PERANAN DAN TANTANGAN
ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN
SEBAGAI SALAH SATU INSTRUMEN PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DALAM KERANGKA PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN
Ida Ayu Lochana Dewi
I. Pendahuluan
Pembangunan merupakan upaya untuk meningkatkan kesejahteraan hidup manusia, yang dilakukan dengan memanfaatkan segala bentuk sumberdaya yang dimiliki oleh suatu negara. Sumberdaya alam, secara sederhana, didefinisikan sebagai segala sesuatu di alam yang memiliki nilai guna bagi manusia untuk memenuhi kebutuhan hidup. Pemanfaatan sumberdaya tersebut, secara sepintas, merupakan satu proses interaksi antara manusia dengan lingkungan hidupnya. Berdasarkan uraian singkat tersebut terlihat bahwa manusia memiliki ketergantungan yang sangat tinggi terhadap sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang berada disekitarnya. Namun demikian, ironisnya, kerusakan dan penurunan kualitas lingkungan hidup, sering disebabkan oleh aktivitas manusia untuk memenuhi kebutuhan hidup. Fenomena tersebut telah dirasakan oleh masyarakat dunia dan ditetapkan sebagai salah satu kajian penting yang harus diperhatikan.
Berbagai pertemuan tingkat dunia yang membahas tentang sinyalemen penurunan dan kerusakan kualitas lingkungan hidup oleh berbagai faktor, telah dilakukan dengan tujuan untuk memberikan penyadaran pada seluruh masyarakat dunia terhadap pentingnya perlindungan terhadap sumberdaya alam dan lingkungan. Indonesia, sebagai salah satu bagian dari komunitas dunia, segera memberikan respon positif terhadap hasil konfrensi tingkat tinggi tersebut sejak tahun 1972, pada saat deklarasi Stockholm tentang lingkungan hidup manusia usai dilaksanakan. Sejalan dengan komitmen tersebut, Rachwartono (1974) dalam Soerianegara (1977) mengemukakan beberapa masalah lingkungan hidup yang telah menjadi masalah yang mendesak dan perlu segera mendapat perhatian diantaranya perlindungan dan pengawetan alam, pencemaran di laut, urbanisasi dan pengaruhnya pada permukiman penduduk dan kerusakan tanah pertanian dan hutan.
besar, dan ditakutkan justeru akan menghambat pembangunan. Peralihan mazab pembangunan dari anthroposentrisme mengarah pada mazab ekosentrisme yang secara implisit terkandung di dalam konsep pembangunan berkelanjutan. Konsep pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan secara berkelanjutan adalah dengan memperhatikan pemenuhan kebutuhan generasi saat ini tanpa mengabaikan pemenuhan kebutuhan generasi yang akan datang. Peralihan ini merupakan satu respon terhadap fenomena kerusakan dan penurunan kualitas lingkungan hidup, yang saat ini telah dirasakan.
Guna meningkatkan upaya perlindungan terhadap sumberdaya alam dan lingkungan, Pemerintah Indonesia mengundangkan Undang-undang No. 4 Tahun 1982 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup. Undang-undang ini berfungsi sebagai dasar penyusunan peraturan perUndang-undang-Undang-undangan lainnya yang berhubungan dengan lingkungan hidup dan Analisis Dampak Lingkungan (Andal)(Suratmo, 1990). Beberapa peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) berturut-turut adalah Peraturan Pemerintah R.I No. 29 Tahun 1986 dan Peraturan Pemerintah R.I No. 27 Tahun 1999 mengacu pada Undang-undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Berdasarkan hirarki peraturan dan perundangan yang berlaku, segala aspek yang berkaitan dengan AMDAL didasarkan pada Undang-undang No. 4 Tahun 1982 dan Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1999 yang memuat ketentuan-ketentuan tentang AMDAL. Disamping itu terdapat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup, KepMen LH. No. 17 Tahun 2001 tentang Jenis Rencana Usaha dan/atau Kegiatan yang Wajib dilengkapi dengan AMDAL1).
Analisis mengenai dampak lingkungan suatu usaha dan/atau kegiatan, dilakukan untuk meminimalkan dampak negatif dan memaksimalkan dampak positif terhadap lingkungan hidup. Pada konsep AMDAL, manusia merupakan konsumen dan juga produsen serta pembina yang terlibat sebagai satuan yang terkena dampak. Oleh karenanya, kajian terhadap lingkungan hidup tidak saja meliputi fisika kimia dan biologi lingkungan tetapi juga sosial ekonomi dan budaya masyarakat pada calon tapak proyek. Dengan demikian diharapkan, proyek tersebut dapat meminimalkan pengaruh negatif terhadap lingkungan hidup,
Namun demikian, pada kenyataanya peranan AMDAL terhadap konsep perlindungan terhadap lingkungan hidup belum maksimal. Beberapa permasalahan perlu dikaji lebih lanjut untuk memperoleh satu rumusan terhadap akar permasalahan yang ada, dengan harapan dapat dirumuskan upaya pemecahan terhadap permasalahan tersebut.
II. Landasan Teori tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
Analisis Dampak Lingkungan atau disingkat menjadi Andal, telah dikembangkan oleh beberapa negara maju sejak tahun 1970 dengan nama Environmental Impact Analysis atau Environmental Impact Assessment, yang selanjutnya disingkat dengan EIA. Istilah tersebut, oleh Kantor Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup (PPLH) yang kemudian menjadi Kantor Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup (KLH), menetapkan terjemahannya menjadi Analisis Dampak Lingkungan, yang pada awalnya disingkat dengan A.D.L, dan kemusdian berubah menjadi Andal (Suratmo, 1990).
Dampak, dalam konsep AMDAL, didefinisikan sebagai perubahan yang diakibatkan oleh usaha dan/atau kegiatan terhadap lingkungan hidup. Lebih lanjut Suratmo (1990) menjelaskan, dampak sebagai adanya benturan antara dua kepentingan, yaitu kepentingan pembangunan proyek dengan kepentingan usaha melestarikan kualitas lingkungan yang baik. Dampak inilah yang dikelola dalam kajian ANDAL, dalam bentuk dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup sebagai akibat dari adanya usaha dan/atau kegiatan yang dilakukan pada wilayah tersebut. Kriteria dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup yang dijadikan perhatian diantaranya adalah jumlah manusia yang terkena dampak, luas wilayah, intensitas dan lamanya dampak, banyaknya komponen lingkungan hidup lainnya yang terkena dampak, sifat komulatif dampak dan reversible dan/atau irreversible.
Dokumen AMDAL memuat beberapa dokumen diantaranya adalah kerangka acuan (KA), Analisis Dampak Lingkungan (Andal), Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL), dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL). Dokumen AMDAL tersebut secara jelas memuat uraian usaha dan/atau kegiatan, dampak besar dan penting yang akan ditimbulkan, dan upaya pengelolaan lingkungan hidup untuk mengelola dampak yang akan timbul serta pemantauan terhadap upaya pengelolaan lingkungan hidup. Kelengkapan tersebut, selayaknya dijadikan sebagai syarat untuk memperoleh izin usaha yang akan dikeluarkan oleh instasi yang berwewenang sesuai dengan jenis usaha dan/atau kegiatan yang akan didirikan. Pada mekanisme perijinan, RKL dan RPL merupakan bagian dari ijin yang dikeluarkan dan bersifat wajib untuk ditaati dan dipenuhi oleh pemrakarsa. Dengan demikian, ijin selain sebagai kelayakan menjalankan usaha tetapi juga sebagai salah satu instrumen dalam pengawasan seluruh proyek, khususnya terhadap kelayakan lingkungan.
AMDAL, merupakan salah satu instrumen dalam penataan lingkungan hidup (Environmental Compline), dengan demikian penerbitan ijin usaha harus memperhatikan rencana tata ruang, pendapat masyarakat dan rekomendasi pejabat sektoral. Satu hal yang sangat penting tetapi sering diabaikan adalah keputusan izin seharusnya diumumkan secara terbuka kepada masyarakat luas untuk dipahami dengan baik. Dengan demikian, RPL dan RKL sebagai bagian dari dokumen AMDAL, yang melekat pada ijin usaha, dapat digunakan sebagai salah satu mekanisme kontrol terhadap usaha dan/atau kegiatan yang berada di suatu wilayah administrasi tertentu.
Berdasarkan uraian singkat tentang AMDAL tersebut diatas secara sederhana dapat dikemukakan bahwa pada prinsipnya, AMDAL merupakan proses studi formal yang digunakan untuk memprediksi dampak lingkungan dari kegiatan pembangunan. Kegiatan pembangunan yang dimaksud bisa berupa pembangunan sarana pertokoan, pelabuhan, pembangunan irigasi, dan pertanian.
Beberapa kelemahan penerapan AMDAL (PP No. 27 Tahun 1999), menurut beberapa pakar, diantaranya adalah:
1) Presepsi yang kurang tepat dan kerancuan panafsiran tentang ketentuan-ketentuan mengenai AMDAL;
3) Rendahnya perhatian terhadap kajian aspek sosial dan ekonomi;
4) Transparansi yang tidak sejalan dengan kaidah dalam pemberian ijin usaha; 5) Proses penilaian dan/atau penyelesaian dokumen AMDAL yang relatif lama; 6) Minimnya tenaga teknis AMDAL yang memiliki kualifikasi yang ditetapkan
sehingga sering dijumpai hasil AMDAL yang tidak memenuhi kualifikasi yang telah digariskan sebagai akibat lemahnya pemahaman dan penguasaan tentang metodologi AMDAL secara benar;
7) Mekanisme perijinan yang tidak memanfaatkan hasil AMDAL yang secara optimal bagi perencanaan dan pengembangan wilayah;
8) Rendahnya tingkat komitmen dan dukungan para pengambil keputusan di tingkat birokrasi pemerintah pusat dan daerah, termasuk di dalamnya ketidak konsistenan peraturan yang mengatur kajian yang sama di bidang lingkungan hidup.
Pembahasan lebih lanjut guna memperoleh gambaran yang pasti tentang adanya sinyalemen kelemahan yang dikemukakan oleh beberapa pakar di atas berdasarkan beberapa kasus yang terjadi secara khusus di Nusa Tenggara Timur, yang dirumuskan pada pokok bahasan III.
III. Rumusan Permasalahan tentang Rendahnya Efektifitas AMDAL sebagai Salah Satu Instrumen Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan secara Berkelanjutan
Peranan AMDAL sebagai instrumen pengelolaan sumberdaya alam dan perlinsungan terhadap lingkungan, pada kenyataannya, mengalami berbagai hambatan diantaranya pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan yang tidak terintegrasi sehingga sering muncul ego sektoral, rendahnya komitmen para pengambil keputusan oleh pemerintah pusat dan daerah, sempitnya pemahaman tentang sumberdaya alam dan lingkungan dalam era otonomi daerah, kesalahan persepsi dan kerancuan penafsiran terhadap ketantuan-ketentuan mengenai AMDAL, dan hasil AMDAL tidak dimanfaatnkan secara optimal bagi perencana dan pengembangan wilayah.
kalangan pemerintah, masyarakat dan beberapa LSM. Pembangunan usaha dan/atau kegiatan tersebut dilakukan justeru sebelum AMDAL dinyatakan selesai dan diterima sebagai Attachment dari ijin yang telah dikeluarkan. Kasus nasional yang pernah mewarnai dinamika AMDAL sebagai salah satu instrumen dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan adalah kasus kapas transgenik pada tahun
Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana mungkin ijin telah dikeluarkan sementara AMDAL belum dan/atau sementara berjalan terhadap usaha dan/atau kegiatan tersebut. Pemerintah Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur telah meredam dengan dalih bahwa berdasarkan hasil sementara usaha dan/atau kegiatan tersebut sangat menguntungkan masyarakat NTT, diantaranya adalah pihak Flobamora Mall, sebagai investor, telah memperpendek jarak antara Kupang dan Jakarta, mempermudah masyarakat NTT dalam memenuhi kebutuhan hidup dengan harga terjangkau dan membuka lapangan kerja untuk masyarakat NTT. Ironisnya, gedung tersebut dibangun di atas lahan produktif di antara lahan-lahan di NTT, khususnya kupang, yang sebagian besar adalah lahan tidak produktif. Disamping itu, tenaga atau karyawan yang dipekerjakan tidak sepenuhnya berasal dari NTT seperti yang telah dijanjikan.
Hal yang hampir sama juga terjadi pada pembangunan Pelabuhan Pendaratan Ikan (PPI) yang berlokasi di Pantai Oeba. Pemrakarsa dalam hal ini adalah Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi NTT, oleh sebagian kalangan dianggap paling bertanggung-jawab atas terbengkalainya PPI yang telah terbangun tetapi belum dapat digunakan dengan baik karena ijin belum dikeluarkan. Sinyalemen yang kemudian muncul adalah hasil AMDAL usaha dan/atau kegiatan pembangunan PPI Oeba tersebut belum terselesaikan dengan baik. Berdasarkan kenyataan yang ada, berkaitan dengan kasus PPI Oeba disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya rendahnya nilai harga yang ditawarkan kepada konsultan (berdasarkan hasil perbincangan dengan salah satu anggota tim-secara pribadi)
kajian secara umum yang diduga akan menghambat peran AMDAL yang sesungguhnya di masa yang akan datang.
Kedua contoh kasus, yang hingga saat ini, mengundang berbagai opini sangat berharga untuk dijadikan bahan pertimbangan bagi Pemerintah Daerah Provinsi NTT, khususnya Kabupaten Kupang dalam menata lokasi calon tapak proyek yang akan direncanakan pada masa yang akan datang. Contoh kasus tersebut selanjutnya akan dikaji guna memperoleh akar permasalahan yang ada tanpa bermaksud untuk mencari pihak yang harus dipersalahkan secara utuh dan menyeluruh. Sedangkan kasus kapas transgenik merupakan salah satu contoh ketidak konsistenan beberapa perundang-undangan dan rendahnya pemahaman para birokrat di tingkat pusat tentang AMDAL, khususnya pada jenis usaha dan/atau kegiatan yang wajib disertai dengan kajian AMDAL.
IV. Analisis Masalah
AMDAL, sebenarnya diarahkan pada permasalahan, konflik pemanfaatan atau keterbatasan sumberdaya alam yang dapat mempengaruhi berjalannya suatu kegiatan (Djajadiningrat, 2001). Namun, pada kenyataannya, beberapa usaha dan/atau kegiatan telah beroperasi justeru sebelum AMDALnya diselesaikan dengan baik. Apabila fenomena tersebut secara terus menerus dilakukan, maka dalam waktu yang tidak terlalu lama, penataan wilayah dan penurunan kualitas lingkungan hidup tidak dapat dihindari.
Rendahnya efektifitas AMDAL oleh beberapa kasus seperti yang telah dirumuskan pada rumusan masalah merupakan masalah yang umum terjadi, dan harus segera diselesaikan untuk mengantisipasi kerusakan lebih lanjut. Konflik kepentingan, pada akhirnya muncul sebagai satu respon terhadap lemahnya kajian AMDAL yang telah dilakukan. Kelemahan tersebut, justeru muncul pada saat AMDAL dilakukan sebagai instrumen pengelolaan lingkungan hidup, yang secara umum dilakukan oleh instansi terkait, pemrakarsa, dan tim AMDAL yang dibentuk. Interaksi ketiga stakeholder tersebut, berpengaruh terhadap efektifitas AMDAL.
Kajian Tentang Usaha dan/atau Kegiatan Pembangunan Gedung Flobamora Mall, Kupang, Nusa Tenggara Timur
lahan persawahan. Guna keperluan perijinan, pemrakarsa menunjuk satu konsultan AMDAL yang bersifat tidak berbadan hukum, namun memiliki kualifikasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Mengingat lamanya proses pengajuan sidang komisi dan penyelesaian dokumen AMDAL, maka pemrakarsa berinisiatif untuk mendirikan bangunan dengan pertimbangan bahwa dampak besar dan penting, berdasarkan kajian AMDAL sementara, dikatakan layak untuk didirikan.
Kajian sosial ekonomi dan budaya, merupakan salah satu bidang kajian yang benar-benar membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan dengan bidang kajian lainnya. Pada saat gedung Flobamora Mall didirikan, kajian terhadap sosial ekonomi masyarakat yang terkena dampak, pembebasan tanah diantaranya, justeru sedang dilakukan kajian lebih mendalam. Pemerintah Daerah NTT melalui dinas terkait mengeluarkan ijin dengan pertimbangan penyelamatan beberapa dana investasi yang akan diperoleh, berdasarkan data sementara dinyatakan layak didirikan, dan waktu penilaian yang terlalu lama. Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka pembangunan gedung Flobamora Mall dilakukan tanpa menunggu hasil studi AMDAL secara menyeluruh.
Disisi lain, usaha dan/atau kegiatan pusat pertokoaan Flobamora Mall perlu dilakukan studi AMDALnya berdasarkan beberapa pertimbangan diantaranya adalah:
1) Lokasi proyek Flobamora Mall didirikan pada lahan yang masih produktif dan berada disekitar wilayah permukiman dan berdekatan dengan lokasi Sekolah Menengah Atas (SMAN 3);
2) Pembebasan tanah harus dilakukan guna memperoleh areal pusat pertokoaan yang terpusat, memerlukan kajian secara seksama terhadap bidang sosial ekonomi dan budaya masyarakat setempat, mengingat pertokoan tersebut berdampak pada perubahan struktur sosial masyarakat;
3) Lahan persawahan berada di sekitar lokasi pertokoan yang harus dipertimbangkan kesesuaian lahan dan tata ruang wilayah.
Berdasarkan tiga pertimbangan utama tersebut diatas, sudah seharusnya pembangunan pertokoan tersebut sesuai dengan hasil AMDAL yang dihasilkan, dan untuk selanjutnya dipertimbangkan dalam pemberian ijin.
apabila dalam perencanaan mendatang tidak dilakukan kajian yang lebih mendalam guna mengantisipasi munculnya permasalahan lainnya. Kajian lebih lanjut tentang kasus pendirian Flobamora Mall tanpa memperhatikan prosedur yang berlaku tertera pada Tabel 1.
Tabel 1. Peluang Menurunnya Efektifitas AMDAL dalam Rencana Usaha dan/atau Kegiatan Pembangunan Pertokoan Flobamora Mall, di Kupang, NTT
No AMDAL Usaha dan/atau Kegiatan Pembangunan Flobamora Mall
Kesenjangan yang Muncul
(Menurunnya Efektifitas Dokumen AMDAL) 1. Ijin oprasional dikeluarkan sebelum
doku-men AMDAL diselesaikan dengan baik, disisi lain, AMDAL harus dilakukan dengan pertimbangan:
Mekanisme perijinan yang tidak me-manfaatkan hasil AMDAL yang secara optimal bagi perencanaan dan pengem-bangan wilayah
a) Pemrakarsa harus mengetahui dampak akan mempengaruhi kelangsungan pro-yek;
b) Pejabat pemerintah perlu implikasi dampak proyek terhadap proyek lain-nya;
c) Masyarakat setempat atau wakilnya perlu mengetahui dampak proyek terhadap kualitas hidupnya
Rendahnya tingkat komitmen dan duku-ngan para pengambil keputusan di tingkat birokrasi pemerintah pusat dan daerah, termasuk di dalamnya ketidak konsistenan peraturan yang mengatur kajian yang sama di bidang lingkungan hidup
2. Pemerintah Daerah Prov. NTT menilai pro-ses studi dan penilaian dokumen AMDAL yang terlalu lama
Proses penilaian dan/atau penyelesaian dokumen AMDAL yang relatif lama Presepsi yang kurang tepat dan
keran-cuan panafsiran tentang ketentuan-ketentuan mengenai AMDAL 3. Kajian terhadap lingkungan sosial ekonomi
dan budaya masyarakat merupakan bagian studi yang relatif lebih lama dan dilakukan tidak secara bersama-sama, dengan per-timbangan bahwa hampir semua masya-rakat menerima keberadaan pusat pertoko-an
Minimnya tenaga teknis AMDAL yang memiliki kualifikasi yang ditetapkan sehingga sering dijumpai hasil AMDAL yang tidak memenuhi kualifikasi yang telah digariskan sebagai akibat lemah-nya pemahaman dan penguasaan ten-tang metodologi AMDAL secara benar 4. Sebagian masyarakat mengetahui bahwa
perijinan tidak sesuai dengan prosedur (dilihat dari segi kelengkapan dokumen AMDAL)
Transparansi yang tidak sejalan dengan kaidah dalam pemberian ijin usaha Rendahnya perhatian terhadap kajian
aspek sosial dan ekonomi 5. Fungsi dokumen AMDAL tidak maksimal
dalam beberapa hal diantaranya: a) Perhatian pemrakarsa terhadap issu
lingkungan, tata guna lahan dan pere-ncanaan wilayah;
b) Dokumen AMDAL (RKL dan RPL) di-perlukan untuk kelayakan lingkungan proyek;
c) Ijin yang tidak disertai dengan RPL dan RKL akan melemahkan posisi peme-rintah apabila ternyata proyek tersebut merugikan masyarakat;
d) Memperlemah fungsi pengawasan yang akan dilakukan.
Presepsi yang kurang tepat dan keran-cuan panafsiran tentang ketentuan-ketentuan mengenai AMDAL
Transparansi yang tidak sejalan dengan kaidah dalam pemberian ijin usaha Rendahnya perhatian terhadap kajian
aspek sosial dan ekonomi
Presepsi yang kurang tepat dan keran-cuan panafsiran tentang ketentuan-ketentuan mengenai AMDAL
Berdasarkan matrik yang tertera pada Tabel 1, Pemerintah Daerah NTT sebaiknya menyiapkan beberapa upaya yang akan dilakukan apabila dikemudian hari terdapat kenyataan adanya dampak negatif yang muncul pada saat pasca oprasional. Disamping itu, konflik dengan masyarakat perlu diantisipasi mengingat sebagian masyarakat memiliki harapan untuk dapat bekerja pada pusat pertokoan Flobamora Mall, yang pada kenyataanya tidak sesuai dengan pendapat yang dilontarkan oleh pemrakarsa (65% karyawan bukan masyarakat NTT).
Kajian Tentang Usaha dan/atau Kegiatan Pembangunan Pelabuhan Pendaratan Ikan (PPI) Oeba, Kupang, Nusa Tenggara Timur
Pembangunan pelabuhan pendaratan ikan (PPI), berdasarkan KepMen LH. No. 17 Tahun 2001, merupakan salah satu usaha dan/atau kegiatan yang wajib didahului dengan kajian AMDAL. Berdasarkan ketentuan tersebut, selayaknya sebelum pembangunan PPI dilakukan, kajian AMDAL merupakan tahap awal yang bertujuan untuk mengetahui kelayakan usaha dan kelayakan lingkungan PPI. Namun demikian, masih banyak dijumpai beberapa ketimpangan dalam pelaksanaan PP No. 27 Tahun 1999 tentang Ketentuan AMDAL. Djayadiningrat (2001) mengemukakan, dalam beberapa tahun terakhir ini berbagai proyek besar menghadapi kesulitan yang serius akibat lumpuhnya pertimbangan lingkungan ke dalam pengambilan keputusan. Berdasarkan kenyataan tersebut, jelas sangat riskan jika pertimbangan pembangunan suatu proyek hanya didasarkan pada analisis ekonomi tanpa memperhitungkan dampak yang ditimbulkan terhadap lingkungan hidup, sedini mungkin.
menduga adanya ketimpangan dalam proses tender hingga studi AMDAL. Sinyalemen yang tertangkap berdasarkan kasus ini tertera pada Tabel 2.
Tabel 2. Peluang Menurunnya Efektifitas AMDAL dalam Rencana Usaha dan/atau Kegiatan Pembangunan Pelabuhan Pendaratan Ikan (PPI) Pantai Oeba, di Kupang, NTT
No AMDAL Usaha dan/atau Kegiatan Pembangunan Pelabuhan Pendaratan Ikan
(PPI) Pantai Oeba
Kesenjangan yang Muncul
(Menurunnya Efektifitas Dokumen AMDAL)
1. Pembangunan PPI Pantai Oeba telah dila-ksanakan dan kini mencapai tahap 50% tanpa dilengkapi dengan dokumen AM-DAL. Di sisi lain, AMDAL bertujuan untuk:
Mekanisme perijinan yang tidak me-manfaatkan hasil AMDAL yang secara optimal bagi perencanaan dan pengem-bangan wilayah
a) Pemrakarsa harus mengetahui dampak akan mempengaruhi kelangsungan pro-yek terhadap lingkungan fisika kimia dan biologi perairan pantai Oeba; b) Pejabat pemerintah perlu implikasi
dampak proyek terhadap proyek lain-nya;
c) Masyarakat setempat atau wakilnya perlu mengetahui dampak proyek ter-hadap kualitas hidupnya;
d) Kemungkinan munculnya konflik kepen-tingan dalam penggunaan lahan mengi-ngat areal PPI berdekatan dengan pa-sar tradisional, tempat peribadatan dan permukiman penduduk dan rumah po-tong hewan.
Rendahnya tingkat komitmen dan duku-ngan para pengambil keputusan di tingkat birokrasi pemerintah pusat dan daerah, termasuk di dalamnya ketidak konsistenan peraturan yang mengatur kajian yang sama di bidang lingkungan hidup
Presepsi yang kurang tepat dan keran-cuan panafsiran tentang ketentuan-ketentuan mengenai AMDAL
Rendahnya perhatian terhadap kajian aspek sosial dan ekonomi
Transparansi yang tidak sejalan dengan kaidah dalam pemberian ijin usaha Kurangnya jumlah dan masih
rendahnya kompetensi teknis di bidang AMDAL, terutama dalam rangka otda 2. Rendahnya kinerja konsultan penyusun
AMDAL sebagai akibat dari minimnya dana yang dialokasikan untuk melakukan studi AMDAL (berdasarkan wawancara pribadi
dengan salah satu tim)
Transparansi yang tidak sejalan dengan kaidah dalam pemberian ijin usaha Presepsi yang kurang tepat dan
keran-cuan panafsiran tentang ketentuan-ke-tentuan mengenai AMDAL, yang berim-plikasi pada penentuan konsultan tanpa mempertimbangkan kualifikasi berda-sarkan ketentuan yang berlaku 3. Informasi terbuka terhadap rencana usaha
dan/atau kegiatan pembangunan PPI tidak dilakukan, berdasarkan pertimbangan men-desaknya waktu yang harus disesuaikan dengan tahun anggaran sehingga tender dapat dilakukan dengan mekanisme pe-nunjukan langsung pada konsultan yang dilakukan tidak transparan
Minimnya tenaga teknis AMDAL yang memiliki kualifikasi yang ditetapkan sehingga sering dijumpai hasil AMDAL yang tidak memenuhi kualifikasi yang telah digariskan sebagai akibat lemah-nya pemahaman dan penguasaan ten-tang metodologi AMDAL secara benar Rendahnya tingkat komitmen dan
duku-ngan para pengambil keputusan di tingkat birokrasi pemerintah daerah, 4. Terbengkelainya PPI hingga waktu yang
belum ditentukan dalam kurun waktu penyelesaian permasalahan yang hingga saat ini masih dalam taraf pemeriksaaan
Transparansi yang tidak sejalan dengan kaidah dalam pemberian ijin usaha Rendahnya perhatian terhadap kajian
aspek sosial dan ekonomi
Berdasarkan matrik Tabel 2, sinyalemen kesenjangan muncul dalam bentuk bukan hanya tidak bermutunya dan tidak efektifnya dokumen AMDAL, tetapi juga pemborosan sering dilakukan dalam pembangunan berbagai jenis proyek di daerah NTT. Dana proyek telah banyak dikeluarkan untuk pembangunan PPI Pantai Oeba, dan disertai dengan tidak beroprasinya PPI sebagaimana mestinya, permasalahan klasik mulai muncul yaitu audit proyek yang dilakukan oleh instansi yang berwewenang, peralihan fungsi PPI sementara menjadi berbagai fungsi lainnya. Berbagai kesenjangan yang ada, sebaiknya digunakan sebagai bahan untuk mulai memahami dengan baik konsep AMDAL, mekanisme perijinan dan pengawasan melalui konsep tata pemerintahan yang baik (Good Governance).
Kajian Tentang Rencana Pelepasan Kapas Bt-Transgenik
PT. Monagro Kimia (MONSANTO) mengajukan permohonan pelepasan kapas transgenik Bt (Bollgard). Kapas transgenik merupakan produk baru dari rekayasa genetika dengan keunggulan tertentu. Namun, berdasarkan pertimbangan akan akan adanya kemungkinan dampak negatif terhadap spesies lainnya, maka rencana pelepasan kapas tersebut harus didahului dengan AMDAL, sesuai dengan Peraturaran Pemerintah No. 27 Tahun 1999 tentang Ketentuan-ketentuan AMDAL dan Kepmen LH No. 17 Tahun 2001 tentang Jenis Usaha dan/atau Kegiatan Wajib AMDAL (butir f, tentang rekayasa genetika).
Di sisi lain, usaha dan/atau kegiatan pelepasan kapas transgenik tersebut wajib AMDAL dengan beberapa pertimbangan pendukung diantanya adalah:
1) Pasal 19 UU No. 5 Tahun 1994 sebagai bentuk ratifikasi Konvensi Biodiversity yang mewajibkan masing-masing negara untuk mengatur penanganan produk transgenik. Salah satu alasan Indonesia meratifikasi Konbvensi tersebut adalah untuk mengembangkan bioteknologi dengan pertimbangan agar Indonesia tidak dijadikan ajang uji coba pelepasan organisme yang telah direkayasa secara bioteknologi oleh negara lain.
2) Pasal 15 UU No. 23 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup dan PP No. 27 Tahun 1999 tentang AMDAL, menyatakan bahwa setiap usaha dan/atau kegiatan yang kemungkinan dapat mengakibatkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, wajib memiliki AMDAL;
Namun pada kenyataannya, Keputusan Menteri Pertanian No. 107 Tahun 2001 tertanggal 7 Februari 2001 menyetujui pelepasan terbatas Kapas Bt di 7 Kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan. Adapun yang menjadi dasar keputusan Menteri Pertanian tersebut adalah Surat Keputusan Bersama (SKB) Mentan, Menhutbun, Menkes, Menpangan, 1999 yang tidak mengharuskan pelepasan kapas transgenik tersebut melalui mekanisme AMDAL.
Berdasarkan kasus tersebut, sangat jelas bahwa ketimpangan penerapan AMDAL untuk usaha dan/atau kegiatan yang berdampak besar dan penting, disebabkan oleh beberapa hal diantaranya adalah:
1) Ketidak konsistenan birokrasi di tingkat pusat terhadap penerapan peraturan perundang-undangan yang mengatur bidang kajian yang sama;
2) Presepsi yang kurang tepat dan kerancuan panafsiran tentang ketentuan-ketentuan mengenai AMDAL;
3) Rendahnya perhatian terhadap kajian aspek sosial dan ekonomi;
4) Transparansi yang tidak sejalan dengan kaidah dalam pemberian ijin usaha; 5) Rendahnya tingkat komitmen dan dukungan para pengambil keputusan di
tingkat birokrasi pemerintah pusat dan daerah, termasuk di dalamnya ketidak konsistenan peraturan yang mengatur kajian yang sama di bidang lingkungan hidup.
V. Penerapan AMDAL dan Good Governance
Penataan lingkungan hidup merupakan satu kegiatan yang membutuhkan perhatian dan kesadaran bagi para stakeholder untuk mengelola sumberdaya alam secara terpadu dan terintegrasi. Beberapa ketimpangan yang terjadi sangat baik dijadikan sebagai bahan acuan untuk memperbaiki kelembagaan dan mekanisme dalam memberlakukan AMDAL sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Secara umum, beberapa ketimpangan yang ada, sebenarnya dapat dibenahi dengan menggunakan kerangka konsep tata pemerintahan yang baik (Good Governance).
Menurut Santoso (2001), konsep rule of law dalam Good Governance, paling tidak harus memenuhi karakter-karakter sebagai berikut:
1) Supremasi hukum/the supremacy of law, yang mengharuskan setiap tindakan negara harus dilandasi oleh hukum dan bukan berdasarkan pada diskresi atau tindakan sepihak berdasarkan kekuasaan yang dimiliki;
3) Hukum yang responsif, yang mengutamakan aspirasi masyarakat luas dan mampu mengakomodasikan kebutuhan masyarakat;
4) Penegakan hukum yang konsisten dan nondiskriminatif, yang ditandai dengan pemberian sanksi terhadap berbagai pelanggaran dalam kerangka penegakan hukum yang terintegrasi;
5) Keberadaan independensi peradilan.
Berdasarkan rule of law tersebut, beberapa permasalahan berkenaan dengan efektifitas penerapan AMDAL dalam pengelolaan sumberdaya alam secara berkelanjutan, dapat dirumuskan beberapa solusi berdasarkan mekanisme tata pemerintahan yang baik, seperti tertera pada Tabel 3.
Tabel 3. AMDAL dan Tata Pemerintahan yang Baik (Good Governance)
No. Ketimpangan dalam Pelaksanaan Amdal
Rule of law dalam Good Governance
1) Presepsi yang kurang tepat dan ke-rancuan panafsiran tentang ketentuan-ketentuan mengenai AMDAL
Penyamaan persepsi secara terpadu para
stakeholder, pemberian kursus Am-dal
Tipe A hingga Audit Lingkungan pada intansi terkait
2) Pengelolaan yang tidak terintegrasi dan terdapat kecenderungan mengu-tamakan ego sektoral sehingga mem-perlemah kordinasi instansi terkait, baik di tingkat pusat mau-pun daerah;
Perencanaan proyek yang terintegrasi, meningkatkan konsistensi pembagian kerja instansi terkait sesuai dengan bi-dang yang dita-ngani secara baik dan benar
3) Rendahnya perhatian terhadap kajian aspek sosial dan ekonomi
Perlunya melibatkan masyarakat secara partisipatif, melibatkan anggota tim yang memiliki kepakaran dalam bidang sosial ekonomi dan budaya
4) Transparansi yang tidak sejalan dengan kaidah dalam pemberian ijin usaha
Kepastian hukum/legal certainity, Pe-negakan hukum yang konsisten dan nondiskriminatif.
5) Proses penilaian dan/atau penyelesaian dokumen AMDAL yang relatif lama
Kajian lebih lanjut guna menetapkan pe-netapan waktu yang efektif dan efisien 6) Minimnya tenaga teknis AMDAL yang
memiliki kualifikasi yang ditetapkan sehingga sering dijumpai hasil AMDAL yang tidak memenuhi kualifikasi yang telah digariskan sebagai akibat lemah-nya pemahaman dan penguasaan ten-tang metodologi AMDAL secara benar
Meningkatkan kualitas sumberdaya ma-nusia dalam bidang AMDAL, pember-lakuan prasyarat penyusun AMDAL de-ngan kualifikasi ditetapkan melalui me-kanisme pengaturan yang baik, trans-paran dalam membuka peluang sebagai Tim AMDAL.
7) Mekanisme perijinan yang tidak me-manfaatkan hasil AMDAL yang secara optimal bagi perencanaan dan pengem-bangan wilayah
Kepastian hukum/legal certainity, Pene-gakan hukum yang konsisten dan non-diskriminatif, keberadaan independensi peradilan
8) Rendahnya tingkat komitmen dan du-kungan para pengambil keputusan di tingkat birokrasi pemerintah pusat dan daerah, termasuk didalamnya ketidak konsistenan peraturan yang mengatur kajian yang sama di bidang lingkungan hidup
VI. Penutup
Studi AMDAL merupakan tahapan yang penting dalam proses pengambilan keputusan akhir dari usulan proyek. Selain penting dalam pengambilan keputusan, usaha dan/atau kegiatan yang dirancang sesuai dengan lingkungan, besar kemungkinan dapat diselesaikan tepat waktu dan dalam batas anggaran yang disediakan, selain itu juga dapat terhindar dari kesulitan dalam pelaksanaan kegiatan (Djajadiningrat, 2001). Dengan demikian, proyek yang dikembangkan memberikan keuntungan optimal dan tidak menimbulkan permasalahan lingkungan.
Berbagai benturan oleh berbagai kepentingan telah menimbulkan kesenjangan dalam pelaksanaan AMDAL yang berimplikasi pada menurunnya efektifitas dan kualitas dokumen AMDAL. Kondisi seperti ini harus segera disikapi oleh para stakeholder dalam mengelola sumberdaya alam dan lingkungan melalui berbagai aktivitas. Penyempurnaan perangkat hukum (pemahaman terhadap peraturan perundangan), kelembagaan yang menangani AMDAL, dan kurikulum dalam upaya pemberian kewenangan para konsultan AMDAL perlu ditingkatkan.
Guna menangani berbagai kesenjangan tersebut, tata pemerintahan yang baik selayaknya baik untuk digunakan sebagai penggerak sistem yang ada. Pemberantasan KKN, hendaknya juga perlu dilakukan mengingat, pemberian kepercayaan untuk melakukan AMDAL masih didasarkan pada kedekatan personal antara konsultan dengan pemrakarsa. Penegakan hukum, mutlak dilakukan untuk memberikan sanksi, baik administratif maupun sanksi hukum terhadap berbagai pihak yang secara nyata melakukan suatu kesalahan. Upaya ini diharapkan memberikan suatu penyadaran pada seluruh masyarakat, khususnya pemerintah dan konsultan AMDAL, dalam melakukan kajian terhadap lingkungan hidup harus mengikuti kaidah-kaidah yang telah diatur dalam perundang-undangan. Dengan demikian diharapkan, ke depan, AMDAL dapat berfungsi sebagai salah satu instrumen dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA
Djajadiningrat S.T, 2001. UNTUK GENERASI MASA DEPAN: PEMIKIRAN, TANTANGAN DAN PERMASALAHAN LINGKUNGAN. Studio Tekno Ekonomi. Departemen Teknik Industri. Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Bandung.
Santoso Mas Achmad, 2001. Good Governance dan Hukum Lingkungan. Indonesian Centre for Environmental Law.
Silalahi Daud, M, 2001. HUKUM LINGKUNGAN. Dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia. Penerbit ALUMNI, Bandung
Suratmo Gunawan, 1990. ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN. Penerbit Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Soerianegara Ishemat, 1970. PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM; BAGIAN I. Sekolah Pascasarjana Jurusan Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Institut Pertanian Bogor.