Kewajiban Untuk Tidak Mengalahkan Objek Dan Tujuan Dari Perjanjian
Suatu perjanjian internasional tentunya pasti memiliki objek dan tujuan yang ingin dicapai oleh perjanjian tersebut, terutama bagi negara-negara yang akan meratifikasi perjanjian itu agar dapat berkekuatan hukum tetap. Dalam article 18 pada Vienna Convention, disebutkan ketentuan yang menyatakan setiap negara peserta diwajibkan untuk menghormati objek dan tujuan dari suatu perjanjian internasional. Article 18 itu sendiri berbunyi sebagai berikut :
Article 181
Obligation not to defeat the object and purpose of a treaty prior to its entry into force
A State is obliged to refrain from acts which would defeat the object and purpose of a treaty when:
(a) it has signed the treaty or has exchanged instruments constituting the treaty subject to ratification, acceptance or approval, until it shall have made its intention clear not to become a party to the treaty; or
(b) it has expressed its consent to be bound by the treaty, pending the entry into force of the treaty and provided that such entry into force is not unduly delayed.
Keberadaan article 18 ini dapat dikatakan sebagai suatu bentuk perlindungan terhadap perjanjian yang telah disepakati baik itu terhadap negara anggota maupun negara lain yang nantinya turut ikut serta dalam perjanjian tersebut. Secara langsung, Article 18 melindungi legitimasi ekspektasi yang dimiliki oleh negara peserta, yang mana negara tersebut telah ikut serta didalam pembuatan perjanjian tersebut namun belum menyatakan diri terikat. Perlindungan ini berjalan di masa penandatanganan ke ratifikasi, kemudian
ratifikasi ke entry into force.2 Dalam hal ini, negara yang turut serta selama proses
pembuatan perjanjian tersebut dapat dikatakan sebagai negara yang telah menerima keberadaan dari perjanjian tersebut.
Oleh karena itu, kondisi ini kemudian membentuk suatu interim obligation
bagi negara peserta yang telah menunjukan penerimaannya terhadap suatu perjanjian. Sinclair menjelaskan bahwa ketentuan dari article 18 merupakan suatu kewajiban tersendiri yang tunduk dibawah general international law, yang tidak berasal dari perjanjian tersebut sehingga article 18 bukanlah perwujudan dari asas
pacta sunt servanda.3 Hal ini menunjukan bahwa memang tidak ada sanksi yang
diberikan bagi negara yang melakukan pelanggaran terhadap tujuan atau objek dari suatu perjanjian yang telah diterimanya karena memang tidak mengikat dengan adanya sanksi didalam Vienna Convention.
Melihat kepada praktek dari negara dan jurisprudensi internasional, ketika article 18 ini dibuat didalam Vienna Convention, ketentuan dari article ini dinilai sebagai sebuah an act of progressive development di masa itu.4 Hal ini
dikarenakan suatu interim obligation dalam perjanjian yang belum entry into force adalah hal baru yang belum pernah disebutkan sebelum adanya Vienna Convention. Namun, ditahun 2007, Pengadilan Keadilan Eropa (European Court of Justice) dalam pertimbangan memorandum mengenai kasus negara anggota
2 O. Dorr dan K. Schmalenbach, Vienna Convention on the Law of Treaties, (Berlin : Springer-Verlag, 2012), Hal. 220.
3 Sir Ian McTaggart Sinclair, Vienna Convention on the Law of Treaties, ( Manchester : Manchester University Press., 1984), Hal. 86.
Uni-Eropa terkait pembiayaan perwakilan Uni-Eropa di Nigeria, menyatakan bahwa prinsip Itikad Baik merupakan suatu Customary International Law dan secara jelas menyatakan bahwa Article 18 dari Vienna Convention merupakan kodifikasi dari prinsip tersebut.5 Hal ini menunjukan bahwa pada praktek dewasa
ini, article 18 sudah bukan dianggap lagi sebagai suatu progressive development
atau hukum yang baru dalam ketentuan perjanjian, melainkan suatu kodifikasi dari hukum kebiasaan internasional.