12
A. Usia Pra Baligh dalam Hadits Nabi SAW.
Usia pra baligh atau yang lebih di kenal dengan sebutan usia sebelum baligh adalah merupakan suatu istilah yang banyak di gunakan oleh ahli fiqh maupun ahli psikolog, karena itu adalah sebutan yang erat kaitanya dengan usia seseorang. Dalam kajian fiqh usia pra baligh adalah anak yang usianya belum dewasa (belum cukup umur lima belas tahun) atau belum pernah mimpi bersetubuh hingga mengeluarkan sperma (mani).1Dalam fiqh usia baligh ini di jadikan sebagai syarat untuk menjadi seorang mukallaf yaitu seseorang yang sudah di kenai suatu hukum.
Usia pra baligh dalam prespektif ulama’ fiqh yang di jadikan sebagai standarisasi usia anak untuk menjadi seorang mukallaf atau tidak di jadikanya sebagai tanda kedewasaan anak dalam berfikir, tentunya hal itu tidak akan keluar dari definisi usia baligh dan pra baligh yang di munculkan oleh ulama Hadits dalam kitab Hadits sendiri, karena dari sisi historis dan retorika yang di jadikan statement ulama fiqh untuk menjadikan sebuah kesimpulan hukum itu tidak lepas dari konteks Hadits yang menjadi istimbat
hukum mereka sebagai marji’ kedua setelah al-Qur’an. Hal ini semakin jelas dengan adanya definisi usia pra baligh yang terdapat dalam Hadits Nabi di riwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab shahihnya menerangkan tentang batasan-batasan usia anak baligh maupun pra baligh. Berikut penjelasan tentang definisi tersebut:
1
!"# $% & ' ()* +,-./ 0 . 1 2-.3 ' )/ $ 4
5
6"# ()* $ 4
$ 78* ,.% 9: / ++; <
9: / +; < = >
?@
0 A% B: .> &@CD)* )E 7*7F"#
$. GD !% H % 5 $ I JK%
#L M N% +N"# OP-#
Q A# @E -RL +!% 'S* A"# @E
"R 0# T $
$% U)'.FJ % V#W R X R Y D 9: / ++; < = > " R Y # )4 "*
, #
=* X
: Z
N ) U
F"#
[ E)#
\]D
^ R ./
_
]# \F*
$O !
`
: / ; <
,a ]* b R c X /d @e
F f
g OP / %
h
“Aku menawarkan diriku kepada Rasulullah saw. Untuk ikut berperang dalam perang uhud, waktu itu aku berumur empat belas tahun, tetapi Rasul Saw tidak mempekenankan diriku. Dan aku kembali menawarkan diriku pada waktu perang khandaq sedangkan aku( pada saat itu) berumur lima belas tahun, maka Rasul SAW memperkanankan diriku. Nafi’ menceritakan ,”lalu aku datang kepada Umar Ibnu Abdul Aziz yang pada saat itu menjabat sebagai khalifah, dan aku ceritakan kepadanya Hadis ini, maka ia berkata,”sesungghunya hal ini merupakan batas antara usia anak-anak dengan usia dewasa”. Kemudian ia menginstruksikan kepada semua gubernur agar mereka menetapkan kepada orang yang telah mencapai usia lima belas tahun (sebagaimana layaknya orang dewasa), dan orang yang usianya di bawah itu hendaknya mereka di kategorikan sebagai anak-anak”.
Dari keterangan Hadits di atas dapat di pahami bahwa usia anak sebelum baligh atau usia pra baligh baik menurut ahli Hadits maupun ahli fiqh secara esensial mempuyai satu pemahaman yang sama yaitu usia anak yang belum sampai pada umur lima belas tahun, karena dalam Hadits di atas memandang bahwa umur lima belas tahun adalah umur pembatas antara
2
anak dan remaja (baligh). Dalam bahasa fiqh di sebutkan bahwa anak yang belum pernah bermimpi bersetubuh hingga dia mengeluarkan air mani (sperma) dia termasuk anak yang belum baligh, begitu juga dengan anak yang mulai bermimpi bersetubuh hingga mengeluarkan air mani, dan dia berumur kurang lebih lima belas tahun keatas, maka usia anak tersebut bisa di namakan usia baligh.
B. Hadits Nabi Tentang Pola Pendidikan Anak Usia Pra Baligh.
Dalam mengkaji tentang pola pendidikan anak usia pra baligh yang ada dalam Hadits Nabi tentunya harus melalui jalur-jalur alternatif normatif yang mampu mencari dan menelusuri Hadits dengan baik, oleh karena itu pakar ilmu Hadits Syuhudi Ismail menjelaskan tentang cara mencari Hadits- Hadits berdasarkan topik masalah. Ada dua kamus besar yang menunjukan cara pencarian Hadits berdasarkan topik masalahnya, yang pertama adalah Miftahu kunuzi as-Sunnati dan yang ke dua adalah Mu’jam al-Mufahras Li-alfadzi al-Hadisi an-Nabawiyyi,3pencarian Hadits akan kesulitan tanpa melihat sebuah kamus besar yang mengupas tentang keseluruhan Hadits Nabi yang di riwayatkan oleh perawi-perawi yang dapat di terima oleh masyarakat luas dan tidak adanya indikasi penolakan perawi jika di lihat dari
dhabit, tsiqah, dan adil. Yang di gunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan kamus mu’jam al- Mufahras. Dalam mu’jam penulis mencari Hadits Nabi yang menerangkan tentang pola pendidikan anak usia pra baligh baik secara sharih maupun kinayah atau secara eksplisit (tersurat) maupun
implisit (tersirat). Sehingga pencarian Hadits yang sesuai dengan tema penelitian di mulai dari pembagian pembahasan judul, dan tema penelitian yang di sajikan merupakan bagian dari kajian kelimuan, maka pencarian di mulai dengan melihat sub pembahasan ilmu, dari pembahasan ilmu di lanjutkan dengan mencari matn yang berkaitan dengan pola pendidikan anak usia pra baligh hingga di temukan beberapa Hadits yang mempunyai isi matn yang sama tetapi perawinya berbeda. Secara tematik ada beberapa Hadits
3
dalam pembahasan ini – pola pendidikan anak usia pra baligh - Hadits yang di riwayatkan oleh beberapa perawi terkenal yang tergabung dalam imam sittah yaitu Imam Abu Daud, Imam Ahmad bin Hambal dan Imam Turmudzi, ketiga perawi ini menceritakan hadits dalam substansi matan hadits yang sama.
Di tinjau dari sisi kesahihan dan penerimaannya tentunya Hadits yang di munculkan sebagai bahan refrensi utama adalah Hadits yang harus benar-benar dapat di terima oleh masyarakat luas dan Hadits tersebut secara maudhu’i tidak keluar dari tema. Setidaknya Hadits tersebut dalam isi atau matn masih menyangkut tentang pola pendidikan anak usia pra baligh seperti contoh apakah ada Hadits yang membahas tentang bagaimana cara mendidik anak yang umurnya belum baligh tentunya dengan cara-cara tertentu yang di sesuaikan dengan kondisi usia anak, karena cara bagaimanapun juga cara mengajar anak-anak akan berbeda dengan cara mengajar orang dewasa sesuai dengan tingkat perkembangan usia anak.
Yang pertama adalah Hadits yang di riwayatkan oleh Imam Turmudzi :
? A/ { )!* 0
berkata: Rasulullah Saw berkata: Ajarilah anak-anakmu untuk melaksanakan shalat, sedang ia berumur tujuh tahun, dan pukulah mereka karena meninggalkanya, sedang ia berumur sepuluh tahun”Yang kedua yaitu Hadits yang di riwayatkan oleh Imam Abu Daud :
h
“ Dari Amr bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya, dia berkata: Rasulullah Saw berkata: Suruhlah anak-anakmu untuk melaksanakan shalat, sedang ia berumur tujuh tahun, dan pukulah mereka karena meninggalkanya, sedang ia berumur sepuluh tahun. Dan pisahlah di antara mereka dari tempat tidurnya”
Yang ketiga yaitu Hadits yang di riwayatkan oleh Imam Ahmad Bin Hambal :
4
Abi Isa Muhammad bin Isa bin Saurah, Al-Jami’ as- Shahih, Sunan at-Tirmidzi, Juz II, ( Bierut, Libanon :Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1996), hlm, 259-260.
5
h
Yang ke empat yaitu Hadits yang di riwayatkan oleh Imam al-Baihaqi dalam kitab Sunan al-Kubra
pengajaran baca tulis, berenang, memanah dan mewarisi hal-hal yang baik”
C. Kritik Hadits
Dalam mengkaji tentang Hadits di lihat dari Latar belakang sejarah periwayatan Hadits, maka bagian-bagian Hadits yang menjadi pokok obyek penelitian ada dua macam, yakni rangkaian para periwayat yang menyampaikan riwayat Hadits yang di kenal dengan istilah sanad, dan materi
6
Imam Ahmad bin Hambal, Musnad Imam Ahmad Bin Hambal, Juz III, ( Dar Al-fikr ), hlm, 404.
7
atau matn Hadits itu sendiri. Di bawah akan di jelaskan tentang sanad dan matn Hadits tersebut di atas agar dalam penelitian Hadits bisa lebih sempurna dan bisa di pahami kedudukan masing-masing Hadits. Di sisi lain kajian historis Hadits yang berkaitan dengan sebab-sebab adanya sebuah Hadits Nabi adalah sangat penting untuk di kaji secara mendalam, karena berawal dari asbabul wurud Hadits, maka setting sosial yang di kehendaki akan dapat di ketahui tanpa adanya sebuah kontroversi sosial yang mengimplikasikan pada adanya miss understanding dalam pemahaman Hadits.
a. Sanad Hadits
Sanad adalah merupakan salah satu komponen dalam pembahasan ilmu Hadits, yang mana sanad adalah unsur terpenting yang harus di perhatikan dalam kajian Hadits misalnya dalam mengkaji tentang kashahihan sanad Hadits. Hal ini sangat penting untuk di kaji karena sanad adalah bagian dari komponen Hadits yang menentukan kualitas Hadits shahih dan tidaknya.
Dalam mengkaji tentang sanad Hadits, Syuhudi Ismail memberikan beberapa syarat dan kriteria yang harus di penuhi oleh sanad Hadits yang berkualitas shahih, oleh Syuhudi ismail syarat tersebut di kelompokkan menjadi dua bagian yaitu kaedah mayor yang bersifat umum dan kaedah minor yang bersifat khusus. Dari kaedah mayor Syuhudi Ismail mengambil marji’ dari pendapat Imam Syafi’I yang berpendapat bahwa Hadits ahad tidak dapat di jadikan hujjah kecuali apabila Hadits itu:
- Di riwayatkan oleh para periwayat yang : a. dapat di percaya pengalaman agamanya.
b. Di kenal sebagai orang yang jujur dalam menyampaikan berita. c. Memahami dengan baik Hadits yang di riwayatkan
e. Mampu meriwayatkan Hadits secara lafadz, tegasnya tidak meriwayatkan secara makna.
f. Terpelihara hafalanya, bila ia meriwayatkan secara hafalan, dan terpelihara catatanya, bila ia meriwayatkan melalui kitabnya. g. Apabila Hadits yang di riwayatkanya juga di riwayatkan oleh
orang lain, maka bunyi Hadits tidak berbeda.
h. Terlepas dari perbuatan penyembunyian cacat (Tadlis )
- Rangkaian riwayatnya bersambung sampai kepada Nabi, atau dapat juga tidak sampai kepada Nabi. 8
Pendapat Imam Syafi’i di atas di perkuat dan di sepakati oleh Ahmad Muhammad Syakir yang menganggap bahwa kriteria yang di buat oleh Imam Syafi’i sudah cukup representatif dalam meneliti sebuah Hadits yang termasuk di dalamnya sanad dan matn Hadits.
Yang kedua adalah kaedah minor atau yang bersifat khusus, lebih lanjut Syuhudi Ismail menguraikan tentang kaedah minor yaitu :
- Sanad bersambung. - Periwayat bersifat adil. - Periwayat bersifat dhabith. - Terhidar dari syudzudz. - Terhindar dari illat. 9
8
Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis , Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, ( Jakarta : Bulan Bintang, 1995 ), hlm. 121.
9Ibid,
hlm. 127-147.
- Sanad bersambung, tiap-tiap periwayat dalam sanad Hadits menerima riwayat Hadits dari periwayat terdekat sebelumnya, keadaan itu berlangsung demikian sampai akhir sanad dari Hadits itu. Jadi, seluruh rangakaian periwayat dalam sanad, mulai dari periwayat yang di sandari oleh al-Mukharrij (penghimpun riwayat Hadits dalam karya tulisanya) sampai dengan periwayat tingkat sahabat yang menerima Hadits yang bersangkutan dari Nabi. Bersambung dalam periwayatanya.
- Dalam kamus besar bahasa indonesia adil di artikan sebagai : “ tidak berat sebelah (tidak memihak), sepatutnya (tidak sewenang-wenang).
- Dhabith adalah orang yang kuat hafalanya tentang apa yang telah di dengarnya dan mampu menyampaikan hafalanya itu kapan saja dia menghendaki.
Oleh sebab itu di bawah akan dijelaskan tentang kedudukan dan kualitas sanad Hadits termasuk para perawi Haditsnya. Ketiga Hadits tersebut di atas mempunyai musnid atau perawi yang sama mulai dari Nabi Muhammad saw dari Sabrah dari ayahnya dari kakeknya dari Abdul Malik, kemudian dari Abdul Malik terpisah menjadi tiga orang musnid dan ketiga-tiganya adalah muridnya semua yaitu :
- Rabi’ bin Sabrah al-juhani, harmalah ibnu Abdul Aziz, Ali ibnu Hajr, at-Tirmidzi.
- Ibrahim ibn Sa’ad, Muhammad ibnu Isa, Abu Daud.
- Zaid bin al-Habab, bapaknya, Abdullah, Ahmad bin Hambal.
Kata an-Nawawi dalam al-Majmu’ bahwa sanad hadits ini hasan, menurut at-Tirmidzi hasan shahih.10 Seperti halnya juga Manshur Ali Nashif mengatakan bahwa sanad hadits ini berpredikat shahih. 11 dalam riwayat Imam Turmudzi sendiri Abu Isa mengatakan bahwa haditsnya Sabrah Bin Ma’bd al-Juhhani itu adalah Hadits hasan shahih.
Dalam kajian tentang Hadits baik Hadits shahih maupun Hadits hasan terdapat klasifikasi Hadits tersebut yaitu lidzatihi dan lighairihi. Hadits yamg memenuhi segala syarat-syarat hadits hasan di sebut Hadits hasan lidzatihi, sedangkan Hadits hasan lighairihi adalah hadits dha’if, yang bukan di karenakan rawinya pelupa banyak salah dan orang fasik, yang mempunyai mutabi’ atau syahid. Hadits dha’if yang di karenakan rawinya buruk hafalanya tidak di kenal identitasnya (mastur) dan mudallis (menyembunyikan cacat) dapat naik menjadi Hadis hasan
- Illat dalam kajian ilmu Hadits adalah sebab yang tersembunyi yang merusakan kualitas Hadits. Yang keberadaanya menyebabkan Hadits yang pada lahirnya berkualitas shahih menjadi tidak shahih.
10
Hasbi Ash Shiddieqy, Koleksi Hadis -Hadis Hukum, Jilid II, (Jakarta : Karya Unipress, 1993), hlm. 37.
11
lighairihi karena di bantu oleh Hadits-Hadits lain yang semisal dan semakna atau karena banyak yang meriwayatkanya. 12
Menurut al-Ajali Ajazi dan an-Nasa’I bahwa Rabi’ bin Sabrah bin Ma’bad Ibnu Ausajah al-juhani adalah musnid yang tsiqah, tetapi dalam sanad ini ada satu musnid yang menurut Ibnu abi Khaisamah yang bertanya pada Ibnu Muayyan berkata bahwa Haditsnya Abdul Malik itu lemah.13 Sanad yang terdapat dalam hadits tersebut di atas karena adanya musnid atau perawi yang dhaif bisa naik menjadi hasan lighairihi karena ke dhaifanya di angkat oleh muttabi’ yaitu Rabi’ bin Sabrah al-juhani, harmalah ibnu Abdul Aziz, Ali ibnu Hajr, at-Tirmidzi. Ibrahim ibn Sa’ad, Muhammad ibnu Isa, Abu Daud. Zaid bin al-Habab, bapaknya, Abdullah, Ahmad bin Hambal.
Sesuai dengan penjelasan Hasby Ash Shiddieqy di atas bahwa Hadits yang pada tingkat kualitasnya tidak shahih (masih dibawah shahih) atau di sini pada tingkatan hasan, maka ada kemungkinan dalam sanad Hadits tersebut ada musnid ataupun perawi yang dha’if. Tetapi hal itu tidak berpengaruh pada kredebelitas Hadits tersebut karena sanad yang masuk dalam Hadits hasan shahih walaupun musnidnya dhaif, kedha’ifanya tidak sampai pada tingkatan mungkar atau sangat dhaif dan hal ini masih bisa di terima oleh ahli Hadits dan masih di jadikan sebagai bahan refrensi utama setelah Hadits shahih.
Hadits yang di riwayatkan Imam Baihaqi oleh sebagian kritikus Hadits di anggap bahwa Hadits tersebut di atas dhaif , Yahya Bin Muayyan dan Bukhari menganggap bahwa Haditsnya Isa bin Ibrahim al- Hasyimi di anggap lemah dan dia dianggap guru yang mengajarkan Hadits
12
Fatchur Rahman, op. cit., hlm. 111-112 13
mungkar. Pengertian Hadits mungkar sendiri adalah Hadits ayang di riwayatkan oleh orang yang lemah, yang matanya bertentangan dengan periwayatan orang kepercayaan.14 dan Hadits mungkar sendiri merupakan bagian dari Hadits dha’if.
Di lihat dari kualitas sanadnya bahwa Hadits yang di riwayatkan oleh di bilang dha’if tetapi jika di lihat dari kualitas matn Hadits, maka matn tersebut bisa di katakan matn hasan karena ada perawi lain yang meriwayatkannya yaitu Imam Ad-dailami dan dia pun menganggap bahwa Hadits tersebut berkualitas hasan. Oleh karena itu Hadits tentang hak-hak orang tua adalah di suruh untuk mengajari anak-anaknya dengan baca tulis, berenang, memanah dan mewarisi hal-hal yang baik jika di lihat dari sanadnya bisa jadi dhaif tetapi jika di lihat dari matnnya bisa jadi hasan, dengan demikian Hadits tersebut di atas jika di jadikan marji’ masih bisa di terima karena tingkat kedhaifanya tidak sangat lemah juga tidak maudhu’.
b. Matn Hadits
Adanya sebuah penelitian matn hadits tidak hanya keadaan matn tidak dapat di lepaskan dari pengaruh keadaan sanad saja. Tetapi karena juga dalam periwayatanya matn hadits di kenal adanya periwayatan secara makna (riwayat bil Makna) ulama-ulama hadits memang telah menetapkan syarat-syarat syahnya periwayatan secara makna namun hal itu tidaklah berarti bahwa seluruh periwayat yang terlibat dalam periwayatan hadits telah mampu memenuhi dengan baik semua ketentuan itu.
Dengan adanya peneletian secara makna, maka penelitian matn hadits tertentu, misalnya berkenaan dengan berita peperangan, sasaran penelitian pada umumnya tidak tertuju pada kata perkata dalam matn itu,
14
tetapi sudah di anggap cukup bila penelitian tertuju kepada kandungan berita yang bersangkutan. Lain halnya jika yang di teliti adalah matn yang mengandung ajaran Nabi tentang suatu ibadah tertentu, misalnya bacaan shalat, maka masalah yang di teliti meliputi keadaan kata demi katanya.15
Seperti halnya kesahihan sanad, matn juga mempunyai kajian tentang kesahihan matn. Ada beberapa kriteria matn Hadits yang dapat di terima oleh ulama’ Hadits maupun ushul sehingga dapat di terimanya sebagai salah satu bahan refrensi Hadits dan mampu menyandang predikat Hadits maqbul (di terima). Oleh karena itu ada beberapa kriteria Hadits maqbul seperti yang terdapat dalam catatan Syuhudi Ismail yaitu :
- Tidak bertentangan dengan akal yang sehat.
- Tidak bertentangan dengan hukum al-Qur’an yang telah muhkam.
- Tidak bertentangan dengan Hadits mutawatir.
- Tidak bertentangan dengan amalan yang telah di sepakati oleh ulama masa lalu atau ulama klasik.
- Tidak bertentangan dengan dalil yang telah pasti, dan
- Tidak bertentangan dengan Hadits ahad yang kualitas kesahihanya lebih kuat.16
Di lihat dari matnya, maka ketiga matn tersebut di atas dapat terhindar dari matn Hadits palsu atau masuk dalam kategori matn Hadits yang maqbul karena matn tersebut dapat memenuhi ketetapan yang telah di tentukan, dalam riwayat Imam Turmudzi sendiri abu isa mengatakan bahwa haditsnya Sabrah Bin Ma’bd al-Juhhani itu adalah Hadits hasan shahih, berarti ini menandakan bahwa Hadits tersebut di atas adalah Hadits maqbul, apalagi lebih lanjut Syuhudi Ismail menggambarkan tentang tanda-tanda matn Hadits yang palsu berdasarkan atas kesepakatan jumhur ulama Hadits, adapun tanda-tanda Hadits yang palsu adalah :
15
Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, ( Jakarta : Bulan Bintang, 1992 ), hlm. 26.
16
- Susunan bahasanya rancu.
- Kandungan pernyataanya bertentangan dengan akal yang sehat dan sangat sulit di interpretasikan secara rasional.
- Kandungan pernyataanya bertentangan dengan tujuan pokok ajaran Islam. Misalnya ajakan berbuat maksiat.
- Kandungan pernyataanya bertentangan dengan Sunnatullah.
- Kandungan pernyataanya bertentangan dengan fakta sejarah.
- Kandungan pernyataanya bertentangan dengan petunjuk al-Qur’an ataupun Hadits mutawatir.17
Dari ketiga matn hadits di atas jika di lihat dari sisi matn antara yang satu dengan yang lain tidak ada pertentangan dan tidak ada perselisihan makna dan arti dari Hadits yang lain, di samping itu dari ketiga matn tersebut di atas tidak di temukan adanya indikasi matn yang
dha’if dengan melalui seleksi kriteria Hadits maqbul seperti tersebut di atas. Secara kontekstual mempunyai kandungan makna arti yang sama yaitu orang tua di suruh memerintahkan anaknya untuk shalat pada umur tujuh tahun dan di suruh memukul pada usia sepuluh tahun apabila dia tidak mau melaksanakanya. Tetapi secara tekstual lafdziyah terdapat perbedaan dalam penggunaan lafadz shaby, ghulam, aulad. Dari ketiga-tiganya mempunyai arti yang sama yaitu anak kecil, hanya ada klasifikasi tersendiri dengan penggunaan kaitanya dengan tingkat perkembangan anak tersebut. Aulad asal kata dari al-walada dalam kamus al-bisri di artikan sebagai bayi atau anak laki-laki, jika di lihat pemaknaanya itu mempunyai arti anak laki-laki yang usianya masih belia. Sedangkan
shaby: as-syabab juga di artikan anak laki-laki kalau anak perempuan atau gadis shabiyah: al-bintu/ al-fatatu lain halnya dengan ghulam secara maknawiyah mempunyai makna anak muda atau remaja begitu juga makna dari kata Abna’ asal kata dari Ibnun untuk laki-laki dan Bintu/ Ibnatun untuk perempuan mempunyai arti anak laki-laki dan anak
17
perempuan.18 Dalam penggunaan lafadz murruu dan allimuu dua kata yang terdiri dari fi’il amar jama’ yang mempunyai arti memerintah atau menyuruh dan mengajar. Di lihat dari filosofi makna menyuruh dan mengajar ada sebuah perbedaan kontekstual pemaknaan, menyuruh berarti yang di suruh sudah paham dalam hal ini anak yang di suruh mengerjakan shalat sudah paham tentang shalat baik itu dari kaifiyah maupun dalam doa-doa shalat, sedangkan mengajar berarti yang di ajar belum begitu paham dengan obyek yang di ajar, dalam hal ini anak belum paham dengan shalat baik dari sisi kaifiyah maupun doa-doanya dan orang tua di tuntut secara praktis untuk mengajarinya shalat. Kata suruhlah dan ajarilah yang terdapat dalam Hadits di atas mempunyai kandungan makna sangat luas, bagaimana orang tua di suruh memerintahkan anaknya untuk shalat sama halnya bagaimana orang tua di suruh mengajari anak agar terbiasa untuk melaksanakan shalat. Gambaran di atas adalah menunjukan riwayat bil makna karena adanya perbedaan matn dalam penyampaianya tetapi juga mempunyai kesamaan dalam tujuan isi kandungan Hadits.
Hadits yang di riwayatkan oleh Imam baihaqi di lihat dari kualitas sanad ada yang mengatakan bahwa Hadits tersebut lemah tetapi kelemahan itu tidak sampai mengantarkan pada Hadits maudhu’ karena jika di lihat dari kriteria Hadits maudhu yang terdapat pada matn adalah : dari segi maknanya, maka Hadits itu bertentangan dengan al-Qur’an, dengan Hadits mutawatir, dengan ijma’ dan dengan logika yang sehat.dan di lihat dari lafaldnya jika susunan kalimatnya tidak baik serta tidak fasih. Termasuk di dalam hal ini ialah susunan kalimat yang sederhana, tetapi isinya berlebih-lebihan, misalnya berisikan pahala yang besar sekali bagi perbuatan atau amal-amal yang kecil.19
18
Adib Bisri, Munawwir A. Fatah, Kamus Al-Bisri Indonesia –Arab, Arab-Indonesia, ( Surabaya : Pustaka Progessif, 1999).
19
c. Rawi Hadits
Dari ketiga Hadits tersebut di atas, Hadits yang pertama di riwayatkan oleh Imam Turmudzi Hadits yang ke dua di riwayatkan oleh Imam Abu Daud dan Hadits yang ketiga di riwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hambal. Masing-masing Hadits mempunyai kedudukan sendiri-sendiri seperti Hadits yang di riwayatkan oleh Imam Turmudzi dan Abu Daud adalah Hadits hasan yang pada strata kualifikasinya ada di bawah Hadits shahih dan keduanya masuk dalam kategori kitab-kitab sunan, jika di lihat kualitas Hadits baik dari sanadnya maupun dari matanya bisa juga di bawah Hadits shahih. Oleh ulama-ulama mutaakhirin sepakat untuk menetapkan kitab induk Hadits lima yang tergabung dalam Al-kutubul Khamsah yaitu :
Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Daud, Sunan An-nasa’I, Sunan At-turmudzi. Sebagian ulama muta’akhirin yaitu Abul Fadhil Ibn Thahir menggolongkan pula ke dalamnya sebuah kitab induk lagi yaitu
Sunan Ibnu Majah sehingga terkenalah dengan sebutan Al kutubu Sittah.20
Sedangkan Hadits yang di riwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hambal secara strata kualifikasi Hadits, masih di bawah Hadits-hadits hasan atau hadits –hadits sunan. Menurut Hasbi Ash Shiddieqy bahwa ada tiga tingkatan kualitas kitab-kitab Hadits yaitu:
- Kitab-kitab Shahih ialah kitab-kitab yang penyusunanya tiada memasukkan kedalamnya selain dari hadits-hadits shahih saja
- Kitab-kitab Sunan (kecuali sunan Ibnu Majah) ialah kitab-kitab yang oleh pengarangnya tidak di masukan kedalamnya Hadits-hadits mungkar, adapun hadits Dha’if yang tidak mungkar dan tidak sangat lemah terdapat juga di dalamnya dan kebanyakan di terangkan kedha’ifanya oleh pengarangnya sendiri, oleh karen itu kualitas Hadits ini masih di bawah Hadits shahih.
20
- Kitab-kitab Musnad ialah kitab-kitab yang penyusunannya memasukkan ke dalamnya segala rupa Hadits-hadits yang di terima dengan tidak menyaring dan tidak menerangkan derajat-derajatnya, di dalam pengambilan Hadits- hadits hanya di perbolehkan terhadap orang-orang yang ahli menyaring, ahli menyelidik, mengerti hal ihwal Hadits dan seluk beluknya, oleh karena itu kualitas Hadits ini masih di bawah Hadits-hadits sunan.21
Untuk lebih jelasnya di bawah akan sedikit di terangkan tentang biografi para perawi Hadits di atas :
- Imam Turmudzi
Imam Turmudzi berkata : “Aku tidak memasukkan kedalam kitab ini terkecuali hadits yang sekurang-kurangnya telah di amalkan oleh sebagian fuqaha”. Beliau menulis hadits dengan menerangkan yang shahih dan yang tercacat serta sebab-sebabnya sebagiamana beliau menerangkan pula mana-mana yang di amalkan dan mana-mana yang di tinggalkan. Sunan at-Turmudzi besar faedahnya, tinggi derajatnya, dan isinya jarang berulang-ulang. Sebagian sarahnya ialah sarah as-Syuyuthi dan as-Syindi, sarahnya yang paling besar adalah Aridhatul Ahwady karangan Ibnu Araby Al maliky. Dan sebagian dari mukhtasharnya ialah Mukhtashar Al Jami’ karangan Najmuddin Ibnu Aqil. Sunan Turmudzi di pandang sebagai induk yang kelima.22
- Abu Daud
Kata al Khatthaby di dalam kitab Ma’allimus Sunan : “ketahuilah bahwa sunan Abu Daud itu adalah kitab yang sukar ada tandinganya dalam masalah agama dalam masalah agama, yang telah di terima baik oleh seluruh umat islam”. Kata Abu Daud sendiri : “aku telah menulis Hadits Rasul sebanyak 500.000 Hadits, kemudian akau pilih sejumlah 4800 lalu aku masukan ke dalam kitab ini”. Hadits yang amat lemah atau tidak sah sanadnya aku terangkan akhirnya, tak kusebutkan dalam
21Ibid, hlm. 82. 22
kitab ini hadits-hadits yang di tolak oleh seluruh orang, dan yang tidak saya beri komentar berarti hadits ayang baik . kat al –Ghazali, “Sunan Abu Daud cukup buat pegangan seorang mujtahid”. Dan sebagus-bagusnya mukhtasharnya adalah al Mujtaba’ susunan al Mundziry yang telah di syarahkan oleh asy Syuyuthi, al Mujtaba’ ini telah di sarin oleh Ibnu Qaiyim al-Jauziyah, saringan itu di namakan Tahdzibus sunan. Sunan Abu Daud di pandang sebagi induk yang ke empat.23 - Imam Ahmad bin Hambal
Menurut Abu Zurah beliau mempunyai tulisan sebanyak 12 macam yang semuanya sudah di kuasai di luar kepala. Juga beliau mempunyai hafalan matan hadits sebanyak 1.000.000 buah. Imam asy- Syafi’I saat meninggalkan kota bagdad menuju mesir, memberikan ujian kepada beliau dengan kata-kata yang realis, : “ku tinggalkan kota bagdad dengan tidak meninggalkan apa-apa selain meninggalkan orang yang lebih taqwa dan lebih alim dalam ilmu fiqh yang tiada taranya, yaitu Ibnu Hambal. Diantaran karya beliau yang sangat gemilang adalah Musnad al Kabir, kitab musnad ini merupakan satu-satunya kitab musnad terbaik dan terbesar di antara kitab-kitab musnad yang pernah ada. Kitab ini berisikan 40.000 buah hadits, yang sepuluh ribu merupakan hadits ulangan sesuai dengan masanya. Maka kitab hadits tersebut belum di atur bab per bab, sehingga ulama’ ahli hadits yang terkenal dari mesir Ahmad Muhammad Syakir,berusaha menyusun daftar isi kitab musnad tersebut dengan nama Fihris Musnad Ahmad.24
d. Asbabul Wurud
Selain sanad dan matn, komponen yang terpenting dalam Hadits Nabi adalah asbabul wurud, asbabul wurud adalah merupakan bentuk dari sebab-sebab disampaikanya Hadits atau dalam hal ini mengacu pada kajian historis Hadits sehingga setting sosial akan jelas
23Ibid,
hlm. 88. 24
bagaimana kondisi sosial dan lingkungan pada waktu Hadits di sampaikan, apakah masih relevansi dengan keadaan sosial pada waktu sekarang sehingga memungkingkan Hadits untuk di jadikan sebagai refrensi dari sebuah hukum. Dari semua Hadits yang ada, tidak semua Hadits ada asbabul wurud pada waktu Hadits di sampaikan. Seperti yang di sampaikan oleh Nuruddin ITR bahwa kadang-kadang sebab-sebab itu tidak di sebutkan dalam Hadits yang bersangkutan, namun di jelaskan pada sebagian jalurnya.25 Hal yang sama di ungkapkan oleh Munzeir Suparto bahwa asbabul wurud mempunyai beberapa faedah di antaranya adalah dapat mentakhsis arti yang umum, membatasi arti yang mutlak, menunjukan perincian arti yang mujmal, menjelaskan kemusykilan, dan menunjukan illat suatu hukum. Maka dengan memahami asbabul wurud Hadits dengan mudah memahami apa yang di maksud atau yang di kandung oleh suatu Hadits. Namun demikian, tidak semua Hadits mempunyai asbabul wurud, seperti halnya tidak semua ayat al-Qur’an mempunyai asbabun nuzul.26
Dari beberapa matn Hadits tersebut di atas setelah di cari dalam kitab Alluma’ yang di karang oleh Imam as-Suyuthi dan kitab
al-Bayan wa At-ta’rif fi asbab al-Wurud al-Hadis al-Syarif karangan Imam Ibnu Hamzah, di tambah lagi asbabul wurud karya Said Agil Husain Munawwar tidak juga di temukan asbabul wurudnya. Said Agil Husain Munawwar dan Nuruddin menyebutkan tentang kitab-kitab yang menyebutkan asbabul wurud yaitu :
- Asbabul wurud al- Hadits karya Abu Hafs al-Ukhbari, namun sayang kitab tersebut tidak sampai ke tangan kita.
- Asbabul wurud al-Hadits karya Abdul Hamid Abdul Jalil al-Jabari, kitab tersebut juga tidak sampai ke tangan kita.
- Al-lama’ fi asbabul wurud karya as-suyuthi, dan
25
Nuruddin ITR, Ulum Hadis , (Bandung: Remaja Rosda karya, 1994), hlm. 110. 26
- Al-bayan wa-Ta’rif fi asbab al-Wurud al-Hadits al-Syarif. 27 Hanya melalui kitab tersebut di atas dapat di telusuri dan di cari tentang asbabul wurud Hadits.
D. Pola Pendidikan Anak Usia Pra Baligh
Perintah dalam Hadits ini secara lahiriyah menunjukkan wajib, karena itu orang tua di wajibkan memerintahkan anaknya untuk mengerjakan shalat dalam usia sedini mungkin, yaitu usia tujuh tahun, dengan maksud agar si anak terbiasa mengerjakan shalat sejak kecil. Syekh Mansyur Ali Nashif berpendapat bahwa Pukulan yang di anjurkan adalah pukulan yang mengandung unsur edukatif, bukan pukulan yang mematahkan tulang atau membuat cacat tubuh. Dan jangan sekali-kali memukul mukanya, karena muka (wajah) merupakan keindahan yang mencakup semua keindahan tubuh. Ibadah anak kecil di anggap syah dan baginya mendapat pahala sekalipun masih belum di wajibkan baginya.28
Imam Asy Syaerazi dalam al-Muhazzab mengatakan bahwa tidak ada suruhan atas orang yang tidak wajib mengerjakan shalat, selain terhadap anak kecil. Kata an-Nawawi : orang yang tidak di bebani mengerjakan shalat, baik dengan dasar wajib, maupun dengan dasar sunnat, terkecuali pada anak. Anak kecil laki-laki maupun perempuan, anak kecil yang telah umur tujuh tahun, jika mumayyiz di suruh atas dasar sunnat mengerjakan shalat. Dan jika mereka telah berumur sepuluh tahun wajiblah di perintahkan kepada mereka mengerjakan shalat. Dan di pukul jika mereka enggan mengerjakanya. Imam Asy syafi’I dalam al-Mukhtashar berpendapat bahwa lazim atas ibu-bapak mendidik anak-anaknya dan memberikan pelajaran yang berkenan dengan thaharah dan shalat, bahkan wajib mendera mereka, jika enggan menuruti bila mereka telah mumayyiz.29
27
Said Agil Husain Munawwar, Abdul Mustaqim , Asbabul Wurud, Studi Kritis Hadis Nabi Pendekatan Sosio-Historis KOntekstual, ( Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 19.
28
Manshur Ali Nashif, Op. Cit., hlm. 430. 29
Dalam Hadits di atas menggambarkan dan menunjukan tentang bagaimana pola atau cara mendidik anak dalam usia sebelum baligh. Dari ketiga riwayat Hadits tersebut di atas menunjukan tentang bagaimana orang tua di suruh mengajari atau memerintahkan anaknya yang masih usia tujuh tahun untuk mengerjakan dan melaksanakan shalat, apabila anak tersebut sudah berumur sepuluh tahun dan anak tidak mau mengerjakan atau melaksanakan shalat, maka orang tua di suruh memukul anaknya. Usia anak mencapai tujuh sampai sepuluh tahun yang terdapat dalam Hadits oleh para ahli Hadits, ahli fiqh maupun oleh para ahli psikolog sepakat bahwa itu merupakan usia sebelum baligh. Usia pra baligh dalam bahasa psikolog di sebut usia pra remaja yang mana dalam usia ini merupakan usia yang sangat sensitif dengan lingkungan apapun yang terjadi di sekitarnya maka itu merupakan ajaran atau pendidikan bagi mereka.
Pola pendidikan anak usia pra baligh yang ada dalam Hadits Nabi secara keseluruhan menunjukan tentang :
- Pola Pendidikan dengan Kebiasaan, pola ini tergambar pada Hadits yang menunjukkan bahwa nabi menyuruh orang tuanya untuk mulai membiasakan anaknya melaksanakan shalat pada usia dini, yaitu pada usia tujuh tahun sampai usia sepuluh tahun dan sampai baligh dengan tujuan agar nanti ketika sudah dewasa anak sudah terbiasa melaksanakan shalat yang sudah menjadi kewajiban mereka. Di samping itu latihan baca tulis yang di ajarkan kepada anak sejak dini adalah merupakan latihan kebiasaan agar nantinya ketika dewasa mampu mengenal mengenal dan memahami ilmu baca tulis.
perhatian, di beri nasehat bagaimana pentingnya sebuah ajaran agama untuk di taati dan beri motivasi agar anak mau melaksakan perintah agama dengan berbagai bentuk motivasi yang di kehendaki sesuai dengan minat anak tersebut.
- Pola Pendidikan Keteladanan, pola ini dapat di lihat dalam kandungan isi Hadits tersebut di atas bahwa orang tua maupun pendidik lainya dalam memerintahkan anaknya berbuat sesuatu yang di inginkanya dan orang tua menginginkan agar dan orang tua menginginkan agar perintahnya di taati dan di laksanakan, maka hal itu tidak luput dari keteladanan orang tua. Ketika orang tua mampu menjadi teladan bagi anak-anaknya yang baik, maka apapunyang di perintahkan kepada anaknya akan di laksanakan dan di kerjakan.
- Pola Pendidikan dengan Hukuman. Pola ini adalah pola terakhir yang di gunakan dalam mendidik anak, sesuai yang terdapat dalam Hadits nabi bahwa pola ini adalah langkah terakhir yang di gunakan orang tua yaitu dengan memukul anaknya ketika pada usia sepuluh tahun masih saja dia tidak mau melaksanakan shalat pada usia sepuluh tahun anak adalah sudah dewasa dan mau menginjak usia pra baligh, oleh karen itu ketika pola yang sebelumnya ketika tidak mampu menjadi jalan keluar bagi pendidikan anak pendidik mapun orang tua boleh menggunakan pola ini.
- Pendidik tidak boleh memukul sebelum di lakukan berbagai upaya, nasehat dan saran serta peringatan keras.
- Pendidik hendaknya tidak memukul dalam keadaan marah karena di kawatirkan akan mencederai anak.
- Tidak memukul bagian –bagian yang peka seperti kepala, wajah, dada, dan perut.
- Hendaknya sanksi pukulan ini untuk pertama kali tidak terlalu keras dan tidak menyakitkan. Bagi anak yang belum baligh pukulan cukup satu kali sampai tiga kali, dan bagi orang dewasa tiga dan kalau perlu samapai sepuluh kali hingga dia jera. sebelum umur umur sepuluh tahun, sebaiknya anak jangan di pukul.
- Jika pertama kali anak berbuat kesalahan, hendaknya di maafkan, perbuatanya di tolelir di berikan kesempatan untuk memperbaiki diri sehingga dia tidak mengulangi yang kedua kalinya.
- Jika anak sudah baligh dan dengan sepuluh pukulan belum juga jera, boleh di tambah lagi jumlah pukulanya hingga dia sadar dan berjalan di jalan yang lurus.30
Dalam teori pendidikan bahwa pola pendidikan dengan hukuman tidak di larang dan tidak bertentangan dengan islam selama dalam proses hukuman itu melalui beberapa prosedur yang baik di antaranya adalah sebelum menghukum harus melalui proses teguran dulu, kalau masih saja tidak jera baru di hukum dengan hukuman fisik, namun dalam hukuman fisik pun tidak boleh terlalu keras dan pada bagian-bagian yang sensitif seperti tersebut di atas. Al- qabisi dalam bukunya yang berjudul Al-mufashshalah li Ahwal al-Muta’allimin wa Ahkam al-Mutallimin wa al-Muta’allimin, seorang penulis tunisia yang meninggal pada tahun 1012. menyatakan bahwa guru atau pendidik harus mempunyai harus mempunyai izin dari orang tua atau wali murid sebelum menghukumnya dengan lebih dari tiga kali pukulan. Dalam
30
kasus-kasus tertentu membolehkan hukuman hukuman lebih dari sepuluh kali itu biasanya memperhitungkan hukuman maksimal.31
Secara normatif orang memandang bahwa hukuman dengan memukul adalah kejam dan mengandung paksaan, cara ini di pandanag sangat kontroversial dengan cara yang halus yang dapat memikat hati. Tetapi pra sangka seperti itu hanyalah sebuah bayangan kejahatan saja. Bisa di lihat sebuah sampel bahwa petanipun memerlukan tanamanya bertahap? bukankah ia menggunakan tangan, gunting dan cangkul pada sat-saat tertentu, sehingga tanaman itu tumbuh mulai dari pohon yang kecil hingga menjadi pohon yang besar?.
Demikian halnya dengan tabiat anak kecil, apabila dilihat dan di kaji secara mendalam, maka akan terlihat tahapan pertumbuhan anak sebagai berikut seperti yang di catat oleh Muhammad Ali Qutb :
Anak melampaui masa penanaman dan pertumbuhan diri pada tiga tahun pertamam pada usianya, kemudian ia mengalami masa pendidikan, pengajaran dan pengarahan ahlaq, yaitu pada usia empat tahun sampai tujuh tahun. Pada usia terakhir ini anak anak mulai memasuki masa-masa stabil, dan mulai merasakan insting sexnya, baligh dan tanggung jawab. Maka dalam usia tersebut sang anak harus mengalami penekanan dan kekerasan. Di sini kita harus memusatkan pendidikan dengan cara memberikan rangsangan dan perhatian, yaitu melalui perintah, pada permulaanya, dan mulai memukul yang tidak membahayakanya, ketika anak berumur sepuluh tahun untuk tahap kedua.32
- Pola Pendidikan dengan ketrampilan, pola ini tergambar dalam Hadits Nabi yang menunjukkan pada orang tua di suruh mengajari anaknya untuk baca tulis, memanah dan berenang. Semua pola yang di ajarkan orang tua maupun pendidik lainya adalah merupakan pendidikan ketrampilan dan kebiasaan bagi anak supaya anak dalam hal baca tulis ketika sudah dewasa terbiasa dan
31
Abdurrahman Saleh Abdullah, Teori Pendidikan Menurut AL-Qur’an, terj. Arifin, Zainuddin, (Jakarta : Rineka cipta, 1990), hlm. 228-229.
32
mampu untuk melaksanakannya. Memanah dan berenang adalah merupakan pendidikan ketrampilan yang positif karena di samping memakai tehnik-tehnik tertentu juga dari sisi kesehatan dapat menjaga kesehatan tubuh dan memperlancar pernafasan, pendidikan ketrampilan bisa juga merupakan pendidikan yang mengarahkan anak didik kepada kedewasaan berfikir dan kecerdasan intelektualnya yang meliputi kognitif, afektif dan psikomotorik.
Nasih Ulwan seorang tokoh pendidikan mengungkapkan bahwa dalam hal pendidikan anak mempunyai tangung jawab yang sangat besar baik yang berhubungan dengan keimanan, moral, mental, fisikal, spiritual ataupun sosial, oleh karena itu seorang pendidik harus paham betul bgaimana cara mendidik anak dengan baik dan efektif. Nasikh Ulwan telah memberikan berbagai metode atau cara atau pola pendidikan anak dengan lima hal yaitu :
1. Pendidikan Dengan Keteladanan.33
Dalam hal ini pemberi teladan pada anak-anak adalah guru-guru dan orang tua, keteladanan memberikan pengaruh yang lebih besar dari pada omongan dan nasehat. Jika perilaku orang tua dan guru bertolak belakang dengan nasehat-nasehatnya, niscaya kegiatan belajar mengajar akan gagal.
Jaudah Muhammad Awwad mengemukakan tentang proses kegiatan belajar mengajar yang di dalamnya terdapat beberapa aspek dan unsur-unsur PBM yang sepatutnya di jadikan sebagi bahan acuan oleh para
33
pendidik, di antaranya adalah aspek keteladanan dan aspek memberikan motivasi.34
Di dalam al-Qur’an telah di jelaskan tentang seorang pendidik yang mempunyai suri tauladan yang baik yaitu Rasulullah Saw :
B: w B;)/'
)/ m% ,'N# R Y !#
Dan dalam ayat lain di sebutkan bahwa Rasulullah menjadi tauladan yang tinggi dalam ibadah, sedangkan beliau adalah pelaksana setiap perintah Allah, dari tahajjud, ibadah, tasbih, dzikir dan do’a :
9r .5 0 D ›'!
0 Pn 9r .5 -dL y #- ,'5 'ynDT7 "# aƒ* *
malam hari, kecuali sedikit (dari padanya), (yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit, atau lebih dari seperdua itu. Dan bacalah al-Qur’an itu dengan perlahan-lahan. Sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat. Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih cepat (untuk khuisu’)dan bacaan di waktu itu lebih terkesan” (Q.S Al-mujjammil : 1-6)
2. Pendidikan Dengan Adat Kebiasaan
Masalah-masalah yang sudah menjadi ketetapan syari’at islam , bahwa sang anak di ciptakan dengan fitrah tauhid yang murni, agama yang lurus, dan iman kepada Allah, hal ini sesuai dengan firman Allah sendiri :
34
a . • T# ‚% m -#
; "‚%
kebanyakan manusia tidak mengetahui” (Q.S Ar-ruum : 30)Kebenaran itu juga sesuai dengan sabda Rasulullah Saw yang di
“ setiap anak yang dilahirkan, ia dilahirkan dalam fitrah (kesucian) maka kedua orangtuanyalah yang akan menjadikan ia sebagai seorang Yahudi, Nasrani atau Majusi”
Yang di maksud dengan fitrah Allah adalah, bahwa manusia di ciptakan Allah mempunyai naluri beragama, yaitu agama tauhid, jika manusia tidak mempunyai agama tauhid, maka hal itu tidak wajar. Mereka tidak beragama tauhid hanyalah lantaran pengaruh lingkungan. Dari sini peranan pembiasaan, pengajaran dan pendidikan dalam pertumbuhan dan perkambangan anak akan menemukan tauhid yang murni, keutamaan-keutamaan budi pekerti, spiritual dan etika agama yang lurus.36
3. Pendidikan Dengan Nasehat
35
Imam Bukhari, Shahih Bukhari, Juz I, (Beirut : Dar al-Kutb al-Ilmiyah, 1992), hlm.421.
36
Metode lain yang penting dalam pendidikan, pembentukan keimanan, mempersiapkan moral, spiritual dan sosial anak adalah pendidikan dengan pemberian nasehat. Nesehat ini dapat membukakan mata anak-anak pada hakekat sesuatu, dan mendorongnya menurut situasi luhur, dan menghiasinya dengan ahlak yang mulia, dan membekalinya dengan prinsip-prinsip Islam. Maka tak heran kita mendapatkan al-Qur'an memakai metode ini yang berbicara kepada jiwa, dan mengulang-ngulangnya dalam beberapa ayat dan tempat.37
Dibawah ini adalah contoh ayat dari berulang-ulangnya al-Qur'an dalam menuturkan nasehat dan peringatan: memberi pelajaran kepadanya, “hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezhaliman yang besar dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu, hanya kepada-Kulah kembalimu. Dan jika keduanya memeaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuamu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya dengan baik dan ikutilah
37
jalan orang yang kembali kepada-Ku kemudian hanya kapada-Kulah kembalimu, maka beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. (Luqman berkata): “ hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada di dalam batu atau langit atau didalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membelasnya). Seseungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui. Hai anakku, dirikanlah shalat dan snuruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)”. (QS. 31:13-17)
4. Pendidikan Dengan Memberikan Perhatian
Pendidikan dengan memberikan perhatian adalah merupakan pendidikan yang sangat subyektif, di mana pendidikan seperti ini akan nampak berhasil ketika masing- masing individu mempunyai quota perhatian yang sangat besar dan mampu di aplikasikan dalam pendidikan anak. Karena bagaimanapun anak masih ingin selalu di perhatikan dalam hal tindakanya.
Dibawah ini beberapa nas tentang keharusan dalam memperhatikan dan mengontrol diri sendiri, keluarga dan lingkungannya :
'; 8A"# • T# EX)'5 ,'N .E ,'Nw' )'5 ) D *@¨# aƒ* *
a .
R D…* D R)'.F"* ,E D D + R)PF*-d X Z '©rc B:NŽrD
_
ª A #
p
(
Hai orang-orang yang beriman perilaharalah dirimu dan keluargamudari apai neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, yang tyidak mendurhakai Allah terhadap apa yag diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan-Nya .(At-Tahrim :6)
5. Pendidikan Dengan Memberikan Hukuman
al-Khamsah” (lima keharusan). Yakni “menjaga agama, menjaga jiwa, menjaga kehormatan, menjaga akal dan menjaga harta benda”. Dan mereka berkata, “sesungguhnya semua ada dalam peraturan Islam, hukum Islam, prinsip-prinsip dan tasry’, semua ini berrtujuan nutuk menjaga keseluruhan ini.38
Secara teoritik pola pendidikan yang di pakai oleh Nasih ulwan tidak jauh berbeda dengan isi kandungan Hadits tersebut di atas. Dalam kandungan Hadits selain dengan pola hukuman terdapat pula pola-pola pendidikan anak usia pra baligh yaitu : pola-pola peringatan. Hadits tersebut di atas menunjukan bahwa ketika anak sudah mencapai usia tujuh tahun orang tua di suruh untuk memerintahkan shalat kepada anaknya, ini adalah merupakan pola peringatan atau memberi nasehat kepada anaknya untuk melaksanakan shalat yang merupakan amalan wajib bagi orang Islam ketika baligh nanti. Yang kedua adalah pola pembiasaan, kenapa orang tua di anjurkan untuk memerintahkan anaknya untuk shalat pada usia tujuh tahun, tidak lain ini karena anak nantinya ketika sudah mencapai usia baligh sudah terbiasa dengan shalat yang mana shalat ketika sudah baligh hukumnya adalah wajib. Yang ketiga adalah pola pendidikan anak dengan keteladanan, bagaimanapun ketika orang tua memerintahkan apapun kepada anaknya, maka orang tua harus bisa menjadi figur anaknya dengan baik sehingga anaknya dalam menjalankanya akan senang dan tenang.
38