Pemikiran Filsafat
(Kajian atas Karya Abdullah Saeed)1 Oleh: Hanifah Ganda Utami
A. Latar Belakang
Pembahasan ini bertema “Kajian atas Karya Abdullah Saeed tentang Pemikiran Filsafat”. Tentu hal ini sangat menarik untuk dibahas dengan seksama guna menambah wawasan dan pengetahuan tentang berbagai filsafat yang ada di dunia. Filsafat merupakan bagian dari hasil kerja berpikir dalam mencari hakikat segala sesuatu secara sistematis, radikal, dan universal. Sedangkan filsafat Islam adalah hasil pemikiran filosof tentang ketuhanan, kenabian, manusia, dan alam yang bersumber dari ajaran Islam dalam suatu aturan pemikiran yang logis dan sistematis serta dasar maupun pokok-pokok pemikiran yang dikemukakan oleh para filosof.
Abdullah Saeed adalah seorang professor Studi Arab dan Islam di Universitas Melbourne, Australia. Sekarang beliau menjabat sebagai Direktur Pusat Studi Islam Kontemporer di Universitas tersebut. Saeed lahir di Maldives, keturunan suku bangsa Arab Oman yang bermukim di pulau Maldives. Beliau dikenal sebagai dosen yang ulet. Di Australia beliau mengajar Studi Arab dan lslam pada program strata satu dan progam pasca internasional.
“Islamic Thought: An Introduction” merupakan buah karya Abdullah Saeed yang berisi tentang produk pemikiran muslim, pengembangan, dan transmisi pengetahuan agama serta gerakan yang telah memberi kontribusi pada produk pemikiran tersebut. Tema-tema dalam budaya keislaman dieksplorasi, termasuk pengembangan tradisi intelektual Islam, teks dasar Al-Qur’an dan Hadits, pemikiran hukum, teologis maupun mistis, pemikiran filosofis, politik, serta berbagai pembaharuan serta reformasi dalam menghadapi perubahan dalam hukum Islam dan pengaruh dari Barat serta perkembangan kesetaraan gender, HAM dan globalisasi sebagai reaksi terhadap kondisi sosial dan politik kontemporer. Buku “Islamic Thought: An Introduction” sebagai pengantar pemikiran filsafat Islam yang berhubungan dengan berbagai bidang pemikiran Islam dari teks dasar hukum, teologi, filsafat, politik, seni, dan tren utama pemikiran Islam pada masa klasik hingga modern.
B. Persoalan (Kegelisahan Akademik)
Abdullah Saeed adalah cendekiawan berlatar belakang pendidikan bahasa dan sastra Arab serta studi Timur Tengah. Beliau memiliki kombinasi pengalaman pendidikan, yaitu pendidikan Arab (Saudi Arabia) dan Barat (Australia). Saeed mempunyai karya tulis baik berupa buku, makalah ataupun tulisan dalam berbagai bidang. Tema besar yang beliau tulis adalah tentang Islam dan Barat. Hal ini menjadikannya seorang intelektual yang kompeten untuk membaca dengan objektif dua dunia sekaligus yaitu: Barat dan Timur.
C. Pentingnya Topik Penelitian
Berbagai penelitian yang telah dilakukan oleh Abdullah Saeed mempunyai arti penting untuk mengetahui perkembangan berbagai pemikiran filsafat dalam Islam pada masa klasik hingga modern yang berhubungan dengan pendapat dari beberapa tokoh maupun pemikiran Barat dan Timur.
D. Hasil Penelitian Terdahulu
Abdullah Saeed telah menelaah karya-karya sebelumnya, khususnya terkait dengan persoalan kajian terhadap penafsiran Al-Quran dari segi metodologinya telah banyak dilakukan untuk kembali menggali pemahaman serta kemungkinan makna-makna yang terkandung di dalamnya. Usaha-usaha untuk memahami segi kebenaran Al-Quran dalam sejarahnya telah sejak lama mengalami proses perdebatan intelektual yang cukup serius, walaupun dapat diambil pemahaman bahwa perdebatan tersebut muncul hanya sampai pada sisi metodologis dan hasil pemahamannya, bukan pada meragukan kebenaran Al-Quran.
menangkap jarak antara Al-Quran dengan realitas dan menolak pendekatan tradisional dalam menafsirkannya pada kehidupan sehari-hari, yang kemudian reduksi Al-Quran menjadi sebuah kitab hukum.
Namun demikian, Saeed lebih terpengaruh kepada Fazlur Rahman. Dalam beberapa tulisannya, Saeed menegaskan bahwa pada dasarnya proyek tafsir yang digagasnya banyak dipengaruhi oleh Fazlur Rahman. Bahkan Saeed menyatakan bahwa Rahman telah menggagas inti dari metode tafsir yang ditawarkannya. Saeed mengakui konstribusi Rahman dalam memberikan metodologi alternatif dalam menafsirkan ayat-ayat ethico-legal yaitu menghubungkan teks dengan konteks baik ketika pewahyuan maupun muslim masa kini. Keterpengaruhan Saeed oleh Rahman sangat melekat dalam kerangka pemikirannya. Oleh karena itu, disamping sebagai seorang penganut Rahman, Saeed juga dianggap meneruskan dan menyempurnakan metodologi tafsir Rahman. Interpretasi kontekstual merupakan upaya lanjutan dari metodologi tafsir tersebut. Seperti kita ketahui, kegelisahan Rahman sangat bersinggungan dengan kegamangan umat Islam dalam menghadapi modernitas.
Fazlur Rahman meyakini bahwa Al-Qur’an pasti mampu menjawab masalah-masalah kontemporer jika Al-Qur’an dibaca dengan pendekatan kontekstual. Menurutnya, jika Al-Qur’an dipahami secara komperehensif holistik dan kontekstual maka ia akan mampu menjadi solusi alternatif dalam menjawab problem modernitas. Baginya, Al-Qur’an merupakan kitab suci yang sudah final kebenarannya sehingga otentisitas al-Qur’an tidak perlu dipertanyakan lagi.
Latar belakang dari proyek metodologi tafsir Abdullah Saeed adalah maraknya model penafsiran tekstual oleh para tekstualis yang menafsirkan al-Qur’an secara kesusastraan. Saeed menganggap penafsiran yang demikian telah mengabaikan konteks baik pewahyuan maupun penafsiran. Saeed membangun sebuah model tafsir yang peka konteks, dan ini lebih baik ketika dia membangun landasan teoritis maupun ketika masuk kepada prinsip-prinsip epistemologisnya.
1.
Tektualis: kelompok yang meyakini bahwa makna al Qur’an itu sudah fixed dan harus diaplikasikan secara universal. Contohnya: salafi.2.
Semi tektualis: kelompok yang berusaha membela makna literal al Qur’an dengan cara menggunakan idiom-idiom modern serta memakai argumentasi yang rasional. Contohnya: al-ikhwan al-Muslimin di Mesir dan jama’ah Islami di India.3.
Kontektualis: kelompok yang memposisikan diri berada dalam golongan yang mendorong pada pemahaman al-Qur’an dengan tidak mengesampingkan konteks politik, sosial, kesejarahan, budaya serta ekonomi, di mana al Qur’an diturunkan, dipahami serta diaplikasikan. Tipologi seperti ini merupakan tipologi yang juga diikuti oleh Fazlur Rahman, Nasr Hamid Abu Zayd dan tentunya oleh Abdullah Saeed sendiri.E. Metodologi Penelitian
Dalam penelitian ini, Abdullah Saeed membahas tentang pemikiran filsafat Islam dengan menggunakan pendekatan sistematik (systematic approach). Akan tetapi, Abdullah Saeed menyadari bahwa pendekatan sistematik mempunyai kelemahan, yaitu tidak historis sepanjang melalaikan pengembangan yang sementara dari tiap satuan gagasan. Dengan bantuan kajian historis, kelemahan tersebut dapat ditutupi. Menurut Abdullah Saeed, banyak pemikiran dari Barat maupun Timur yang harus dianalisa secara hati-hati sebelum kita membuat pernyataan tentang perbaikan yang logis.
Abdullah Saeed menjelaskan perkembangan berbagai pemikiran filsafat pada masa klasik hingga modern yang berhubungan dengan pendapat dari beberapa tokoh pemikiran Barat dan Timur.
Filsafat Yunani dan Romawi yang digagas oleh Socrates yang merupakan filsuf dari Athena dan merupakan salah satu figur paling penting dalam tradisi filosofis Barat. Socrates lahir di Athena dan merupakan generasi pertama dari tiga ahli filsafat besar dari Yunani, yaitu Socrates, Plato dan Aristoteles. Socrates yang mengajar Plato, kemudian Plato pada gilirannya mengajar Aristoteles.
pengujian untuk membuktikan benar atau salahnya. Oleh karena itu, dalam melaksanakan metode dialektik-kritis ini, Socrates selalu meminta penjelasan tentang suatu pengertian dari orang yang dianggapnya ahli dalam bidang tersebut.
Paham yang digunakan Socrates merupakan kelanjutan dari metode yang ia temukan (definisi dan induksi). Dia mencurahkan perhatiannya pada cabang filsafat yang disebut “Etika”. Dalam apologia, Socrates menerangkan kepada hakim-hakimnya, bahwa ia menganggap sebagai tugasnya mengingatkan para warga negara Athena supaya mereka mengutamakan jiwa, bukan kesehatan, kekayaan, kehormatan atau hal-hal sedemikian yang tidak sebanding dengan jiwa. Menurut Socrates, tujuan tertinggi kehidupan manusia ialah membuat jiwanya menjadi sebaik mungkin. Bangsa Romawi menyadari bahwa filsuf Yunani seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles telah banyak berkontribusi untuk filsafat. Beberapa orang Romawi menjadi tertarik sehingga pada sekitar 50 SM, orang Romawi mulai menulis filsafat mereka sendiri, meskipun sebagian besar merupakan terjemahan dari bahasa Yunani ke bahasa Latin.
Pada masa-masa akhir Kekaisaran Romawi, banyak pria dan wanita yang mulai berpikir tentang dunia dalam sudut pandang Nasrani. Santo Augustinus dan Santo Ambrosius mempelajari filsafat dari masa sebelumnya dan berusaha menciptakan filsafat Nasrani yang dapat mencakup gagasan Nasrani maupun filsafat Yunani dan Romawi. Setelah Kekaisaran Romawi runtuh, orang-orang tetap berpikir mengenai gagasan tersebut, bahkan ada beberapa perempuan juga. Kebudayaan Romawi merupakan salah satu dasar bagi pembentukan Peradaban Barat Modern sekarang ini meliputi hasil-hasil kebudayaannya dalam berbagai hal, seperti sistem pemerintahan, sistem kepercayaan, ilmu pengetahuan, bahasa dan seni sastra, hukum, serta arsitektur.
Sebelum kedatangan Islam, pertukaran gagasan antara Persia dan India berlangsung secara langsung maupun tidak langsung. Hal ini terjadi karena adanya
koneksi antara suatu komunitas lokal dengan komunitas lainnya yang mempunyai pengaruh cukup besar untuk menciptakan kombinasi antar komunitas itu sendiri. Proses pertukaran gagasan tersebut terwujud dalam persoalan doktrin yang melibatkan banyak modifikasi bahkan transformasi antar komunitas. Oleh karena itu, Persia maupun India harus ikut terbawa dalam pengaruh Hellenistik yang memberikan kesan kemiripan atau kesamaan antara keduanya (India dan Persia).
ditransformasikan ke dalam perlakuan-perlakuan masyarakat lokal. Ada juga gagasan-gagasan Yunani yang diterima secara langsung oleh kedua komunitas tersebut (India dan Persia) dengan terjemahan teks-teks Yunani asli. Oleh karena itu, hal tersebut menimbulkan jalinan kompleks intelektual yang disebut dengan etos India dan Persia pra-Islam yang kelak diwarisi oleh Islam. Akan tetapi, yang perlu diperhatikan bahwa dalam fase formatif tradisi filsafat dan keilmuan Islam, gagasan-gagasan mengalir ke dalam dari berbagai sumber yang kemudian menjadikan situasi kompleks lebih lanjut dalam fase-fase perkembangan Islam sendiri. Kawasan Timur Tengah seperti: Mesir, Suriah, dan Irak menjadi taman peradaban bangsa Yunani.
Perhatian umat muslim yang besar terhadap warisan-warisan Yunani membuat kebudayaan Persia dan India kurang mendapatkan perhatian. Akan tetapi, ada beberapa sumber rujukan yang utama mengenai kepercayaan religius dan filosofis orang-orang India salah satunya berasal dari tulisan al Biruni yang menguraikan tentang kepercayaan fundamental orang-orang Hindu. Sedangkan untuk warisan bangsa Persia salah satunya adalah pengetahuan tentang sastra dan ajaran-ajaran moral, misalnya buku “Kalillah wa Dimmah” yang diterjemahkan oleh Ibnu Muqaffa dari bahasa Sanskerta dikumpulkan oleh Miskawaih yang berisi tentang wejangan moral dari empat bangsa yaitu Persia, India, Arab, dan Yunani.
Dari uraian tersebut kita dapat mengetahui bahwa antara Persia dan India memiliki kesamaan yaitu adanya pengaruh Hellenistik yang cukup besar bagi gagasan-gagasan mereka yang berpadu secara tidak langsung maupun langsung ke dalam perilaku-perilaku lokal bagi komunitas yang menerima pengaruh tersebut khususnya.
ajaran-ajaran Manichaenisme. Sedangkan kesamaan antar keduanya adalah sama-sama terpengaruh oleh warisan-warisan Yunani atau Hellenisasi.
Perbedaan lainnya adalah bahwa Persia lebih banyak membicarakan persoalan tentang sastra dan moral sedangkan India cenderung membahas permasalahan-permasalahan kepercayaan religius. Perjalanan waktulah yang membuat semua keadaan Persia menjadi berubah, sehingga muncul dan terbentuklah “Mazhab Isfahan” pada abad ke 10 H/16 M, terutama ajaran-ajaran dari anggota yang paling terkenal yaitu Shadr Al-Din Syirazi yang dikenal dengan sebutan Mulla Shadra, dari sinilah sebuah titik balik filsafat Islam di Persia.
Sedangkan transmisi Filsafat Islam ke wilayah India ada beberapa kesimpulan penting. Pertama, filsafat Islam berkembang di India secara bertahap yang diperkenalkan oleh para da’i Isma’illiyah. Kedua, ilmu-ilmu intelektual ditransmisikan ke India dari Persia terutama wilayah Khurasan, Asia Tengah, dan Irak. Peran terpenting dalam transmisi awal pemikiran filosofis dan metafisis dimainkan oleh para sufi. Ketiga, pada periode Moghul muncul madzhab filsafat sistematik yang asli bahwa sebagian besar pendukungnya adalah orang asli India. Mereka yaitu Mir Fath Allah Syirazi, Syaikh Ahmad Sirhindi, Mulla ‘Abd Al-Hakim Aiyalkoti, Mirza Muhammad Zahid Harawi, dan Sah Waliullah. Akan tetapi, unsur apapun yang diterima Islam dari Persia dan India telah ditransformasikan dan diasimilasikan ke dalam sebuah kerangka yang bersifat Islami.
Berbagai sistem dan gagasan yang diambil-alih kemudian difungsikan dalam kerangka yang baru sebagai unsur-unsur yang integral dari sebuah sintesis intelektual yang unik, sebuah sintesis yang mengandung pemikiran asli Islam. Dalam perkembangannya filsafat Islam mengkristal menjadi sebuah tradisi yang telah sepenuhnya berkembang dan independen.
terhadap filsafat dan ilmu lainnya telah menempatkan ia menjadi orang Islam pertama yang berkebangsaan Arab dalam jajaran filosof terkemuka sehingga dia dinilai pantas menyandang gelar Faiasuf al-‘Arab ( filosof berkebangsaan Arab).
Al-Kindi berusaha memadukan (talfiq) antara agama dan filsafat. Menurutnya filsafat adalah pengetahuan yang benar (knowledge of truth). Al-Qur’an yang membawa argumen-argumen yang lebih meyakinkan dan benar tidak mungkin bertentangan dengan kebenaran yang dihasilkan oleh filsafat. Oleh karena itu, mempelajari filsafat dan berfilsafat tidak dilarang bahkan teologi bagian dari filsafat, sedangkan umat Islam diwajibkan mempelajari teologi. Bertemunya agama dan filsafat dalam kebenaran dan kebaikan sekaligus menjadi tujuan dari keduanya. Agama disamping wahyu mempergunakan akal dan filsafat juga mempergunakan akal. Yang benar pertama bagi Al-Kindi ialah Tuhan. Filsafat dengan demikian membahas tentang Tuhan dan agama dasarnya, filsafat yang paling tinggi ialah filsafat tentang Tuhan.
Dengan demikian, orang yang menolak filsafat maka orang itu menurut Al-Kindi telah mengingkari kebenaran yang menganggap dirinya paling benar. Disamping itu, karena pengetahuan tentang kebenaran termasuk pengetahuan tentang Tuhan, ke-Esaan-Nya, apa yang baik dan berguna, dan juga sebagai alat untuk berpegang teguh kepadanya dan untuk menghindari hal-hal sebaliknya. Pengingkaran terhadap hasil-hasil filsafat karena adanya hal-hal yang bertentangan dengan apa yang menurut mereka telah mutlak digariskan Al-Qur’an. Hal tersebut tidak dapat dijadikan alasan untuk menolak filsafat karena hal itu dapat dilakukan ta’wil.
Menurut Al-Kindi, filsafat harus memperdalam pengetahuan manusia tentang diri dan bahwa sorang filosof wajib menempuh hidup susila. Kebijaksanaan tidak dicari untuk diri sendiri (Aristoteles), melainkan untuk hidup bahagia. Al-Kindi mengecam para ulama yang memperdagangkan agama untuk memperkaya diri dan para filosof yang memperlihatkan jiwa kebinatangan untuk mempertahankan kedudukannya dalam negara. Ia merasa korban kelaliman negara seperti Socrates. Dalam kesesakkan jiwa filsafat menghiburnya dan mengarahkannya untuk melatih kekangan, keberanian, dan hikmah dalam keseimbangan sebagai keutamaan pribadi, tetapi keadilan untuk meningkatkan tata negara. Sebagai filsuf, Al-Kindi prihatin jika syari’at kurang menjamin perkembangan kepribadian secara wajar karena dalam akhlak atau moral dia mengutamakan kaidah Socrates.
Kedua, Al-Farabi yang mempunyai nama lengkap Abu Nashr Muhammad ibn Muhammad ibn Tarkhan ibn Auzalagh. Di kalangan orang-orang Latin abad Tengah, Al-Farabi lebih dikenal dengan Abu Nashr. Ia lahir tahun 257 H di Wasij, Turkistan. Pada tahun 330 H, ia pindah ke Damaskus dan berkenalan dengan Saif Daulah al-Hamdan, Sultan dinasti Hamdan di Allepo. Sultan memberinya kedudukan sebagai seorang ulama istana dengan tunjangan yang sangat besar, tetapi Al-Farabi memilih hidup sederhana dan tidak tertarik dengan kemewahan dan kekayaan. Al-Farabi dikenal sebagai filsuf Islam terbesar yang memiliki keahlian dalam banyak bidang keilmuan dan memandang filsafat secara utuh dan menyeluruh serta mengupasnya secara sempurna, sehingga filsuf yang datang sesudahnya seperti: Ibnu Sina dan Ibn Rushd banyak mengambil dan mengupas sistem filsafatnya.
Al-Farabi berusaha memadukan beberapa aliran filsafat yang berkembang sebelumnya terutama pemikiran Plato, Aristoteles, dan Plotinus juga antara agama dan filsafat. Oleh karena itu, ia dikenal filsuf sinkretisme yang mempercayai kesatuan filsafat. Dalam ilmu logika dan fisika, ia dipengaruhi oleh Aristoteles. Dalam masalah akhlak dan politik, ia dipengaruhi oleh Plato. Sedangkan dalam hal matematika, ia dipengaruhi oleh Plotinus.
interpretasi batin, yakni dengan menggunakan ta’wil bila menjumpai pertentangan pikiran antara bedanya. Menurut Al-Farabi, sebenarnya Aristoteles mengakui alam rohani yang terdapat di luar alam ini. Jadi kedua filsuf tersebut sama-sama mengakui adanya idea-idea pada zat Tuhan. Kalaupun terdapat perbedaan, maka hal itu tidak lebih dari tiga kemungkinan:
1. Definisi yang dibuat tentang filsafat tidak benar
2. Adanya kekeliruan dalam pengetahuan orang-orang yang menduga bahwa antara keduanya terdapat perbedaan dalam dasar-dasar filsafat
3. Pengetahuan tentang adanya perbedaan antara keduanya tidak benar padahal definisi keduanya tidaklah berbeda, yaitu suatu ilmu yang membahas tentang yang ada secara mutlak.
Adapun perbedaan agama dengan filsafat, tidak harus ada karena keduanya mengacu kepada kebenaran, dan kebenaran itu hanya satu meskipun posisi dan cara memperoleh kebenaran itu berbeda. Satu menawarkan kebenaran dan lainnya mencari kebenaran. Kalaupun terdapat perbedaan kebenaran antara keduanya tidaklah pada hakikatnya dan untuk menghindari itu digunakan ta’wil filosofis. Dengan demikian, filsafat Yunani tidak bertentangan secara hakikat dengan ajaran Islam. Hal ini tidak berarti Al-Farabi mengagungkan filsafat dari agama, ia tetap mengakui bahwa ajaran Islam mutlak kebenarannya.
Adapun tentang jiwa, Al-Farabi juga dipengaruhi oleh filsafat Plato, Aristoteles, dan Plotinus. Jiwa bersifat rohani bukan materi, terwujud setelah adanya badan dan tidak berpindah-pindah dari suatu badan ke badan lain. Kesatuan antara jiwa dan jasad merupakan kesatuan secara accident, artinya antara keduanya mempunyai substansi yang berbeda dan musnahnya jasad tidak membawa musnahnya jiwa. Jiwa manusia disebut al-nafs al-nathiqah yang berasal dari alam ilahi, sedangkan jasad berasal dari alam khalq, berbentuk, berupa, berkadar, dan bergerak. Jiwa diciptakan tatkala jasad siap menerimanya. Mengenai keabadian jiwa, Al-Farabi membedakan antara jiwa khalidah dan jiwa fana. Jiwa khalidah yaitu jiwa yang mengetahui kebaikan dan berbuat baik, serta dapat melepaskan diri dari ikatan jasmani. Jiwa ini tidak hancur dengan hancurnya badan.
2. Teori kecerdasan 3. Teori ramalan
4. Intrepretasi Al-Qur’an 5. Neoplatonisme dan al-Farabi
Tokoh selanjutnya Ibnu Sina nama lengkapnya Abu Ali al- Husien ibn Abdullah ibn Hasan ibn Ali ibn Sina. Ia dilahirkan di desa Afsyanah, dekat Buhkara, Persia Utara pada tahun 370 H. Ia mempunyai kecerdasan dan ingatan yang luar biasa sehingga saat usia 10 tahun telah mampu menghafal Al-Qur’an, sebagian besar sastra Arab dan hafal kitab metafisika karangan Aristoteles. Saat usia 16 tahun ia telah banyak menguasai ilmu pengetahuan, sastra arab, fikih, ilmu hitung, ilmu ukur, filsafat dan bahkan ilmu kedokteran dipelajarinya sendiri.
Sejalan dengan teori kenabian dan kemukjizatan, Ibnu Sina membagi manusia ke dalam empat kelompok: Pertama, mereka yang kecakapan teoretisnya telah mencapai tingkat penyempurnaan yang sedemikian rupa sehingga mereka tidak lagi membutuhkan guru sebangsa manusia, sedangkan kecakapan praktisnya telah mencapai suatu puncak yang demikian rupa sehingga berkat kecakapan imajinatif mereka yang tajam mereka mengambil bagian secara langsung pengetahuan tentang peristiwa-peristiwa masa kini dan akan datang. Kedua, mereka memiliki kesempurnaan daya intuitif, tetapi tidak mempunyai daya imajinatif. Ketiga, orang yang daya teoretisnya sempurna tetapi tidak praktis. Terakhir adalah orang yang mengungguli sesamanya hanya dalam ketajaman daya praktis mereka.
Tasawuf menurut Ibnu Sina tidak dimulai dengan zuhud, beribadah, dan meninggalkan keduniaan sebagaimana yang dilakukan orang-orang sufi sebelumnya. Ia memulai tasawuf dengan akal yang dibantu oleh hati. Dengan kebersihan hati dan pancaran akal, lalu akal akan menerima ma’rifah dari al-fa’al. Dalam pemahaman bahwa jiwa-jiwa manusia tidak berbeda lapangan ma’rifahnya dan ukuran yang dicapai mengenai ma’rifah, tetapi perbedaannya terletak pada ukuran persiapannya untuk berhubungan dengan akal fa’al.
Tuhan. Karena manusia mendapat sebagian pancaran dari perhubungan tersebut. Pancaran dan sinar tidak langsung keluar dari Allah, tetapi melalui akal fa’al.
Tokoh selanjutnya ialah Ibnu Tufayl seorang muslim terkemuka dari Spanyol. Dia adalah seorang dokter sekaligus seorang filsuf, pakar matematika, dan penyair. Ibnu Tufayl mengkritisi kedua ajaran dari kekekalan dunia dan ex nihilo. Dia mengambil posisi tengah di mana Alloh SWT sang Maha Pencipta mendahului penciptaan dasarnya, tetapi tidak dalam waktu. Namun ia percaya bahwa alasan tersendiri mempunyai batas dan titik berdebat dapat menyebabkan labirin kontradiksi. Dia memegang intrepretasi mistis hubungan antara Alloh SWT dan penciptaan menggunakan metafora cahaya.
Berbeda dengan tokoh besar lainnya yaitu al Ghazali. Dalam bukunya “The Incoherence of the Philosopher”, dia memfokuskan pada metafisika yang diwakili oleh al Farabi dan Ibnu Sina. Dia merasa bahwa ajaran para filosof al Farabi dan Ibnu Sina tersebut cacat. Beberapa argumen melawan filsuf sebagai berikut:
- Jika dunia adalah ko-kekal dengan Alloh SWT melanggar monotheisme Islam yang ketat
- Filsuf membuat Alloh SWT menjadi fashioner daripada originator
- Tidak mungkin untuk membuktikan atau menyangkal kekekalan dunia, jadi ada alasan untuk menolak prinsip ortodoks penciptaan ex nihilo
- Para filsuf menganggap hubungan langsung antara sebab akibat yang al Ghazali katakan tidak logis dibutuhkan
- Teori kompleks emanasi tidak menjaga kesatuan Alloh SWT dan merupakan deterministik
- Dunia materi tidak menunjukkan prinsip satu melanjutkan satu, sehingga di beberapa titik seseorang harus memenuhi ragam
- Usulan bahwa Alloh SWT tidak mempunyai pengetahuan duniawi sangat spekulatif dan menyiratkan tidak ada kebebasan bagi Alloh SWT untuk melaksanakan kehendakNya yang membuatNya tahan terhadap petisi dari makhlukNya
Sebaliknya, al Ghazali menegaskan bahwa filsafat adalah keliru karena berusaha memahami kehendak Alloh SWT seolah-olah mirip dengan kehendak manusia.
Tokoh selanjutnya adalah Ibnu Rushd. Nama lengkapnya adalah Abu Al-Walid Muhammad Ibnu Ahmad Ibnu Muhammad Ibnu Rushd. Beliau dilahirkan di Cordova, Andalus pada tahun 510 H/1126 M. Di dunia Barat dia lebih terkenal dengan sebutan Averros, sedangkan di dunia Islam sendiri lebih terkenal dengan nama Ibnu Rushd.
Ibnu Rushd adalah keturunan keluarga terhormat yang terkenal sebagai tokoh keilmuwan, sedangkan ayah dan kakeknya adalah mantan hakim di Andalus. Pada tahun 565 H/1169 M dia diangkat menjadi seorang hakim di Seville dan Cordova. Dan pada tahun 1173 M ia menjadi ketua Mahkamah Agung, Qadhi al-Qudhat di Cordova. Salah satu faktor yang membuatnya menjadi seorang ilmuwan muslim terkemuka adalah karena dia tumbuh dan hidup dalam keluarga yang Ghirah-nya besar sekali dalam bidang keilmuwan. Akan tetapi, yang menjadi faktor utamanya karena ketajamannya dalam berpikir serta kejeniusan otaknya.
Kehidupannya sebagai seorang hakim tidaklah mulus, Ibnu Rusd pernah difitnah kafir, yang pada dasarnya hanya untuk keperluan mobilisasi menghadapi pemberontakkan Kristen Spanyol, lalu dia diadili dan sebagai hukumannya dia di buang ke Lucena, dekat Cordova. Tidak hanya itu, semua jabatannya sebagai hakim Mahkamah Agung dicopot serta semua bukunya dibakar, kecuali buku yang bersifat ilmu pengetahuan murni (sains), seperti kedokteran, matematika, dan astronomi. Ibnu Rushd menolak doktrin neoplatonisme emanasi, terutama seperti yang dianjurkan oleh al Farabi dan Ibnu Sina. Menurutnya, baik Aristoteles maupun komentator pernah menyebut tentang urusan emanasi atau kecerdasan dipisahkan dari jumlah mereka.
Tulisan Ibnu Rushd yang dapat kita baca antara lain: buku “Fashl al-Maqaal fi maa bain al-Hikmat wa al-Syari’ah min al-Ittishaal” yang berisi tentang korelasi antara agama dan filsafat; buku “Al-Kasyf’an Manaahij Sdillah fi Aqaa’id al-Millat” berisi tentang kritik terhadap metode para ahli ilmu kalam dan sufi; Kitab “Tahaafut al-Tahaafut” berisi tentang kritikan terhadap Imam Ghazali yang kitabnya berjudul “Tahaafut al-Falaasifah”. Sedangkan karyanya dalam bidang fiqih yaitu buku yang berjudul “Bidaayat al-Mujtahid wa Nihaayat al-Muqtashid”.
Selanjutnya, tokoh filsafat muslim yaitu Mulla Sadra seorang Filsuf Safawiyah
berhasil menambahkan ajaran-ajaran Imam Syiah Dua Belas ke dalam pencampuran
Peripatetisisme, Akbarisme, dan Illuminasionisme. Mulla Sadra lahir kira-kira tahun
980 H/1572 M dan meninggal pada tahun 1050 H/1640 M, dia merupakan filosof
pertama yang membawa susunan dan keserasian lengkap ke dalam pembahasan-pembahasan mengenai masalah-masalah filsafat. Dia menyusun dan mengatur persoalan-persoalan itu sebagai persoalan matematika dan pada waktu yang sama dia memadukan ilmufilsafat dengan ilmumakrifat.
Mulla memberikan metode filsafat yang baru dalam membahas dan memecahkan ratusan persoalan, di mana persoalan tersebut tidak dapat diselesaikan dengan filsafat Peripatetika, yaitu sistem filsafat yang dikembangkan oleh Aristoteles. Pendapat-pendapat yang dimilikinya lebih berpengaruh dalam pemikiran Islam
dibandingkan dengan para ahlikalam, sekalipun dia bukanlah seorang ahli kalam. Mulla Sadra menghasilkan banyak karya, diantaranya kitab “Asfar al-Arba’ah” (Empat Perjalanan) yang meliputi bidang metafisika, teologi juga sebagai jalan Sufi
(thariqah). Pertama, perjalanan penciptaan di mana menceritakan perjalanan makhluk menuju kepada Pencipta Kebenaran (Al-Haqq); di dalamnya Mulla Sadra meletakkan dasar metafisika eksistensialisnya yang mencerminkan tahapan dalam jalan Sufi
(thariqah) di mana ia berusaha mengendalikan nafsu di bawah pengawasan seorang
guru/syekh. Kedua, tahapan di mana sang Sufi mulai menarik wujud-wujud illahi. Ketiga, sang sufi meleburkan diri dengan Tuhan, dan yang keempat, tempat di mana sang Sufi mengalami keteguhan dalam peleburan diri.
Filsafat Mulla Sadra dinilai mampu mempertemukan beberapa aliran filsafat yang berkembang sebelum Mulla Sadra. Aliran Paripatetik; Iluminasionis; Irfan (mistisisme Islam); dan Kalam (teologi). Filsafatnya sebagai Al-Hikmah Al Muta’aliyah (filsafat transendental) merupakan suatu sistem filsafat yang koheren meskipun menggabungkan berbagai madzhab filosofis sebelumnya. Karena filsafat hikmah diperoleh lewat pencerahan spiritual atau intuisi intelektual dan disajikan dalam bentuk yang rasional dengan berlandaskan pada pokok utama kajian pemikiran Mulla Sadra yakni metafisika.
(matematika dan rasionalisme modern) serta metode empiris dan perkembangan pemikiran ilmiah.
Beberapa judul buku yang telah berhasil ia himpun adalah “Nahnu wa al Turats”, dua tahun kemudian ia menerbitkan sebuah buku lagi dengan judul “Al Khittab al Arabi al Muassir Dirasah Taqliliyah Naqdiyyah” (Wacana Arab Kontemporer; Studi Kritis dan Analitis). Karya-karyanya terus bertebaran dengan terbitnya magnum opus yaitu “Naqd al ‘Aql al ‘Arabi” yang dipublikasikan tahun 1984, 1986, dan 1990. Kredibilitas al-Jabiri sebagai pemikir Islam garda depan sangat diakui di kalangan pemikir Islam kontemporer, sebut saja Mohammad Arkoun dan Fetimma Mernisi yang keduanya sama-sama berasal dari Maghribi.
Sejak awal memang al-Jabiri dikenal sebagai pemikir Islam yang sangat produktif, hal tersebut terlihat dari beberapa karya yang lebih dahulu diterbitkan seperti “Fikr ibn Khaldun al Ashabiyah wa al Daulah” yang terbit tahun 1971. Awalnya tulisan ini adalah disertasinya di Universitas Muhammad al Khamis Maroko tahun 1970. Secara tuntas al-Jabiri mengupas pemikiran Ibnu Khaldun tentang kekuasaan, negara, dan primordialisme di Arab. Untuk memahami tradisi Islam harus dilakukan dengan menelaah seluruh khazanah keAraban secara strukturalis, sejarah, dan ideologis. Kemudian dia membangun tiga pondasi epistemologi yaitu: epistemologi bayani, ‘irfani, dan burhani. Dia juga menegaskan bahwa tradisi seharusnya tidak digunakan sebagai “prinsip dasar” masa lalu yang kemudian dijadikan landasan kebangkitan yang dihadirkan sebagaimana apa adanya, tetapi atas dasar melakukan kritik terhadap masa kini dan masa lampau yang lebih dekat lalu ke masa depan.
Kemudian, Syed Muhammad Naquib al-Attas lahir pada tahun 1931 di Bogor, Jawa Barat. Dia adalah seorang pemikir Islam yang menguasai berbagai disiplin ilmu, seperti teologi, filsafat, metafisika, sejarah, dan sastra. Pemikiran-pemikiran Muhammad Naquib Al-Attas antara lain:
1. Konsep tentang Kebebasan Manusia
Manusia merupakan subjek sekaligus objek pendidikan, sehingga sebelum berbicara tentang pendidikan maka sangat penting sekali untuk membahas tentang manusia. Manusia sering disebut sebagai makhluk monodualistik, karena manusia adalah makhluk yang terdiri dari jasad dan roh artinya sebagai makhluk jasadiah sekaligus menjadi makhluk rohaniah.
Secara lebih tegas kebebasan manusia Al-Attas dapat dilihat dari konsep Islamisasi Ilmunya yang didefinisikan sebagai berikut: Pembebasan manusia dari tradisi magis, mitos, animisme, paham kebangsaan, dan kebudayaan pra-Islam, kemudian dari kendali sekuler atas nalar dan bahasanya.
3. Konsep tentang Pendidikan Islam
Tujuan pendidikan adalah masalah inti dalam pendidikan. Hakekat atau tujuan pendidikan harus berorientasi kepada manusia, oleh sebab itu pendidikan dan manusia tidak dapat dipisah-pisahkan. Tujuan pendidikan merupakan proses untuk menjadikan seorang manusia yang baik dan benar sehingga sistem pendidikan Islam pun harus mencerminkan manusia.
Tokoh filsafat pemikiran kontemporer yang ketiga ialah Seyyed Hossein Nasr yang lahir pada tahun 1931 di kota Teheran, Iran. Seyyed Hossein Nasr adalah seorang tradisionalis yang ingin menggeser peradaban intelektual modern dengan matrik intelektual tradisional. Dia hidup dalam dua tradisi yaitu: Islam tradisional dan Modernitas Barat. Beliau dibesarkan di dalam keluarga ulama Syiah. Dia sempat memperoleh pendidikan barat modern di Institut Teknologi Massachussets dan Universitas Harvard.
Pemikiran Seyyed Hossein Nasr yaitu tentang tradisi Islam (Islam tradisional) di tengah modernitas merupakan kritik terhadap pola pikir modernitas yang mengagungkan rasionalitas dalam segala hal. Islam tradisional menurut pemikiran Seyyed Hossein Nasr bahwa pola pikir tersebut akan membawa manusia kepada keterapungan dan tidak punya tujuan hingga menjadikan hidup manusia jauh dari kebahagian. Islam tradisional ditawarkan sebagai alternatif untuk menggantikan modernitas yang tidak mampu memandang realitas kehidupan secara keseluruhan.
Visi Islam tradisional lebih utuh untuk dapat memandang realitas karena Islam tradisional memandang realitas dalam bingkai yang lebih besar yang berhubungan dengan keillahian. Tradisi yang ditawarkan oleh Seyyed Hossein Nasr ini merupakan versus paham modern yang melepaskan diri dari illahi dan dari prinsip-prinsip abadi yang dalam realitasnya mengatur segala sesuatu. Inilah yang menjadi titik landasan dan dasar pemikiran yang ia bangun.
pengungkapan dan pengembangan sakral di dalam sejarah kemanusiaan tertentu, bertujuan dalam satu cara yang mengimplikasikan baik kesinambungan yang horizontal dengan sumber asli maupun vertikal yang menghubungkan setiap denyut kehidupan tradisi yang sedang diperbincangkan dengan realitas transenden meta-historis.
Pembaharuan yang dilakukan Nasr adalah mengembalikan manusia pada asalnya sebagaimana yang telah dilakukan manusia dalam perjanjian suci dengan Tuhannya, dari kealpaan tentang dirinya, sehingga membuat dirinya jatuh ke dalam belenggu karya rasionalitasnya yang meniadakan Tuhan. Manusia menurut Nasr pada awalnya adalah makhluk suci, namun karena penolakannya kepada Tuhan melalui tradisi ilmiah telah membuat dirinya tak mengenal siapa realitas sesungguhnya ia di hadapan Tuhannya.
F. Ruang Lingkup dan Istilah Kunci Penelitian
Ruang lingkup kajian yang dilakukan Abdullah Saeed adalah mengenai perkembangan pemikiran filsafat dari Yunani dan Romawi sampai pemikiran filsafat Islam dari klasik hingga modern. Adapun kunci yang digunakan dalam penelitian ini adalah “Islamic thought dan philosophical thouhgt”.
G. Kontribusi dalam Ilmu-ilmu Keislaman
Kajian yang dilakukan Abdullah Saeed memberi beberapa kontribusi dalam dunia keislaman, antara lain: memahami peradaban kebudayaan filsafat Islam hubungannya dengan pemikiran filosofis tokoh-tokoh Islam dari masa klasik (al Kindi, al Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Tufayl, al Ghazali, Ibnu Rushd, dan Mulla Sadra sampai pada masa modern (Mohammed Abed al-Jabiri, Syed Muhammad Naquib al-Attas, dan Sayyed Hossein Nasr). Selain itu, sebagai pengantar pemikiran filsafat Islam yang berhubungan dengan berbagai bidang pemikiran Islam dari teks dasar hukum, teologi, filsafat, dan tren utama pemikiran Islam pada masa klasik hingga modern.
H. Sistematika Penulisan
bagian kedua menjelaskan tentang hubungan filsafat Yunani dan Romawi dalam perkembangan pemikiran filsafat Islam.
I. Kesimpulan
Filsafat klasik adalah kefilsafatan yang bercorak tradisional yang dapat diartikan “berfilsafat dengan cara-cara lama”. Sebagaimana arti kata tradisional berbanding terbalik dengan arti kata modern yang bermakna sebagai “sesuatu yang baru”. Filsafat pemikiran modern adalah wacana filsafat yang lahir sebagai respon terhadap suasana filsafat sebelumnya. Makna modern (sesuatu yang baru) mencakup segenap sendi-sendi kehidupan sosial dan budaya manusia yang terkait dengan dimensi materil dan spiritualnya pada seputar bagaimana cara mengetahui yang benar, kevalidan sesuatu, struktur pengetahuan itu sendiri dan implementasi nilai-nilai yang terkandung dalam pengetahuan manusia.
Lahirnya filsafat baik filsafat islam maupun bukan dalam ruang sejarah manusia tidak dapat dilepaskan dari kondisi yang melingkupinya. Demikian juga dengan wacana filsafat modern, selain dapat diartikan sebagai filsafat yang merespon (mengkritisi, membongkar, kadang-kadang menguatkan) tradisi dalam kurun waktu tertentu, filsafat modern juga mengandung nilai-nilai kesinambungan yang kontinu, berdasarkan keadaannya. Kebebasan berpikir selalu dibatasi oleh kekuasaan hingga kondisi ini melahirkan sebuah kegelisahan intelektual oleh para ilmuan yang bermuara pada lahirnya revolusi berpikir yang berontak terhadap keadaan tersebut. Dengan demikian, filsafat modern berarti filsafat yang mengandung pembaharuan berdasarkan waktu, corak epistemologinya dan dinamika yang terjadi pada seputar metodologi dan kerakteristiknya.