• Tidak ada hasil yang ditemukan

Makalah Islamisasi Ilmu Pengetahuan Ahsa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Makalah Islamisasi Ilmu Pengetahuan Ahsa"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN FILOSOFIS MASALAH AKTUAL PENDIDIKAN ISLAM III (ISLAMISASI ILMU PENGETAHUAN)

Disusun Guna Memenuhi Tugas Akademik Mata Kuliah: Filsafat Pendidikan Islam Dosen Pengampu : Dr. Mahmud Arif, M.Ag.

Disusun oleh:

Afik Ahsanti (1320411038)

1 PAI A (Non Reguler)

PROGRAM PASCASARJANA PRODI PENDIDIKAN ISLAM KONSENTRASI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA TAHUN AKADEMIK

2013/2014

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

(2)

jika ingin maju agama tidak boleh lagi mengurus masalah-masalah yang berkaitan dengan dunia seperti politik dan sains.

Sejak terjadinya pencerahan (renaisance) di Eropa, perkembangan ilmu-ilmu rasional dalam semua bidang kajian sangat pesat dan hampir keseluruhannya dipelopori oleh ahli sains dan cendikiawan Barat. Akibatnya, ilmu yang berkembang dibentuk dari acuan pemikiran filsafat Barat yang dipengaruhi oleh sekularisme dan materialisme. Ummat Islam mempelajari sains Barat tanpa menyadari kaitan historis Barat dan ilmu-ilmu Barat, sehingga ummat Islam pun terjatuh dalam hegemoni Barat dan proses ini mengakibatkan esensi peradaban Islam semakin tidak berdaya di tengah kemajuan peradaban Barat yang sekuler.

Fenomena-fenomena yang terkait dengan perkembangan ilmu pengetahuan begitu pesat tersebut memunculkan sebuah dampak yang begitu besar bagi umat muslim. Sebab dengan perkembangan ilmu pengetahuan tersebut memicu suatu kebobrokan moral dan etika yang tidak berlandaskan agama Islam. Yang mana Islam telah diakui sebagai agama yang paling benar dan berakhlak sekaligus sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin. Dengan demikian muncullah sebuah kekritisan dari seorang cendekiawan muslim yang mencetuskan gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan.

Islamisasi merupakan sebuah karakter dan identitas Islam sebagai pandangan hidup (worldview) yang didalamnya terdapat pandangan integral terhadap konsep ilmu (epistemologi) dan konsep Tuhan (teologi). Bahkan bukan hanya itu, Islam merupakan agama yang memliki pandangan fundamental tentang Tuhan, kehidupan manusia, alam semesta dan lain sebagainya.

(3)

Education”, dan juga oleh Ismail raji Al-Faruqi dalam makalahnya yang berjudul

“Islamizing Social Science”. 1

Dari gagasan tersebut, maka ide islamisasi ilmu pengetahuan tersebar luas di masyarakat muslim dunia. Namun, ide tersebut tidak serta merta diterima oleh masyarakat. Ada pihak yang pro dan kontra terhadap gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan. Pihak yang pro terhadap adanya Islamisasi ilmu diantaranya Seyyed Hossein Nasr, Ziaudin Sardar. Sedangkan yang kontra diantaranya adalah Fazlur Rahman, Muhsin Mahdi, Abdus Salam, Abdul Karim Soroush, dan Bassan Tibi. Mereka bukan menolak akan tetapi mengkritik adanya Islamisasi ilmu pengetahuan. Mereka beralasan bahwa ilmu pengetahuan bersifat netral, ia bergantung pada pembawa dan pengembangnya. Karena itulah Islamisasi ilmu pengetahuan tidaklah begitu penting tetapi yang penting justru adalah Islamisasi subyek atau pembawa dan pengembang ilmu pengetahuan itu sendiri.

B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian Islamisasi Ilmu Pengetahuan?

2. Siapa sajakah tokoh penggagas Islamisasi Ilmu Pengetahuan dan bagaimana pemikirannya terhadap Islamisasi ilmu pengetahuan?

3. Bagaimanakah pro kontra Islamisasi Ilmu Pengetahuan di kalangan cendekiawan Muslim?

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Islamisasi Ilmu Pengetahuan

Ketika mendengar istilah Islamisasi ilmu, ada sebuah kesan bahwa ada sebagian ilmu yang tidak Islam sehingga perlu diislamkan. Dan untuk mengislamkannya maka diberikanlah kepada ilmu-ilmu tersebut dengan label “islam” sehingga muncullah istilah-istilah seperti ekonomi Islam, kimia Islam, fisika Islam dan sebagainya.

(4)

Sebelum melangkah lebih jauh, istilah “islamisasi ilmu pengetahuan” perlu dipertegas terlebih dahulu dan dilihat secara kritis. Webster’s New World College Within Islam mendefinisikan Islamisasi sebagai to bring within Islam. Makna yang lebih luas adalah menunjuk pada proses meng-Islam-kan. Hal yang harus di islam-kan adalah orang atau manusia, bukan ilmu pengetahuan itu sendiri atau apapun obyek lainnya termasuk negara. 2

Islamisasi ilmu pengetahuan ini diterangkan secara jelas oleh al-Attas, yaitu pembebasan manusia dari tradisi magis, mitologis, animistis, kultur-nasional yang bertentangan dengan Islam dan dari belenggu paham sekuler terhadap pemikiran dan bahasa juga pembebasan dari kontrol dorongan fisiknya yang cenderung sekuler dan tidak adil terhadap hakikat diri atau jiwanya, sebab manusia dalam wujud fisiknya cenderung lupa terhadap hakikat dirinya yang sebenarnya, dan berbuat tidak adil terhadapnya. Islamisasi adalah suatu proses menuju bentuk asalnya yang tidak sekuat proses evolusi dan devolusi.3

Berdasarkan pernyataan al-Attas ini menunjukkan bahwa Islamisasi ilmu pengetahuan diharapkan bisa membebaskan kaum muslim yang bertentangan dengan Islam bahkan menjadikannya sekuler. Sehingga al-Attas berfikir bagaimana bisa mengembalikan kejayaan kaum muslim dan mengembalikan semuanya pada fitrahnya. Fitrahnya disini diartikan sebagai pemusatan ilmu pengetahuan yang berkembang ataupun yang sudah ada kembali pada peradaban Islam. Sebagaimana puncak kejayaan yang sudah pernah diraih oleh kaum muslim.

Sedangkan menurut Ismail Raji al-Faruqi, dalam pendefinisian atau pengertian tentang islamisasi ilmu pengetahuan, dia menjelaskan bahwa pengertian dari islamisasi ilmu yaitu sebagai usaha untuk memfokuskan kembali ilmu yaitu, untuk mendefinisikan kembali, menyusun ulang data, memikir kembali argumen dan rasionalisasi yang berhubungan dengan data itu, menilai

2 Mudjia Rahardjo, Quo Vadis Pendidikan Islam: Pembacaan Realitas Pendidikan Islam, Sosial Dan Keagamaan....ibid, hal, 238.

3 Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas

(5)

kembali kesimpulan dan tafsiran, membentuk kembali tujuan dan disiplin itu ditujukan memperkaya visi dan perjuangan Islam.4

Islamisasi ilmu pengetahuan itu sendiri berarti melakukan aktifitas keilmuan seperti mengungkap, menghubungkan, dan menyebarluaskannya menurut sudut pandang ilmu terhadap alam kehidupan manusia. Menurut aI-Faruqi, islamisasi ilmu pengetahuan berarti mengislamkan ilmu pengetahuan modern dengan cara menyusun dan membangun ulang sains sastra, dan sains-sains ilmu pasti dengan memberikan dasar dan tujuan-tujuan yang konsisten dengan Islam. Setiap disiplin harus dituangkan kembali sehingga mewujudkan prinsip-prinsip Islam dalam metodologinya, dalam strateginya, dalam data-datanya dan problem-problemnya. Seluruh disiplin harus dituangkan kembali sehingga mengungkapkan relevensi Islam yang bersumberkan pada tauhid.5

Menurut Osman Bakar, Islamisasi ilmu pengetahuan adalah sebuah program yang berupaya memecahkan masalah-masalah yang timbul karena perjumpaan antara Islam dengan sains modern sebelumnya.6 Progam ini menekankan pada keselarasan antara Islam dan sains modern tentang sejauh mana ilmu pengetahuan dapat bermanfaat bagi umat Islam. Sedangkan M. Zainuddin menyimpulkan bahwa Islamisasi pengetahuan pada dasarnya adalah upaya pembebasan pengetahuan dari asumsi-asumsi Barat terhadap realitas dan kemudian menggantikannya dengan pandangan Islam.7

Islamisasi pengetahuan dengan demikian dapat difahami sebagai upaya membangun kembali semangat umat Islam dalam berilmu pengetahuan, mengembangkannya melalui kebebasan penalaran intelektual dan kajian rasional-empirik atau semangat pengembangan ilmiah (scientific inquiry) dan filosofis, yang merupakan perwujudan dari sikap concern, loyal dan komitmen terhadap doktrin-doktrin dan nilai-nilai mendasar yang terkandung dalam al-Quran.8

4 Rosnani Hasim, Gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan Kontemporer: Sejarah, Perkembangan, dan Arah Tujuan”, Islamia, THN II NO.6 (Juli-September, 2005), hal. 35-36

5 Tauhid merupakan sumber kebenaran dalam islam (the source of Islam). lihat dalam Ismail Raji Al-Faruqi, Tauhid; Its Implication…, hal. 53-54

6 Osman Bakar,Tauhid dan Sains (Bandung: Pustaka Hidayah, 1994), hal, 233.

7 Muhammad Zainuddin., Filsafat Ilmu: Persfektif Pemikian Islam, (Malang: Bayu Media, 2003),hal, 160

(6)

Tampaknya harus diakui bahwa ketertinggalan masyarakat Islam dengan Barat sudah sangat jauh khususnya dalam ilmu pengetahuan. Ketertinggalan ilmuwan agama dan masyarakat Islam pada umumnya dalam memahami wahyu sehingga mencapai tingkat kebenaran yang memadai barangkali karena tertinggal dalam menguasai ilmu-ilmu non-agama, seperti ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial yang perkembangannya demikian cepat.

Ketertinggalan dalam ilmu pengetahuan juga berakibat lemahnya penafsiran terhadap al-Quran. Sebab, penafsiran al-Quran adalah kreativitas keilmuan yang sangat potensial untuk dikembangkan dalam kerangka pembangunan sebuah peradaban. Melalui penafsiran yang baru dan kontekstual terhadap al-Quran, cara pandang kita terhadap suatu persoalan mendapatkan insight, wawasan, dan perspektif yang baru pula.9

B. Penggagas Islamisasi Ilmu Pengetahuan dan Pemikirannya

1. Biografi Tokoh Syed Muhammad Naquib Al-Attas dan Pemikirannya Terhadap Islamisasi Ilmu Pengetahuan

a. Riwayat Hidup

Syed Naquib al-Attas adalah ilmuwan berkewarganegaraan Malaysia. Lahir di Bogor, Jawa Barat, Indonesia pada 5 Sepetember 1931, dari keluarga terpandang. Ayahnya bernama Syed Ali al-Attas. Pada usia lima tahun ia pindah ke Malaysia bersama saudaranya, tapi pada masa pendudukan Jepang,ia kembali ke Jawa Barat dan belajar agama serta bahasa Arab di pesantren al-Urwah al-Wusqa di Sukabumi. Pada tahun 1946 Naquib kembali ke Malaysia dan hidup bersama keluarga Tengku Abdul Aziz yang saat itu menjabat sebagai Menteri Besar Johor.10

Pendidikan formal diawali di Sukabumi (Indonesia) dan English College Johor Baru (Malaysia) kemudian The Royal Militery Academy, Sandhurst, Inggris, selesai pada tahun 1955, dan akhirnya Kajian Ilmu-Ilmu Sosial (Social Sciences Studies) Universitas Malaya, Kuala Lumpur, Malaysia (1957-1959). Gelar MA diperoleh di McGill University, Kanada

9 Mudjia Rahardjo, Quo Vadis Pendidikan Islam: Pembacaan Realitas Pendidikan Islam, Sosial Dan Keagamaan....ibid, hal, 240.

(7)

(1962) dalam bidang teologi dan metafisika, sedangkan gelar Ph.D diperoleh di The School of Oriental and African Studies, The University of London (1966) dalm bidang yang sama, dengan judul disertasi berjudul

The Mysticism of Hamzah Fansuri.11

Dalam perjalanan karir akademiknya, al-Attas mengawali karirnya menjadi seorang dosen di Malaysia. Pekerjaan dan jabatan yang pernah dipegangnya anatara lain, Dekan Fakultas Sastra, Universitas Malaya, Kuala Lumpur (1968-1970), Dekan Fakultas Sastra, Universitas Kebangsaan malaysia di Kuala Lumpur (1970-1973), pendiri Institut Bahasa, Kesusastraan dan Kebudayaan Melayu di Universitas Kebangsaan Malaysia, Kuala Lumpur dimana ia menjabat sebagi direkturnya sejak 1970, Guru Besar dan Kesusatraan Melayu di Universitas Kebangsaan Malaysia, Kuala Lumpur (dikukuhkan 14 Januari 1972), salah seorang pendiri Institut Antarbangsa (International Islamic University, IIU) Malaysia, Kuala Lumpur (27 Februari 1987), guru besar Pemikiran Dan Peradaban Islam Di Universitas Islam Antarbangsa (dikukuhkan 1 Desember 1987), pendiri Institut Antarbangsa Pemikiran Dan Peradaban Islam (International Institut Of Islamic Thought And Civilization, ISTAC) yang diresmikan oleh Menteri Pendidikan Malaysia, Anwar Ibrahim, pada 22 November 1988. 12

Naquib al-Attas telah menulis sekitar 26 buku dan monograf dalam bahasa Inggris dan Melayu, banyak dari buku dan monograf itu yang telah diterjemahkan ke bahasa lain seperti bahasa Arab, Persia, Turki, Urdu, Malayam, Indonesia, Prancis, Jerman, Rusia, Bosnia, Jerman, India, Korea Dan Albania.13 Sedangkan menurut laporan Panji Masyarakat14 al-Attas

selain telah menerbitkan buku, ia juga telah menerbitkan tiga puluh makalah, dan sekitar tiga ratus kali menyampaikan kuliah umum di pelbagai negara. Adapun karya-karya Naquib al-Attas adalah sebagai berikut:

11 Khudori Soleh, Pemikiran Islam Kontemporer,..Op,Cit, hal, 332

12 Khudori Soleh, Pemikiran Islam Kontemporer..., ibid, hal, 333.

13 http://inpasonline.com/news/islmisasi-ilmu-pengetahuan-tinjauan-atas-pemikiran-syed-m-naquib-al-attas-dan-ismail-r-al-faruqi/ diakses pada tanggal 24 Oktober 2013.

(8)

a. Some Asppects Of Sufism: As Understood And Practiced Among The Malays Shirley Gordon, Ed. (Malaysian Sociological Research Institut, Singapura, 1963).

b. The Mysticism Of Hamzah Fansuri (disertasi Ph.D, Mei 1966) University Of Malaya Press, Kuala Lumpur, 1970.

c. Islam And Secularism (ABIM, Kuala Lumpur 1978) diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi Islam dan Sekularisme oleh Penerbit Pustaka, Bandung, 1981.

d. A Commentary on The Hujjat al-Shiddiq of Nuur al-Din ar-Raniri

(Ministry of Culture, Kuala Lumpur, 1986)

e. The Oldest Known Malay Manuscript : A 16th Century Malay Translation of The ‘Aqa’id of al-Nasafi (University of Malaya, 1988). f. Islam and the Philosophy of Sciencies (ISTAC, Kuala Lumpur, 1989).15

g. “Islamic Culture in Malaysia”, Malaysian Society of Orientalist, Kuala Lumpur, 1966.

h. “Rampaian Sajak”, Bahasa, Persatuan Bahasa Melayu University of Malaya no. 9, Kuala Lumpur, 1968.

i. “Indonesia: 4 (a) History: The Islamic Period”, Encyclopedia of Islam, edisi baru, E.J. Brill, Leiden, 1971.

j. “A General Theory of The Islamization of the Malay Archipelago”, Profiles of Malay Culture, Historiographi, Religion, and Politics, editor Sartono Kartodirdjo, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 1976.

b. Islamisasi Ilmu Pengetahuan Menurut Syed Muhammad Naquib Al-Attas

Pengetahuan dan ilmu yang tersebar sampai ke tengah masyarakat dunia, termasuk masyarakat Islam, telah diwarnai corak budaya dan peradaban Barat. Apa yang dirumuskan dan disebarkan adalah pengetahuan yang dituangi dengan watak dan kepribadian peradaban

(9)

Barat. Pengetahuan yang disajikan dan dibawakan itu berupa pengetahuan yang semu yang dilebur secara halus dengan yang sejati (the real) sehingga manusia yang mengambilnya dengan tidak sadar seakan-akan menerima pengetahuan yang sejati. Karena itu, al-Attas memandang bahwa peradaban Barat tidak layak untuk dikonsumsi sebelum diseleksi terlebih dahulu.16

Islamisasi ilmu, menurut Naquib, berarti pembebasan ilmu dari penafsiran-penafsiaran yang didasarkan pada ideologi sekuler dan dari makna-makna serta ungkapan-ungkapan manusia sekuler. Gagasan ini muncul karena tidak adanya landasan pengetahuan yang bersifat netral, sehingga ilmu pun tidak dapat berdiri bebas nilai. Pengetahuan dan ilmu yang tersebar sampai ke tengah masyarakat dunia, termasuk masyarakat Islam, telah diwarnai oleh corak budaya dan peradaban Barat. Sementara itu peradaban Barat sendiri, menurut Naquib, telah membawa kebingungan. Peradaban yang lahir dari pengetahuan Barat telah kehilangan hakikat sehingga menyebabkan kekacauan manusia, kehilangan kedamaian dan keadilan. Pengetahuan mereka didasarkan atas skeptisisme lalu “diilmiahkan” dalam metodologinya. Kenyatannya, pengetahuan Barat telah melahirkan kekacauan (chaos) dalam Tiga Karajaan Alam (Three Kingdom of Nature) hewani, nabati, dan mineral.17

Padahal sejatinya, Islam telah memberi kontribusi yang sangat berharga pada peradaban Barat dalam bidang pengetahuan dan menanamkan semangat rasional serta ilmiah, meski diakui bahwa sumber asalnya juga berasal dari Barat sendiri, yakni dari para filosof Yunani. Namun berkat kegigihan usaha para sarjana dan cendekiawan muslim di masa klasik, warisan Yunani tersebut dapat digali dan dikembangkan. Bahkan, pengetahuan-pengetahuan telah diaplikasikan untuk kesejahteraan umat manusia, setelah dilakukan usaha-usaha secara ilmiah melalui penelitian dan percobaan. Barat mengambil alih pengetahuan dan ilmu tersebut dari dunia Islam. Pengetahuan dan semangat rasional serta

16 Abdullah Ahmad Na’im, dkk., Pemikiran Islam Kontemporer (Yogyakarta: Jendela, 2003), hal, 338

(10)

semangat ilmiah tersebut dibentuk dan dikemas kembali untuk disesuaikan dengan kebudayaan Barat sehingga lebur dan terpadu dalam suatu dualisme menurut pandangan hidup (worldview) dan nilai-nilai kebudayaan serta peradaban Barat. Menurut al-Attas, dualisme tidak mungkin diselaraskan karena terbentuk dari ide-ide, nilai-nilai, kebudayaan, keyakinan, filsafat, agama, doktrin, dan teologi yang bertentangan.18

Di dalam bukunya The Concept of Education in Islam, Naquib membagi ilmu menjadi dua bagian, yaitu:

1) Ilmu-ilmu agama. Yang meliputi: a) Al-Quran: Qiraat, Tafsir, dan Ta’wil.

b) Hadits: sirah Nabi, sejarah dan pesan-pesan para rasul sebelumnya dan riwayat-riwayat otoritatif.

c) Syariah: hukum-hukum, prinsip-prinsip, dan praktik-praktik islam. d) Teologi: Tauhid (tentang tuhan, wujudnya, sifatnya, asma-asmaNya

dan perbuatan-perbuatanNya).

e) Metafisika Islam (tasawuf), psikologi, kosmologi, dan ontologi. f) Ilmu-ilmu linguistik, tata bahasa, leksikografi, dan kesusastraannya. 2) Ilmu-ilmu rasional. Yang meliputi:

a) Ilmu-ilmu kemanusiaan. b) Ilmu-ilmu alamiah. c) Ilmu-ilmu terapan. d) Ilmu-ilu teknologi.19

Ide islamisasi mengarah kepada ilmu-ilmu kelompok kedua yakni ilmu-ilmu rasional. Karena itu, ilmu-ilmu rasional, intelektual dan filosofi dengan segenap cabangnya mesti dibersihkan dari unsur-unsur dan konsep-konsep kunci Islam.

Namun, sebelum melakukan proses islamisasi, ada sesuatu yang harus dilakukan, yakni islamisasi bahasa, karena bahasa adalah sesuatu

18 Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Sekularisme, Terj. Karsidjo Djojosuwarno (Bandung: Pustaka, 1981), hal, 197-198

(11)

yang penting dan merupakan refleksi pemikiran dan pandangan masyarakat. Islamisasi bahasa ini merupakan langkah pilar utama dalam islamisasi ilmu.20

Untuk melakukan Islamisasi ilmu pengetahuan tersebut, menurut al-Attas, perlu melibatkan dua proses yang saling berhubungan. Pertama

ialah melakukan proses pemisahan elemen-elemen dan konsep-konsep kunci yang membentuk kebudayaan dan peradaban Barat. Misalnya, dalam budaya terdapat salah satu unsur budaya adalah bahasa. Bahasa disini memberi peluang terjadinya budaya yang menjadikan peradaban Barat. Dan kedua, memasukan elemen-elemen Islam dan konsep-konsep kunci ke dalam setiap cabang ilmu pengetahuan masa kini yang relevan.21 Dalam arti konsep kedua ini Al-Attas menindaklanjuti konsep yang pertama yakni dengan memasukkan nilai-nilai Islam dalam unsur-unsur ilmu pengetahuan tersebut. Jelasnya, “ilmu hendaknya diserapkan dengan unsur-unsur dan konsep utama Islam setelah unsur-unsur dan konsep pokok dikeluarkan dari setiap ranting.

Al-Attas menolak pandangan bahwa Islamisasi ilmu bisa tercapai dengan melabelisasi sains dan prinsip Islam atas ilmu sekuler. Usaha yang demikian hanya akan memperburuk keadaan dan tidak ada manfaatnya selama “virus”nya masih berada dalam tubuh ilmu itu sendiri sehingga ilmu yang dihasilkan pun jadi mengambang, Islam bukan dan sekuler pun juga bukan. Padahal tujuan dari Islamisasi itu sendiri adalah untuk melindungi umat Islam dari ilmu yang sudah tercemar yang menyesatkan dan menimbulkan kekeliruan. Islamisasi ilmu dimaksudkan untuk mengembangkan kepribadian muslim yang sebenarnya sehingga menambah keimanannya kepada Allah, dan dengan Islamisasi tersebut akan terlahirlah keamanan, kebaikan, keadilan dan kekuatan iman.22

20 Khudori Soleh, Pemikiran Islam Kontemporer..., ibid, hal

21 Rosnani Hashim, , Gagasan Islamisasi Kontemporer: Sejarah, Perkembangan dan Arah Tujuan, dalam Islamia: Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam (INSIST: Jakarta, Thn II No.6/ Juli-September 2005) hal.35

(12)

2. Biografi Tokoh Ismail Raji Al-Faruqi dan Pemikirannya Terhadap Islamisasi Ilmu Pengetahuan

a. Riwayat Hidup

Ismail Raji al-Faruqi lahir di Jaffa, Palestina pada tanggal 1 Januari 1921. Al-faruqi meninggal dunia pada tanggal 24 Mei 1986. Ayahnya bernama ‘Abd al-Huda al-Faruqi. Dikenal secara luas sebagai ahli ilmu agama Islam dan ilmu perbandingan agama. Ia juga dikenal sebagai penganjur Pan-Islamisme. 23

Al-Faruqi memulai studi di College des Freres Libanon 1926-1936. Pada tahun 1941, ia melanjutkan pendidikan di American University, Beirut. Gelar sarjana mudanya dalam bidang filsafat ia peroleh dari universitas tesebut pada usia 20 tahun, kemudian ia menjadi pegawai pemerintah Palestina dibawah mandat Inggris selama empat tahun dan bahkan sempat menjabat sebagai gubemur di daerah Galile yang kemudian jatuh ke tangan Inggris pada tahun 1947. Pada tahun berikutnya Al-Faruqi memutuskan untuk berhijrah ke Amerika Serikat. Di sana ia melanjutkan studinya yang sempat terhenti.

Kemudian ia melanjutkan studinya di Indiana University pada tahun 1948, hingga mencapai gelar master dalam bidang filsafat. Dua tahun berikutnya ia kembali memperoleh gelar master di Harvard University, juga dalam bidang filsafat. Untuk memperdalam keislaman, empat tahun berikutnya ia menimba ilmu di Al-Azhar University, Kairo Mesir. Selama

23 Kafrawi Ridwan (Ed), Ensiklopedia Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Houve 1993),

hal, 334. Pemikirannya tentang Islamisme (Persatuan Negara-negara Islam). Pemikiran Pan-Islamismenya terus didengungkannya di tengah berkembangnya negara-negara nasional di dunia Islam dewasa ini. Al Faruqi tak sependapat dengan berkembangnya nasionalisme yang membuat umat Islam terpecah-pecah. Baginya, sistem khilafah (kekhalifahan Islam) adalah bentuk negara Islam yang paling sempurna.

Dalam cakupan universal, berbagai bangsa yang berusaha menegakkan keadilan disebut ummah. Mereka boleh jadi hidup di teritorial yang berbeda, mengucapkan bahasa yang tidak sama, atau asal-usul keturunan yang berlainan, tetapi mereka disatukan oleh wawasan dan solidaritas yang sama. Al Faruqi menyebut konsep ini sebagai umatisme. Secara lebih mendalam, konsep bangsa dalam wawasan isalm adalah dalam konteks umatisme. Untuk itu tidak dapat diabaikan sama sekali pengembangan kerja sama antara sesama bangsa yang mewakili umat. Prioritas pertama haruslah diberikan untuk kerja sama dalam lingkungan umat; setelah itu dengan bangsa-bangsa lain yang bersahabat, lihat dalam... Rifyal Ka’bah,

(13)

beberapa tahun kemudian ia menjadi Profesor tamu untuk studi keislaman di McGill University (1958-1961) dan di Pana Central Institute of Islamic Research, Karachi, sebagai tamu untuk studi ilmu sejarah dan ilmu agama di the University of Chicago, sebagai lektor kepala llmu agama pada Saracus University (1964-1968).

Dia akhirnya pindah ke Universitas Temple pada tahun 1968 untuk menjadi guru besar studi Islam dan sejarah agama. Ini adalah posisi yang didudukinya sampai dia wafat pada tahun 1986.24 Selain mengajar, al-Faruqi juga mendirikan International Institute of Islamic Thought (IIIT) pada 1980 di Amerika Serikat, sebagai bentuk nyata gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan. Kini lembaga tersebut memiliki banyak cabang di berbagai Negara, termasuk di Indonesia dan Malaysia. Sebelumnya pada tahun 1972, al-Faruqi telah mendirikan The Association of Muslim Social Scientist. Kedua lembaga yang didirikannya itu menerbitkan jurnal Amerika tentang Ilmu-ilmu sosial Islam.

Al-Faruqi adalah ilmuwan yang produktif. Al-faruqi aktif dalam menulis di majalah ilmiah populer dan ditulisan lainnya. Lebih dari dua puluh buku dalam berbagai bahasa telah ditulisnya, dan tidak kurang dari seratus artikel telah dipublikasikan. Seluruh tulisannya pada dasarnya adalah gagasan-gagasan cerah dan teorinya untuk memperjuangkan proyek integrasi ilmu, yang dikemas dalam bingkai besar islamisasi ilmu pengetahuan. Beberapa karyanya adalah sebagai berikut: Christian Ethics: A Systematic and Historical Analysis of Its Dominant Ideas, The Great Asian Religions, Historical Atlas of the Religions of the World, Sources of slamic Thought: Three Epistles on Tawhid by Muhammad ibn ‘Abd al Wahhab, Islam and Culture, Islamic Thought and Culture, Islamization of Knowledge, Tawhid: Its Implications For Thought And Life dan lainnya. Beberapa karya penting Ismail Raji al-Faruqi sudah diterjemahkan

(14)

ke dalam bahasa Indonesia. Pemikiran-pemikirannya dapat diamati dari karya-karyanya tersebut. Pemikiran-pemikirannya tentang Islam dianggap mempunyai nilai penting, karena selain perhatiannya atas dunia dan umat Islam juga yang terpenting adalah pembelaan atas umat Islam sungguh luar biasa. Sehingga sepintas tergolong tokoh-tokoh yang berhaluan keras dalam menanggapi pemikiran-pemikiran berbeda mengenai Islam.25

Diantara bukunya yang terpenting adalah: Tauhid :Its Implications For Thought and Life (1982). Buku ini mengupas tentang tauhid secara lengkap. Tauhid tidak hanya dipandang sebagai ungkapan lisan bahkan lebih dari itu, tauhid dikaitkan dengan seluruh aspek kehidupan manusia, baik itu segi politik, sosial, dan budaya. Dari inilah kita dapat melihat titik tolak pemikiran Al-Faruqi yang berimplikasi pada pemikirannya dalam bidang-bidang lain. Dalam buku Islamization of Knowledge: General Principle and Workplan (1982), walaupun ukurannya sangat sederhana, namun menampilkan pikiran yang cemerlang dan kaya, serta patut dijadikan rujukan penting dalam masalah Islamisasi ilmu pengetahuan, di dalamnya terangkum langkah-langkah apa yang harus ditempuh dalam proses islamisasi tersebut.

b. Islamisasi Ilmu Pengetahuan Menurut Ismail Raji Al-Faruqi

Islamisasi ilmu pengetahuan menurut Al-Faruqi dimaknai sebagai upaya pengintegrasian disiplin ilmu modern dengan khazanah warisan Islam. Dengan demikian, umat Islam harus membagi, kemudian mengklasifikasikan disiplin ilmu-ilmu modern yang sesuai dengan pandangan dunia dan nilai-nilai Islam atau dengan versi lain islamisasi ilmu pengetahuan, adalah suatu upaya untuk menyususun dan membangun disiplin ilmu dengan memberikan dasar baru yang konsisten dengan Islam.

Bagi Al-Faruqi, pendekatan yang dipakai adalah dengan jalan menuang kemabali seluruh khazanah pengetahuan Barat dalam kerangka

(15)

Islam yang dalam praktiknya “tak lebih” dari usaha penulisan kembali buku-buku teks dalam bebagai disiplin ilmu dengan wawasan ajaran Islam.26 Al-Faruqi banyak mengemukakan gagasan serta pemikiran yang berhubungan dengan masalah-masalah yang dihadapi oleh Umat Islam. Dan semua pemikirannya terutama Islamisasi ilmu pengetahuan yaitu saling terkait satu sama lain, semuanya berporos pada satu sumbu yaitu Tauhid. Bagi AI-Faruqi sendiri esensi peradaban Islam adalah Islam itu sendiri dan esensi Islam adalah Tauhid atau pengesaan terhadap Tuhan, tindakan yang menegaskan Allah sebagai yang Esa, pencipta mutlak dan transenden, penguasa segala yang ada.27 Tauhid adalah memberikan identitas peradaban Islam yang mengikat semua unsur-unsurnya bersama-bersama dan menjadikan unsur-unsur tesebut suatu kesatuan yang integral dan organis yang disebut peradaban.

Dengan demikian pentingnya tauhid bagi Al-Faruqi sama dengan pentingnya Islam itu sendiri. Tanpa Tauhid bukan hanya Sunnah Nabi/Rasul patut diragukan dan perintah-perintahNya bergoncang kedudukannya, pranata-pranata kenabian itu sendiri akan hancur. Keraguan yang sama yang menyangkut pesan-pesan mereka, karena berpegang teguh kepada prinsip Tauhid merupakan pedoman dari keseluruhan kesalehan, religuisitas, dan seluruh kebaikan. Wajarlah jika Allah SWT dan RasulNya menempatkan Tauhid pada status tertinggi dan menjadikannya penyebab kebaikan dan pahala yang terbesar. Oleh sebab itu pentingnya Tauhid bagi Islam, maka ajaran Tauhid harus dimanifestasikan dalam seluruh aspek kehidupan dan dijadikan dasar kebenaran Islam.

Sedangkan dalam pandangan al-Faruqi berkenaan dengan langkah-langkah dalam islamisasi ilmu pengetahuan, dia mengemukakan ide islamisasi ilmunya berlandaskan pada esensi tauhid yang memiliki makna bahwa ilmu pengetahuan harus mempunyai kebenarannya.28 Al-Faruqi menggariskan beberapa prinsip dalam pandangan Islam sebagai

26 Muhaimin, Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam: Pemberdayaan, Pengembangan Kurikulum, Hingga Redefinisi Islamisasi Pengetahuan, ibid, hal, 331.

27 Al-Faruqi, Tauhid: Its Implementations For Thought And Life. (Wynccote USA: The International Institute of Islamic Thought, 1982), hal, 17.

(16)

kerangka pemikiran metodologi dan cara hidup Islam. Prinsip-prinsip tersebut ialah:

a. Keesaan Allah.

b. Kesatuan alam semesta.

c. Kesatuan kebenaran dan kesatuan pengetahuan. 29

Islam menganjurkan kebebasan dalam hubungannya dengan kemanusiaan tanpa batas-batas yang senantiasa menghampiri mereka. Dalam konteks ilmu pengetahuan, nampak bahwa keinginan al-Faruqi, ilmuwan beserta penemuannya, hendaknya memberi kesejahteraan kepada umat manusia tanpa memandang etnis. Ketaqwaan yang dipergunakan oleh Islam yang membebaskan dari belenggu himpitan dunia hendaknya menjadi landasan bagi para ilmuan.30

Al-Faruqi juga menawarkan suatu rancangan kerja sistematis yang menyeluruh untuk program Islamisasi ilmu pengetahuannya yang merupakan hasil dari usahanya selama bertahun-tahun melaksanakan perdebatan-perdebatan dan diskusi-diskusi melalui sejumlah seminar internasional yang diselenggarakan.31 Rencana kerja al-Faruqi untuk program Islamisasi mempunyai lima sasaran yaitu: pertama, menguasai disiplin-disiplin modern. Kedua, menguasai khazanah Islam. Ketiga, menentukan relevansi Islam yang spesifik pada setiap bidang ilmu pengetahuan modern. Keempat, mencari cara-cara untuk melakukan sintesa kreatif antara khazanah Islam dengan ilmu pengetahuan modern. Dan kelima, mengarahkan pemikiran Islam ke lintasan-lintasan yang mengarah pada pemenuhan pola rancangan Allah.32

Selanjutnya menurut Al-faruqi, kelima sasaran di atas dapat dicapai melalui 12 tahapan sistematis sebagai berikut:

1. Penguasaan terhadap disiplin-disiplin ilmu modern.

29 Lihat dalam Ismail Raji al-Faruqi, Islamization of Knowledge (Virginia: International Institute of Islamic Thought, 1989), hal, 34-36.

30 Ismail Raji al-Faruqi, Islamization of Knowledge, ibid, hal, 48.

31 Ziaudin Sardar, Jihad Intelektual, (Surabaya: Risalah Gusti, 1998), hal, 44.

(17)

Tahapan ini dimaksudkan agar disiplin ilmu modern dipilah menjadi kategori-kategori (kategorisasi), prinsip-prisip, metodologi-metodologi, problem-problem dan tema-tema yaitu suatu pemilahan yang menggambarkan daftar isi dalam sebuah buku teks.

2. Survey disipliner

Setelah pemilahan dilakukan maka suatu survey menyeluruh harus ditulis untuk suatu disiplin ilmu. Semua disiplin ilmu harus disurvei dan ditulis dalam bentuk bagan mengenai asal-usul dan perkembangannya beserta pertumbuhan metodologisnya, perluasan cakrawala wawasannya dan tak lupa membangun pemikiran yang diberikan oleh para tokoh utamanya. Langkah ini bertujuan menetapkan pemahaman muslim akan disiplin ilmu yang dikembangkan di dunia Barat.Tahapan itu perlu dilakukan agar sarjana-sarjana muslim mampu menguasai disiplin ilmu modern.

3. Penguasaan terhadap khazanah Islam

Disini yang diperlukan adalah antologi-antologi mengenai warisan pemikiran muslim yang berkaitan dengan disiplin ilmu.

4. Analisa terhadap khazanah Islam

Jika antologi-antologi telah disiapkan, khazanah pemikiran Islam harus dianalisis dari perspektif masalah-masalah kini.

5. Penentuan relevansi spesifik untuk setiap disiplin ilmu

Relevansi dapat ditetapkan dengan mengajukan 3 persoalan.

Pertama, apa yang telah disumbangkan oleh Islam, mulai dari al-Quran hingga pemikiran-pemikiran kaum modernis, dalam keseluruhan masalah yang telah dicakup dalam disiplin-disiplin modern. Kedua, seberapa besar sumbangan itu jika dibandingkan dengan hasil-hasil yang telah diperoleh oleh disiplin modern tersebut. Ketiga, apabila ada bidang-bidang masalah yang sedikit diperhatikan atau sama sekali tidak diperhatikan oleh khazanah Islam ke arah manakah kaum muslim harus mnegusahakan untuk mengisi kekurangan itu dan juga memformulasi masalah-masalah dan memperluas visi disiplin tersebut.

(18)

Jika relevansi islam telah disususun, maka ia harus dinilai dan dianalisis dari titik pijak Islam.

7. Penilaian kritis terhadap khazanah islam

Sumbangan khazanah islam untuk setiap bidang kegiatan manusia harus dianalisis dan relevansi kontemporernya harus dirumuskan.

8. Survey mengenai problem-problem terbesar umat Islam

Suatu studi sistematis harus dibuat tentang masalah-masalah politik, sosial, ekonomi, intelektual, kultural, moral, dan spiritual dari kaum Muslimin.

9. Survey mengenai problem-problem umat manusia

Suatu studi yang sama, kali ini difokuskan pada seluruh umat manusia, harus dilaksanakan.

10.Analisis grafik dan sintesis

Pada tahap ini sarjana muslim harus sudah siap melakukan sintesa antara khazanah-khazanah Islam dan disiplin moderen, serta untuk menjembatani jurang kemandegan berabad-abad. Dari sini khazanah pemikir Islam harus berkesinambungan dengan prestasi-prestasi moderen, dan harus menggerakkan tapal batas ilmu pengetahuan ke horison yang lebih luas dari pada yang sudah dicapai disiplin-disiplin modern.

11.Merumuskan kembali disiplin-disiplin ilmu dalam kerangka kerja

(framework) Islam.

Sekali keseimbangan antara khazanah Islam dengan disiplin ilmu modern telah dicapai, buku-buku teks universitas harus ditulis untuk menuang kembali disiplin-disiplin modern dalam cetakan Islam.

12.Penyebarluasan ilmu pengetahuan

Penyebarluasan ini dimaksudkan untuk mensosialaisasikan ilmu pengetahuan yang sudah diislamisasikan.33

Dari langkah-langkah dan rencana sistematis seperti yang terlihat di atas, nampaknya bahwa langkah Islamisasi ilmu pada akhirnya merupakan

(19)

usaha menuang kembali seluruh khazanah pengetahuan Barat ke dalam kerangka Islam. Maka rencana kerja islamisasi ilmu pengetahuan Al-Faruqi ini mendapat tantangan dari berbagai pihak, walaupun di lain pihak banyak juga yang mendukungnya. Ada yang menanggapinya secara positif bahkan menjadikannya sebuah lembaga, seperti IIIT (The International Institute Of Islamic Thought). Dan tidak sedikit pula meresponnya dengan pesimis sebagaimana yang ditunjukkan oleh cendikiawan lainnya seperti Fazlur Rahman, yang melihat merupakan proyek yang sia-sia sama sekali tidak kreatif. Untuk itu konsep islamisasi ilmu pengetahuan perlu dilihat dalam kerangka pemikiran secara keseluruhan agar tidak menimbulkan kerancuan.

Salah satu langkah konkret Al-Faruqi mengenai gagasan islamisasi ilmu pengetahuan yaitu dengan mendirikan IIIT (The International Institute Of Islamic Thought). Ide pendirian IIIT ini tidak terlepas dari latar belakang kondisi umat Islam yang secara global dan berabad-abad mengalami krisis atau malaise.

Di antara kerjasama yang telah dijalin oleh IIIT ini antara lain:

1. Kerjasama dengan Universitas Islam Islamabad Pakistan dengan mengadakan seminar The First International Conference Of Islamic Thought And Islamization Of Knowledge (1982). Forum seminar ini menghasilkan suatu pernyataan dan rumusan tentang arti islamisasi pengetahuan, prinsip-prinsip metodologis dan tujuan-tujuan islamisasi disiplin-disiplin yang sangat diperlukan bagi upaya mengislamkan pendidikan. Disepakati pula kerja praktis untuk mewujudkan proses Islamisasi pada masing-masing disiplin ilmu.

2. Kerjasama dengan The Association Of Muslim Social Scientist (AMSS) Amerika dan Kanada dengan mengadakan seminar Ekonomi Islam ke-3 dengan tema Resource Mobilization And Invesment In An Islamic Framework. Seminar yang diketuai oleh Zaidi Sattar ini diadakan di Catholic University Washington DC tahun 1990 yang diikuti oleh para ekonom dari seluruh dunia.

3. Kerjasama dalam bentuk penerbitan jurnal pemikiran Islam seperti jurnal

(20)

contoh dalam jurnal No.3 Vol X tahun 1993 dimuat kajian tentang The Methodology Of Islamic Behavioral Sciences oleh Mahmoud Abu Saud,

Islamic Sciences, The Making A Formal Intelectual Dicipline oleh Siraj Hussain dan Counseling Values And Objective, A Comparison Of Western And Islamic Perspektif karya Muntaz F. Jafari.

4. Penerbitan majalah yang berbahasa Arab dan Inggris, The Contemporary Muslims yaitu wujud kerjasama dengan sebuah yayasan yang berpusat di Kuwait yang bernama Al-Muslim Al-Mu’asir Foundation. Selain itu juga kerjasama dengan The Islamic Foundation yang berpusat di Leicester Inggris dengan melakukan penerbitan berkala yaitu The Muslim World Book Review dan Index Of Islamic Literature.34

C. Pro dan Kontra Islamisasi Ilmu Pengetahuan Di Kalangan Cendekiawan Muslim

Diskursus seputar Islamisasi ilmu ini telah begitu lama menebarkan perdebatan penuh kontroversi di kalangan umat Islam. Semenjak dicanangkannya sekitar 40 tahun yang lalu, berbagai sikap baik yang pro maupun yang kontra terus bermunculan. Satu pihak dengan penuh antusias dan optimisme menyambut momentum ini sebagai awal revivalisme (kebangkitan) Islam. Namun di pihak lain menganggap bahwa gerakan "Islamisasi" hanya sebuah euphoria sesaat untuk mengobati "sakit hati" (inferiority complex), karena ketertinggalan mereka yang sangat jauh dari peradaban Barat, sehingga gerakan ini hanya membuang-buang waktu dan tenaga dan akan semakin melemah seiring perjalanan waktu dengan sendirinya.

Dalam pandangan Syed Hossein Nasr, integrasi yang diinginkan al-Faruqi bukan saja sesuatu yang mungkin tetapi juga perlu untuk dilakukan. Menurutnya, para pemikir muslim seharusnya memadukan berbagai bentuk ilmu dalam kerangka pemikiran mereka. Bukan hanya menerima, tetapi juga melakukan kritik dan menolak struktur dan premis ilmu sains yang tidak sesuai dengan pandangan

(21)

Islam dan kemudian menuliskannya kedalam sebuah buku sebagaimana yang pernah dilakukan Ibnu Sina atau Ibn Khaldûn di masa lalu.35

Dukungan Islamisasi juga datang dari Ziauddîn Sardâr, pemikir muslim dari Inggris, ia berpendapat bahwa Islamisasi ilmu akan menjadi issue populer dan berkembang di masa depan, meski kini masih berada pada tahap “bulan sabit awal” seperti tercermin dari buku Ziauddin Sardar, An Enly Crescent: The Future of Knowledge and the Environment in Islam.36 Namun Sardar dalam hal ini

memiliki paradigma yang berbeda. Bahwasanya bukan Islam yang perlu direlevankan dengan ilmu pengetahuan modern. Justru sebaliknya, islamlah yang harus dikedepankan, dalam arti, ilmu pengetahuan modern yang harus dibuat relevan dengan Islam.

Bertolak dari pemikiran di atas, Sardar mengemukakan agar awal sekali yang harus dibangun adalah pandangan dunia islam (Islamic worlview) atau agenda yang pertama kali harus diagendakan adalah bagaimana membangun epistemologi islam yang berdasarkan pada al-quran dan hadits ditambah dengan memahami perkembangan dunia kontemporer.37

Maraknya perkembangan pemikiran seiring dengan lahirnya gagasan Islamisasi ilmu ini, bukan berarti semua umat Islam sepakat terhadap ide tersebut. Mereka percaya bahwa semua ilmu itu sudah Islami, sebab yang menjadi sumber utamanya adalah Allah SWT sendiri. Sehingga mereka sangsi dengan pelabelan Islam atau bukan Islam pada segala ilmu. Sebut saja dalam hal ini Fazlur Rahman, Muhsin Mahdi, Abdul Karim Soroush, Bassan Tibi, Hoodbhoy dan Abdul Salam.

Menurut Fazlur Rahman, ilmu pengetahuan tidak bisa diislamkan karena tidak ada yang salah di dalam ilmu pengetahuan. Masalahnya hanya dalam menyalahgunakannya. Dan bahkan ia berkesimpulan bahwa kita tidak perlu bersusah payah membuat rencana dan bagan bagaimana menciptakan ilmu pengetahuan Islami. Lebih baik kita manfaatkan waktu, energi dan uang untuk berkreasi. Bagi Fazlur Rahman, ilmu pengetahuan itu memiliki dua kualitas, seperti senjata dua sisi yang harus dipegang dengan hati-hati dan penuh tanggung

35 Rosnani Hasim, Gagasan Islamisasi…,ibid, hal, 41.

36 Ziauddin Sardar, Ed., An Enly Crescent: The Future of Knowledge and the Environment in Islam, (London: Mansell, 1989), hal. 73.

(22)

jawab, ia sangat penting digunakan dan didapatkan secara benar. Baik dan buruknya ilmu pengetahuan bergantung pada kualitas moral pemakainya. Abdul Salam, pemenang anugerah Nobel fisika berpandangan bahwa hanya ada satu ilmu universal dan tidak ada sesuatu yang dinamakan ilmu Islam, seperti juga tidak ada ilmu Hindu, ilmu Yahudi, atau ilmu Kristen.38

Senada dengan Abdul Salam, Pervez Hoodbhoy, yang juga pernah meraih penghargaan Nobel, menyangsikan keberadaan sains Barat, sains Islam, sains Yunani atau peradaban lain dan berpandangan bahwa sains itu bersifat universal dan lintas bangsa, agama atau peradaban. Menurutnya tidak ada bahkan tidak perlu sains Islam dan usaha untuk menciptakan sains Islam (Islamisasi ilmu) merupakan pekerjaan sia-sia.39

Terlepas dari pro-kontra mengenai islamisasi ilmu pengetahuan yang menjadi tantangan besar bagi kelanjutan proses Islamisasi dan merupakan the real challenge adalah komitmen sarjana dan institusi pendidikan tinggi Islam sendiri. Tantangan globalisasi yang terus berkembang seiring dengan perkembangan teknologi komunikasi dan informasi semakin membingungkan. Ilmu dianggap sebagai komoditi yang bisa diperjualbelikan untuk meraih keuntungan. Akibatnya, orientasinya pun ikut berubah, tidak lagi untuk meraih “keridhaan Allah” tetapi untuk kepentingan diri sendiri. Universitas pun hanya berorientasi untuk memenuhi kebutuhan pragmatis, menjadi pabrik industri tenaga kerja dan bukan lagi merupakan pusat pengembangan ide-ide ilmu pengetahuan. Sehingga merupakan hal yang wajar jika al-Attas mengungkapkan bahwa tantangan terbesar terhadap perkembangan gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan muncul dari kalangan umat Islam itu sendiri. Dan tantangan yang tak kalah besarnya adalah akibat kedangkalan pengetahuan umat Islam terhadap agamanya sendiri. Hal ini, menurutnya, bisa dilihat dari karya tulis yang mereka hasilkan yang mencerminkan bahwa mereka belum memahami Islam dengan baik.

38http://stai-almuslim.blogspot.com/2013/05/blog-post.html diakses pada tanggal 23/10/2013.

(23)

BAB III PENUTUP

(24)

tersebut menyebabkan dampak negatif terhadap umat Islam. Sebab dengan perkembangan ilmu pengetahuan tersebut memicu suatu kebobrokan moral dan etika yang tidak berlandaskan agama Islam. Oleh karena hal tersebut maka muncullah ide islamisasi ilmu pengetahuan yang diprakarsai oleh Syed Naquib Al-Attas dan Ismail Raji Al-Faruqi.

Islamisasi ilmu pengetahuan ini diterangkan secara jelas oleh al-Attas, yaitu pembebasan manusia dari tradisi magis, mitologis, animistis, kultur-nasional yang bertentangan dengan Islam dan dari belenggu paham sekuler terhadap pemikiran dan bahasa juga pembebasan dari kontrol dorongan fisiknya yang cenderung sekuler dan tidak adil terhadap hakikat diri atau jiwanya, sebab manusia dalam wujud fisiknya cenderung lupa terhadap hakikat dirinya yang sebenarnya, dan berbuat tidak adil terhadapnya. Selanjutnya al-attas sebelum melakukan proses islamisasi, ada sesuatu yang harus dilakukan, yakni islamisasi bahasa.

Untuk melakukan Islamisasi ilmu pengetahuan tersebut, menurut al-Attas, perlu melibatkan dua proses yang saling berhubungan. Pertama ialah melakukan proses pemisahan elemen-elemen dan konsep-konsep kunci yang membentuk kebudayaan dan peradaban Barat. Kedua, memasukan elemen-elemen Islam dan konsep-konsep kunci ke dalam setiap cabang ilmu pengetahuan masa kini yang relevan.

Sedangkan al-Faruqi, mendasarkan ilmu pengetahuan dengan tauhid kepada Allah. Adapun langkah-langkah dalam Islamisasi ilmu terdiri dari 12 langkah yang tersitematis dan banyak diapresiasi oleh banyak ilmuwan muslim di seluruh dunia. Sebagai langkah nyata al-faruqi dalam Islamisasi ilmu adalah mendirikan IIIT (The International Institute Of Islamic Thought).

(25)

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah Ahmad Na’im, dkk. 2003. Pemikiran Islam Kontemporer. Yogyakarta: Jendela

Abdul Sani. 1998 Lintasan Sejarah Pemikiran Perkembangan Modern dalam Islam.

Jakarta : Raja Grafindo Persada.

(26)

Ismail Raji al-Faruqi, 1989. Islamization of Knowledge. Virginia: International Institute of Islamic Thought.

John L.Esposito-John O Voll, 2002. Tokoh-tokoh Kunci Gerakan Islam Kontemporer. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Kafrawi Ridwan (Ed), 1993. Ensiklopedia Islam. Jakarta: Ichtiar Baru Van Houve

Khudori Soleh. 2003. Pemikiran Islam Kontemporer. Yogyakarta: Jendela.

Mudjia Rahardjo. 2006 Quo Vadis Pendidikan Islam: Pembacaan Realitas Pendidikan Islam, Sosial Dan Keagamaan.Malang: UIN Malang Press.

Muhaimin. 2003. Baru Pengembangan Pendidikan Islam: Pemberdayaan, Pengembangan Kurikulum, Hingga Redefinisi Islamisasi Pengetahuan. Bandung: Nuansa.

Muhammad Zainuddin. 2003. Filsafat Ilmu: Persfektif Pemikian Islam. Malang: Bayu Media.

Osman Bakar. 1994. Tauhid dan Sains. Bandung: Pustaka Hidayah.

Rosnani Hashim. Gagasan Islamisasi Kontemporer: Sejarah, Perkembangan dan Arah Tujuan, dalam Islamia: Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam (INSIST: Jakarta, Thn II No.6/ Juli-September 2005).

Syed Muhammad Naquib al-Attas. 1981. Islam dan Sekularisme, Terj. Karsidjo Djojosuwarno Bandung: Pustaka.

Wan Mohd Nor Wan Daud, 2003. Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas. Bandung: Mizan

Ziaudin Sardar.1998. Jihad Intelektual. Surabaya: Risalah Gusti

Ziauddin Sardar, Ed., 1989. An Enly Crescent: The Future of Knowledge and the Environment in Islam. London: Mansell

http://stai-almuslim.blogspot.com/2013/05/blog-post.html diakses pada tanggal

(27)

Referensi

Dokumen terkait

Upaya- Upaya yang telah dilakukan oleh Dinas Kominfo dan Komunikasi Pemerintah Kota Malang adalah bahwa menyangkut peran tugas Pejabat Pengelola Informasi dan

5 Tahun 2010 menyebutkan bahwa infrastruktur merupakan salah satu prioritas pembangunan nasional untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan sosial yang berkeadilan

Biaya yang diperlukan untuk melaksanakan kegiatan Peremajaan Perangkat Jaringan dan Security pada Pusat Data dan Teknologi Informasi serta Peningkatan Kapasitas Perangkat

• Penyiapan Perumusan Kebijakan, Koordinasi, Sinkronisasi Pelaksanaan Penyusunan, dan Evaluasi Perencanaan Pembangunan Nasional di Bidang Pangan dan

Industri Peralatan (Pressure Vessel, Heat Exchanger, Boiler, Air Cooler dan Pipe

Hasil : Dari 19 penjamah makanan sebagian besar berjenis kelamin perempuan (52.6%), tingkat pendidikan sebagian besar memiliki latar belakang pendidikan setara SMA

Dengan melihat latar belakang masalah di atas, maka pokok masalah dalam penulisan karya ilmiah ini, yaitu: Sejauh mana penggunaan smartphone dapat memberikan

Tijdschrift van Het kononklijk Nederlandsch, Aardrijkskundundig Genootschap, Deel LII, 1935 , hlm.. Pada akhir Maret pada harga ini transaksi pertama dengan