• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAKALAH PERLINDUNGAN MILKIYYAH DALAM ISL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "MAKALAH PERLINDUNGAN MILKIYYAH DALAM ISL"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH

PERLINDUNGAN MILKIYYAH DALAM ISLAM

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Fiqh Muamalah

Disusun oleh :

Rai Rearizki

120310110213

PROGRAM STUDI MANAJEMEN

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS PADJADJARAN BANDUNG

(2)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT. Hanya kepadanya tempat untuk memuji, memohon dan mengadu. Dan hanya karena kuasa-Nya penyusun dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Perlindungan Milkiyyah Dalam Islam” ini dengan lancar dan Insyaallah baik. Tujuan dari penyusunan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas matakuliah Fiqih Muamalah.

Secara umum penulis menyusun makalah ini berdasarkan sumber informasi yang didapatkan dari internet. Penulis harap, dengan membaca makalah ini dapat memberi manfaat bagi pembaca dan dapat menambah wawasan kita mengenai Perlindungan Milkiyyah Dalam Islam juga mengamalkannya di kemudian hari. Disadari oleh penyusun bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, maka penyusun mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi perbaikan makalah ini.

(3)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI... ii

BAB I ... 1

PENDAHULUAN ... 1

1.1 LATAR BELAKANG ... 1

1.2 RUMUSAN MASALAH ... 2

1.3 TUJUAN ... 2

BAB II ... 3

PEMBAHASAN ... 3

2.1 Pengertian Kepemilikan dalam Islam ... 3

2.2 Pembagian Kepemilikan dalam Islam dan Karakteristik Masing-Masing ... 5

BAB III ... 12

KESIMPULAN DAN SARAN... 12

3.1 KESIMPULAN ... 12

3.2 SARAN ... 12

(4)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Pada umumnya orang beranggapan bahwa kepemilikan atas sesuatu berarti kuasa penuh untuk menggunakan atau memanfaaatkan sesuatu tersebut sesuai kehendaknya. Sedangkan konsep kepemilikan dalam agama Islam adalah pada dasarnya semua yang ada di dunia ini adalah milik Allah SWT, dan harta yang kita miliki sekanrang hanyalah titipan, yang nantinya akan diminta pertanggungjawaban atasnya. Hal ini terkandung dalam firman Allah SWT:

َر ْض

Milik Allah-lah segala sesuatu yang ada di langit dan bumi (QS 2: 284)

Meskipun begitu, bukan berarti segala yang kita miliki saat ini bisa dengan seenaknya digunakan atau dimanfaatkan orang lain. Seperti yang terkandung dalam hadits yang berbunyi “Setiap muslim bagi muslim lainnya haram darahnya, hartanya, dan kehormatannya” (HR. Muslim dan lainnya). Karena Allah sendiri yang sudah menetapkan kepada siapa harta-Nya dititipkan, dan Allah juga telah memberikan hak atas harta tersebut. Dan Muslim sudah sepatutnya menghargai kepemilikan seseorang.

Oleh sebab itu, Islam memiliki caranya sendiri untuk melindungi hak kepemilikan seseorang atas sesuatu. Agar jelas apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan seseorang terhadap kepemilikan atas sesuatu yang dimiliki oleh orang lain. Hal ini juga agar memberi perlindungan atas kepemilikan yang dimiliki seseorang dari klaim secara dzalim.

1.2 RUMUSAN MASALAH

Dalam penyusunan makalah ini penyusun berharap dapat mengetahui bagaimanakah Perlindungan Kepemilikan dalam Islam. Agar pembahasan dapat terarah dengan baik maka penulis menyusun rumusan masalah sebagai berikut :

(5)

- Bagaimana Islam melindungi kepemilikan?

1.3 TUJUAN

Berdasarkan perumusan masalah diatas, maka tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah memperoleh pemahaman baru tentang perlindungan kepemilikan dalam Islam. Secara khusus tujuan penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut:

- Mengetahui kedudukan Kepemilikan dalam Islam.

(6)

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Kedududkan Kepemilikan Dalam Islam

Pandangan Islam mengenai harta dapat diuraikan sebagai berikut:

Pertama, pemiliki mutlak terhadap segala sesuatu yang ada di muka bumi ini adalah Allah SWT. Kepemilikan oleh manusia bersifat relatif, sebatas untuk melaksanakan amanah mengelola dan memanfaatkan sesuai dengan ketentuanNya yang berbunyi:

ٌريِبَك ٌر ْجَأ ْمُهَل اوُقَفْنَأَو ْمُكْنِم اوُنَمآ َنيِذّلاَف ۖ ِهيِف َنيِفَلْخَتْسُم ْمُكَلَعَج اّمِم اوُقِفْنَأَو ِهِلوُسَرَو ِ ّلاِب اوُنِمآ

Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan

menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar.

(QS: Al-Hadiid Ayat: 7)

Dan dalam sebuah Hadits riwayat Abu Daud, Rasulullah bersabda:

“Seseorang pada Hari Akhir nanti pasti akan ditanya tentang empat hal: usianya untuk apa dihabiskan, jasmaninya untuk apa dipergunakan, hartanya darimana didapatkan dan untuk apa dipergunakan, serta ilmunya untuk apa dipergunakan.”

Kedua, status harta yang dimiliki manusia adalah sebagai berikut :

1. harta sebagai amanah (titipan) dari Allah SWT. Manusia hanyalah pemegang amanah karena memang tidak mampu mengadakan benda dari tiada.

2. Harta sebagai perhiasan hidup yang memungkinkan manusia bisa menikmatinya dengan baik dan tidak berlebih-lebihan ( Ali Imran: 14). Sebagai perhiasan hidup harta sering menyebabkan keangkuhan, kesombongan serta kebanggaan diri.(Al-Alaq: 6-7).

3. Harta sebgai ujian keimanan. Hal ini menyangkut soal cara mendapatkan dan memanfaatkannya, apakah sesuai dengan ajaran Islam atau tidak (al-Anfal: 28)

4. harta sebagai bekal ibadah, yakni untuk melaksankan perintahNyadan melaksanakan muamalah si antara sesama manusia, melalui zakat, infak, dan sedekah.(at-Taubah :41,60; Ali Imran:133-134).

(7)

Sesungguhnya Allah mencintai hambaNya yang bekerja. Barangsiapa yang bekerja keras mencari nafkah yang halal untk keluarganya maka sama dengan mujahid di jalan Allah (HR Ahmad).

Mencari rezki yang halal adalah wajib setelah kewajiban yang lain(HR Thabrani)

jika telah melakukan sholat subuh janganlah kalian tidur, maka kalian tidak akan sempat mencari rezki (HR Thabrani).

Keempat, dilarang mencari harta, berusaha atau bekerja yang melupakan mati (at-Takatsur:1-2), melupakan Zikrullah/mengingat ALLAH (al-Munafiqun:9), melupakan sholat dan zakat (an-Nuur: 37), dan memusatkan kekayaan hanya pada sekelompok orang kaya saja (al-Hasyr: 7)

Kelima, dilarang menempuh usaha yang haram, seperti melalui kegiatan riba (al-Baqarah: 273-281), perjudian, jual beli barang yang haram (al-maidah :90-91), mencuri merampok (al-Maidah :38), curang dalam takaran dan timbangan (al-Muthaffifin: 1-6), melalui cara-cara yang batil dan merugikan (al-Baqarah:188), dan melalui suap menyuap (HR Imam Ahmad).

C. KEPEMILIKAN HARTA

Di atas telah disinggung bahwa Pemilik Mutlak adalah Allah SWT. Penisbatan kepemilikan kepada Allah mengandung tujuansebagai jaminan emosional agar harta diarahkan untuk kepentingan manusia yang selaras dengan tujuan penciptaan harta itu sendiri.

Namun demikian, Islam mengakui kepemilikan individu, dengan satu konsep khusus, yakni konsep khilafah. Bahwa manusia adalah khalifah di muka bumi yang diberi kekuasaan dalam mengelola dan memanfaatkan segala isi bumi dengan syarat sesuai dengan segala aturan dari Pencipta harta itu sendiri. Harta dinyatakan sebagai milik manusia, sebagai hasil usahanya. Al-Quran menggunakan istilah al-milku dan al-kasbu (QS 111:2) untuk menunjukkan kepemilikan individu ini. Dengan pengakuan hak milik perseorangan ini, Islam juga menjamin keselamatan harta dan perlindungan harta secara hukum.

Islam juga mengakui kepemilikan bersama (syrkah) dan kepemilikan negara. Kepemilikan bersama diakui pada bentuk-bentuk kerjasama antar manusia yang bermanfaat bagi kedua belah pihak dan atas kerelaan bersama. Kepemilikan Negara diakui pada asset-asset penting (terutama Sumber Daya Alam) yang pengelolaannya atau pemanfaatannya dapat mempengaruhi kehidupan bangsa secara keseluruhan.

D. METODE MEMPEROLEH DAN MEMBELANJAKAN HARTA

Untuk memperoleh harta dapat ditempuh dengan beberapa cara dengan prinsip sukarela, menarik manfaat dan menghindarkan mudarat bagi kehidupan manusia, memelihara nilai-nilai keadilan dan tolong menolong serta dalam batas-batas yang diizinkan syara(hukum Allah)

(8)

b. Perjanjian-perjanjian hak milik seperti jual-beli, hibah (pemberian/.hadiah), dan wasiat c. Warisan sesuai dengan aturan Islam

d. Syufah, hak membeli dengan paksa atas harta persekutuan yang dijual kepada orang lain tanpa izin para anggota persekutuan yang lain.

e. Iqtha, pemberian dari pemerintah

f. Hak-hak keagamaan seperti bagian zakat, bagi amil, nafkah istri, anak, dan orang tua.

Cara memperoleh harta yang dilarang ialah yang bertentangan dengan prinsip-prinsip tersebut di atas, yaitu memperoleh harta dengan cara-cara yang mengandung unsur paksaan dan tipuan yang bertentanga dengan prinsip sukarela, seperti merampas harta orang lain, menjual barang palsu, mengurangi ukuran dan timbangan, dan sebagainya. Kemudian memperoleh hartanya dengan cara yang justru mendatangkan mudharat/keburukan dalam kehidupan masyarakat, seperti jual beli ganja, perjudian, minuman keras, prostitusi,dan lain sebagainya. Atau memperoleh harta dengan jalan yang bertentangan dengan nilai keadilan dan tolong menolong, seperti riba, meminta balas jasa tidak seimbang dengan jasa yang diberikan. Juga menjual barang dengan harga jauh lebih tinggi dari harga yang sebenarnya, atau bisa dikatakan mengambil kesempatan dalam kesempitan.

Mengenai pembelanjaan harta, Islam mengajarkan agar membelanjakn hartanya mula-mula untuk mencukupkan kebutuhan dirinya sendiri, lalu untuk memenuhi kebutuhan keluarga yang menjadi tanggungannya, barulah memenuhi kebutuhan masyarakat. Dalam pemenuhan kebutuhan ini, Islam mengharamkan bermegah-megah dan berlebih-lebihan (Israf dan mubazir). Karena sifat ini cenderung kepada penumpukan harta yang membekukan fungsi ekonomis dari harta tersebut.

Untuk itulah pada satu takaran tertentu harta dikenai wajib zakat. Zakat merupakan implementasi pemenuhan hak masyarakat dan upaya memberdayakan harta pada fungsi ekonomisnya.

Ringkasnya, aturan dalam memperoleh harta dan membelanjakan harta, didasarkan pada prinsip-prinsip sebagai berikut:

1. Prinsip Sirkulasi dan perputaran. Artinya harta memiliki fungsi ekonomis yang harus senantiasa diberdayakan agar aktifitas ekonomi berjalan sehat. Maka harta harus berputar dan bergerak di kalangan masyarakat baik dalam bentuk konsumsi atau investasi.sarana yang diterapkan oleh syariat untuk merealisasikan prinsip ini adalah dengan larangan menumpuk harta, monopoli terutama pada kebutuhan pokok, larangan riba, berjudi, menipu.

2. Prinsip jauhi konflik. Artinya harta jangan sampai menjadi konflik antar sesama manusia. Untuk itu diperintahkan aturan dokumentasi, pencatatan/akuntansi, al-isyhad/saksi, jaminan (rahn/gadai).

(9)

dalam harta yaitu perintah untuk zakat infak shadaqah, dan larangan terhadap penghamburan (Israf/mubazir).

2.2 Cara Islam Melindungi Kepemilikan

Islam telah mengatur kepemilikan individu dengan suatu pandangan bahawa kepemilikan tersebut merupakan salah satu manifestasi dari naluri mempertahankan diri (gharizah al-baqa’). Atas dasar itu, Islam mensyariatkan ke atas kaum Muslimin ‘hukum kepemilikan’ untuk memenuhi naluri ini, yang akan menjamin kehidupan yang lebih baik. Islam membolehkan bagi seorang Muslim untuk memiliki harta sebanyak-banyaknya seperti binatang ternak, tempat tinggal dan hasil bumi. Di sisi lain, Islam mengharamkan seseorang Muslim dari memanfaatkan barangan seperti khamr (arak), daging babi dan dadah. Islam telah mendorong seseorang Muslim untuk berfikir dan menuntut ilmu, begitu juga Islam membolehkan seseorang Muslim untuk mengambil upah kerana mengajar orang lain. Islam juga telah mensyariatkan bagi seseorang Muslim sebab-sebab yang dibolehkan untuk memiliki suatu barang (asbab at-tamalluk) seperti jual-beli, perdagangan dan pewarisan serta Islam mengharamkan seseorang Muslim sebab-sebab kepemilikan yang lain (yang bertentangan dengan Islam) seperti riba dan judi.

Secara umumnya kepemilikan dalam Islam bermaksud izin Asy-Syari’ (Allah SWT) ke atas manusia untuk memanfaatkan barangan. Kepemilikan individu adalah hukum syarak yang mengatur barang atau jasa yang disandarkan kepada individu yang memungkinkannya untuk memanfaatkan barangan dan mengambil bayaran darinya. Kepemilikan individu dalam Islam ditentukan atas dasar ketetapan hukum syarak bagi kepemilikan tersebut dan ketentuan syarak bagi sebab kepemilikan (asbab at-tamalluk) tersebut. Kerana itu, hak untuk memiliki sesuatu tidak muncul dari sesuatu itu sendiri atau manfaatnya, akan tetapi ia muncul dari izin Asy-Syari’ untuk memilikinya dengan salah satu sebab kepemilikan yang syar’ie seperti jual-beli atau hadiah. Islam telah memberikan kekuasaan kepada individu atas apa yang dimilikinya yang membolehkan dia memanfaatkannya sesuai dengan hukum syarak. Islam juga telah mewajibkan Negara agar memberikan perlindungan atas kepemilikan individu dan menjatuhkan hukuman bagi setiap orang yang melanggar kepemilikan orang lain.

(10)

menjaga hak individu tersebut, sehingga memungkinkan baginya untuk mengelola dan mencegah orang lain dari melanggar hak-haknya. Ini adalah kerana di dalam Islam, cap dagangan memiliki nilai material, kerana keberadaannya sebagai salah satu bentuk perniagaan yang diperbolehkan secara syar’ie. Cap dagangan adalah ‘label produk’ yang dibuat oleh pedagang atau ahli industri bagi produk-produknya untuk membezakannya dengan produk yang lain, yang dapat membantu para pembeli dan pengguna untuk mengenal produknya. Perlu difahami bahawa definisi di atas tidak mencakup cap-cap dagangan yang sudah tidak digunakan lagi. Selain itu, seseorang boleh menjual cap dagangannya di mana apabila ia telah menjualnya kepada orang lain, manfaat dan pengelolaan cap dagangan itu akan berpindah kepada pemilik baru.

Adapun mengenai kepemilikan fikriyyah, iaitu jenis kepemilikan yang kedua, seperti pandangan ilmiah atau pemikiran canggih yang dimiliki seseorang, yang belum ditulis ke atas kertas atau belum dirakam ke dalam disket atau ingatan komputer maka semua itu adalah milik individu (milkiyyah al-fardiyyah) bagi pemiliknya. Ia boleh mengajar atau menjualkannya kepada orang lain, jika hasil pemikirannya tersebut memiliki nilai menurut pandangan Islam. Bila hal ini dilakukan (pemikiran yang telah diajar atau dijual), maka orang yang mendapatkannya dengan sebab-sebab yang syar’ie, boleh mengelolanya tanpa terikat dengan pemilik pertama, sesuai dengan hukum-hukum Islam.

Hukum ini juga berlaku bagi semua orang yang membeli buku, disket, atau ingatan komputer yang mengandungi material pemikiran, baik pemikiran sains ataupun sastera. Demikian pula, ia berhak untuk membaca dan memanfaatkan informasi yang ada di dalamnya. Ia juga berhak mengelolanya, baik dengan cara menyalin, menjual atau menghadiahkannya. Akan tetapi ia tidak boleh ‘menasabkan’ (mengatasnamakan) penemuan tersebut kepada selain pemiliknya. Ini adalah kerana pengatasnamaan (penisbahan) kepada selain pemiliknya adalah suatu kedustaan dan penipuan dan diharamkan secara syar’ie. Oleh kerana itu, hak perlindungan atas kepemilikan fikriyyah merupakan hak yang bersifat ‘maknawi’, yang mana hak pengatasnamaannya dimiliki oleh pemiliknya. Namun, orang lain boleh memanfaatkannya tanpa izin dari pemiliknya. Di sinilah bezanya Islam dan kapitalisme di mana orang-orang yang berideolgi kapitalis memfokuskan seluruh aktiviti dan undang-undang mereka untuk meraih qimah madiah (nilai material) semata-mata. Qimah madiah itu pula digunakan sebagai tolok ukur ideologi mereka dalam kehidupan. Mereka mengabaikan qimah ruhiyyah (nilai rohani), qimah insaniyyah (nilai kemanusiaan) dan qimah akhlaqiyyah (nilai akhlak) yang difitrahkan dalam diri manusia dalam usaha manusia untuk meraih qimah madiah.

(11)

seseorang Muslim tidak wajib terikat dengan syarat-syarat tersebut. Ini kerana, berdasarkan akad jual-beli dalam Islam, seseorang pembeli bukan sahaja mendapat haq al-milkiyyah/ownership (hak kepemilikan) ke atas barang yang dibeli, malah pembeli juga mendapat haq at-tasarruf (hak untuk mengelola) apa sahaja yang ia miliki (yang ia telah beli). Justeru, meletakkan apa jua ‘syarat’ yang bertentangan dengan akad yang syar’ie, hukumnya adalah haram, meskipun dengan seratus syarat dan dibuat atas kerealaan

pembeli. Dari ‘Aisyah ra,

“Barirah mendatangi seorang perempuan iaitu seorang mukatab (hamba) yang akan dibebaskan oleh tuannya jika membayar 9 awaq (1 awaq = 12 dirham). Kemudian Barirah berkata kepadanya, ‘Jika tuanmu bersedia, aku akan membayarkan jumlahnya, maka kesetiaan(mu) akan menjadi milikku. Mukatab tersebut lalu mendatangi tuannya dan menceritakan hal itu kepadanya. Kemudian tuannya menolak dan mensyaratkan agar kesetiaan (hamba tersebut) tetap menjadi miliknya. Hal itu kemudian diceritakan ‘Aisyah kepada Rasulullah SAW. Rasulullah SAW bersabda, ‘Lakukanlah.’ Kemudian Barirah melaksanakan perintah tersebut dan Rasulullah SAW berdiri, lalu berkhutbah di hadapan manusia. Baginda segera memuji Allah dan menyanjung namaNya, kemudian bersabda, ‘Tidak akan dipedulikan seseorang yang mensyaratkan suatu syarat yang tidak sesuai dengan apa yang tercantum dalam Kitabullah.’ Kemudian baginda meneruskan, ‘Setiap syarat yang tidak ada dalam Kitabullah, maka syarat tersebut adalah bathil. Kitabullah lebih berhak, dan syaratnya (yang tercantum dalam Kitabullah) bersifat mengikat. Kesetiaan dimiliki oleh orang yang membebaskan.”

Mantuq (teks) hadis ini menunjukkan bahawa syarat yang bertentangan dengan apa yang tercantum dalam Kitabullah dan Sunnah RasulNya, tidak boleh diikuti. Oleh yang demikian, selama mana syarat ‘perlindungan hakcipta’ yang menjadikan barang yang dijual (disyaratkan) sebatas untuk satu jenis pemanfaatan tertentu sahaja, tidak untuk pemanfaatan yang lain seluruhnya, maka syarat tersebut adalah batal dan bertentangan dengan Kitabullah dan Sunnah RasulNya. Ini adalah kerana, syarat ‘perlindungan hakcipta’ adalah jelas bertentangan dengan ketetapan akad jual-beli yang syar’ie. Akad jual beli yang syar’ie membolehkan pembeli untuk mengelola dan memanfaatkan barang yang dibelinya dengan cara apapun yang bertepatan dengan syarak, seperti menjualnya, menghadiahkannya dan lain-lain. Syarat yang mengharamkan sesuatu yang halal adalah syarat yang batil, berdasarkan sabda Rasulullah SAW,

(12)

Oleh kerana itu, secara syar’ie tidak dibolehkan ada syarat-syarat hak cetak, menyalin atau melindungi sesuatu penemuan. Setiap individu berhak atas hal itu (memanfaatkan produk-produk intelektual). Para pemikir, ilmuwan atau penemu sesuatu program, berhak memiliki pengetahuannya selama pengetahuan tersebut adalah miliknya dan tidak diajarkan kepada orang lain. Adapun setelah mereka memberikan ilmu kepada orang lain dengan mengajarkannya, menjualnya atau dengan apa cara sekalipun (yang syar’ie), maka ilmunya tidak lagi menjadi miliknya. Dalam hal ini, hak kepemilikannya telah hilang dengan diajar atau dijualnya ilmu tersebut, sehingga mereka tidak mempunyai hak untuk menghalang atau melarang orang lain dari memanfaatkannya. Justeru, ‘kata-kata’ (syarat) yang tercantum pada buku-buku, cakera padat, perisian komputer dan media yang lain yang tidak membenarkan dicetak ulang, disalin atau dirakam kecuali atas izin pemiliknya, adalah dilarang di dalam Islam. Kesalahan ‘kata-kata’ (syarat) yang melindungi hakcipta tersebut adalah kerana mereka tidak meletakkan pengecualian sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah SAW bahawa, “…kecuali syarat yang mengharamkan sesuatu yang halal…”.

Ada di kalangan mereka yang membolehkan perkara ini (hakcipta) bersitidlal (menyandarkan dalil) kepada sabda Rasulullah SAW,

“Tidak halal harta seorang Muslim kecuali dengan kerelaan dirinya”

dan kepada sabda baginda,

“Barangsiapa mendapatkan paling awal sesuatu yang mubah, maka ia adalah orang yang paling berhak”.

Hakikatnya, kedua-dua hadis ini tidak merujuk kepada kebolehan hakcipta, kerana manath (fakta) nya memang tidak demikian. Adapun hadis yang pertama, ia bermaksud harta milik orang lain yang tidak boleh diambil dari pemiliknya setelah ia sah secara syar’ie menjadi miliknya. Misalnya, seseorang itu tidak boleh mencuri atau merampas atau memaksa dengan apa cara (termasuk melalui undang-undang) untuk mengambil harta seseorang. Manakala ilmu yang telah diajar atau dijual tidak lagi menjadi milik tuannya dan tidak timbul soal mengambil ‘tanpa kerelaan’ dari pemiliknya. Adapun hadis yang kedua, manathnya adalah berkenaan harta milik umum (bukan milik individu) yang menjadi hak orang ramai untuk memanfaatkannya, sebagaimana hadis,

“Mina (salah satu tempat dalam mengerjakan haji) menjadi hak bagi siapa sahaja yang datang lebih dahulu (untuk menempatinya)”.

(13)

BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

3.1 KESIMPULAN

Pada initinya segala sesuatu yang kita miliki saat ini adalah kepunyaan Allah SWT. Kita hanya diamanahi selama kita di dunia. Meskipun begitu, Allah memberi kita hak untuk memanfaatkannya sesuai kehendak kita. Tetapi tentu saja akan diminta pertanggungjawabannya, karena Allah telah memberi petunjuk dalam Al Quran dan As Sunnah.

Dan setiap harta yang dimiliki seseorang tidak boleh diambil oleh orang lain dengan cara yang

bathil atau dzalim. Karena Allah sudah memberi perlindungan atas harta masing-masing, dan Allah sendiri yang telah menentukan kepemilikan masing-masing. Tetapi Allah juga telah memberi petujuk kepada pemilik harta tentng bagaimana memanfaatkan hartanya. Karena pada harta seseorang terdapat hak orang lain. Dan jika petunjuk Allah itu dijalankan dengan baik, maka Isyaallah harta yang dimiliki bisa bermanfaat bagi banyak orang.

3.2 SARAN

(14)

DAFTAR PUSTAKA

http://mykhilafah.com/sautun-nahdhah/3161-sn289-hukum-hak-cipta-menurut-islam

http://blogbinlahuri.blogspot.com/2013/11/konsep-hak-milik-dalam-syariah-dan.html

http://forumdisk.blogspot.com/2012/04/konsep-kepemilikan-dalam-islam.html

Referensi

Dokumen terkait

Fase 1 dan 2 merupakan fase diagnosis dan digunakan untuk mengenal peluang dan memotivasi anggota komunitas. Fase 3 bertujuan untuk mengembangkan usaha, sedangkan fase 4 berperan

Permohonan ujian susulan ditujukan kepada Wakil Dekan bidang Akademik Fakultas Pertanian UNSOED dengan dilampiri surat keterangan/Surat Tugas masing-masing rangkap satu,

41 Laboratorium Pembinaan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan (LPPMHP), Dinas Perikanan Propinsi Lampung (Aktif kembali dengan no LP-664-IDN).

Pada umumnya memasuki periode akhir masa kanak -kanak, anak berminat dalam keanggotaan kelompok, ia sangat terpukau dengan anggapan bahwa ia harus menyesuaikan

Meta-analisis model pembelajaran kooepratif yang dilakukan oleh David W dan kawan- kawannya dalam penelitian Cooperative Learning Methods: A Meta Analysis juga menemukan

akan dapat hasil yang baik, tanpa ada gangguan yang dapat mengakibatkan gagal panen. Tradisi-tradisi yang ada dalam masyarakat selalu berlangsung dengan baik dan diharapkan tidak

Hasil penelitian terkait beban kerja pada perawat yang dilakukan oleh Yulinar Agustina (2018) yang menunjukkan bahwa dari 71 perawat yang berada di IRNA Non Bedah

menimbulkan permasalahan dalam pengaturan dan pembinaan PKL di Kawasan Simpang Lima masih terjadi. Penyimpangan tersebut misalnya, tidak menjaga ketertiban dan