1 Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015
DALAM PENDIDIKAN PESANTREN DI ERA GLOBALISASI
Muhammad Masyhuri
Institut Agama Islam Syarifuddin Lumajang Email: muhamasyhur@gmail.com
Abstrak
Di era globalisasi yang serba modern, kehidupan berlangsung dalam suatu kondisi dan sistuasi yang terasa sangat berbeda dengan era sebelumnya yang tradisional. Perbedaan tersebut dialami oleh tiap orang yang merasakan kehidupannya secara lokal, memaksa tiap tubuh menjadi individualis, meski tiap momen secara kontekstual berlangsung dalam waktu dan ruang tertentu secara cepat. Transformasi lokasi, keterbatasan aktitifitas yang besifat lokalitas, serta muculnya berbagai bentuk pengalaman yang sentralistik telah merubah dunia saat ini secara radikal. Perubahan-perubahan ini tidak saja menjadi fenomena dunia yang bersifat individualis namun juga secara umum menggambarkan aktivitas sosial yang saling terjalin dengan kehidupan sosial lainnya. Meski setiap orang hidup dalam kontek lokal, namun fenomena dunia yang terjadi sesungguhnya berlangsung secara cepat dan global. Dilematika modernitas bagi tiap orang ini juga menjadi problem bagi kalangan Sufi di Pesantren. Pesantren sebagai sebuah institusi pedidikan Islam memiliki peran strategis dalam pembentukan masa depan masyarakat Islam di Indoensia, meskipun demikian, seringkali Pesantren terjebak kepada dikotomi antara tradisonal dan modern, sehingga seringkali lulusan Pesantrenmenjadi asing dengan realitas sosial dan kebutuhannya.Tulisan ini berupaya mengkaji ulang tentang pendidkan di Pesantren yang menjadi dilematik bagi para sufi, agar dapat dirumuskan strategi pencapaian pendidikan multi-dimensional secara fenomenologis, sehingga, dari kajian ini dapat dirumuskan pembacaan awal tentang bagaimana alumni Pesantren nantinya bisa mengikuti perubahan sitsuasi dan kondisi dimasa mendatang.
Kata Kunci: Tradisi, modernitas dan Pesantren
Pendahuluan
Tradisi dan modernitas sering dipahami sebagai dua istilah yang saling
berlawanan makna, baik dalam konseptualisasinya serta polarisasi yang
muncul dalam karakteristik yang berbeda satu sama lain dalam aspek
2 Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015
modernitas juga memunculkan selain penerimaan modernitas bagi tradisinya,
namun juga ada yang menolak tradisi atas modernitas1. Penerimaan tradisi
atas modernitas dipahami sebagai bentuk negosiasi yang dimaksudkan pada
dimungkinkan adanya ruang dialog bagi tradisi untuk merespon modernitas
dengan cara berbeda, atau lebih ekstrem jusru tradisi dan modernitas
merupakan polarisasi yang justru debatable, dimana diantara keduanya justru
dapat dipertemukan. Dengan Bahasa yang berbeda, dimungkinkan terdapat
elemen yang pra-modern dan elemen yang modern berkumpul dalam satu
elemen yang sama.
Dalam beberapa literature ilmu sosial, perubahan sosial dalam masyarakat dapat didekati dari sebuah model “before-and after”. Dalam konteks ini, struktur sosial lama dibedakan oleh dua struktur yang dikotomis
dan orang akan mengalalami kesulitan bila memahami masing-masing
perangkat mewakili sistem umum dari keduanya. Berdasarkan pemaknaan ini
masyarakat diklasifikasikan menurut tingkatan yang menghubungkan salah
satu perangkat sifat dari pada yang lain, yang kemudian menghasilkan sebuah
susunan dan urutan dari berbagai masyarakat dalam hubungannya dengan
perubahan. Masyarakat tradisional dan modern yang dipertentangkan satu
sama lain dalam perspektif ini, dalam banyak hal, masing-masing dinyatakan sebagai tipe “tertutup”.2
Perbedaan mendasar antara masyarakat tradisional dengan
masyarakat modern, dimana tradisional disimpulkan sebagai masyarakat statis
dengan memiliki diferensiasi atau spesialisasi, tingkat urbanisasi dan literasi
yang rendah. Sebaliknya, masyarakat modern ditandai oleh adanya
diferensiasi, urbanisasi, literasi, dan terbiasa dengan mass-media. Dalam dunia politik, masyarakat tradisional menggantungkan pada elit “tradisional” yang
memerintah berdasarkan mandat dari Tuhan, sementara masyarakat modern
1
Momen, M. (1999). The Phenomenon of Religion. Oxford: Oneworld, hal. 176
2
3 Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015
mendasarkan pada partisipasi yang luas dari rakyat, yang tidak menghormati
bentuk legitimasi politik tradisional dan menetapkan penguasa sebagai pihak
yang bertanggungjawab berdasarkan nilai-nilai sekuler dan prinsip efisiensi. Di
samping itu, masyarakat tradisional dikenal sebagai terikat oleh batas budaya
yang diciptakan oleh tradisinya sendiri, sedang masyarakat modern secara
kultur adalah dinamis, menerima perubahan, pembaharuan, menjunjung tinggi
nilai rasionalitas, selalu up-to-date, dan maju. Siapa saja yang dikaitkan dengan
keyakinan, praktik, serta institusi tradisional dikelompokkan sebagai “reaksioner” atau “konservatif .3
Modernitas suatu masyarakat secara langsung dikaitkan dengan
karakteristik spesialisasi yang terstruktur dan berbagai ragam mobilisasi sosial.
Semakin tinggi tingkat spesialisasi yang dimiliki oleh seseorang, maka semakin
kecil sikap tradisional yang dimilikinya, dan karena itu, implikasinya, semakin
bisa mengembangkan spesialisasi ini secara terus menerus berkaitan dengan
berbagai persoalan baru dan kekuatan sosial. Dalam kaitan ini sikap tradisional
dipandang sebagai “unproblematic.” Semakin banyak teori cabang ilmu sosial
berkembang, semakin sedikit ketertarikan elemen tradisional yang ada dalam
masyarakat. Karena itu tradisi merupakan sebuah kategori residual, sebagai
gangguan intelektual yang harus dihilangkan. Dari perspektif pewarisan
nilai-nilai secara turun temurun, modernitas pada akhirnya juga akan melahirkan
sebuah tradisi. Tetapi berbeda dengan tradisi yang mengagungkan kejayaan
masa lalu sebagai satu-satunya kebenaran, maka tradisi modernitas akan
melahirkan nilai-nilai yang berkaitan dengan pemecahan persoalan kekinian
dan yang akan datang.
3
4 Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015
Bagan 2.1, negosiasi antara tradisi dan modernitas
Dalam konteks tradisi Islam di Indonesia, negosiasi antara tradisi dan
modernitas dijelaskan oleh Abdurrahman Wahid dalam konsepsinya tentang ‘dinamisasi’ dalam tradisi keagamaan. Meski tradisi selalu dianggap baik,
tetapi ia akan selalu berhadapan dengan kenyataan sosial yang terus menerus
berubah. Dinamisasi menurutnya adalah suatu aksi rasional yang sambung
menyambung dalam suatu keterpaduan untuk memahami, mengubah,
mempertahankan kebudayaan itu sambil memberikan kemungkinan untuk
diubah lagi demi kehidupan berkelanjutan menuju kehidupan sosial yang
manusiawi. Dengan pengertian ini, setiap perubahan memiliki tantangan dan
persoalan; dan jalan ke arah perubahan perlu menyediakan ruang terhadap
perubahan lanjutan. Dalam konteks ini, Wahid menekankan pentingnya arti
dinamisasi dalam tradisi, agar sebuah tradisi bisa terus hidup, tetapi pada saat
yang sama bisa menjadi alat untuk menggerakkan perubahan dan
meresponnya. Proses dinamisasi ini dapat dimunculkan melalui penggalakan
kembali nilai-nilai hidup lama yang positif, yaitu tradisi yang ada, selain itu juga
mencakup penggantian nilai-nilai lama dengan nilai-nilai baru yang dianggap
lebih sempurna. Proses penggantian nilai ini disebut modernisasi, dan dengan
sendirinya pengertian modernisasi terkandung dalam dinamisasi itu. Dalam
kata dinamisasi di sini, mengandung pemahaman "perubahan ke arah
penyempurnaan keadaan dengan menggunakan sikap hidup, nilai-nilai, dan
peralatan yang telah ada," yang berarti perubahan terus menerus sebagai
5 Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015
sendiri dengan berpijak pada tradisi. Dan menurut Wahid, dinamisasi itu
sendiri, bukanlah westernisasi.4
Pesantren, antara Tradisi dan Modernitas
Keberadaan Pesantren dalam sejarah bangsa Indonesia sudah dikenal
sejak 500 tahun silam, dimana keberadaan lembaga pendidikan yang khas
Indonesia (indigeneus) ini mampu berperan serta dalam menciptakan
transformasisosial, ekonomi dan politik pada saat itu. Dalam
perkembangannya, Pesantren kini mengalami pelbagai tantangan, baik dari
pengaruh globalisasi, maupun pengaruh konflik sosiologis, politis maupun
teologis diantara Pesantren sendiri. Pesantren merupakan institusi pendidikan
Islam yang memiliki beberapa unsur utama, yakni Kyai, Kitab Kuning, Masjid,
Santri, dan Asrama Pemondokan. Dalam sejarahnya, unsur-unur pokok dalam
Pesantren ini secara efektif mendorong muculnya Islamisasi di Nusantara.5
Bahkan dalam perkembangannya, Pesantrenmenjadi lembaga pndidikan yang
berhasil melakukan transformasi dalam mendorong perjuangan umat
Isamuntuk melalawan kolonialisme dan imperilime. Dalam sejarahnya,
Pesantren telah mampu menjadi kekuatan yang mampu medorong
kesadarankristis bagi masyarakat, sehingga keberadaan Pesantren
mendorong pemerintah Belanda memberlakukan kebijakan yang mengkontrol
serta mengendalikan keberadaan Pesantren di Nusantara. Bahkan, secara
ketat, pemerintah Belanda melakukan seleksi ketat terhadap implementasi
kurikulum dan siapa saja yang diperbolehkan untuk mengajarkan pendidikan
agama. Dalam sejarahnya, kebijakan ini, dilanjutkan oleh pemerintah
Jepang,6berdasarkan aspek kesejarahan ini, secara umum peran Pesntren baik
4
Wahid, A. (2011). Islamku, Islam Anda, Islam Kita; Agama Masyarakat Negara Demokrasi.
Jakarta: Yayasan Abad Demokrasi
5
Lihat Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren; Studi Pandangan Hidup Kyai, Jakarta: LP3S. h. 32
6
6 Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015
secara sosial politik dan ekonomi dan budaya secara jelas muncul dalam
sejarah bangsa Indonesia khususnya di era sebelum dan sesudah
kemerdekaan, namun sebalikya keberadaan Pesantren sendiri mengalami
berbagai tekanan baik di era kolonial maupun pasca kolonial.7
Sebagaimana kondisi di era kolonial, Pesantren di era pasca kolonial
atau kemerdekaan juga mengalami tantangan yang menyebabkan menurunya
dinamika Pesantren, sebagaimana yang muncul dari kebijakan pemerintah di
tahun 1949, dimana pemerintah membuka ruang seluas-luasnya pendidikan
umum, yang nantinya lulusan dari pendidikan umum ini akan diproyeksikan
untuk jabatan-jabatan adminitratif di pemerintahan. Kebijakan ini berdampak
pada banyaknya Pesantren-Pesantren kecil di nusantara yang tutup karena
ketiadaan santri. Masyarakat mulai lebih mementingkan pendidikan formal
umum dari pada harus menyekolahkan anaknya untuk menjadi santri di
Pesantren, dengan alasan untuk bisa menempati posisi adinistratif di
pemerintahan. Kenyataan ini sungguh ironi, mengapa diera koloniah,
meskipun Pesantrenmendapat tekanan dan pembatasan, namun pada
kenyataannya justru menjadi lembaga pendidikan yang diprioritaskan oleh
masyarakat, namun justru setelah kemerdekaan keberadaan Pesantren
mengalami penurunan dan ditinggalkan oleh masyarakat Islam di Indonesia 8
Meskipun pada umumnya peran Pesantren mampu berperan secara
aktif dan strategis bagi perubahan masyarakat, juga keberadaanya hingga kini
mampu berdaptasi dalam menyelesaikan persolan baik di era kolonial
maupunpasca kemerdekaan, namun kemunculan globalisasisaat ini menjadi
tantangan yang serius bagi keberlanjutan Pesantren dimasa mendatang.
Globalisasi yang ditandai dengan adanya global village, yakni menjadikan
situasi dan kondisi pada suatu masyaraat tidak lagi dibatasi dengan adanya
teritori atau wilayah tertentu, namun karena kecanggihan teknologi dan arus
7
Ibid
8
7 Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015
informasi menjadikan arus informasi menjadi mendunia. Hal ini tentu menjadi
tantangan bagi dunia Pesantren yang selama ini berfunsi sebagai penjaga
tradisi dan nilai-niai ajaran agama. Globalisasi tidak hanya memunculkan
pertarungan nilai, doktrin teologis dari satu agama tertentu, namun
keberadaan globalisasi akan berdampak pada eksstensi Pesantren bila
keberadaanya tidak mampu berbenah diri baik pada sisi manajemen
pendidikan yang diguakan maupun pada kurikulum yang digunakan.9
Rasionalisasi Pendidikan Pesantren; antara al-Muhadzah dan al-Tajdid
Berbagai tantangan, bahkan ancaman selama ini menyelimuti dunia
pendidikan Pesantren, mulai dari dinamika sosio-ekonomi dan politik yang
menyertainya. Keberadaan Pesantren yang mampu merespon hingga kini,
meskipun terdapat sejumlah Pesantren yang mulai sepi dan ditinggalkan oleh
para santrinya menegaskan bahwa Pesantren perlu merumuskan strategi
bagaimana system pendidikan di Pesantren bermulti dimensi yang mampu
menjawab kebutuhan masyarakat. Hal ini juga dimaksudkan pada bagaimana
out-put Pesantren dapat berperan serta dalam kehidupan dimasyarakat
sesunguhnya, tidak saja dalam persoalan keagamaan namun juga sosio,
ekonomi,, politik, teknologi serta berbagai dimensinya. Karena demikian,
Pesantren tidak bisamengelakkan diri untuk melakukan evaluasi, intropeksi
yang didasarkan pada prinsip al-muhafadlat ala qadim al shalih wa al ahdu bi al jaded al ashlah’, maupun lebih pada paradigma bagaimana berkreatifitas,
berproduksi, dan bercipta dan karsa tentang sesuatu yang baru, alahdu bi
alttaajaddui, tanpa meninggalkan nilai dan tradisi lama yang masih berfungsi,
bermanfaat dan dibutuhkan oleh masyarakat Islam. Dengan demikian, konsep
al-ahdu perlu dire-orientasikan pada pardigma produktifitas; kreatifitas.
Karena demikian, paradigm Pesantren, baik pada perumusan nilai, prinsip
9
8 Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015
pengembangan manajemen dan sistem pendidikannnya perlu berpijak pada
paradima ini.
Berpijak pada pandangan seperti ini, relaitassosial pendidikan
Pesantren saat ini memiliki beberapa pesoalan yang rumit dan krusial, mulai
dari manajemen yang lebih berorientasipada figure-ketokohan, pengelolahan
tidak berbasis pada system, hingga implementasi kurikulum yang tidak
berbasis design dan perencanaan, serta metode dan sarana pendukung yang
belum optimal. Pelbagai persoalan ini tentu menjadi persoalan Pesantren
secara kelembagaan, namun persoalan lain yang sama menjadi tantangan bagi
dunia pendidikan Pesantren saat ini adalah dinamika sosio-politiknya. Terdapat
sejumlah Pesantren yang terlibat aktif dalam pertarunan kepentingan
diwilayah politik praktis. Realita ini menjadi trend disejumlah Pesantren di
Indonesia terutama menjelang pemilu dan pilpres. Bila Peasantren tidak
didukung dengan adanya system pendidikan yang mapan, tentu dampak
negative dari konstalasi Pesantrenpada wilayah politik ini adalah menurunya
tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemahaman Pesantren sebagai
pusat pendidikan Islam yang selama ini menjadi prioritas utama.10
Fenomena problematika pendidikan Pesantren saat ini juga
berhubungan erat dengan banyaknya lulusan Pesantren yang tidak memiliki
konsistensi antara pemahaman ilmu agama yang telah diperoleh dengan
aktualisasi dari keilmuannya dimasyarakat. Implikkasi dari fenomena ini adalah
banyaknya lulusan Pesantren yang tidak konsisten dengan
ke-santriannya-sebagaimana yang telah dipelajari dan dikuasanya dipesantren. Persoalan ini
bisa berkaitan erat dengan rendahnya pemahaman dan penghayatan yang
selamaini dipelajari, karena kurikulum yang ada masih lebih menekankan pada
aspek rasio, tidak pada sejauhmana pembentukan karakter Islami dapat
dijadikan tolok ukur utama dari implementasi kurikulum tersebut.Kurang
10
9 Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015
memperhatikan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai
bagian utama dari kurikulum yang perlu dikuasai oleh para santri dipesantren.11
Berdasarkan fenomena tersebut, maka paradigma pengembangan
system pendidikan pesntren yang sesuai dengan situasi dan kodisi saat ini
perlu memperhatikan beberapa dimensi; yakni lebih menekankan aspek
pengambangan akhlak, atau kareakter yang tidak hanya bersifat teoretik
namun pada praktik keseharian, merumuskan visidan misi pesantren secara
jelas, modernisasi manajemen kelembagaan, pengembangan kurikulum
dengan memadukan dengan kebutuhan masyarakat serta memberikan lifeskill
yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi.
Dalam faktanya, sebagian besar Pesantren yang ada saat ini belum
memiliki visi dan misi yang dirumuskan berdasarkan kebutahan
masyarakatnya, apalagi permusan perencanaan pengembangan strategis dari
peantren tersebut dimasa mendatang. Fenomena ini tentunya menjadika
keberadaan Pesantren stagnan, ibaratkan buih dilautan yang mengalir
mengikuti arus gelombang tanpa tujuan. Realitas ini tentu membutuhkan
proses penyadaran dan pemberdayan Pesantren. Pemberdayaan ini bias
dilakukan oleh akademisi, atau pemerintah atau lembaga sosial yang kompetin
dibidangnya. Dengan perumusan visi misi dan renstra yang jelas, tentu
keberadaan Pesantren dimasa mendatan akan lebih optimal dalam
mengembangkan fungsinya sebagai institutusi pendidikan keagamaan di
masyarakat.
Perumusan visi-misi dan renstra bagi Pesantren tersebut tentunya perlu
diimbangi dengan upaya modernisasi manajemen Pesantren, dengan
membagi devisi kerja yang jelas, melakukan control disetiap kegiatan yang
dilakukan, serta mengevaluasi system yang ada, serta memberdayakan
potensi untuk pengembangan dan keberlanjutan lembaga adalah
langkah-langkah penting yang perlu dirumuskan. Dengan melakukan rasionaliasi
11
10 Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015
manajemen Pesantren ini, tentu akan menjadikan Pesantren lebih efisien dan
efektif dalam melaksanakan program-program pendidikanya. Dengan
demikiam, maka pembentukan santri yang diharpak sesuai dengan visi-misi
Pesantrenakan lebih rasional bisa tercapai.
Begitu pula dengan kurikulum Pesantren, tidak sedikit pesantren yang
tidak memiliki rumusan kuriklum pendidikan, apalagi untukmelakukan review
apakah kurikulum yang ada sesuai dengan dimensi persoalan dan kebutuhan
masyarakat saat ini. Fenomena in tentu membutuhkan suatu terobosan
penyusunan kurikulum bagi Pesantren yang lebih integrative Antara
pendidikan keagamaan dengan pengetahuan dan skuill yang dibutuhnkan ole
masarakat, apabia kebutuhan ini tidak terpenuhi, kemungkinan besar
Pesantrenakan tenggelam bahkan ditinggalkan oleh masyarakat karena
dianggap tidak up-to date atau kurang menarik bila ditinggalkan oleh lembaga
pendidikan lainnya diluar Pesantren.
Kebutuhan lain yang sangat mendesak bagi lembaga pendidikan
Pesantren, adalah memperkuat icon Pesantren pada aspek pengembangan
karakter, kepribadian atau akhlak karimah. Alasan utama yang menjadi pilihan
masyarakat untuk menjadikan Pesantren sebagai pilihan utama mereka adalah
pada aspek ini, yakni pembentukan nilai-nilai akhlak islami. Oleh karenanya,
pembentukan karakter akhlak ini, dimulai dari memperbanyak materi serta
aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari bagi santrinya untuk mengembangkan
kepribadian islam yang karimah. Pengembagan materi kepribadia ini, tentu
tidak terlepas dari ruanglingkup ajaran tasawuf, ironinya, terdapat sejumlah
Pesantren yang memahami tasawuf sebagai suatu ajaran yang menghampat
perkembangan Islam, bahkan tidak mengenalkan secara luas dalam
kurikulumya. Karena demikian, pola penysunan dipeantren menjadi
kontradiksi dan mengalami inefisiensi. Misalkan memberikan materi ilmu alat
11 Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015
pembentukan budaya bahasa, sementara materi tentang al-Quran, tafsir,
hadits, dan tasawuf dengan porsi sedikit.12
Kesimpulan
Refleksi terhadap keberadaan pesantren dan sistem pendidikan yang
dikembangakan seharusnya dirumuskan dengan paradigma pengembangan
pendidikan Pesantren yang mampu menjawab kebutuhan masyarakat Islam
dimasa depan, tanpa terjebak dalam dikotomi tradisi dan modernitas yang
mengungkung. Dengan melakukan koreksi konstruktif terhadap sistem
pendidikan yang sudah dikembangkan saat ini, maka pembacaan kebutuhan
situasional dan kondisional yang ada dimasyarakat akan menjadikan
pendidikan peantren tidak harus terjebak pada persolan salafian dan
kholafiah. Sebaliknyam akanmembuka ruang lembaga pendidikan formal,
nonformal dan informal yang ada, dengan memanfaatkan pekembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi menjadi sebuah kebutuhan saat ini. Berdasarkan
pemahamaan ini, diharapkan alumni Pesantren mampu bersaing secara global,
dan siap mewarnai tantangan globalisasi dengan tetap menjadikannyaarus
yang lebih islami, yakni sesuai dengan nilai dan prisip agama Islamtanpa harus
meniggalkan aspek-aspek yang dianggap tardisional meski tetap relevan.
Referensi
Dhofier, Zamakhsyari (1985), Tradisi Pesantren; Studi Pandangan Hidup Kyai, Jakarta: LP3ES.
Hasbullah (1999), Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia: Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan, Jakarta. PT. Grafindo Persada.
Jainuri, A. (2014). Tradisi dan Modernitas; Mencari Titik Temu. Musyawarah Nasional Tarjih ke-28, pada 27-29 rabiulakhir 1435 H/27 Februari-1 Maret 2014(pp. 1-8). Palembang: Musyawarah Nasional Tarjih ke-28.
Jakarta: Yayasan Abad Demokrasi
Madjid, Nurcholis (1997), Bilik-bilik Pesantren, Jakarta, Paramadina.
12
12 Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015
Martono, N. (2012). Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Momen, M. (1999). The Phenomenon of Religion. Oxford: Oneworld.
Wahid, A. (2011). Islamku, Islam Anda, Islam Kita; Agama Masyarakat Negara Demokrasi.
Yasmadi, Modernisasi Pesantren, (2002) Jakarta: Ciputat Press.