• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dispepsia Fungsional dan non fungsional

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Dispepsia Fungsional dan non fungsional "

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

Dispepsia merupakan keluhan klinis yang sering dijumpai dalam praktik klinis sehari-hari. Menurut studi berbasiskan populasi pada tahun 2007, ditemukan peningkatan prevalensi dispepsia fungsional dari 1,9% pada tahun 1988 menjadi 3,3% pada tahun 2003. Istilah dispepsia sendiri mulai gencar dikemukakan sejak akhir tahun 1980-an, yang menggambarkan keluhan atau kumpulan gejala (sindrom) yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak nyaman di epigastrium, mual, muntah, kembung, cepat kenyang, rasa penuh, sendawa, regurgitasi, dan rasa panas yang menjalar di dada. Sindrom atau keluhan ini dapat disebabkan atau didasari oleh berbagai penyakit, tentunya termasuk juga di dalamnya penyakit yang mengenai lambung, atau yang lebih dikenal sebagai penyakit maag.1

Prevalensi pasien dispepsia di pelayanan kesehatan mencakup 30% dari pelayanan dokter umum dan 50% dari pelayanan dokter spesialis gastroenterologi. Mayoritas pasien Asia dengan dispepsia yang belum diinvestigasi dan tanpa tanda bahaya merupakan dispepsia fungsional. Berdasarkan hasil penelitian di negara-negara Asia (Cina, Hong Kong, Indonesia, Korea, Malaysia, Singapura, Taiwan, Thailand, dan Vietnam) didapatkan 43-79,5% pasien dengan dispepsia adalah dispepsia fungsional.2

Dispepsia fungsional, pada tahun 2010, dilaporkan memiliki tingkat prevalensi tinggi, yakni 5% dari seluruh kunjungan ke sarana layanan kesehatan primer. Bahkan, sebuah studi tahun 2011 di Denmark mengungkapkan bahwa 1 dari 5 pasien yang datang dengan dispepsia ternyata telah terinfeksi H. pylori yang terdeteksi setelah dilakukan pemeriksaan lanjutan.1

BAB II

(2)

2.1. DEFINISI

Dispepsia berasal dari bahasa Yunani, yaitu dys- (buruk) dan -peptein (pencernaan). Berdasarkan konsensus International Panel of Clinical Investigators, dispepsia didefi nisikan sebagai rasa nyeri atau tidak nyaman yang terutama dirasakan di daerah perut bagian atas, sedangkan menurut Kriteria Roma III terbaru, dispepsia fungsional didefinisikan sebagai sindrom yang mencakup satu atau lebih dari gejala-gejala berikut: perasaan perut penuh setelah makan, cepat kenyang, atau rasa terbakar di ulu hati, yang berlangsung sedikitnya dalam 3 bulan terakhir, dengan awal mula gejala sedikitnya timbul 6 bulan sebelum diagnosis.1

Dalam konsensus Roma II tahun 2000, disepakati bahwa definisi dispepsia sebagai berikut; Dyspepsia refers to pain or discomfort centered

in the upper abdomen . Dan dalam konsensus Roma III tahun 2006 yang

khusus membicarakan tentang kelainan gastrointestinal fungsionl didefinisikan sebagai berikut3:

1. Adanya satu atau lebih keluhan rasa penuh setelah makan, cepat kenyang, nyeri ulu hati/epigastrik, rasa terbakar di epigastrium. 2. Tidak ada bukti kelainan struktural (termasuk didalamnya

pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas) yang dapat menerangkan penyebab keluhan tersebut.

3. Keluhan ini terjadi selama 3 bulan dalam waktu 6 bulan terakhir sebelum diagnosis ditegakkan.

2.2. KLASIFIKASI1

(3)

sering dijumpai kesulitan untuk membedakan antara gastroesophageal refl ux disease (GERD), irritable bowel syndrome (IBS), dan dispepsia itu sendiri. Hal ini sedikit banyak disebabkan oleh ketidakseragaman berbagai institusi dalam mendefi nisikan masing-masing entitas klinis tersebut.

2.3. PATOFISIOLOGI

Patofisiologi dispepsia fungsional masih belum jelas, diduga kombinasi hipersensitivitas viseral, disfungsi motilitas lambung, dan faktor psikologis. Dispepsia fungsional berkaitan dengan depresi. Studi di Pakistan pada 101 pasien dispepsia fungsional (setelah endoskopi) dengan rerata usia 35,81±14,81 tahun didapatkan 100 pasien memiliki depresi (evaluasi depresi dengan Hamilton depression rating scale): depresi ringan 23 (22,8%), sedang 34 (33,7%), berat 32 (31,7%), dan sangat berat 11 (10,9%). Dispepsia berkaitan juga dengan tidur. Hubungan antara gangguan tidur dan gejala dispepsia fungsional cukup kompleks. Gejala dispepsia dapat mengganggu tidur baik saat akan tidur maupun kelanjutan tidur. Sebaliknya, kurang tidur juga berpotensi meningkatkan gejala pasien dispepsia fungsional.4

Dari sudut pandang patofisiologis, proses yang paling banyak dibicarakan dan potensial berhubungan dengan dispepsia fungsional adalah hipersekresi asam lambung, infeksi Helicobacter pylori, dismotilitas gastrointestinal, dan hipersensitivitas viseral. Patofisiologi dispepsia hingga kini masih belum sepenuhnya jelas dan penelitian-penelitian masih terus dilakukan terhadap faktor-faktor yang dicurigai memiliki peranan bermakna, seperti di bawah ini1.

1. Abnormalitas fungsi motorik lambung, khususnya keterlambatan pengosongan lambung, hipomotilitas antrum, hubungan antara volume lambung saat puasa yang rendah dengan pengosongan lambung yang lebih cepat, serta gastric compliance yang lebih rendah.

(4)

3. Faktor-faktor psikososial, khususnya terkait dengan gangguan cemas dan depresi

Faktor-faktor lainnya yang dapat berperan adalah genetik, gaya hidup, lingkungan, diet dan riwayat infeksi gastrointestinal sebelumnya2

a. Peranan gangguan motilitas gastroduodenal

Gangguan motilitas gastroduodenal terdiri dari penurunan kapasitas lambung dalam menerima makanan (impaired gastric accommodation), inkoordinasi antroduodenal, dan perlambatan pengosongan lambung. Gangguan motilitas gastroduodenal merupakan salah satu mekanisme utama dalam patofisiologi dispepsia fungsional, berkaitan dengan perasaan begah setelah makan, yang dapat berupa distensi abdomen, kembung, dan rasa penuh

b. Peranan hipersensitivitas viseral

Hipersensitivitas viseral berperan penting dalam patofisiologi dispepsia fungsional, terutama peningkatan sensitivitas saraf sensorik perifer dan sentral terhadap rangsangan reseptor kimiawi dan reseptor mekanik intraluminal lambung bagian proksimal. Hal ini dapat menimbulkan atau memperberat gejala dispepsia.5

c. Peranan faktor psikososial

Gangguan psikososial merupakan salah satu faktor pencetus yang berperan dalam dispepsia fungsional. Derajat beratnya gangguan psikososial sejalan dengan tingkat keparahan dispepsia. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa depresi dan ansietas berperan pada terjadinya dispepsia fungsional.

d. Peranan asam lambung

(5)

e. Peranan infeksi Hp

Prevalensi infeksi Hp pasien dispepsia fungsional bervariasi dari 39% sampai 87%. Hubungan infeksi Hp dengan ganggguan motilitas tidak konsisten namun eradikasi Hp memperbaiki gejala-gejala dispepsia fungsional.

2.4. MANIFESTASI KLINIS3

Karena bervariasinya jenis keluhan dan kuantitas/ kualitasnya pada setiap pasien, maka banyak disarankan untuk mengklasifikasikan dispepsia fungsional menjadi subgrup didasarkan pada keluhan yang paling mencolok atau dominan.

1. Bila nyeri ulu hati yang dominan adalah nyeri epigastrik disertai nyeri pada malam hari dikategorikan sebagai dispepsia fungsional tipe ulkus ( ulcer like dyspepsia )

2. Bila kembung, mual, cepat kenyang merupakan keluhan yang paling sering dikemukakan, dikategorikan sebagai dispepsia fungsional tipe seperti dismotilitas ( dismotility like dyspepsia )

3. Bila tidak ada keluhan yang bersifat dominan, dikategorikan sebagai dispepsia non-spesifik.

Perlu ditekankan bahwa pengelompokan tersebut hanya untuk mempermudah diperoleh gambaran klinis pasien yang kita hadapi serta pemilihan alternatif pengobatan awalnya.

2.5. DIAGNOSIS1,2.

(6)

yang bersifat organik. Dalam salah satu sistem penggolongan, dispepsia fungsional diklasifi kasikan ke dalam ulcer-like dyspepsia dan dysmotility-like dyspepsia; apabila tidak dapat masuk ke dalam 2 subklasifi kasi di atas, didiagnosis sebagai dispepsia nonspesifi k. Esofagogastroduodenoskopi dapat dilakukan bila sulit membedakan antara dispepsia fungsional dan organik, terutama bila gejala yang timbul tidak khas, dan menjadi indikasi mutlak bila pasien berusia lebih dari 55 tahun dan didapatkan tanda-tanda bahaya.

Dispepsia fungsional mengacu kepada kriteria Roma III.Kriteria Roma III belum divalidasi di Indonesia. Konsensus Asia-Pasifik (2012) memutuskan untuk mengikuti konsep dari kriteria diagnosis Roma III dengan penambahan gejala berupa kembung pada abdomen bagian atas yang umum ditemui sebagai gejala dispepsia fungsional. Dispepsia menurut kriteria Roma III adalah suatu penyakit dengan satu atau lebih gejala yang berhubungan dengan gangguan di gastroduodenal (Konsensus):

a. Nyeri epigastrium

b. Rasa terbakar di epigastrium

c. Rasa penuh atau tidak nyaman setelah makan d. Rasa cepat kenyang

Gejala yang dirasakan harus berlangsung setidaknya selama tiga bulan terakhir dengan awitan gejala enam bulan sebelum diagnosis ditegakkan (Konsensus).

Kriteria Roma III membagi dispepsia fungsional menjadi 2 subgrup, yakni epigastric pain syndrome dan postprandial distress syndrome. Akan tetapi, bukti terkini menunjukkan bahwa terdapat tumpang tindih diagnosis dalam dua pertiga pasien dyspepsia (Abdullah, Rahman):

Tabel 2.1. Kriteria Roma III Dispepsia fungsional

(7)

1. Salah satu atau lebih dari gejala-gejala di bawah ini: a. Rasa penuh setelah makan yang mengganggu b. Perasaan cepat kenyang

c. Nyeri ulu hati

d. Rasa terbakar di daerah ulu hati/epigastrium

2. Tidak ditemukan bukti adanya kelainan struktural yang menyebabkan timbulnya gejala (termasuk yang terdeteksi saat endoskopi saluran cerna bagian atas [SCBA])

* Kriteria terpenuhi bila gejala-gejala di atas terjadi sedikitnya dalam 3 bulan terakhir, dengan awal mula gejala timbul sedikitnya 6 bulan sebelum diagnosis.

a. Postprandial distress syndrome

Kriteria diagnostik* terpenuhi bila 2 poin di bawah ini seluruhnya terpenuhi:

1. Rasa penuh setelah makan yang mengganggu, terjadi setelah makan dengan porsi biasa, sedikitnya terjadi beberapa kali seminggu

2. Perasaan cepat kenyang yang membuat tidak mampu menghabiskan porsi makan biasa, sedikitnya terjadi beberapa kali seminggu

* Kriteria terpenuhi bila gejala-gejala di atas terjadi sedikitnya dalam 3 bulan terakhir, dengan awal mula gejala timbul sedikitnya 6 bulan sebelum diagnosis.

Kriteria penunjang

1. Adanya rasa kembung di daerah perut bagian atas atau mual setelah makan atau bersendawa yang berlebihan

2. Dapat timbul bersamaan dengan sindrom nyeri epigastrium.

b. Epigastric pain syndrome

(8)

terpenuhi:

1. Nyeri atau rasa terbakar yang terlokalisasi di daerah epigastrium dengan tingkat keparahan moderat/sedang, paling sedikit terjadi sekali dalam seminggu

2. Nyeri timbul berulang

3. Tidak menjalar atau terlokalisasi di daerah perut atau dada selain daerah perut bagian atas/epigastrium

4. Tidak berkurang dengan BAB atau buang angin

5. Gejala-gejala yang ada tidak memenuhi kriteria diagnosis kelainan kandung empedu dan sfi ngter Oddi

* Kriteria terpenuhi bila gejala-gejala di atas terjadi sedikitnya dalam 3 bulan terakhir, dengan awal mula gejala timbul sedikitnya 6 bulan sebelum diagnosis.

Kriteria penunjang

1. Nyeri epigastrium dapat berupa rasa terbakar, namun tanpa menjalar ke daerah retrosternal

2. Nyeri umumnya ditimbulkan atau berkurang dengan makan, namun mungkin timbul saat puasa

3. Dapat timbul bersamaan dengan sindrom distres setelah makan.

(9)

dispepsia fungsional sebagai bagian dari spektrum penyakit fungsional saluran cerna

2.10. PENATALAKSANAAN

Terapi dispepsia fungsional perlu dibedakan untuk subtipe nyeri atau distres postprandial. Pada tipe nyeri epigastrium, lini pertama terapi bertujuan menekan asam lambung (H2-blocker, PPI). Pada tipe distres postprandial, lini pertama dengan prokinetik, seperti metoklopramid/domperidon (antagonis dopamin), acotiamide (inhibitor asetilkolinesterase), cisapride (antagonis serotonin tipe 3 /5HT3), tegaserod (agonis 5HT4), buspiron (agonis 5HT1a).12,16 Bila lini pertama gagal, PPI dapat digunakan untuk tipe distres postprandial dan prokinetik untuk tipe nyeri. Kombinasi obat penekan asam lambung dan prokinetik bermanfaat pada beberapa pasien. Tidak ada terapi yang efektif untuk semua pasien; berbagai terapi dapat digunakan secara berurutan ataupun kombinasi.

Pada kasus yang tidak berespons terhadap obat-obat tersebut, digunakan antidepresan. Antidepresan trisiklik (amitriptilin 50 mg/hari, nortriptilin 10 mg/ hari, imipramin 50 mg/hari) selama 8-12 minggu cukup efektif untuk terapi dispepsia fungsional, SSRI atau SNRI tidak lebih efektif dari plasebo. Meskipun masih kontroversial, dapat dilakukan tes H. pylori pada kasus dispepsia fungsional mengingat infeksi tersebut umumnya asimptomatik. Terapi kondisi psikologis seperti cemas atau depresi dapat membantu pada kasus dispepsia sulit/ resisten. Terapi psikologis, akupunktur, suplemen herbal, probiotik psikologis pada dispepsia fungsional masih belum terbukti. Edukasi pasien penting untuk menghindari faktor pencetus seperti mengurangi stres/ kecemasan, memulai pola makan teratur porsi lebih sedikit dan menghindari makanan pemicu.4

(10)

merupakan langkah awal yang penting. Buat diagnosis klinik dan evaluasi bahwa tidak ada penyakit serius atau fatal yang mengancamnya. Coba jelaskan sejauh mungkin tentang patogenesis penyakit yang dideritanya. Evaluasi latar belakang faktor psikologis. Nasehat untuk menghindari makanan yang dapat mencetuskan serangan keluhan. Sistem rujukan yang baik akan berdampak positif bagi perjalanan penyakit pada kasus dispepsia fungsional3

Apabila setelah investigasi dilakukan tidak ditemukan kerusakan mukosa, terapi dapat diberikan sesuai dengan gangguan fungsional yang ada. Penggunaan prokinetik seperti metoklopramid, domperidon, cisaprid, itoprid dan lain sebagainya dapat memberikan perbaikan gejala pada beberapa pasien dengan dispepsia fungsional. Hal ini terkait dengan perlambatan pengosongan lambung sebagai salah satu patofisiologi dispepsia fungsional. Kewaspadaan harus diterapkan pada penggunaan cisaprid oleh karena potensi komplikasi kardiovaskular. Data penggunaan obat-obatan antidepresan atau ansiolitik pada pasien dengan dispepsia fungsional masih terbatas. Dalam sebuah studi di Jepang baru-baru ini menunjukkan perbaikan gejala yang signifikan pada pasien dispepsia fungsional yang mendapatkan agonis 5-HT1 dibandingkan plasebo. Di sisi lain venlafaxin, penghambat ambilan serotonin dan norepinerfrin tidak menunjukkan hasil yang lebih baik dibanding placebo2.

Gangguan psikologis, gangguan tidur, dan sensitivitas reseptor serotonin sentral mungkin merupakan faktor penting dalam respon terhadap terapi antidepresan pada pasien dispepsia fungsional (Konsensus)

Medika Mentosa3.

 Antasida

Antasida merupakan obat yang paling umum dikonsumsi oleh penderita dispepsia, merupakan suatu obat yang bekerja lokal, menetralkan asam lambung dengan menurunkan aktivitas pepsin dan menaikkan pH lambung ≤ 4 dan merupakan suatu basa lemah.

(11)

Obat ini juga diberikan pada penderita dispepsia. Dari data studi acak tersamar ganda, didapatkan hasil yang kontroversi. Sebagian gagal memperlihatkan manfaatnya pada dispepsia fungsional, dan sebgaian lagi berhasil. Secara metaanalisis diperkirakan manfaat terapinya 20% diatas plasebo. Masalah pkok adalah kriteria inklusi pada berbagai penelitian, dan juga kemungkinan masuknya kasus penyakit refluks gastroesofageal. Umumnya manfaatnya untuk menghilangakn rasa nyeri ulu hati.

 Penghambat pompa proton ( PPI )

Obat ini tampaknya cukup superior dibanding plasebo pada dispepsia fungsional. Respons baik terlihat pada dispepsia fungsional tipe ulkus. Paling efektif menekan sekresi asam lambung dan merupakan suatu pro-drug yang membutuhkan suasana asam sehingga harus diminum sebelum makan. Efeknya akan menurun jika diberi bersama H2 – reseptor antagonis dan antasida. Preparat : omeprazole, lanzoprazole, pantoprazole dan rabeprazole.

 Sitoproteksi

Obat ini misalnya misoprostol, sukralfat, tidak banyak studinya yang memperoleh kemanfaatan yang dapat dinilai.

 Prokinetik

(12)

memperlihatkan angka keberhasilan dua kali lipat dibandingkan plasebo. Beraksi pada pengosongan lambung dan disritmia lambung. Masalah saat ini adalah setelah diketahuinya efek sampingnya pada aritmia jantung, terutama perpanjangan masa Q-T, sehingga pemakaiannya berada dalam pengawasan.

 Obat lain – lain

Adanya peran hipersensitivitas viseral dalam patogenesis dispepsia fungsional, mebuka peran obat-obatan yang bermanfaat dalam menghilangkan persepsi nyeri. Dalam beberapa penelitian, dosis rendah antidepresan golongan trisiklik dilaporkan dapat menurunkan keluhan dispepsia terutama nyeri abdomen.

Kappa agonist fedotoxine dapat menurunkan hipersensitivitas lambung dalam studi pada volunteer serta pada beberapa studi dapat menurnkan keluhan pada dispepsia fungsional, walaupun manfaat kliniknya masih dipertanyakan. Obat golongan agonist 5-HT1 ( sumatriptan dan busipiron ) dapat memperbaiki akomodasi lambung dan memperbaiki rasa keluhan cepat kenyang setelah makan.5

 Psikoterapi

Dalam beberapa studi terbatas, tampaknya behavioral therapy memperlihatkan manfaatnya pada kasus dispepsia fungsional dibanding terapi baku.

2.11. PROGNOSIS

(13)

Dispepsia fungsional yang ditegakkan setelah pemeriksaan klinis dan penunjang yang akurat, mempunyai prognosis yang baik3.

BAB III LAPORAN KASUS

ANAMNESE PRIBADI

Nama : Sari Bulan Siregar Umur : 50 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan Agama : Islam Suku : Batak

Alamat : Jl, Jermal X Ujung No 10, Medan Pendidikan : SLTA

Pekerjaan : Pegawai Negeri Perkawinan : Menikah

Tanggal masuk : 21 Desember 2017 NO RM : 01.04.58.59

ANAMNESA PENYAKIT

Keluhan Utama : Nyeri Ulu Hati

Telaah : Hal ini telah dialami os lebih kurang 2 hari SMRS. Mual (+), muntah (-), kepala oyong (+), badan lemas (+), Riwayat perdarahan (-), Riwayat transfusi (-). Demam (-), Batuk (-), sesak (-), BAK dan BAB dalam batas normal.

Riwayat Penyakit Terdahulu

: Tidak Dijumpai

(14)

STATUS PRESENS Keadaan Umum

 Sensorium : CM

 Tekanan Darah :120/70

 Temperatur : 37

 Pernafasan : 20

 Nadi : 90

Keadaan Penyakit

 Anemi :

- Ikterus :

- Sianosis :

- Dispnoe :

- Edem :

- Eritema :

- Turgor : Kembali cepat

 Gerakan Aktif :

- Sikap tidur paksa : -Keadaan Gizi

 BB : 50kg

 TB : 155

 RBW : 90%

PEMERIKSAAN FISIK 1. Kepala

a) Rambut : Dalam Batas Normal b) Muka : Dalam Batas Normal c) Mata : Dalam Batas Normal d) Telinga: Dalam Batas Normal

(15)

g) Gigi : Tidak dilakukan pemeriksaan h) Lidah : Dalam Batas Normal

i) Tonsil : Dalam Batas Normal 2. Leher

a. Inspeksi : Dalam Batas Normal b. Palpasi

- Posisi Trachea : Medial - Sakit/Nyeri tekan :

-- TVJ : R -2 cm H2O

- Kosta Sevikalis : Dalam Batas Normal 3. Thorax Depan

a. Inspeksi

- Bentuk : Fusiformis - Simetris/asimetris : Simetris - Bendungan Vena :

-- Ketinggalan bernafas : -- Venektasi : -- Pembengkakan : -- Pylasi verbal :

-- Mammae :

-b. Palpasi

- Nyeri tekan :

-- Fremitus suara : kanan = kiri - Fremissement :

-- Iktus : Dalam Batas Normal c. Perkusi : Dalam Batas Normal d. Auskultasi

- Paru-paru

(16)

-- Cor

Heart Rate : 90 x/i Suara katup : -Suara tambahan : -4. Thorax Belakang

a) Inspeksi

- Bentuk : Dalam Batas Normal - Simetris/asimetris : Simetris

- Benjolan-benjolan :

-- Scapulae Alta : Dalam Batas Normal - Ketinggalan bernafas :

-- Venektasi : -b) Palpasi

- Nyeri tekan :

-- Fremitus suara : kanan = kiri - Penonjulan-penonjolan :

-c) Perkusi

- Suara perkusi paru : sonor d) Auskultas

- Suara pernafasan : vesikuler - Suara tambahan :

-5. Abdomen

a) Inspeksi : Dalam Batas Normal b) Palpasi : Nyeri tekan epigastrium c) Perkusi : Dalam Batas Normal d) Auskultas : Dalam Batas Normal

6. Genetalia : Tidak dilakukan pemeriksaan 7. Ekstremitas

(17)

ANAMNESA UMUM

a) Badan kurang enak : + b) Mudah capek/lemas : + c) Merasa kurang sehat : +

d) Mengigil :

-e) Nafsu makan : menurun

f) Tidur : cukup

g) Berat badan : normal

h) Malas :

-i) Demam :

-j) Pening :

-ANAMNESA ORGAN

1) Cor : Dalam Batas Normal 2) Sirkulasi perifer : Dalam Batas Normal 3) Tractus respiratorius : Dalam Batas Normal 4) Traktus digestivus : Dalam Batas Normal 5) Ginjal dan daluran kemih : Dalam Batas Normal 6) Sendi : Dalam Batas Normal 7) Tulang : Dalam Batas Normal 8) Otot : Dalam Batas Normal 9) Darah : Dalam Batas Normal 10) Endokrin : Dalam Batas Normal

11) Fungsi genital : Tidak dilakukan pemeriksaan 12) Susunan saraf : Dalam Batas Normal

13) Panca indra : Dalam Batas Normal 14) Psikis : Dalam Batas Normal 15) Keadaan social

(18)

ANAMNESA PENYAKIT TERDAHULU Tidak Dijumpai

RIWAYAT PEMAKAIAN OBAT Tidak Jelas

ANAMNESA PENYAKIT VENERIS

-ANAMNESA INTOKSIKASI Tidak Jelas

ANAMNESA MAKANAN Cukup

ANAMNESA FAMILY

a) Penyakit - penyakit family b) Penyakit seperti orang sakit c) Anakanak 3, hidup 3, mati

-PEMERIKSAAN LABORATORIUM RUTIN

RESUME

a) Keluhan Utama : Nyeri ulu hati b) Telaah

c) Status Present

- Keadaan Umum Sens : CM

TD : 120/70 mmHg HR : 90 x/i

(19)

T : 36.5 0C

- Keadaan Gizi : RWB 90% (Normal) d) Pemeriksaan fisik

- Kepala : Dalam Batas Normal - Leher : TVJ R – 2 cm H2O - Thorax : SP: Vesikuler, ST: -- Abdomen : Nyeri tekan epigastrium - Ekstremitas : Dalam Batas Normal e) Pemeriksan laboratorim

DIFFERENSIAL DIAGNOSIS a) Dispepsia fungsional

DIAGNOSA SEMENTARA Dispepsia Fungsional

TERAPI

a) Tirah baring b) Diet MB TKTP

c) IVFD NaCl 0.9% 20 gtt/i d) Inj. Ranitidine 50 mg/12 jam e) Inj. Ondansentron 50 mg/12 jam f) Tab. Betahistine 3 x 1

g) Sucralfat Syr 3 x C1

(20)

BAB IV

- Inj. Ranitidine 50 mg/12 jam

- Inj. Ondansentron 50 mg/12 jam

- Inj. Ranitidine 50 mg/12 jam

- Inj. Ondansentron 50 mg/12 jam

(21)

Lemas (+)

- Inj. Ranitidine 50 mg/12 jam

- Inj. Ondansentron 50 mg/12 jam

- Inj. Ranitidine 50 mg/12 jam

- Inj. Ondansentron 50 mg/12 jam

- Inj. Ranitidine 50 mg/12 jam

- Inj. Ondansentron 50 mg/12 jam

(22)

- Sucralfat Syr 3 x C1

- Inj. Ranitidine 50 mg/12 jam

- Inj. Ondansentron 50 mg/12 jam

- Inj. Ranitidine 50 mg/12 jam

- Inj. Ondansentron 50 mg/12 jam

- Tab. Betahistine 3 x 1 - Sucralfat Syr 3 x C1 28 Desember 2017

Nyeri ulu hati Status present Sensorium :

- Inj. Ranitidine 50 mg/12 jam

(23)

T : 36.2 oC mg/12 jam

- Tab. Betahistine 3 x 1 - Sucralfat Syr 3 x C1

(24)

KESIMPULAN

(25)

RUJUKAN

1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid II. 4th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2006.

2. Kasper DL, Braunwald E, Fauci A, Hauser S, Longo D, Jameson JL.

Harrison’s principles of internal medicine. 16th ed. USA: McGraw-Hill;2005.

3. Manson JJ, Rahman A. Systemic lupus erythematosus. Orphanet Encyclopedia.2005.

4. American College of Rheumatology. Systemic lupus erythematosus research. Education. Atlanta:Rheumatology; 2012.

5. Warrell DA, Cox TM, Firth JD, Edward J, Benz, editors. Oxford textbook of medicine. 4th ed. Oxford: Oxford Press;2002.

6. Rheumatology Image Bank [homepage on the Internet]. Atlanta: American College of Rheumatology; c2012 [cited 2018 Jan 26]. Rheumatology; [about 2 screens]. Available from:

http://images.rheumatology.org/viewphoto.php? imageId=2861621&albumId=75674

7. American College of Rheumatology Ad Hoc Committee on Systemic Lupus Erythematosus Guidelines. Guidelines for referral and management of systemic lupus erythematosus in adults. Arthritis and Rheumatism. 1999:42(9).p. 1785-96.

8. WebMD [homepage on the Internet]. Lupus Health Center; c2005-2012 [cited 2018 Jan 26]. Drug induced lupus; [about 2 screens]. Available from: http://lupus.webmd.com/tc/drug-induced-lupus-topic-overview 9. Monica RP, Derrick TJ. Pulmonary manifestation of systemic lupus

Referensi

Dokumen terkait

Bahwa sesuai ketentuan dalam Pasal 90 Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 4 Tahun 2007 tentang Pokok-Pokok Pengelolaan Keuangan

Meskipun tegangan sensor ini dapat mencapai 30 volt akan tetapi yang diberikan kesensor adalah sebesar 5 volt, sehingga dapat digunakan dengan catu daya tunggal

Penyakit akut dan kronis pada saat kehamilan seperti infeksi saluran urinari, hipertensi, preeklampsia, dan diabetes adalah faktor resiko yang paling sering menyebabkan bayi

Maintenance Scheduling Planning Methods Machines Markov Chain Maintenance damage production machines consisting of machines finitex, meikin machines, machines nitto, CN

Berdasarkan frekuensi alel, heterozigositas, di- ferensiasi genotip, diferensiasi gen, dan migrasi alel di antara varian Jati arboretum menunjukkan adanya variasi genetik yang

Menetapkan agar terdakwa SARAH FRANSISKA LISAPALY Binti LEOPOLD LISAPALY untuk membayar uang pengganti kepada Negara cq PT Pos Indonesia cq Kantor Pos Sawangan

Data sheet dari citra parasit malaria plasmodium falcifarum ini akan dilakukan uji coba dengan menggunakan Support Vector Machine (SVM) dengan menggunakan aplikasi weka

GIS HOTEL DI KOTA MEDAN|Tanggal Hosting 21 Juli 2015 | Jam 22:41:16