• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penerbitan Sekuritas dan Kewajiban Jangk

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Penerbitan Sekuritas dan Kewajiban Jangk"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

DEVI ASTRIANI 161502032

PENERBITAN SEKURITAS EKUITAS DAN KEWAJIBAN JANGKA PANJANG

PENERBITAN SEKURITAS EKUITAS 1. Initial Public Offering (IPO)

Asimetri informasi antara pihak manajemen dan investor potensial sangat tinggi ketika perusahaan belum melakukan IPO. Hal ini disebabkan karena informasi perusahaan yang belum go public relatif sulit diperoleh investor. Ketika perusahaan melakukan IPO, investor potensial hanya mengandalkan informasi dari prospectus. Tidak terdapat media lain yang menyediakan informasi perusahaan yang sedang melakukan IPO, kecuali prospektus yang disyaratkan Pengawas Pasar Modal. Kelangkaan informasi perusahaan sebelum IPO, memaksa investor potensial hanya mengandalkan prospektus sebagai sumber informasi mengenai perusahaan. Padahal prospektus hanya menyediakan laporan keuangan selama tiga tahun sebelum IPO dan informasi non keuangan. Kondisi ini memberikan kesempatan bagi manajemen untuk melakukan manajemen laba supaya meningkatkan kemakmurannya, yaitu mengharapkan harga saham akan tinggi pada saat IPO.

Beberapa penelitian sebelumnya telah melakukan studi manajemen laba sebelum IPO. Friedlan (1994) menemukan bukti bahwa perusahaan-perusahaan di Amerika Serikat menaikkan laba akuntansi perioda satu tahun sebelum IPO. Jain dan Kini (1994) menyatakan bahwa terdapat penurunan kinerja operasional perusahaan setelah IPO. Penurunan tersebut menunjukkan indikasi telah terjadi manajemen laba menjelang IPO. Hal ini dilakukan dengan cara menggeser pendapatan perioda yang akan datang ke perioda sekarang atau menggeser biaya perioda sekarang ke perioda yang akan datang, sehingga laba perioda sekarang dilaporkan tinggi. Teoh et al. (1998a) menemukan ada perusahaan yang berperilaku agresif (menaikkan laba) dan ada yang berperilaku konservatif ketika menyusun laporan keuangan satu perioda sebelum IPO. Teoh et al. (1998b) juga menemukan bahwa manajemen melakukan penyesuaian akrual dalam rangka menaikkan laba menjelang SEO. Rangan (1998) juga menemukan hasil yang sama.

(2)

Meskipun asimetri informasi antara manajemen dan investor tidak lagi tinggi setelah IPO, namun berbagai penelitian menunjukkan bahwa manajemen laba juga dilakukan setelah IPO dan SEO. Friedlan (1994) menemukan bukti bahwa perusahaan-perusahaan di Amerika Serikat menaikkan laba akuntansi perioda satu tahun setelah IPO. Shivakumar (2000) memberikan bukti bahwa manajemen melakukan manajemen laba di sekitar SEO, meskipun tidak ditunjukkan untuk menyesatkan investor dalam membuat keputusan investasi. Syaiful (2002) juga menemukan bukti yang sama untuk BEJ, manajemen laba dilakukan perioda dua tahun setelah IPO.

Return saham perusahaan setelah IPO dalam jangka panjang akan turun. Hal ini disebabkan investor terlalu optimis, sehingga harga saham akan lebih tinggi pada awal penawarannya dan berangsur-angsur turun dalam jangka panjang (Brav dan Gompers 1997). Kemudian Brav et al. (2000) melakukan pengujian terhadap abnormal return yang mengikuti penawaran sekuritas (IPO dan SEO). Mereka menyimpulkan bahwa kinerja saham rendah untuk perusahaan yang memiliki book to market ratio rendah. Teoh et al. (1998a) meneliti kinerja perusahaan jangka panjang setelah IPO, hasilnya menggambarkan return saham jangka panjang rendah setelah IPO dibandingkan dengan perusahaan yang tidak melakukan IPO. Mereka juga membuktikan bahwa kinerja yang rendah tersebut berhubungan dengan akrual diskresioner di sekitar IPO.

Menurut Teoh et al. (1998b) kinerja saham juga rendah untuk perusahaan yang melakukan SEO. Loughran dan Ritter (1995) bahkan menyatakan kinerja saham yang rendah terjadi sampai lima tahun setelah SEO. Rangan (1998) membuktikan bahwa kinerja saham perusahaan setelah melakukan SEO rendah. Hal ini membuktikan bahwa perusahaan yang melakukan manajemen laba menjelang SEO akan memiliki return sa¬ham lebih rendah dibandingkan perusahaan yang tidak melakukan manajemen laba. Rangan (1998) mencoba memprediksi return saham dengan komponen akrual diskresioner untuk mendapatkan koefisien negatif yang menunjukkan kinerja saham yang rendah tersebut mampu dijelaskan dengan manajemen laba. Hasilnya menunjukkan bahwa koefisien regresi hubungan antara akrual diskresioner dan return saham adalah negatif, sehingga ia menyimpulkan bahwa rendahnya kinerja saham mampu dijelaskan komponen akrual. Ali et al. (2000) menguji apakah komponen akrual mampu menjelaskan return saham perusahaan setahun setelah penerbitan laporan keuangan.

Komponen akrual penelitian tersebut dihitung dengan pendekatan Dechow et al. (1995). Hasilnya menunjukkan komponen akrual berhubungan negatif dengan return saham. Subramanyam (1996) juga menemukan akrual diskresioner berhubungan dengan harga saham.

(3)

Hasilnya menunjukkan bahwa return saham pada perioda satu tahun setelah IPO rendah. Tetapi penelitian ini tidak berhasil menemukan hubungan antara manajemen laba dan return saham. Ardiati (2003) meneliti hubungan manajemen laba terhadap return saham dengan menggunakan kualitas audit sebagai variabel pemoderasi. Sampel penelitian terdiri atas 78 perusahaan pada perioda 1995-2000. Hasilnya menunjukkan bahwa manajemen laba berpengaruh positif terhadap return pada perusahaan yang diaudit KAP Big 5 dan berpengaruh negatif pada perusahaan yang diaudit KAP Non-Big 5. Widiastuty (2004) juga meneliti hubungan manajemen laba terhadap return saham dengan menggunakan leverage dan unexpected earnings sebagai variabel kontrol. Sampel penelitian terdiri atas 72 perusahaan pada perioda 1999-2001. Hasilnya menunjukkan bahwa manajemen laba berhubungan positif terhadap return saham. Raharjono (2005) juga meneliti mengenai hubungan antara manajemen laba dengan return saham perusahaan yang terdaftar di BEJ. Penelitian dilakukan pada 33 perusahaan yang melakukan IPO pada 1995-2001. Hasilnya menunjukkan tidak terdapat hubungan antara manajemen laba perioda satu tahun sebelum IPO dan return saham satu tahun setelah IPO.

Bartov et al. (2000a) menguji hubungan antara kecerdasan investor dengan pola return saham yang diobservasi setelah pengumuman laba kuartalan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kecerdasan investor berhubungan secara negatif dengan pola return abnormal yang diobservasi setelah pengumuman laba kuartalan. Hasil ini menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat kecerdasan investor, maka semakin rendah return abnormal setelah pengumuman laba kuartalan dan sebaliknya.

Bartov et al. (2000a) mendefinisikan investor yang cerdas sebagai investor yang mampu mengumpulkan dan memproses informasi publik, sedangkan investor yang tidak cerdas adalah investor yang hanya menggunakan informasi keuangan pers dan intuisi serta tidak melakukan analisis laporan keuangan dengan baik. Jogiyanto (2005) juga menyatakan bahwa investor yang cerdas mampu menganalisis informasi lebih lanjut untuk menentukan apakah informasi memberikan sinyal yang sahih dan dapat dipercaya, sedangkan investor yang tidak cerdas akan menerima informasi tanpa menganalisis lebih lanjut.

(4)

Pound 1989; atau Yunker dan Krehbiel 1988). Alasan lain adalah karena investor institusi siap melakukan investasi pada sejumlah besar perusahaan (Bartov et al. 2000a).

Bartov et al. (2000a) juga menguji mengenai validitas kepemilikan institusi sebagai proksi kecerdasan investor. Hasilnya menunjukkan bahwa kepemilikan institusi merupakan proksi yang valid untuk kecerdasan investor. Rajgopal S., Mohan V., dan James Jiambalvo (1999) juga menemukan hasil yang sama. Penelitian ini juga menggunakan kepemilikan institusi sebagai proksi kecerdasan investor dan cutoff 40% atau lebih kepemilikan institusi menunjukkan investor cerdas. Sedangkan kepemilikan institusi di bawah 40% menunjukkan investor tidak cerdas (Balsam et al. 2002).

Bartov et al. (2000a), Rajgopal (1999), dan Walther (1997) menyatakan bahwa kecerdasan investor (investor sophistication) merupakan faktor penentu hubungan antara laba dan return. Balsam et al. (2002) menguji reaksi pasar (investor cerdas dan tidak cerdas) terhadap manajemen laba di sekitar pelaporan keuangan kuartalan (10-Q).

Hasilnya menunjukkan bahwa para investor yang cerdas (sophisticated investors) mampu mendeteksi manajemen laba lebih cepat daripada para investor yang tidak cerdas (unsophisticated investors).

Rajgopal et al. (1999) menguji hubungan manajemen laba dengan kecerdasan investor menggunakan data perioda 1989-1995. Hasilnya menunjukkan bahwa manajemen laba berhubungan negatif dengan kecerdasan investor. Hasil ini menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat kecerdasan investor, maka semakin rendah tingkat manajemen laba dan sebaliknya.

2. Secondary Public Offering (SPO)

Tahap secondary market adalah masa pencatatan saham di bursa Efek dan sekaligus saham tersebut di perdagangkan. Pada masa ini para pemilik saham yang telah membeli saham di pasar perdana dapat memperjualbelikan sahamnya dengan mekanisme perdagangan yang berlaku di Bursa Efek. Pemilik saham atau pemodal dapat melakukan jual ataupun beli atas saham yang dimilikinya melalui perusahaan efek yang bergerak sebagai perantara pedagang efek atau pialang saham. Pada secondary market ini menjadi menarik karena saham perusahaan yang dijual oleh emiten tersebut akan diuji apakah saham ini memiliki prospek atau kinerja bagus atau tidak. Suatu saham yang memiliki kinerja baik, maka harga sahamnya akan memiliki kecenderungan naik karena diminati oleh pemodal. Sebaliknya, saham kurang baik, akan memiliki kecenderungan harga menurun.

(5)

Right dapat didefinisikan sebagai efek yang memberikan hak kepada pemegang saham lama untuk membeli saham baru yang akan dikeluarkan oleh emiten pada proporsi dan harga tertentu. Hak dalam right sering disebut sebagai preemptive right, yaitu suatu hak untuk menjaga proporsi kepemilikan saham bagi pemegang saham lama di suatu perusahaan sehubungan dengan pengeluaran saham baru.

Biasanya right muncul ketika emiten melakukan penawaran saham kedua (second issue). Dampak jika pemegang saham tidak menggunakan preemptive right adalah :

a. Dilusi (berkurangnya proporsi kepemilikan pemegang saham yang tidak menggunakan haknya). b. Mengurangi ROI (Return on Investment) dengan bertambahnya saha beredar.

c. Mengecilnya DPS (Dividend Per Share) karena harus dibagikan kepada pemegang saham. Harga saham yang ditentukan dalam right untuk membeli saham baru dengan proporsi sesuai ketentuan, harganya ditentukan sama dengan atau di atas nilai nominal saham tapi nilai nominal saham tetap di bawah harga pasar. Harga penebusan saham baru ini disebut dengan exercise price atau subscription price.

Dalam kaitannya dengan right, ada istilah right issue, yang didefinisikan sebagai kegiatan penawaran umum terbatas kepada pemegang saham lama dalam rangka penerbitan hak memesan efek terlebih dahulu.

Untuk penerbitan hak memesan efek terlebih dahulu dibutuhkan persetujuan dari pemegang saham mayoritas. Right issue ini pun harus mendapatkan persetujuan efektif dari Bapepam.

Rumus untuk menghitung harga teoritis rights:

Pr=PsPe

Pr = harga teoritis right

Ps = harga teoritis saham ex right

Pe = harga saham baru (harga tebus right)

Dengan adanya right issue akan terjadi penambahan saham baru yang akan menyebabkan adanya dilusi kepemilikan saham. Untuk menghitung harga teoritis saham sesudah right issue digunakan rumus berikut:

P

s

=

RR

(P

c

+

PE)

RR+

1

Ps = harga teoritis saham ex right

Pc = harga penutupan saham pada cum-right

RR = rasio rights issue

(6)

Periode perdagangan right tidak selamanya, melainkan hanya sementara saja. Biasanya antara 5 hingga 10 hari bursa. Dengan sifatnya yang berupa hak ada beberapa keistimewaan dan keuntungan yang bisa diperoleh investor dengan right. Investor yang menjadi pemegang saham lama memiliki hak istimewa untuk membeli saham baru pada harga yang telah ditetapkan dengan menukarkan right yang dimilikinya. Hak istimewa tersebut memungkinkan investor untuk memperoleh keuntungan dengan membeli saham baru dengan harga yang lebih murah.

Karakteristik

Di samping memiliki keuntungan, right juga memiliki risiko. Salah satu contoh risiko yang sering terjadi adalah apabila harga saham pada periode pelaksanaan atau yang biasa disebut dengan exercise date lebih rendah. Dalam kondisi ini dengan sendirinya investor tidak akan mengkonversikan right tersebut, sementara itu investor akan mengalami kerugian atas harga beli right.

4. Warrant

Waran adalah hak untuk membeli sebuah saham pada harga yang telah ditetapkan pada waktu yang telah ditetapkan pula. Waran biasanya melekat sebagai daya tarik (swetener) pada penawaran umum saham perdana (IPO) ataupun obligasi. Biasanya harga pelaksanaan lebih rendah dari pada harga pasar saham. Setelah saham ataupun obligasi tersebut tercatat di bursa, waran dapat diperdagangkan secara terpisah. Periode perdagangan waran sekitar 3 - 5 tahun. Waran merupakan suatu pilihan (option), di mana pemilik waran mepunyai pilihan untuk menukarkan atau tidak warannya pada saat jatuh tempo. Pemilik waran dapat menukarkan waran yang dimilikinya 6 bulan setelah waran tersebut diterbitkan oleh emiten. Harga waran itu sendiri berfluktuasi selama periode perdagangan di pasar sekunder.

Untuk menghitung harga suatu waran digunakan rumus berikut :

Pw=PsPe

Pw = harga/nilai fundamental suatu waran

Ps = harga pasar yang berlaku pada saham biasa yang terkait dengan waran.

Pe = exersice price waran untuk penebusan saham.

Karakteristik Waran

Yang menjadi keistimewaan waran ini antara lain :

(7)

b. Karena sifatnya yang bisa diperdagangkan itu waran ini juga memberikan keuntungan berupa capital gain. Karakteristik yang demikian itu sekaligus juga menjadi faktor yang merugikan bagi investor apabila harga waran jatuh dari harga belinya. Begitu pula apabila harga saham pada periode pelaksanaan jatuh dan menjadi lebih rendah dari harga pelaksanaan, maka investor akan mengalami kerugian atas harga beli waran.

Sesuai dengan peraturan Bapepam, jumlah waran yang diterbitkan dan waran yang telah beredar tidak melebihi 15% dari modal disetor pada saat waran diterbitkan.

Proses penebusan waran akan mengakibatkan peningkatan jumlah saham yang diterbitkan, sehingga akan terjadi dilusi persentase kepemilikan saham. Harga teoritis saham setelah redemption waran dapat dihitung sebagai berikut :

P

s

=

S

s

(P

c

+WR

)

PE

S

+WR

Ps = harga teoritis saham yang baru sesudah redemption waran

Ss = jumlah saham sebelum terjadinya redemption waran

Pc = harga penutupan yang tersedia pada saat terjadinya redemption waran

PE = exercise price waran

WR = banyaknya saham biasa yang ditebus dengan waran

KEWAJIBAN JANGKA PANJANG

Terdapat banyak dimensi lain dari kewajiban (utang) jangka panjang, termasuk hal-hal seperti jaminan, karakteristik penebusan kembali (call), dana pelunasan (sinking fund), peringkat, dan perjanjian perlindungan (protective covenant). Karakterisik-karakterisitik tersebut dirinci di dalam perjanjian obligasi (indenture).

Indenture adalah suatu perjanjian tertulis antara perusahaan (peminjam) dengan krediturnya. Kadang-kadang disebut juga sebagai perjanjian dengan wali amanat (deed of trust). Biasanya, suatu pengawas keuangan (trustee) misalnya sebuah bank, ditunjuk oleh perusahaan untuk mewakili para pemegang obligasi. Perusahaan pengawas harus :

a. memastikan ketentuan-ketentuan dalam perjanjian telah dipatuhi. b. Mengelola dana pelunasan.

c. Mewakili pemegang obligasi dalam kegagalan pembayaran yakni jika perusahaan gagal bayar. Indenture obligasi adalah dokumen legal yang biasanya memuat persyaratan-persyaratan berikut :

a. persyaratan dasar obligasi b. jumlah total emisi obligasi

c. uraian tentang harta yang digunakan sebagai jaminan d. kesepakatan pelunasan

(8)

1. Protective Covenants

Protective covenant adalah bagian dari indenture atau perjanjian pinjaman yang membatasi tindakan-tindakan tertentu yang mungkin akan diambil oleh perusahaan selama jangka waktu pinjaman. Protective covenant dibagi menjadi 2 jenis yaitu :

a. Positif covenant

Positif covenant adalah jenis janji “Anda dilarang”. Janji ini membatasi atau melarang tindakan-tindakan yang mungkin diambil oleh perusahaan. Berikut adalah contoh umum di antaranya :

1) Perusahaan harus membatasi jumlah dividen yang dibayarkan menurut suatu rumus tertentu.

2) Perusahaan tidak dapat menjaminkan asetnya kepada pemberi pinjaman lain. 3) Perusahaan tidak dapat bergabung dengan perusahaan lain.

4) Perusahaan tidak dapat menjual atau menyewakan semua asset utama tanpa persetujuan dari pemberi pinjaman.

5) Perusahaan tidak dapat menerbitkan utang jangka panjang tambahan.

b. Negatif covenant

Negatif covenant adalah jenis perjanjian “Anda harus”. Janji ini menyebutkan satu tindakan yang oleh perusahaan disetujui untuk diambil atau suatu persyaratan yang harus dipatuhi oleh perusahaan. Berikut beberapa contohnya :

1) Perusahaan harus menjaga modal kerjanya pada atau di atas suatu tingkat minimum yang telah ditentukan.

2) Perusahaan harus memberikan laporan keuangan yang telah diaudit kepada pemberi pinjaman secara berkala.

3) Perusahaan harus menjaga semua agunan atau jaminan dalam kondisi yang baik.

2. Sinking Fund

Obligasi dapat dilunasi saat jatuh tempo, di mana saat itu pemegang obligasi akan menerima nilai nominal, atau yang dinyatakan dari obligasi. Obligasi juga bisa dilunasi sebagian atau secara keseluruhan sebelum jatuh tempo. Pelunasan sebelum jatuh tempo lebih umum terjadi dan sering kali ditangani melalui dana pelunasan.

(9)

Sinking fund juga didefinisikan sebagai penyisihan sejumlah dana oleh emiten secara teratur untuk melunasi obligasi atau utang jangka panjangnya. Sinking fund didesain untuk melindungi investor dengan memastikan bahwa emiten memperhatikan kepentingan para pemodal.

Boardman dan McEnally (1981) dalam Foster (1986) membuat model penelitian untuk menguji faktor penentu harga dan return obligasi pada tiap kategori rating secara time series. Ia menggunakan salah satu variabel independen yaitu ada tidaknya sinking fund pada penerbitan obligasi. Hasilnya menyatakan bahwa obligasi berkualitas rendah (tidak menyediakan sinking fund) harga dan return-nya kurang homogen dibanding yang berkualitas tinggi. Dalam hal ini bila terdapat sinking fund maka peringkat obligasi akan semakin tinggi. Obligasi yang memberikan penyisihan dana atau memberi ketetapan sinking fund pada saat mengemisi dipandang relatif lebih aman dibanding obligasi tanpa adanya sinking fund.

Terdapat berbagai jenis kesepakatan dana pelunasan di mana rinciannya akan diuraikan di dalam indenture. Contohnya :

a. Beberapa dana pelunasan dimulai sekitar 10 tahun setelah penerbitan awal.

b. Beberapa dana pelunasan akan meminta pembayaran dengan jumlah yang sama sepanjang umur obligasi.

c. Beberapa emisi obligasi berkualitas tinggi memiliki pembayaran kepada dana pelunasan yang tidak mencukupi untuk menebus keseluruhan emisi. Sebagai konsekuensinya, ada kemungkinan terdapat pembayaran yang besar saat jatuh tempo.

3. Call Provision

Ketentuan penarikan (call provision/call feature), merupakan hak perusahaan sebagai penerbit untuk menebus obligasinya sebelum waktu jatuh temponya. Ketentuan penarikan tersebut biasanya menetapkan bahwa penerbit harus membayar kepada investor/pemegang obligasi suatu jumlah yang lebih besar dari pada nilai pari (nominal) obligasi jika obligasi tersebut ditarik. Jumlah tambahan tersebut disebut sebagai premi penarikan/call premium.

Ketentuan penarikan sering kali tidak dioperasikan selama paruh pertama umur suatu obligasi. Hal ini membuat para pemegang obligasi tidak perlu mengkhawatirkan ketentuan penebusan dalam tahun-tahun pertama obligasi. Contohnya, sebuah perusahaan mungkin melarang obligasinya ditebus selama 10 tahun pertama. Ini disebut ketentuan penebusan yang ditangguhkan (deffered call provision). Selama periode pelarangan ini, obligasi tersebut dikatakan diproteksi dari penebusan (call protected).

(10)

kurang lebih nilai obligasi jika obligasi tersebut ditebus. Karena pemegang obligasi tidak mengalami kerugian jika terjadi penebusan maka dikatakan sebagai “made whole” atau “impas”.

4. Bond Refunding

Bond refunding berarti menggantikan seluruh atau sebagian bonds (obligasi) yang diterbitkan.

Jika manajemen memprediksi bahwa tingkat suku bunga di pasar modal (market rate) obligasi sejenis di masa mendatang akan turun, maka perusahaan akan mempertimbangkan untuk membeli kembali obligasi (buy back) yang tingkat bunganya tinggi, dan menerbitkan obligasi dengan tingkat suku bunga yang lebih rendah. Dalam hal ini disebut bahwa obligasi didanai ulang (refunded). Jadi, kapan perusahaan perlu melakukan pendanaan ulang obligasinya tergantung dari ekspektasi tingkat suku bunga di masa mendatang.

Adanya penarikan kembali inilah biasanya yang menyebabkan obligasi yang mengandung ketentuan call provision diterbitkan dengan tingkat bunga yang lebih tinggi dibandingkan dengan obligasi tanpa call provision. Investor lebih memilih obligasi dengan situasi dimana perusahaan tidak membeli kembali obligasinya sebelum jatuh tempo, sebab investor cenderung ingin memiliki obligasi dengan bunga tinggi dibanding obligasi dengan bunga rendah.

Keputusan pendanaan ulang (refunding) menyangkut dua pertanyaan yang berbeda, yaitu: a. Apakah menguntungkan untuk menarik obligasi yang sedang beredar pada periode berjalan

dan menggantinya dengan obligasi baru?

b. Jika bond refunding saat ini menguntungkan, apakah tidak lebih baik/menguntungkan lagi jika pendanaan ulang ditangguhkan dulu untuk sementara?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, pada prinsipnya perusahaan menganalisis sama halnya pada saat mengkaji tentang penganggaran barang modal (capital budgeting). Dengan melakukan bond refunding artinya terdapat arus kas keluar. Biaya atas pendanaan ulang (sama halnya dengan pengeluaran investasi, karena perusahaan mengeluarkan dana untuk membeli kembali obligasi) yang terdiri atas:

a. Premi penarikan (call premium) yang dibayarkan pada pemegang obligasi yang ditarik. b. Biaya penjualan obligasi baru.

c. Bunga (coupon rate) yang harus dibayar ketika kedua obligasi sedang sama-sama beredar (disebut sebagai overlap interest). Ada kalanya obligasi baru dijual lebih dahulu sebelum dilakukan penarikan obligasi lama, ini untuk memastikan ada/tersedia dana untuk membayar pokok pinjaman dari obligasi lama.

(11)

Referensi

Dokumen terkait

Data kependudukan calon peserta didik baru dari wilayah administrasi kota Surakarta, dibuktikan dengan kepemilikan Kartu Keluarga (KK) dari orang tua/

Penelitian Reinenikka dan Ablo (2003) tentang dampak pengeluaran pemerintah pada bidang kesehatan dan pendidikan di negara-negara Afrika menunjukkan bahwa (1) membaiknya kondisi

Indonesia memiliki peluang perkembangan pariwisata masa depan yang cerah. Tidak saja karena terbukanya peluang untuk meraih jumlah wisatawan dunia yang semakin

Dengan melihat adanya permasalahan yang nampak seperti pada tabel 1.1 di atas, dan adanya inkonsistensi hasil penelitian-penelitian terdahulu, maka perlu diteliti lebih

Peningkatan Aktivitas Belajar Matematika Melalui Pendekatan Problem Based Learning Bagi Siswa Kelas 4 SD.. Kemampuan Berpikir Kreatif dan

Tujuan dari penelitian ini adalah merancang dan membangun suatu sistem yang dapat digunakan untuk menentukan nilai kedalaman tanah berdasarkan perlawanan konus

Menurut Schechner dalam Narawati (2003, hlm. 7), ada berbagai fungsi didalam performance, yaitu memberi identitas dan memperkuat suatu komunitas. Berdasarkan hal tersebut, untuk