• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gereja yang Satu Kudus Katolik dan Apost

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Gereja yang Satu Kudus Katolik dan Apost"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

GEREJA YANG SATU, KUDUS, KATOLIK DAN APOSTOLIK

MEMAHAMI EMPAT TANDA GEREJA MELALUI ST. PETRUS, PAULUS, PENTAKOSTA DAN KEHIDUPAN UMAT KRISTEN PERDANA

oleh Cornelius Pulung

Pengantar

Ketika saya diminta untuk membawakan materi tentang keempat sifat Gereja, saya teringat tentang kalimat syahadat yang selalu kita daraskan setiap Minggu: Aku percaya akan Gereja yang Satu, Kudus, Katolik, dan Apostolik. Kalau teks syahadat yang digunakan dalam Misa Minggu adalah versi singkat, maka kita hanya akan berkata: Aku percaya akan Gereja Katolik yang Kudus... Setiap kali mengucapkan syahadat, sejujurnya saya selalu merasa bahwa cara kita mendaraskannya terlalu mekanis, seperti robot... mungkin jarang sekali kredo ini kita nyanyikan sebagai bentuk penghormatan kita pada kebenarannya, padahal para martir kita menumpahkan darahnya untuk membela isi kredo tersebut. Saya jadi mengenang St. Peter dari Verona, sebelum ia tewas terbunuh, ia menulis di tanah dengan darahnya kalimat berikut: Credo in unum deum... Aku percaya akan satu Allah... Mereka mengorbankan nyawanya demi iman mereka, sedangkan setiap Minggu barangkali kita mengucapkannya seakan-akan ini hanyalah rutinitas yang tak berarti..

Ada satu hal lagi yang saya temukan, selagi saya mempersiapkan tulisan ini: ketika saya sedang mencari inspirasi, saya berpikir: kira-kira, apa yang Paus Benediktus katakan mengenai Gereja? Penelusuran saya—yang berawal dari liturgi—membuat saya menemukan dua homili beliau yang menjelaskan tentang sifat Gereja: yakni homili pada Hari Raya St. Petrus dan Paulus, serta pada Hari Pentakosta, yang merupakan hari kelahiran Gereja.

▸ Baca selengkapnya: semua orang beriman kristiani yang tidak termasuk golongan yang menerima tahbisan suci dan status kebiarawanan yang diakui dalam gereja disebut

(2)

ingatan) para rasul, mereka yang merupakan fondasi Gereja. Perayaan ini ada justru ingin membantu kita untuk tiba pada kesadaran bahwa Gereja yang Satu, Kudus, Katolik dan Apostolik adalah satu-satunya Gereja yang didirikan Yesus sendiri, ketika Ia berkata kepada Petrus: Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini, Aku akan mendirikan jemaat-Ku (Gereja-Ku) dan alam maut tidak akan menguasainya...

Ketika saya berkilas balik ke masa ketika saya pertama kali masuk ke dalam dunia apologetik sepuluh tahun yang lalu, perkataan Yesus kepada Petrus itulah yang menjadi ayat pertama yang saya ingat, yang selalu saya percaya hingga hari ini: bahwa Yesus hanya mendirikan satu Gereja, dan Gereja itu adalah Gereja Katolik, yang didirikan di atas Petrus dan para rasul, untuk mewartakan kepenuhan kebenaran dan rahmat yang menyelamatkan kepada seluruh umat manusia, di segala tempat, di sepanjang zaman... tapi mengapa kebenaran ini justru saya temukan, bukan di dalam liturgi, tetapi dalam sebuah forum diskusi Katolik di internet? Mengapa masih ada yang berkata bahwa saya mengikuti Yesus, namun tidak mau mengikuti Gereja-Nya? Mengapa masih dijumpai orang-orang meninggalkan Gereja dan mencari gereja lain?

Saya yakin bahwa saya tidak sendirian dalam hal ini, dan pengalaman saya ini merupakan undangan untuk merenung: apakah liturgi sungguh menjadi tempat bagi kita untuk mendengarkan Sabda Allah? Sudahkah makna Kitab Suci dijelaskan dalam kaitannya dengan pengakuan iman kita? Apakah liturgi sungguh menjadi kesempatan bagi kita untuk mendengarkan Allah yang berbicara melalui Gereja?

Paus Benediktus pernah berkata bahwa kredo merupakan salah satu kriteria kita dalam menafsirkan Kitab Suci (bdk. Jesus of Nazareth, Vol II, hal. 99): ini artinya tidak ada kontradiksi antara pengakuan iman dan Kitab Suci, malahan justru isi pengakuan iman kita memiliki dasar biblisnya (dan ingat, Kitab Suci bukan satu-satunya sumber iman kita). Dengan kata lain, keempat sifat Gereja itu dapat kita temukan dalam teks Kitab Suci. Oleh karena itu, saya akan menjelaskan keempat sifat Gereja melalui kisah St. Petrus, Paulus, dan peristiwa Pentakosta serta jemaat Kristen perdana, sebagaimana yang ditemukan dalam Kisah Para Rasul.

Pendekatan ini mungkin agak berbeda, karena biasanya di artikel yang saya baca, para penulis Katolik akan langsung mulai dengan penjelasan tentang keempat sifat Gereja, yang kemudian menggunakan Kitab Suci sebagai bukti akan hal tersebut. Namun dalam tulisan ini, saya mengajak pembaca untuk menyelami teks Kitab Suci, untuk menjadi akrab dengannya, dan melalui pendalaman beberapa perikop yang relevan, kita dapat menarik kesimpulan mengenai empat sifat Gereja.

(3)

1. Petrus dan Keduabelas Rasul

1.1. Panggilan Awal Petrus

Kisah panggilan awal Petrus sebagai murid Tuhan terdapat dalam Injil Lukas 5:1-11. Perikop ini bagaikan jendela yang memampukan kita memandang masa depan Gereja dengan keempat tandanya yang kelihatan, sekalipun secara samar-samar.

Ia naik ke dalam salah satu perahu itu, yaitu perahu Simon... Lalu Ia duduk dan mengajar orang banyak dari atas perahu.

Perahu atau kapal merupakan salah satu gambaran tentang Gereja. Meskipun terdapat dua perahu, namun perahu Simon lah yang dipilih Yesus. Kita tidak tahu secara detil mengapa Yesus memilih perahu Simon, namun bila kita membaca Injil secara lengkap, kita melihat bahwa Simon Petrus memiliki tempat khusus dalam hati Yesus dan sejarah Gereja: Di atas Petruslah Yesus akan mendirikan Gereja-Nya, hanya kepada Petrus kunci-kunci Kerajaan Surga diberikan Yesus; juga hanya Petrus yang menerima misi untuk menguatkan iman saudara-saudaranya dan menggembalakan domba. Ayat ini merupakan pertanda awal dari kepemimpinan tertinggi Petrus di dalam Gereja dan ciri apostolik Gereja.

Di dalam perahu Simon, Yesus duduk dan mengajar: duduk merupakan gestur yang melambangkan otoritas seseorang yang mengajar. Dengan kata lain, hanya dalam perahu St. Petrus lah kita menemukan Yesus yang terus berbicara melalui penerus para rasul. Otoritas yang dimiliki para rasul dan penerusnya tidak berasal dari diri mereka sendiri, melainkan berasal dari Allah. Hanya di dalam bahtera Petrus, kita akan menemukan pengajaran Yesus yang sejati. Hanya di dalam bahtera Petrus, yang tidak lain adalah Gereja Katolik, kita dapat dibawa kepada perjumpaan dengan Yesus yang sejati.

Ia berkata kepada Simon: “Bertolaklah ke tempat yang dalam dan tebarkanlah jalamu untuk menangkap ikan.”

... “Jangan takut, mulai dari sekarang engkau akan menjala manusia.”

Perkataan Yesus kepada Simon ini juga merupakan pertanda akan sifat Gereja yang katolik atau universal. St. Agustinus menafsirkan bahwa “tempat yang dalam” berarti Injil harus diwartakan ke bangsa-bangsa yang jauh. Hal ini juga berhubungan dengan perkataan Yesus tentang penjala manusia: bahwa semua manusia harus bersatu ke dalam keluarga Allah, ke dalam Gereja Katolik.

Sekalipun demikian, harus diingat bahwa kata Katolik, yang berarti keseluruhan, atau kepenuhan, juga memiliki arti kepenuhan kebenaran dan rahmat yang menyelamatkan:

(4)

dalam ketaatan religius, penguasa dan warga negara, orang terpelajar dan tuna aksara (St. Sirilus dari Yerusalem, Catechetical 18)

“Guru, telah sepanjang malam kami bekerja keras dan kami tidak menangkap apa-apa, tetapi karena Engkau menyuruhnya, aku akan menebarkan jala juga.”

Seseorang yang mengandalkan kekuatan sendiri, tidak akan berhasil berbuat apa-apa. Kita tahu bahwa melalui ketaatan Petrus terhadap perkataan Tuhan, ia berhasil mendapat banyak ikan. Keberhasilan Petrus tidak dapat kita pisahkan dari kesediaan untuk membiarkan dirinya dibimbing oleh Allah: dengan kata lain, segala usaha yang dilakukan manusia untuk membangun Gereja, pertama dan terutama merupakan karya Allah. Hal yang sama dapat kita lihat dalam peristiwa Pentakosta: sebelum menerima Roh Kudus, para rasul bukanlah orang yang berani mewartakan Injil, namun ketika Roh Kudus turun atas mereka, mereka mengalami perubahan dan menjadi berani mewartakan Injil.

Pemazmur mengingatkan kita: jika bukan Tuhan yang membangun, maka sia-sialah usaha orang yang membangunnya (Mzm 127:1). St. Agustinus berkata bahwa memang banyak orang yang berusaha membangun rumah Tuhan, namun bila Tuhan tidak berperan serta di dalamnya, maka sia-sialah mereka yang membangunnya. Namun siapakah orang-orang yang membangun ini? St. Agustinus menjawab: Mereka yang mewartakan Sabda Allah di dalam Gereja, dan para pelayan sakramen-sakramen Allah. Pewarta Sabda Allah dan pelayan sakramen-sakramen: keduanya merupakan tugas mereka yang menerima tahbisan suci. Kedua hal ini mengarahkan kita kembali kepada peristiwa Yesus yang memilih keduabelas rasul. Ketika dikatakan Yesus “menetapkan” keduabelas rasul, kata

“menetapkan” merupakan terminologi Perjanjian Lama yang mengacu kepada penetapan seseorang

untuk mengemban fungsi imamat. Dengan kata lain, jabatan para rasul berarti pula jabatan imamat (bdk. Pope Benedict XVI, Jesus of Nazareth, Vol I, hal. 171).

... mereka menangkap sejumlah besar ikan, sehingga jala mereka mulai koyak... lalu mereka bersama-sama mengisi kedua perahu itu dengan ikan hingga hampir tenggelam.

St. Ambrosius mengaitkan peristiwa panggilan Petrus dengan kejadian lain di Injil Matius, yang sama-sama bebicara tentang perahu. Dalam Injil Lukas, banyaknya tangkapan ikan hampir membuat jala koyak dan perahu tersebut tenggelam, sedangkan dalam Injil Matius 8:23-27, “angin ribut yang hebat dan gelombang-gelombang besar” lah yang melanda perahu tersebut dan membuat para murid merasa bahwa mereka akan binasa.

(5)

Yesus sudah mengetahui akan hal ini, oleh karena itulah Dia berdoa bagi kesatuan para muridnya: “... supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau, agar mereka juga di dalam Kita, supaya dunia percaya, bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku.” (Yoh 17:21)

Peristiwa ini secara implisit menggambarkan masa depan Gereja: bahtera yang dikemudikan St. Petrus dan penerusnya, yang mengarungi lautan waktu, tidak akan terlepas dari berbagai macam cobaan dan penganiayaan, yang berasal dari luar dan dalam. Akan ada situasi ketika kita merasa bahwa Tuhan tampak tertidur dan perahu hampir tenggelam; akan ada situasi yang mungkin membuat kita ingin berseru seperti para murid: Tuhan tolong, kita binasa! Namun Tuhan sudah berjanji kepada Petrus bahwa alam maut tidak akan menguasai Gereja-Nya (Mat 16:18-20), ini berarti bahwa sekalipun ada banyak dosa yang dilakukan putra-putri Gereja, yang menodai wajah Gereja, sekalipun terdapat perpecahan di antara umat beriman, namun Gereja Kristus tetaplah satu dan berdiri kokoh. Gereja Kristus tetaplah suci karena kekudusan Gereja tidak bergantung kepada kekudusan para anggotanya, melainkan bergantung kekudusan Allah.

Mereka memberi isyarat kepada teman-temannya di perahu yang lain supaya mereka datang membantunya.

Ternyata, dalam mengarungi lautan sejarah, Petrus dan penerusnya tidaklah sendirian. Ia memiliki teman-teman yang “datang membantunya”. Bila kita mempelajari sejarah Gereja, kita melihat bahwa dalam periode tertentu ketika Gereja menemui berbagai kesulitan, selalu ada orang-orang kudus yang tampil ke atas panggung sejarah untuk membangun Gereja, membaruinya, dan melindunginya dari perpecahan: mulai dari St. Petrus dan Paulus, St. Ambrosius dan Agustinus, St. Dominikus dan Fransiskus, St. Ignatius dari Loyola dan Yohanes dari Avila, St. Carolus Boromeus dan Filipus Neri, hingga St. Yohanes Paulus II dan Paus Benediktus XVI.

1.2. Yesus Memanggil Keduabelas Rasul

Kisah tentang pemanggilan Kedubelas Rasul dapat ditemukan dalam Injil Markus: “Kemudian Yesus mendaki pegunungan dan memanggil orang-orang yang dikehendaki-Nya dan mereka pun datang kepada-Nya. Ia menetapkan keduabelas orang untuk menyertai Dia dan untuk diutus-Nya memberitakan Injil” (Mrk 3:13).

Ketika Yesus menetapkan keduabelas rasul1, Ia bermaksud mendirikan sebuah keluarga Allah yang baru. Bila kita membaca Perjanjian Lama dalam perspektif perjanjian antara Allah dan manusia2,

1

Paus Benediktus XVI berkata bahwa kata “menetapkan” merupakan terminologi Perjanjian Lama yang mengacu

kepada penunjukkan seseorang untuk mengemban fungsi imamat (lih. Yesus dari Nazareth, Vol I, hal. 171). “Kedubelas” juga merupakan simbol dari 12 suku Israel, dan karenanya Gereja Katolik merupakan Israel yang baru.

2 Scott Hahn dalam bukunya berjudul A Father Who Keeps His Promise membantu kita memberikan gambaran besar dalam

(6)

maka kita dapat memahami betapa Allah melaksanakan rencana-Nya secara bertahap. Namun sayangnya saya tidak dapat membahas secara detail mengenai hal ini, namun poinnya jelas: penetapan Keduabelas rasul memiliki kesinambungan dengan rencana Allah dalam Perjanjian Lama.

Para rasul ditetapkan untuk menyertai Yesus dan mewartakan Injil: berada bersama Yesus merupakan hal yang hakiki, karena melalui para rasullah kita dapat mengenal Yesus Kristus yang sejati. Jadi, dapat dikatakan bahwa para rasul adalah pakar atau ahli tentang Yesus Kristus dikarenakan kedekatan mereka yang intim dengan Yesus, yang tidak dapat dimiliki oleh pendiri Protestanisme dan pendiri denominasi lainnya. Semua pemahaman kita mengenai Yesus haruslah bersumber dari kesaksian para rasul. Iman kita akan Yesus Kristus pun haruslah bersumber dari mereka, sebagaimana ditekankan Irenaeus:

Gereja, yang telah tersebar dimana-mana, bahkan hingga ke ujung bumi, menerima iman dari para rasul dan murid-murid mereka... Gereja, yang tersebar di seluruh dunia, menerima pewartaan ini dan iman ini, dan kini menjaganya dengan seksama, berdiam seakan-akan berada di dalam satu rumah. Sehati dan sejiwa, Gereja berpegang pada iman ini, mewartakan dan mengajarkannya secara konsisten seakan-akan melalui satu suara. Karena sekalipun terdapat bahasa yang berbeda-beda, hanya ada satu tradisi. (Irenaeus, Heresies)

Kristus telah berjanji untuk menyertai para murid-Nya hingga akhir zaman, dan ia pun memberikan tiga tugas kepada mereka: tugas untuk mengajar, menguduskan dan memerintah (bdk Mat 28:20). Ketiga tugas ini akan terlihat dalam Kisah Para Rasul. Paus Benediktus XVI menegaskan ikatan antara Yesus dan para rasul:

Oleh karena itu, Keduabelas Rasul adalah tanda yang paling jelas akan eksistensi dan misi Gereja-Nya, jaminan bahwa di antara Kristus dan Gereja tidak ada oposisi: sekalipun terdapat dosa-dosa dari mereka yang membentuk Gereja, [Kristus dan Gereja] tidaklah terpisahkan. Dengan demikian, slogan yang populer beberapa tahun belakangan “Yesus Ya,

Gereja Tidak” merupakan hal yang berlawanan dengan maksud Yesus. (Benedict XVI, The

Apostles, hal. 12)

1.3. Pengakuan Petrus

Peristiwa penting yang menunjukkan bahwa Yesuslah yang mendirikan Gereja terdapat dalam kisah pengakuan Petrus (Mat 16:13-20). Ketika Yesus bertanya kepada para rasul “menurut kamu,

siapakah aku ini?”, maka hanya Petruslah yang memberikan jawaban. Petrus tampil sebagai juru

bicara rasul lainnya, menyatakan pengakuan imannya yang tidak berasal dari daging dan darah,

melainkan dari Bapa: “Engkaulah Mesias, Putra Allah yang hidup”. Lalu Yesus pun menjawab:

“Engkau adalah Petrus, dan di atas batu karang ini, Aku akan mendirikan jemaat-Ku, dan

alam maut tidak akan menguasainya.Kepadamu akan Kuberikan kunci Kerajaan Sorga. Apa

(7)

yang kauikat di dunia ini akan terikat di sorga dan apa yang kaulepaskan di dunia ini akan terlepas di sorga.”

Kata “jemaat-ku”, dalam Kitab Suci berbahasa Inggris ditulis sebagai “my Church”, atau dalam

bahasa latin ecclesiam meam, dan dalam bahasa Yunani ekklesia. Kristus tidak mendirikan gereja-gereja, melainkan hanya mendirikan satu Gereja. Dan sudah sejak di abad kedua, kita mengetahui bahwa Gereja Kristus adalah Gereja Katolik3. Tulisan St. Ignatius Antiokia (35-108 AD) menegaskan hal

tersebut: “Di mana pun Yesus Kristus berada, di sana ada Gereja Katolik.” (Letter to the Smyrnaeans,

Ch. 8)

Gereja selalu menafsirkan batu karang4 yang dimaksud sebagai pribadi Petrus dan juga pengakuan imannya5, sebagaimana terlihat dalam Doa Pembuka Misa Tridentine untuk Hari Raya St. Petrus dan Paulus:

Grant, we beseech thee, O almighty God, that we, whom thou hast founded on the rock of the Apostolic Faith, may be never shaken by any troubles.

Dan jelas sekali ada kaitan yang erat antara Gereja dan Petrus, sebagaimana diungkapkan dalam bahasa latin: ubi Petrus, ibi ecclesia: di mana ada Petrus, di sana ada Gereja. Ada ikatan yang tidak terpisahkan antara Kristus dan para rasul, antara Yesus dan Gereja. Kita tidak bisa mengaku sebagai pengikut Kristus kalau kita menolak Gereja-Nya; kita bukanlah pengikut Kristus kalau kita menolak untuk berada dalam persekutuan dengan Penerus Petrus dan para rasul. Sebagaimana diperingatkan St. Siprian: “Tak seorangpun dapat memiliki Allah sebagai Bapa, yang tidak memiliki Gereja sebagai Ibu.”

3 Mungkin ada yang bertanya mengenai istilah Katolik Roma yang sering kita dengar. Sejujurnya, secara historis istilah Katolik Roma merupakan “ejekan” bagi umat Katolik (yang adalah pengikut Paus) yang diciptakan oleh kaum Anglikan di abad 16, dengan maksud untuk mengakui diri mereka sebagai Katolik. Istilah Katolik Roma sendiri juga tidak pernah terdapat dalam dokumen-dokumen resmi Gereja, misalnya dalam dokumen Konsili Vatikan II.

4 Argumen yang sering digunakan oleh Protestan ialah adanya perbedaan kata antara petros dan petra, yang mana petros

berarti batu kecil, sedangkan petra berarti batu yang besar dan kuat, yang menandakan bahwa keduanya mengacu pada hal yang berbeda. Namun hal ini dapat dengan mudah dibantah: saat itu Yesus berbicara menggunakan bahasa Aram, dan hanya ada satu kata untuk kata batu karang yakni Kefas, dan dengan demikian mengacu kepada pribadi Petrus. Jadi ayat tersebut berbunyi demikian: Engkau adalah Kefas dan di atas Kefas ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku. Mengenai distingsi petros dan petra, sebenarnya kata Yunani yang digunakan untuk batu kecil adalah lithos, bukan petros. Dalam tata bahasa Yunani, kata memiliki gender entah itu maskulin atau feminin. Petra merupakan bentuk feminin (yang menggambarkan batu karang), sedangkan petros adalah bentuk maskulin (karena mengacu ke nama Petrus yang adalah laki-laki), namun keduanya mengacu kepada Petrus.

5 Beberapa Protestan dan juga Orthodox sering menggunakan argumen batu karang=pengakuan iman Petrus sebagai

(8)

Keberadaan Gereja, pertama dan terutama, merupakan karunia atau pemberian Allah. Manusia tidak dapat mendirikan gereja dengan usahanya sendiri, kita hanya dapat menerima Gereja dari Kristus, seperti ditegaskan Kardinal Ratzinger:

Pada tempat pertama, tak seorangpun dapat membuat Gereja oleh dirinya. Sebuah kelompok tidak bisa semata berkumpul bersama, membaca Perjanjian baru dan menyatakan: “Sekarang kita adalah Gereja karena Tuhan hadir ketika dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Nya.” Unsur “menerima” secara hakiki merupakan milik Gereja, sama seperti iman yang

berasal dari “pendengaran” dan bukan akibat keputusan atau permenungan... Seseorang tidak

dapat membuat Gereja tetapi hanya bisa menerimanya... (Joseph Ratzinger, The Ecclesiology of Vatican II)

1.4. Kejatuhan St. Petrus

Kita semua tahu bahwa Petrus adalah sosok yang lemah dan rapuh: ketika berjalan di atas air, ia mulai merasa takut dan hampir tenggelam sebelum Yesus menolongnya; ia pernah ditegur Yesus karena “memikirkan apa yang dipikirkan manusia”; namun tentunya yang pasti kita ingat adalah ini: Ia menyangkal Tuhan Yesus sebanyak tiga kali. Cerita lainnya: ketika kaisar Nero menganiaya kota Roma, Petrus hendak melarikan diri6.

Namun kejatuhan Petrus ini diikuti oleh kebangkitannya: Injil Lukas memberitahu kita bahwa setelah

Petrus menyangkal Yesus, Tuhan “memandang Petrus” (Luk 22:61), lalu Petrus pergi ke luar dan

menangis dengan sedihnya (ay. 62). Ketika Petrus hendak meninggalkan Roma, sekali lagi Yesus menampakkan diri, dan ketika Petrus bertanya quo vadis, Domine? Tuhan menjawab: Aku hendak pergi ke Roma untuk disalibkan kedua kalinya. Kisah ini pun berakhir dengan penyaliban Petrus secara terbalik, karena ketidaklayakannya untuk menerima penyaliban yang sama seperti Tuhan.

Karena itu tergenapilah perkataan Tuhan: “Jika engkau sudah menjadi tua, engkau akan mengulurkan

tanganmu dan orang lain akan mengikat engkau dan membawa engkau ke tempat yang tidak kaukehendaki.” (Yoh 21:18)

Kedua peristiwa ini menunjukkan bahwa Allah bekerja melalui manusia yang lemah: kekudusan yang Allah berikan kepada Gereja tidaklah tergantung pada kesempurnaan manusia. Sekalipun anggota Gereja secara individual dapat berdosa, namun hal ini tidak menjadi halangan bagi Allah untuk menguduskan manusia. St. Petrus memberikan teladan untuk menjadi kudus: yakni kita harus berjumpa dengan Tuhan, secara khusus melalui doa dan sakramen-sakramen (terutama sakramen tobat dan Ekaristi), kita pun harus menangisi dosa kita dan melakukan kewajiban kita sebagai orang Katolik.

1.5. Sketsa Singkat tentang Primat Petrus

Aspek kesatuan Gereja juga berhubungan dengan kesatuan dalam kepemimpinan Petrus dan penerusnya, dan oleh karena itu kita perlu menyinggung sedikit mengenai primat Petrus. Saya tidak

6

(9)

akan menjelaskan secara lengkap mengenai primat Petrus, melainkan hendak menunjukkan melalui Kitab Suci dan Bapa Gereja (hanya ditampilkan satu contoh) betapa Petrus memiliki posisi utama sebagai pemimpin di antara para rasul, serta salah satu peran yang dijalankannya (kuasa untuk mengajar).

a. Nama Petrus muncul 114 kali di keempat Injil dan 57 kali di Kisah Para Rasul, sementara nama rasul yang paling dikasihi Yesus, Yohanes, hanya muncul 38 kali di Injl dan 8 kali di Kisah Para Rasul.

b. Petrus bersama dengan Yohanes dan Yakobus merupakan kelompok istimewa yang diundang Kristus untuk menyaksikan beberapa kejadian penting, seperti transfigurasi di Gunung Tabor (Mrk 9:2), kesengsaraan Yesus di Getsemani (Mrk 14:33). Di antara ketiganya, nama Petrus selalu disebut pertama, yang terjadi juga ketika Injil mencatat seluruh daftar keduabelas rasul (sedangkan nama Yudas Iskariot disebut paling akhir).

c. Primat Petrus juga terlihat jelas dalam Kisah Para Rasul: Petruslah yang mengarahkan pemilihan Matias sebagai anggota keduabelas rasul (Kis 1:15-26); Petrus juga orang pertama yang berkhotbah kepada banyak orang setelah Pentakosta (Kis 2:14-41); Ia juga yang melakukan mukjizat pertama (Kis 3:6-7); Dia juga yang memimpin Konsili di Yerusalem (Kis 15:7-11).

d. Yesus melakukan tiga hal hanya kepada Petrus: (1) Ia memberikan kunci7 Kerajaan Surga (Mat 16:19) (2) Yesus berdoa bagi Petrus dan memerintahkannya untuk menguatkan iman saudara-saudarinya (Luk 22:32) (3) Secara khusus Yesus meminta Petrus untuk menggembalakan domba-dombanya sebanyak 3 kali, dan syarat untuk menggembalakan domba Kristus adalah cinta Petrus kepada-Nya (Yoh 21:15-17). Pada poin (3) inilah Yesus memberikan otoritas tertinggi kepada Petrus.

e. Ada banyak bukti tulisan Bapa Gereja yang mendukung primat Petrus, salah satunya:

Tuhan berkata kepada Petrus: ‘Aku berkata kepadamu’, kata-Nya, ‘bahwa engkau adalah

Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan Gereja-Ku’ ... Di atasnya [Petrus] Ia membangun Gereja, dan kepadanya Ia memberikan perintah untuk menggembalakan domba (Yoh 21:17), dan sekalipun ia memberikan kuasa yang serupa kepada para rasul, namun ia hanya mendirikan satu takhta [cathedra], dan ia menetapkan oleh otoritasnya sendiri, sebuah sumber dan alasan intrinsik untuk kesatuan itu. Sungguh, yang lain juga sama seperti Petrus, tetapi primat diberikan kepada Petrus, yang mana menjadi jelas bahwa hanya ada satu Gereja dan satu takhta. Demikian pula, semua rasul adalah gembala, dan kawanan domba diperlihatkan hanya ada satu, digembalakan oleh semua rasul dalam keselarasan pikiran. Bila seseorang tidak berpegang teguh pada kesatuan Petrus ini, dapatkah ia membayangkan bahwa ia masih memiliki iman? Bila ia harus membelot dari takhta Petrus yang di atasnya

7 Teolog abad pertengahan Francisco Suarez menafsirkan kunci Kerjaan Surga sebagai kuasa untuk mendefinisikan

(10)

Gereja dibangun, dapatkah ia masih merasa yakin bahwa ia berada di dalam Gereja? (St.

Siprian dari Kartage, The Unity of the Catholic Church 4; 1st edition [A.D. 251]).

f. Primat Petrus memiliki hubungan erat dengan salah satu hari raya liturgi: Hari Raya Takhta St. Petrus. Apa arti dari Primat Petrus, dan bagaimana Penerus Petrus harus menjalankan fungsinya sebagai seseorang yang duduk di takhta? Paus Benediktus XVI menerangi pemahaman kita akan hal ini:

Inilah tugas semua Penerus St. Petrus: menjadi pembimbing dalam pengakuan iman dalam Kristus, Putra Allah yang hidup. Takhta Roma terutama adalah Takhta akan keyakinan ini. Dari tempat yang tinggi di Takhta ini, Uskup Roma terus menerus terikat untuk mengulangi perkataan: Dominus Iesus – “Yesus adalah Tuhan’, sebagaimana ditulis St. Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Roma (10:9), dan kepada jemaat di Korintus (1 Kor 12:3). Kepada

jemaat Korintus ia menegaskan: “Sebab sungguhpun ada apa yang disebut “allah”, baik di

sorga, maupun di bumi--dan memang benar ada banyak “allah” dan banyak “tuhan” yang demikian-- namun bagi kita hanya ada satu Allah saja, yaitu Bapa, ... dan satu Tuhan saja, yaitu Yesus Kristus, yang oleh-Nya segala sesuatu telah dijadikan dan yang karena Dia kita hidup.” (1 Kor 8:5-6)

Takhta Petrus mewajibkan semua yang menempatinya berkata, seperti perkataan Petrus di

waktu krisis di antara para murid ketika banyak orang mau meninggalkan dia: “Tuhan,

kepada siapakah kami akan pergi? Perkataan-Mu adalah perkataan hidup yang kekal dan kami telah percaya dan tahu, bahwa Engkau adalah Yang Kudus dari Allah.”

Ia yang duduk di Takhta Petrus harus mengingat perkataan Tuhan kepada Simon Petrus saat

Perjamuan Terakhir: “... Dan engkau, jikalau engkau sudah insaf, kuatkanlah

saudara-saudaramu.” Ia yang mengemban jabatan pelayanan Petrus haruslah menyadari bahwa ia

adalah manusia yang lemah dan rapuh—sama seperti kuasanya yang lemah dan rapuh—dan terus-menerus membutuhkan pemurnian dan pertobatan.

Uskup Roma duduk di atas takhta untuk menjadi saksi Kristus. Karena itu, takhta adalah simbol potestas docendi, kuasa untuk mengajar yang merupakan bagian hakiki dari mandat untuk mengikat dan melepas yang Tuhan berikan kepada Petrus, dan

setelahnya, kepada Keduabelas Rasul. Di dalam Gereja, Kitab Suci, pemahaman

tentangnya bertambah di bawah inspirasi Roh Kudus, dan pelayanan untuk menafsirkan secara otentik yang diberikan kepada Para Rasul, terikat secara tak terpisahkan. Kapan pun Kitab Suci dipisahkan dari suara Gereja yang hidup, ia menjadi mangsa perdebatan di antara para ahli.

(11)

yang hidup merupakan hal yang hakiki untuk hal ini, yakni Gereja yang dipercayakan hingga akhir zaman kepada Petrus dan Kolega Para Rasul.

Kuasa mengajar ini menakutkan banyak orang di dalam dan luar Gereja. Mereka bertanya-tanya apakah kebebasan hati nurani diancam atau apakah kuasa mengajar merupakan sebuah praduga yang berlawanan dengan kebebasan berpikir. Hal tersebut tidaklah demikian. Kuasa yang diberikan Kristus kepada Petrus dan penerusnya, dalam artian absolut, merupakan mandat untuk melayani. Kuasa mengajar di dalam Gereja melibatkan komitmen untuk melayani dalam ketaatan terhadap iman. Paus bukanlah monarki absolut, yang pemikiran dan keinginannya adalah hukum. Sebaliknya, pelayanan Paus adalah jaminan akan ketaatan terhadap Kristus dan Sabda-Nya. Ia seharusnya tidak mewartakan gagasannya, melainkan terus menerus mengikatkan dirinya dan Gereja kepada ketaatan terhadap Sabda Allah, ketika menghadapi setiap upaya untuk mengubahnya atau melemahkannya, dan dalam setiap bentuk oportunisme.

Paus mengetahui bahwa dalam keputusan-keputusannya yang penting, ia terikat dengan komunitas iman yang besar di sepanjang zaman, ia terikat dengan interpretasi yang mengikat yang telah berkembang di sepanjang peziarahan Gereja. Jadi, kuasanya tidak berada di atas, melainkan ada untuk melayani Sabda Allah. Ia berkewajiban untuk memastikan bahwa Sabda ini terus hadir dalam keagungannya dan bergema dalam kemurniannya, sehingga ia tidak dikoyakkan berkeping-keping oleh perubahan yang berkelanjutan dalam penggunaannya.

Takhta merupakan—mari kita katakan sekali lagi—simbol kuasa mengajar, yang merupakan kuasa ketaatan dan pelayanan, sehingga Sabda Allah—kebenaran!—dapat bersinar di antara kita dan menunjukan kita jalan kehidupan (Pope Benedict XVI, Homili 7 Mei 2005)8.

8 Kardinal Ratzinger sebagai Prefek Kongregasi Ajaran Iman, pernah menuliskan renungan mengenai Primat St. Petrus

(12)

2. Rasul Paulus

Saya tidak akan memberikan ulasan biografis St. Paulus secara lengkap, melainkan hanya ingin menekankan beberapa detil penting dalam kehidupannya yang relevan dengan empat tanda Gereja. Tulisan di bagian ini didasarkan pada Audiensi Umum Paus Benediktus XVI tentang St. Paulus, yang diberikan ketika Gereja merayakan Tahun Paulus.

2.1. Profil Singkat St. Paulus

St. Paulus merupakan seorang Yahudi diaspora, sebelum berganti nama menjadi Paulus, namanya adalah Saulus. Ia juga seorang warga Romawi dan mampu berbicara bahasa Yunani. Dengan kata lain, terdapat pertemuan tiga budaya dalam diri Paulus: Yahudi, Romawi dan Yunani, dan karenanya ketiganya ini dapat diartikan sebagai pertanda akan misinya dan juga misi Gereja: untuk membawa Injil kepada bangsa-bangsa bukan Yahudi, dan karenanya aspek katolisitas Gereja terlihat jelas. Hal tersebut diperkuat juga melalui teks Doa Pembuka Misa Tridentine pada pesta Pertobatan St. Paulus:

O God, who hast taught the whole world by the preaching of blessed Paul the Apostle: grant, we beseech thee, that we who today celebrate his conversion may through his example draw nearer to thee. Through our Lord.

Dan juga dalam Tract9 pada misa yang sama, Rasul Paulus disebut sebagai “pewarta kebenaran dan doktor bagi bangsa-bangsa non Yahudi, yang melaluinya semua bangsa bukan Yahudi telah mengenal rahmat Allah”. Misi St. Paulus merupakan misi yang berasal dari Kristus sendiri, dalam Kitab Suci dikatakan bahwa:

Tetapi firman Tuhan kepadanya: “Pergilah, sebab orang ini adalah alat pilihan bagi-Ku untuk

memberitakan nama-Ku kepada bangsa-bangsa lain serta raja-raja dan orang-orang Israel. Aku sendiri akan menunjukkan kepadanya, betapa banyak penderitaan yang harus ia tanggung oleh karena nama-Ku.” (Kis 9:15-16)

Tetapi waktu Ia, yang telah memilih aku sejak kandungan ibuku dan memanggil aku oleh kasih karunia-Nya, berkenan menyatakan Anak-Nya di dalam aku, supaya aku memberitakan Dia di antara bangsa-bangsa bukan Yahudi, maka sesaatpun aku tidak minta pertimbangan kepada manusia juga aku tidak pergi ke Yerusalem mendapatkan mereka yang telah menjadi rasul sebelum aku, tetapi aku berangkat ke tanah Arab dan dari situ kembali lagi ke Damsyik.

(Gal 1:15-17).

Lebih lanjut Paus Benediktus XVI menegaskan: “sama halnya menjadi seorang Rasul diawali dengan

dipanggil dan diutus oleh Dia yang bangkit, demikian pula panggilan selanjutnya dan pengutusan orang lain harus terlaksana, melalui kuasa Roh, oleh mereka yang telah ditahbiskan ke dalam pelayanan apostolik... (Benedict XVI, The Apostles, hal. 38) Oleh karena itu, melalui pelayanan Apostolik Kristus sendirilah yang menjangkau mereka yang dipanggil kepada iman” (ibid, hal. 35).

9 Berasal dari kata Tractim, yang berarti sesuatu yang dinyanyikan. Biasanya terdiri dari ayat Mazmur yang memiliki nuansa

(13)

2.2. Relasi antara Petrus dan Paulus

Kita harus memuliakan dan meninggikan terlebih dalam keunggulan dua leluhur [yakni Petrus dan Paulus], yang oleh karena rahmat Allah mereka diangkat ke puncak yang demikian tinggi dari antara semua anggota Gereja, dan ditetapkan laksana dua mata yang membawa terang bagi tubuh yang kepalanya adalah Kristus. Berkenaan dengan jasa-jasa dan keutamaan mereka, yang tak dapat digambarkan dengan kata-kata, kita seharusnya tidak memikirkan perbedaan atau distingsi apapun di antara mereka; panggilan mereka sama, karya mereka serupa, kematian bersama adalah milik mereka. Pengalaman kita telah menunjukkan ... kita akan selalu dibantu oleh doa-doa pelindung khusus kita. (St. Leo Agung)

Bila kita membandingkan sosok St. Petrus dan Paulus, maka kita akan menemukan beberapa persamaan: (1) keduanya sama-sama mengalami pertobatan10, mengalami perjumpaan dengan Kristus, yakni perjumpaan yang mengubah diri mereka (2) keduanya disebut sebagai rasul, sekalipun rasul Paulus tidak termasuk ke dalam kelompok keduabelas, namun asal-usul panggilan sebagai rasul berasal dari Yesus (lih. Gal 1:1-18), sekalipun posisi keduanya berbeda (Petrus tetaplah pemimpin tertinggi Gereja) (3) keduanya melakukan perjalanan ke Roma dan membangun gereja di Roma11, dan juga mengalami kemartiran di kota yang sama (lih. Kis 28:11-30) (4) keduanya mewartakan kebenaran iman yang sama, dst.

Mengenai poin (3) dapat dikatakan demikian: Pelayanan Petrus sebagai pemimpin tertinggi Gereja terkait erat dengan tempat kemartirannya: Roma. Kitab Suci tidak memberitahu kita secara eksplisit mengapa Petrus pergi ke Roma, dan kita pun tahu bahwa misi Petrus ditujukan kepada umat Israel, sedangkan Paulus kepada bangsa bukan Yahudi, namun bukan berarti Petrus tidak boleh atau tidak bisa membaptis bangsa bukan Yahudi. Pembaptisan Cornelius oleh Petrus dan keberangkatan Petrus ke Roma tidaklah bertentangan dengan misi awal Petrus ataupun bermaksud menyaingi Paulus, melainkan merupakan konsekuensi dari perkembangan misi Gereja seperti yang dikehendaki Allah. Paus Benediktus XVI membantu kita memperjelas relasi Petrus dan Paulus: kalau perjalanan St. Paulus ke Roma menekankan aspek katolisitas Gereja, maka perjalanan St. Petrus menekankan aspek kesatuan Gereja: tugas St. Petrus adalah menciptakan kesatuan dari catholica, yakni kesatuan Gereja yang terdiri dari bangsa Yahudi dan bukan Yahudi. Dan inilah misi Petrus secara berkelanjutan: untuk memastikan bahwa Gereja tidak teridentifikasi oleh satu bangsa tertentu, melainkan Gereja tetap menjadi Gereja bagi segala bangsa (Pope Benedict XVI, Homili Hari Raya St. Petrus dan Paulus, 29 Juni 2008).

10

Baik Petrus dan Paulus sebenarnya bukanlah orang-orang yang jauh dari Allah, sehingga pertobatan mereka lebih menandakan perubahan diri dari dalam, yakni menjadi pribadi yang makin sehati dan sejiwa dengan Kristus.

11

(14)

Poin (4) patut mendapat perhatian khusus. Setelah pembaptisannya, Paulus mewartakan Yesus sebagai Putra Allah dan membuktikan bahwa Ia lah Kristus (Kis 9:20, 22). Kita dapat melihat kesamaan pengakuan iman ini dengan pengakuan iman Petrus: Engkaulah Mesias, Putra Allah yang hidup. Jadi Paulus tidak mewartakan sesuatu yang bertentangan dari Petrus, dan hal ini mencerminkan salah satu tanda Gereja: Gereja yang satu berarti bahwa hanya ada satu iman. Hal ini semakin jelas apabila kita membaca Surat Rasul Paulus kepada Jemaat di Galatia, yang memberitahu kita bahwa Paulus mengunjungi Petrus (juga Yakobus dan Yohanes) di Yerusalem, membentangkan Injil yang ia wartakan di hadapannya, dan pada akhirnya mereka “tidak memaksakan sesuatu yang lain kepadaku” (ay. 6).

Romo Cornelius A’ Lapide mengomentari ayat tersebut demikian: Paulus membentangkan Injil yang diwartakannya, bukan karena ia merasa ragu atau merasa ada yang kurang dalam Injilnya, ataupun merasa bahwa dirinya masih belum menerima pengajaran yang lengkap, karena melalui wahyu Allah ia tahu bahwa ia telah menerima Injil yang sama dan sempurna. Melainkan perbuatannya ini dilakukan demi umat beriman, untuk memperlihatkan bahwa apa yang ia wartakan sama dengan apa yang diwartakan oleh Petrus dengan para rasul. Dengan kata lain, gestur yang dilakukan Paulus ini hendak menegaskan bahwa Paulus berada dalam persekutuan dengan Petrus dan para rasul, terutama dalam hal ajaran.

2.2. Ajaran Paulus tentang Gereja

St. Paulus menggambarkan Gereja dengan beberapa istilah yang membantu kita memahami kesatuan antara Kristus dan Gereja: baginya Gereja adalah tubuh Kristus, dan Kristus adalah kepalanya (Ef 5:23); Gereja juga disebutnya sebagai mempelai Kristus (Ef 5:23-32). Kepala dan tubuh tidak dapat dipisahkan: pisahkan kepalanya maka tubuh akan mati; dalam perkawinan suci pun hanya ada satu mempelai dan bukan banyak mempelai, kita melihat bahwa dalam Perjanjian Lama pun relasi Allah dan bangsa Israel digambarkan demikian. Sekalipun bangsa Israel kerap meninggalkan Allah, namun Allah tetap setia padanya.

Gereja juga digambarkan sebagai Gereja Allah, keluarga Allah (Ef 2:19) dan Bait Allah yang hidup (1 Kor 3:16; 2 Kor 6:16), dan bila digabungkan dengan gambaran Gereja sebagai tubuh Kristus dan mempelai Kristus, maka hal ini menunjukkan asal-usul Gereja yang berasal dari Allah. Gereja tidak lahir dari keputusan dan kehendak manusia, melainkan ia berasal dari inisiatif Allah yang hendak menyelamatkan manusia.

St. Paulus pun juga menegaskan bahwa hanya ada “satu Tuhan, satu iman, satu baptisan” (Ef 4:5-6),

dan karenanya hanya ada satu Gereja Kristus. Kesatuan Gereja juga harus berdasarkan kesatuan dalam hal ajaran, sakramen, dan kepemimpinan Paus bersama para uskup. Paulus menyadari bahwa kesatuan Gereja haruslah mengacu juga kepada para rasul, karena Gereja dibangun di atas dasar para rasul dan para nabi, dengan Kristus Yesus sebagai batu penjuru (Ef 2:20).

(15)

menemui Petrus dan memastikan bahwa Injilnya yang diwartakannya sama dengan Petrus (Gal 1, 2:1-10).

Kekudusan Gereja terlihat ketika Paulus berkata bahwa anggota Gereja merupakan orang-orang kudus (1 Kor 6:1) dan ia memberikan nasihat supaya “jemaat kudus dan tidak bercela” (Ef 5:27). Gereja itu kudus karena Kristus, Yang Kudus dari Allah, telah menyerahkan diri bagi Gereja-Nya untuk menguduskannya (Ef 5:25-26) dan memberikannya karunia Roh Kudus. Jadi, kekudusan Gereja berasal dari Allah, namun pada saat yang sama, kita sebagai anggota Gereja harus berusaha untuk bertumbuh dalam kekudusan dengan pertolongan sakramen-sakramen.

Universalitas dan katolisitas Gereja terlihat ketika Paulus berkata demikian: Demikianlah kamu [orang bukan Yahudi] bukan lagi orang asing dan pendatang, melainkan kawan sewarga dari orang-orang kudus dan anggota-anggota keluarga Allah (Ef 2:19). Misi Gereja mencakup semua orang-orang, tidak dibatasi oleh kelompok atau golongan tertentu, karena Allah menghendaki agar semua orang diselamatkan dan memperoleh pengetahuan akan kebenaran (1 Tim 2:4).

(16)

3. Pentakosta dan Kehidupan Gereja Perdana

Maka penuhlah mereka dengan Roh Kudus, lalu mereka mulai berkata-kata dalam bahasa-bahasa lain, seperti yang diberikan oleh Roh itu kepada mereka untuk mengatakannya... Mereka [umat Kristen] bertekun dalam pengajaran rasul-rasul dan

dalam persekutuan. Dan mereka selalu berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa.

(Kis 2:42)

Kitab Kisah Para Rasul mengajarkan kita banyak hal tentang empat tanda Gereja.

Gereja yang Satu: Ruang atas merupakan tempat berkumpulnya para rasul, Maria Ibu Yesus, dan

juga beberapa orang lainnya (Kis 1:13-14). Mereka berkumpul dan “bertekun dengan sehati dalam doa bersama-sama”, hal ini menunjukkan kesatuan Gereja yang harus terlihat dalam kesatuan doa.

Kesatuan ini juga tampak ketika jemaat Kristen perdana “bertekun dalam pengajaran rasul-rasul dan

dalam persekutuan, dan mereka selalu berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa”. “Kesatuan memiliki sebuah konten yang diungkapkan dalam doktrin. Ajaran para rasul adalah cara konkret yang mana mereka tetap hadir di dalam Gereja. Berdasarkan ajaran ini, bahkan generasi masa depan, setelah kematian para rasul, akan tinggal dalam kesatuan dengan mereka dan karenanya membentuk

Gereja yang sama, Gereja yang satu dan apostolik” (Ratzinger, Behold The Pierced One, hal. 74).

Sudah sejak zaman para rasul kita dapat melihat kesatuan umat beriman dengan para rasul, terutama di saat-saat yang sulit. Dalam Kis 12:1-17, ketika Petrus ditahan di dalam penjara, “jemaat dengan

tekun mendoakannya kepada Allah” (ay. 5). St. Yohanes Krisostomus memberikan penjelasan yang

indah terhadap perikop tersebut:

“Doa tersebut merupakan doa yang berlandaskan kasih seorang anak. Semuanya berdoa bagi bapa mereka, bagi bapa yang mereka kasihi… Pelajarilah seperti apa perasaan umat beriman terhadap para pemimpin mereka. Mereka tidak memberontak atau mengamuk, melainkan mereka berdoa, karena doa merupakan pertolongan yang tak terkalahkan. Mereka tidak berkata: Kita bukan siapa-siapa, bagaimana mungkin kita dapat berdoa untuk dia? Sebaliknya mereka berdoa karena cinta kasih, tanpa memikirkan hal lain!” (Homili 26 tentang Kisah Para Rasul)

Dalam Misa Inaugurasi untuk paus yang baru, ketika Paus melakukan prosesi dari dalam Basilika

menuju St. Peter’s square, dinyanyikanlah Laudes Regiae12, sebuah himne yang sekaligus pula

merupakan doa untuk paus yang baru. Doa yang dilambungkan di hadapan Allah ini sekaligus juga merupakan seruan untuk memohon pertolongan para kudus: dengan berseru tu illum adiuva, yang berarti tolonglah/topanglah penerus St. Petrus yang baru, terlihat pula kesatuan antara Gereja yang jaya dan Gereja militan. Gereja yang satu, dengan kata lain, merupakan Gereja yang bersatu dalam doa, dalam persekutuan dengan Tuhan, secara khusus dalam liturgi.

12 Teks lengkap Laudes Regiae terdapat dalam teks Misa Inaugurasi Paus Benediktus XVI (dan juga Paus Fransiskus), yang

(17)

Gereja yang Kudus: Kisah Pentakosta mengingatkan kita akan adanya relasi antara Roh Kudus dan Gereja: Roh Kudus merupakan jiwa Gereja, sebagaimana dalam teks St. Paulus, Gereja merupakan Tubuh Kristus dan Yesus adalah kepalanya, maka yang namanya tubuh pun mesti memiliki jiwa.

“Gereja itu kudus bukan karena jasa-jasanya, tetapi karena, dengan dihidupi oleh Roh Kudus, Gereja

tetap memandang Kristus guna menyelaraskan diri kepada-Nya dan kasih-Nya” (Paus Benediktus XVI).

Kelahiran Gereja berhubungan erat dengan kedatangan Roh Kudus: ini berarti Gereja lahir berkat kuasa Allah dan kehendak-Nya, dan bukan karena keputusan atau kehendak manusia. Jadi, asal-usul Gereja bersifat ilahi dan manusia tidak akan pernah bisa menciptakan gereja.

Setelah mendengar khotbah perdana Petrus, banyak orang bertanya: apa yang harus kami lakukan? Jawabannya jelas: mereka harus bertobat, dibaptis, dan menerima Roh Kudus (Kis 2:38). Melalui baptisan, semua dosa dihapus dan mereka menerima rahmat pengudusan, dan karenanya baptisan menandai awal perjalanan menuju kekudusan di dalam Gereja. Terdapat hubungan antara pewartaan dan pertobatan, yang mengarah pada baptisan dan masuknya seseorang menjadi anggota Gereja. Sekali lagi aspek Gereja yang kudus terlihat jelas: para rasul berperan dalam mewartakan dan memberikan sakramen untuk menguduskan manusia. Ajaran para rasul dapat disebut sebagai ajaran yang suci, karena ia membantu kita untuk menghindari dosa dan memperjuangkan kekudusan.

Gereja yang Katolik: Sebelum Pentakosta, Yesus sudah berkata bahwa turunnya Roh Kudus akan

membuat para rasul menjadi saksi-Nya hingga ke ujung bumi. Dengan turunnya Roh Kudus dalam diri para rasul, mereka menjadi mampu untuk berbicara dalam bahasa yang berbeda-beda. Paus Benediktus menegaskan bahwa sejak hari lahirnya Gereja sudah memiliki ciri universal dan misioner, karena adanya kuasa Roh Kudus yang memampukan para rasul untuk berbicara dalam banyak bahasa. Dengan demikian, karya misi Gereja, pertama dan terutama merupakan karya Roh Kudus, yang pada saat bersamaan juga membutuhkan kerja sama manusia. Peristiwa ini sangat

bertolakbelakang dengan peristiwa pembangunan menara Babel, “ketika orang-orang ingin

membangun sebuah jalan ke surga dengan tangan mereka dan berakhir dengan menghancurkan kapasitas untuk saling memahami, dalam Pentakosta, Roh bersama dengan karunia lidah, menggambarkan bahwa kehadirannya menyatukan dan mengubah kekacauan (confusion) menjadi persekutuan (communion).” (Pope Benedict XVI, Homili Hari Raya Pentakosta, 4 Juni 2006 )

Aspek universalitas dan katolisitas Gereja juga terlihat dalam dua peristiwa: (1) pembaptisan perwira Romawi, yakni Cornelius dan keluarganya oleh St. Petrus (Kis 10:1-48), (2) adanya catatan perjalanan Paulus menuju Roma, yang mana Kisah Para Rasul ditutup dengan pewartaan Paulus di Roma (Kis 28:11-30). Kardinal Ratzinger membantu kita memahami pentingnya makna Roma di kitab tersebut:

Inilah tema dari setiap bab dalam Kisah Para Rasul, yang menggambarkan transisi Injil

dari bangsa Yahudi ke bangsa bukan Yahudi, dari Yerusalem menuju Roma. Dalam

(18)

kedatangan Injil di Roma—bukan seakan-akan akibat dari tindakan pengadilan terhadap Paulus tidak lagi menjadi perhatian, tetapi semata karena kitab ini bukanlah novel ataupun biografi, kedatangan Paulus di Roma menandai tujuan dari jalan yang dimulai di

Yerusalem; Gereja universal—katolik—telah diwujudkan, dalam kesinambungan

dengan Bangsa Terpilih masa lampau dan sejarahnya serta [Gereja] mengambil alih misinya. Dengan demikian Roma, sebagai simbol bagi dunia bangsa-bangsa, memiliki status teologis dalam Kisah Para Rasul; ia tidak bisa dipisahkan dari gagasan Katolisitas penginjil Lukas. (Behold The Pierced One, hal. 72)

Gereja yang Apostolik: Yesus Kristus membangun Gereja-Nya di atas fondasi para rasul, dengan Petrus sebagai pemimpinnya. Agar misi yang dipercayakan Tuhan kepada mereka dapat tetap bertahan hingga akhir zaman, maka mereka pun perlu memilih para penerus mereka yang bertanggungjawab untuk mewartakan apa yang sudah diterima. Kita melihat hal ini dalam kisah pemilihan Matias, ketika Petrus berkata “biarlah jabatannya diberikan kepada orang lain” (Kis 1:21). Dengan kata lain, suksesi apostolik membantu kita untuk menelusuri asal-usul Gereja, dan karenanya membantu kita tiba pada kesimpulan bahwa Gereja Katolik adalah Gereja yang didirikan Yesus di atas para rasul. Tertullian menggambarkan peran penerus para rasul dalam kehidupan Gereja:

(19)

4. Rangkuman

Overview

Kisah Panggilan Petrus (Luk 5:1-11)

Pentakosta dan Kehidupan Jemaat Perdana (Kis, terutama bab 1 & 2) Ajaran Paulus tentang Gereja (hal. 14-15 makalah ini)

Satu Kudus Katolik Apostolik dasar biblis. Jadi, terlihat keselarasan antara isi Kitab Suci dan pengakuan iman dalam kredo.

(20)

Daftar Pustaka

Aquinas, Thomas. Catena Aurea. Dapat diakses online di http://dhspriory.org/thomas/

Catechism of the Catholic Church. New York: Image Doubleday, 1997.

Cornelius A’ Lapide. The Great Commentary of Cornelius A’ Lapide. Dapat diakses online di

http://www.catholicapologetics.info/scripture/newtestament/Lapide.htm

Hahn, Scott & Mitch, Curtis. Ignatius Catholic Study Bible. San Francisco: Ignatius Press, 2010.

Haydock, George Leo. Haydock Bible Commentary. Dapat diakses online di http://haydock1859.tripod.com/

Ratzinger, Joseph. Behold The Pierced One. San Francisco: Ignatius Press, 1986.

______________. The Ecclesiology of Vatican II. 23 Januari 2002. Dapat diakses online di https://www.ewtn.com/library/CURIA/CDFECCV2.HTM

Pope Benedict XVI. Jesus of Nazareth: From the Baptism in the Jordan to the Transfiguration. San Francisco: Ignatius Press, 2011.

_______________. Jesus of Nazareth, Holy Week: From The Entrance Into Jerusalem to The Ressurection. San Francisco: Ignatius Press, 2011.

_______________. The Apostles. USA: Our Sunday Visitor, 2007.

_______________. Homily on the Mass of Possession of the Bishop of Rome. 7 Mei 2005. Dapat diakses online di https://w2.vatican.va/content/benedict-xvi/en/homilies/2005/documents/hf_ben-xvi_hom_20050507_san-giovanni-laterano.html

_______________. Homily on the Solemnity of St. Peter and Paul. 29 Juni 2008. Dapat diakses online di

https://w2.vatican.va/content/benedict-xvi/en/homilies/2008/documents/hf_ben-xvi_hom_20080629_pallio.html#HOMILY_OF_THE_HOLY_FATHER

_______________. Homily on the Solemnity of Pentecost. 4 Juni 2006. Dapat diakses online di

http://w2.vatican.va/content/benedict-xvi/en/homilies/2006/documents/hf_ben-xvi_hom_20060604_pentecoste.html

_______________. Homily at Mass of Possessions of the Chair of the Bishop of Rome. 7 Mei 2005. Dapat

diakses online di

https://w2.vatican.va/content/benedict-xvi/en/homilies/2005/documents/hf_ben-xvi_hom_20050507_san-giovanni-laterano.html

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari tugas akhir ini adalah mempermudah umat gereja Katolik Roh Kudus Surabaya memperoleh informasi dengan cepat dan efesien dengan membangun sistem informasi website

dan di seluruh dunia hanya ada satu gereja Kristus, gereja yang universal dan gereja ini identik dengan persekutuan orang-orang suci, yaitu semua orang saleh dimana- mana di

Diharapkan dapat memberikan manfaat kepada Gereja Katolik Paroki Hati Kudus Yesus di Keuskupan Surabaya dalam menerapkan Good Corporate Governance, khususnya

Dengan demikian, gaya desain bangunan Gereja Hati Kudus Yesus Surabaya mendapat pengaruh dari perkembangan gaya kolonial Belanda yang ada pada tahun 1920 dan gaya lain

Dengan demikian, gaya desain bangunan Gereja Hati Kudus Yesus Surabaya mendapat pengaruh dari perkembangan gaya kolonial Belanda yang ada pada tahun 1920 dan gaya lain

Pada tampilan interface ini akan dibagi menjadi 3 tampilan yaitu tampilan untuk admin dimana admin dapat mengisi semua menu – menu yang dibutuhkan dalam gereja roh kudus

Dengan demikian, gaya desain bangunan Gereja Hati Kudus Yesus Surabaya mendapat pengaruh dari perkembangan gaya kolonial Belanda yang ada pada tahun 1920 dan gaya lain

Waktu membaca "Katekismus Gereja Katolik" orang dapat menangkap kesatuan rahasia Allah yang mengagumkan, rencana keselamatan-Nya, demikian pula tempat