• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jurnalisme Investigasi dalam Film (Analisis Wacana Jurnalisme Investigasi dalam Film “State of Play”)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Jurnalisme Investigasi dalam Film (Analisis Wacana Jurnalisme Investigasi dalam Film “State of Play”)"

Copied!
178
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

i

JURNALISME INVESTIGASI DALAM FILM

(Analisis Wacana Jurnalisme Investigasi dalam Film “State of Play)

Oleh:

BARLIAN ANUNG PRABANDONO

D0206040

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Syarat Guna

Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Komunikasi pada Fakultas Ilmu Sosial dan

Ilmu Politik Jurusan Ilmu Komunikasi

JURUSAN ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

(2)

commit to user

(3)

commit to user

(4)

commit to user

iv

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul:

JURNALISME INVESTIGASI DALAM FILM

(Analisis Wacana Jurnalisme Investigasi dalam Film “State of Play)

Adalah karya asli saya dan bukan plagiat baik secara utuh atau sebagian serta

belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar akademik di institusi lain.

Apabila ada footnote atau kutipan dari buku atau pendapat lain, sudah dikutip

menurut tata cara penulisan ilmiah. Saya bersedia menerima akibat dari

dicabutnya gelar sarjana apabila ternyata di kemudian hari terdapat bukti-bukti

yang kuat, bahwa karya saya tersebut ternyata bukan karya saya yang asli atau

sebenarnya.

Surakarta, 8 Agustus 2012

Barlian Anung Prabandono

(5)

commit to user

v

MOTTO

Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan”(6)

Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan

sungguh-sungguh (urusan) yang lain(7)

(6)

commit to user

vi

PERSEMBAHAN

Skripsi ini aku persembahkan untuk:

(7)

commit to user

vii

KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah

melmpahkan rahmat dan Hidayah-Nya, karena hanya atas kehendak-Nya, skripsi

dengan judul Jurnalisme Investigasi dalam Film (Analisis Wacana Jurnalisme

Investigasi dalam Film “State of Play”) dapat diselesaikan dengan baik.

Penelitian untuk skripsi ini bermula dari ketertarikan penulis untuk

mengetahui lebih banyak mengenai wacana jurnalisme investigasi dalam film

“State of Play”.

Penyelesaian skripsi ini tentunya tidak lepas dari bantuan berbagai pihak,

oleh sebab itu pada kesempatan kali ini penulis hendak menyampaikan ucapan

terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Prof. Drs. Pawito, Ph.D selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Sebelas Maret (FISIP UNS) Surakarta.

2. Dra. Prahastiwi Utari, Msi Ph. D selaku Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi

FISIP UNS.

3. Prof. Drs. Pawito, Ph.D selaku Dosen Pembimbing skripsi, yang telah

bersedia memberikan bimbingan, ilmu, arahan, dan masukan pada pembuatan

skripsi saya.

4. Team penguji (Drs. Alexius Ibnu Muridjal, M.Si, Drs. Aryanto Budhy, M.Si,

dan Prof. Drs. H. Pawito, Ph.D) yang telah memacu skripsi ini menjadi lebih

(8)

commit to user

viii

5. Semua staf pengajar dan karyawan di Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP UNS.

Atas ilmu, pengetahuan, pembelajaran, dan kerjasama yang baik.

6. Untuk kedua orang tua saya, keluarga besar, dan kerabat.

7. Eka Nada Shofa Alkhajar atas arahan dan diskusi yang baik.

8. Komunikasi FISIP UNS angkatan 2006 atas lingkungan belajar yang baik.

9. Rochmat Fajri Susetyo sang empunya MARKAS dan teman-teman yang

bernaung di MARKAS itu sendiri atas lingkungan pergaulan serta hubungan

perkawanan yang baik.

10.Sahabat, sohib, rekan, tetangga, dan konco baik dunia nyata ataupun maya

yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu atas proses menjadi manusia yang

lebih baik.

11.Nikky Fardhani atas hubungan hati yang baik.

Peneliti menyadari masih banyak kekurangan dalam skripsi ini. Untuk itu,

kritik dan saran selalu diharapkan untuk perbaikan ke depan. Semoga karya

sederhana ini bermanfaat bagi banyak pihak.

Surakarta, 8 Agustus 2012

(9)

commit to user

ix

ABSTRAK

Barlian Anung Prabandono, D0206040, Wacana Jurnalisme Investigasi dalam film (Analisis Wacana Jurnalisme Investigasi dalam film

“State of Play”), Skripsi, Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial

dan Ilmu Politik, Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2012.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui wacana-wacana apa saja yang

dikemas dalam film “State of Play”, bagaimana wacana Jurnalisme Investigasi

dikonstruksi oleh komunikator film serta faktor apa saja yang menjadi pendorong maupun penghambat Jurnalisme Investigasi. Objek penelitian ini adalah film

“State of Play” yang diluncurkan oleh Universal Studio pada 17 April 2009 silam. Jurnalisme investigasi mengungkap fakta dari kasus yang sengaja disembunyikan. Membutuhkan kegigihan dan keberanian dalam melakukan kerja investigasi. Hal ini dikarenakan adanya pihak yang tidak ingin kasus yang melibatkan pihak tersebut terungkap kebenarannya. Film adalah media yang efektif dibandingkan dengan media massa lainnya. Film mampu menyuguhkan audio dan visual secara bersamaan sehingga khalayak mampu lebih mudah dalam menangkap pesan yang disampaikan. Oleh karena itu menarik untuk meneliti pesan dalam sebuah karya audio visual berupa film.

Penelitian ini merupakan jenis penelitian interpretif – kualitatif dengan

menggunakan pendekatan subjektif yang mengasumsikan bahwa pengetahuan bersifat tidak tetap melainkan bersifat interpretif yang memberi peluang yang besar bagi peneliti dalam melihat dan menggambarkan objek penelitian secara detail. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah model analisis wacana Van Dijk yang sering disebut kognisi sosial. Pendekatan ini dipilih karena model Van Dijk juga melihat bagaimana struktus sosial, dominasi, dan kelompok kekuasaan yang ada dalam masyarakat, serta bagaimana pikiran serta kesadaran yang membentuk dan berpengaruh besar terhadap teks tertentu. Dengan melihat bagaimana bangunan struktur kebahasaan tersebut, analisis wacana lebih bisa melihat makna yang tersembunyi dari konstruksi wacana dalam suatu teks.

Strategi wacana komunikator dalam film ini dapat ditemukan melalui pisau analisis wacana Van Dijk yang meliputi elemen Tematik, Skematik, dan Semantik. Analisis dalam elemen tersebut memerlukan penyesuaian, hal ini karena teks tertulis berbeda dengan teks pada film. Strategi wacana yang dilakukan, komunikator film ini berhasil menciptakan keterkaitan antara satu wacana denggan wacana yang lain sehingga kesimpulan akhir dalam benak khalayak adalah wacana jurnalisme investigasi.

(10)

commit to user

x ABSTRACT

Barlian Anung Prabandono, D0206040, Wacana Jurnalisme Investigasi dalam film (Analisis Wacana Jurnalisme Investigasi dalam film

“State of Play”), Skripsi, Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial

dan Ilmu Politik, Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2012.

This study aims to determine what are the discourses that are packed in the film "State of Play", how the discourse constructed by the communicator Investigative Journalism and the film becomes what factors driving and inhibiting Investigation Journalism. Object of this study is the film "State of Play" was released by Universal Studio on 17 April 2009 back.

Investigative journalism is an interesting journalistic masterpiece. Investigative journalism uncover the facts of the case are deliberately hidden. Requires persistence and courage in doing investigative work. This is because the parties do not want a case involving the truth was revealed. The film is an detail the research object. The method of analysis used in this study is a model of discourse analysis is often referred to Van Dijk social cognition. This approach was chosen because the model of Van Dijk also look at how social struktus, domination, and power groups in society, and how the mind and consciousness that shape and influence on a particular text. By looking at how the building structure of language, discourse analysis is more able to see the hidden meaning of the construction of discourse in a text.

Strategies of discourse communicator in this movie can be found through the analysis of discourse Van Dijk knife which includes thematic elements, Schematic, and Semantics. Analysis of the elements requires adjustment, this is because the text is different from the written text on the film. Through the discourse strategies that do, this film managed to create the communicator link between the discourse denggan discourse of the other so the final conclusion in the minds of audiences is the discourse of investigative journalism.

(11)

commit to user

xi DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERNYATAAN ... iv

HALAMAN MOTTO ... v

HALAMAN PERSEMBAHAN. ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

ABSTRAK ... ix

ABSTRACT ... x

DAFTAR ISI ... xi

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 2

B. Rumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 9

D. Manfaat Penelitian ... 9

E. Telaah Pustaka ... 9

E.1. Komunikasi Sebagai Proses Pertukaran Makna ... 10

E.2. Film Sebagai Medium Komunikasi ... 12

E.3 Hubungan Wacana Dengan Film ... 15

(12)

commit to user

xii

E.4.1 Pengertian Jurnalistik ... 19

E.5 Reportase Investigasi dalam Jurnalistik ... 23

E.5.1 Pengertian Reportase Investigasi ... 23

E.5.2 Ciri Jurnalisme Investigasi ... 29

E.5.3 Tujuan dan Sifat Pelaporan Junalisme Investigasi . 36 F. Metode Penelitian ... 41

F.1 Penelitan Terdahulu ... 41

F.2 Jenis Penelitian ... 44

F.3 Subyek Penelitan ... 45

G. Sumber Data ... 46

H. Teknik Pengumpulan Data ... 46

I. Teknik Analisis Data ... 46

J. Validitas Data ... 57

BAB II. DESKRIPSI LOKASI A. Deskripsi Film ... 59

B. Sinopsis ... 60

C. Keterangan Film ... 63

D. Casting Film ... 64

E. Pemeran Film ... 64

F. Biografi dan Portofolio Sutradara Kevin Mc’Donald ... 67

(13)

commit to user

xiii

A.1 Mengembangkan Fakta Dangerous Project ... 70

A.1.1 Investigasi Sebagai Pengungkap Fakta yang Tersembunyi... ... 71

A.1.2 Kerja Investigasi yang Berkesinambungan dan Tidak Cepat Puas Terhadap Fakta Awal yang Diperoleh... ... 84

A.2 Penelusuran Fakta Material dan Saksi Kunci ... 91

A.2.1 Penelusuran Bukti-bukti yang Dilakukan Jurnalis Investigasi dalam Film “State of Play”... ... 91

A.2.2 Kegiatan Wawancara yang Dilakukan Jurnalis Investigasi dalam Film “State of Play” ... ... 100

A.3 Tekanan Terhadap Jurnalisme Investigasi ... 119

A.3.1 Kekerasan Fisik Terhadap Jurnalis... 120

A.3.2 Tekanan dari Media... 123

A.3.3 Tekanan dari Pemerintah Terhadap Jurnalisme Investigasi... ... 127

B. Skematik Film “State of Play” ... 130

C. Semantik Film “State of Play” ... .. 141

C.1 Latar ... ... 141

C.2 Maksud ... ... 147

(14)

commit to user

xiv BAB IV. PENUTUP

A. Kesimpulan ... 159

(15)

commit to user

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dewasa ini informasi telah menjadi kebutuhan vital bagi masyarakat.

Dengan informasi, masyarakat menjadi tahu apa yang terjadi di sekitarnya. Butuh

media penyaluran informasi kepada masyarakat. Salah satu media yang dapat

menyampaikan informasi kepada masyarakat adalah melalui kegiatan jurnalistik

baik cetak maupun elektronik.

BM Mursito memaparkan jurnalistik sebagai kegiatan mengumpulkan dan

memproses fakta menjadi format informasi tertentu, serta menyiarkannya kepada

khalayak melalui media massa.1

Informasi yang disampaikan melalui kegiatan jurnalistik tidak boleh

dibuat-buat atau direkayasa. Jurnalistik berperan utama dalam proses penyebaran

informasi yang benar dan jujur kepada masyarakat. Jurnalistik harus mampu

mengungkap kebenaran yang sesungguhnya dan tidak memanipulasi informasi

yang disuguhkan kepada khalayak. Sehingga kebenaran tersebut dapat membuka

mata masyarakat dalam menentukan sikap dan langkah menjalani dinamika

kehidupan.

Permasalahan kemudian muncul ketika jurnalistik berusaha mengungkap

fakta namun ditutup-tutupi atau sengaja disembunyikan oleh pihak tertentu. Arus

informasi melalui kegiatan jurnalistik kepada masyarakat yang seharusnya

1

(16)

commit to user

2

tersalurkan dengan baik menjadi terhambat. Memerlukan strategi khusus dalam

mengungkap kebenaran tersebut. Dalam dunia jurnalistik, dikenal teknik

investigasi dalam pengungkapan sebuah kebenaran yang sengaja disembunyikan.

Teknik seperti ini sering disebut sebagai jurnalisme investigasi.

Istilah investigasi sendiri muncul pertama kali dari Nellie Bly ketika menjadi

reporter di Pittsburg Dispatch pada tahun 1890. Ia memulai gaya jurnalistik yang

menandakan pengisahan seorang wartawan tentang orang-orang biasa. Pelaporan

materi jurnalistik yang mengembangkan secara serial bagaimana kehidupan orang

kelas bawah di dalam kenyataan sehari-hari. Bahkan Bly harus bekerja di sebuah

pabrik untuk menyelidiki kehidupan buruh di bawah umur (anak-anak) yang

dipekerjakan dalam kondisi yang tidak baik tersebut.2

Dalam sejarah pers Indonesia, Harian Indonesia Raya dianggap koran

pertama yang melakukan reportase investigasi ketika mereka membongkar adanya

komite yang menyediakan wanita penghibur bagi para peserta Konferensi Asia

Afrika pada April 1955. Komite tersebut bernama Hospitality Committee.3

Jurnalisme investigasi diposisikan sebagai level teratas dalam tingkatan

kesulitan dalam jurnalistik. Berita-berita yang berdasarkan investigasi ini sering

disebut dengan istilah berita eksklusif.4 Hal ini tidak berlebihan karena sifat

peliputannya yang berbeda dari peliputan reguler. Dalam melakukan investigasi,

jurnalis harus mampu mengungkap fakta dari sebuah kasus yang tersembunyi

maupun sengaja ditutup-tutupi. Sikap yang independen dibutuhkan agar berita

yang disajikan terbebas dari pengaruh apapun. Pengaruh tersebut dapat berupa

(17)

commit to user

3

tekanan pemerintah, kepentingan partai politik, tekanan golongan, kekuatan

mayoritas, subyektifitas pribadi, maupun tekanan dari media tempat sang jurnalis

bekerja.

Jurnalis atau wartawan investigasi ada di antara kepentingan dan dinamika

politik; berada di antara berbagai kepentingan menuntut jurnalis investigasi untuk

mengambil sikap yang netral dan menampilkan berita secara obyekif. Sikap

obyektif mengharamkan adanya keberpihakan dan mengutamakan prinsip cover

both side yaitu memberikan porsi yang sama terhadap kedua belah pihak. Jurnalis

investigasi harus mampu mengetengahkan berita yang utuh, benar, jujur, dan

seorang jurnalis investigasi harus memiliki rasa ingin tahu yang tinggi terhadap

suatu peristiwa yang terjadi.

"Konon, investigasi itu seperti seks. Sebagian orang lebih suka langsung mempraktikkannya daripada berlama-lama membicarakan teorinya." 5

Sangat menarik ketika kita bisa melihat kinerja jurnalisme investigasi yang

tidak mudah layaknya peliputan regular. Hal ini karena jurnalisme investigasi

membutuhkan perjuangan wartawan dalam mengungkap sebuah kasus yang

tersembunyi dan sarat akan kepentingan. Film “State of Play” menggambarkan

kinerja jurnalis yaitu Cal Mc Affrey yang diperankan oleh Russell Crowe dan

Della Frye yang diperankan oleh Rachel Mc Adams dalam melakukan investigasi

suatu kasus. Mereka berusaha untuk mengungkap fakta secara obyektif.

5

(18)

commit to user

4

Film “State of Play” mengisahkan tentang jurnalisme investigasi dalam

mengungkap sebuah kasus pembunuhan. Awal dari film ini bercerita tentang 3

kasus pembunuhan yang ternyata saling berkaitan. Salah satu korban pembunuhan

adalah seorang kepala Peneliti Departemen Pertahanan Amerika yaitu Sonia

Baker. Kematian Sonia Baker berpengaruh pada Kepala Departemen Pertahanan

yaitu Steven Callin yang notabene adalah teman baik Cal sewaktu kuliah. Cal

memiliki pengalaman emosional yang buruk dengan istri Steven Callin karena

dulu ia pernah tidur dengan istri Steven. Skandal tersebut menciptakan tantangan

bagi sang jurnalis karena kepentingan pribadi dihadapkan pada independensi

liputan.

Pencarian informasi kepada narasumber merupakan syarat mutlak dalam

suatu investigasi. Itu pula yang dilakukan Cal yaitu dengan mencari narasumber

yang dirasa relevan dan mengetahui kejadian pembunuhan. Hal ini tidak mudah

mengingat tidak semua narasumber yang dihubunginya mau memberikan

penjelasan karena alasan ancaman yang akan diterima.

Dalam kegiatan investigasi yang dilakukan oleh Cal yang notabene adalah

seorang jurnalis dalam film “State of Play”, ia dihadapkan pada banyak tantangan

dan tekanan. Kasus yang ia ungkap ternyata mengancam eksistensi suatu

perusahaan jasa keamanan, pemerintahan, serta melibatkan orang penting di

dalam parlemen. Meski begitu, Cal tetap berusaha mengungkap fakta karena ia

merasa mengemban tanggung jawab kepada masyarakat yaitu kebenaran yang

sejati walaupun nyawa menjadi taruhan. Hal ini senada dengan pernyataan Bill

(19)

commit to user

5

dipandang memiliki kedudukan yang sama. Dalam pandangannya, Kovach dan

Rosenstiel menempatkan elemen jurnalisme “kebenaran” pada urutan yang

pertama.6 Sebagaimana yang dialami oleh Cal dalam film “State of Play”, ia

ditembak oleh pelaku pembunuhan dan harus terseret mobil karena berusaha

untuk menyelamatkan diri dari percobaan pembunuhan demi mengungkap

kebenaran.

Joseph Pulitzer, menurut Mitchell V.Charnley, menyatakan ada dua hal yang signifikan yang mendasari reportase investigatif: bahwa jurnalisme

harus membawa muatan pelayanan “pencerahan” (enlightened) publik dan

seringkali juga kegiatan fighting reporting (reportase perlawanan). Kerja

peliputan jurnalistik macam ini dimotivasi oleh “semangat, ketrampilan, keberanian, dan imajinasi”. Kerja peliputannya tidak puas dengan “kemendalaman penggalian” dan agresivitas serta kerap “berbahaya/berisiko tinggi” terhadap fakta-fakta yang tersembunyi.7

Jurnalis investigasi tak akan berjalan sendirian dalam melaksanakan

tugasnya. Terdapat instansi netral bernama media yang menaungi para jurnalis

dalam bekerja. Kita tidak boleh lupa bahwa media massa merupakan perusahaan

yang membutuhkan keuntungan agar tetap bertahan dan berkembang. Mereka

membutuhkan ketepatan waktu dan kecepatan jurnalis dalam peliputan. Bahkan

tak jarang media memberikan tekanan kepada jurnalis dalam pemberian tenggat

waktu penerbitan berita kepada wartawannya agar keuntungan tetap mengalir.

Dalam film “State of Play” ini, Cal diminta oleh sang editor di tempat ia bekerja

yaitu Washington Globe untuk menampilkan berita mengenai peristiwa

pembunuhan Sonia Baker sesuai tenggat waktu yang diberikan. Masalah muncul

ketika Calbelum menemukan siapa pembunuh dan apa yang sebenarnya terjadi di

(20)

commit to user

6

balik kasus Sonia Baker ketika tenggat waktu telah tiba. Washington Globe

membutuhkan berita untuk ditampilkan agar keuntungan tetap diperoleh. Di sisi

lain, Cal juga membutuhkan fakta untuk menguak kebenaran sejati dan

independen. Akhir dari film ini menyajikan investigasi seorang jurnalis bernama

Cal yang berusaha sangat keras menampilkan fakta sesungguhnya dengan

mengesampingkan tenggat waktu yang diberikan oleh pihak media. Baginya,

kebenaran lebih penting dari tenggat waktu dan cerita bohong. Ia menulis

kesimpulan dalam liputan berita investigasinya bahwa Steven Collin yang

notebene adalah teman baiknya menjadi otak dari pembunuhan Sonia Baker.

Penelitian ini ingin melihat bagaimana isu-isu jurnalisme investigasi

diwacanakan dalam film, dalam hal ini yang menjadi objek kajian adalah film

State of Play”. Film ini bisa dikatakan sebagai representasi dari jurnalisme

investigasi. Dinamika jurnalisme investigasi nampak kental ditampilkan dengan

kisah seorang jurnalis yang harus mempertahankan independensinya dalam

melakukan investigasi. Sang sutradara tentu memiliki maksud tersendiri dari film

garapannya mulai dari pemilihan cerita hingga jalan ceritanya. Oleh karena itu

analisis wacana berperan penting dalam pengungkapan makna-makna yang

terkandung dalam film ini. characteristise particular types of language in action. 8

8

(21)

commit to user

7

Wacana adalah istilah yang digunakan dalam linguistik untuk menggambarkan aturan dan konvensi yang mendasari penggunaan bahasa dalam bentangan panjang teks, lisan dan ditulis. (Semacam studi akademik disebut sebagai analisis wacana). Istilah ini juga digunakan sebagai istilah umum yang nyaman untuk merujuk kepada bahasa dalam tindakan dan pola yang mana karakteristik jenis tertentu mengenai bahasa dalam tindakan.

Analisis wacana, dalam arti paling sederhana adalah kajian terhadap satuan

bahasa di atas kalimat. Lazimnya, perluasan arti istilah ini dikaitkan dengan

konteks lebih luas yang mempengaruhi makna rangkaian ungkapan secara

keseluruhan. Para analis wacana mengkaji bagian lebih besar bahasa ketika

mereka saling bertautan. Beberapa analis wacana mempertimbangkan konteks

yang lebih luas lagi untuk memahami bagaimana konteks itu mempengaruhi

makna kalimat.

Analisis wacana melihat pada “bagaimana” dari suatu pesan atau teks

komunikasi. Analisis wacana bukan hanya mengetahui bagaimana isi teks berita,

tetapi juga bagaimana pesan itu disampaikan. Selain itu, analisis wacana lebih

bisa melihat makna yang tersembunyi dari sebuah teks melalui struktur

kebahasaannya. 9 Dengan menggunakan metode analisis wacana, peneliti

menganalisis unsur teks film, sehingga dapat diketahui apakah film ini mampu

mengusung wacana atau pesan-pesan tentang jurnalisme investigasi kepada

khalayaknya.

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang seperti yang sudah penulis utarakan diatas dapatlah

kiranya dirumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut:

(22)

commit to user

8

1. Bagaimana wacana jurnalisme investigasi dalam film “State of Play”?

2. Faktor-faktor apa sajakah yang mendorong dan menghambat jurnalisme

investigasi dalam film “State of Play”?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin penulis capai melalui penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui bagaimana wacana jurnalisme investigasi

direpresentasikan dalam film “State of Play”.

2. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mendorong dan

menghambat jurnalis melakukan investigasi dalam film “State of Play”.

D. Manfaat Penelitian

1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran terkait dengan

bagaimana wacana isu-isu jurnalisme investigasi yang direpresentasikan

dalam bentuk adegan dan dialog.

2. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi pertimbangan dalam pengambilan

keputusan terkait permasalahan jurnalisme investigasi.

3. Penelitian ini dapat memberikan gambaran kepada para sineas untuk dapat

memahami bahwa jurnalisme investigasi dapat mengungkap sebuah fakta

yang tersembunyi sehingga dapat mendorong sineas Indonesia utuk lebih

menggambarkan film sebagai wacana konstruksi sosial.

(23)

commit to user

9

1. Komunikasi Sebagai Proses Pertukaran Makna

Manusia melakukan interaksi antar sesama yang sifatnya saling

melengkapi dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Hal ini dilakukan karena

manusia tidak dapat hidup sendiri dan memerlukan orang lain. Untuk

memperlancar interaksi sosial tersebut maka dibutuhkan komunikasi sebagai

kegiatan pertukaran pesan antara manusia.10

Istilah komunikasi atau dalam bahasa Inggris communication berasal

dari kata Latin communication, dan berasal dari kata communis yang

memiliki arti yaitu sama. Komunikasi akan terlaksana dengan lancar apabila

terdapat kesamaan pengertian antara bentuk komunikasi yang digunakan dan

makna yang dimaksudkan.11

Dalam bukunya, John Fiske membagi studi komunikasi menjadi dua

mazhab utama yang sering dijadikan landasan berpikir para ilmuwan

komunikasi dalam meneliti berbagai fenomena komunikasi.12 Pertama, ia

mengkategorikan komunikasi sebagai suatu transmisi pesan. Fiske tertarik

mengenai bagaimana pengirim dan penerima mengkonstruksi pesan (encode)

dan menerjemahkannya (decode), dan dengan bagaimana transmiter

menggunakan saluran dan media komunikasi. Lebih lanjut Fiske melihat

komunikasi sebagai suatu proses dimana seorang pribadi dapat

mempengaruhi perilaku atau state of mind pribadi yang lain. Apabila efek

tersebut tidak sama atau lebih kecil daripada yang diharapkan, maka hal

10

Skripsi Muhammad Fanni Ikhsan berjudul Potret Perjuangan Perempuan dalam Mengahadapi

Ketidakadilan yang Direpresentasikan dalam Film Perempuan (Analaisis Wacana Perjuangan Perempuan dalam Film Perempuan “Perempuan Punya Cerita”). UNS Surakarta.

11

Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 1999, hal. 69-71.

(24)

commit to user

10

tersebut dapat dinilai sebagai kegagalan komunikasi. Kemudian hal tersebut

dapat ditelaah dengan melihat tahap-tahap dalam proses tersebut untuk

mengetahui dimana kegagalan tersebut terjadi. Mahzab ini disebut oleh Fiske

sebagai “Mahzab Proses”.13

Kedua, Fiske melihat komunikasi sebagai produksi dan pertukaran

makna, hal ini berkenaan dengan bagaimana pesan atau teks berinteraksi

dengan orang-orang guna menghasilkan makna yakni peran teks dalam

kebudayaan kita. Terdapat penggunaan istilah-istilah seperti pertandaan atau

signification, dan tidak memandang kesalahpahaman sebagai bukti yang

penting dari kegagalan komunikasi. Hal itu bisa saja terjadi karena adanya

perbedaan budaya antara pengirim dan penerima.14 Bagi mahzab ini, pesan

merupakan suatu konstruksi tanda yang melalui interaksinya dengan

penerima kemudian menghasilkan makna. Studi komunikasi dalam mashab

ini adalah studi tentang teks dan kebudayan. Pengirim yang didefinisikan

sebagai transmiter pesan menjadi turun arti pentingnya. Penekanan bergeser

kepada teks dan bagaimana teks itu “dibaca”. Terjadi proses penemuan

makna ketika pembaca sedang berinteraksi atau bernegoisasi dengan teks.

Munculnya negosiasi karena pembaca membawa aspek-aspek pengalaman

budayanya untuk berhubungan dengan kode dan tanda yang menyusun teks

tersebut. Pembaca yang memiliki pengalaman sosial berbeda atau dari budaya

yang berbeda mungkin menemukan makna yang berbeda pula ketika

(25)

commit to user

11

dihadapkan dengan teks yang sama. Maka dari itu, hal itu tidak dapat dinilai

sebagai kegagalan komunikasi.15

Dari uraian di atas maka disimpulkan bahwa pesan bukanlah sesuatu

yang dikirim dari A ke B akan tetapi suatu elemen di dalam sebuah hubungan

terstruktur beserta elemen-elemen lainnya termasuk realitas eksternal dan

produser/pembaca. Memproduksi dan membaca teks dilihat sebagai proses

yang peralel, jika tidak identik, karena mereka menduduki tempat yang sama

dalam hubungan yang terstruktur ini. Model struktur ini dapat digambarkan

sebagai sebuah segitiga dengan anak panah yang menunjukan interaksi yang

konstan dan dinamis. 16 Di dalam mashab inilah penerima atau pembaca teks

dipandang memainkan peran yang lebih aktif dibandingkan kebanyakan

model mazhab komunikasi proses yang lebih menonjolkan pihak pengirim

pesan teks.

2. Film Sebagai Medium Komunikasi

Media komunikasi manusia dan segala karakteristiknya akan terus

berubah dan berkembang sesuai dengan tekanan-tekanan politik, ekonomi,

sosial, dan budaya yang ada di masyarakat. Selain itu salah satu unsur yang

membuat media terus berkembang adalah kemajuan dari teknologi.17

Perangkat audio visual memiliki arti bahwa perangkat tersebut adalah

perangkat yang bisa diterima menggunakan indera pendengar maupun indera

penglihatan. Singkatnya, alat tersebut dapat didengar dan dilihat. Melalui

15Ibid. 16Ibid, hal.11. 17

Skripsi Muhammad Fanni Ikhsan berjudul Potret Perjuangan Perempuan dalam Mengahadapi

(26)

commit to user

12

perangkat tersebut, komunikasi bisa terjalin lebih efektif. Perangkat audio

visual meliputi gambar, foto, slaid, model, pita kaset tape recorder, film

bersuara dan televisi.18

Larry Gross, di dalam jurnal Sol Worth and The Study of Visual

Communication, pada Chapter One : The Development of a Semiotic of Film

yang dapat diakses di http://astro.temple.edu/~ruby/wava/worth/sintro.html,

film menciptakan tanda (sign) dan simbol dengan makna (pesan) tertentu.

yang komunikatif. Film dianggap bagian penting dari sistem yang

dipergunakan oleh para individu dan kelompok untuk mengirim dan

menerima pesan (send and receive messages).20

Makna yang dimiliki oleh film berasal dari hubungan antara pembuat

film (bisa dikatakan produsen film, bisa produser atau sutradara) dengan

penonton dari film itu sendiri.21 Hal ini bisa dimaknai bahwa makna bukan

berasal dari film itu sendiri. Pemaknaan film dibentuk melalui proses

produksi sebuah film terkait dengan ”pengirim”, dimana proses produksi ini

akan menentukan bagaimana pesan (message) yang akan disampaikan kepada

18

Ibid.

19

Eka Nada Sofa Al Khajar dalam skripsinya yang berjudul Patriotisme Dalam Film, UNS Surakarta tahun 2007.

20

Opcit.

(27)

commit to user

13

penonton atau ”penerima”. Jakobson mengemukakan bahwa pesan yang

dibawa pastilah mengacu pada sesuatu diluar pesan itu sendiri. Hal ini ia

sebut dengan ”konteks”. Jakobson juga menambahkan dua faktor lain yakni

”kontak” sebagai sarana saluran fisik dan koneksi fisiologis antara pengirim

dan penerima; dan ”kode”, sebagai sistem makna.22

Context Message

Addresser---Addresse

Contact Code

Gambar 1.1.

Model Komunikasi Jakobson

Berdasar model di atas maka bisa dilihat bahwa sebuah film

mengandung unsur komunikasi karena selain terkait dengan aktor utama

komunikasi yaitu dalam hal ini pembuat film dan penonton, terdapat juga

konteks acuan terhadap realitas. Sehingga seringkali film mengisahkan

sebuah realitas sosial dalam masyarakat atau kondisi saat film itu dibuat.

Bentuk hubungan antara aktor pun terjalin karena penonton seolah-olah

mengalami hal yang diceritakan dalam film.23 Film memiliki sistem makna

(28)

commit to user

14

tersendiri dimana melalui sistem makna tersebut maka pesan yang terdapat

dalam film nisa dikomunikasikan. Hal ini lantas bisa juga dikaitkan dengan

model komunikasinya Jakobson 24

3. Hubungan Wacana dengan Film

Wacana merupakan terjemahan dari bahasa Inggris “discourse”. Di

beberapa kamus wacana atau discourse secara harfiah memiliki beberapa

artian, yaitu : 1) komunikasi pikiran dengan kata-kata, ekspresi ide-ide atau

gagasan-gagasan, konversasi atau percakapan 2) komunikasi secara umum

terutama sebagai suatu subjek studi atau pokok telaah 3) risalat tulis, disertasi

formal, kuliah, ceramah, khotbah.25

James P. Gee memeliki gagasan berupa teori discourse yang sangat

relevan dengan teori komunikasi. Ia membedakan discourse ke dalam dua

jenis: Yang pertama adalah “discourse” (d kecil) yang melihat bagaimana

bahasa digunakan pada tempatnya (“on site”) untuk memerankan kegiatan,

pandangan, dan identitas atas dasar-dasar linguistik. Kemudian yang kedua

adalah “Discourse” (D besar) yang merangkaikan unsur linguistik pada

“discourse” (dengan d kecil) bersama-sama unsur non-linguistik

(non-language “stuff”) untuk memerankan kegiatan, pandangan, dan identitas.

Bentuk non-language “stuff” ini bisa berupa kepentingan ideologi, politik,

ekonomi, dan sebagainya. Komponen non-language “stuff” itu juga yang

membedakan cara beraksi, berinteraksi, berperasaan, kepercayaan, penilaian

(29)

commit to user

15

satu komunikator dari komunikator lainnnya dalam mengenali atau mengakui

diri sendiri dan orang lain.26

Secara ilmiah teoritik beberapa pakar telah mendefinisikan perdebatan

tentang wacana atau discourse ini. Fiske mendefinisikan “discourse” atau

wacana sebagai bahasa atau sistem representasi yang dibangun secara sosial

dalam suatu tertib untuk membuat dan mengedarkan seperangkat makna yang

koheren tentang suatu topik penting. Sedangkan Roger Fowler

mendefinisikan wacana sebagai komunikasi lisan atau tulisan yang dilihat

dari titik pandang kepercayaan, nilai, dan kategori yang masuk di dalamnya,

kepercayaan di sini mewakili pandangan dunia, sebuah organisasi atau

representasi dari pengalaman.27

Merunut pada pendapat Fiske dan Roger Fowler di atas maka wacana

dapat berupa komunikasi lisan atau komunikasi ujaran dan komunikasi tulis.

Yang menjadi faktor penting adalah bentuk komunikasi tersebut harus berupa

sistem representasi yang dibangun secara sosial untuk mengedarkan suatu

makna koheren tentang suatu topik. Karena itu, sebuah wacana harus punya

dua unsur penting, yakni kesatuan (unity) dan kepaduan (coherence).28

Seringkali banyak orang terpaku jika wacana hanya melingkupi

komunikasi tulisan saja padahal titik singgung utama dari sebuah wacana

adalah adanya pemakaian bahasa. Dalam kenyataan, wujud dari bentuk

wacana itu dapat dilihat dalam beragam buah karya si pembuat wacana:

26

Ibid.

27Ibid. 28

(30)

commit to user

16

1. Text (wacana dalam wujud tulisan/garfis) antara lain dalam wujud

berita, features, artikel opini, cerpen, novel, dsb.

2. Talk (wacana dalam wujud ucapan), antara lain dalam wujud

rekaman wawancara, obrolan, pidato, dsb.

3. Act (wacana dalam wujud tindakan) antara lain dalam wujud lakon

drama, tarian, film, defile, demonstrasi, dsb.

4. Artifact (wacana dalam wujud jejak) antara lain dalam wujud

bangunan, lanskap, fashion, puing, dsb. 29

Dalam wacana terdapat unsur teks dan konteks yang tidak bisa

dipisahkan. Ia mengartikan teks sebagai semua bentuk bahasa, bukan hanya

kata-kata yang tercetak di lembar kertas, tetapi juga semua bentuk ekspresi

komunikasi, ucapan, musik, gambar, efek suara, citra dan sebagainya.

Konteks memasukkan semua situasi dan hal yang berada di luar teks dan

mempengaruhi pemakaian bahasa, seperti partisipan dalam bahasa, situasi di

mana teks tersebut diproduksi, fungsi yang dimaksudkan, dan sebagainya.Hal

ini diungkapkan oleh Guy Cook.30

Graeme Turner dalam Film As Social Practice menyatakan bahwa,

wacana juga berada di media komunikasi film dimana terdapat unsur ekspresi

komunikasi berupa ucapan, musik, gambar, efek suara, dan citra. Film, TV,

dan periklanan akan menjadi target utama penelitian analisis teks karena

29 Opcit. 30

(31)

commit to user

17

dengan penelitian ini kebudayaan sosial akan terlihat dari interaksi sistem

tanda dan makna.31

Lebih lanjut film bukan berarti hanyalah sebuah media komunikasi

yang dapat dipahami hanya dari segi tekstualnya melainkan film juga sebagai

sarana perdebatan yang lebih luas mengenai representasi proses sosial yang

telah menghasilkan gambar, suara, tanda dan tujuan untuk sesuatu (dalam

wacana ini yang disebut dengan konteks). Film merupakan produk budaya

dan wujud praktek sosial di mana nilai yang terkandung dari sebuah film

dapat memberitahu kita tentang sistem dan proses sebuah budaya.32

Lebih lanjut Graeme Turner melihat makna film sebagai representasi

dari realitas masyarakat, bagi Turner, berbeda dengan film sekedar sebagai

refleksi dari realitas. Sebagai refleksi dari realitas, film sekadar memindah

realitas ke layar tanpa mengubah realitas itu. Sementara itu sebagai

representasi dari realitas, film membentuk dan menghadirkan kembali realitas

berdasarkan kode-kode, konvensi-konvensi, dan ideologi dari

kebudayaannya. Berbeda dengan fotografi statis, rangkaian gambar film

menciptakan imaji dan sistem penandaan. Menurut Van Zoest pada film

menggunakan tanda-tanda ikonis, yakni tanda-tanda yang menggambarkan

sesuatu.33

Pesan yang ingin dilihat dalam penelitian ini adalah bagaimana sebuah

film dapat merepresentasikan isu-isu jurnalisme investigasi. Sehingga dapat

31

Skripsi Muhammad Fanni Ikhsan berjudul Potret Perjuangan Perempuan dalam Mengahadapi

Ketidakadilan yang Direpresentasikan dalam Film Perempuan (Analaisis Wacana Perjuangan Perempuan dalam Film Perempuan “Perempuan Punya Cerita”). UNS Surakarta.

(32)

commit to user

18

dilihat apakah sebuah film mampu menciptakan wacana atau pesan-pesan

jurnalisme investigasi kepada khalayaknya.34

4. Jurnalistik

a. Pengertian Jurnalistik

Menurut Kustadi Suhandang, pengertian jurnalistik dari segi estimologi

terdiri dari dua suku kata, jurnal dan istik. Kata jurnal berasal dari bahasa

Perancis, journal, yang berarti catatan harian. Hampir sama bunyi ucapannya

dengan kata yang ditemukan dalam bahasa Latin, diurna yang berarti hari ini.

Sehubungan dengan kegiatan jurnalistik, pada zaman kerajaan Romawi Kuno

yang diperintah oleh Julius Caesar dikenal dengan istilah acta diurna yang

mengandung makna rangkaian akta (gerakan, kegiatan, dan kejadian) hari ini.

Adapun kata istik merujuk pada istilah estetika yang memiliki arti ilmu

pengetahuan tentang keindahan.35

Berdasar uraian di atas, Kustadi Suhandang mengartikan jurnalistik

secara estimologis sebagai suatu karya seni dalam hal membuat catatan

tentang peristiwa sehari-hari, karya mana memiliki nilai keindahan yang

dapat menarik perhatian khalayaknya sehingga dapat dinikmati dan

dimanfaatkan untuk keperluan hidupnya.36

Ia juga menambahkan bahwa jurnalistik adalah seni dan keterampilan

mencari, mengumpulkan, mengolah, menyusun, dan menyajikan berita

34

Disarikan dari skripsi Muhammad Fanny Ikhsan yang berjudul Potret Perjuangan Perempuan dalam Mengahadapi Ketidakadilan yang Direpresentasikan dalam Film Perempuan (Analaisis Wacana Perjuangan Perempuan dalam Film Perempuan “Perempuan Punya Cerita”).

(33)

commit to user

19

tentang peristiwa yang terjadi sehari-hari secara indah, dalam rangka

memenuhi segala kebutuhan hati nurani khalayaknya, sehingga terjadi

perubahan sikap, sifat, pendapat, dan perilaku khalayak sesuai dengan

kehendak para jurnalisnya.37

Jurnalistik, menurut Lislie Stephen, seperti dikutip Fraser Bond

dalam buku “ Pengantar Jurnalistik”, terdiri dari penulisan tentang hal

-hal yang penting yang tidak anda ketahui.38

Seperti yang dijelaskan Adinegoro yang dikutip Suhandang dalam

bukunya yang berjudul “Pengantar Jurnalistik”, jurnalistik adalah kepandaian

yang praktis, sedangkan publisistik adalah kepandaian yang ilmiah. Sebagai

kepandaian praktis, jurnalistik adalah salah satu obyek di samping

obyek-obyek lainnya dari ilmu publisistik, yang mempelajari seluk beluk penyiaran

berita-berita dalam keseluruhannya dengan meninjau segala saluran, bukan

saja pers, tapi juga radio, televisi, film, teater, rapat-rapat umum, dan segala

lapangan.39

Astrid S. Susanto melalui bukunya, Komunikasi Massa (1986:73)

mendefinisikan jurnalistik sebagai kejadian pencatatan dan atau

pelaporan serta penyebaran tentang kejadian sehari-hari.40

BM Mursito memaparkan jurnalistik sebagai kegiatan mengumpulkan

dan memproses fakta menjadi format informasi tertentu, serta menyiarkannya

kepada khalayak melalui media massa. Fakta di sini adalah berupa peristiwa,

fenomena, situasi, kondisi, atau kecenderungan yang benar-benar ada dalam

37Ibid.

38Mursito BM, Penulisan Jurnalistik, SPIKOM, Solo, 1999, hal. 3. 39Opcit hal.21.

(34)

commit to user

20

komunitas sosial. Sedangkan memroses fakta menjadi format tertentu adalah

menstruktur fakta menjadi suatu bentuk wacana baik bersifat audio, visual,

maupun audio visual.41

Senada dengan itu Onong Uchyana Effendy (1981:102)

menyatakan bahwa jurnalistik merupakan kegiatan pengolahan laporan

harian yang menarik minat khalayak, mulai dari peliputan hingga

penyebarannya kepada masyarakat. 42

Begitu juga A.W. Widjaja (1986:27) yang menyebutkan bahwa jurnalistik merupakan suatu kegiatan komunikasi yang dilakukan dengan cara menyiarkan berita ataupun ulasannya mengenai berbagai peristiwa atau kejadian sehari-hari yang aktual dan faktual dalam waktu yang

secepat-cepatnya.43

Djafar H. Assegaff, seorang wartawan senior Indonesia yang juga

mantan Duta Besar mendefinisikan jurnalistik sebagai “kegiatan untuk menyampaikan pesan/berita kepada khalayak ramai (massa), melalui

saluran media entah media tadi media cetak ataupun elektronika”. (Djafar

H. Assegaff, 1985:11)44

Lebih ringkas lagi Djen Amar, mantan Pimpinan Umum Harian

Indonesia Expres, mendefinisikan jurnalistik sebagai kegiatan

mengumpulkan, mengolah, dan menyebarkan berita kepada khalayak

seluas-luasnya dalam waktu yang secepat-cepatnya.45

Dalam bukunya yang berjudul Ihwal Jurnalistik, Rosihan Anwar

(1974:10) menceritakan bahwa di Amerika Serikat ada orang-orang yang

mengatakan bahwa, jurnalism is not a game, kewartawanan itu bukan

41Ibid.

42Kustadi Suhandang, Pengantar Jurnalistik, Nuansa, Bandung, 2004, hal.21. 43Ibid, hal 21-22.

(35)

commit to user

21

suatu permainan. Ia juga menjelaskan bahwa jurnalisme mempunyai tujuan sosial yang serius. Dengan menggunakan kemerdekaannya, pers di Amerika merupakan senjata yang paling berkuasa untuk menjaga dan melindungi kebebasan rakyat, membetulkan apa yang salah dan yang

tidak adil, serta memerangi kejahatan.46

Dalam buku Kustadi Suhandang, terdapat satu definisi yang lengkap

mengenai beberapa pendapat tokoh-tokoh di atas yaitu jurnalistik adalah seni

dan keterampilan mencari, mengumpulkan, mengolah, menyusun, dan

menyajikan berita tentang peristiwa yang terjadi sehari-hari secara indah,

dalam rangka memenuhi segala kebutuhan hati nurani khalayaknya.47

Dari beberapa uraian definisi di atas, terdapat beberapa persamaan yaitu

definisi-definisi tersebut tidak keluar dari ciri utama jurnalistik. Ciri-ciri

utama tersebut adalah tentang keterampilan dalam menyusun pemberitahuan,

penyampaian yang menarik perhatian, dan bertujuan untuk mempengaruhi

khalayak.

Ciri kegiatan jurnalistik memang ditandai oleh kegiatan menyampaikan

berita. Namun tidak setiap kejadian bisa dijadikan berita jurnalistik. Ada

ukuran-ukuran tertentu yang harus dipenuhi agar suatu kejadian atau

peristiwa dapat diberitakan pers. Inilah yang disebut sebagai kriteria layak

berita (news value, news worthy), yaitu layak tidaknya suatu kejadian dalam

masyarakat diberitakan oleh pers atau bernilainya kejadian tersebut bagi

pers.48

46Opcit. 47Opcit, 23. 48

(36)

commit to user

22

Secara umum kejadian yang dianggap memiliki nilai berita atau news

valuedan layak berita adalah yang mengandung satu atau beberapa unsur di

bawah ini :

1. Significance (penting), yaitu kejadian yang berkemungkinan

mempengaruhi kehidupan orang banyak, atau kejadian yang

mempunyai akibat terhadap kehidupan pembaca.

2. Magnitude (besar), yaitu kejadian yang menyangkut angka-angka yang

berarti bagi kehidupan orang banyak.

3. Timelines (waktu), yaitu kejadian yang menyangkut hal-hal yang baru

terjadi, atau baru dikemukakan.

4. Proximity (kedekatan), yaitu kejadian yang dekat bagi pembaca. Bisa

berupa kedekatan geografis maupun emosional.

5. Prominence (tenar), yaitu menyangkut hal-hal yang terkenal atau sangat

dikenal oleh pembaca.

6. Human interest (manusiawi), yaitu kejadian yang memberi sentuhan

perasaan bagi pembaca.49

b. Reportase Investigasi dalam Jurnalistik

1. Pengertian Reportase Investigatif

Dalam bukunya yang berjudul “Jurnalisme Investigasi”, Septiawan

Santana mengutip dari http://www.spatacus.schoolnet.co.uk pada bulan

Agustus tahun 2000 mengenai historical jurnalisme investigasi. Dalam

(37)

commit to user

23

buku tersebut dipaparkan bahwa istilah investigasi sendiri baru muncul

pertama kali dari Nellie Bly ketika menjadi reporter di Pittsburg Dispatch

pada tahun 1890. Ia memulai gaya jurnalistik yang menandakan

pengisahan seorang wartawan tentang orang-orang biasa. Pelaporan materi

jurnalistik yang mengembangkan, secara serial, bagaimana kehidupan

orang kelas bawah di dalam kenyataan sehari-hari. Bahkan Bly harus

bekerja di sebuah pabrik untuk menyelidiki kehidupan buruh di bawah

umur (anak-anak) yang dipekerjakan dalam kondisi yang tidak baik.50

Pernyataan Atmakusumah juga dikutip dalam buku ini. Menurut

Atmakusumah, reporting berasal dari asal kata latin reportare, yang

berarti "membawa pulang sesuatu dari tempat lain". Dijelaskan oleh

Atmakusumah bahwa bila dikaitkan ke dalam dunia jurnalisme, hal itu

menjelaskan seorang wartawan yang membawa laporan kejadian dari

sebuah tempat di mana telah terjadi sesuatu. Sementara investigative

berasal dari kata Latin vestigum, yang berarti "jejak kaki". Hal itu

menyiratkan pelbagai bukti yang telah menjadi suatu fakta,berbentuk data

dan keterangan, dari sebuah peristiwa.51

Ullmann dan Honeyman menggambarkan investigasi sebagai

hidung penciuman yang keras dari wartawan. Mereka

mengklasifikasikan dan mendefinisikannya, bahwa: kegiatan investigative reporting ialah sebuah reportase, sebuah kerja menghasilkan produk dan inisiatif, yang menyangkut hal-hal penting dari banyak orang atau organisasi yang sengaja merahasiakannya. Ada tiga elemen dasar yang mendorong kerja investigasi reporter, menurut Ullmann dan Honeyman, yakni: laporan investigasi bukanlah laporan yang dibuat oleh seseorang, subjek kisahnya meliputi sesuatu yang penting alasannya bagi pembaca atau pemirsa,

(38)

commit to user

24

dan menyangkut beberapa hal yang sengaja disembunyikan dari

hadapan publik.52

Definisi jurnalisme investigasi menurut Steve Weinberg dalam

bukunya The Reporter’s Handbook, An Investigator’s guide to Documents

and Technique adalah “reportase, melalui inisiatif sendiri dan hasil kerja

pribadi, yang penting bagi pembaca, pemirsa, dan pemerhati. Dalam

banyak hal, subjek yang diberitakan menginginkan bahwa perkara yang

berada dalam penyelidikan tetap tidak tersingkap”.53

Dikutip dari Chris White dari The Parliament Magazine di Brussels,

pekerjaan jurnalisme investigatif adalah pertama, tertuju untuk

mengungkapkan dan mendapatkan sebuah kisah berita yang bagus dan,

kedua, menjaga masyarakat untuk memiliki kecukupan informasi dan

mengetahui adanya bahaya di tengah kehidupan mereka.54

Septiawan Santana menambahkan bahwa kegiatan investigasi

menjadi tertuju kepada penelusuran dan penemuan sesuatu yang dianggap

tertutup. Arah kerja liputannya menjadi arah kegiatan. Yaitu bagaimana

para pencari info mendapatkan informasi yang dibutuhkan, bagaimana dan

di mana informasi dapat dievaluasi. Santana membenarkan bahwa kegiatan

reportase investigasi terlibat dengan upaya yang berbahaya, dikarenakan

upaya menembus pengaturan yang sengaja ditutup-tutupi.55

52Ibid 135-136.

53 Budyatna M.A, Muhammad, Jurnalistik Teori & Praktik, ROSDA, bandung, 2006, hal. 258. 54Opcit 136.

(39)

commit to user

25

Senada dengan Santana, pernyataan Goenawan Mohamad, wartawan

senior Indonesia, yang dikutip oleh Santana menyatakan bahwa ia melihat

upaya reportase investigatif yang tengah bergerak mengikuti naluri

penciuman untuk membuka upaya pihak-pihak yang menutup-tutupi suatu

kejahatan. Mereka terus menelusuri pelbagai dokumen, yang terkait

dengan kejahatan tersebut, dan mencoba mempelajarinya, untuk

menemukan adanya tindak kejahatan dilakukan di balik sebuah

peristiwa.56

Peliputan investigasi adalah sebuah proses, tidak bisa dilakukan

secara instan. Karena investigasi bertujuan untuk menguak sesuatu yang

belum terungkap dan berbeda dengan peliputan biasa. Hal ini diungkapkan

oleh Saur Hutabarat, Ketua Dewan Redaksi Media Group dan mantan

jurnalis Tempo pada kuliah umum di FISIP USU, Kamis (14/6/2012).57

"Reportase investigasi adalah pekerjaan membuka pintu dan

mulut yang tertutup rapat," tulis Rivers dan Mathews.58

Jurnalisme investigasi mengenal istilah penilaian post factum, yaitu

penilaian tentang adanya unsur sengaja “disembunyikan” atau

“dirahasiakan” oleh pelaku dari beberapa kasus apabila liputan telah tuntas

dikerjakan karena tidak semua kasus kejahatan terhadap publik sengaja

“dirahasiakan” atau “disembunyikan.”59

56Opcit. 57

http://www.tribunnews.com/2012/06/14/investigasi-tak-bisa-instan diakses pada tanggal 04/08/2012 pukul 16.24 WIB.

5858Septiawan Santana K, Jurnalisme Investigasi, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2004, hal. 137. 59

(40)

commit to user

26

Menurut Robert Greene yang sering disebut sebagai bapak

investigasi modern, menegaskan pentingnya elemen “dirahasiakan oleh

mereka yang terlibat.” Ini artinya bila ada kejahatan yang sengaja ditutup

-tutupi, maka itulah pintu masuk untuk jurnalisme investigasi.60

Menurut Santana, pekerjaan reportase investigasi terkait dengan

kegiatan mencari informasi yang tersembunyi untuk dilaporkan kepada

masyarakat. Ciri peliputannya meliputi kegiatan pengujian berbagai

dokumen dan rekaman, pemakaian informan, keseriusan dan perluasan

riset. Ia juga menambahkan bahwa reportase investigatif seringkali

mengekspos penyimpangan yang dilakukan para pekerja publik dan

aktivitasnya.61

Ada suatu fokus yang hendak diinvestigasi, yakni hal-hal yang mengarah kepada sebuah problem, masalah yang tampil ke permukaan (isu), dan kontroversi. Hal ini yang membedakan dengan

peliputan reguler, atau reportase pada umumnya.62

Telah sering kita sebut, seorang jurnalis harus bermata elang, telinga

ayam dan hidung anjing. Penglihatan, pendengaran dan penciuman jurnalis

di atas rata-rata manusia dalam menghadapi realitas yang terjadi

sehari-hari. Masyarakat umumnya, menerima kejadian dan kenyatan yang

dikatakan dan terjadi sebagai kebenaran, tanpa memertanyakan lebih lanjut

kenapa dan bagaimana suatu itu terjadi.

Namun dari seluruh penjelasan di atas, target investigasi tidak

melulu tertuju pada efek atau dampak untuk tujuan menjatuhkan lawan,

60Ibid.

(41)

commit to user

27

atau selalu tertuju pada upaya membongkar-bongkar aib pihak tertentu.

Karena menurut Gene Roberts tl, editor Philadelphia Inquirer,

Investigative reporting tidak selalu ditujukan untuk menangkap kejatuhan

politisi atau mengincar keburukannya. Ia menjelaskan bahwa peliputan

investigatif merupakan keluhuran jurnalisme yang hendak melakukan

penggalian di bawah permukaan, yang akan membantu pembaca untuk

memahami apa yang akan terjadi di kompleksitas persoalan dunia, yang

semakin meningkat.63

Perlindungan terhadap kepentingan publik adalah esensi dari sebuah

produk jurnalistik. Dan jurnalisme investigasi akan memberikan

perlindungan yang lebih komprehensif dan maksimal, meski di luar itu

bukan berarti praktik jurnalisme yang salah.

Menurut Farid Gaban (alumni peliput perang Bosnia dan redaktur

pelaksana majalah Tempo 1998-2003), “Laporan investigasi tidak selalu

seputar liputan yang canggih dan harus membeberkan persoalan-persoalan

rumit atau high politics. Tema kehidupan sehari-hari dapat menjadi liputan

investigasi yang dahsyat. Wartawan tidak hanya terpaku pada investigasi

yang menyangkut pejabat atau polisi, tetapi juga berkaitan dengan relasi

konsumen-produsen atau kejahatan korporasi.”64

Septiawan Santana menyimpulkan pengertian reportase investigatif

secara harfiah yaitu membawa pulang jejak kaki dari tempat lain. Bila

pengertian tersebut dikaitan dengan kegiatan pers, berarti kegiatan yang

63Ibid. 64

(42)

commit to user

28

bisa mengkonotasikan pelbagai bukti, yang dapat dijadikan fakta, bagi

upaya menjelaskan adanya kesalahan atau pelanggaran atau kejahatan

yang telah dilakukan oleh seseorang atau pihak-pihak tertentu. Septiawan

Santana membenarkan bahwa Reportase investigasi memang merupakan

sebuah kegiatan peliputan yang mencari, menemukan, dan menyampaikan

fakta-fakta adanya pelanggaran, kesalahan, atau kejahatan yang merugikan

kepentingan umum atau masyarakat.65

2. Ciri Jurnalisme Investigasi

Greene Roberts, mantan redaksi Newsday di Amerika : “ia,

(reportase investigasi) adalah reportase, (terutama) melalui hasil kerja dan

inisiatif sendiri, yang artinya penting yang oleh beberapa pribadi atau

organisasi ingin tetap dirahasiakan. Tiga unsur dasarnya adalah bahwa

investigasi itu merupakan kerja wartawan, bukan laporan investigasi yang

dilakukan oleh orang lain; bahwa masalah yang diberitakan melibatkan

sesuatu yang sangat penting bagi pembaca atau pemirsa; dan bahwa

pihak-pihak lain berusaha menutup-nutupi masalah ini dari publik”66

Paparan Rivers dan Mathewsyang dikutip oleh Septiawan Santana,

menunjukkan beberapa indikasi ciri-ciri wartawan investigatif. Indikasi

awal dari wartawan investigatif adalah memiliki agresivitas yang tinggi

terhadap data dan keterangan yang muncul di permukaan, yang tersedia

begitu saja di hadapannya, akan tetapi memiliki kepekaan terhadap adanya

65Opcit.

(43)

commit to user

29

persekongkolan, para penghasut rakyat, atau keculasan yang terjadi di

masyarakat.67

Mereka menganggap pelbagai media informasi telah demikian kuat dan canggihnya menancapkan imaji kebenaran yang harus dipercaya masyarakat. Wartawan investigasi menunjukkan cara lain untuk memahami kebenaran, dan menyatakan premis-premis salah

dari kekuatan dan kecanggilan informasi modern (Lloyd, 1998).68

Menurut Septiawan Santana, Terminologi investigative journalism

memberikan atribut penyelidikan, keingintahuan dan misi tertentu dari

para wartawannya. Jurnalisme ini tidak mau terjebak dengan adonan

pemberitaan entertainment. Liputan beritanya bukan lagi berdasar agenda

pemberitaan harian yang sudah terjadwal di ruang redaksi. Para wartawan

investigasi tidak bekerja berdasarkan pengagendaan berita seperti yang

dalam peliputan reguler. Mereka memasuki subjek pemberitaan tatkala

mereka tertarik untuk mengetahui sesuatu. Kerja peliputannya tidak lagi

dibatasi oleh tekanan-tekanan waktu. Ada kekhususan kerja peliputan

dibanding biasanya.69

Ia juga menambahkan bahwa jurnalis investigasi tidak sekadar

mendeskripsikan ketepatan, penjelasan, atau pengembangan pemberitaan.

Mereka lebih menganalisis belbagai data yang layak dilaporkan, dan telah

dikonfigurasikan. Mereka membantu pertanyaan masyarakat, mengenai

(44)

commit to user

30

sebuah situasi atau pernyataan atau kenyataan, dengan cara yang berbeda

dari pemberitaan biasa.70

Topik seputar kejahatan publik saja juga tidak cukup layak disebut

investigasi, tapi haruslah yang orisinal, dan bukan menindaklanjuti

investigasi pihak lain, seperti polisi atau jaksa. Orisinalitas yang dimaksud

dalam elemen investigasi adalah bukan pada jenis topiknya, melainkan

pada fakta-fakta yang ditemukan dapat mengarah ke suatu kesimpulan

yang baru. Jurnalis dapat menulusuri ulang hasil temuan polisi atau jaksa

asalkan temuan tersebut bersifat melengkapi, mempertajam, atau

membantah dan mementahkan temuan-temuan otoritas formal. Bukan

mengklaim temuan tersebut sebagai hasil liputan investigasi.71

"Mereka mencoba untuk mendapatkan dasar kepastian apa yang telah terjadi, kekuatan-kekuatan yang ada di baliknya,"

menurut Clive Edwards (1999), dari programa Panorama di

BBC's.72

Dengan kata lain, kerja kewartawanan ibarat seorang penyelidik yang tengah meneliti dan meluruskan pelbagai kebohongan yang sengaja diciptakan oleh pihak-pihak tertentu. Akan tetapi, pada titik tertentu, dalam sebuah perbandingan, wartawan

investigatif bisa dibedakan dengan wartawan harian atau beat

reporter. Atmakusumah yang mengistilahkan beat reporter dengan

reporter "patroli atau ronda", menjelaskan perbedaannya.73

Namun perlu diingat bahwa investigasi yang dilakukan jurnalis tidak

sama dengan investigasi yang dilakukan oleh kepolisian. Meski teknik

yang digunakan bisa sama seperti pengamatan, pengintaian, atau

(45)

commit to user

31

penyamaran. Namun, jurnalis tetap bekerja dalam batasan yang jelas dan

terbatas. Sebagai contoh, jurnalis tidak bisa menggeledah rumah atau

kantor seseorang, tidak bisa menyita dokumen, tak mungkin memanggil

paksa nara sumbernya, atau mustahil menangkap seseorang.

Kebenaran jurnalistik bukanlah kebenaran hukum. Fakta jurnalistik

tidak harus selalu sama dengan fakta hukum. Bila hasil investigasi

wartawan tidak lebih hebat dari investigasi polisi atau jaksa, itu adalah

wajar karena mustahil membandingkan hasil kerja jurnalis dengan aparat

yang memiliki kewenangan dan kekuatan hukum.

Sebuah laporan investigasi yang baik membuat masyarakat

(termasuk institusi hukum atau negara) bisa mengambil keputusan atau

menindaklanjutinya. Investigasi yang baik kadang justru

menjungkirbalikkan kinerja aparat hukum atau negara yang kurang cermat

dan telah tercemari kepentingan. 74

Dalam penjelasan lain, Secara keseluruhan, berita di media massa

dapat dipilah menjadi tiga jenis:

1. Reportase investigasi : merupakan metodologi pencarian berita

secara mendalam, mendetail, dan tuntas, serta dapat

dipertanggungjawabkan kebenarannya. Bentuk pencarian berita

dengan cara penelusuran, sangat mengandalkan bukti-bukti

material (dokumen maupun kesaksian). Ciri-cirinya antara lain

(46)

commit to user

32

jumlah paragraf, struktur dalam penulisan, aktualitas dan gaya

bahasa yang disampaikan sangat bebas.

2. In depth reporting (pelaporan berkedalaman) : Jenis penulisan berita secara mendalam dan biasanya tidak digunakan untuk

membongkar suatu masalah. Ciri menonjolnya ialah beritanya

tidak basi karena tidak mengikuti trend news. Panjangnya antara

10-25 paragraf, struktur penulisannya seperti piramida.

3. Straight news (berita langsung) : Jumlah paragraf berita langsung biasanya antara 3-10 paragraf. Struktur penulisan beritanya seperti

piramida terbalik.75

Perbedaan dari ketiga jenis berita di atas adalah :

Regular News

a. Laporannya bersifat menceritakan

b. Menceritakan apa, siapa, dimana, kapan, mengapa, dan bagaimana

(5W+1H)

c. Tujuan dari laporan adalah sebagai informasi (data) bagi public

In-Depth :

a. Laporannya bersifat menjelaskan

b. Lebih menjelaskan bagaimana dan mengapa (how dan why)

c. Tujuan dari laporan adalah memberi pengetahuan dan pemahaman

Investigative :

75Rangkuman dan Analisis Buku “Reportase Investigasi, Menelisik Lorong Gelap” Penulis: Dadi

(47)

commit to user

33

a. Laporannya bersifat menunjukkan

b. Lebih menunjukkan apa dan siapa (what and who)

c. Tujuan laporan adalah membeberkan dan meluruskan persoalan

dengan bergerak maju ke pertanyaan: bagaimana bisa, sampai

sejauh apa, dan siapa saja.76

Septiawan Santana menjelaskan bahwa awal perbedaan antara

jurnalis reguler dan investigatif terletak pada inisiatif. Wartawan

investigatif tidak menunggu sampai suatu masalah atau peristiwa timbul

atau diberitakan, akan tetapi menampilkan permasalahan baru atau sesuatu

hal baru atau membuat berita. Jika reporter reguler bekerja cepat mencari

dan menghasilkan beberapa berita dalam satu hari dan mengejar setiap

informasi yang dapat disiarkan sedini mungkin lebih cepat daripada

penerbitan saingannya, wartawan investigatif memerlukan waktu jauh

lebih lama untuk dapat mengungkapkan satu masalah. Jika reporter ronda

menjalin sebanyak mungkin "pejabat resmi yang berpotensi sebagai

sumber berita", wartawan investigatif "sangat selektif dan skeptis terhadap

bahan berita resmi, meneliti dengan kritis setiap pendapat, catatan dan

bocoran informasi resmi, tidak serta merta membenarkan". Jika reporter

harian memberitakan "apa yang terjadi atau yang diumumkan", wartawan

investigatif malah mengungkapkan "mengapa suatu hal diumumkan atau

76

(48)

commit to user

34

terjadi, mengapa terjadi lagi."77Jurnalistik investigasi bisa mengungkap

fakta lebih dalam dari berita ringkas, ungkap pengamat media dan dosen

FISIP UI, Ade Armando, dalam Obrolan Langsat 5 Juli 2011.78

Septiawan Santana memaparkan lingkup permasalahan pelbagai

kasus-kasus investigasi yang diambil dari kumpulan materi Burgh, yaitu:

1. Hal-hal yang memalukan, biasanya terkait dengan hal yang ilegal, atau

pelanggaran moral

2. Penyalahgunaan kekuasaan

3. Dasar faktual dari hal-hal aktual yang tengah menjadi pembicaraan

publik

4. Keadilan yang korup

5. Manipulasi laporan keuangan

6. Bagaimana hukum dilanggar

7. Perbedaan antara profesi dan praktisi

8. Hal-hal yang sengaja disembunyikan79

Namun perlu diingat bahwa terdapat 3 contoh kasus yang sering

disalah artikan sebagai laporan investigasi:

a. Liputan bakso tikus atau sapi glonggong sering ditampilkan di

Trans TV sebagai laporan investigasi. Liputan tersebut dapat

dikategorikan sebagai aksi yang menggunakan teknik investigasi.

Namun, tanpa kemampuan menjawab ihwal rangkaian kejadian,

77Septiawan Santana K, Jurnalisme Investigasi, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2004, hal. 142. 78

http://obrolanlangsat.com/news/2011/07/06/116/jurnalisme_investigasi_yang_penuh_tantangan.html diunduh pada tanggal 15/6/2012 jam 13.50.

Gambar

Gambar 1.1.
Gambar 1.2.
Gambar 1.3.
Gambar 1.4.
+4

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini dianalisa dengan teknik analisis wacana model Halliday yang bertujuan untuk melihat bagaimana gambaran mengenai kekuatan perempuan yang dikemas dalam

percintaan beda agama yang terdapat dalam film Cinta Tapi Beda, dan juga hanya dibatasi dengan model analisis wacana Teun A Van Dijk yang membahas tentang.. tiga struktur dalam

Film dalam perkembanganya saat ini memiliki keterkaitan dengan banyak faktor seperti; politik, ekonomi, sosial, budaya dll, sehingga dengan hubungan tersebut film tidak lagi bisa

Penulis melakukan Observasi langsung yaitu dengan mengumpulkan data dari subjek yang diselidiki yaitu film Cek Toko Sebelah dan Objeknya yang berupa Analisis Wacana

Berdasarkan analisis pada penelitian ini ditemukan bahwa dari 20 adegan film Imperfect terdapat tiga wacana khusus terkait body shaming, diantaranya “Mengkritik

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisa wacana hegemoni kelas sosial yang menggambarkan perihal tersebut yang ditampilkan film Di Balik

Posmodernisasi Logika Bertutur Dalam Film Realis Animasi Homeland Sebuah Analisis Wacana Kritis..

Penelitian ini dianalisa dengan teknik analisis wacana model Halliday yang bertujuan untuk melihat bagaimana gambaran mengenai kekuatan perempuan yang dikemas dalam