• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kewenangan hakim dan Peran OJK dalam Per

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Kewenangan hakim dan Peran OJK dalam Per"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

Kewenangan Hakim Dan Peran OJK dalam Perkara Kepailitan

Oleh :

Sarah Serena (Sarah Kamal)

A. Pendahuluan

Masyarakat Hukum Indonesia, kembali di kejutkan oleh lembaga Peradilan di Indonesia. Setelah beberapa waktu yang lalu, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang membuat putusan yang controversial dengan memenangkan kasus Budi Gunawan, kini kembali muncul Putusan Pengadilan yang bersifat kontroversial dengan versi dan bentuk yang berbeda.

Putusan tersebut merupakan Putusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Niaga terkait dengan persoalan permohonan Kepailitan. Putusan aquo menjadi kontroversial dikarenakan mengabulkan permohonan kepailitan yang bukan diajukan oleh pihak yang berwenang menurut undang-undang Kepailitan Nomor..Tahun…. Hal ini tentu sungguh mengejutkan, seorang hakim berani menjatuhkan putusan yang menyimpang dari ketentuan Undang-undang Kepailitan yang ada, dimana menurut undang-undang tersebut yang berhak mengajukan permohonan kepailitan atas perusahaan yang bergerak dibidang pasar modal adalah OJK bukan kreditur perusahaan yang bersangkutan.

Fakta adanya putusan aquo sungguh disesalkan oleh AKPI (Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia), dimana menurut mereka, seorang hakim dalam memutuskan perkara harus lah tunduk dan patuh pada undang-undang yang berlaku. Hal tersebut secara tegas di atur dalam Pasal 50 ayat 1 Undang-undang Kekuasaan Kehakiman No.48 Tahun 2009, yang menyatakan bahwa : “Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.” Jika merujuk kepada ketentuan Pasal tersebut diatas, maka seharusnya Putusan Pengadilan Niaga dalam Perkara Nomor No : 08/Pdt.Sus.PAILIT/2015/PN.Niaga.Jkt.Pusat,1 melanggar ketentuan Pasal 50 ayat 1 Undang-undang Kekuasaan kehakimana No.48 Tahun 2009. Mengapa demikian ?

Sebagaimana yang kita ketahui, bahwa dalam penyelesaian Perkara Kepailitan, maka dasar hukum yang di jadikan para Pihak yang terlibat dalam Proses Kepailitan, adalah Undang-undang Kepailitan, yakni Undang-Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004. DImana Pasal 2 ayat 4 Undang-

(2)

undang aquo menyatakan sebagai berikut : “Dalam hal Debitor adalah Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kriliring dan Penjaminan, Lembanga Penyimpanan dan Penyelesaian, maka permohonan Pernyataan Pailit hanya dapat diajukan oleh Badan Pengawas Pasar Modal.” Namun dengan adanya Undang-undang Nomor21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, maka terhitung tanggal 31 Desember2012, Tugas dan Fungsi Bapepam-LK berpindah ke Otoritas Jasa Keuangan.

B. Peran OJK dalam Perkara Kepailitan

Mengacu kepada asas hukum yakni ”LEX POST TERIORI DEROGAT LEGI PRIORI” 2 (“ketentuan peraturan (UU) yang baru mengenyampingkan / menghapus berlakunya ketentuan UU yang lama yang mengatur materi hukum yang sama),” maka dengan adanya undang-undang OJK No.21 Tahun 2011 tersebut, kewenangan Bapepam yang diatur di dalam Pasal 2 ayat (4) UU No.37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan PKPU di ambil alih oleh OJK (Otoritas Jasa Keuangan). Kewenangan OJK dalam bidang Pasar Modal yang mana sebelumnya merupakan kewenangan Bapepam, jelas tercantum dalam Pasal 6 huruf b Undang-undang No.21 Tahun 2011 tentang OJK , yang berbunyi sebagai berikut : OJK melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal.

Dalam kerangka melaksankan tugas pengaturan tersebut, OJK berhak mengajukan pembelaan hukum dalam kerangka perlindungan terhadap masyarakat yang merasa dirugikan oleh lembaga Jasa keuangan. Hal ini secara tegas diatur di dalam Pasal 30 ayat huruf b butir 1 dan 2 Undang-undang No.21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, yang berbunyi sebagai berikut : “Untuk Perlindungan Konsumen dan Masyarakat, OJK berhak melakukan pembelaan hukum dengan mengajukan gugatan yang ditujukan :

1. Untuk memperoleh kembali harta kekayaan milik pihak yang dirugikan dari Pihak yang menyebabkan kerugian, baik yang berada dibawah pengawasan pihak yang menyebabkan kerugian dimaksud maupun dibawah dibawah penguasaan Pihak lain, dengan itikad tidak baik atau,

2. Untuk memperoleh ganti kerugian dari pihak yang menyebabkan kerugian pada konsumen dan/atau Lembaga Jasa Keuangan, sebagai akibat dari pelanggaran atas peraturan perundang-undangan di Sektor Jasa Keuangan.

Apabila merujuk kepada ketentuan Pasal tersebut diatas, maka seharusnya para nasabah dari PT. Andalan Artha Advisido (AAA Sekuritas), tidak mengajukan gugatan langsung ke Pengadilan tetapi melalui OJK sebagai Pihak yang berwenanng untuk mengajukan gugatan berdasarkan Undang-undang Kepailitan. DImana prosedur yang seharusnya menurut undang-undang OJK, nasabah tersebut mengadukan permasalahan kerugian yang dialaminya dari AAA

(3)

Sekuritas, baru lah kemudian OJK melakukan tindakan hukum dengan mengajukan gugatan untuk memperoleh ganti kerugian bagi Para Nasabah tersebut.

Namun Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, justru tidak memahami ketentuan dalam Pasal aquo tersebut diatas, dimana dalam putusan Perkara No : 08/Pdt.Sus.PAILIT/2015/ PN.Niaga.Jkt.Pusat, justru malah mengabulkan permohonan Pailit terhadap PT Andalan Artha Advisido (AAA Sekuritas), oleh dua nasabah AAA Sekuritas, Ghozi Muhammad dan Azmi Ghozi. Pengabulan terhadap permohonan Pailit yang diajukan oleh nasabah tersebut, merupakan bentuk penyimpangan terhadap ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang ada tentang Kepailitan.

C. Kewenangan Hakim Dalam Memutuskan Perkara Kepailitan

Dalam Hukum Pidana, Pasal 2 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, seorang hakim boleh melakukan penyimpangan terhadap asas legalitas dalam kerangka mencari keadilan substantif. Penyimpangan ini dikenal dengan istilah “Diskresi Hakim”, dimana diskresi pada dasarnya merupakan kemerdekaan bagi seorang hakim untuk dapat bertindak atas inisiatif sendiri agar bisa menyelesaikan persoalan-persoalan yang dianggap genting. Ia merupakan bentuk penyimpangan terhadap asas legalitas dalam pengertian matigheid van bestuur.3

Asas diskresi dalam bahasa inggris dikenal dengan istilah “discretion” atau “discretion power”, di Indonesia lebih populer dikenal dengan istilah diskresi yang diterjemahkan “kebebasan bertindak” atau keputusan yang diambil atas dasar penilaian sendiri. Secara etimologis, istilah freies Ermerssen berasal dari bahasa Jerman, frei artinya bebas, lepas, tidak terikat, merdeka. Freies artinya orang yang bebas, tidak terikat, dan merdeka. Sedangkan Ermessen berarti mempertimbangkan, menilai, menduga, memperkirakan. Freies Ermessen berarti orang yang memiliki kebebasan untuk menilai, menduga, dan mempertimbangkan sesuatu Menurut Kamus Hukum, Diskresi berarti kebebasan mengambil keputusan dalam setiap situasi yang dihadapi menurut pendapatnya sendiri.

Kemudian beberapa ahli hukum banyak merumuskaan mengenai asas diskresi, menurut Prof. Benyamin, diskresi didefinisikan sebagai kebebasan pejabat mengambil keputusan menurut pertimbangannya sendiri. Menurut Saut P. Panjaitan, diskresi (pouvoir discretionnaire, Perancis) ataupun Freies Ermessen(Jerman) merupakan suatu bentuk penyimpangan terhadap asas legalitas dalam pengertian wet matigheid van bestuur, jadi merupakan ”kekecualian” dari asas legalitas. Menurut Laica Marzuki, diskresi adalah suatu kebebasan yang diberikan kepada badan atau pejabat administrasi dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan, diemban dalam kaitan menjalankanbestuurzorg.

(4)

Menurut Prajudi Admosudirjo, diskresi adalah suatu kebebasan bertindak atau mengambil keputusan menurut pendapat sendiri, dan Nata Saputra memaknai freies Ermessen, adalah suatu kebebasan yang diberikan kepada alat administrasi Negara mengutamakan keefektifan tercapainya suatu tujuan (doelmatigheid) daripada berpegang teguh kepada ketentuan hukum. Gayus T. Lumbuun mendefinisikan diskresi sebagai berikut: “Diskresi adalah kebijakan dari pejabat negara dari pusat sampai daerah yang intinya membolehkan pejabat publik melakukan sebuah kebijakan yang melanggar dengan undang-undang, dengan tiga syarat. Yakni, demi kepentingan umum, masih dalam batas wilayah kewenangannya, dan tidak melanggar Azas-azas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB).”4

Dari pengertian pengertian diatas secara sederhana yang dimaksud asas diskresi/freies Ermessen (Jerman)/pouvoir discretionnaire (Perancis)/discretion power (inggris) ialah asas kebebasan bertindak yang dilakukan oleh aparat pemerintahan dalam menjalankan kewenangan dan perbuatan hukumnya yang berpedoman pada asas-asas umum pemerintahan yang baik.

Berkaitan dengan hal tersebut, menurut Muschan, ada dua landasan yang dapat digunakan oleh aparat Pemerintahan dalam membuat Keputusan Tata Usaha Negara, yakni :5

1. Wet Matig (Menggunakan landasan undang-undang) 2. Doel Matig (Menggunakan landasan kebijakan)

Ad 1 ). We Matig (Menggunakan landasan undang-undang)

Dalam landasan wet matigini yang menjadi dasar atau batu pijakan ialah peraturan undang-undang baik dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUDNRI), Ketetapan MPR yang masih berlaku, Undang-Undang/Perpu, Peraturam pemerintah, peraturan daerah provinsi dan kota. Wet matigini merupakan landasan yang ideal.

Ad 2 ). Doel Matig (Menggunakan landasan kebijakan).

Dalam landasan Doel matigini yang menjadi dasar atau batu pijakan ialah kebijakan. Dalam hal ini Produk hukum sudah ada, tetapi dikesampingkan. Hal ini diperbolehkan, dikarenakan di dalam hukum tata pemerintahan dikenal adanya azas diskresi/freies ermessen(asas kebebasan bertindak). Hal ini bukan berarti dikesampingkannya sama sekali asas legalitas, karena sikap tindak adminsitrasi negara harus dapat diuji berdasarkan peraturan perundang-undangan lainnya yang lebih tinggi ataupun berdasarkan ketentuan hukum yang tidak tertulis seperi asas-asas umum pemerintahan yang baik.

Menurut Muschan, dalam pengambilan keputusan ini tetap dipergunakan asas legalitas, hanya saja dalam pengertian yang lebih luas dan fleksibel yang tidak saja berdasarkan pada peraturan

4HELMY BOEMIYA, Peranan Penggunaan Asas Diskresi Dalam Hukum Tata Pemerintahan di Indonesia, https://boeyberusahasabar.wordpress.com/category/uncategorized/page/3/, di upload tanggal 22 September 2015, pukul 20.24

(5)

perundang-undangan yang tertulis, tetapi juga berdasarkan pada ketentuan hukum yang tidak tertulis. Namun demikian, agar diskrei tidak disalah gunakan, maka perlu ada pembatasan. Dimana diskresi, hanya baru dapat dilakukan, apabila :

1. Terjadi kekosongan hukum (recht vacum)

Dimana realitas yang terjadi gerak kehidupan masyarakat ternyata lebih cepat, daripada peraturan yang ada, sehingga membutuhkan hukum yang cepat pula. Contohnya kasus seorang wanita yang hamil duluan sebelum pernikahan resmi, hal itu membutuhkan hukum yang mengatur mengingat dimana hukum positif kita tidak mengatur hal tersebut.

2. Ada kebebasan penafsiran (interpretasi)

Hal ini dikarenakan didalam produk hukum atau peraturan perundang-undangan yang ada menimbulkan makna yang ambiguitas dan multitafsir, sehingga adanya diskresi dikarenakan kebebasan penafsiran (interpretasi) yang dilakukan aparat pemerintah.

3. Ada delegasi undang-undang

Dengan adanya pendelegasian undang-undang para aparat pemerintah dapat melakukan diskresi contohnya : (HO) hinder ordonantie di dalam HO disebutkan “pemberian ijin oleh kepala daerah asal tidak berbahaya”. Di dalam HO tidak disebutkan unsur-unsur bahaya. Ini artinya, undang-undang (HO) memberikan delegasi kepada masing-masing daerah untuk membuat sendiri unsur-unsur bahaya.

4. Demi pemenuhan kepentingan umum (public interest)

Machiavelli mengatakan: “demi kepentingan umum halalkan segala cara.” Kepentingan umum yang ideal seharusnya (sollen) dibuat dalam bentuk undang-undang, karena kepentingan umum menyangkut kehendak rakyat yang dalam hal ini di wakili oleh DPR, dimana produk hukum yang dihasilkan oleh DPR adalah undang-undang. Selama ini, peraturan mengenai kepentingan umum dibuat dalam bentuk: Peraturan Presiden, Keputusan Presiden, Peraturan Menteri yang merupakan kewenangan pemerintah (eksekutif), dikhawatirkan hal tersebut akan disalahgunakan oleh pemerintah (eksekutif) dengan alasan demi kepentingan umum.6

Kembali kepada persoalan kewenangan hakim, apakah diskresi yang disebutkan oleh Muschan tersebut berlaku bagi seorang hakim ? Jawabannya adalah ya. Mengapa demikian ? Karena hakim termasuk Pejabat Negara, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 11 ayat 1 huruf d, Undang-undang No.43 tahun 1999 tentang Pokok-pokok Kepegawaian.7 Dengan demikian, sebagai pajabat Negara, dalam memutuskan perkara dapat mengunakan hak diskresinya

6Ibid

(6)

apabila dalam perkara yang ditangani oileh nya masuk dalam salah satu kategori yang disebutkan oleh Muschan tersebut diatas.

Merujuk kepada uraian tersebut diatas, maka hakim yang menangani perkara kepailitan 08/Pdt.Sus.PAILIT/2015/ PN.Niaga.Jkt.Pusat, menggunakan hak diskresi nya selaku Pejabat Negara untuk menyimpang dari asas legalitas sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 ayat 4 Undang-undang Kepailitan No. 31 Tahun 2004. Alasan penyimpangan tersebut, berdasarkan keyakinan hakim adanya salah satu dari empat kategori yang diperbolehkan untuk melakukan diskresi tersebut.

D. Penutup

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian dan pengolahan data, kesimpulan dalam penelitian ini adalah peningkatan kemandirian belajar siswa dalam matematika yang pembelajarannya

Hasil analisis menunjukkan bahwa berdasarkan asumsi ketidakbebasan antara peristiwa perkawinan dan kelahiran, ternyata selang kelahiran anak pertama juga mendekati

[r]

Pengujian autokorelasi bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi linear ada korelasi antara galat pada periode t dengan kesalahan pengganggu pada periode

ノ Tokumaru,Yosihiko(2000)五'aspectmelodiquedelamusiquedesyamisen ,Selaf378,Paris:Editions Peeters..

Secara normatif berdasarkan Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 10 Undang-undang No 48 Tahun 2009 Tentang kekuasaan Kehakiman juga berdasarkan Pada TAP MPR No: II/MPR1993 tentang GBHN

Zdravi : > nivo kortizola inhibira oslobađanje ACTH iz adenohipofize, < nivo kortizola i drugih adrenalnih steroida.. Patološka supresija kortizola - pacijenti sa

Dari latar belakang dan permasalahan yang ada , maka alasan dalam menganalisis Perkembangan dan Kinerja Sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) di Kabupaten Pesawaran selama tahun 2008