasi dan referensi baru tentang penelitian
G. Definisi Operasional
1. Struktur komunitas plankton adalah kumpulan plankton dilihat dari
densitas, indeks keanekaragaman, indeks kemerataan jenis dan indeks
dominansi.
2. Plankton merupakan organisme berukuran mikro yang jumlahnya sangat
banyak dan tidak cukup kuat menahan gerakan air yang besar (Hutabarat,
Sahala dan Stewart, M.E. 1985: 106).
3. Telaga adalah ledokan-ledokan berbentuk corong pada daerah berbatuan
karbonat yang terisi baik secara permanen (terisi air sepanjang tahun)
ataupun tidak permanen (terisi air hanya pada musim penghujan).
4. Kualitas perairan adalah karakter fisik air (intensitas cahaya, kekeruhan,
kedalaman dan suhu) dan kimiawi air (pH, COD, DO, BOD, nitrat, fosfat,
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. DESKRIPSI TEORI
1. Ekosistem Air Tawar
Habitat air tawar menempati daerah yang relatif lebih kecil pada
permukaan bumi dibandingkan habitat air laut, tetapi bagi manusia
kepentingannya jauh lebih berarti dibandingkan dengan luas daerahnya.
Hal ini disebabkan karena: 1) habitat air tawar merupakan sumber air yang
paling praktis dan murah untuk kepentingan domestik maupun industri. 2)
ekosistem air tawar menawarkan sistem pembuangan yang memadai dan
paling murah (Odum. 1994: 368).
Ekosistem air yang terdapat di daratan secara umum dibagi atas
dua yaitu perairan lentik yang disebut juga perairan tenang (misalnya
waduk, danau, telaga dan rawa) dan perairan lotik yang disebut juga
perairan berarus deras (misalnya sungai, kanal dan parit). Perbedaan utama
antara perairan lentik dan perairan lotik adalah kecepatan arus. Perairan
lentik memiliki kecepatan arus yang lambat serta terjadi akumulasi massa
air dalam periode waktu yang lama, sedangkan perairan lotik umumnya
memiliki kecepatan arus yang tinggi disertai perpindahan massa air yang
berlangsung dengan cepat. Berdasarkan proses pembentuknya, waduk dan
kolam merupakan salah satu contoh ekosistem perairan menggenang
Perairan mengalir mempunyai corak tertentu yang secara jelas
membedakannya dari air tergenang walaupun keduanya merupakan habitat
air. Satu perbedaan mendasar antara telaga dan sungai adalah karena telaga
terbentuk karena cekungannya sudah ada dan air mengisi cekungan itu,
tetapi telaga dapat terisi setiap saat oleh endapan sehingga menjadi tanah
kering. Sebaliknya sungai terjadi karena airnya sudah ada, sehingga air
itulah yang membentuk dan menyebabkan tetap adanya saluran selama
masih terdapat air yang mengisinya (Ewusie. 1990:186).
Ekosistem air tawar merupakan habitat bagi organisme akuatik
yang keberadaannya sangat dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya.
Organisme akuatik tersebut diantaranya tumbuhan air, plankton, perifiton,
bentos dan ikan (Soewarno. 1991: 20).
2. Zonase Perairan Tawar
Zonase pada perairan tawar berbeda dengan zonase pada perairan
laut. Zonase perairan air tawar dapat dibedakan berdasarkan letak dan
intensitas cahaya.
Menurut Satino (2010:6), zonase perairan air tawar berdasarkan
letaknya dibagi menjadi 4 zone yaitu:
a. Zone Litoral
Merupakan daerah pinggiran perairan yang masih bersentuhan
dengan daratan. Pada daerah tersebut terjadi percampuran
Organisme yang biasanya ditemukan antara lain: tumbuhan
akuatik, kerang, crustacea, ikan, perifiton dan lain-lain.
b. Zone Limnetik
Merupakan daerah kolam air yang terbentang antara zone
litoral di satu sisi dan zone litoral di sisi lain. Zone ini memiliki
berbagai variasi secara fisik, kimiawi maupun kehidupan di
dalamnya. Organisme yang banyak ditemukan di daerah ini antara
lain: ikan, udang dan plankton.
c. Zone Profundal
Merupakan daerah dasar perairan yang lebih dalam dan
menerima sedikit cahaya matahari dibanding daerah litoral dan
limnetik. Bagian ini dihuni oleh sedikit organisme terutama dari
organisme bentik karnivor dan detrifor.
d. Zone Sublitoral
Merupakan daerah peralihan antara zone litoral dan zone
profundal. Sebagian daerah peralihan zone ini dihuni oleh banyak
organisme bentik dan juga organisme temporal yang datang untuk
mencari makan.
Menurut Satino (2010:7), zonase perairan air tawar berdasarkan
intensitas cahaya dibagi menjadi 3 zone yaitu:
a. Zone Eufotik/ Fotik
Merupakan bagian perairan dimana cahaya matahari
matahari ke dalam perairan sangat dipengaruhi oleh berbagai
faktor antara lain: tingkat kekeruhan, intensitas cahaya matahari
itu sendiri, densitas fitoplankton dan sudut datang cahaya
matahari. Zone ini merupakan zone produktif dalam perairan dan
dihuni oleh berbagai macam jenis biota di dalamnya. Merupakan
wilayah paling luas pada ekosistem perairan daratan dengan
kedalaman yang bervariasi.
b. Zone Afotik
Merupakan bagian perairan yang gelap gulita karena
cahaya matahari tidak dapat menembus daerah ini. Di daerah
tropis, zone perairan tanpa cahaya hanya ditemui pada perairan
yang sangat dalam atau perairan hipertrofik. Pada zone ini
produsen primer bukan algae tetapi terdiri dari jenis bakteri
sulfur.tidak adanya tumbuh-tumbuhan sbagai produsen primer
karena tidak adanya cahaya matahari yang masuk sehingga
menyebabkan daerah ini miskin oksigen (DO rendah). Kondisi
tersebut berpengaruh pada biota yang hidup di zone ini yang
hanya berupa karnivor ataupun detrifor.
c. Zone Mesofotik
Merupakan bagian perairan yang terdapat di antara zone
fotik dan zone afiotik atau dikenal sebagai daerah
perburuan bagi organisme yang hidup di zone afotik dan juga
organisme yang hidup di zone fotik.
3. Perairan Telaga
Berdasarkan proses secara umum, telaga terbentuk secara alamiah
karena peristiwa vulkanik dan tektonik. Di daerah karst, telaga terbentuk
karena topografi daerah karst yang secara alamiah terdapat cekungan
sehingga akan tergenang air ketika musim penghujan. Berdasarkan
pengamatan terhadap keberadaan airnya, terdapat tiga tipe telaga di
daerah karst Gunungkidul yaitu telaga permanen, semi permanen dan
telaga temporal. Telaga permanen adalah telaga yang memiliki volume
air cukup besar dan tidak pernah kering meskipun kemarau panjang.
Telaga semi permanen pada musim kemarau panjang airnya kering,
sedangkan telaga temporal adalah telaga yang airnya hanya ditemukan
pada saat musim penghujan saja (Nurul, R.A. 2012: 10).
Ekosistem telaga di kabupaten Gunungkidul pada awalnya adalah
ekosistem yang miskin hara. Hal ini dikarenakan substrat dasar berbatu
kapur sehingga lambat dalam proses pelapukan secara alamiah. Namun
dalam perjalanannya karena intensitas pemakaian oleh manusia yang
begitu besar pengayaan bahan organik menjadi berlangsung lebih cepat
(Rina, Ahadiati. 2012: 10).
Kabupaten Gunungkidul terdiri dari 18 kecamatan dan 144 desa,
yang secara keseluruhan memiliki telaga sebanyak 282. Telaga paling
Tepus, Tanjungsari, Panggang, Purwosari, Paliyan, Saptosari, Rongkop,
Girisubo, Semanu bagian selatan dan Ponjong. Pada saat musim kemarau
panjang hanya sekitar 30% dari total telaga yang masih terisi air. Dari
30% telaga permanen tersebut hampir semua dalam kondisi tercemar baik
biologis maupun tercemar kimiawi. Pencemaran biologis umumnya
terjadi karena pembusukan sampah organik dan hewan ternak saat
dimandikan. Pencemaran kimiawi terjadi akibat penggunaan detergen
saat mencuci pakaian, sabun dan sampah, serta pupuk anorganik yang
terlarut oleh air hujan dari aktivitas pertanian di sekitar telaga
(Langgeng,W.S. 2008: 8).
Salah satu telaga yang ada di Gunungkidul adalah Telaga Bromo.
Telaga Bromo terletak di perbatasan desa Kepek, kecamatan Saptosari
dengan desa Karangasem, kecamatan Paliyan,kabupaten Gunungkidul.
Telaga ini tidak memiliki masukan air selain dari air hujan sehingga
perubahan dapat terjadi karena musim. Ketiadaan aliran permukaan
menyebabkan telaga dan mata air menjadi sumber air yang sangat penting
di kawasan karst. Ketersediaan air telaga khususnya pada musim kemarau
sangatlah penting untuk memenuhi kebutuhan air di kawasan karst
Gunungsewu kabupaten Gunungkidul. Masyarakat setempat
memanfaatkan Telaga Bromo untuk mandi, mencuci pakaian dan
memancing sehingga dapat menimbulkan pencemaran air telaga.
sabun yang digunakan untuk mandi maupun mencuci. Telaga Bromo
tidak mengering saat musim kemarau tetapi jumlah airnya berkurang.
4. Plankton
Plankton adalah organisme baik hewan maupun tumbuhan yang
hidup mengapung, mengambang,atau melayang di dalam air yang
pergerakannya sangat terbatas sehingga selalu terbawa hanyut oleh arus
air (Davis, 1955: 2 dalam Mohammad Faiz, 2012: 6).
Plankton berbeda dengan nekton yang merupakan hewan mampu
berenang secara aktif tidak bergantung pada arus air. Berbeda pula
dengan bentos yang merupakan organisme yang hidupnya melekat,
menancap, merayap, atau meliang di dasar perairan. Individu tumbuhan,
hewan atau bakteri dalam komunitas plankton disebut plankter
(Cole.1994: 58).
Menurut Nybakken (1992: 36) plankton dapat dibedakan
berdasarkan ukuran, penggolongan ini tidak membedakan antara
fitoplankton ataupun zooplankton. Golongan ini terdiri atas:
a. Megaloplankton yaitu plankton yang berukuran >2 mm.
b. Makroplankton yaitu plankton yang berukuran antara 0,2-2,0 mm.
c. Mikroplankton yaitu plankton yang berukuran antara 20-200 μ m.
d. Nanoplankton yaitu plankton yang berukuran antara 2 μ m-20 μ m.
e.Ultra plankton yaiu plankton yang berukuran < 2 μ m
Secara fungsional, plankton dapat dibedakan menjadi dua
Fitoplankton adalah plankton yang memiliki klorofil sehingga dapat
melakukan fotosintesis. Fitoplankton sangat penting kedudukannya dalam
ekosistem perairan karena fungsinya sebagai produsen primer (Sulawesti
dan Yustiawati. 2007: 86). Kelompok fitoplankton yang mendominasi
perairan tawar umumnya terdiri dari diatom,chlorophytadan cyanophyta
(Barus.2004: 26).
Komposisi dan kelimpahan fitoplankton akan berubah pada
berbagai tingkatan sebagai respons terhadap berbagai
perubahan-perubahan kondisi lingkungan baik fisik, kimia maupun biologi. Faktor
penunjang pertumbuhan fitoplankton sangat kompleks dan saling
berinteraksi antara parameter fisik-kimia seperti intensitas cahaya,
oksigen terlarut, stratifikasi suhu dan ketersediaan unsur hara nitrat
maupun fosfat sedangkan aspek biologi adalah adanya aktivitas
pemangsaan oleh hewan, mortalitas alami dan dekomposisi (Goldman &
Horne,1983: 216 dalam Mohammad Faiz, 2012: 7).
Plankton dari jenis fitoplankton hanya dapat hidup dengan baik di
tempat-tempat yang mempunyai sinar matahari yang cukup. Akibatnya
penyebaran fitoplankton besar pada lapisan permukaan laut saja. Keadaan
yang demikian memungkinkan untuk terjadinya proses fotosintesis. Suhu
yang dapat ditolerir oleh organisme pada suatu perairan berkisar antara
20-30ºC. Suhu yang sesuai dengan fitoplankton berkisar antara 25-30ºC
sedangkan suhu untuk pertumbuhan dari zooplankton berkisar antara
organisme fotosintetik (fitoplankton) dan juga penetrasi cahaya
mempengaruhi migrasi vertikal harian (Hutabarat, Sahala dan Stewart,
M.E. 1985: 107).
Menurut Gembong Tjirosoepomo (2005:23-91),beberapa kelas
fitoplankton yang terdapat di perairan air tawar antara lain :
a. KelasChlorophyceae(ganggang hijau )
Sel-sel ganggang hijau mempunyai kloroplas yang
berwarna hijau, mengandung klorofil a dan b serta karatenoid.
Pada kloroplas terdapat pirenoid, hasil asimilasi berupa tepung
dan lemak. Chlorophyceae terdiri atas sel-sel kecil yang
merupakan koloni berbentuk benang yang bercabang - cabang
atau tidak, ada pula yang membentuk koloni yang menyerupai
kormus tumbuhan tingkat tinggi. Kelas Chlorophyceae memiliki
beberapa bangsa, yaitu Chlorococcales, Ulotrichales,
Cladophorales, ChaerophoralesdanSiphonales.
b. KelasCyanophyceae(ganggang biru)
Ganggang biru adalah ganggang bersel tunggal. Warna
biru- kehijauan, bersifat autrotof. Inti dan kromotofora tidak
ditemukan. Dinding sel mengandung pektin, hemiselulosa dan
selulosa, yang kadang – kadang berupa lendir, oleh sebab itu
ganggang ini juga dinamakan ganggang lendir (Myxophyceae).
karotenoid dan dua macam kromoprotein yang larut dalam air
yaitu: fikosianin yang berwarna biru dan fikoeritin yang berwarna
merah. Perbandingan macam- macam zat warna itu amat labil,
oleh sebab itu warna ganggang tidak tetap, kadang-kadang
tampak kemerahan, kadang-kadang kebiruan. Gejala ini dianggap
suatu penyusuain diri terhadap sinar (adaptasi kromatik).
Cyanophyceae umumnya tidak bergerak. Di antara jenis- jenis
yang berbentuk benang dapat mengadakan gerakan merayap yang
meluncur pada alas basah. Bulu cambuk tidak ada, gerakan itu
mungkin sekali karena adanya kontraksi tubuh dan dibantu
dengan pembentukan lendir. Cyanophyceae dibedakan dalam 3
bangsa yaitu Chroococcales, Chamaesiphonales, dan
Hormogonales.
c. Kelas Diatomeae(Bacillariophyceae)
DiatomeaeatauBacillarophyceaememiliki dinding sel yang
susunannya khusus yaitu terdiri atas pektin dengan suatu panser
yang terdiri atas kersik di sebelah luarnya. Panser kersik itu tidak
menutup seluruh sel (sebab dengan demikian pembelahan sel
akan terganggu), melainkan terdiri atas dua bagian yang
merupakan wadah dan tutupnya. Permukaan kedua bagian panser
itu mempunyai susunan yang rumit, yang mempunyai liang-liang
yang halus sebagai jalan untuk keluarnya lendir. Sel Diatomeae
mengandung klorofil-a, karotin, santofil dan karatenoid lainnya
yang sangat menyerupai fikosantin. Dalam sel-sel Diatomeae
terdapat pirenoid, tetapi tidak dikelilingi oleh tepung. Hasil- hasil
asimilasi ditimbun di luar kromatofora, berupa tetes - tetes
minyak dalam plasma (sering dalam vakuola), dan disamping
minyak kadang- kadang juga leukosin. Diatomeae hidup dalam
air tawar maupun dalam air laut, tetapi juga di atas tanah-tanah
yang basah, terpisah- pisah atau membentuk koloni yang hidup di
atas tanah tahan kala yang buruk (kekeringan) sampai beberapa
bulan. Diatomae dibagi dalam dua bangsa, yaitu Centrales dan
Pennales.
d. KelasConjugatae
Conjugate adalah ganggang yang berwarna hijau
mengandung klorofil-a dan b, mempunyai satu inti dan dinding
sel dari selulosa. Berlainan dengan Chlorophyceae, ganggang ini
tidak membentuk zoosporemaupun gamet yang mempunyai bulu
cambuk, oleh karena itu juga dinamakan Acontae. Pada
pembiakan generatif, dua gamet yang sama tidak mempunyai
bulu cambuk bersatu menjadi suatu zigot. Setelah mengalami
waktu istirahat, zigot mengadakan pembelahan reduksi, kemudian
berkecambah. Jadi Conjugate adalah organisme haploid.
Conjugate dibedakan menjadi 2 bangsa yaitu Desmidales dan
e. KelasFlagellatae
Flagellatae adalah kelompok ganggang yang merupakan
penyusun plankton, bersel tunggal, dapat bergerak dengan
pertolongan satu atau beberapa bulu cambuk yang keluar dari satu
tempat pada sel tadi.Terdapat juga golongan flagellatae misalnya
Rhizochloris yang selamanya bersifat ameboid. Pada kelas
Flagellatae memiliki 7 bangsa, yaitu Chrysomodales,
Hetrechloridales, Crytomonadales, Dinoflagellatae, Euglanales,
Protochloridales,danVolvocales.
f. KelasPhaeophyceae(ganggang pirang )
Phaeophyceae adalah ganggang yang berwarna pirang.
Dalam kromatoforanya terkandung klorofil –a, karotin, dan
santofil, tetapi fikosantin yang menutupi warna lainnya dan
menyebabkan ganggang itu kelihatan berwarna pirang.
Kebanyakan Phaeophyceaehidup dalam air laut, hanya beberapa
jenis saja yang hidup dalam air tawar. Kelas
Phaeophyceaememiliki beberapa bangsa, yaitu Phaeosporales,
Laminariales, Dictyyotales, danFucales.
g. KelasRhodophyceae(ganggang merah )
Rhodophyceae berwarna merah sampai ungu,
kadang-kadang juga lembayung atau pirang kemerah-merahan.
Kromatofora berbentuk cakram atau suatu lembaran, mengandung
merah yang mengadakan floresensi, yaitu fikoeritrin. Pada
jenis-jenis tertentu terdapat fikosianin. Kebanyakan Rhodophyceae
hidup dalam air laut, terutamadalam lapisan- lapisan air yang
dalam. Hidupnya sebagai bentos melekat pada suatu substrat
dengan benang-benang pelekat atau cakram pelekat.
Rhodophyceae dibagi dalam dua anak kelas, yaitu Bangieae dan
Florodeae.
Zooplankton adalah organisme plankton yang bersifat heterotrofik
yang bergantung pada materi organik baik berupa fitoplankton maupun
detritus. Umumnya zooplankton berukuran 0,2-2 mm (Nontji. 2006:5).
Sebagai herbivora di ekosistem perairan, peranan zooplankton sangat
penting karena dapat mengontrol kelimpahan fitoplankton. Hal tersbut
menyatakan bahwa zooplankton berperan sebagai penghubung antara
organisme produsen primer dengan organisme karnivora. Namun dari
sudut ekologi, hanya satu golongan zooplankton yang sangat penting
artinya yaitu subkelas kopepoda. Kopepoda adalah crustacea
holoplanktonik berukuran kecil yang mendominasi zooplankton,
merupakan herbivora primer (Nybakken. 1988: 41). Umumnya
zooplankton banyak ditemukan di perairan yang mempunyai kecepatan
arus rendah serta kekeruhan air yang rendah (Barus. 2004: 45).
Menurut Hutabarat, S. dan Stewart, M.S.(1986) dalam Rina,
antara lain : filum Protozoa, Cnidaria, Ctenophora, Annelida, Crustacea
dan Mollusca.
a. Protozoa
Protozoa dibagi dalam 4 kelas yaitu : Rhizopoda, Ciliata,
Flagellata dan Sporozoa. Kelas Sporozoa tidak ada yang hidup
sebagai plankton. Flagellata, dalam hal ini “Zooflagellata” yang
hidup sebagai plankton (freeliving) sebetulnya semuanya
merupakan tipe holozoik dari alga yang berflagel seperti
Pyrrophyta.
Beberapa flagellata diklasifikasikan sebagai
Fitoflagellata, akan tetapi karena memiliki sedikit pigmen
fotosintesis dan makan dengan cara memangsa maka dimasukkan
ke dalam golongan zooplankton. Cilliata sebagian besar hidup
bebas di air tawar dan hanya beberapa golongan yang hidup di
laut (golongan Tintinnidae). Cilliata ni merupakan zooplankton
sejati di air tawar, tetapi banyak hidup diantaraPeriphytonatau di
dasar sebagai bentos, dimana terdapat banyak detritus yang
membusuk. Rhizopoda merupakan zooplankton yang penting di
air laut maupun air tawar, zooplankton ini merupakan makanan
bagi ikan dan hewan Avertebrata. Contoh marga dari filum
Protozoa antara lain : Paramecium, Vorticella, Dileptus,
b. Cnidaria
Cnidaria terdiri dari kelas Hydrozoa, Scypozoa, dan
Anthozoa. Hanya pada kelas Hydrozoa, dimana Hydra juga
termasuk dan terdiri dari spesies-spesies berupa ubur-ubur kecil
yang hidup sebagai plankton. Cnidaria memiliki 2 lapisan sel, yaitu
external dan lapisan internal yang dipisahkan oleh lapisan gelatin
non selular yang disebut mesoglea. Karakteristik penting Cnidaria
adalah adanya sel penyengat (nematocysts) yang menyuntikkan
venum yang dapat melumpuhkan mangsanya. Ubur-ubur dari kelas
Scypozoa merupakan organisme plankton terbesar dan terdapat
dalam jumlah besar. Contoh marga dari filum Cnidaria antara lain :
Obelia, Liriope, Bougaivillia, Diphyes.
c. Ctenophora
Filum Ctenophora yang secara taksonomi masih dekat
dengan Cnidaria sebagian besar bersifat planktonik. Semua
Ctenophora adalah karnivora rakus, yang menangkap mangsanya
dengan tentakel- tentakel yang lengket atau dengan mulutnya yang
sangat lebar. Untuk bergerak dalam air menggunakan
deretan-deretan silia yang besar yang disebut stenes. Perbedaan Ctenophora
dengan Cnidaria adalah tidak adanya sel penyengat (nematocysts)
pada Ctenophora tetapi memiliki sel pelengket yang disebut
coloblast dimana sel ini dapat melekatkan mangsanya. Ctenophora
pisahkan, karena tidak mempunyai nematokis dan hanya
mempunyai struktur-struktur seperti sisir (cteno).Spesiesini sangat
transparan dan tidak berwarna. Contoh marga dari filum
Ctenophora antara lain :Pleurobrachia, Velamen, Beroe.
d. Annelida
Annelida ini cukup banyak terdapat sebagai meroplankton
di laut. Di perairan air tawar, jenis Annelida ini hanya terdapat
lintah (ordo Hirudinae) dan dapat menjadi parasit pada ikan-ikan
yang dipelihara di kolam. Banyak meroplankton dari Annelida ini
terdapat dipantai-pantai yang subur, seperti halnya meroplankton
dari Crustacea. Larva- larva Annelida bernama trochophore larva,
jika baru keluar dari telur, berbentuk bulat atau oval, bersilia dan
mempunyaitractus digesvitus agar di lautan bebas dapat memakan
nanoplanktondan detritus yang halus.
e. Arthropoda
Bagian terbesar zooplankton adalah anggota filum
arthropoda. Dari filum Arthropoda hanya Crustacea yang hidup
sebagai plankton dan merupakan zooplankton terpenting bagi ikan
di perairan air tawar maupun air laut. Crustacea berarti
hewan-hewan yang mempunyai sel yang terdiri dari kitin atau kapur yang
sukar dicerna. Crustacea dapat dibagi menjadi 2 golongan:
Entomostracea atau udang-udangan tingkat rendah dan
dari larva Malacostracea merupakan meroplankton dan sebagian
besar mati sebagai plankton karena di makan oleh spesies hewan
yang lebih besar atau mati karena kekurangan makanan.
Entomostracea terdiri dari ordo-ordo Branchiopoda, Ostracoda,
Copepoda dan Cirripedia. Entomostracea yang merupakan
zooplankton ialah Cladocera, Ostracoda dan Copepoda,
sedangkan dari Malacostracea hanya Mycidacea dan
Euphausiacea yang merupakan zooplankton kasar atau
makrozooplankton. Salah satu subkelas Crustacea yang penting
bagi perairan adalah Copepoda. Copepoda adalah crustacea
holoplanktonik berukuran kecil yang mendominasi zooplankton di
semua laut dan samudera. Pada umumnya Copepoda yang hidup
bebas berukuran kecil, panjangnya antara satu dan beberapa
milimeter. Copepoda merupakan zooplankton yang mendominasi
ekosistem perairan, dengan populasi dapat mencapai 70 – 90%.
Contoh marga dari Arthropoda antara lain Paracalanus,
Pseudocalanus, Acartia, Euchaeta, Calanus, Oithona,
Microsetella.
f. Moluska
Moluska terdiri dari kelas Gastropoda, Pelecypoda
(Bivalvia) dan Cephalopoda. Terdapat bermacam moluska yang
telah mengalami adaptasi khusus agar dapat hidup sebagai
modifikasi tertinggi ialah Ptepropoda dan Heteropoda. Kedua
kelompok ini secara taksonomi dekat dengan siput dan termasuk
kelas Gastropoda. Ada dua tipe Pteropoda, yang bercangkang (ordo
Thecosomata) dan yang telanjang (ordo Gymnosomata). Pteropoda
bercangkang adalah pemakan tumbuhan (herbivora), cangkangnya
rapuh dan berenang menggunakan kakinya yang berbentuk sayap.
Pteropoda telanjang dapat berenang lebih cepat daripada yang
bercangkang. Heteropoda adalah karnivora berukuran besar dengan
tubuh seperti agar-agar yang tembus cahaya. Contoh marga dari
filum Moluska antara lain : Creseis, Limacina, Cavolina, Diacria,
Squid.
5. Hubungan Curah Hujan dengan Plankton
Faktor yang berpengaruh terhadap kelimpahan plankton di perairan
adalah musim. Densitas yang rendah pada musim penghujan disebabkan
pada musim penghujan proses dekomposisi bahan organik berjalan
lambat karena massa tinggal air di perairan lebih cepat sehingga
unsur-unsur hara tidak dapat dimanfaatkan secara optimum oleh plankton untuk
tumbuh. Kondisi ini disebabkan musim penghujan dengan kadar curah
hujan yang tinggi memiliki penetrasi cahaya, salinitas, suhu yang rendah
serta kekeruhan yang tinggi dibandingkan musim kemarau (Moyle dalam
Krismono&Yayuk, 2007: 108).
Kelimpahan plankton di musim hujan maupun di musim kemarau
perubahan akibat perbedaan musim. Musim berkaitan erat dengan curah
hujan yang turun sepanjang tahun. Menurut BMKG (dalam Aang, dkk,
2008:3), musim penghujan dimulai jika intensitas curah hujan lebih dari
150 mm per bulan. Musim kemarau didefinisikan sebagai periode dimana
jumlah curah hujan bulanan kurang dari 50 mm. BMKG membagi
intensitas musim hujan menjadi 4 kategori yaitu dikatakan hujan ringan
dengan rentang 1-5 mm/jam, hujan sedang dengan rentang 5-10 mm/jam,
hujan lebat dengan rentang 10-20 mm/jam dan hujan sangat lebat
apabila>20 mm/jam.
6. Struktur Komunitas Plankton
Suatu komunitas pada dasarnya mempunyai bentuk organisasi dan
komponen penyusun komunitas dan jaring-jaring kehidupan yang
menyusun struktur komunitas. Struktur komunitas merupakan susunan
individu dari beberapa jenis atau spesies yang terorganisir membentuk
komunitas (Krebs, 1985: 462 dalam Mohammad Faiz, 2012: 11).
Secara umum, struktur komunitas dapat dibedakan menjadi
struktur fisik dan struktur biologik. Struktur fisik adalah sifat fisik suatu
komunitas yang dapat diamati seperti habitat, daratan atau perairan,
ketingian lahan atau topografi. Struktur biologik merupakan komposisi
jenis dalam komunitas yang menempati suatu habitat tertentu (Rasidi,
dkk. 2008:7).
Menurut Nurul, R.A. (2012: 24-27), struktur komunitas plankton
indeks dominansi, indeks diversitas.Struktur komunitas merupakan
spesies–spesiesyang berada di dalam komunitas, terikat dalam interaksi
biotik dan berfungsi sebagai unit terpadu, meliputi:
a. Indeks Kemerataan Jenis
Indeks kemerataan jenis akan menunjukkan ada tidak tekanan
ekologi terhadap suatu ekosistem. Apabila indeks kemerataan jenis
berada pada kisaran 0 - 0,5 berarti bahwaspesies-spesiespenyusun
komunitas tidak banyak ragamnya, ada dominasi spesies tertentu
dan menunjukkan adanya tekanan ekologi terhadap ekosistem
yang bersangkutan. Apabila indeks kemerataan jenis berada pada
kisaran 0,6- 1 maka jumlah individu atau sel yang dimiliki antar
spesies tidak jauh berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi
ekosistem serasi untuk semua spesies dan ini berarti tidak terjadi
tekanan ekologis pada ekosistem yang bersangkutan.
b. Densitas (kerapatan)
Densitas atau kerapatan merupakan ukuran besarnya
populasi dalam satuan ruang atau volume. Pada umumnya ukuran
besarnya populasi digambarkan dengan cacah individu atau
biomassa populasi per satuan ruang atau volume. Kerapatan
alamiah suatu populasi secara teoritik ditentukan oleh:
1) Ketersedian sumber daya seperti makanan dan ruangan tempat
2) Aksesibilitas sumber daya dan kemampuan individu populasi
untuk mencari serta memperoleh sumber daya.
3) Waktu atau kesempatan untuk memanfaatkan laju yang tinggi,
misalnya pada keadaan iklim yang menguntungkan untuk
pertumbuhan.
c. Indeks Dominansi
Dominansi merupakan banyaknya organisme di dalam
lingkungan terhadap total individu di daerah tersebut. Nilai
dominansi menggambarkan komposisi jenis dalam komunitas,
spesies yang dominan dalam suatu komunitas memperlihatkan
kekuatan spesies itu dibandingkan spesies lain. Indeks dominansi
berkisar antara 0 –1. Apabila D = 0, berarti tidak ada spesies yang
mendominansi spesies lainnya atau strukur komunitas dalam
keadaan stabil; dan apabila D= 1, berarti terdapat spesies yang
mendominansispesieslainnya atau struktur komunitas labil, karena
terjadi tekanan ekologis.
d. Indeks Keanekaragaman
Keanekaragaman dalam komunitas ditandai oleh
banyaknyaspesiesorganisme yang membentuk komunitas tersebut.
Semakin banyak jumlah spesies, semakin tinggi keanekaragaman.
Apabila suatu komunitas didominasi oleh satu atau beberapa
spesies maka keanekaragaman plankton akan berkurang. Nilai
jumlah individu yang menyusun suatu komunitas. Tingginya
keanekaragaman menjaga keseimbangan terhadap kejadian yang
merusak ekosistem.
7. Faktor Fisik yang Mempengaruhi Kehidupan Plankton
a. Suhu
Kedalaman telaga yang cukup tinggi mengakibatkan
terbentuknya zonase berdasarkan kedalaman. Suhu air akan
menurun dengan meningkatnya kedalaman, sampai batas zone
fotik dan setelah itu suhu relatif stabil. Pada zone mesofotik terjadi
penurunan suhu yang sangat drastis, wilayah ini dikenal sebagai
termoklin.Suhu pada ekosistem perairan berfluktuasi baik harian
maupun tahunan, terutama mengikuti pola temperatur udara
lingkungan sekitarnya, intensitas cahaya matahari, letak geografis,
penaungan dan kondisi internal perairan itu sendiri seperti
kekeruhan, kedalaman, kecepatan arus dan timbunan bahan
organik di dasar perairan. Suhu memiliki peranan yang sangat
penting terhadap kehidupan di dalam air. Kelarutan berbagai jenis
gas dalam air serta semua aktivitas biologis di dalam perairan
sangat dipengaruhi oleh suhu. Sebagaimana diketahui bahwa
meningkatnya suhu sebesar 10oC akan meningkatkan laju
metabolisme sebesar 2-3 kali lipat. Meningkatnya laju metabolisme
akan menyebabkan kebutuhan oksigen meningkat, sementara di
oksigen dalam air menurun. Fenomena ini akan menyebabkan
organisme air mengalami kesulitan untuk respirasi (Satino. 2010 :
10)
b. Kekeruhan air (turbiditas)
Kekeruhan disebabkan oleh adanya materi organik dan
anorganik yang tersuspensi dan terlarut serta organisme
mikroskopik. Korelasi antara kekeruhan dengan besarnya
konsentrasi materi terlarut sulit diketahui karena ukuran, bentuk
dan indeks refraktif dari partikel terlarut mempengaruhi
penyebaran cahaya yang masuk (Greenberg, dkk. 1992: 26).
Kekeruhan mempengaruhi penetrasi cahaya matahari di dalam
suatu perairan. Penetrasi cahaya matahari akan berkurang bahkan
tidak dapat menembus dasar perairan jika konsentrasi bahan
tersuspensi atau zat terlarut tinggi (Floder, dkk. 2002: 395-396).
c. Kedalaman
Kedalaman perairan berperan penting terhadap kehidupan
biota pada ekosistem tersebut. Semakin dalam perairan maka
terdapat zone yang masing-masing memiliki kekhasan tertentu,
seperti suhu, kelarutan gas-gas dalam air, kecepatan arus, penetrasi
cahaya matahari dan tekanan hidrostatik. Perubahan faktor - faktor
fisik dan kimiawi perairan akibat perubahan kedalaman akan
menyebabkan respon yang berbeda biota di dalamnya. (Satino.
d. Intensitas Cahaya
Faktor cahaya matahari yang masuk ke dalam air akan
mempengaruhi sifat-sifat optis dari air. Sebagian cahaya matahari
tersebut akan diabsorbsi dan sebagian lagi akan dipantulkan ke luar
permukaan air dengan terbentuknya kedalaman lapisan air
intensitas cahaya tersebut akan mengalami perubahan signifikan
baik secara kualitatif maupun kuantitatif (Barus. 2004: 43).
Di perairan yang dalam,penetrasi cahaya matahari tidak
sampai ke dasar karena itu suhu di dasar perairan yang dalam lebih
rendah dibandingkan dengan suhu di dasar perairan dangkal.
Jumlah radiasi yang mencapai permukaan air sangat dipengaruhi
oleh awan, ketinggian dari permukaan laut (altitude), letak
geografis dan musim. Penetrasi cahaya ke dalam air sangat
dipengaruhi oleh intensitas dan sudut datang cahaya, kondisi
permukaan air serta bahan-bahan yang terlarut dan tersuspensi di
dalam air (Sofyan, Adhi. 2009: 27).
8. Faktor Kimia yang Mempengaruhi Kehidupan Plankton
a. pH
Setiap spesies memiliki kisaran toleransi yang berbeda
terhadap pH. Nilai pH yang ideal bagi organisme akuatik termasuk
plankton umumnya berkisar antara 7-8,5. Kondisi perairan yang
sangat asam maupun sangat basa akan membahayakan
terjadinya gangguan metabolisme dan respirasi. Di samping itu, pH
yang sangat rendah akan menyebabkan mobilitas berbagai senyawa
logam berat yang bersifat toksik semakin tinggi yang tentunya
akan mengancam kelangsungan hidup organisme akuatik.
Sementara pH yang tinggi akan menyebabkan keseimbangan
antara amonium dan amoniak dalam air akan terganggu, dimana
kenaikan pH diatas normal akan meningkatkan konsentrasi
amoniak yang juga bersifat sangat toksik bagi organisme (Barus.
2004: 62).
b. Oksigen Terlarut atauDissolved Oxygen(DO)
Oksigen Terlarut atau dissolved oxygen (DO) merupakan
oksigen yang terlarut di dalam suatu perairan. Oksigen hilang
dalam perairan secara alami oleh respirasi organisme akuatik,
penguraian bahan organik, aliran masuk bawah tanah yang miskin
oksigen dan aliran suhu. Tanpa oksigen, penguraian bahan organik
akan berlangsung secara anaerob dan akan meninggalkan karbon
dioksida, metana, hidrogen sulfida dan senyawa organik sulfur
yang bau. Oksigen terlarut dalam ekosistem perairan utamanya
berasal dari proses fotosintesis tumbuhan air dan fitoplankton.
Kecepatan difusi oksigen di dalam suatu perairan tidak terlepas
dari faktor-faktor lainnya seperti suhu, kekeruhan dan pergerakan
mendukung kelangsungan hidup organisme akuatik sebesar 5 mg/l
(Michael. 1995: 168-169).
c. BOD (Biological Oxygen Demand)
BOD (Biological Oxygen Demand) adalah kebutuhan
oksigen organisme akuatik. Konsentrasi BOD menunjukkan suatu
kualitas perairan yang masih tergolong baik apabila konsumsi O2
selama periode 5 hari berkisar 5 mg/l, perairan yang tergolong baik
apabila konsumsi O2 berkisar antara 10 mg/l – 20 mg/l. Terjadi
tingkat pencemaran oleh materi organik yang tinggi umumnya nilai
BOD lebih dari 100 mg/l (Broweret al. 1990: 52).
d. COD (Chemical Oxygen Demand)
Nilai COD menunjukkan jumlah oksigen total yang
dibutuhkan dalam proses oksidasi kimia yang dinyatakan dalam
mg O2/L. Dengan mengukur nilai COD maka akan diperoleh nilai
yang menyatakan jumlah oksigen yang dibutuhkan dalam proses
oksidasi terhadap total senyawa organik baik yang mudah
diuraikan secara biologis maupun terhadap yang sukar diuraikan
secara biologis (Barus. 2004: 67).
e. Nitrat dan Fosfat
Banyaknya unsur hara menyebabkan tumbuh suburnya
tumbuhan, terutama makrophyta dan fitoplankton. Fitoplankton
dapat menghasilkan energi dan molekul yang kompleks jika
dan fosfat. Nitrogen hadir dalam bentuk kombinasi dari amonia,
nitrat, nitrit, urea, dan senyawa organik terlarut dalam jumlah yang
sedikit. Nitrat adalah sumber nitrogen dalam air laut maupun air
tawar. Bentuk kombinasi lain dari elemen ini bisa tersedia dalam
bentuk amonia, nitrit dan komponen organik. Fosfat merupakan
unsur penting dalam air. Fosfat terutama berasal dari sedimen yang
selanjutnya akan terfiltrasi dalam air tanah dan akhirnya masuk ke
dalam sistem perairan terbuka. Selain itu juga dapat berasal dari
atmosfer bersama dengan air hujan masuk ke sistem perairan
(Barus. 2004: 70).
Pertumbuhan fitoplankton akan berlangsung optimal
apabila rasio unsur N:P sebesar 16:1. Ketika rasio N:P < 16:1,
maka unsur N merupakan unsur yang membatasi pertumbuhan
fitoplankton sedangkan ketika rasio N:P > 16:1 maka unsur P
membatasi pertumbuhan fitoplankton (Sakka,dkk. 1999:149).
f. Sulfat
Ion sulfat bersifat larut dan merupakan bentuk oksidasi
utama sulfur adalah salah satu anion utama di perairan. Pada
umumnya bentuk sulfur di air permukaan adalah sulfat (SO42-).
Pada perairan alami yang mendapat cukup aerasi biasanya tidak
ditemukan adanya H2S karena telah teroksidasi menjadi sulfat.
Kadar sulfat pada perairan tawar alami berkisar antara 2-80
Umumnya sumber air mengandung sulfat sebesar 0,1-4,8
ppm dan kebanyakan berada di air payau. Sulfat adalah nutrisi
untuk diatom. Sulfat penting dalam pembuatan protein. Pada
daerah yang kurang oksigen, sulfat dijumpai dalam bentuk H2S
(racun) dan ada diatom yang mampu bertahan dalam H2S tinggi
sekitar 3,5 ppm yaitu Hantzschia, Amphcuoxys dan Nitzschia
(Tyas, Permata, dkk. 2009: 15).
g. Kalsium
Kalsium merupakan nutrisi di dalam air yang membuat
jumlah karbonat dan bikarbonat menjadi seimbang. Semakin
banyak jumlah kalsium yang terdapat di dalam air, maka jumlah
jenis plankton akan semakin banyak. Kalsium merupakan bahan
untuk pembentuk dinding sel atau cangkang. Kalsium di dalam air
akan menghasilkan bikarbonat yang menambah karbondioksida
untuk proses fotosintesis. Jumlah kalsium dalam air menunjukkan
bagus atau tidaknya sumber air tersebut. Jika kalsium <10 ppm
tergolong kurang baik, 10-25 ppm tergolong baik dan bila > 25
ppm tergolong sangat baik. Jenis plankton yang dijumpai dalam air
yang banyak mengandung kalsium adalah Microcystissp.,
Chreoeoccus sp., Anabaena sp., Pediastrum sp., Staurastrum sp.,
Coscinodiscus sp. dan Melosira sp. Ada juga beberapa jenis
yaituDinobryonsp., Ankistradesmussp. danClosteriumsp. (Tyas,
Permata, dkk. 2009: 15).
B. KERANGKA BERFIKIR TEORITIS
Pada saat ini perairan Telaga Bromo digunakan oleh masyarakat
untuk mandi, mencuci dan memancing. Kondisi perairan yang tidak stabil
akan mengakibatkan terganggunya organisme di dalam perairan tersebut,
salah satunya adalah plankton. Keberadaan organisme tersebut di dalam
badan air sangat ditentukan oleh kondisi fisik dan kimia perairan
karena memiliki batasan toleransi tertentu untuk setiap individu. Plankton
dapat digunakan sebagai indikator kualitas perairan telaga dengan melihat
struktur komunitas meliputi indeks kemerataan jenis, densitas, indeks
dominansi dan indeks keanekaragaman. Untuk lebih lengkap, alur
Gambar 1. Skema Alur Kerangka Berfikir Ekosistem Perairan Tawar
Mengalir
(Lotik)
Menggenang
(Lentik)
Sungai Parit Telaga Waduk Danau
Curah Hujan
Komponen Ekosistem
Biotik Abiotik
Bentos Plankton Neuston Fisik Kimia
Fitoplankton Zooplankton
Struktur Komunitas 1. Densitas
2. Indeks Keanekaragaman
3. Indeks Kemerataan Jenis
4. Indeks Dominansi
1. Intensitas Cahaya
2. Kekeruhan
3. Kedalaman
4. Suhu
1. pH
2. DO
3. COD
4. BOD
5. Nitrat
6. Fosfat
7. Sulfat
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Lokasi Penelitian
Telaga Bromo terletak di perbatasan antara desa Kepek kecamatan
Saptosari dan desa Karangasem kecamatan Paliyan, kabupaten Gunungkidul.
B. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2016 sampai dengan
Maret 2016. Identifikasi jenis plankton dilakukan di Laboratorium Riset
FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta. Penelitian untuk parameter kimiawi
dilakukan di Balai Laboratorium Kesehatan (BLK).
C. Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan desain penelitian deskripsi eksplorasi
dengan metode purposive sampling berdasarkan aktivitas manusia dan
penutupan vegetasi. Ditetapkan 4 stasiun pengamatan dengan masing-masing
stasiun dilakukan 5 kali pengambilan sampel.
D. Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh plankton yang hidup di
Telaga Bromo kecamatan Paliyan, kabupaten Gunungkidul. Sampel dalam
penelitian ini adalah plankton yang tersaring dalam plankton net pada saat
E. Variabel Penelitian
Variabel dalam penelitian ini adalah lokasi pengambilan sampel,
komposisi jenis, struktur komunitas plankton dan faktor fisik-kimia perairan.
F. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan meliputi: turbidimeter, pH meter, termometer,
plankton net, lux meter, botol flacon, mikroskop binokuler,object glass,cover
glass, meteran, kertas label, kamera, alat tulis, kulkas, tali, pemberat, termos
es, perahu, pipet tetes, tisu dan penggaris.
Bahan yang digunakan meliputi: es batu, gliserin dan akuades. Gliserin
digunakan untuk mengawetkan plankton dan mencegah terjadinya pengerutan
pada plankton.
G. Prosedur Penelitian
1. Kegiatan Lapangan
a. Penentuan titik pengambilan sampel
Penentuan stasiun menggunakan metode purposive sampling
berdasarkan aktivitas manusia dan penutupan vegetasi sehingga titik
pengambilan sampel sebagai berikut:
1) Stasiun I
Stasiun I merupakan bagian yang digunakan warga untuk mencuci
dan mandi di Telaga Bromo.
2) Stasiun II
3) Stasiun III
Stasiun III merupakan bagian yang terdapat naungan vegetasi.
4) Stasiun IV
Stasiun IV merupakan bagian yang tidak terdapat naungan
vegetasi.
Gambar 2. Pembagian Stasiun di Telaga Bromo Sumber:Google Earth
b. Pengambilan sampel
Menurut Romimohtarto dan Juwana (1998), berikut ini
langkah-langkah pengambilan sampel menggunakan plankton net:
1. Menurunkan plankton net sampai ke bagian dasar di stasiun yang
telah ditentukan.
2. Menarik kembali plankton net dari dasar ke permukaan perairan. ST. 2
ST.1 ST.3
4. Memasukkan air saringan dari botol penampung plankton net ke
dalam botol film/botol flacon.
5. Memberi gliserin sebanyak 10 tetes ke dalam botol flacon tersebut.
6. Menyimpan air sampel tersebut dalam termos yang telah diisi es
batu.
7. Mengulang langkah 1-6 sebanyak 5 kali.
8. Mengulangi cara di atas pada pengambilan air di stasiun yang
berbeda.
c. Pengukuran kondisi fisik perairan meliputi:
1) Intensitas Cahaya
Pengukuran intensitas cahaya dilakukan dengan
mengaktifkan lux meter kemudian mengatur skala yang diinginkan
terdiri dari skala A (... lux), B (… x 10 lux) dan C (… x 100 lux).
Mengarahkan lux meter kearah cahaya matahari. Mencatat angka
yang tertera dalam lux meter.
2) Kekeruhan
Pengukuran kekeruhan dilakukan dengan mencuci ujung
turbidimeter menggunakan akuades. Kemudian ujung turbidimeter
dimasukkan dalam air telaga hingga angka di skala turbiditasnya
konstan.
3) Kedalaman
Kedalaman air diukur dengan menggunakan tali yang
Pengukuran dilakukan dengan cara menurunkan tali ke dalam tiap
titik pengamatan sampai batu mencapai bagian dasar telaga
kemudian dicatat kedalamannya.
4) Suhu
Pengukuran suhu dilakukan dengan mencuci ujung
termometer menggunakan akuades. Kemudian ujung termometer
dimasukkan dalam air telaga hingga angka di skala suhu konstan.
d. Pengukuran kondisi kimiawi perairan Telaga Bromo
1) pH
Pengukuran pH dilakukan dengan mencuci ujung pH meter
menggunakan akuades. Kemudian ujung pH meter dimasukkan
dalam air telaga hingga angka di skala pH konstan..
2) Pengukuran nilai DO, BOD, COD, Nitrat, Fosfat, Sulfat dan
Kalsium
Sampel air diambil dan dimasukkan ke dalam botol steril
kemudian dibawa ke BLK untuk diukur nilainya.
2. Kegiatan Laboratorium
a. Menyiapkan peralatan berupa mikroskop binokuler, object glass,cover
glass, pipet tetes dan tisu.
b. Menggojok sampel perlahan dalam botol flacon agar homogen.
c. Mengambil sampel sebanyak 1 ml dengan pipet tetes yang telah ditera
d. Melakukan pengamatan secara merata pada daerah gelas obyek dengan
20 lapang pandang secara berurutan dari sisi kanan atas dilanjutkan ke
bawah kemudian kekiri atas dan seterusnya.
e. Menghitung plankton yang diperoleh dan didokumentasikan.
f. Mengidentifikasi jenis plankton yang didapat dengan menggunakan
buku identifikasi Freshwater Biology karya Edmondson (1966),
Illustration of The Freshwater Plankton of Japan yang disusun oleh
Toshihiko Mizuno (1964).
H. Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini dilakukan dengan mengambil sampel air di Telaga
Bromo sebanyak 5 kali pada setiap stasiun dari bulan Januari hingga Maret
2016 dengan selang waktu 2 minggu agar diketahui pengaruh musim hujan
terhadap plankton.
I. Analisis Data
Dari data yang diperoleh selanjutnya dilakukan analisis untuk
mengukur densitas, indeks keanekaragaman, indeks kemerataan jenis dan
indeks dominansi dengan persamaan sebagai berikut:
1) Densitas
Densitas fitoplankton dan zooplankton dihitung
berdasarkan metode sapuan di atas gelas obyek:
A = volume air sampel B = volume air tersaring
C = volume air yang diteteskan ke preparat AB = luas cover glass (mm2)
E = luas satu lapang pandang
N = rata-rataindividu dari ‘D’ lapang pandang
D = jumlah lapang pandang
2) Indeks Keanekaragaman
Analisis yang digunakan untuk menghitung indeks
keanekaragaman plankton adalah dengan menggunakan persamaan
Shanon-Wiener seperti berikut (Magurran. 1988:35):
Keterangan:
H’: Indeks keanekaragaman jenis
Pi : ni/N
ni : jumlah individuspesiesi N : jumlah total plankton
Kisaran nilai indeks keanekaragaman (H’) diklasifikasikan
sebagai berikut (Magurran. 1988:35):
0 < H’ < 1,5 = keanekaragaman rendah
1,5< H’< 3,5 = keanekaragaman sedang
H’ > 3,5 = keanekaragaman tinggi
Menurut Wilhm & Dorris (1968: 780) nilai indeks
keanekaragaman (H’) dikaitkan dengantingkat pencemaran adalah
sebagai berikut:
H’ > 3 = tidak tercemar
1 < H’< 3 = tercemar sedang
Keanekaragaman rendah artinya kondisi perairan labil
karena perairan tersebut hanya cocok bagi jenis tertentu.
Keanekaragaman sedang atau moderat menandakan jenis
organisme menyebar merata. Keanekaragaman tinggi atau stabil
menandakan jenis organisme variasinya tinggi didukung oleh
faktor lingkungan yang prima untuk semua jenis yang hidup dalam
habitat bersangkutan (Odum. 1993: 189).
3) Indeks Kemerataan Jenis
Analisis yang digunakan untuk menghitung indeks
kemerataan jenis plankton adalah dengan menggunakan:
Keterangan:
E = Indeks kemerataan H’ = indeks keanekaragaman Ln S= Ln dari jumlahspesies
Menurut Pielou (1977: 308) dalam Muhammad Faiz Faza
(2012: 22), indeks kemerataan berkisar antara 0-1. Nilai E
mendekati 0 maka sebaran individu antar jenis tidak merata dan
terjadi dominansi suatu jenis dan apabila nilai E mendekati 1 maka
sebaran individu antar jenis merata. Penggolongan nilai indeks
kemerataan adalah sebagai berikut:
a. 0,00–0,25 = tidak merata
b. 0,26–0,50 = kurang merata
d. 0,76–0,95 = hampir merata
e. 0,96–1,00 = merata
Kisaran indeks kemerataan dapat diklasifikasikan sebagai
berikut:
a. Apabila E berada pada kisaran 0 - 0,5 berarti bahwa
spesies-spesies penyusun komunitas tidak banyak
ragamnya, ada dominasi spesies tertentu dan
menunjukkan adanya tekanan ekologi terhadap
ekosistem yang bersangkutan.
b. Apabila E berada pada kisaran 0,6 - 1 maka jumlah
individu atau sel yang dimiliki antar spesies tidak jauh
berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi ekosistem
serasi untuk semua spesies dan ini berarti tidak terjadi
tekanan ekologis pada ekosistem yang bersangkutan.
4) Indeks Dominansi
Indeks dominansi Simpson digunakan untuk mengetahui
adanya dominasi jenis tertentu di perairan dengan persamaan
sebagai berikut (Odum. 1993: 179):
Keterangan:
D : indeks dominansi Simpson ni : jumlah individuspesiesi (ind/l) Pi : jumlah individu genus ke-1
Nilai indeks dominansi berkisar antara 0-1. Nilai yang
mendekati 0 menunjukkan bahwa tidak ada genus dominan dalam
komunitas. Sebaliknya, nilai yang mendekati 1 menunjukkan
adanya genus dominan. Hal tersebut menunjukkan bahwa kondisi
struktur komunitas dalam keadaan labil dan terjadi tekanan
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Parameter Fisik dan Kimia Perairan Telaga Bromo
Rata-rata hasil pengukuran terhadap parameter fisik dan kimia
perairan yang telah dilakukan setiap pengambilan sampel pada bulan Januari
2016–Maret 2016 di Telaga Bromo dapat dilihat di Tabel 1.
Tabel 1. Nilai Parameter Fisik dan Kimia Perairan Telaga Bromo
Parameter Stasiun I Stasiun II Stasiun III Stasiun IV Kisaran Rerata Kisaran Rerata Kisaran Rerata Kisaran Rerata Intensitas
Stasiun I = bagian tepi telaga (tempat mencuci dan mandi) Stasiun II = bagian tengah telaga
Kualitas air merupakan subyek yang sangat kompleks dan
dicerminkan dari jenis pengukuran dan indikator air yang digunakan.
Pengukuran akan lebih akurat jika dilakukan di tempat karena air berada
dalam kondisi yang ekuilibrium dengan lingkungannya. Pengukuran di tempat
umumnya akan mendapatkan data mendasar seperti temperatur, pH,
kekeruhan dan sebagainya. Untuk pengukuran yang lebih kompleks
membutuhkan sampel air yang kemudian dijaga kondisinya, dipindahkan dan
dianalisis di laboratorium. Pengukuran ini memiliki kendala seperti
karakteristik air pada sampel mungkin tidak sama dengan sumbernya karena
terjadi perubahan secara kimiawi dan biologis seiring waktu. Bahkan kualitas
air dapat bervariasi antara siang dan malam akibat pengaruh organisme air.
Air sampel akan menyesuaikan diri dengan lingkungan baru yaitu botol atau
kemasan yang digunakan untuk pengambilan sampel. Sehingga bahan yang
digunakan untuk pengambilan sampel harus bersifat inert atau memiliki
tingkat reaktivitas yang minimum sehingga tidak mempengaruhi kualitas air
yang diuji. Ruang udara yang berada di dalam kemasan sampel dapat
mempengaruhi karena ada resiko udara larut dalam sampel air. Selain itu,
cahaya matahari juga mempengaruhi organisme dalam sampel seperti
fitoplankton untuk melakukan fotosintesis sehingga mengubah kondisi
kimiawi sampel air. Menjaga kualitas sampel dapat dilakukan dengan
mendinginkan sampel sehingga mengurangi laju reaksi kimia dan perubahan
1. Intensitas Cahaya
Dari hasil penelitian diketahui bahwa intensitas cahaya tertinggi
terdapat di stasiun I (bagian tepi telaga) yaitu 26.400 lux yang disebabkan
karena sedikitnya vegetasi di sekitar tepi telaga dan pengukuran dilakukan
pada siang hari meski dalam keadaan mendung atau hujan. Walaupun
stasiun IV merupakan stasiun yang tidak memiliki naungan vegetasi,
stasiun IV memiliki banyak vegetasi di sekitarnya dan pengukurannya
dilakukan paling akhir sehingga cahaya matahari mulai berkurang. Nilai
intensitas cahaya terendah terdapat di stasiun III yaitu 16.600 lux karena
adanya naungan vegetasi. Kisaran intensitas cahaya 16.600-26.400 lux
tergolong rendah sehingga fitoplankton tidak dapat berfotosintesis secara
optimum. Hal ini didukung dengan pernyataan Susanti (2001) bahwa
kisaran intensitas cahaya yang membuat fitoplankton berfotosintesis secara
optimum berkisar antara 48.500-120.000 lux. Rendahnya intensitas cahaya
tersebut karena saat pengambilan sampel sedang mendung atau hujan.
Intensitas cahaya dan kekeruhan merupakan parameter yang saling
berkaitan, parameter-parameter ini merupakan indikator produktivitas
perairan sehubungan dengan proses fotosintesis dan proses respirasi biota
perairan terutama plankton. Kekeruhan yang tinggi menyebabkan
rendahnya intensitas cahaya yang masuk ke dalam perairan sehingga
proses fotosintesis fitoplankton terhambat dan pertumbuhan fitoplankton
2. Kekeruhan
Nilai kekeruhan perairan di Telaga Bromo berkisar antara 54,6 –
158,6 mg/L (Tabel 1). Tingginya nilai kekeruhan pada stasiun I diduga
akibat banyaknya sampah di bagian tepi telaga terutama sampah plastik
detergen. Selain itu, tingginya nilai kekeruhan tersebut disebabkan oleh air
limpasan dari daratan. Sedangkan rendahnya nilai kekeruhan di stasiun IV
disebabkan karena efek dari air limpasan tidak terlalu tinggi.
Nilai kekeruhan yang masih dapat ditolerir oleh organisme perairan
yaitu < 30 mg/l. Nilai kekeruhan yang tinggi dapat menyebabkan
berkurangnya penetrasi cahaya ke dalam perairan sehingga menghambat
laju fotosintesis fitoplankton. Fotosintesis yang terhambat akan
mengakibatkan pertumbuhan fitoplankton tidak optimal dan berkurangnya
oksigen dalam air. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Floder (2002:
395-396).
3. Kedalaman
Setelah dirata-rata dari kelima pengambilan, kedalaman Telaga
Bromo berkisar antara 0,65-1,71 meter (Tabel 1). Dari pengambilan
pertama sampai pengambilan ke empat, hanya stasiun II yang
berkedalaman di atas 1 meter. Pada pengambilan terakhir, hanya stasiun
IV yang berkedalaman di bawah 1 meter. Bertambahnya volume air telaga
dikarenakan oleh air hujan yang turun selama bulan Januari-Maret 2016.
Kedalaman perairan berperan penting terhadap kehidupan biota
masing-masing memiliki kekhasan tertentu, seperti suhu, kelarutan gas-gas
dalam air, kecepatan arus, penetrasi cahaya matahari dan tekanan
hidrostatik. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Satino (2010: 13) yang
mengatakan bahwa perubahan faktor - faktor fisik dan kimiawi perairan
akibat perubahan kedalaman akan menyebabkan respon yang berbeda
biota di dalamnya. Fitoplankton banyak dijumpai pada kedalaman tidak
lebih dari satu meter pada perairan umum (sungai, danau, telaga dan
waduk) karena pada kedalaman satu meter merupakan daerah transparansi
matahari yang merupakan daerah fitoplankton dapat menyerap cahaya
tampak dari matahari secara optimal.
4. Suhu
Hasil pengukuran menunjukkan bahwa suhu perairan berkisar
antara 31,24-34,5 0C (Tabel 1), dengan suhu tertinggi pada stasiun IV dan
terendah pada stasiun III. Tingginya suhu pada stasiun IV disebabkan
karena tidak adanya naungan vegetasi sehingga badan air terkena cahaya
matahari secara langsung. Rendahnya suhu di stasiun III karena adanya
naungan vegetasi sehingga penetrasi cahaya matahari ke perairan akan
terhalang dan akibatnya suhu perairan tidak meningkat secara cepat.
Variasi suhu yang terukur selama pengamatan sangat dipengaruhi
oleh suhu udara di atasnya dan perbedaan intensitas cahaya matahari saat
pengukuran. Suhu secara langsung berpengaruh dalam mengontrol laju
berbagai proses metabolisme dalam sel mikroalga. Laju proses