Research Article
KADAR SERAT KASAR, DAYA IKAT AIR, DAN RENDEMEN BAKSO AYAM DENGAN
PENAMBAHAN KARAGINAN
A. B. Kurniawan, A. N. Al-‐Baarri, Kusrahayu
ABSTRAK:
Penggunaan boraks sebagai bahan pengenyal bakso dapat menimbulkan efek yang buruk bagi
kesehatan sehingga harus dicari bahan alternatif lain yang lebih aman. Penelitian bertujuan untuk mengetahui
pengaruh penambahan karaginan pada bakso ayam sebagai alternatif pengenyal terhadap kadar serat kasar, daya
ikat air, dan rendemen. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni 2011 di Laboratorium Teknologi Hasil Ternak dan
Laboratorium Ilmu Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro Semarang. Perlakuan yang
diterapkan dalam penelitian ini adalah bakso ayam tanpa penambahan karaginan (T0), bakso ayam dengan
penambahan karaginan 1,5% (T1), bakso ayam dengan penambahan karaginan 2% (T2), bakso ayam dengan
penambahan karaginan 2,5% (T3), bakso ayam dengan penambahan karaginan 3% (T4). Data yang diperoleh
diolah secara statistik dengan menggunakan analisis ragam dan untuk uji lanjut menggunakan Uji Wilayah Ganda
Duncan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan karaginan pada bakso ayam memberikan pengaruh
yang nyata terhadap kadar serat kasar dan rendemen, sedangkan pada pengujian daya ikat air tidak terdapat
pengaruh secara nyata dari penambahan karaginan. Penambahan karaginan pada bakso ayam terbukti dapat
meningkatkan kadar serat kasar dan rendemen sedangkan nilai daya ikat air pada bakso ayam cenderung
meningkat walaupun tidak signifikan.
Kata kunci : bakso ayam, karaginan, serat kasar, daya ikat air, rendemen
PENDAHULUAN
Karaginan merupakan senyawa hidrokoloid komersial dari rumput laut merah (Rhodophyceae) yang banyak digunakan dalam produk pangan dan industri seperti misalnya dalam pembuatan coklat, susu, pudding, susu instan, makanan kaleng dan roti. Hal ini karena kemampuannya dalam mengubah sifat fungsional produk yang diinginkan. Beberapa sifat fungsional karaginan dalam produk pangan diantaranya adalah sebagai pengemulsi, penstabil, pembentuk gel, dan penggumpal. Euchema cottoni sebagai penghasil karaginan mempunyai kandungan serat yang tinggi.
Menurut Kasim (2004) kadar serat makanan dari rumput laut E. Cottoni mencapai 65,07% yang terdiri dari 39,47% serat makanan yang tak larut air dan 25,7% serat makanan yang larut air sehingga karaginan berpotensi untuk dijadikan sebagai bahan makanan yang menyehatkan. Hal ini didasarkan pada banyak penelitian bahwa makanan berserat tinggi mampu menurunkan kolesterol darah dan gula darah. Karaginan juga mempunyai sifat mengikat air yang akan berpengaruh pada rendemen dan tekstur kenyal yang dihasilkan pada produk olahan daging. Ayadi et al. (2009) menyatakan bahwa penambahan karaginan sebanyak 0,5%
pada sosis dapat meningkatkan daya ikat air dan kekerasan. Proses pengolahan karaginan dimulai dengan sistem ekstraksi dengan suatu basa yang kemudian dilanjutkan dengan penyaringan, pengendapan dan penggilingan hingga menjadi suatu tepung. Rasyid (2010), menjelaskan bahwa perbedaan penggunaan basa berpengaruh pada kekentalan dan kekuatan gel karaginan. Jika diinginkan suatu produk yang kental dengan kekuatan gel rendah maka digunakan garam natrium, untuk gel yang elastis digunakan garam kalsium sedangkan garam kalium menghasilkan gel yang keras. Untuk kappa karaginan lebih sensitif terhadap ion-‐ion kalium sedangkan iota karaginan lebih sensitif dengan ion-‐ion kalsium.
Berdasarkan beberapa hal di atas, penelitian penambahan tepung karaginan pada bakso ayam dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui nilai kadar serat kasar, daya ikat air dan rendemen pada bakso ayam. Manfaat yang dapat diambil dengan adanya penelitian ini dapat memberi informasi kepada masyarakat tentang karaginan sebagai bahan makanan yang aman untuk menggantikan boraks sebagai pengenyal yang dapat membahayakan kesehatan
MATERI DAN METODE
Materi
Bahan-‐bahan yang digunakan dalam pembuatan bakso adalah 4 kg daging ayam broiler fillet segar, 600 g tepung tapioka, 72 g tepung karaginan, 72 g garam dapur, bawang putih, merica, es batu. Pada pengujian kadar serat
Dikirim 22/2/2012, diterima 25/3/2012. Penulis A. B. Kurniawan adalah dari Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro,
Semarang, Indonesia. Kontak langsung melalui email:
kasar menggunakan bahan antara lain H2SO4 0,3 N, NaOH 1,5 N, air panas, aseton dan kertas saring, sedangkan untuk pengujian daya ikat air adalah kertas saring Whatman dan kertas milimeter.
Alat yang digunakan dalam pembuatan bakso adalah mesin penggiling, mesin pencampur, timbangan elektrik, kompor, baskom, panci, pisau, penyaring/peniris dan sendok. Pada pengujian kadar serat kasar yaitu gelas beaker, oven, eksikator, cawan porselin, tanur dan timbangan elektrik. Alat untuk pengujian daya ikat air antara lain tong seberat 35 kg dan plat kaca, sedangkan untuk pengujian rendemen menggunakan timbangan mekanik dan alat tulis.
Metode
Metode penelitian meliputi rancangan percobaan, persiapan, pembuatan sampel (bakso ayam), pengujian variabel dan analisis data. Tahap persiapan dan pembuatan sampel meliputi penyediaan alat dan bahan untuk membuat sampel, sedangkan tahap pengujian variabel meliputi pengujian kadar serat kasar, daya ikat air dan rendemen.
Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 5 perlakuan dan 4 ulangan. Perlakuan yang diterapkan adalah :
T0 = Bakso ayam tanpa penambahan karaginan. T1 = Penambahan karaginan 1,5% dari berat daging. T2 = Penambahan karaginan 2% dari berat daging. T3 = Penambahan karaginan 2,5% dari berat daging. T4 = Penambahan karaginan 3% dari berat daging.
Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan 5 perlakuan dan 4 ulangan. Perlakuan yang diterapkan adalah: T0 (daging sapi tanpa marinasi/perendaman), T1, T2, T3, dan T4 marinasi (perendaman) daging sapi dalam jus bawang putih masing-‐ masing selama 5, 10, 15, dan 20 menit pada suhu ruang (25˚C).
Prosedur Pembuatan Bakso
Proses pembuatan bakso menurut Bintoro (2008) dengan modifikasi, dimulai dari pemilihan daging yang akan digunakan yaitu daging yang segar atau daging yang belum mengalami pelayuan. Daging ayam fillet dipotong kecil-‐kecil dan digiling dalam mesin penggiling. Penggilingan dilakukan dua tahap agar diperoleh adonan yang lembut. Bumbu (bawang putih, garam halus dan merica) yang telah dihaluskan dan bahan-‐bahan lainnya (tepung dan es batu) dicampurkan pada proses penggilingan kedua. Karaginan dengan persentase yang telah ditentukan pada setiap perlakuan (0%; 1,5%; 2%; 2,5% dan 3% dari berat daging) juga ditambahkan dan dicampurkan pada saat penggilingan kedua. Adonan yang telah terbentuk, kemudian dituangkan ke dalam baskom plastik siap untuk dicetak menjadi bulatan-‐ bulatan kecil. Bulatan-‐bulatan bakso yang telah terbentuk kemudian direbus di dalam panci yang berisi air panas. Perebusan dilakukan sampai bakso matang yang ditandai dengan mengapungnya bakso ke permukaan. Bakso yang
telah matang ditiriskan. Komposisi adonan bakso per unit percobaan secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi Adonan Bakso per Unit Percobaan
Komposisi Bahan-‐Bahan
T0 T1 T2 T3 T4 -‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐ (g) -‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐ Daging sapi 200 200 200 200 200 Tepung tapioka 30 30 30 30 30 Es batu 30 30 30 30 30 Garam halus 3,6 3,6 3,6 3,6 3,6 Merica halus 0,4 0,4 0,4 0,4 0,4 Bawang putih 6 6 6 6 6 Tepung Karaginan 0 3 4 5 6 Keterangan : Penambahan karaginan berdasarkan berat daging
HASIL DAN PEMBAHASAN
Data hasil analisis kadar serat kasar pada bakso ayam dengan penambahan karaginan dapat dilihat pada Tabel 2. Hasil analisis kadar serat kasar bakso dengan penambahan karaginan (Tabel 2) menunjukkan, bahwa rerata kadar serat kasar bakso pada T0 (penambahan karaginan 0% sebesar 0,26%); T1 (penambahan karaginan 1,5% sebesar 1,36%); T2 (penambahan karaginan 2% sebesar 1,58%); T3 (penambahan karaginan 2,5% sebesar 2,90%); T4 (penambahan karaginan 3% sebesar 2,54%).
Berdasarkan sidik ragam, penambahan karaginan yang berbeda pada bakso ayam memberikan pengaruh yang nyata (P<0,05) terhadap kadar serat pada bakso. Analisis lebih lanjut menggunakan Uji Wilayah Ganda Duncan menunjukkan bahwa T0 berbeda nyata dengan T1, T2, T3, dan T4. Perlakuan T1 berbeda nyata dengan T0, T2, T3, dan T4. Perlakuan T2 berbeda nyata dengan T0, T1, T3, dan T4. Perlakuan T3 berbeda nyata dengan T0, T1, T2, dan T4. Perlakuan T4 berbeda nyata dengan T0, T1, T2, dan T3.
Bakso ayam tanpa penambahan karaginan (T0) mempunyai kandungan serat kasar paling sedikit. Hal ini disebabkan karena kandungan serat kasar yang terdapat pada bakso ayam dengan perlakuan T0 hanya diperoleh dari tepung tapioka. Nilai serat kasar pada bakso ayam meningkat seiring dengan adanya penambahan tepung karaginan hingga 2,5%. Serat yang terdapat pada karaginan merupakan jenis serat yang larut dalam air. Almatsier (2009) menyatakan bahwa ada 2 macam golongan serat yaitu yang tidak dapat larut dalam air dan yang dapat larut air. Serat yang tidak dapat larut air adalah selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Serat yang dapat larut dalam air adalah pektin, gum, mucilage, glikan dan alga. Serat pada karagenan mempunyai kemampuan membentuk gel yang berpengaruh terhadap daya ikat air dan rendemen. Hal ini sesuai dengan pendapat Wirjatmadi et al., (2002) bahwa serat yang larut dalam air cenderung bercampur dengan air membentuk jaringan gel (seperti agar) atau jaringan yang pekat.
Tabel 2. Hasil Analisis Kadar Serat Kasar Bakso Ayam dengan Penambahan Karaginan
Kadar Serat Kasar Ulangan
T0 T1 T2 T3 T4
-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐ (%) -‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐ 1 0,28 1,34 1,54 2,91 2,58 2 0,27 1,34 1,55 2,97 2,25 3 0,28 1,38 1,62 2,73 2,55 4 0,22 1,38 1,61 3,00 2,50 Rerata 0,26e 1,36d 1,58c 2,90a 2,54b Keterangan : Superskrip huruf kecil yang berbeda pada rerata menunjukkan ada perbedaan yang nyata (P<0,05)
Tabel 3. Hasil Analisis Daya Ikat Air Bakso Ayam dengan Penambahan Karaginan
Daya Ikat Air Ulangan
T0 T1 T2 T3 T4
-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐ (%) -‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐ 1 55,20 61,49 61,03 55,54 57,09 2 49,00 49,50 55,00 54,90 53,67 3 55,03 64,16 64,16 62,38 55,87 4 56,05 56,80 56,06 63,98 58,03 Reratans 53,82 58,02 59,06 59,20 56,17 Keterangan :
ns : menunjukkan tidak adanya pengaruh perlakuan yang nyata
Tabel 4. Hasil Analisis Rendemen Bakso Ayam dengan Penambahan Karaginan
Rendemen Ulangan
T0 T1 T2 T3 T4
-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐ (%) -‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐ 1 132,82 131,65 123,56 144,21 144,75 2 127,23 123,45 128,77 131,87 144,63 3 133,12 118,11 133,87 142,46 141,04 4 119,21 124,34 124,67 128,77 145,14 Rerata 124,38c 128,09c 129,21c 136,82b 141,64a Keterangan : Superskrip huruf kecil yang berbeda pada rerata menunjukkan ada perbedaan yang nyata (P<0,05)
Hasil analisis kadar serat kasar bakso dengan penambahan karaginan (Tabel 2) menunjukkan, bahwa rerata kadar serat kasar bakso pada T0 (penambahan karaginan 0% sebesar 0,26%); T1 (penambahan karaginan 1,5% sebesar 1,36%); T2 (penambahan karaginan 2% sebesar 1,58%); T3 (penambahan karaginan 2,5% sebesar 2,90%); T4 (penambahan karaginan 3% sebesar 2,54%).
Bakso ayam tanpa penambahan karaginan (T0) mempunyai kandungan serat kasar paling sedikit. Hal ini disebabkan karena kandungan serat kasar yang terdapat pada bakso ayam dengan perlakuan T0 hanya diperoleh dari tepung tapioka. Nilai serat kasar pada bakso ayam meningkat seiring dengan adanya penambahan tepung karaginan hingga 2,5%. Serat yang terdapat pada karaginan merupakan jenis serat yang larut dalam air. Almatsier (2009) menyatakan bahwa ada 2 macam golongan serat yaitu yang tidak dapat larut dalam air dan yang dapat larut air. Serat yang tidak dapat larut air adalah selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Serat yang dapat larut dalam air adalah pektin, gum, mucilage, glikan dan alga. Serat pada karagenan mempunyai kemampuan membentuk gel yang berpengaruh terhadap
daya ikat air dan rendemen. Hal ini sesuai dengan pendapat Wirjatmadi et al., (2002) bahwa serat yang larut dalam air cenderung bercampur dengan air membentuk jaringan gel (seperti agar) atau jaringan yang pekat.
Serat mempunyai peran yang penting bagi kesehatan tubuh. Almatsier (2009) menyatakan bahwa serat sangat penting dalam proses pencernaan makanan dalam tubuh. Kekurangan serat dapat menyebabkan konstipasi, apenaistis, alverculity, hemoroid, diabetes melitus,penyakit jantung koroner dan batu ginjal. Kekurangan serat juga dihubungkan dengan berbagai penyakit gastrointestinal. Wirjatmadi et al. (2002) menambahkan kebutuhan serat untuk manusia sangatlah bervariasi menurut pola makan dan tidak ada anjuran kebutuhan sehari secara khusus untuk serat makanan. Konsumsi serat rata-‐rata 25 g/hari dapat dianggap cukup untuk memelihara kesehatan tubuh. 4.2. Pengaruh Penambahan Karaginan terhadap Daya Ikat Air pada Bakso Ayam
Hasil analisis daya ikat air bakso ayam dengan penambahan karaginan (Tabel 3) menunjukkan, bahwa rerata daya ikat air bakso pada T0 (penambahan karaginan 0% sebesar 53,82%); T1 (penambahan karaginan 1,5% sebesar 58,02%); T2 (penambahan karaginan 2% sebesar 59,06%); T3 (penambahan karaginan 2,5% sebesar 59,20%); T4 (penambahan karaginan 3% sebesar 56,17%).
Penambahan karaginan yang berbeda pada bakso ayam tidak memberikan pengaruh nyata pada semua perlakuan (P>0,05) terhadap daya ikat air pada bakso.
Penambahan karaginan dalam pembuatan bakso ditujukan agar dapat mengontrol kadar air dalam bakso sehingga diharapkan dapat meningkatkan daya ikat airnya. Tabel 3 menunjukkan bahwa nilai daya ikat air pada bakso ayam cenderung meningkat meskipun antar perlakuan nilainya tidak jauh berbeda. Bakso dengan penambahan karaginan memiliki daya ikat air yang lebih baik dibandingkan bakso tanpa penambahan karaginan. Hal ini disebabkan oleh kemampuan karaginan dalam membentuk matrik gel tiga dimensi yang dapat memerangkap air. Pietrasik and Jarmolouk (2003) menjelaskan bahwa penambahan karaginan pada gel protein daging babi dapat meningkatkan kemampuan mengikat air. Penambahan karaginan semakin tinggi akan meningkatkan kekompakan matrik gel dan berkurangnya struktur berongga yang menyebabkan menurunnya kekenyalan dan meningkatkan kekerasan.
pembentukan gel. Kombinasi kappa karaginan dengan kation kalium memiliki kemampuan dalam mengikat jumlah air yang besar untuk membentuk jaringan gel. Hal ini sesuai dengan pendapat Basmal et al., (2003) yang menyatakan bahwa adanya intrusi kation ke dalam karaginan akan mempengaruhi kekuatan gel seperti kappa-‐karaginan dengan adanya kation K+ cenderung membentuk gel yang kuat.
Faktor lain yang dapat mempengaruhi daya ikat air adalah temperatur pada saat pemasakan. Temperatur yang tinggi dapat menurunkan daya ikat air. Soeparno (2005) menyatakan bahwa temperatur yang tinggi akibat pemanasan atau pemasakan dapat mempercepat penurunan pH otot dan meningkatkan penurunan daya ikat air karena meningkatnya denaturasi protein, khususnya bagi air yang terikat lemah diantara molekul air.
Hasil analisis rendemen bakso ayam dengan penambahan karaginan (Tabel 4) menunjukkan, bahwa rerata rendemen bakso pada T0 (penambahan karaginan 0% sebesar 124,38%); T1 (penambahan karaginan 1,5% sebesar 128,09%); T2 (penambahan karaginan 2% sebesar 129,21)%; T3 (penambahan karaginan 2,5% sebesar 136,82%); T4 (penambahan karaginan 3% sebesar 141,64%).
Berdasarkan sidik ragam, penambahan karaginan yang berbeda pada bakso ayam memberikan pengaruh yang nyata (P≤0,05) terhadap rendemen pada bakso. Analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa antara T0, T1, dan T2 tidak berbeda nyata. T3 berbeda nyata dengan T0, T1, dan T2. T4 berbeda nyata dengan T0, T1, dan T2.
Penambahan karaginan terbukti dapat meningkatkan rendemen pada bakso ayam. Hal ini dimungkinkan karena karaginan mempunyai sifat yang dapat membentuk gel. Pembentukan gel pada karaginan merupakan proses pembentukan jala atau jaringan tiga dimensi oleh molekul primer yang terentang pada seluruh volume gel yang terbentuk dengan memerangkap sejumlah air didalamnya sehingga dapat meningkatkan nilai rendemen pada bakso. Hal ini sesuai dengan pendapat Glicksman (1986) yang disitasikan oleh Chandra (2001) yang menyatakan bahwa Kappa-‐karaginan merupakan fraksi yang mampu membentuk gel dalam air dan bersifat reversible yaitu meleleh jika dipanaskan dan membentuk gel kembali jika didinginkan. Proses pemanasan dengan suhu yang lebih tinggi dari suhu pembentukan gel akan mengakibatkan polimer karaginan dalam larutan menjadi random coil (acak). Bila suhu diturunkan, maka polimer akan membentuk struktur double helix (pilinan ganda) dan apabila penurunan suhu terus dilanjutkan polimer-‐polimer ini akan terikat silang secara kuat dan dengan makin bertambahnya bentuk heliks akan terbentuk agregat yang bertanggung jawab terhadap terbentuknya gel yang kuat.
Faktor lain yang dapat meningkatkan nilai rendemen adalah banyaknya air es yang ditambahkan pada saat pembuatan adonan bakso serta kemampuan daging untuk mengikat air, baik air yang berada di dalam daging maupun air yang berasal dari luar. Hal ini sesuai dengan pendapat Wibowo (2006) yang menyatakan bahwa
penambahan air es pada saat pembuatan adonan berfungsi untuk meningkatkan rendemen. Proses penambahan es batu dalam pembuatan adonan bakso dapat mempengaruhi rendemen, karena dalam adonan bakso juga ditambahkan tepung tapioka yang dapat mengikat air. Hal ini sesuai dengan pendapat Suprapti (2003) yang menyatakan bahwa tepung tapioka berfungsi sebagai bahan perekat dan bahan pengisi adonan bakso sehingga dengan demikian jumlah bakso yang dihasilkan lebih banyak.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian mengenai pengaruh penambahan karaginan pada bakso ayam dapat disimpulkan bahwa penambahan karaginan dapat meningkatkan rendemen dan kadar serat kasar secara signifikan. Kadar serat kasar dan rendemen pada bakso ayam semakin meningkat seiring dengan banyaknya tepung karaginan yang ditambahkan. Daya ikat air pada bakso ayam cenderung mengalami peningkatan meskipun tidak signifikan.
Untuk mendapatkan bakso ayam dengan tekstur yang kenyal dan rendemen yang tinggi disarankan menggunakan tepung karaginan sebanyak 2,5% dari berat daging dan perlu adanya penelitian lanjutan mengenai masa kadaluarsa untuk mengetahui daya simpan bakso.
DAFTAR PUSTAKA
Almatsier, S. 2009. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Angka, S.L.dan MT. Suhartono. 2000. Bioteknotogi Hasil Laut. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Anshori, M. 2002. Evaluasi Penggunaan Jenis Daging dan Konsentrasi Garam yang Berbeda Terhadap Mutu Bakso. Institut Pertanian Bogor, Bogor. (Skripsi Fakultas Peternakan)
Astawan, M. 2008. Sehat Dengan Hidangan Hewani. Penebar Swadaya, Jakarta.
Ayadi, M. A., A. Kechaou, I. Makni, and H Attia. 2009. Influence of carrageenan addition on turkey meat sausages properties. Journal of Food Engineering. 93 (3): 278-‐283.
Basmal, J., Syarifudin, dan Farid Ma’ruf. 2003. Pengaruh konsentrasi larutan potasium hidroksida terhadap mutu kappa-‐karaginan yang diekstraksi dari eucheuma cottonii. Pusat Penelitian Oseanografi. 3 (5) : 11-‐19.
Bintoro, V.P. 2008. Teknologi Pengolahan Daging dan Analisis Produk. Universitas Diponegoro, Semarang. Cahyadi. 2006. Analisis dan Aspek Kesehatan Bahan
Tambahan Pangan. Bumi Aksara, Jakarta.
Goof, D. 2004. Ingredients, ice cream. Dairy Industries Internatioanal. 69 (2): 31.
Hapsari, A. 2011. Formulasi Dan Karakterisasi Minuman Fungsional Fruity Jelly Yogurt Berbasis Kappa Karaginan Sebagai Sumber Serat Pangan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. (Skripsi Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan)
Ikmal, M. 2009. Organik Dietary Fiber Powder, Gaya Hidup
Organik Bebas Toksi.
http://www.busanasehat.com/product.php?producti d=16158&cat=253&page=1. Diakses pada tanggal 3 April 2011
Iswanto, H. 2002. Mengenal Ayam Kampung Pedaging. Agro Media Pustaka. Tangerang.
Kanoni, S. 1993. Kajian protein daging fase pre rigor selama pendinginan sebagai emulsifier sosis. Agritech. 13 (3) : 11-‐15.
Kasim, S. R. 2004. Pengaruh Perbedaan Konsentrasi dan Lamanya Waktu Pemberian Rumput Laut E. Cottoni Terhadap Kadar Lipid Serum Darah Tikus. Universitas Brawijaya. Malang. (Skripsi Fakultas Perikanan) Kharismawan. A. B. 2002. Kandungan Gizi Bakso Ayam
Broiler dengan Penambahan Konsentrasi Tepung Sagu dan Wortel yang Berbeda. Institut Pertanian Bogor. Bogor. (Skripsi Fakultas Peternakan)
Komariah, S. 2005. Aneka Olahan Daging. Agro Media Pustaka. Jakarta.
Murtidjo, A. B. 2003. Pemotongan dan Penanganan Daging Ayam. Kanisius. Yogyakarta.
Ngadiwaluyo, S. dan Suharjito. 2003. Pengaruh Penggunaan Sodium Tripolyphosfat Terhadap Daya Simpan Bakso Sapi Dalam Berbagai Suhu Penyimpanan. http://www.pustakaiptek.com. Diakses pada tanggal 3 April 2011.
Pietrasik, Z. and A Jarmolouk. 2003. Effect of sodium caseinate and k-‐carrageenan on binding and textural properties of pork muscle gels enhanced by microbial transglutaminase addition. Journal of Food Engineering. 6 (3): 285-‐294.
Purnomo, H. I. Suryo dan T. Novita. 2000. Pengaruh perebusan sebelum pengalengan dan lama simpan terhadap kualitas bakso yang dikalengkan. Seminar Nasional Industri Pangan : 232-‐242.
Rakhmadi, A. 2006. Karakteristik Bakso Itik Afkir dengan Subtitusi Beberapa Jenis Tepung dengan Jumlah yang Berbeda. Universitas Andalas, Padang (Skripsi Sarjana Peternakan)
Rasyid, A. 2010. Ekstrak Natrium Alginat dari Alga Coklat. Pusat Penelitian Oseanografi. 36 (3) : 393-‐400. Rismayani, M. 2002. Referensi dan Pola Konsumsi Makanan
yang Mengandung Serat. Institut Pertanian Bogor. Bogor. (Skripsi Fakultas Pertanian)
Shadily, H. 1980. Ensiklopedia Indonesia. Jakarta.
Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Cetakan keempat. Universitas Gadjah Mada Press,Yogyakarta.
Standarisasi Nasional Indonesia (SNI), 1995. SNI 01-‐3818-‐ 1995 Tentang Baso Daging. Dewan Standarisasi Nasional (DSN), Jakarta.
Sudarisman, T dan A. R. Elvina. 1996. Petunjuk Memilih Produk Ikan dan Daging. Penebar Swadaya, Jakarta. Sunarjono, H. 2006. Bertanam 30 Jenis Sayuran. Penebar
Swadaya, Jakarta.
Sunarlim. R. dan Triyantini. 2000. Penggunaan berbagai konsentrasi NaCl dan jenis daging terhadap mutu bakso. Prosiding Seminar Teknologi Inovatif Pascapanen untuk Pengembangan Industri Berbasis Pertanian. Fakultas Pertanian IPB. Hal. 408-‐418 Suprapti, L. 2003. Membuat Bakso Daging dan Bakso Ikan.
Kanisius, Yogyakarta.
Suprapti, L. 2005. Tepung Tapioka dan Pemanfaatannya. Djambatan, Yogyakarta.
Tabrany, H. 2001. Informasi Potensi Aneka Peluang Investasi dalam Usaha Pembuatan Bakso Daging. Bapeda Daerah Istimewa Yogyakarta.
Tensiska. 2008. Serat Makanan. Universitas Padjajaran, Bandung.
Tiven, N. C., E. Suryanto dan Rusman. 2007. Komposisi kimia, sifat fisik dan organoleptik bakso daging kambing dengan bahan pengenyal yang berbeda. Agritech. 27 (1) : 1-‐6.
Triatmojo, S. 1992. Pengaruh penggantian daging sapi dengan daging kerbau, ayam dan kelinci pada komposisi dan kualitas fisik baso. Buletin Peternakan. 16 : 63-‐71.
Ubaedillah. 2008. Kajian Rumput Laut Euchema Cotonii Sebagai Sumber Serat Alternatif Minuman Cendol Instan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. (Tesis Fakultas Pertanian)
Usmiati, S. 2009. Bakso sehat. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 31 (6) : 13-‐14.
Van de Velde F dan Gerard AdR. 2004. Carrageenan. Carbohidrate Technology Dept. Wagenigen Center for Food Science and TNO Nutrition and Food Research Institute
Wibowo, S. 2006. Pembuatan Bakso Ikan dan Bakso Daging. Penebar Swadaya, Jakarta.
Widyaningsih, T. D. dan E. S. Murtini. 2006. Alternatif Pengganti Formalin Pada Produk Pangan . Trubus Agrisana, Surabaya.
Wijaya, A.A.R. 2006. Pengaruh Konsentrasi Kalium Hidroksida (KOH) dan Suhu Pemanasan yang Berbeda Terhadap Persentase Massa Chips Karagenan. Universitas Diponegoro. Semarang. (Skripsi Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan)
Winarno, F. G. 1990. Teknologi Pengolahan Rumput Laut. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Wirjatmadi, B. M. Adrianti dan S. Purwati. 2002. Pemanfaatan Rumput Laut (Euchema Cottoni) dalam Meningkatkan Nilai Kandungan Serat dan Yodium Tepung Terigu dalam Pembuatan Mie Basah. Jurnal Penelitian Medika Eksakta. 13 (1) : 11-‐17.