• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Perawat yang Dibutuhkan Ma

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Karakteristik Perawat yang Dibutuhkan Ma"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Karakteristik Perawat yang Dibutuhkan Masyarakat sebagai Pemberi

Pelayanan Keperawatan pada Klien Stroke dalam Menyikapi

Tuntutan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA):

Literature Review

Herry Setiawan1

Email: setiawanherry4444477@gmail.com

1 Mahasiswa Program Studi Magister Keperawatan, Jurusan Keperawatan,

Fakultas Kedokteran, Universitas Diponegoro Semarang

Abstrak

Latar Belakang: Stroke merupakan penyebab utama mortalitas dan morbiditas di negara maju dan berkembang. Di negara ASEAN, stroke menjadi penyebab utama keempat kematian sejak tahun 1992, nomor satu di Indonesia. Klien stroke membutuhkan fasilitas perawatan jangka panjang di rumah sakit, pusat rehabilitasi dan di rumah. Mereka bisa mendapatkan kembali kualitas hidup dengan perawatan jangka panjang yang tepat dan dukungan dari keluarga atau pengasuh. Pengasuh membutuhkan dukungan dan motivasi dari perawat dalam pelaksanaannya. Memasuki era Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) menjadikan persaingan perawat Indonesia dan perawat asing semakin nyata. Keadaan ini memberikan kesempatan klien dan keluarga memilih dirawat oleh profesional keperawatan.

Tujuan: mengidentifikasi karakteristik perawat yang dibutuhkan masyarakat sebagai pemberi pelayanan keperawatan pada klien stroke.

Metodologi: Literature review dilakukan dengan mengumpulkan hasil publikasi tahun 2001-2014 dengan penelusuran EBSCO, ProQuest, PubMed dan Google search. Penelusuran dengan metoda boleon, full teks, pdf, dengan kata kunci “stroke patients” and “nurse” and “caregiver”. Metodologi yang digunakan dalam publikasi dengan metoda kuantitatif, non-RCTdan RCT dilakukan oleh perawat kepada keluarga klien dengan Stroke. Selanjutnya data di-review dengan penggunakan CASP tools dan diekstraksi kemudian dikelompokkan untuk dibahas dan disimpulkan.

Hasil: Penelusuran mendapat 4 publikasi ilmiah dengan kualitas baik yang menunjukan bahwa pengasuh klien stroke membutuhkan keberadaan perawat dalam mendengarkan, mendukung, memotivasi, menginformasikan hal terkait pelaksanaan perawatan.

Diskusi: Perawat Indonesia yang mempunyai karakteristik berbeda dengan perawat asing yang terasosiasi dalam Points-of-Difference (POD) dan Points-of-Parity (POP) membuat masyarakat memilihnya. Kehadiran perawat dalam pelaksanaan perawatan meningkatkan kesehatan psikologis pasangan, menurunkan depresi, meningkatkan kualitas hidup dan menurunkan ketegangan pengasuh. Kehadiran perawat yang mempunyai kemampuan sesuai harapan klien dan keluarga akan menjadi pilihan diantara perawat asing yang berdatangan. Kesimpulan: Perawat yang memiliki karakteristik yang diinginkan klien akan membuat masyarakat memilih perawat Indonesia diantara himpitan perawat asing yang berdatangan dalam perawatan klien Stroke di era MEA.

Kata Kunci: Stroke, Karakteristik Perawat, Masyarakat Ekonomi Asean (MEA)

(2)

Memasuki era Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) 2015, harapan akan pertumbuhan ekonomi yang semakin membaik, daya beli masyarakat yang semakin tinggi, sebenarnya mempunyai dampak yang menyita perhatian. Perubahan pola penyakit dari penyakit infeksi menjadi penyakit degeneratif semakin meningkat. Cerebral Vascular Accident (CVA) atau lebih dikenal dengan Stroke, salah satu contoh penyakit degeneratif yang merupakan penyebab utama mortalitas dan morbiditas di negara maju dan berkembang (Murray & Lopez, 1997). Di Amerika Serikat, stroke adalah penyebab utama ketiga kematian (Hinkle & Guanci, 2007). Di negara ASEAN, data kematian lebih bervariasi, stroke telah menjadi penyebab utama ke-empat kematian sejak tahun 1992; nomor satu di Indonesia (Venketasubramanian, 1998). Stroke dapat dicegah dan diobati sehingga penderita stroke dapat memperoleh kembali kualitas hidup mereka dengan perawatan jangka panjang yang tepat dan dukungan dari keluarga atau pengasuh (Depkes RI, 2011).

Penderita stroke membutuhkan fasilitas perawatan jangka panjang di rumah sakit, pusat rehabilitasi dan di rumah (Mohn-Brown, 2007). Manajemen stroke diperlukan untuk mencegah komplikasi dan kematian akibat stroke dalam perawatan jangka panjang. Klien yang mengalami stroke dapat sepenuhnya pulih atau mungkin memiliki beberapa efek residual dari penyakit mereka. Klien stroke memiliki risiko tinggi komplikasi; komplikasi ini hambatan potensi untuk pemulihan yang optimal (Kuptniratsaikul, 2008). Peran perawat sebagai tenaga kesehatan sangat diperlukan dalam memfasilitasi klien dan keluarga dalam masa penyembuhan pascastroke. Keluarga dan pengasuh menjadi pengambil keputusan perawatan klien stroke di fasilitas perawatan jangka panjang (Mohn-Brown, 2007).

Pengasuh adalah orang yang harus peduli karena kekerabatan dekat mereka atau ikatan emosional dengan penerima pelayanan (Schofield et al, 1998). Persyaratan terus-menerus dan perawatan jangka panjang klien stroke dengan sumber daya yang terbatas adalah kenyataan pahit bagi banyak pengasuh (Dorsey & Vaca, 1998). Tim kesehatan mengidentifikasi caregiver klien stroke sebagai anggota kunci dari tim. Meskipun keterlibatan seara aktif dari caregiver dalam perencanaan dan pengambilan keputusan dalam perawatan akut sering hilang (Maclsaac et al, 2011). Caregiver akan membahas dasar-dasar mengelola kegiatan hidup sehari-hari dan strategi pemecahan masalah. Jadi,

caregiver perlu belajar tetang peran mereka dengan jelas (Thompson et al, 2004).

Peran caregiver adalah membantu klien stroke tetang cara makan, melakukan aktivitas (kegiatan hidup sehari-hari) dan rehabilitasi (Dewit, 2009). Fase perawatan akut dari manajemen stroke adalah singkat, dan caregiver membutuhkan bantuan dalam membuat keputusan tentang tahap berikutnya tentang perawatan untuk klien stroke (Phipps et al, 2003). Caregiver juga memiliki peran penting dalam fase ketiga dari stroke yaitu perencanaan pulang dari rumah sakit, yang akan membantu klien dan perawat menyesuaikan diri dengan cara hidup mereka yang baru (Dewit, 2009). Jadi, perawat perlu mengidentifikasi caregiver sebagai penerima peduli dan mendampingi klien selama di rumah sakit dan di rumah; sehingga mendukung mereka saat mereka menyesuaikan diri dengan peran mereka nantinya (Thompson et al, 2004).

(3)

berbenah diri. Peluang dan tantangan yang menghadang harus diterobos baik itu dengan peningkatan daya jual, mutu dan profesionalisme tenaga kesehatan Indonesia.

Era Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) yang telah berada dipelupuk mata dan sudah menjadi keharusan bagi masyarakat Indonesia guna menyiapkan diri untuk menghadapinya. Hal ini sangat mungkin membawa Indonesia pada kondisi terpuruk jika tidak ada kesiapan yang matang pada segala bidang (Beritajatim, 2015). Kesiapan dalam hal ini juga dilakukan oleh perawat Indonesia. Kesiapan bukan hanya untuk menerima kedatangan perawat asing yang mencari nafkah di Negara tercinta. Namun, kesiapan dalam mengirim perawat berkualitas dan profesional ke luar negeri.

Amanat UU 38 tahun 2014 pasal 2 poin (d) menekankan bahwa dalam pelaksanaan pemberian praktik keperawatan seorang perawat harus memperhatikan etka dan profesionalitas. Disebutkan juga dalam Kerangka Kompetensi Perawat Indonesia yaitu praktik keperawatan berbentuk praktik profesional, etik, legal dan peka budaya. Semua ini akan mendukung pencapaian perawat Indonesia dalam menghadapi MEA dengan menganut karakteristik khusus dan nilai marketing yang menjadikan perawat Indonesia dipilih oleh masyarakat selaku klien. Nilai ini juga yang membuat perawat Indonesia dipilih oleh klien sebagai pemberi pelayanan keperawatan pada klien Stroke dalam menyikapi tuntutan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA).

B. Tujuan

1. Tujuan Umum

Mengidentifikasi karakteristik perawat sebagai pemberi pelayanan keperawatan pada klien Strokedalam menyikapi tuntutan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). 2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui peran perawat dalam pemberi pelayanan keperawatan pada klien stroke b. Mengetahui pentingnya nilai marketing perawat sebagai pemberi pelayanan dalam

menyikapi tuntutan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA)

c. Mengetahui pentingnya pembentukan karakteristik perawat sebagai pemberi pelayanan keperawatan pada klien Stroke dalam menyikapi tuntutan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA).

C. Metode

1. Kriretia Inklusi dan Eksklusi

Kriteria inklusi yaitu artikel dengan metoda penelitian metoda kuantitatif, non-RCTdan RCT dilakukan oleh perawat kepada keluarga klien Stroke yang dilakukan tahun 2011-2014 dengan menggunakan bahasa inggris dan full teks. Pemilihan sampel pada artikel adalah pemberian pelayanan perawat kepada pasien dan keluarga pasien dengan penyakit Stroke.

2. Strategi Pencarian Literatur

Literature review dilakukan dengan mengumpulkan hasil publikasi pada tahun 2001-2014 dengan penelusuran EBSCO, ProQuest, PubMed dan Google search. Penelusuran dengan metoda boleon, full teks, pdf, medeline dengan kata kunci “stroke patients” and “nurse” and “caregiver”.

Diagram Pencarian Literatur: Stroke patients and nurse, n= 541

Stroke patients and nurse and caregiver, n=25

Stroke patients, n= 87.443 Stroke patients and nurse, n= 321

Stroke patients and nurse and caregiver, n=11

Stroke patients, n= 7.211 Stroke patients and nurse, n= 55

Stroke patients and nurse and caregiver, n=6

Stroke patients, n= 152.000.000

Stroke patients and nurse, n= 43.400.000

(4)

3. Ekstraksi Data dan Motede Pengkajian Kualitas Studi

Data dari artikel direview dengan penggunakan CASP tools dan diekstraksi kemudian dikelompokkan untuk dilakukan triangulasi untuk dilakukan pembahasan dan disimpulkan sehingga dikeahui kualitas jurnal. Penentuan kualitas jurnal dengan menggunakan prosentase hasil ekstraksi yaitu jurnal dikategorikan menjadi kualitas baik, sedang dan kulaitas tidak baik. Jurnal dikategorikan baik jika propsentase 80%-100%, cukup jika 65%-79% dan tidak baik jika prosentase <64%.

4. Analisa Data

(5)

review (dihapus). Literature review ini bertujuan untuk memperkuat hasil dari studi/penelitian tersebut.

D. Hasil

Dari ekstraksi data dapat dilakukan beberapa sintesa guna memberikan gambaran mengenai keadaan klien, keluarga, pengasuh pada penyakit Stroke. Penelitian Han Boter,

et al (2004), dari 173 pasien, 166 (96%) menyebutkan total 1.419 masalah. Masalah fisik (92%; 153/166), masalah emosional (60%; 99/166). Proporsi pasien dengan masalah menurun dari 94% (142/151) di kontak pertama, 74% (108/145) di kontak terakhir. Dari 148 penjaga, 118 (80%) dihubungi dan 84 disebutkan 266 masalah 'beban psikososial' paling sering disebutkan (45%; 53/118). Proporsi wali dengan masalah adalah 56% (54/96) pada kontak pertama dan 37% (26/70) pada kontak terakhir. Dari 864 intervensi untuk pasien, perawatan stroke yang paling sering diterapkan 'mendengarkan mendukung' (55%; 471/864) dan 'meyakinkan atau mendorong' (12%; 107/864), dan dari 258 intervensi untuk penjaga 45% (115/258 ) adalah 'mendengarkan mendukung' dan 17% (43/258) 'menginformasikan'. Penelitian Visser-Meily, et al (2005), kepuasan rata-rata adalah 7, dan 44% dari semua pasangan ‡ 8 (sangat puas) tapi 23% tidak puas. Karakteristik ‘pasangan dan pasien' dan skor kepuasan tidak terkait. Karakteristik dukungan jumlah hari pertemuan (p ¼ 0,02), partisipasi dalam kelompok pengasuh (p ¼ 0,006) dan dukungan dari anggota tim (p ¼ 0,000) terkait dengan kepuasan. Tidak ada perbedaan dalam skor kepuasan pasangan ditemukan antara pusat rehabilitasi yang berpartisipasi. Hanya 39% dari pasangan berpartisipasi dalam kelompok pengasuh. Alasan penting untuk tidak berpartisipasi dalam kelompok tersebut tidak menyadari kesempatan untuk mengambil bagian dalam kelompok (49%). Pasangan berpartisipasi dalam kelompok menunjukkan gejala depresi lebih dan memiliki lebih mitra sangat cacat. Dukungan Pengasuh terutama diberikan oleh perawat dan pekerja sosial. Satu dari lima pasangan menunjukkan tidak terindikasi setelah didukung oleh tim rehabilitasi.

Penelitian R. Oupra, el at (2010), sebanyak 140 penderita stroke dan pengasuh; 70 pasien/pasangan pengasuh di masing-masing kelompok. Pengasuh pasien dirawat di rumah sakit intervensi menyusul stroke akut sebagai penerima intervensi, sementara pengasuh pasien dirawat di rumah sakit pembanding menerima perawatan biasa di rumah sakit. Keluarga pengasuh pada kelompok intervensi memiliki kualitas hidup lebih baik secara signifikan daripada kelompok pembanding (GHQ - 28 di debit t=2,82, d.f.=138, P=0,006; dan pada 3 bulan t=6.80, d.f.=135, P < 0,001) dan mereka juga melaporkan berkurang ketegangan. Indeks pada t= 6.73 debit, d.f.=138, P < 0,001; dan pada 3 bulan t =7.67, d.f.=135, P < 0,001). Penelitian ini menunjukkan bahwa memberikan pendidikan dan dukungan kepada keluarga pengasuh penderita stroke dapat mengurangi ketegangan pengasuh dan meningkatkan kualitas hidup mereka. Penelitian Franze´n-Dahlin, et al (2008), tidak ada perbedaan signifikan yang ditemukan antara kelompok intervensi dan kontrol mengenai kesehatan psikologis secara keseluruhan. Namun, subanalysis mengungkapkan bahwa mereka yang berpartisipasi lebih sering dalam pertemuan kelompok (lima atau enam kali) memiliki kesehatan psikologis signifikan lebih kuat (P50.05). Pengetahuan tentang stroke meningkat dari waktu ke waktu pada kedua kelompok, tetapi peserta dalam kelompok intervensi belajar lebih (P ¼ 0,041).

(6)

Pada pelaksanaannya perawat memegang peranan penting karena wajib memilih pengasuh terbaik untuk perawatan lanjutan. Kebutuhan informasi terkait perawatan lanjutan, motivasi, dorongan dan dukungan untuk merawat klien stroke menjadikan penguat bagi mereka yang bertindak sebagai pengasuh atau caregiver. Caregiver adalah orang yang memiliki kewajiban untuk peduli karena adanya hubungan kekerabatan dekat atau ikatan emosional dengan penerima pelayanan (Schofield et al., 1998). Caregiver

utama biasanya adalah anggota keluarga, teman yang rela mengorbankan waktu, tenaga dan dalam beberapa kasus, seluruh diri mereka cenderung untuk kebutuhan penerima pelayanan (Robcares, 2013). Keluarga atau caregiver akan menjadi care-taker untuk penderita stroke dalam perawatan jangka panjang (Burke et al., 2007).

Peran caregiver adalah menyediakan kebutuhan dasar pangan, sandang, kebersihan dan tempat tinggal. Mereka juga harus tahu bagaimana untuk memenuhi kebutuhan emosional seseorang tanpa menciptakan ketergantungan. Terlebih lagi, mereka tidak boleh melupakan kebutuhan mereka sendiri dan memahami bahwa untuk merawat orang yang dicintai, mereka juga harus merawat dirinya sendiri (Robcares, 2013). Di Indonesia, istilah "caregiver" masih langka di masyarakat karena profesi ini masih relatif jarang. Istilah lain caregiver adalah "pekerja perawatan", "pengasuh lanjut usia", atau di Jepang disebut "kaigofukushishi". Selain itu, masyarakat Indonesia memiliki kecenderungan untuk menjaga keluarga mereka. Dengan demikian caregiver di Indonesia adalah pengasuh keluarga (primary caregiver).

Tim kesehatan mengidentifikasi caregiver pasien stroke sebagai salah satu kunci dari tim kesehatan. Namun, terlibatnya caregiver secara aktif dalam perencanaan dan pengambilan keputusan dalam perawatan akut sering tidak ada (Maclsaac et al., 2011).

Caregiver membahas dasar-dasar mengelola aktivitas sehari-hari dan strategi pemecahan masalah. Jadi, caregiver juga perlu belajar tentang peran mereka secara koheren (Thompson et al., 2004). Peran caregiver adalah membantu penderita stroke dalam hal makan, melakukan ADL dan rehabilitasi (Dewit, 2009). Caregiver juga berkontribusi terhadap kebutuhan informasi dan psikologi (Dorsey & Vaca, 1998).

Pada pelaksanaan pelayanan keperawatan klien dengan Stroke, mungkinkah perawat Indonesia bisa bersaing dengan Negara Asia Tenggara lainnya? inilah yang akan menjadi tugas besar untuk setiap individu perawat Indonesia dan organisasi profesi tentunya akan mendukung perawat Indonesia dalam membenahi kompetensi, keahlian dan profesionalisme dalam pelaksanaan keperawatan. Perawat profesional adalah perawat yang dapat memberikan pelayanan keperawatan dengan menerapkan etika profesional keperawatan serta memiliki kemampuan secara keilmuan. Jadi tidak hanya pintar secara keilmuan tetapi juga memiliki prilaku yang dapat dipertanggung jawabkan dan naluri pengembangan secara mandiri maupun bekerjasama.

Menyikapi persaingan era pasar bebas bukan hanya perawat asing yang akan berdatangan. Namun, klien asing juga akan banyak dirawat di Indonesia. Kemampuan berbahasa asing akan memudahkan komunikasi perawat klien. Kaitannya dengan klien Stroke jelas karena kejadian Stroke baik di dalam maupun di luar negeri sama besarnya.

(7)

adalah dengan memiliki etos kerja profesional yang tentunya tidak akan mudah ditiru oleh tenaga asing. Persaingan dalam hal harga dan kualitas akan mudah ditiru oleh kompetitor tetapi persaingan dalam hal etika, perilaku tentunya bukanlah hal mudah untuk ditiru khususnya perilaku yang berasal dari hati nurani perawat Indonesia.

Perawat Indonesia haruslah mencari arti pentingnya positioning yang otentik dalam pelayanan keperawatan. Hal ini akan menjadi Point of Difference (POD) yang sangat efektif. Positioning seperti ini tentunya perlu didukung oleh banyak hal yang bersumber dari karakter dan perilaku perawat itu sendiri. Semakin cerdasnya masyarakat dan adanya ledakan informasi, maka strategi positioning yang mengaitkan dengan authenticity

sungguh efektif untuk menciptakan citra perawat Indonesia yang akan dipilih oleh masyarakat selaku klien yang memerlukan pelayanan keperawatan. Perawat secara personal dan tim perawatan memiliki beberapa POD yang sangat kuat dan menancap dalam benak sebagian besar masyarakat Indonesia. Perawat adalah tenaga kesehatan yang mendengarkan dan melayani klien saat sakit. Bagaimana terkait perihal caring dalam tata klinis. Jawaban yang lugas dan sederhana harus diberikan, yaitu mendengarkan keluhan klien terkait penyakitnya. Perawat memposisikan seperti ini pada saat klien melihat banyak perawat tidak mendengarkan dan melayani klien saat sakit. Jadi, POD yang efektif adalah atribut atau karakter yang memiliki oposisi atau sisi kontras yang kuat. Selain itu, sudah pasti bahwa POD yang kuat juga harus didukung oleh banyak elemen merek. Dalam hal ini, sosok perawat yang sederhana, ramah, dekat dengan klien melalui waktu panjang yang disediakan. Hal ini memberi kekuatan yang besar sehingga POD ini menjadi kuat, unik, dan dapat dipercaya oleh masyarakat selaku klien.

Points of Parity (POP) diibaratkan sebuah merek tidak boleh hanya unik dan berbeda, tapi juga harus memiliki citra yang menetralisir keunggulan dari pesaing dalam hal ini perawat dari Negara asing. Inilah yang disebut dengan POP. Misal. Perawat Indonesia ternyata, tidak tangguh dalam hal daya tahan tubuh dalam bekerja, kalah jauh dari pesaing yaitu perawat asing. Ini yang megakibatkan beberapa kelompok masyarakat selaku klien mulai meragukan kemampuan perawat dalam memberikan pelayanan. Jadi, sebagian yang mulai beralih adalah mereka yang melihat bahwa perawat Indonesia tidak memiliki sesuatu yang dipunyai oleh perawat asing. Misalnya, sebagai pengambil keputusan klinis yang tegas. POP harus mulai dibentuk sehingga menetralisir keunggulan perawat asing. Perawat Indonesia juga bisa tegas, pelaksana keperawatan yang mampu berpikir kritis. Inilah yang disebut Points of Parity (POP), yaitu citra yang mampu menetralisir keunggulan pesaing, walau tidak perlu lebih unggul.

(8)

care? Klien selaku konsumen akan merasa bahwa perawat tersebut tidak kredibel dan tidak pantas disebut perawat profesional.

Bentuk kedua (kompetitif) merupakan asosiasi yang didesain untuk mengurangi

Points-of-Difference (POD) dari pesaing. POD adalah atribut di mana konsumen secara kuat mengasosiasikan atau mengaitkan dengan sebuah merek, mengevaluasi secara positif dan mempercayai bahwa mereka tidak dapat menemukan pada tingkat yang sama dengan sebuah merek lain yang kompetitif. Jadi POD merupakan pembeda di satu merek yang tidak dapat ditemukan pada merek lain. Ketika POD menjadi kekuatan sebuah merek untuk bersaing, merek lain mencoba meredam dengan menyetarakannya sebagai POP. Saat perawat Indonesia mengkampanyekan bahwa tenaga keperawatan dididik melalui serangkaian langkah yang terjamin kualitas peserta didiknya. Pesaing dari Negara asing juga melakukan hal serupa. Manakala di setiap intitusi pendidikan asing disediakan fasilitas yang serupa, melakukan hal yang sama dengan di Indonesia. Sesuatu yang berbeda pun menjadi hal yang biasa dan menjadi standar yang diterima sebagai keharusan.

Keadaan ini menuntut perawat agar dapat mengaktualisasikan POP dan POD secara nyata dengan berbagai aktivitas pelayanan keperawatan yang mendukung. Dapat dikomunikasikan menuntut perawat untuk merancang aktivitas promosi dengan berbagai asosiasi yang sesuai dengan pengetahuan klien yang telah ada. Sebagai contoh menambah pelayanan di luar rumah sakit seperti home care ketika klien memutuskan untuk dirawat di rumah. Kehadiran perawat dalam pelaksanaan perawatan meningkatkan kesehatan psikologis pasangan, menurunkan depresi, meningkatkan kualitas hidup dan menurunkan ketegangan pengasuh. Kehadiran perawat yang mempunyai kemampuan sesuai harapan klien dan keluarga akan menjadi pilihan diantara perawat asing yang berdatangan.

F. Kesimpulan

Pengasuh klien stroke membutuhkan keberadaan perawat dalam mendengarkan, mendukung, memotivasi, menginformasikan hal terkait pelaksanaan perawatan. Perawat Indonesia yang mempunyai karakteristik berbeda dengan perawat asing yang terasosiasi dalam Points-of-Difference (POD) dan Points-of-Parity (POP) membuat masyarakat memilihnya. Kehadiran perawat dalam pelaksanaan perawatan meningkatkan kesehatan psikologis pasangan, menurunkan depresi, meningkatkan kualitas hidup dan menurunkan ketegangan pengasuh. Kehadiran perawat yang mempunyai kemampuan sesuai harapan klien dan keluarga akan menjadi pilihan diantara perawat asing yang berdatangan. Perawat yang memiliki karakteristik yang diinginkan klien akan membuat masyarakat memilih perawat Indonesia diantara himpitan perawat asing yang berdatangan dalam perawatan klien Stroke di era MEA.

(9)

G. Daftar Pustaka

A˚ Franze´n-Dahlin et al. 2008. A randomized controlled trial evaluating the effect of a support and education programme for spouses of people affected by stroke. Clinical Rehabilitation 2008; 22: 722–730.

Berita Jatim. Perawat Dituntut lebih Profesional, Menyambut MEA. http://wartakesehatan.com/54664/perawat-dituntut-lebih-profesional-menyambut-mea. Diakses, 02 Oktober 2015

Carlsson C and Linander K. 2012. Positioning of a brand point of parity- a study of a possible approach for taking position of a point of parity in a mature business to business market. Master of Science Thesis INDEK 2012:08

Depkes RI. Delapan dari 1000 orang di Indonesia terkena stroke. http://www.depkes.go.id/index.php/berita/pressrelease/ 1703-8-dari-1000-orang-di- indonesia-terkena-stroke.html. Retrieved November 1, 2015

Dewit SC. Medical-surgical nursing concepts & practice. St Louis, Missouri: Saunders Elsevier; 2009.

Dorsey MK & Vaca KJ. The stroke patient and assessment of caregiver needs. Journal of Vascular Nursing 1998; 16: 62 – 67.

Ghodeswar. 2008. Building brand identity in competitive markets: a conceptual model. Journal of Product & Brand Management 17/1 (2008) 4–12

Han Boter, et al. 2004. Outreach nurse support after stroke: a descriptive study on patients’ and carers’ needs, and applied nursing interventions. Clinical Rehabilitation 2004; 18: 156–163.

Hinkle JL & Guanci MM. 2007. Acute ischemic stroke review. Journal Neuroscience Nurse; 39: 285 – 293.

Hunt LA et al. 2011. Assessment of student nurses in practice: A comparison of theoretical and practical: assessment results in England. Nurse Education Today

Janiszewska K. 2012. The strategic importance of brand positioning in the place brand concept: elements, structure and application capabilities. Journal of International Studies, Vol. 5, No 1, pp. 9-19

(10)

Kuptniratsaikul V, et al.. Complications during the rehabilitation period in Thai patients with stroke. American Journal of Physical Medicine & Rehabilitation 2008; 88 (2): 92 – 99.

Mohn-Brown et al. 2007. Medical-surgical nursing. 2nd ed. New Jersey: Pearson.

Murray CJL & Lopez AD. 1997. Mortality by cause for eight regions of the world: Global burden of disease study. The Lancet; 349: 1269 – 1276.

Phipps WJ, et al. 2003. Medical-surgical nursing health and illness perspectives. USA: Seventh edition. Mosby; 2003.

R. Oupra; et al. 2010. Effectiveness of Supportive Educative Learning programme on the level of strain experienced by caregivers of stroke patients in Thailand. Health and Social Care in the Community 18(1), 10–20.

Schofield H, et al. 1998. Family caregivers disablity, illness and ageing. Australia: Allen & Unwin.

Thompson TC, Pierce LL, Steiner V, Govoni AL, Hicks B, Griedemann M. 2004. What happened to normal? Learning the role of caregiver. On-Line Journal of Nursing Informatics; 8(2): 13.

Undang-undang No.38 tahun 2014 tentang Keperawatan

Venketasubramanian N. 1998. The epidemiology of stroke in ASEAN countries – a review. Neuro Journal Southeast Asia; 3: 9 – 14.

(11)

Lampiran Ekstraksi Jurnal

N o

Penulis

(tahun) Judul Jurnal Tujuan Metodologi Hasil

1. Han Boter, stroke di rumah, wali di tempat tinggal dan

Perawatan stroke yang paling sering diterapkan 'mendengarkan mendukung' (55%; 471/864)

'meyakinkan atau mendorong' (12%; 107/864), I ntervensi untuk P en gasuh

44 % dari semua pasangan mencetak ‡ 8 ( sangat puas ) 23 % tidak puas.

Dukungan Pengasuh terutama diberikan oleh perawat dan pekerja sosial. Satu dari lima pasangan menunjukkan tidak terindikasi setelah didukung oleh tim rehabilitasi.

3. R. Oupra ; on the level of strain experienced by

Keluarga pengasuh pada kelompok intervensi memiliki

kualitas hidup lebih baik secara signifikan daripada kelompok pembanding (GHQ - 28 di debit t=2,82, d.f.=138, P=0,006; dan pada 3 bulan t=6.80, d.f.=135, P < 0,001) dan mereka juga melaporkan berkurang ketegangan. Indeks pada t= 6.73 debit, d.f.=138 , P < 0,001; dan pada 3 bulan t =7.67, d.f.=135, P <

Tidak ada perbedaan signifikan yang ditemukan antara

kelompok intervensi dan kontrol mengenai kesehatan psikologis secara keseluruhan.

Subanalysis mengungkapkan bahwa mereka yang

berpartisipasi lebih sering dalam pertemuan kelompok (lima atau enam kali) memiliki kesehatan psikologis signifikan lebih kuat (P50.05).

(12)

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil analisis dapat disimpulkan sebagai berikut: (1) guru dan siswa menggunakan tindak tutur lokusi, ilokusi, dan perlokusi dalam pembelajaran di kelas X SMK N

Pada gambar 4.29 menampilkan urutan state edit pemilik yang berawal dari halaman kelola user dibuka, data diubah sampai data kemudian ditampilkan. mulai

Kedua, kendala yang dihadapi oleh penegak hukum dalam memberikan perlindungan hukum bagi pelaku dan korban tindak pidana narkotika menurut Kompol Ari Sumarwono,

Bagi masyarakat Desa Banda Ely Kecematan Kei Besar Utara Timur Kabupaten Maluku Tenggara, Perbedaan strata sosial sebagai penghalang nikah merupakan adat larangan

Induksi ekspresi enzim alkana monooksigenase, toluena dioksigenase, dan naftalen dioksigenase terjadi selama proses degradasi namun pada waktu inkubasi yang

model pembelajran CIRC merupakan model pembelajaran yang lebih cocok dan tepat diaplikasikan pada mata pelajaran Bahasa Indonesia khusus pada materi membaca, menemukan

Untuk tipe kegagalan withdrawal , sambungan dengan kayu Pterospermum javanicum memberikan kekuatan sambungan yang lebih tinggi seperti dapat dilihat pada Gambar 2(b) karena kayu

sehingga proses penciptaan karya tugas akhir ini dapat terselesaikan, maka dari hasil tersebut dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Konsep ornamen naga