• Tidak ada hasil yang ditemukan

View of MEMPERTEMUKAN TRADISI DAN MODERNITAS DALAM PENDIDIKAN PESANTREN DI ERA GLOBALISASI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "View of MEMPERTEMUKAN TRADISI DAN MODERNITAS DALAM PENDIDIKAN PESANTREN DI ERA GLOBALISASI"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

1 Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015

DALAM PENDIDIKAN PESANTREN DI ERA GLOBALISASI

Muhammad Masyhuri

Institut Agama Islam Syarifuddin Lumajang Email: muhamasyhur@gmail.com

Abstrak

Di era globalisasi yang serba modern, kehidupan berlangsung dalam suatu kondisi dan sistuasi yang terasa sangat berbeda dengan era sebelumnya yang tradisional. Perbedaan tersebut dialami oleh tiap orang yang merasakan kehidupannya secara lokal, memaksa tiap tubuh menjadi individualis, meski tiap momen secara kontekstual berlangsung dalam waktu dan ruang tertentu secara cepat. Transformasi lokasi, keterbatasan aktitifitas yang besifat lokalitas, serta muculnya berbagai bentuk pengalaman yang sentralistik telah merubah dunia saat ini secara radikal. Perubahan-perubahan ini tidak saja menjadi fenomena dunia yang bersifat individualis namun juga secara umum menggambarkan aktivitas sosial yang saling terjalin dengan kehidupan sosial lainnya. Meski setiap orang hidup dalam kontek lokal, namun fenomena dunia yang terjadi sesungguhnya berlangsung secara cepat dan global. Dilematika modernitas bagi tiap orang ini juga menjadi problem bagi kalangan Sufi di Pesantren. Pesantren sebagai sebuah institusi pedidikan Islam memiliki peran strategis dalam pembentukan masa depan masyarakat Islam di Indoensia, meskipun demikian, seringkali Pesantren terjebak kepada dikotomi antara tradisonal dan modern, sehingga seringkali lulusan Pesantrenmenjadi asing dengan realitas sosial dan kebutuhannya.Tulisan ini berupaya mengkaji ulang tentang pendidkan di Pesantren yang menjadi dilematik bagi para sufi, agar dapat dirumuskan strategi pencapaian pendidikan multi-dimensional secara fenomenologis, sehingga, dari kajian ini dapat dirumuskan pembacaan awal tentang bagaimana alumni Pesantren nantinya bisa mengikuti perubahan sitsuasi dan kondisi dimasa mendatang.

Kata Kunci: Tradisi, modernitas dan Pesantren

Pendahuluan

Tradisi dan modernitas sering dipahami sebagai dua istilah yang saling

berlawanan makna, baik dalam konseptualisasinya serta polarisasi yang

muncul dalam karakteristik yang berbeda satu sama lain dalam aspek

(2)

2 Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015

modernitas juga memunculkan selain penerimaan modernitas bagi tradisinya,

namun juga ada yang menolak tradisi atas modernitas1. Penerimaan tradisi

atas modernitas dipahami sebagai bentuk negosiasi yang dimaksudkan pada

dimungkinkan adanya ruang dialog bagi tradisi untuk merespon modernitas

dengan cara berbeda, atau lebih ekstrem jusru tradisi dan modernitas

merupakan polarisasi yang justru debatable, dimana diantara keduanya justru

dapat dipertemukan. Dengan Bahasa yang berbeda, dimungkinkan terdapat

elemen yang pra-modern dan elemen yang modern berkumpul dalam satu

elemen yang sama.

Dalam beberapa literature ilmu sosial, perubahan sosial dalam masyarakat dapat didekati dari sebuah model “before-and after”. Dalam konteks ini, struktur sosial lama dibedakan oleh dua struktur yang dikotomis

dan orang akan mengalalami kesulitan bila memahami masing-masing

perangkat mewakili sistem umum dari keduanya. Berdasarkan pemaknaan ini

masyarakat diklasifikasikan menurut tingkatan yang menghubungkan salah

satu perangkat sifat dari pada yang lain, yang kemudian menghasilkan sebuah

susunan dan urutan dari berbagai masyarakat dalam hubungannya dengan

perubahan. Masyarakat tradisional dan modern yang dipertentangkan satu

sama lain dalam perspektif ini, dalam banyak hal, masing-masing dinyatakan sebagai tipe “tertutup”.2

Perbedaan mendasar antara masyarakat tradisional dengan

masyarakat modern, dimana tradisional disimpulkan sebagai masyarakat statis

dengan memiliki diferensiasi atau spesialisasi, tingkat urbanisasi dan literasi

yang rendah. Sebaliknya, masyarakat modern ditandai oleh adanya

diferensiasi, urbanisasi, literasi, dan terbiasa dengan mass-media. Dalam dunia politik, masyarakat tradisional menggantungkan pada elit “tradisional” yang

memerintah berdasarkan mandat dari Tuhan, sementara masyarakat modern

1

Momen, M. (1999). The Phenomenon of Religion. Oxford: Oneworld, hal. 176

2

(3)

3 Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015

mendasarkan pada partisipasi yang luas dari rakyat, yang tidak menghormati

bentuk legitimasi politik tradisional dan menetapkan penguasa sebagai pihak

yang bertanggungjawab berdasarkan nilai-nilai sekuler dan prinsip efisiensi. Di

samping itu, masyarakat tradisional dikenal sebagai terikat oleh batas budaya

yang diciptakan oleh tradisinya sendiri, sedang masyarakat modern secara

kultur adalah dinamis, menerima perubahan, pembaharuan, menjunjung tinggi

nilai rasionalitas, selalu up-to-date, dan maju. Siapa saja yang dikaitkan dengan

keyakinan, praktik, serta institusi tradisional dikelompokkan sebagai “reaksioner” atau “konservatif .3

Modernitas suatu masyarakat secara langsung dikaitkan dengan

karakteristik spesialisasi yang terstruktur dan berbagai ragam mobilisasi sosial.

Semakin tinggi tingkat spesialisasi yang dimiliki oleh seseorang, maka semakin

kecil sikap tradisional yang dimilikinya, dan karena itu, implikasinya, semakin

bisa mengembangkan spesialisasi ini secara terus menerus berkaitan dengan

berbagai persoalan baru dan kekuatan sosial. Dalam kaitan ini sikap tradisional

dipandang sebagai “unproblematic.” Semakin banyak teori cabang ilmu sosial

berkembang, semakin sedikit ketertarikan elemen tradisional yang ada dalam

masyarakat. Karena itu tradisi merupakan sebuah kategori residual, sebagai

gangguan intelektual yang harus dihilangkan. Dari perspektif pewarisan

nilai-nilai secara turun temurun, modernitas pada akhirnya juga akan melahirkan

sebuah tradisi. Tetapi berbeda dengan tradisi yang mengagungkan kejayaan

masa lalu sebagai satu-satunya kebenaran, maka tradisi modernitas akan

melahirkan nilai-nilai yang berkaitan dengan pemecahan persoalan kekinian

dan yang akan datang.

3

(4)

4 Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015

Bagan 2.1, negosiasi antara tradisi dan modernitas

Dalam konteks tradisi Islam di Indonesia, negosiasi antara tradisi dan

modernitas dijelaskan oleh Abdurrahman Wahid dalam konsepsinya tentang ‘dinamisasi’ dalam tradisi keagamaan. Meski tradisi selalu dianggap baik,

tetapi ia akan selalu berhadapan dengan kenyataan sosial yang terus menerus

berubah. Dinamisasi menurutnya adalah suatu aksi rasional yang sambung

menyambung dalam suatu keterpaduan untuk memahami, mengubah,

mempertahankan kebudayaan itu sambil memberikan kemungkinan untuk

diubah lagi demi kehidupan berkelanjutan menuju kehidupan sosial yang

manusiawi. Dengan pengertian ini, setiap perubahan memiliki tantangan dan

persoalan; dan jalan ke arah perubahan perlu menyediakan ruang terhadap

perubahan lanjutan. Dalam konteks ini, Wahid menekankan pentingnya arti

dinamisasi dalam tradisi, agar sebuah tradisi bisa terus hidup, tetapi pada saat

yang sama bisa menjadi alat untuk menggerakkan perubahan dan

meresponnya. Proses dinamisasi ini dapat dimunculkan melalui penggalakan

kembali nilai-nilai hidup lama yang positif, yaitu tradisi yang ada, selain itu juga

mencakup penggantian nilai-nilai lama dengan nilai-nilai baru yang dianggap

lebih sempurna. Proses penggantian nilai ini disebut modernisasi, dan dengan

sendirinya pengertian modernisasi terkandung dalam dinamisasi itu. Dalam

kata dinamisasi di sini, mengandung pemahaman "perubahan ke arah

penyempurnaan keadaan dengan menggunakan sikap hidup, nilai-nilai, dan

peralatan yang telah ada," yang berarti perubahan terus menerus sebagai

(5)

5 Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015

sendiri dengan berpijak pada tradisi. Dan menurut Wahid, dinamisasi itu

sendiri, bukanlah westernisasi.4

Pesantren, antara Tradisi dan Modernitas

Keberadaan Pesantren dalam sejarah bangsa Indonesia sudah dikenal

sejak 500 tahun silam, dimana keberadaan lembaga pendidikan yang khas

Indonesia (indigeneus) ini mampu berperan serta dalam menciptakan

transformasisosial, ekonomi dan politik pada saat itu. Dalam

perkembangannya, Pesantren kini mengalami pelbagai tantangan, baik dari

pengaruh globalisasi, maupun pengaruh konflik sosiologis, politis maupun

teologis diantara Pesantren sendiri. Pesantren merupakan institusi pendidikan

Islam yang memiliki beberapa unsur utama, yakni Kyai, Kitab Kuning, Masjid,

Santri, dan Asrama Pemondokan. Dalam sejarahnya, unsur-unur pokok dalam

Pesantren ini secara efektif mendorong muculnya Islamisasi di Nusantara.5

Bahkan dalam perkembangannya, Pesantrenmenjadi lembaga pndidikan yang

berhasil melakukan transformasi dalam mendorong perjuangan umat

Isamuntuk melalawan kolonialisme dan imperilime. Dalam sejarahnya,

Pesantren telah mampu menjadi kekuatan yang mampu medorong

kesadarankristis bagi masyarakat, sehingga keberadaan Pesantren

mendorong pemerintah Belanda memberlakukan kebijakan yang mengkontrol

serta mengendalikan keberadaan Pesantren di Nusantara. Bahkan, secara

ketat, pemerintah Belanda melakukan seleksi ketat terhadap implementasi

kurikulum dan siapa saja yang diperbolehkan untuk mengajarkan pendidikan

agama. Dalam sejarahnya, kebijakan ini, dilanjutkan oleh pemerintah

Jepang,6berdasarkan aspek kesejarahan ini, secara umum peran Pesntren baik

4

Wahid, A. (2011). Islamku, Islam Anda, Islam Kita; Agama Masyarakat Negara Demokrasi.

Jakarta: Yayasan Abad Demokrasi

5

Lihat Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren; Studi Pandangan Hidup Kyai, Jakarta: LP3S. h. 32

6

(6)

6 Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015

secara sosial politik dan ekonomi dan budaya secara jelas muncul dalam

sejarah bangsa Indonesia khususnya di era sebelum dan sesudah

kemerdekaan, namun sebalikya keberadaan Pesantren sendiri mengalami

berbagai tekanan baik di era kolonial maupun pasca kolonial.7

Sebagaimana kondisi di era kolonial, Pesantren di era pasca kolonial

atau kemerdekaan juga mengalami tantangan yang menyebabkan menurunya

dinamika Pesantren, sebagaimana yang muncul dari kebijakan pemerintah di

tahun 1949, dimana pemerintah membuka ruang seluas-luasnya pendidikan

umum, yang nantinya lulusan dari pendidikan umum ini akan diproyeksikan

untuk jabatan-jabatan adminitratif di pemerintahan. Kebijakan ini berdampak

pada banyaknya Pesantren-Pesantren kecil di nusantara yang tutup karena

ketiadaan santri. Masyarakat mulai lebih mementingkan pendidikan formal

umum dari pada harus menyekolahkan anaknya untuk menjadi santri di

Pesantren, dengan alasan untuk bisa menempati posisi adinistratif di

pemerintahan. Kenyataan ini sungguh ironi, mengapa diera koloniah,

meskipun Pesantrenmendapat tekanan dan pembatasan, namun pada

kenyataannya justru menjadi lembaga pendidikan yang diprioritaskan oleh

masyarakat, namun justru setelah kemerdekaan keberadaan Pesantren

mengalami penurunan dan ditinggalkan oleh masyarakat Islam di Indonesia 8

Meskipun pada umumnya peran Pesantren mampu berperan secara

aktif dan strategis bagi perubahan masyarakat, juga keberadaanya hingga kini

mampu berdaptasi dalam menyelesaikan persolan baik di era kolonial

maupunpasca kemerdekaan, namun kemunculan globalisasisaat ini menjadi

tantangan yang serius bagi keberlanjutan Pesantren dimasa mendatang.

Globalisasi yang ditandai dengan adanya global village, yakni menjadikan

situasi dan kondisi pada suatu masyaraat tidak lagi dibatasi dengan adanya

teritori atau wilayah tertentu, namun karena kecanggihan teknologi dan arus

7

Ibid

8

(7)

7 Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015

informasi menjadikan arus informasi menjadi mendunia. Hal ini tentu menjadi

tantangan bagi dunia Pesantren yang selama ini berfunsi sebagai penjaga

tradisi dan nilai-niai ajaran agama. Globalisasi tidak hanya memunculkan

pertarungan nilai, doktrin teologis dari satu agama tertentu, namun

keberadaan globalisasi akan berdampak pada eksstensi Pesantren bila

keberadaanya tidak mampu berbenah diri baik pada sisi manajemen

pendidikan yang diguakan maupun pada kurikulum yang digunakan.9

Rasionalisasi Pendidikan Pesantren; antara al-Muhadzah dan al-Tajdid

Berbagai tantangan, bahkan ancaman selama ini menyelimuti dunia

pendidikan Pesantren, mulai dari dinamika sosio-ekonomi dan politik yang

menyertainya. Keberadaan Pesantren yang mampu merespon hingga kini,

meskipun terdapat sejumlah Pesantren yang mulai sepi dan ditinggalkan oleh

para santrinya menegaskan bahwa Pesantren perlu merumuskan strategi

bagaimana system pendidikan di Pesantren bermulti dimensi yang mampu

menjawab kebutuhan masyarakat. Hal ini juga dimaksudkan pada bagaimana

out-put Pesantren dapat berperan serta dalam kehidupan dimasyarakat

sesunguhnya, tidak saja dalam persoalan keagamaan namun juga sosio,

ekonomi,, politik, teknologi serta berbagai dimensinya. Karena demikian,

Pesantren tidak bisamengelakkan diri untuk melakukan evaluasi, intropeksi

yang didasarkan pada prinsip al-muhafadlat ala qadim al shalih wa al ahdu bi al jaded al ashlah’, maupun lebih pada paradigma bagaimana berkreatifitas,

berproduksi, dan bercipta dan karsa tentang sesuatu yang baru, alahdu bi

alttaajaddui, tanpa meninggalkan nilai dan tradisi lama yang masih berfungsi,

bermanfaat dan dibutuhkan oleh masyarakat Islam. Dengan demikian, konsep

al-ahdu perlu dire-orientasikan pada pardigma produktifitas; kreatifitas.

Karena demikian, paradigm Pesantren, baik pada perumusan nilai, prinsip

9

(8)

8 Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015

pengembangan manajemen dan sistem pendidikannnya perlu berpijak pada

paradima ini.

Berpijak pada pandangan seperti ini, relaitassosial pendidikan

Pesantren saat ini memiliki beberapa pesoalan yang rumit dan krusial, mulai

dari manajemen yang lebih berorientasipada figure-ketokohan, pengelolahan

tidak berbasis pada system, hingga implementasi kurikulum yang tidak

berbasis design dan perencanaan, serta metode dan sarana pendukung yang

belum optimal. Pelbagai persoalan ini tentu menjadi persoalan Pesantren

secara kelembagaan, namun persoalan lain yang sama menjadi tantangan bagi

dunia pendidikan Pesantren saat ini adalah dinamika sosio-politiknya. Terdapat

sejumlah Pesantren yang terlibat aktif dalam pertarunan kepentingan

diwilayah politik praktis. Realita ini menjadi trend disejumlah Pesantren di

Indonesia terutama menjelang pemilu dan pilpres. Bila Peasantren tidak

didukung dengan adanya system pendidikan yang mapan, tentu dampak

negative dari konstalasi Pesantrenpada wilayah politik ini adalah menurunya

tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemahaman Pesantren sebagai

pusat pendidikan Islam yang selama ini menjadi prioritas utama.10

Fenomena problematika pendidikan Pesantren saat ini juga

berhubungan erat dengan banyaknya lulusan Pesantren yang tidak memiliki

konsistensi antara pemahaman ilmu agama yang telah diperoleh dengan

aktualisasi dari keilmuannya dimasyarakat. Implikkasi dari fenomena ini adalah

banyaknya lulusan Pesantren yang tidak konsisten dengan

ke-santriannya-sebagaimana yang telah dipelajari dan dikuasanya dipesantren. Persoalan ini

bisa berkaitan erat dengan rendahnya pemahaman dan penghayatan yang

selamaini dipelajari, karena kurikulum yang ada masih lebih menekankan pada

aspek rasio, tidak pada sejauhmana pembentukan karakter Islami dapat

dijadikan tolok ukur utama dari implementasi kurikulum tersebut.Kurang

10

(9)

9 Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015

memperhatikan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai

bagian utama dari kurikulum yang perlu dikuasai oleh para santri dipesantren.11

Berdasarkan fenomena tersebut, maka paradigma pengembangan

system pendidikan pesntren yang sesuai dengan situasi dan kodisi saat ini

perlu memperhatikan beberapa dimensi; yakni lebih menekankan aspek

pengambangan akhlak, atau kareakter yang tidak hanya bersifat teoretik

namun pada praktik keseharian, merumuskan visidan misi pesantren secara

jelas, modernisasi manajemen kelembagaan, pengembangan kurikulum

dengan memadukan dengan kebutuhan masyarakat serta memberikan lifeskill

yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi.

Dalam faktanya, sebagian besar Pesantren yang ada saat ini belum

memiliki visi dan misi yang dirumuskan berdasarkan kebutahan

masyarakatnya, apalagi permusan perencanaan pengembangan strategis dari

peantren tersebut dimasa mendatang. Fenomena ini tentunya menjadika

keberadaan Pesantren stagnan, ibaratkan buih dilautan yang mengalir

mengikuti arus gelombang tanpa tujuan. Realitas ini tentu membutuhkan

proses penyadaran dan pemberdayan Pesantren. Pemberdayaan ini bias

dilakukan oleh akademisi, atau pemerintah atau lembaga sosial yang kompetin

dibidangnya. Dengan perumusan visi misi dan renstra yang jelas, tentu

keberadaan Pesantren dimasa mendatan akan lebih optimal dalam

mengembangkan fungsinya sebagai institutusi pendidikan keagamaan di

masyarakat.

Perumusan visi-misi dan renstra bagi Pesantren tersebut tentunya perlu

diimbangi dengan upaya modernisasi manajemen Pesantren, dengan

membagi devisi kerja yang jelas, melakukan control disetiap kegiatan yang

dilakukan, serta mengevaluasi system yang ada, serta memberdayakan

potensi untuk pengembangan dan keberlanjutan lembaga adalah

langkah-langkah penting yang perlu dirumuskan. Dengan melakukan rasionaliasi

11

(10)

10 Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015

manajemen Pesantren ini, tentu akan menjadikan Pesantren lebih efisien dan

efektif dalam melaksanakan program-program pendidikanya. Dengan

demikiam, maka pembentukan santri yang diharpak sesuai dengan visi-misi

Pesantrenakan lebih rasional bisa tercapai.

Begitu pula dengan kurikulum Pesantren, tidak sedikit pesantren yang

tidak memiliki rumusan kuriklum pendidikan, apalagi untukmelakukan review

apakah kurikulum yang ada sesuai dengan dimensi persoalan dan kebutuhan

masyarakat saat ini. Fenomena in tentu membutuhkan suatu terobosan

penyusunan kurikulum bagi Pesantren yang lebih integrative Antara

pendidikan keagamaan dengan pengetahuan dan skuill yang dibutuhnkan ole

masarakat, apabia kebutuhan ini tidak terpenuhi, kemungkinan besar

Pesantrenakan tenggelam bahkan ditinggalkan oleh masyarakat karena

dianggap tidak up-to date atau kurang menarik bila ditinggalkan oleh lembaga

pendidikan lainnya diluar Pesantren.

Kebutuhan lain yang sangat mendesak bagi lembaga pendidikan

Pesantren, adalah memperkuat icon Pesantren pada aspek pengembangan

karakter, kepribadian atau akhlak karimah. Alasan utama yang menjadi pilihan

masyarakat untuk menjadikan Pesantren sebagai pilihan utama mereka adalah

pada aspek ini, yakni pembentukan nilai-nilai akhlak islami. Oleh karenanya,

pembentukan karakter akhlak ini, dimulai dari memperbanyak materi serta

aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari bagi santrinya untuk mengembangkan

kepribadian islam yang karimah. Pengembagan materi kepribadia ini, tentu

tidak terlepas dari ruanglingkup ajaran tasawuf, ironinya, terdapat sejumlah

Pesantren yang memahami tasawuf sebagai suatu ajaran yang menghampat

perkembangan Islam, bahkan tidak mengenalkan secara luas dalam

kurikulumya. Karena demikian, pola penysunan dipeantren menjadi

kontradiksi dan mengalami inefisiensi. Misalkan memberikan materi ilmu alat

(11)

11 Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015

pembentukan budaya bahasa, sementara materi tentang al-Quran, tafsir,

hadits, dan tasawuf dengan porsi sedikit.12

Kesimpulan

Refleksi terhadap keberadaan pesantren dan sistem pendidikan yang

dikembangakan seharusnya dirumuskan dengan paradigma pengembangan

pendidikan Pesantren yang mampu menjawab kebutuhan masyarakat Islam

dimasa depan, tanpa terjebak dalam dikotomi tradisi dan modernitas yang

mengungkung. Dengan melakukan koreksi konstruktif terhadap sistem

pendidikan yang sudah dikembangkan saat ini, maka pembacaan kebutuhan

situasional dan kondisional yang ada dimasyarakat akan menjadikan

pendidikan peantren tidak harus terjebak pada persolan salafian dan

kholafiah. Sebaliknyam akanmembuka ruang lembaga pendidikan formal,

nonformal dan informal yang ada, dengan memanfaatkan pekembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi menjadi sebuah kebutuhan saat ini. Berdasarkan

pemahamaan ini, diharapkan alumni Pesantren mampu bersaing secara global,

dan siap mewarnai tantangan globalisasi dengan tetap menjadikannyaarus

yang lebih islami, yakni sesuai dengan nilai dan prisip agama Islamtanpa harus

meniggalkan aspek-aspek yang dianggap tardisional meski tetap relevan.

Referensi

Dhofier, Zamakhsyari (1985), Tradisi Pesantren; Studi Pandangan Hidup Kyai, Jakarta: LP3ES.

Hasbullah (1999), Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia: Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan, Jakarta. PT. Grafindo Persada.

Jainuri, A. (2014). Tradisi dan Modernitas; Mencari Titik Temu. Musyawarah Nasional Tarjih ke-28, pada 27-29 rabiulakhir 1435 H/27 Februari-1 Maret 2014(pp. 1-8). Palembang: Musyawarah Nasional Tarjih ke-28.

Jakarta: Yayasan Abad Demokrasi

Madjid, Nurcholis (1997), Bilik-bilik Pesantren, Jakarta, Paramadina.

12

(12)

12 Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015

Martono, N. (2012). Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Momen, M. (1999). The Phenomenon of Religion. Oxford: Oneworld.

Wahid, A. (2011). Islamku, Islam Anda, Islam Kita; Agama Masyarakat Negara Demokrasi.

Yasmadi, Modernisasi Pesantren, (2002) Jakarta: Ciputat Press.

Referensi

Dokumen terkait

(3) Untuk melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud pada ayat (2), uraian tugas Kepala Seksi Kesehatan Dasar dan Rujukan adalah sebagai berikut :.. melaksanakan bimbingan

Setelah mahasiswa/i telah menyelesaikan proposal skripsi, maka mahasiswa/i bersangkutan akan berkonsultasi dengan Dosen pembimbing berdasarkan saran dari pembanding pada

Untuk melihat apakah struktur pasar dan kebijaksanaan pemerintah yang berkaitan dengan input dan output secara simultan menguntungkan atau tidak menguntungkan

Perancangan mesin pengaduk adonan roti dengan kapasitas 43 kg yang secara rinci menjabarkan elemen mesin yang digunakan meliputi menghitung daya motor penggerak, diameter

Kondisi eksisting dari Conveyor Belt Penyalur dan Pengumpul dari Bandara Hang Nadim – Batam dapat dilihat pada Gambar 3 bahwa kondisi dari conveyor tidak memenuhi

Karakter kuantitatif yang dimasukkan kedalam perhitungan jarak genetik adalah yang memiliki pengaruh genotipe nyata yaitu: karakter umur berbunga 50%, tinggi

Penelitian ini ditujukan untuk melihat tingkat keterkaitan sektor kehutanan dengan sektor-sektor ekonomi lainnya dan peranan sektor kehutanan dalam penciptaan output,

Pengawasan pelaksanaan Peraturan Desa telah diatur oleh pemerintah desa, seperti yang tertuang dalam Perdes No.01 Tahun Anggaran 2012 tentang Anggaran Pendaptan