BAB I PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Dalam era otonomi daerah sesuai dengan ketentuan dalam UU No 22 Tentang Pemerintahan Daerah, maka kewenangan daerah akan sedemikian kuat dan luas sehingga diperlukan suatu peraturan perundang-undangan yang ketat untuk menghindari ketidakteraturan dalam menyusun kebijakan dalam bidang lingkungan hidup terutama dalam masalah penanganan penegakan hukum lingkungan dalam era otonomi daerah. Pengelolaan lingkungan hidup sangatlah penting untuk dilihat dalam era otonomi daerah sekarang ini karena lingkungan hidup sudah menjadi isu internasional yang mempengaruhi perekonomian suatu negara. Pemerintahan Daerah diberikan kekuasaan yang sangat besar dalam mengelola daerahnya terutama sekali Pemerintahan Kota atau Kabupaten. Perlu adanya kerjasama antara pusat dan daerah. Hubungan Pusat-Daerah dapat diartikan sebagai hubungan kekuasaan pemerintah pusat dan daerah sebagai konsekuensi dianutnya azas desentralisasi dalam pemerintahan negara.
Penerbitan berbagai peraturan daerah tentang sumber daya alam dan izin-izin pemanfaatan sumber daya alam, menjadi kecenderungan utama di daerah-daerah yang memiliki banyak sumber daya. Tujuan pembuatan perda dan izin yang demikian adalah untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) melalui Pemungutan pajak dan retribusi dari pemanfaatan sumber daya alam. Perda pada umumnya mempunyai konsekuensi hukum yang tidak selalu menguntungkan masyarakat. Banyak dari Perda yang ada meneguhkan keberadaan hukum negara sebagai hukum yang baru dan asing bagi masyarakat di daerah, terutama bila dikaitkan dengan budaya hukum lokal yang tumbuh dan berkembang, khususnya pada masyarakat adat.1
Dalam praktek, di sinilah awal terjadinya spanning antara pusat dan daerah. Tataruang sebagai arahan lokasi baik untuk kawasan lindung maupun budidaya
bersifat hirakhis, baik dalam struktur maupun dalam bentuk peraturan perundang-undanganyang mengaturnya. Dalam makalah ini akan membahas mengenai sektor kehutanan sebagai fokus untuk melihat kewenangan pemerintah pusat dan daerah dalam pengelelolaan sumber daya alam serta hak atas pengelolaan tersebut.
1.2 RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan masalah yang timbul dari latar belakang tersebut adalah :
1. Bagaimana kewenangan pemerintah pusat dan daerah dalam pengelolaan sumber daya alam ?
2. Bagaimana hak atas pengelolaan sumber daya alam tersebut ?
1.3 TUJUAN PENULISAN
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Memenuhi tugas mata kuliah Hukum Pemerintahan Daerah
2. Memberikan gambaran tentang kewenangan pemerintah pusat dan daerah dalam pengelolaan sumber daya alam
3. Memberikan pemahaman kepada mahasiswa tentang hak atas pengelolaan sumber daya alam
PEMBAHASAN
2.1 HUBUNGAN PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAH DAERAH
Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia belum ditemukan definisi hukum tentang sumber daya alam. Pengertian tentang sumber daya alam dapat ditelusuri dari pandangan beberapa pakar. Menurut Kartodihardjo2 sumber daya alam
dapat digolongkan ke dalam dua bentuk. Pertama, sumber daya alam sebagi stock atau modal alam yang keberadaanya tidak dibatasi oleh wilayah administrasi seperti danau, pesisir dll. Kedua, sumber daya alam sebagai faktor produksi atau sebagai barang/komoditas seperti kayu, rotan, air, mineral, ikan dll yang diproduksi oleh berbagai sektor/dinas sebagai sumber-sumber ekonomi.
Berdasarkan ketentuan Pasal 17 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 disebutkan bahwa hubungan dalam bidang pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara Pemerintah pusat dan pemerintahan daerah meliputi:
a. Kewenangan, tanggung jawab, pemanfaatan, pemeliharaan, pengendalian dampak, budidaya, dan pelestarian
b. Bagi hasil atas pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya
c. Penyerasian lingkungan dari tata ruang serta rehabilitasi lahan.
Dari yang telah disebutkan diatas, nampak jelas bahwa daerah yang memiliki kekayaan sumber daya alam, dalam hal kewenangan, tanggung jawab, pemanfaatan, pemeliharaan, pengendalian dampak, budidaya, dan pelestarian melibatkan pula pemerintah pusat. Dan juga daerah mendapatkan bagi hasil atas pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya bersama dengan pemerintah pusat karena kedua pemerintah ini ikut andil dalam bidang pemanfaatan sumber daya alam. Lebih lanjut lagi, ada kategori pemisahan antara hubungan pengelolaan sumber daya alam secara vertikal dan horizontal. Pemisahan itu antara lain :3
2Kartodihardjo, H. Tanpa tahun. Pendekatan Bioregion dalam pengelolaan sumber daya alam. Dalamyayasan Kehati-Kemitraan-Multistakeholder Forest program, Merangkai keberagaman, Jakarta, hal 165
1. Antara Pemerintah dan pemerintahan daerah
a. kewenangan, tanggung jawab, pemanfaatan, pemeliharaan, pengendalian dampak, budidaya, dan pelestarian
b. bagi hasil atas pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya
c. penyerasian lingkungan dari tata ruang serta rehabilitasi lahan
2. Antar pemerintahan daerah (horisontal) meliputi :
a. Pelaksanaan pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya yang menjadi kewenangan daerah
b. Kerja sama dan bagi hasil atas pemanfaatan sumber daya alam. dan sumber daya lainnya antar pemerintahan daerah
c. Pengelolaan perizinan bersama dalam pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya.
Baik untuk pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan daerah kabupaten/kota, meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpetensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi,kekhasan dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan. Urusan pilihan menurut PP No 38/2007 meliputi : kelautan dan perikanan, pertanian, kehutanan, energi dan sumber daya mineral, pariwisata, industri, perdagangan, dan ketransmigrasian.
penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial; penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota; pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota; fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah termasuk lintas kabupaten/kota; pengendalian lingkungan hidup; pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota; pelayanan kependudukan, dan catatan sipil; pelayanan administrasi umum pemerintahan; pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten/kota; penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapatdilaksanakan oleh kabupaten/kota; urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.
Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah untuk kabupaten/kota merupakan urusan yang berskala kabupaten/kota (psl 14) meliputi: perencanaan dan pengendalian pembangunan; perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang; penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat; penyediaan sarana dan prasarana umum; penanganan bidang kesehatan; penyelenggaraan pendidikan; penanggulangan masalah sosial; pelayanan bidang ketenagakerjaan; fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah; pengendalian lingkungan hidup; pelayanan pertanahan; pelayanan kependudukan, dan catatan sipil; pelayanan administrasi umum pemerintahan; pelayanan administrasi penanaman modal; penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya. Pembagian urusan antar pemerintah, pemprov dan pemkab diatur lebih lanjut dalam PP No 38 tahun 2007.4
2.2 KEWENANGAN PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAH DAERAH
Dalam naskah UUD 1945, Perda terletak dalam satu bab dengan aturan lain mengenai pemerintahan daerah, sehingga perda dikonstruksikan sebagai satu hal yang inheren dalam rezim pemerintahan daerah. Sesuai logika itu, maka perda tunduk dan dibentuk berdasarkan semangat yang menyelimuti rezim pemerintahan daerah yang tertuang dalam Undang-Undang pemerintahan Daerah. Disamping itu, perda juga merupakan instrumen hukum yang tunduk pada rezim hukum peraturan perundang-undangan. Artinya, posisi perda selain sebagai instrumen hukum dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yang responsif terhadap kebutuhan daerah, perda juga merupakan peraturan yang berada pada posisi terendah dalam hierarkiperaturan perundang-undangan.5
Dalam konstruksi hukum nasional, perda merupakan peraturan yang tingkat fleksibilitasnya sempit karena dibatasi oleh sekat-sekat yang dibangunj dalam peraturan nasional. Tetpi dibukanya peluag untuk mengadopsi kondisi khusus daerah dalam bentuk nilai-nilai yang dianut masyarakat membuat perda memilik fleksibilitas tinggi untuk meresponskeventingan daerah. Perda sebagai ruang terbuka inimenjadi arenapertarungan polotik antara pemerintah pusat, masyarakat, pembuatannya (kepala daerah dan DPRD) dan para pihak bermodal yang menginginkanaturan yang menguntungkan usahanya didaerah.
Pemerintah Pusat dalam melakukan kewenangannya di bidang pengelolaan lingkungan hidup harus mengikuti kebijakan yang telah diterapkan oleh Menko Wasbangpan dan Menteri Negara Lingkungan Hidup. Jangan sampai pengurangan kewenangan pemerintah Pusat di bidang lingkungan hidup tidak bisa mencegah kesalahan pengelolaan lingkungan hidup demi mengejar Pemasukan APBD khususnya dalam pos Pendapatan Asli Daerah.
Menurut Menteri Negara Lingkungan Hidup Sonny Keraf, bahwa desentralisasi adalah mendelegasikan secara bertahap wewenang pemerintah pusat kepada pemda dalam pelaksanaan pengelolaan sumber daya alam secara selektif. Dalam penerapan desentralisasi itu, menurut Sonny harus tercakup pula pemeliharaan lingkungan hidup sehingga kualitas ekosistem tetap terjaga dan lestari. Dengan demikian, kendati desentralisasi ala Indonesia tersebut pada awalnya merupakan reaksi politik untuk mempertahankan stabilitas dan integritas teritorial, namun
paradigma otonomi demi kesejahteraan masyarakat lokal tetap bisa diwujudkan tanpa merusak kualitas lingkungan hidup setempat.
Permasalahan yang dihadapi oleh Pemerintah Daerah sekarang adalah Pemerintahan daerah harus meningkatkan Pendapatan Asli Daerah mereka untuk memenuhi target APBD (Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah) sehingga jalan termudah untuk memenuhi itu semua adalah mengeksploitasi kembali lingkungan hidup karena cara tersebut adalah cara yang biasa dilakukan pemerintah pusat untuk memenuhi APBN, dan cara ini akan terus dilakukan oleh Pemerintah daerah dengan baik.
Sehingga jika waktu yang lalu pemusatan eksploitasi lingkungan hidup hanya di daerah-daerah tertentu seperti Daerah Istimewa Aceh, Riau, Irian Jaya/ Papua, Kalimantan dan sebagian Proponsi di Pulau Jawa maka sekarang semua Pemerintah daerah di Indonesia akan mengekspoitasi lingkungan hidup sebesar-besarnya untuk memenuhi target APBD untuk daerah-daerah yang mempunyai sumber kekayaan lingkungan hidup yang besar, sehingga akan dapat terbayang semua daerah kota dan kabupaten di Indonesia akan melakukan eksploitasi lingkungan hidup secara besar-besaran.
Karena desentralisasi dalam UU No 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dipunyai oleh daerah kota dan kabupaten. Permasalahan yang timbul adalah antisipasi dari pemerintah pusat sebagai pemegan kewenangan tertinggi dalam penyelenggaraan pemerintahan. Karena seperti kita ketahui kewenangan Pemerintah Pusat adalah:
a. Perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan secara makro
b. Dana perimbangan keuangan seperti menetapkan dan alokasi khusus untuk mengelola lingkungan hidup
c. Sistem administrasi negara seperti menetapkan sistem informasi dan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan lingkungan hidup
e. Pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia
f. Teknologi tinggi strategi seperti menetapkan kebijakan dalam pemanfaatan teknologi strategi tinggi yang menimbulkan dampak
g. Konservasi seperti menetapkan kebijakan pengelolaan lingkungan hidup kawasan konservasi antar propinsi dan antar negara
h. Standarisasi nasional
i. Pelaksanaan kewenangan tertentu seperti pengelolaan lingkungan dalam pemanfaatan sumber daya alam lintas batas propinsi dan negara, rekomendasi laboratorium lingkungan dsb.
Seperti dijelaskan diatas maka kewenangan pemerintah pusat dalam melaksanakan otonomi daerah sangatlah penting dalam lingkungan hidup. Sehingga jika terjadi berbagai permaslahan yang timbul pemerintahan pusat harus menanganinya secara baik karena pemrintah pusat masih mempunyai kewenangan untuk mengadakan berbagi evaluasi kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah daerah sehingga pemerintah daerah dapat menjalankan kewenanganya secara proporsional dalam bidang pengelolaan lingkungan hidup.6
2.3 HAK ATAS PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM
a. Rezim Hak Kepemilikan
Dalam rezim hak kepemelikan, hak atas sumber daya digolongkan kedalam empat jenis hak, yaitu :
1) Open Access
Dalam open acces sumber daya alam dipandang tidak dimiliki oleh siapa pun. Oleh karena itu, masyarakat merdeka melakukan pemanfaatan dengan caranya sendiri. Sebagian masyarakat memanfaatkan secara arif, namun lebih banyak lagi yang memanfaatkannya ssecara tidak bijaksana. Dalam terminologi Garret Hrdin (ahli biologi dan ekologi manusia), ketidakarifan dalam pengelolaan sumber daya tersebut menghasilkan suatu “tragedy of the commons”, yaitu suatu bentuk kehancuran sumber daya akibat adanya vendayagunaan yang berlebihan.7 Tragedi menurut
terminologi Hardin itu “hanya terjadi” jika tidak terdapat aturan main yang jelas tentang pendayagunaan sumber daya alam, sehingga setiap anggota masyarakat berpacu untuk memaksimumkan pemenuhan kebutuhan individualnya melalui pendayagunaan sumber daya alam tanpa memperhatikan kebutuhan anggota masyarakat lainnya maupun daya-dukung sumber daya yang bersangkutan karena sumber daya alam dianggap sebagai milik bersama (common property).
2) Private property
Private property atau kepemilikan pribadi atas sumber daya alam
seperti tanah atau benda yang mengakar pada tanah secara “tetap” dalam literatur hukum perdata termasuk sebagai pemilikan atas benda tidak bergerak (roerende zaken). Pengemban hak atasprivate property ini adalah pribadi alamiah (naturalijke person) atau pribadi buatan/badan hukum
(recht person). Menurut Machperson, baik pribadi alamiah maupun pribadi
buatan adalah sama-sama pribadi sebagai suatu subjek pengemban hak.
Private property sebagai kepemilikan pribadi (individual atau korporasi)
adalah jenis hak yang terkuat karena memiliki empat sifat yang tidak dimiliki oleh tiga jenis hak lainnya, yaitu: (a) completeness, dimana hak-hak didefinisikan secara lengkap, (b) exclusivity, dimana semua manfaat dan biaya yang timbul menjadi tanggungan secara ekslusif pemegang hak,
(c) transferable, dimanahak dapat dialihkan kepada pihak lain baik secara
penuh (jual-beli) maupun secara parsial (sewa, gadai), dan (d)
enforcebility, dimana ak-hak tersebut dapat ditegakkan. Oleh karena empat
alasan itu maka private property dianggap sebagai hak yang paling efisien dan mendekati sempurna. Dorongan kesempurnaan hak yang memiliki empat sifat tadi berorientasi pada kepastian dan efisiensi dalam industrialisasi.
3) State property
Berangkat dari motivasi yang kuat untuk mengatur pengelolaan sumber daya alam, maka pada masyarakat politik modern, sumber daya alam ditetapkan sebagai “milik negara” atau “state property”. Tesis Hardin tentang “tragedy of the commons” dijadikan sebagai pembenar bagi tindakan negara (pemerintah) untuk menguasai dan mengatur sumber daya alam dalam arti yang seluas-luasnya. Negara menjadi aktor yang paling ekstensif dalam mengatur dan mengelola sumber daya alam karena sifatnya sebagai badan publik yang melingkupi seluruh warganegara. Karena hubungan negara dengan sumber daya alam dan masyarakatnya bersifat publik, maka tujuan dari hubungan negara dengan sumber daya alam adalah untuk kemakmuran masyarakat. Namun, akuan konsep idealistik tentang kedaulatan dan kekuasaan negara sebagai badan publik sering kali terdistorsi. Setidaknya terdapat dua distorsi berkaitan dengan
state property: Pertama, konsep negara sebagai “penguasa” (aspek publik)
didistorsi menjadi negara sebagai “pemilik” (aspek private); Kedua,
4) Communal property
Pengelolaan sumber daya alam sebagai “milik negara” maupun milik privat terutama swasta telah meninggalkan jejak yang sama, yaitu kerusakan lingkungan dan peminggiran masyarakat lokal. Communal
property bukanlah konsep baru dalam hubungan antara manusia dengan
sumber daya alam. Di beberapa tempat, konsep communal
property/commons property atau community-based management dicoba
dihidupkan kembali dengan mengangkat konsep ulayat dari hubungan masyarakat secara tradisional dengan sumber daya alam yang sudah ada sejak lama. Bahkan konsep itu merupakan konsep sebelum kemunculan negara dan hak privat di negara-negara berkembang.
b. Sistem Tenurial
Sistem tenurial (tenure system) dapat diartikan sebagai sistem
penguasaan atas sumber daya alam (agraria) dalam suatu masyarakat32.
Kata tenure berasal dari kata dalam bahasa latin, yaitu tenere yang mencakup arti: memelihara, memegang, memiliki.8 Menurut Gunawan
Wiradi34 istilah ini biasanya dipakai dari aspek yang mendasar dari penguasaan sumber daya alam yaitu mengenai status hukumnya. Artinya, membicarakan persoalan tenurial tidak lain yaitu membicarakan soal status hukum dari suatu penguasaan atas sumber daya alam (agraria) dalam suatu masyarakat.9 Menurut Fauzi dan Bachriadi,36 pada setiap sistem tenurial,
masingmasing hak mempunyai tiga komponen, yaitu:
a. Subjek hak, yaitu pemangku hak atau pada siapa hak tertentu dilekatkan. Subjek hak bisa berupa individu, rumah tangga, kelompok, komunitas, kelembagaan sosial-ekonomi, bahkan lembaga politik setingkat negara.
8 Fauzi, N., dan Bachriadi, D. 2000. Sistem Tenurial Lahan Dan Tumbuh-Tumbuhan, Keamanan Penguasaan Atas Lahan Dan Kawasan Hutan Tertentu, Serta Konflik Tenurial, dalam Noer Fauzi dan I Nyoman Nurjaya (penyunting), Sumber Daya Alam untuk Rakyat: Modul Lokakarya Penelitian Hukum Kritis-Partisipatif Bagi Pendamping Hukum Rakyat, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, Jakarta, hal. 127.
b. Objek hak, yang berupa persil tanah, barang-barang yang tumbuh di atas tanah, barang-barang tambang yang berada di dalam tanah, perairan, makhluk hidup dalam perairan, atau pada wilayah udara. Objek hak bisa dalam bentuk total dan parsial, misalnya orang yang mempunyai pohon sagu tertentu belum tentu mempunyai hak atas tanah dimana pohon sagu itu tumbuh.
c. Jenis haknya, setiap hak selalu dapat dijelaskan batasan dari hak tersebut, yang membedakannya dengan hak lainnya. Adapun jenis hak-hak tersebut adalah, hak milik, hak sewa, dan hak pakai, dan lain-lain.
BAB III PENUTUP
Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah dalam pengelolaan lingkungan sangatlah besar sehingga perlu adanya pembatasan yang jelas dalam pengelolaan lingkungan tersebut. Dan dalam melaksanakan hal tersebut telah diatur beberapa batasan yang jelas dalam Keputusan Bersama Menteri Negara Lingkungan Hidup dan Menko Wasbangpan.
3.2 SARAN
Pengaturan mengenai pengelolalan sumberdaya yang tersebar di berbagaiundang-undang sampai saat ini masih bersifat sentralistik, sehingga perlu dikajiulang dan dilakukan harmonisasi dengan prinsip-prinsip penyelenggaraanpemerintahan daerah. Yang perlu dicermati adalah kewenangan Pemerintah Daerah yang sangat besar sehingga perlu adanya bentuk pengawasan yang baik yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat sehingga janagn sampai terjadi berbagai kebijakan yang merusak lingkungan yang terjadi di setiap kabupaten atau kota yang ada di Indonesia. Pemerintah Pusat harus aktif dalam melakukan pengawasan sehingga pembangunan yang berwawasan lingkungan dapat dijalankan dengan baik oleh Pemerintah Indonesia baik oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah.
DAFTAR PUSTAKA
UU NO 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
Kartodihardjo, H. Tanpa tahun. Pendekatan Bioregion dalam Pengelolaan Sumber Daya
Alam. Dalam Yayasan Kehati-Kemitraan-Multistakeholder Forest Program, Merangkai
Keberagaman, Jakarta.