• Tidak ada hasil yang ditemukan

PHENOMENON OF HUMAN RIGHTS VIOLATIONS AN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PHENOMENON OF HUMAN RIGHTS VIOLATIONS AN"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)

ANALISIS FENOMENA PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA DI PAPUA

Oleh

Irfan Setiawan, S.IP, M.Si

Abstrack

Cases of Human Rights Violations Indonesia is inseparable from the international community to

pressure the Indonesian government to immediately bring to justice the perpetrators of crimes against

humanity committed in Papua and other areas. Various forms of Indonesia's efforts to meet its

obligations to maximize national legal mechanisms to address human rights violations in the country.

Government must demonstrate its seriousness to assure the protection of human rights of its citizens,

especially through the enforcement mechanisms for human rights in Indonesia. It can not be denied

that there are a lot of shortcomings in the handling of human rights in Papua, both in terms of legal

instruments, infrastructure and human resources that lead to legal uncertainty because it can not

resolved through settlement process of gross violations of human rights. This of course must be

addressed in addition to improve the effectiveness of the national legal system of Indonesia, as well as

to minimize the gap in international mechanisms to intervene in the Indonesian legal system.

A. Pendahuluan

Topik hak asasi manusia bukanlah wacana yang asing dalam diskursus politik dan ketatanegaraan

diIndonesia. Hal ini dapat Kita temui dengan gamblang dalam perjalanan sejarah pembentukkan bangsa ini, di

mana perbincangan mengenai hak asasi manusia menjadi bagian daripadanya. Jauh sebelum kemerdekaan, para

perintis bangsa ini telah memercikkan pikiran-pikiran untuk memperjuangkan harkat dan martabat manusia

yang lebih baik. Pemikiran tersebut dapat dibaca dalam surat-surat R.A. Kartini yang berjudul “Habis Gelap

Terbitlah Terang”, karangan-karangan politik yang ditulis oleh H.O.S. Cokroaminoto, Agus Salim, Douwes Dekker, Soewardi Soeryaningrat, petisi yang dibuat oleh Sutardjo di Volksraad atau pledoi Soekarno yang

berjudul ”Indonesia Menggugat” dan Hatta dengan judul ”Indonesia Merdeka” yang dibacakan di depan

pengadilan Hindia Belanda.

Diskursus mengenai hak asasi manusia ditandai dengan perdebatan yang sangat intensif dalam tiga

periode sejarah ketatanegaraan, yaitu mulai dari tahun 1945, sebagai periode awal perdebatan hak asasi

manusia, diikuti dengan periode Konstituante (tahun 1957-1959) dan periode awal bangkitnya Orde Baru (tahun

1966-1968).1 Dalam ketiga periode inilah perjuangan untuk menjadikan hak asasi manusia sebagai sentral dari kehidupan berbangsa dan bernegara berlangsung dengan sangat serius. Tetapi sayang sekali, pada

periode-periode emas tersebut wacana hak asasi manusia gagal dituangkan ke dalam hukum dasar negara atau konstitusi.

Pada periode reformasi muncul kembali perdebatan mengenai konstitusionalitas perlindungan hak

asasi manusia. Karena kuatnya tuntutan dari kelompok-kelompok reformasi ketika itu, maka perdebatan

bermuara pada lahirnya Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia. Isinya bukan hanya

1

(4)

memuat Piagam Hak Asasi Manusia, tetapi juga memuat amanat kepada presiden dan lembaga-lembaga tinggi

negara untuk memajukan perlindungan hak asasi manusia, termasuk mengamanatkan untuk meratifikasi

instrumen-instrumen internasional hak asasi manusia. 2

Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia mendefinisikan,

"Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia."

Secara umum hak asasi dibagi menjadi dua. Pertama, adalah hak asasi alamiah manusia sebagai

manusia, seperti hak untuk hidup, kebebasan pribadi, dan hak bekerja. Kedua, hak asasi yang diperoleh manusia

sebagai bagian dari masyarakat, sebagai anggota keluarga, dan sebagai individu di masyarakat, seperti hak

memiliki rumah tangga, hak untuk mendapatkan keamanan, hak untuk mendapatkan keadilan, dan hak

persamaan dalam hukum. Suatu kelompok manusia untuk mendapatkan sebesar-besarnya manfaat maupun

keuntungan terkadang mengupayakan berbagai cara yang tidak sehat untuk menghadang rival-rivalnya. Perilaku

yang tidak sehat ini mengakibatkan hilangnya beberapa atau sebagian besar hak-hak rivalnya maupun

masyarakat sekitarnya.

Pengadilan Hak Asasi Manusia Indonesia adalah pengadilan khusus terhadap pelanggaran berat hak

asasi manusia. Definisi pelanggaran berat hak asasi manusia dapat dilihat dalam penjelasan Pasal 104

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa pelanggaran berat hak asasi manusia adalah:

“pembunuhan massal (genocide), pembunuhan sewenang-wenang atau di luar putusan pengadilan (arbitrary/extra judicial killing), penyiksaan, penghilangan orang secara paksa, perbudakan, atau

diskriminasi yang dilakukan secara sistematis (systematic discrimination)”.

Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 sendiri tidak mendefinisikan pengertian istilah “pelanggaran berat hak asasi manusia”, melainkan hanya menyebut kategori kejahatan yang merupakan pelanggaran berat hak asasi manusia, yakni: kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan genosida Yang dimaksudkan dengan

kejahatan genosida sebagaimana pasal 8 adalah “setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis dan kelompok

agama, dengan cara:

a. membunuh anggota kelompok;

b. mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok;

c. menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh

atau sebagian;

d. memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan memaksakan kelahiran di dalam kelompok; dan

2

(5)

e. memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain”

Pengadilan Hak Asasi Manusai Indonesia berwenang untuk mengadili pelanggaran berat hak asasi

manusia setelah Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 berlaku. Bagi pelanggaran berat hak asasi manusia

yang terjadi sebelum Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 diundangkan maka, seperti yang diatur dalam

Pasal 43, dilaksanakan oleh Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc yang dibentuk dengan Keputusan Presiden

berdasarkan usul Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Maraknya gerakan terorisme ataupun munculnya gerakan separatis, baik di luar negeri maupun di dalam

negeri, sangat mungkin merupakan reaksi dari sangat minimnya kebijakan pemerintah yang mampu

mengakomodasi keberadaan hak-hak kemanusiaan individu, warga, dan masyarakat sebagai bagian dari suatu

bangsa. Gerakan Aceh Merdeka, misalnya. Terganjalnya keinginan penerapan hukum syariah di daerah dan

ketidakadilan dalam hal pembagian pendapatan antara pusat dan daerah, menjadi beberapa sebab terjadinya

konflik bersenjata antara GAM dan pemerintah selama tiga dekade.

Papua adalah salah satu permasalahan berikutnya yang segera membutuhkan penanganan mendesak dari

pemerintah pusat. Melimpahnya dana yang digulirkan pemerintah dalam kebijakan otonomi khusus melalui Unit

Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat (UP4B) yang tujuan utamanya untuk peningkatan

kesejahteraan masyarakat, belum efektif meningkatkan pembangunan dan parahnya dikabarkan mengalami

kebocoran yang cukup besar.

Ditambah lagi keterusikan masyarakat Papua dengan keberadaan perusahaan pertambangan emas asing

yang terus mengeruk kekayaan emas bumi Papua, dibandingkan dengan kesejahteraan dan peningkatan

pembangunan yang tidak sebanding sama sekali. Hal itu semakin jelas menggambarkan ketertindasan hak-hak

rakyat pribumi Papua. Mereka menjadi semakin jauh dari situasi yang disebut hidup dengan lebih layak

menikmati pembangunan, pendidikan, kesehatan, sarana prasarana umum, pekerjaan, dan turut serta

memperoleh manfaat dari pengelolaan kekayaan alam daerah.

B. Identifikasi Pelanggaran HAM di Papua

Ketertindasan hak-hak rakyat, keadilan, dan kesejahteraan, selayaknya menjadi prioritas utama

pemerintah dalam menentukan segala bentuk kebijakan pembangunan, baik di pusat maupun di daerah. Dengan

demikian, hal itu diharapkan mampu mengakomodasi keberadaan hak-hak kemanusiaan individu dan

masyarakat sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Contohnya Papua, dengan gampang

setiap orang Papua mengisahkan berbagai macam peristiwa tragis: “bapa dibunuh di kali, ibu dan adik

perempuan diperkosa, kampung-kampung dibumihanguskan, hutan sagu dihabiskan dan diganti dengan

rumah-rumah transmigrasi, perusahaan masuk tanpa bicara”, dsb. Ingatan penderitaan (memoria passionis) itu begitu hidup dan diwariskan dari generasi ke generasi sehingga menjadi ingatan kolektif. 3

3

(6)

Namun tidak semua ingatan tersebut didokumentasikan atau dicatat secara tertulis sehingga dapat

menjadi fakta-fakta yang kuat dan tahan uji di hadapan hukum. Baru dalam tahun 1990-an sejumlah kasus

penting didokumentasikan oleh kalangan LSM. Selain itu, selama puluhan tahun para korban atau saksi belum

pernah mendapat kesempatan untuk menyatakan kepedihannya atau pengalamannya di hadapan siapapun juga.

Sebagian kecil saksi atau saksi korban sekarang dapat memberikan kesaksian entah di tingkat lokal, nasional

dan internasional (misalnya kasus pembunuhan Theys H. Eluay), tetapi hal itu tidak terjadi dengan kasus operasi

militer tahun 1977 di Wamena atau Akimuga. Saksi-saksi juga tidak terekam dalam peristiwa pengungsian besar

1984-1988 dari wilayah Muyu, Pedalaman Merauke, ke negara PNG4. Dengan demikian hingga kini data yang tersedia mengenai fakta dan konteks pelanggaran berat HAM amat terbatas begitu juga saksi yang telah

mendapat pendampingan sehingga mampu mengungkapkan pengalaman hidupnya secara akurat, lengkap, dan

jujur.

Secara ringkas terdapat tiga unsur faktual yang turut melatarbelakangi persoalan di Papua dewasa ini5:

1. Suatu kompleks pengalaman selama puluhan tahun terakhir ini yang lazimnya disebut “Memoria

Passionis” yang kolektif, atau “ingatan penderitaan sebangsa”. Pengalaman-pengalaman penderitaan bersumber pada:

a. pada kebijaksanaan pembangunan yang diterapkan Pemerintah Indonesia selama 38 tahun terakhir

ini.

b. terjadinya puluhan pelanggaran HAM di wilayah Papua selama Papua diintegrasikan kedalam

Republik Indonesia.

c. kehadiran serta tingkahlaku ABRI di wilayah ini yang lazimnya ditandai suatu sikap arogan dan

main kuasa sewenang-wenang.

2. Kejadian-kejadian selama sejarah Bangsa Papua seperti:

a. Program pemerdekaan yang diprakarsai oleh Pemerintah Belanda pada tanggal 1 Desember 1961,

dengan [1] mengangkat wakil-wakil masyarakat setempat menjadi 50% dari jumlah anggota Nieuw

Guinea Raad (DPR), [2] mengibarkan bendera Bintang Kejora berdampingan dengan bendera

Belanda, dan [3] mensosialisasikan lagu kebangsaan “Hai Tanahku Papua”.

b. Penetapan “New York Agreement” (NYA) pada tahun 1962, yang dijadikan dasar peralihan Nederlands Nieuw Guinea dari kekuasaan pemerintah Belanda kepada kekuasaan pemerintah

Indonesia. Kesepakatan dasar ini ditetapkan tanpa pengambilan bagian oleh Bangsa Papua sendiri

didalam perundingan.

4

SKP Keuskupan Jayapura pernah diminta oleh UNHCR untuk mengadakan penelitian mengenai pengungsi Muyu yang telah kembali dari PNG ke kampung halamannya. Penelitian singkat itu dituangkan dalam laporan “Returnees from Papua New Guinea to Irian Jaya, a survey report”, Jayapura: SKP Keuskupan Jayapura, 1999

5

(7)

c. Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) pada tahun 1969, yang dilaksanakan secara tidak benar

karena disertai intimidasi, paksaan, penganiayaan, dan dengan menafsirkan secara sepihak isi

persyaratan pelaksanaan sebagaimana tertuang dalam NYA, hingga bercacat hukum.

3. Protes masyarakat selama ini yang tidak pernah didengar atau ditanggapi dengan serius oleh pihak yang

berkuasa, maka

a. Bangsa Papua tidak pernah merasa diri diakui martabat serta jati dirinya sebagai manusia sejati.

b. Bangsa Papua tidak pernah merasa diri diakui dan dilindungi sebagai warga negara Indonesia

sepenuhnya dengan segala hak serta kewajibannya sebagai warga negara, seperti digariskan dalam

alinea ke-4 pembukaan konstitusi Republik Indonesia (UUD 1945)

Pengalaman di atas akhirnya betul menjadikan bangsa Papua merasa tidak berdaya karena

terus-menerus diperlakukan bukan sebagai manusia yang memiliki harkat dan martabat dengan bangsa-bangsa lain di

dunia ini. Sementara itu, Theo van den Broek, mengemukakan faktor-faktor yang secara mudah dapat memicu

konflik dan ketegangan suasana masyarakat papua sehingga menimbulkan pelanggaran hak asazi manusia6 yaitu:

1. Perbedaan aspirasi politik

Perbedaan aspirasi politik khususnya menyangkut masuknya Papua ke dalam Republik Indonesia belum

mencapai suatu penyelesaian yang memuaskan. Sedangkan pemberian Otonomi Khusus sebagai jalan keluar

ternyata belum mampu menjawab segala aspek aspirasi sebagaimana sedang hidup ditengah-tengah

masyarakat; malahan pemberian Otonomi Khusus bisa sampai menimbulkan suatu ketegangan antar orang

Papua sendiri.

2. Penyalahgunaan jabatan dan kekuasaan

Dalam rebutan jabatan dengan prioritas pada peluang bagi “Putra Dearah” terdapat titik-titik rawan yang amat mudah pecah menjadi konflik antar suku. Apalagi penyakit KKN serta penyakit mental proyek yang

sudah lama menjangkiti pemerintah pusat dengan mudah dapat menular ke Papua.

3. Pemerintahan yang semu

Walau diharapkan supaya pemerintahan di Papua makin berkembang menuju suatu pemerintahan sipil,

peranan TNI sangat menonjol dan makin hari makin menentukan. Seakan-akan TNI dapat berperan terlepas

dari kuasa Pemerintah Sipil. Apalagi sulit disangkal bahwa peranan TNI tidak lepas dari

kepentingan-kepentingan ekonomis, dan sering memiliki suatu agenda tersendiri. Peranan TNI nyatanya menjadi sumber

konflik dan ketegangan ditengah-tengah masyarakat.

4. Kecurigaan antar kelompok etnis dan suku

Kurangnya penghormatan terhadap harkat dan martabat manusia yang luhur berserta hak-hak yang melekat

padanya adalah salah satu medan konflik lain. Penghormatan kepada seorang manusia karena “dia manusia”,

6

Theo van den Broek, 2002, Membangun Budaya Damai Menuju Papua Tana Damai, makalah dalam lokakarya, Sentani

(8)

belum menjadi pandangan dan sikap hidup banyak orang diantara kita. Nilai dan martabat seorang manusia

rupanya lebih diukur menurut penampilan lahiriahnya (warna kulit dll.) atau menurut kekayaan dan

kedudukan sosialnya.

5. Kecurigaan antar kelompok agama

Naluri manusia untuk bersaing dan menjadi lebih unggul dari saingannya mendorong manusia untuk

mengerahkan Tuhannya menjadi pendukung dalam persaingan. Dari persepsi yang sempit itu timbullah

dalam agama-agama sepanjang sejarah sikap fanatik yang negatif dari kelompok-kelompok ekstrem yang

mau mengungguli yang lain sampai mau menghapus keberadaan yang lain dengan membenarkan segala cara.

Dengan persepsi yang demikian tentang Tuhan, orang beragama tidak menjadi pembawa damai tetapi

sebaliknya menjadi pembawa ketegangan dan kerusuhan dengan segala tindak kekerasan baik itu secara fisik

maupun kekerasan psikis yang dapat memicu kekerasan.

6. Kesenjangan sosial ekonomi

Salah satu medan konflik potensial yang sangat dasariah adalah medan sosial-ekonomi yang ditandai suatu

kesenjangan antara lapisan masyarakat. Ada yang memiliki banyak, bahkan berlebihan, dan ada yang

memiliki sedikit bahkan terus-menerus hidup dalam kekurangan. Kesenjangan antara yang kaya dan miskin

menjadi ketidakadilan (akibat dari usaha untuk membela keberadaannya tanpa kompromis) yang

menyebabkan hubungan antara manusia tidak selaras. Ini suatu potensi konflik yang mengancam dan

merusakkan ketenangan di Papua.

Faktor-faktor tersebut, membuat banyak warga maupun lembaga berkeyakinan bahwa konflik-konflik

potensial menjadikan masalah dengan pemakaian kekuasaan serta kekerasan yang selama ini dilakukan oleh

beberapa pihak yang bertikai, temasuk pihak TNI.

C. Gambaran Peristiwa Pelanggaran HAM

Dalam laporan situasi kabupaten keerom7 disimpulkan fakta-fakta yang terungkap dalam laporan tersebut yang dapat diidentifikasikan sebagai pelanggaran Hak Asazi Manusia sebagai berikut:

1. Setelah mengalami sejarah kekerasan dan pengungsian yang panjang, masyarakat Keerom, khususnya di

Distrik Arso, Waris, dan Web, berkeinginan hidup secara normal sebagaimana umumnya dijalani

masyarakat biasa di wilayah lain. Merekapun berkehendak kuat untuk terlibat dalam pembangunan wilayah

itu setelah dimekarkan menjadi satu kabupaten sendiri. Hal ini terbukti dari kerja keras mereka menanam

beratus hektar tanaman coklat maupun vanili yang kini sudah mulai berbunga di kampung-kampung

7

(9)

mereka. Bahkan dalam rangka menciptakan taraf hidup yang lebih baik, dengan rela mereka kadang

memikul hasil perkebunannya berhari-hari di jalan untuk dijual di Jayapura.

2. Keinginan itu dihambat oleh kehadiran pos-pos pasukan TNI di tengah kampung dalam jumlah yang

signifikan di wilayah mereka yang nyata-nyata membangkitkan kembali rasa trauma dan tertekan. Mereka

merasa tidak aman hidup di atas tanahnya sendiri sehingga ada beberapa anggota keluarga yang sudah

mengemukakan keinginan mereka untuk mengungsi kembali ke PNG bila situasi keamanan masih sama

seperti sekarang. Kehadiran pos TNI dengan dampak semacam ini nyata-nyata telah bertentangan dengan

UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia khususnya pasal 9 ayat 2, pasal 29 ayat 1 dan pasal 30.

4. Kehadiran dan tindakan intimidasi anggota TNI, khususnya Satuan Kopassus tersebut, juga telah

mengakibatkan pembatasan kebebasan bergerak pada warga masyarakat Waris. Tindakan ini bertentangan

dengan UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia khususnya pasal 27.

5. Oknum-oknum Satuan TNI, khususnya Satuan Kopassus, senyatanya telah melakukan tindakan yang

interogasi, penangkapan, dan penahanan yang hanya merupakan kewenangan aparat penegak hukum.

6. Secara khusus saat ini warga Keerom benar-benar merasa resah dengan kehadiran dan tindak-tanduk satuan

Kopassus di pos-Pos Satgas TNI yang mencurigai setiap gerak-gerik masyarakat, merekrut TBO,

mengedarkan miras, melakukan praktik asusila, kekerasan terhadap perempuan sehingga masyarakat tidak

dapat „hidup dalam tatanan masyarakat dan kenegaraan yang damai, aman, dan tenteram, yang

menghormati, melindungi dan melaksanakan sepenuhnya hak asasi manusia dan kewajiban dasar manusia‟

seperti diatur dalam pasal 35 UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia.

7. Satgas Kopassus senyatanya juga mengintimidasi, meneror Petugas Gereja Katolik yang menjalankan tugas

pelayanan gereja di wilayah tersebut dan bahkan secara verbal menyatakannya ke media massa. Tindakan

ini merupakan bukti nyata upaya merongrong kewibawaan suatu lembaga keagamaan yang dilindungi

keberadaannya di negara ini dan memiliki andil Laporan Situasi Hak Asasi Manusia di Wilayah Keerom

besar dalam pembangunan manusia di Papua. Selain itu tindakan tersebut dapat dinilai sebagai

penyerangan terhadap pekerja kemanusiaan sebagaimana diatur dalam pasal 1 Deklarasi PBB tentang

Pembela Hak Asasi Manusia tahun 1998

8. Tingkah laku oknum-oknum anggota TNI, khususnya Satuan Kopassus, di Keerom yang melakukan

intimidasi, interogasi, dan bahkan penganiayaan terhadap aparat pemerintah daerah (Kepala Kampung,

Kepala Distrik) dan anggota kepolisian setempat sesungguhnya telah menodai jatidiri dan kewibawaan TNI

sebagai Tentara Profesional yang menganut prinsip supremasi sipil dan menjunjung tinggi ketentuan

hukum nasional.

9. Dari rangkaian laporan Keuskupan Jayapura kepada pimpinan militer di Jayapura sejak 2000, tidak terdapat

perubahan nyata di lapangan mengenai perilaku prajurit dan komandan lapangan. Tindakan oknum-oknum

tersebut sebagaimana dilaporkan di atas nyata-nyata menyalahi jatidiri TNI sebagai tentara profesional

(10)

10. Selain itu, satuan-satuan TNI yang bertugas di Wilayah Keerom khususnya dan perbatasan pada umumnya

tidak mampu menjalankan tugas sebagai pelindung keselamatan bangsa (pasal 7 ayat 1 UU No. 34/2004

tentang Tentara Nasional Indonesia) karena justru berbagai tindak intimidasi, teror, perilaku asusila, datang

dari oknum-oknum yang ditugaskan di wilayah tersebut terhadap warganegara Indonesia yang tinggal di

wilayah Keerom.

Dari berbagai fenomena yang telah dijelaskan di atas, dapat disimpulkan bahwa memang selama ini,

berdasarkan fakta-fakta terdapat beberapa laporan tentang tindakan pelanggaran hak asasi manusia di wilayah

Papua, yang membuat keresahan dan ketidak tenangan warga masyarakat indonesia yang bermukim di wilayah

Papua.

Wajar bahwa akhirnya masyarakat diberikan keleluasaan untuk bicara dan mengemukakan aspirasinya,

mimpinya. Wajar pula bahwa tidak semua sependapat sehingga munculah ketegangan dan konflik. Namun entah

bagaimana isi konfliknya, selalu perlu dipertanyakan mengapa orang bereaksi demikian? Apa yang terjadi di

masa lampau yang membuat orang protes? Kiranya tidak membantu kalau setiap protes diremehkan dan dicap

seakan-akan hanyalah merupakan suatu ungkapan separatis belaka, apalagi kalau protes yang damai dijawab

dengan kekerasan saja. Penggunaan kekerasan hanya memperparah konflik yang sudah ada. Tindakan demikian

tetap tidak mengakui hak dasar orang atas kebebasan berpendapat.

D. Mempolakan Peristiwa Kekerasan di Papua

Sementara, bila membaca beberapa data peristiwa yang dikemukakan dalam berbagai laporan, catatan,

studi dan berita dari beberapa LSM, surat kabar dan lainnya, dapat penulis simpulkan bahwa memang banyak

fakta disebutkan, namun dokumentasi fakta-fakta itu sering kurang tajam atau kurang teliti8 karena ternyata bukti-bukti kurang tersedia. Maka, bila penulis mau menjawab pertanyaan mengenai pola pelanggaran Ham di

Papua, pertama-tama penulis perlu melengkapi data tindakan/peristiwa menjadi „bahan yang terukur dan jelas‟. Dalam dokumentasi itu mungkin juga baik kalau dibedakan antara sejumlah jenis tindakan/peristiwa kekerasan.

Upaya itu, menurut penulis, hanya dapat diterima sebagai suatu upaya agar lebih peka tentang dampak dari pola

pelanggaran HAM di Papua, dan sekaligus mengajak masyarakat untuk lebih bersikap kritis tentang pola

pelanggaran HAM di Papua.

Berikut ini Elsham Papua Barat bersama Sinode GKI di Tanah Papua (2004) mempolakan peristiwa

kekerasan dan pelanggaran HAM di papua yaitu:

1) Tindak kekerasan terhadap individu

8

(11)

Dibawah kategori ini kami menggolongkan segala tindakan yang diarahkan kepada seorang pribadi

tertentu; bisa menyangkut tokoh-tokoh OPM (terutama selama tahun 60an dan 70an); bisa menyangkut

pribadi orang yang tidak disenangi karena mengangkat harkat bangsa Papua (orang seperti Arnold Ap – 1984- , Black Brothers dan elite intelektual); menyangkut pemimpin populer seperti Wanggai –1998-, Willem Onde –2001-, atau Theys Eluay –2001; bisa menyangkut kekerasan psikis terhadap tokoh-tokoh politik yang diisyukan (Jaap Salossa dan John Ibo sebagai „pejuang Papua merdeka‟). Bila seluruh sejarah penderitaan diperiksa secara teliti pastilah dapat menghasilkan suatu daftar panjang, dan dokumentasi

seperti itu sangat kita butuhkan (sampai saat ini tidak tersedia untuk umum).

2) Tindak kekerasan terhadap sekelompok / penduduk sewilayah

Tindakan semacam ini ada sejak protes masyarakat Papua terhadap segala bentuk penindasan mulai

terungkap. Lebih-lebih setelah OPM mulai aktif dan merangkul banyak masyarakat. Tindakan terhadap

sekelompok/penduduk sewilayah mulai dilakukan oleh aparat keamanan seperti di wilayah suku bangsa

Arfak (60an dan 70an) yang dinilai sebagai pusat perlawanan terhadap pemerintah Indonesia. Di Biak juga

terdapat operasi-operasi sejenis, apalagi segala operasi militer yang dilakukan antara 1977 dan 1984 di

wilayah Pegunungan Tengah dan wilayah suku bangsa Amungme; bukan individu yang menjadi sasaran

operasi, namun seluruh penduduk di wilayah tersebut karena dicap / diberikan stigma OPM/TPN atau GPK.

Tindakan sejenis ini juga dijalankan setelah peristiwa di Mapnduma (1996), Abepura (2000), Wamena

(2000), Wasior (2001), Ilaga (2001), Wamena (2003). Operasi-operasi semacam ini dikenal sebagai

„operasi penyisiran‟ yang dilegitimasi dengan adanya salah satu peristiwa khusus dan terbatas (entah

pelakunya siapa) dan dengan adanya stigmatisasi seperti “orang Pegunungan Tengah semua pengacau”.

Dalam tindakan-tindakan dengan kategori ini tidak dibedakan lagi antara mereka yang langsung terlibat

dalam salah satu peristiwa dan yang tidak, tetapi siapa saja yang dapat ditemukan menjadi sasaran operasi.

Yang juga cukup khas berkaitan dengan kategori tindakan ini adalah terjadinya pengungsian massal guna

melarikan diri dari tempat yang menjadi sasaran tindak kekerasan.

3) Tindakan intimidasi

Kategori ini tidak begitu nyata dalam tindakan-tindakan yang menonjol atau tindakan yang langsung

menimbulkan korban. Tindakan dibawah kategori ini menyangkut “gerak-gerik pihak keamanan saat

bertugas ditengah masyarakat”. Menurut banyak laporan yang tidak pernah diterbitkan namun tersedia dalam arsip lembaga kelembaga keagamaanan, perilaku para unsur keamanan di daerah (apalagi yang jauh

dari mata instansi pengawasan) sering ditandai arogansi, pemaksaan, perintah sewenang-wenang, ancaman

dll. Sehingga masyarakat tidak bebas bergerak, merasa dicurigai, atau de facto mengalami pemukulan serta

bermacam-macam siksaan. Suasana demikian yang berlangsung cukup lama apalagi selama status DOM

diberlakukan di pelbagai bagian provinsi Papua telah menghasilkan suatu masyarakat yang makin hari

makin bisu dan ketakutan.

(12)

Dibawah kategori ini dapat kami golongkan segala bentuk kegiatan ekonomis yang merugikan kepentingan

atau mengabaikan hak-hak masyarakat. Sudah menjadi pemahaman umum bahwa diadakannya kegiatan

pertambangan oleh PT Freeport membawaserta cukup banyak akibat yang sangat merugikan masyarakat

lokal: dapat berupa pencemaran lingkungan, memindahkan penduduk, peniadaan peluang ekonomis bagi

penduduk setempat, tindakan pengamanan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, kehadiran aparat

keamanan di luar proporsi dengan segala akibatnya, merusak kebudayaan setempat, mengabaikan hak

ulayat, membatasi partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan yang penting/berdampak besar dst.

Suatu gambaran sejenis dapat ditemukan dalam proyek BP, konsesi HPH, konsesi penangkapan ikan,

program PIR, program Kapet, kegiatan eksplorasi dsb.

5) kebijakan negara yang berpeluang melanggar HAM

Beberapa kategori ini secara tentatif kami menggolongkan kebijakan seperti pelaksanaan Pepera (1969),

pemberlakuan DOM (sampai akhir 1998) termasuk penempatan personil keamanan, pemekaran paksaan

(Inpres No. 1/2003), program transmigrasi (tahun 70an ke atas) sejauh menjadi program pemerintah atau

sejauh dibiarkan tanpa peraturan yang nyata, penolakan pemerintah pusat untuk menyelesaikan

pembentukan MRP sebagai sarana kunci dalam pelaksanaan isi Otonomi Khusus Papua, segala promosi

„kebudayaan korupsi dan proyek‟, dan akhirnya – bukan yang paling ringan – ketidaktegasan dalam penegakan hukum (bdk tindakan terhadap para tahanan di Wamena berkaitan dengan peristiwa tahun 2000,

atau saja vonis terhadap para terdakwa sipil dalam kasus Wamena 2003, atau penyelesaian pembunuhan

Theys secara hukum tahun 2003). Kami berpendapat bahwa suatu dokumentasi yang teliti mengenai

kebijakan pemerintah yang sebenarnya de facto merugikan pembangunan masyarakat di Papua akan sangat

membantu untuk menilai motif politik atau motif apa saja di belakang tindakan-tindakan pemerintah RI

terhadap Papua.

E. Analisa Penanganan Hak Asasi Manusia di Papau

Papua merupakan salah satu wilayah konflik mencakup berbagai segi kehidupan: kehidupan berumat

(yang berbeda suku, agama dan budaya), kehidupan keluarga, dan lingkungan tempat kita bekerja, yang

kadangkala menciptakan rasa ketakutan yang luarbiasa dalam kehidupan bersama setiap hari. Memang konflik

sudah menjadi kenyataan sehari-hari. Sebenarnya kenyataan ini tidak mengherankan karena adanya konflik

semata-mata menunjukkan bahwa kehidupan bermasyarakatan kita terus dalam proses perubahan. Kehidupan

kemasyarakatan dewasa ini lain daripada 50 tahun yang lalu.

Setiap perobahan membawa serta suasana konflik; karena sesuatu yang „sudah menjadi biasa‟ atau

„yang disayangi‟ mau diubah, atau tidak dapat dihindari akan berubah. Karena itu pastilah muncul protes. Orang protes karena takut akan dunia yang baru, atau protes karena ketenangan hidup mereka, kepentingan atau

keistimewaannya diganggu atau dihilangkan. Kita semua masih mengingat betapa sulitnya peralihan dari Orde

(13)

saja jika kita akan mengalami konflik dan perubahan pun pasti terjadi. Namun kita tidak perlu takut, karena

konflik adalah bagian dari suatu proses alamiah, yang tinggal ditangani saja.

Memang menangani suatu suasana konflik tidak mudah, sehingga dituntut suatu seni tersendiri, suatu

budaya tersendiri sedemikian rupa sehingga suatu konflik dapat diatasi dengan baik tanpa menelan korban atau

memakai kekerasan. Dalam kebudayaan feodal segala konflik diatasi dengan memakai kekuasaan yang dimiliki

oleh segelintir orang yang menentukan segalanya dan keistimewaan mereka tidak boleh diganggu-gugat.

Berikut ini beberapa alternatif penyelesasian penanganan masalah pelanggaran hak asazi manusia di Papua.

1. Penegakan peraturan Sipil dan menghindarkan tindakan militer

Tidak bisa dipungkiri bahwa „rasa aman‟ merupakan kebutuhan mendasar semua manusia. Sifatnya

yang demikian mendorong semua unsur dalam masyarakat untuk memperjuangkannya dengan cara dan

perannya masing-masing. Maka menciptakan rasa aman merupakan tugas semua unsur masyarakat, namun tidak

dalam arti semua masyarakat sipil wajib menjalankan sistem keamanan lingkungan (Siskamling) setiap malam,

misalnya, atau dapat direkrut sebagai TBO (tenaga bantuan operasi), atau direkrut sebagai anggota Barisan

Merah Putih. Semua unsur menyumbang pada keamanan dapat diwujudkan dengan menjalankan tugas

semestinya (tanpa korupsi, dengan berdisiplin, dengan menghargai orang lain, dst).

Secara formal hukum pengamanan masyarakat sipil menjadi tanggungjawab lembaga Kepolisian;

sedangkan tentara diberi mandat untuk menjaga pertahanan negara terhadap serangan dari luar – atau dari pihak yang mengancam keselamatan negara. Namun ditengah-tengah masyarakat tidak terlalu jelas pembagian tugas

antara dua lembaga ini, sehingga masyarakat sangat bingung. Dalam sejumlah kasus terjadi perebutan peran dan

sering dengan memakai kekerasan dengan akibat warga masyarakatlah yang menjadi korban di tengah

perseteruan tersebut. Lebih kabur lagi kalau pelaksanaan tugasnya tercampur dengan keterlibatannya dalam

kegiatan yang sebenarnya tidak menjadi urusannya, seperti, usaha-usaha ekonomis. Sekali Polisi atau TNI

terlibat dalam usaha-usaha ekonomis, sudah tentu menjadi suatu kepentingan yang dijaganya dengan

mengandalkan kekuatan yang ada padanya. Jelaslah campuran kepentingan ini sangat mengganggu kemurnian

pelaksanaan tugas. Sangat disayangkan bahwa pihak keamanan sendiri dapat menciptakan “ketidakamanan” dalam masyarakat seperti terungkap dalam beberapa peristiwa di Papua pada tahun-tahun terakhir. Karena itu

diperlukan adanya:

a) Pemetaan yang jelas mengenai peran antara aparat keamanan dalam hal ini pihak kepolisian, dengan

pihak militer – termasuk yang berstatus non-organik – serta kelompok masyarakat sipil agar tidak

terjadi “bentrokan” dalam menjaga keamanan dan ketertiban dalam masyarakat.

b) Percepatan penyelesaian kasus-kasus hukum yang melibatkan anggota TNI, serta penegakan disiplin

bagi anggota TNI yang bertugas di Papua

c) Penegakan kasus-kasus hukum baik yang mengakut pinada murni maupun pelanggaran ham sehingga

(14)

d) Penghapusan seluruh bentuk usaha legal dan ilegal yang dilakukan oleh oknum TNI dan Polri sehingga

tidak menimbulkan ketakukan pda masyarakat untuk melakukan usaha ekonomi.

Penegakan supremasi hukum dapat meredam riak, ketegangan dan konflik yang sering terjadi di Papua,

sebagaimana yang sering terjadi dan menimbulkan dendam dari masyarakat asli suku di Papua. Penegakan

hukum tersebut dapat meningkatkan usaha ekonomi rakyat papua, perdamaian, dan penyelesaian konflik di

Papua. Itupun harusnya ada kemauan politik dari pemimpin negara untuk bertindak tegas untuk menegakkan

aturan di Papua.

2. Membangun Budaya Damai

Mengingat sejumlah sumber konflik sebagaimana diuraikan di atas, makin hari makin banyak orang,

warga maupun lembaga yang yakin bahwa konflik-konflik potensial yang ada hanya dapat dicegah kalau kita

sepakat untuk hidup bersama dalam suatu keterbukaan satu sama yang lain, serta menciptakan ruang hidup

dimana setiap warga dapat berkembang sewajarnya. Suatu “kebudayaan damai” perlu dibangun bersama sebagai pilihan lain dari penyelesaian masalah daripada penggunaan kekuasaan dan kekerasan.

Membangun budaya damai, bukan soal bicara saja, namun menuntut suatu perwujudan konkret.

Malahan sudah tentu bahwa „membangun budaya damai‟ menuntut banyak keringat dan suatu kemauan bersama yang sejati untuk menjawab masalah-masalah yang sedang kita hadapi. Sebagaimana dibutuhkan upaya-upaya

bersama untuk membangun budaya damai baik oleh masyarakat asli papua, pendatang dan pemerintah sebagai

berikut:

a. Peningkatan partisipasi masyarakat yang bermukim di wilayah papua sehingga diharapkan supaya

semua diberikan tempat untuk mengambil bagian aktif dalam “mengatur rumah besar” kita. Partisipasi

ini dapat diperjuangkan melalui misalkan Lembaga Adat, MRP, melalui pengungkapan pendapat,

melalui pengawasan atas kebijakan pemerintah, dst.

b. Pengembangan sikap kebersamaan dan toleransi, saling menghargai kekhasan masing-masing dengan

membuang jauh-jauh sikap fanatisme berlebihan, merupakan salah satu kunci mutlak yang mesti

dipegang agar membantu mencegah terjadinya suatu konflik yang bersumber pada perbedaan atau

kemajemukan masyarakat di Papua. Toleransi juga merupakan landasan bagi terciptanya rekonsiliasi

dan sikap saling menerima yang permanen diantara masyarakat.

3. Upaya Rekonsiliasi

Kemauan politis pemerintah dan perangkat hukum menjadi prasyarat lain bagi terciptanya rekonsiliasi

yang tepat. Kalau dalam UU No. 21/2001 tentang Otonomi Khusus pasal 46 dikatakan bahwa “demi pemantapan persatuan dan kesatuan bangsa” berarti sudah dipasung demi kepentingan integrasi negara. Hal yang sama terjadi jika diarahkan kepada referendum. Rekonsiliasi tidak bisa diabdikan kepada kepentingan

politis tetapi kepada kebenaran dan kepentingan korban. Masyarakat perlu amat kritis dengan ketentuan hukum

yang mau tak mau mencerminkan sejauh mana kemauan politis penyelenggara negara.

(15)

Peningkatan peran media dalam rangka membangun Papua menjadi „Tanah Damai‟, pemberitaan mesti

menjaga keseimbangan informasi, dalam arti bertanggung jawab atas kebenaran isi berita yang disampaikan,

jangkauan liputan terhadap masyakarat, atau tidak melulu meliput dan menyiarkan berita tentang kegiatan para

pejabat misalnya. Tentunya harus memenuhi unsur objektivitas, transparansi, faktual dan analitis, bukan

propaganda atau bermaksud memprovokasi masyarakat. Banyak tergantung pula dari orientasi pers, sifat dan

tujuan dari media itu sendiri. Jika media hanya berorientasi meraup „keuntungan‟, berita adalah barang yang

semata-mata diperdagangkan, bukan dimaksudkan memberi pemahaman dan penyadaran kepada publik.

5. Perumusan Kebijakan Kemandirian Masyarakat

Kita semua ingin agar merasa diri sebagai “tuan rumah” dimana dapat mengatur diri tanpa mau

menggantungkan diri pada orang lain. Itu berarti masyarakat di Tanah Papua harus berinisiatif mengambil peran

dengan memanfaatkan segala sumberdaya (alam & manusia) yang ada secara optimal. Masyarakat tidak percaya

diri bahwa mereka mempunyai potensi besar untuk menjamin hidup bahkan untuk sendiri menentukan masa

depannya. Selama “mental proyek” masih terus menguasai sikap hidup masyarakat, dan selama pemerintah juga

memupuk sikap ini melalui proyek bantuan-bantuan seperti proyek Jaring Pengaman Sosial (JPS), Proyek

Pengembangan Kecamatan (PPK), bantuan Beras Operasi Pasar Khusus (Beras Opsus), Crash Program, dll,

maka masyarakat akan tetap menunggu pihak lain sebagai „penyambung hidupnya‟. Sebenarnya “mental proyek” secara tidak langsung sedang mematikan kreatifitas, daya cipta masyarakat dan mengarahkannya untuk

menggantungkan diri saja sehingga status masyarakat hanyalah sebagai obyek belaka, alias “tuan rumah yang semu”.

Dalam rangka membangun Tanah Papua ke depan, masyarakat perlu dirumuskan kebijakan untuk

membangun dengan mandiri, perlu mulai berinisiatif menciptakan peluang dengan menggunakan kemampuan

yang ada pada dirinya seperti dalam bidang seni; ekonomi-kerakyatan berupa perikanan, peternakan (babi, sapi,

kambing, dll), kebun pinang, umbi-umbian, pisang, sayur-mayur; dan bidang usaha lainnya, membantu

mengurangi bahkan akan menghilangkan ketergantungan kepada pihak lain. Usaha demikian perlu ditunjang

dengan pelbagai bentuk pendidikan formal (termasuk muatan lokal) dan non-formal.

Peran pemerintah ke depan yaitu mengimplementasikan kebijakan untuk kemandirian masyarakat Papua

sehingga pemerintah hanya cukup mengawasi pelaksanaan pembangunan di Papua yang berdasarkan

profesionalisme, Kemandirian, dan accountable serta penegakan hukum yang tegas.

F. Penutup

Kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia Indonesia memang tidak lepas dari tekanan masyarakat

internasional kepada Pemerintah Indonesia untuk segera mengadili para pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan

yang terjadi di Papua dan daerah lainnya. Berbagai bentuk usaha Indonesia untuk memenuhi kewajibannya

memaksimalkan mekanisme hukum nasional untuk menangani pelanggaran hak asasi manusia di dalam

(16)

Terlepas dari penilaian apakah pola pelanggaran HAM di Papua dapat digolongkan sebagai „pola genoside‟ atau tidak, sambil berefleksi atas pola pelanggaran HAM di Papua yang begitu bervariasi dan meluas, apalagi bersifat sistematis, keyakinan kami diperkuat bahwa memang pola pelanggaran HAM yang ada sudah

membuat bangsa Papua menderita secara luarbiasa, dan kenyataan demikian tetap perlu diangkat dan upaya

demi „pembebasan dari segala bentuk penindasan‟ tetap sangat mendesak dan perlu dijadikan inti perjuangan

kita bersama secara damai.

Hal ini berarti bahwa pemerintah harus memperlihatkan keseriusannya untuk memberikan jaminan

perlindungan hak asasi manusia terhadap warganegaranya khususnya melalui mekanisme penegakan hukum hak

asasi manusia di Indonesia. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa masih terdapat banyak sekali kekurangan

dalam Penanganan Hak Asasi Manusia di Papua, baik dari segi instrumen hukum, infrastruktur serta sumber

daya manusianya yang bermuara pada ketidakpastian hukum karena tidak dapat dituntaskannya proses

penyelesaian pelanggaran berat hak asasi manusia. Hal ini tentu saja harus segera dibenahi selain untuk

pengefektifan sistem hukum nasional Indonesia, juga untuk meminimalkan adanya celah mekanisme

internasional untuk mengintervensi sistem hukum Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU

J. Budi Hernawan ofm 10 Juni 2002, Mengisi Gagasan Pembentukan Komisi Kebenaran Dan Rekonsiliasi

Konteks Papua, Makalah dalam Workshop “Menggagas Masa Depan Penegakan HAM” Jayapura, 10 -14 Juni 2002

Kjetil Fiskaa Alvsåker, 2011, International Principles For Interpretation Of International Human Rights Instrumens, Makalah dalam Pemerkuatan Pemahaman Hak Asasi Manusia Untuk Hakim Seluruh Indonesia, Makassar

Peter Davies, Hak Asasi Manusia: Sebuah Bunga Rampai, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1994.

Theo van den Broek, 2002, Membangun Budaya Damai Menuju Papua Tana Damai, makalah dalam lokakarya, Sentani 25-30 November 2002, Sekretariat Keadilan dan Perdamaian.

Theo van den Broek, 2004, strategi dan rencana aksi untuk implementasi Otonomi Khusus Papua, Makalah dalam Seminar Sehari, Centre for Strategic and International Studies, Jakarta, 17 Februari 2004.

T. Mulya Lubis, In Search of Human Rights: Legal-Political Dilemmas of Indonesia‟s New Order, 1966-1990, Gramedia Pustaka Utama Jakarta, 1993, khususnya bab 2.

Sekretariat Keadilan & Perdamaian, 2003, Membangun Budaya Damai & Rekonsiliasi Dasar Menangani konflik di Papua, Sebuah Refleksi, Jayapura.

Sekretariat Keadilan & Perdamaian, 2002, Papua Aktual 2002, Socio –Political Notes, Jayapura Sekretariat Keadilan & Perdamaian, 2003, Papua Aktual 2003, Socio –Political Notes, Jayapura. Sekretariat Keadilan & Perdamaian, 2004, Papua Aktual 2004, Socio –Political Notes, Jayapura. Sekretariat Keadilan & Perdamaian, 2005, Papua Aktual 2005, Socio –Political Notes, Jayapura.

B. PERATURAN DAN LAINNYA

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Pengadilan Hak Asasi Manusia

Keputusasan Presiden, No 129 Tahun 1998 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asazi Manusia Indonesia Tahun 2004-2009

Referensi

Dokumen terkait

Ranah psikomotor yang dinilai terdiri dari tiga aspek yaitu, aspek menirukan (menyesuaikan hasil LDS dengan media), aspek memanipulasi (membuat jawaban pada LDS dengan tepat dan

Pihak pertama berjanji akan mewujudkan target kinerja yang seharusnya sesuai lampiran perjanjian ini, dalam rangka mencapai target kinerja jangka menengah seperti

Peningkatan yang signifikan dalam pembelajaran menulis wacana eksposisi oleh siswa kelas X Nautika B SMK Pelayaran Samudera Nusantara Utama Palopo dapat diperoleh setelah guru

Upaya memperoleh prestasi yang optimal dalam setiap cabang olahraga merupakan suatu bentuk usaha yang senantiasa dilakukan oleh berbagai pihak terkait terutama

[r]

n -heksana, kloroform, dan metanol biji pepaya selama 20 hari (Tabel 2) Pada penelitian sebelumnya disebutkan bahwa fraksi benzen biji pepaya yang diberikan secara oral

Selain itu, putusan hakim yang menjatuhkan putusan bagi terdakwa dengan pidana penjara selama 5 (lima) bulan dan menetapkan pidana tersebut tidak usah dijalani kecuali jika

Dari hasil analisis dan pengujian yang dilakukan menggunakan metode Webqual 4.0 diperoleh hasil bahwa dari 100 responden rata-rata pengguna merasa puas dengan