• Tidak ada hasil yang ditemukan

Energi Terbarukan and Pemberdayaan MasyA (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Energi Terbarukan and Pemberdayaan MasyA (1)"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Pembangunan Kawasan Danau Maninjau Berbasis Lingkungan dan

Pemberdayaan Masyarakat: Sebuah Usulan Perubahan Paradigma

**)

Dr. H. Welya Roza, M.Pd.*)

Abstrak

Pasokan aliran listrik telah membantu rakyat Sumbar melaksanakan berbagai aktifitas berkat keberadaan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Maninjau sejak tahun 1980-an. Petani pun mulai memanfaatkan naiknya permukaan danau dengan memelihara ikan dalam jala apung “Karamba”. Namun demikian, berbagai persoalan bermunculan sebagai dampak negatifnya. Selain listrik itu tidak dinikmati langsung penduduk Maninjau, kematian ikan yang dibudidayakan dalam Karamba Jala Apung (KJA) menyebabkan kerugian triliyuran rupiah, lingkungan danau tercemar, beberapa spesies ikan lokal berkurang/hilang, tingkat Paradigma budidaya dalam KJA perlu diubah menjadi perikanan darat, pendamping sawah-sawah petani di sepanjang tepian danau. Mengawali pencapaian dua tujuan utama itu, perlu dirancang dan dioperasikan, dalam jarak tertentu, kincir air raksasa. Konstruksi kincir air dibuat seperti menara telepon seluler, yakni berbentuk menara. Kincir akan menaikkan air danau dan pada saat turun dari puncak, air memutarkan turbin yang dipasang pada pada bagian tengah menara sehinggga menghasilkan listrik terbarukan (renewable energy). Listrik ini menaikkan air ke menara dan memutar turbin, sekaligus, akan dikonsumsi oleh penduduk selingkaran danau. Selesai memutar turbin, air ditampung pada saluran pertama (primer). Kemudian, air akan didistribusikan ke saluran kedua (sekunder), yaitu saluran menuju tambak perikanan darat dan sawah-sawah baik yang lama maupun yang baru dicetak. Air dari perikanan darat dan sawah dialirkan ke saluran ketiga (tersier) sampai masuk bak-bak penampungan, sebagai wadah tempat pembersihan air untuk, akhirnya, masuk kembali ke danau dalam keadaan bersih. Jika kincir-kincir itu dihiasi lampu warna warni, hal itu akan mendatangkan pesona baru di malam hari yang pasti akan menarik perhatian wisatawan. Demikianlah, paradigma baru yang diusung, pada gilirannya, akan mampu merealisasikan pembangunan berkelanjutan yang juga akan meliputi industri pakan ikan (pencapaian program ketahanan pangan dan protein hewani) dan pupuk kompos, sebagai wadah diklat lokal/regional/nasional/ internasional, sosio-budaya/adat-istiadat, dan penurunan tingkat pengangguran serta kemiskinan. Kawasan Maninjau, akhirnya, berpeluang menjadi tujuan wisata utama bernuansa adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah, syara’ mangato, adat mamakai.

Kata-Kata Kunci: perubahan paradigma, energi terbarukan, pemberdayaan masyarakat

I. Latar Belakang

**)Pernah disajikan pada Semnas Multidisiplin Universitas Budi Luhur Jakarta,

2003

(2)

Penulis menyarankan sebuah perubahan paradigma di Danau maninjau. Gagasan untuk mengubah paradigma yang penulis maksud, terinspirasi oleh keinginan mengulang nostalgia yang pernah penulis alami sampai tamat dari SMA N Maninjau pada tahun 1981. Gagasan tersebut menjadi usulan yang berupa sebuah solusi alternatif terhadap persoalan yang timbul pasca PLTA Maninjau mulai dioperasikan pada tahun 1980-an.

Keindahan pengalaman hidup bersahabat dengan danau selama 6 (enam tahun yang terjadi pada saat penulis bersekolah di SMP N dan SMA N Maninjau tahun 1975-1981. Setiap pagi, siang, dan sore penulis dan kawan-kawan mencebur ke danau, mandi, mencuci, dan mengambil air dengan ember untuk memasak dan mencuci piring. Kebeningan air danau mampu

menopang fungsi danau sebagai wadah pengembangbiakan berbagai jenis biota lokal (pensi,

bada, rinuak, udang, ideh-ideh, barau, bauang), ajang bersampan dan lomba perahu, atau

sekadar untuk dinikmati keindahan biru airnya. Penduduk bebas mengharungi danau, termasuk

menangkap ikan di mana pun dan kapan saja. Kemudian, tujuan utma para turis mengunjungi Danau Maninjau adalah untuk mandi dan berenang sepuasnya. Nostalgia indah seperti itu berangsur berkurang dan hilang sama sekali seiring operasionalisasi PLTA Maninjau berikut pengelolaan pembudidayaan ikan dalam Karamba Jala Apung (KJA).

Pembudidayaan ikan dalam KJA, yang jumlahnya sudah jauh melebihi kapasitas yang dapat ditolerir, ternyata telah menimbulkan berbagai persoalan yang berkepanjangan. Artinya, keberadaan aturan dalam pengelolaan KJA tidak dijalankan sebagaimana mestinya. Disinyalir, pakan ikan (pelet) tidak semuanya dimakan ikan dan hanyut karena arus bawah danau yang kencang; kemudian, pakan itu menumpuk pada area-area tertentu. Penumpukan pakan di dasar danau itu berubah menjadi alga hijau yang meledak sewaktu-waktu. Ledakan fitoplankton menghasilkan amoniak yang menghabiskan oksigen di air sehingga ikan pada mati. Saking banyaknya ikan mati, petani tidak mampu membersihkannya yang berakibat bau busuk lagi menyengat meliputi lingkungan sekitar masyarakat di tepian danau. Pengusaha merugi dan, pada gilirannya, petani nelayan lokal tetap saja miskin, jauh dari kondisi menikmati hidup yang sejahtera. Yang lebih miris lagi adalah bahwa pengusaha KJA bukan orang asli Maninjau, tetapi para pengusaha luar Sumbar, termasuk kalangan akademisi yang notabene seharusnya berada pada garis terdepan untuk mengatasi pencemaran lingkungan.

II. Potensi Geografis Kawasan Danau Maninjau

Sejatinya, kawasan Danau Maninjau adalah sebagai salah satu potensi sumberdaya alam (SDA) anugerah Tuhan yang harus disyukuri dan diolah; ketika diolah serampangan maka itu sudak dikategorikan kufur nikmat. Pada setiap level pendidikan juga diajarkan kepada kita bahwa semua SDA haruslah diolah dan dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan penduduk (jelas-jelas diamanatkan dalam UUD 1945). Tambahan lagi dari sisi agama Islam, diajarkan bahwa kebaikan diwajibkan untuk orang yang paling dekat/penduduk lokal terlebih dahulu agar kita terhindar dari perbuatan yang menyebabkan masuk neraka. Worosuprodjo (Prosiding Seminar Nasional IGI 2007) mengingatkan bahwa masyarakat yang adil dan makmur dengan tingkat kesejahteraan tertentu harus dipertahankan dari waktu ke waktu. Caranya yang paling ideal adalah dengan mengoptimalkan perencanaan, pemanfaatan, penataan dan penertiban, pemantauan dan pengawasan, pengaturan, pengendalian dan pelestarian. Berbagai persoalan yang timbul dalam kenyataannya, namun demikian, telah membuat semua pihak kalang kabut mencari solusinya.

(3)

(memakai dana masyarakat), wajib membayarkan pajak air permukaan seperti diatur dalam PP nomor 65/2001 tentang Pajak Daerah, dalam Lembaran Negara RI 2001 nomor 118. Pada Bab V, Pasal 33, ayat 2 dibunyikan bahwa objek pajak air permukaan adalah pengambilan, pemanfaatan, pengambilan dan pemanfaatan air permukaan. Pasal 36 menyebutkan nilainya, yaitu sebesar 10% dari total keseluruhan pajak yang harus dibayar diserahkan oleh Pemda ke masyarakat setempat tiap tahunnya. Bab XVI, pasal 78 mengatur bahwa masyarakat akan menentukan peruntukan dana itu dan membelanjakan sendiri. Ternyata, belum pernah ada penjelasan kepada masayarakat Maninjau tentang realisasi aturan ini.

Sejalan dengan itu, sejalan operasionalisasi PLTA juga harus dilaksanakan pembayaran kompensasi per tahun untuk masyarakat lokal dari perusahaan/kelompok pengguna jasa listrik itu di kawasan Sumbar, Riau, dan Jambi. Hanya saja, tidak begitu transparan sampai saat ini, realisasi dari kedua pemasukan itu; masyarakat selingkaran Danau Maninjau merasa belum pernah menerima dan menikmatinya.

Selanjutnya, pengoperasian PLTA, idealnya, harus berdampak pada pembangunan aspek lain yang berkelanjutan (pariwisata, pendidikan/ pelatihan, industri, kerjasama, dan pelestarian lingkungan). Dampak demikian, tampaknya, masih sulit digapai; ‘panggang yang jauh dari api’.

III. Persoalan Pasca PLTA Dioperasikan

Listrik yang dihasilkan oleh PLTA Maninjau, ternyata, tidak dinikmati secara langsung oleh masyarakat selingkaran danau. Pasokan listrik dialokasikan untuk perusahaan-perusahaan besar di Sumbar, Riau, dan Jambi. Sementara listrik dari PLTA Ombilin yang mengaliri rumah-rumah penduduk Maninjau sampai saat ini masih dirasakan sangat mahal. Dalam pembicaraan terkait, jejaring Mikrohidro Indonesia telah memprakarsai sejak pertemuan ke 1 di Yogyakarta tahun 2008 bagi pencarian energi alternatif, di antaranya dengan memanfaatkan kincir air di sungai, waduk, dan danau. Energi yang dihasilkan kincir air itu memiliki sejumlah keuntungan, misalnya bebas emisi, berusia sampai 30 tahun lebih, tidak bising, mudah perawatan, dan tidak membutuhkan bahan bakar. Pengejawantahan energi melalui kincir air merupakan tantangan yang diungkapkan di dalam tulisan ini untuk ditindaklanjuti.

Kemudian, persoalan kedua berasal dari pengelolaan KJA sejalan dioperasikannya PLTA Maninjau. Mayoritas pengelolaan budidaya ikan di dalam KJA dilakukan penduduk pendatang,

bukan oleh penduduk asli. Mereka yang disebutkan terakhir hanya sebagai pekerja (‘kudo

palajang bukik’). Aktifitas para tengkulak hidup subur yang siap mencekik nelayan/petani kecil. Bibit ikan, pakan ikan, obat-obatan, pemanenan dan pemasaran ikan dikendalikan oleh kelompok tertentu, bukan oleh kelompok petani nelayan tentunya. Hal itu berimplikasi masih sulitnya pencapaian tingkat kesejahteraan masyarakat di tengah potensi SDA yang berlimpah, yang tidak mampu dimanfaatkan secara optimal.

Kapasitas danau tidak mampu menampung jumlah KJA yang dikelola. Aturan resmi yang diberlakukan Pemda terhadap pengelolaan KJA di Danau Maninjau tidak begitu jelas, dan tentu saja tidak tegas. Angka terakhir yang diinformasikan adalah bahwa sudah ada 16—27 ribu KJA dari yang seharusnya hanya 6 ribu saja di Danau Maninjau. Dalam menginformasikan kondisi yang serupa, Husen 2003 dalam Lukman (2006) mengutip aturan dari Pemda yang menetapkan hanya sebanyak 12 ribu petak KJA diizinkan dikelola di Waduk Cirata atau 1% dari luasan total kawasan. Akan tetapi, Dinas Perikanan Cianjur mencatat telah ada sebanyak 27.492 petak KJA di Waduk Cirata itu atau 3 X lipat dari ketentuan Pemda.

(4)

bahwa pasokan oksigen dalam pengelolaan KJA adalah untuk respirasi biota, pembusukan feses ikan, dan pembusukan sisa pakan ikan. Beliau melanjutkan bahwa untuk setiap gram organik

(limbah budidaya ikan) diperlukan 1,42 gram oksigen. Sementara itu, menurut Fakhruddin et.al

dalam Lukman (2006), luas Danau Maninjau adalah 9.737 ha dan memiliki waktu simpan air 25

tahun.

Masih belum pernah diperhitungkan jumlah pasti pakan ikan yang tersisa, yang tidak sempat dimakan ikan sehingga menumpuk di dasar Danau Maninjau. Tumpukan ini lama kelamaan membentuk fitoplankton. Walaupun masih berupa dugaan yang perlu diteliti lebih jauh, tetapi pengelola KJA itu menurut pengamatan penulis ada yang sangat paham tentang dampak-dampak yang disebutkan di atas. Sepertinya, oknum ini menutup mata dan telinganya sehingga kematian ikan di Danau Maninjau masih belum dapat diatasi sampai kini.

Fitoplankton kelompok cyanophyceae (alga hijau biru) bila melimpah akan meledak

(blooming) dan berbau anyir, jika tumbuhan ini mati akan menibulkan kotoran di pantai/danau dan menimbulkan bau busuk serta kondisi anoksik (merusak estetika pariwisata) (Lukman, 2006). Di Danau Maninjau, air danau telah tercemar oleh ledakan banyak fitoplankton. Warna air berubah menjadi hijau dan beraroma amis/busuk. Sebagian masyarakat bahkan mengeluhkan ketidaknyamanan dan rasa gatal-gatal setelah bersentuhan dengan air danau tersebut. Diperkirakan, penyebab kematian ikan di Danau Maninjau lebih kompleks dibanding yang terjadi di Waduk Ciurata, Saguling dan tempat lainnya. Sebagai danau vulkanik (bekas letusan gunung berapi), danau Maninjau akan selalu mengeluarkan belerang setiap tahunnya. Campuran belerang dan gas amoniak dari plankton (sisa makanan yang tidak habis) menjadi salah satu ciri penyebab kematian ikan Danau Maninjau.

(5)
(6)

minimnya lapangan kerja yang mengharuskan penduduk pergi merantau. Otomatis, keadaan ini akan menyebabkan pembangunan di kampung akan makin tidak berkembang.

Termasuk dalam cakupan penelitian untuk para pakar multidisiplin adalah tentang status pajak air permukaan dan kompensasi perusahaan yang tidak dinikmati masyarakat selingkaran Danau Maninjau selama lebih 30 tahun lalu dan tata cara pemungutan keduanya ke depan. Pemungutan pajak air permukaan itu ke depan diharapkan menjadi salah sumber dana pembangunan kincir air dan pembangunan industri hulunya kelak.

IV. Solusi Alternatif

Persoalan-persoalan yang dijelaskan di atas dicoba diatasi melalui pembangunan kincir air yang berukuran menengah/raksasa di tepi Danau Maninjau. Para pakar multidisiplin sangat berkepentingan untuk mewujudkan usulan pembangunan kincir air di dalam tulisan ini. Para peneliti memerlukan, misalnya, data yang diperlukan untuk memutuskan bahwa pengubahan paradigma pembudidayaan ikan dalam KJA menjadi pengelolaan perikanan darat mendatangkan keuntungan luas dan memiliki resiko yang kecil.

Segera setelah keuntungan dan resiko seperti itu dipastikan diperoleh, para peneliti membutuhkan data kepemilikan tanah di sepanjang pantai Danau Maninjau. Kepemilikan tanah perlu dinegosiasikan bagi pembangunan tambak perikanan darat ‘tabek’ atau sawah yang akan dicetak, termasuk penentuan jumlah tambak dan sawah yang akan dihasilkan serta pola kepemilikan dan pengelolaan selanjutnya.

Tentang jumlah dan konstruksi kincir air, jarak antar kincir, serta ketahanan/kapasitas/ pemeliharaannya menjadi kajian penting berikutnya agar kincir air itu berdayaguna tinggi untuk dioperasikan dalam rangka pemecahan persoalan-persoalan yang sudah lama muncul di danau Maninjau. Sebagai gambaran awal, berikut dikutipkan rancangan kincir air yang sudah dirancang para pakar walaupun rancangan dan kapasitasnya akan sangat berbeda dengan yang akan direalisasikan di Danau Maninjau.

Sampel kincir yang pertama berikut adalah hasil karya Ir. Ismun Uti Adan, Pembantu Rektor I Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta, yang telah mempatenkan teknologinya di kantor Departemen Hukum dan HAM. Bersama beberapa dosen Fakultas Teknik Sipil UGM, beliau membuat kincir ukuran besar diameter 5 meter dan lebar 4 meter. Sedangkan sampel kedua berasal dari karya Paijo.

(7)

Gambar 2: Kincir Air Paijo

Sampel kincir yang pertama sudah diujicobakan di Sungai Kapus, sedangkan yang kedua belum. Sementara kincir raksasa yang direncanakan ada di sepanjang pesisir Danau Maninjau perlu dikaji dan dibuat rancangannya oleh tim ahli khusus.

Seperti yang telah disinggung di atas, tata kerja dan manfaat kincir air yang dirancang untuk dioperasikan di Danau Maninjau menurut penulis adalah sebagai berikut:

1) Kincir air akan bekerja menaikkan air dari danau dalam debit yang diperbolehkan secara ilmiah.

2) Air yang sudah dinaikkan kincir akan memutar turbin listrik dan menjadi listrik gratis untuk masyarakat selingkaran danau.

3) Setelah itu, air yang turun masuk ke dalam saluran atau bak penampungan pertama (primer).

3) Dari bak penampungan pertama, air akan dialirkan melalui saluran kedua (sekunder), yang

(8)

4) Air dalam tambak perikanan darat dan sawah akan mengalir memasuki saluran atau bak

penampungan ketiga (tersier) untuk mengalami proses penyaringan sehingga air kembali

bersih.

5) Air yang sudah bersih itu akan dimasukkan kembali ke dalam danau untuk mengalami siklus seperti dari poin satu kembali.

6) Selain sebagai alat untuk menaikkan air dari danau, kincir air juga akan difungsikan sebagai sumber energi mikrohidro, yaitu memanfaatkan debit air yang sudah dinaikkan untuk memutar turbin yang dipasang di ujung saluran primer sehingga menghasikan listrik. Listrik ini juga berguna untuk memutar kincir sendiri dan untuk menerangi tambak, sawah, dan perumahan rakyat di sekitar perikanan darat.

7) Keberadaan sejumlah kincir yang kerjanya akan berlangsung secara terus selama 24 jam di sepanjang pantai Danau Maninjau akan merupakan pemandangan tersendiri. Apalagi, kincir tersebut akan dilengkapi dengan lampu warna warni agar tampak mempesona di malam hari. Hal ini diyakini akan menjadi daya tarik untuk wisatawan domestik dan mancanegara.

8) Eksistensi kincir air dengan beberapa fungsi dan manfaat yang dijelaskan di atas diharapkan juga berdampak pada pembangunan berkelanjutan pada aspek kehidupan lain di selingkaran Danau Maninjau.

V. Penutup

Tulisan ini mengangkat topik energi yang terbarukan melalui kincir, energi alternatif selain yang berasal dari PLTA. Selain penghasil energi alternatif, kebutuhan keberadaan kincir air di sepanjang pantai Danau Maninjau adalah pengejawantahan pembangunan berwawasan lingkungan dan sosio-budaya. Artinya, PLTA tetap dioperasikan seperti biasanya, sedangkan listrik/energi terbarukan melalui kincir air akan menopang keberadaan PLTA tersebut.

Untuk mengingatkan kita semua, berikut kami kutipkan pernyataan-pernyataan dalam Woropasodjo (2007). Visi Indonesia, sebagai Negara tropis haruslah meliputi: agro produksi, agro industri, agro bisnis, agro teknologi, agro sosio-kultural, dan turisme. Dan pembangunan berkelanjutan dapat dicapai jika dipenuhi keberlanjutan bidang ekologi, ekonomi, manajemen lingkungan dan sumberdaya, teknologi dan sosio-kultural (kebutuhan generasi sekarang dan aspirasi generasi mendatang). Beliau juga menengarai urutan pembangunan wilayah: pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, pariwisata, pertambangan, jasa dan industri, serta perdagangan. Menurut beliau, perlu diwujudkan Indonesia sebagai negara pelestari lingkungan.

Kepustakaan

http//.academia.edu, pengelolaan sungai dan rawa/

http://organisasi.org/definisi-pengertian-danau-macam-jenis-fungsi-danau-di-indonesia-belajar-geografi

http://sumutpos.co/2014/06/80828/hotel-dan-pasar-penyebab-utama-pencemaran-danau-toba

Lembaran Negara RI 2001 nomor 118

Lukman. (1996, manuscript 2016). Ada galau di Maninjau.

Syandri, H. 2003. Keramba Jaring Apung dan Permasalahannya di Danau Maninjau, Sumatera

Barat. Jurnal Perikanan dan Kelautan, 8 (2): pp. 74 – 81.

Gambar

Gambar 2: Kincir Air Paijo

Referensi

Dokumen terkait

(1) Setiap pribadi atau badan usaha yang penggunaan air bakunya tidak terjangkau oleh jaringan PDAM, dapat menggunakan air tanah melalui sumur bor.. (2) Penggunaan

Untuk mengetahui pengaruh kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual terhadap kinerja karyawan pada Rumah Sakit Islam (RSI) Malang

Secara garis besar ada dua kelompok yang layak dan berhak menjadi ahli waris, pertama yaitu kelompok orang-orang yang sudah ditentukan dalam Hukum dan Undang-undang yang

Dari beberapa ketentuan terkait dengan mekanisme dalam pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY, maka terlihat bahwa mekanisme pengisian jabatan Gubernur

Pada ayam dari kelompok I (perlakuan dengan protein hewan yang tinggi) yang mati akibat enteritis nekrotika, terlihat juga adanya coccidia pada ususnya dan juga diisolasi

Harapan saya dengan keluarnya keputusan Makamah Konstitusi ini mohon kiranya Pemerintah Dalam Negeri bersama-sama Perguruan Tinggi di daerah pro aktif untuk

mahasiswa belajar mandiri di rumah dengan melihat video tutorial dan lain-lain berkaitan materi tutorial, sebelum ditutonkan pada pertemuan perkuliahan online. Dalam

kas, komponen arus kas, dan laba akuntansi berpenggaruh signifikan terhadap harga sahm 2 Lestari, Dessiana Wahyu (2011) Pengaruh Informasi Arus Kas dan Laba Akuntansi