• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS KEBIJAKAN FORMULASI TERHADAP KETENTUAN TENTANG REMISI KHUSUSNYA NARAPIDANA TERORISME Jurnal Penelitian

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "ANALISIS KEBIJAKAN FORMULASI TERHADAP KETENTUAN TENTANG REMISI KHUSUSNYA NARAPIDANA TERORISME Jurnal Penelitian"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS KEBIJAKAN FORMULASI TERHADAP KETENTUAN TENTANG REMISI KHUSUSNYA NARAPIDANA

TERORISME

Jurnal Penelitian

Oleh

M. ADITYA MALVIN

0

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(2)

ABSTRAK

ANALISIS KEBIJAKAN FORMULASI TERHADAP KETENTUAN TENTANG REMISI KHUSUSNYA NARAPIDANA

TERORISME

Oleh

M. Aditya Malvin, Maroni, Rini Fathonah malvin538@gmail.com

Pendapat yang pro-kontra atas pemberian remisi terhadap pelaku tindak pidana terorisme timbul sebagai akibat dari adanya pandangan yang menganggap bahwa pidana yang dijatuhkan hakim dalam putusannya kepada para teroris masih rendah dan jauh dari harapan masyarakat sesuai dengan sifat jenis tindak pidana tersebut sebagai extraordinary crime. Permasalahan dalam penelitian bagaimanakah kebijakan formulasi tentang remisi khususnya narapidana terorisme dan apakah kebijakan formulasi tentang remisi narapidana terorisme sesuai dengan rasa keadilan di masyarakat. Metode penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif, dengan mempelajari norma atau kaidah hukum, tinjauan atas kebijakan formulasi tentang remisi khususnya narapidana terorisme. Metode analisis secara kualitatif dan disimpulkan dengan cara pikir induktif. Hasil penelitian menunjukkan kebijakan formulasi tentang remisi khususnya narapidana terorisme sebagaiman yang telah diataur dalam Pasal 14 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang pemasyarakatan, dan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 174 Tahun 1999 tentang remisi, dan juga Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 tentang perubahan atas peraturan pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang syarat dan tata cara pelaksanaan hak warga binaan pemasyarakatan, dijelaskan bahwa pemberian remisi merupakan salah satu hak bagi setiap narapidana yang telah berbuat baik selama berada di lembaga pemasyarkatan serta memenuhi syarat-syarat tertentu lainnya. Apabila dikaitkan dengan tindak pidana yang tergolong extraordinary, kebijakan formulasi tentang remisi narapidana terorisme sesuai dengan rasa keadilan di masyarakat dimana bagi naripidana terorisme yang bertindak sebagai pelaku tindak pidana terorisme harus dilakukan pertimbangan khusus dalam pemberian remisi dan dihukum secara maksimum setimpal dengan perbuatannya. Saran, diharapkan pemerintah dalam menetapkan kebijakan yang terkait dalam usaha pemberantasan tindak pidana terorisme utamanya dalam ranah hukum pelaksanaan pidana (penitensier) harus memiliki landasan hukum yang kuat serta tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi

(3)

ABSTRACT

POLICY ANALYSIS OF PROVISIONS ON SPECIAL REMITION OF TERRORISM INMATES

By

M. Aditya Malvin, Maroni, Rini Fathonah

malvin538@gmail.com

The pro-contra opinion of the remission of terrorist actor arises as a result of a view which assumes that the criminal sanction imposed by the judge in its decision to the terrorists is still low and far from the public expectation in accordance with the nature of the criminal act as extraordinary crime. Issues in research how is the formulation policy on remissions, especially terrorism prisoners and whether the formulation policy on remission of terrorism prisoners in accordance with the sense of justice in the community. The method of research conducted in this research is normative juridical, by studying norm or rule of law, review of formulation policy about remise especially terrorism prisoner. The method of analysis is qualitatively and inferred by inductive thought. The results of the research indicate the formulation policy on remission, especially of terrorism prisoners as stated in Article 14 of Law Number 12 Year 1995 concerning socialization, and Presidential Decree No. 174/1999 on remission, as well as Government Regulation No. 28/2006 concerning the amendment Government Regulation No. 32/1999 on the requirements and procedures for the implementation of the right of prisoners, it is explained that the granting of remission is one of the rights for every prisoner who has done good while in the institution of jail and fulfill certain other conditions. If it is associated with extraordinary crime, the formulation policy on remission of terrorism prisoners is in accordance with the sense of justice in the society where for the criminal act of terrorism acting as the perpetrator of terrorism crime, special consideration must be given in the provision of remission and shall be punished to the maximum in accordance with his actions. Suggestion, it is expected that the government in determining the related policy in the effort to eradicate the crime of terrorism especially in the realm of criminal law (penitentiary) must have a strong legal basis and not contradict the higher regulation

(4)

I. PENDAHULUAN

Perkembangan teknologi dan zaman menimbulkan problema baru yaitu munculnya kejahatan serius seperti korupsi, terorisme dan kejahatan narkotika telah mendorong keinginan masyarakat untuk menghentikan pemberian remisi terhadap pelaku kejahatannya. Masyarakat memandang bahwa pemberian remisi kepada pelaku kejahatan korupsi, teroris dan narkotika melukai rasa keadilan masyarakat.

Pada sistem baru pembinaan narapidana, remisi ditempatkan sebagai motivasi (salah satu) bagi narapidana untuk membina diri sendiri. Sebab, remisi tidak sebagai hukum atau seperti dalam sistem pemasyarakatan, tidak pula sebagai anugerah sebagaimana dalam sistem kepenjaraan, tetapi sebagai hak dan kewajiban narapidana. Artinya jika narapidana benar-benar melaksanakan kewajibannya, ia berhak untuk mendapat remisi, sepanjang persyaratannya telah dipenuhi, maka kriteria pemberian remisi perlu diperjelas sehingga dapat menutup peluang remisi menjadi komoditas. Apalagi pemberian remisi juga tidak berkorelasi dengan penurunan angka kejahatan korupsi, kejahatan terorisme dan peredaran narkotika. Ketiga kejahatan tersebut cenderung meningkat, bahkan beberapa pelakunya kembali mengulangi kejahatannya, baik di dalam maupun diluar lembaga pemasyarakatan.1

Kejahatan terorisme semakin berkembang bentuknya seperti penyebaran paham radikalisme yaitu adalah suatu paham yang dibuat-buat oleh sekelompok orang yang

1 Roeslan Saleh, dalam A. Josias Simons R, Budaya Penjara, Karya Putra Darwati, Bandung, 2010, hlm.2

menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik secara drastis dengan menggunakan cara-cara kekerasan. Berdasarkan data yang

dikeluarkan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Agustus 2011, pelaku kejahatan korupsi pada tahun 2011 berjumlah 1.008 narapidana dan 506 tahanan. Dari jumlah tersebut kurang lebih telah diberikan remisi sebanyak 408 mendapat remisi umum I dan remisi umum II sebanyak 19 narapidana kasus korupsi. Sedangkan untuk kejahatan terorisme pada tahun 2011 sebanyak 131 narapidana dan 4 orang tahanan. Narapidana terorisme yang mendapat remisi umum I sebanyak 84 narapidana. Kejahatan narkotika sebanyak 28.775 narapidana dan 11.898 tahanan dengan remisi umum I sebanyak 9.596 dan remisi umum II sebanyak 244 narapidana.2

Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan pemberian remisi tidak lagi anugerah melainkan sebuah hak yang diberikan berdasarkan persyaratan yang diatur dalam perundang-undangan. Eksistensi rejim pemberian remisi di atas telah dijadikan alasan oleh beberapa pihak untuk menentang penghentian pemberian remisi terhadap pelaku kejahatan khususnya pada korupsi, teroris dan narkotika. Kelompok ini menyatakan bahwa penghentian pemberian remisi merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia sebab pada Pasal 14 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan yang menegaskan bahwa narapidana berhak mendapatkan remisi. Selain itu jika penghentian remisi dilakukan

(5)

secara terbatas maka terjadi pembedaan perlakuan pemberian remisi dimana untuk pelaku tindak pidana umum akan tetap diberikan sedangkan pelaku tindak pidana khusus tidak diberikan. Kebijakan ini yang menurutnya merupakan bentuk dan perlakuan yang diskriminasi terhadap narapidana.

Pemberian remisi bagi narapidana di Lembaga Pemasyarakatan diatur di dalam beberapa peraturan perundang-undangan, antara lain: Keputusan Presiden RI 7 No. 174 Tahun 1999 tentang Jenis-jenis Remisi berikut besaranya, Keputusan Menteri Hukum

dan Perundang-undangan

No.M.09.HN.02.01 Tahun 2000 tentang Remisi Tambahan bagi Narapidana dan Anak Didik, Keputusan Menteri Kehakiman dan HAM RI No. M. 03-PS.01.04 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pengajuan Permohonan Remisi Bagi Narapidana yang Menjalani Pidana Penjara Seumur Hidup menjadi Pidana Penjara Sementara, dan Peraturan Pemerintah No 99 Tahun 2012 tentang hukumanan Kedua Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.

Remisi tidaklah masuk dalam hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi. Remisi pun tidak masuk pada hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Sebab hak asasi ini hanya berlaku bagi setiap orang yang sedang menjalani proses persidangan, baik korban dan pelaku kejahatan dimaksudkan tetap mendapatkan perlindungan atas hak asasi ini. Remisi justru bertentangan dengan kepastian hukum yang adil bagi para korban kejahatan, dimana seharusnya vonis

hakim yang sudah mewakili rasa keadilan masyarakat tetapi pada pelaksanaannya dapat dikurangi oleh pemerintah tanpa melalui proses persidangan kembali. Oleh karena itu penghapusan remisi ataupun penghentian remisi tidak dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hak asasi manusia apalagi filosofi dasarnya remisi hanyalah belas kasihan.

Pendapat yang pro-kontra atas pemberian remisi terhadap pelaku tindak pidana terorisme timbul sebagai akibat dari adanya pandangan yang menganggap bahwa pidana yang dijatuhkan hakim dalam putusannya kepada para teroris masih (sangat) rendah dan jauh dari harapan masyarakat sesuai dengan sifat jenis tindak pidana tersebut sebagai extraordinary crime.3

Pidana yang tergolong rendah itu, pembinaan di dalam lembaga pemasyarakatan masih kurang atau bahkan tidak efektif. Pendapat yang kontra terhadap pemberian remisi kepada narapidana teroris juga dilatarbelakangi oleh (eks) narapidana teroris Abu Tholut, yang pernah dipidana dengan pidana penjara selama 8 tahun. Abu Tholut alias Mustofa alias Imron Baihaki, ditangkap di Bekasi pada tanggal 8 Juli 2003 karena memiliki senjata api, dan kemudian divonis delapan tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Timur pada tanggal 11 Mei 2004. Jika hukuman dijalani penuh, semestinya Abu Tholut baru bebas pada tanggal 9 Agustus 2011. Namun karena ada remisi, Abu Tholut bebas bersyarat pada tanggal 27 Agustus 2007. Tiga tahun berselang, polisi kembali menyatakan Abu Tholut

(6)

sebagai otak pelaku perampokan bersenjata terhadap Bank CIMB Niaga Cabang Arif Rahman Hakim, Medan, Rabu (18/8/2010), yang juga menewaskan seorang anggota Brimob yang bertugas sebagai keamanan di bank tersebut.4

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang tentang Syarat dan Tata cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Dalam diktum menimbang disebutkan bahwa memperketat syarat dan tata cara pemberian Remisi diberlakukan bagi pelaku tindak pidana terorisme karena tindak kejahatan terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban serta merupakan salah satu ancaman serius terhadap kedaulatan setiap negara karena terorisme sudah merupakan kejahatan yang bersifat internasional yang menimbulkan bahaya terhadap keamanan, perdamaian dunia serta merugikan kesejahteraan masyarakat sehingga perlu dilakukan pemberantasan secara berencana dan berkesinambungan sehingga hak asasi orang banyak dapat dilindungi dan dijunjung tinggi.

Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka ada masalah yang dirumuskan dan dicari penyelesaiannya secara ilmiah sebagai berikut:

a. Bagaimanakah kebijakan formulasi tentang remisi khususnya narapidana terorisme?

b.Apakah kebijakan formulasi tentang remisi narapidana terorisme sesuai dengan rasa keadilan di masyarakat?

4 Khairul Ikhwan, Residivis dan Terpidana

Teroris Tak Dapat Remisi,

http://www.forumbebas.com, diakses 21 April 2017

Pendekatan masalah yang digunakan dalam penulisan ini adalah pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Data primer diperoleh secara langsung dari penelitian di lapangan yang ada hubungannya dengan masalah yang diteliti, yakni dilakukan wawancara terhadap Kasi Registrasi Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Rajabasa Bandar

Lampung, anggota Polresta Bandar

Lampung dan Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung. Data sekunder diperoleh dari penelitian kepustakaan yang meliputi buku-buku literatur, peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen resmi dan lain-lain.

II. PEMBAHASAN

A. Kebijakan Formulasi Tentang Remisi Khususnya Narapidana Terorisme.

Kebijakan formulasi tentang remisi khususnya narapidana terorisme sebagaimana yang telah diataur dalam Pasal 14 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang pemasyarakatan, dan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 174 Tahun 1999 tentang remisi, dan juga Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 tentang perubahan atas peraturan pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang syarat dan tata cara pelaksanaan hak warga binaan pemasyarakatan, dijelaskan bahwa pemberian remisi merupakan salah satu hak bagi setiap narapidana yang telah berbuat baik selama berada di lembaga pemasyarkatan serta memenuhi syarat-syarat tertentu lainnya.

(7)

(termasuk remisi khusus yang tertunda dan remisi khusus bersyarat, dan remisi tambahan. Remisi umum diberikan pada hari peringatan Proklamasi Kemerdekaan, dan remisi khusus diberikan pada hari besar keagamaan (yang paling dimuliakan) yang dianut oleh narapidana dan anak pidana yang bersangkutan.

Kebijakan hukum pidana dalam formulasi pemberian remisi kepada pelaku tindak pidana terorisme (teroris) telah dirumuskan secara berbeda dari pelaku tindak pidana lainnya melalui Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 juntco Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999. Terhadap teroris dapat memperoleh remisi setelah menjalani sepertiga dari masa pidananya dan harus berkelakuan baik. Ketentuan ini hadir sebagai bentuk perwujudan rasa keadilan dalam penegakan hukum. Terkait dengan kebijakan moratorium pemberian remisi kepada teroris yang dilakukan oleh Kementerian Hukum dan HAM patut diapresiasi dari segi semangat pemberantasan terorisme, namun ditinjau dari segi filosofi pemidanaan dan dasar hukumnya pemberlakuan moratorium tersebut harus ditinjau kembali agar kebijakan tersebut memiliki dasar hukum yang kuat serta sejalan dengan filosofi pemidanaan yang ada dalam konsep pemasyarakatan.

Hukum positif yang mengatur tentang pemberian remisi kepada pelaku tindak pidana telah mencerminkan diakui dan diterapkannya konsep pemasyarakatan dalam kerangka besar pemidanaan dan pembinaan narapidana. Remisi yang ada tidak serta-merta diberikan kepada narapidana. Ada tahapan atau proses serta syarat dari setiap jenis remisi yang harus dipenuhi untuk

mendapatkannya. Keadaan demikian menunjukkan bahwa keberadaan remisi itu adalah sebagai bentuk apresiasi atau “reward” atas perbuatan atau perilaku baik dari narapidana. Dengan demikian remisi hadir sebagai bentuk rangsangan agar narapidana senantiasa terus berusaha untuk berkelakuan baik dalam arti ada pertobatan yang tentunya adalah juga dalam rangka mengantarkannya kembali kepada kehidupan di masyarakat (reintegrasi sosial).

Pemberian remisi yang tidak dilakukan dengan serta-merta kepada narapidana terorisme dimaksudkan untuk dapat dilakukannya evaluasi atas perbuatan narapidana tersebut. Tentu saja tidaklah tepat pemberian remisi tetap diberikan kepada narapidana dalam mana perbuatannya selama atau dalam waktu tertentu dinilai cacat atau buruk. Hal ini dilakukan agar filosofi pemberian remisi kepada narapidana tidak bergeser menjadi sekadar ketentuan prosedural hukum positif semata yang tentunya dengan tidak mengurangi arti dari hak narapidana tersebut.

(8)

Kebijakan tersebut tentu saja menimbulkan berbagai pro kontra di banyak kalangan khususnya bagi pihak narapidana tindak pidana terorisme itu. Mempertentangkan antara hak asasi manusia dalam rangka pembinaan dengan efek jera adalah bagian dari pro kontra tersebut. Remisi dipandang sebagai hak dari narapidana tindak pidana terorisme dan sejalan dengan filosofi pelaksanaan pidana penjara yang memasyarakatkan kembali terpidana dengan melakukan pembinaan, sehingga jika terpidana telah memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan sudah sewajarnya memperoleh hak-hak yang ditentukan peraturan perundang-undangan tanpa kecuali termasuk terpidana terorisme. Namun di sisi lain ada pandangan dalam masyarakat bahwa pemberian remisi bagi terpidana terorisme dipandang sebagai bentuk pengingkaran terhadap rasa keadilan bagi masyarakat. Lamanya masa pidana yang dijatuhkan oleh pengadilan serta lamanya pidana yang dijalani oleh terpidana terorisme dipandang tidak sebanding dengan kerugian yang diakibatkan perilaku terorisme yang ditanggung masyarakat Indonesia.

Moratorium remisi kepada pelaku tindak pidana terorisme yang dilakukan oleh Kementerian Hukum dan HAM sebagaimana telah disebut di atas menimbulkan berbagai pro dan kontra. Namun Menteri Hukum dan HAM menegaskan bahwa kebijakan yang diambil tidaklah bertentangan dengan hak asasi manusia, terlebih lagi kebijakan tersebut didasarkan pada pijakan hukum yang kuat. Kebijakan tersebut menurut Menteri Hukum dan HAM tidak hanya didasarkan pada alasan sosiologis semata yakni

memenuhi rasa keadilan masyarakat, tetapi juga memenuhi aspek yuridis karena rumusan “memenuhi rasa keadilan masyarakat” juga tercantum dengan jelas dalam konsideran Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006. Dengan kata lain rumusan

“memenuhi rasa keadilan masyarakat” telah memenuhi aspek sosiologis dan aspek yuridis.

Kebijakan Menteri Hukum dan HAM untuk melakukan moratorium pemberian remisi ditinjau dari semangat pemberantasan terorismenya patut diapresiasi. Namun banyak pihak menilai kebijakan Kementerian Hukum dan HAM untuk melakukan moratorium pemberian remisi kepada pelaku tindak pidana terorisme tidak didasarkan pada landasan hukum yang kuat. Ditinjau dari aspek yuridis landasan hukum kebijakan moratorium remisi yang hanya didasarkan pada Surat Edaran Direktur Jenderal Pemasyarakatan tidak cukup kuat bahkan bertentangan dengan peraturan di atasnya yakni Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 juntco Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, karena di dalam peraturan pemerintah tersebut telah diatur secara khusus ketentuan pemberian remisi kepada pelaku tindak pidana terorisme. Lebih lanjut melalui Pasal 35 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 ditegaskan bahwa ketentuan lebih lanjut tentang remisi diatur dengan Peraturan Presiden.

(9)

Menteri Hukum dan HAM RI No. M.HH-07.PK.01.05.04 Tahun 2011 atau dengan kata lain ditinjau dari hirarki peraturan perundang- undangan diperlukan peraturan setingkat peraturan pemerintah tersebut untuk membatalkan atau mengubah ketentuan pemberian remisi kepada tindak pidana terorisme.

Selanjutnya kebijakan untuk tidak memberikan remisi kepada pelaku tindak pidana terorisme menurut penulis sejatinya telah bertentangan dengan konsep pemasyarakatan itu sendiri atau dengan kata lain kebijakan tersebut seolah mengembalikan lagi sistem pemidanaan di Indonesia ke dalam sistem penjara. Remisi adalah

instrument dari konsep

pemasyarakatan itu sendiri yang bertujuan untuk merangsang atau memotivasi narapidana untuk senantiasa berbuat baik. Maka dengan kebijakan untuk tidak memberikan remisi kepada pelaku tindak pidana terorisme adalah bertentangan dengan filosofi pemidanaan yakni preventif, rehabilitatif dan reintegrasi sosial yang keseluruhannya tercakup dalam konsep pemasyarakatan.

Berdasarkan uraian di atas, maka menurut analisa peneliti kebijakan formulasi tentang remisi khususnya narapidana terorisme sebagaimana yang telah diataur dalam Pasal 14 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang pemasyarakatan, dan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 174 Tahun 1999 tentang remisi, dan juga Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 tentang perubahan atas peraturan pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang syarat dan tata cara pelaksanaan hak warga binaan pemasyarakatan, dijelaskan bahwa

pemberian remisi merupakan salah satu hak bagi setiap narapidana yang telah berbuat baik selama berada di lembaga pemasyarkatan serta memenuhi syarat-syarat tertentu lainnya. Namun, apabila dikaitkan dengan tindak pidana yang tergolong extraordinary crime, yaitu suatu kejahatan yang luar biasa yang mengakibatkan korban yang luar biasa pula (tindak pidana terorisme). Maka pemberian remisi bagi narapidana tindak pidana tersebut dinilai menciderai rasa keadilan masyarakat yang mana masyarakat menuntut para terorisme dihukum seberat-beratnya setimpal dengan perbuatannya. Serta bertentangan dengan semangat pemerintah dalam pemberantasan tindak pidana terorisme.

B. Kebijakan Formulasi Tentang Remisi Narapidana Terorisme Sesuai dengan Rasa Keadilan di Masyarakat

Kejahatan teroris yang terus

meningkatkan setidaknya

(10)

Kepenjaraan, alasan pemberian remisi merupakan sebuah anugerah, dalam bentuk pengurangan hukuman yang didasarkan pada belas kasihan Ratu. Sedangkan dalam Undang-Undang Pemasyarakatan pemberian remisi tidak lagi anugerah melainkan sebuah hak yang diberikan berdasarkan persyaratan yang diatur dalam perundang-undangan.

Suara atau pendapat yang bersifat kontra terhadap pemberian remisi terhadap tindak pidana yang bersifat extraordinary crime setidaknya disebabkan oleh tiga hal, yaitu:

1. Ketidakpahaman perubahan paradigma penjara menjadi lembaga pemasyarakatan, tujuan pemidanaan bukan lagi pembalasan

melainkan pembinaan

(pemasyarakatan). Pemidanaan adalah upaya untuk menyadarkan narapidana atau anak pidana agar menyesali perbuatannya, dan mengembalikannya menjadi warga masyarakat yang baik, taat kepada hukum, menjunjung tinggi nilai-nilai moral, sosial dan keagamaan, sehingga tercapai kehidupan masyarakat yang aman, tertib, dan damai. Sistem pemenjaraan yang sangat menekankan pada unsur balas dendam dan penjeraan melalui lembaga “rumah penjara” dipandang tidak sejalan dengan konsep rehabilitasi dan reintegrasi sosial, agar narapidana menyadari kesalahannya, tidak lagi berkehendak untuk melakukan tindak pidana dan kembali menjadi

warga masyarakat yang

bertanggung jawab bagi diri, keluarga, dan lingkungannya. 2. Tidak bekerjanya sub-sub sistem

peradilan pidana dengan baik. Rasa keadilan masyarakat menjadi terusik ketika seorang teroris yang

merenggut banyak nyawa orang yang tidak bersalah atau menimbulkan rasa ketakutan yang meluas secara riil hanya menjalani dua hingga tiga tahun pidana penjaranya di lembaga

pemasyarakatan. Dalam

menetapkan pidana (hakim) harus dipahami benar apa makna kejahatan, penjahat (pembuat) dan pidana, tidak cukup hanya mengatakan bahwa pidana itu harus setimpal dan seimbang dengan berat dan sifat kejahatannya, dalam penjatuhan pidana, hakim harus menyadari makna dari putusannya itu, apakah yang hendak dicapai

dengan pidana yang

dijatuhkannya itu. Sebagai extraordinary crime ada harapan bahwa teroris divonis dengan pidana yang maksimal atau setidak-tidaknya lebih dari separuh ancaman maksimum pidana penjara yang diancamkan pada pasal undang-undang yang menjadi dasar putusan hakim.

3. Proses penilaian terhadap narapidana dan anak pidana yang berhak untuk memperoleh remisi. Kurangnya personil dan fasilitas

pembinaan di lembaga

(11)

dan teroris (melalui kelompoknya) untuk memperoleh remisi yang maksimum.

III.PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pemaparan dan analisis kebijakan formulasi tentang remisi khususnya narapidana terorisme, maka dapat diambil beberapa simpulan yaitu: 1. Kebijakan formulasi tentang remisi khususnya narapidana terorisme dinilai menciderai rasa keadilan masyarakat yang mana masyarakat menuntut para terorisme dihukum seberat-beratnya setimpal dengan perbuatannya serta bertentangan dengan semangat pemerintah dalam pemberantasan tindak pidana terorisme.

2. Kebijakan formulasi tentang remisi narapidana terorisme sesuai dengan rasa keadilan di masyarakat dimana:

a. Bagi narapidana terorisme yang tidak mempunyai andil besar (membantu melakukan) tindak terorisme boleh mendapatkan remisi apabila memenuhi persyaratan sebagaimana yang telah diamanatkan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2006, yaitu berkelakuan baik dan telah menjalani satu pertiga dari jumlah total pidana yang dijatuhkan

b. Bagi naripidana terorisme yang bertindak sebagai pelaku tindak pidana terorisme harus dilakukan pertimbangan khusus dalam pemberian remisi dan dihukum secara maksimum setimpal dengan perbuatannya.

B. Saran

Berkenaan dengan pembahasan skripsi ini, ada beberapa saran yang perlu penulis sampaikan, yaitu:

1. Pemerintah diharapkan dalam menetapkan kebijakan yang terkait dalam usaha pemberantasan tindak pidana terorisme utamanya dalam ranah hukum pelaksanaan pidana (penitensier) harus memiliki landasan hukum yang kuat serta tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Ketentuan pemberian remisi kepada teroris di masa yang akan

datang hendaknya

mempertimbangkan masa pidana seseorang sebagaimana yang dianut oleh negara-negara pembanding di atas dengan kata lain disesuaikan berat ringannya sanksi pidana dengan besar remisi yang dapat diperoleh. Sehingga ke depannya diharapkan tercapai tujuan dari pemasyarakatan yakni pembinaan narapidana serta terciptanya keadilan dalam masyarakat.

(12)

DAFTAR PUSTAKA

Direktorat Bina Pelayanan Tahanan dan Pembinaan Narapidana yang dikeluarkan pada bulan Desember dan bulan Agustus 2011

Khairul Ikhwan, Residivis dan Terpidana Teroris Tak Dapat Remisi,

http://www.forumbebas.com/

thread/140975.html, diakses 21 April 2017

Roeslan Saleh, dalam A. Josias Simons R, Budaya Penjara, (Karya Putra Darwati, Bandung, 2010

Referensi

Dokumen terkait

Kutipan tersebut menyatakan bahwa tokoh utama Teweraut menggagumi hutan suku Asmat di Papua, karena spesies flora dan faunanya yang unik. Pesona keberagaman flora dan fauna

Materi ini disampaikan dalam pelaksanaan bimbingan agama Islam bagi Penerima Manfaat di Balai Rehabilitasi Sosial Eks Psikotik Ngudi Rahayu Kendal oleh pembimbing agama

Kriteria inklusi kasus dan kontrol adalah laki-laki umur 25-44 tahun yang tercatat (tidak tercatat) sebagai penderita HIV/AIDS dan rutin melakukan pengobatan ARV di

Proses penilaian kontribusi teknologi dilakukan dengan melibatkan pihak manajemen perusahaan untuk mendapatkan data teknis dan judgment terhadap batasan

Penelitian ini akan membandingkan kecepatan waktu akses pengacakan soal pada dua metode yakni : Algoritma Fisher Yates Shuffel dan Linear Congruent Method yang

Fungsi partikel ‘ga’ ini termasuk dalam bagian kakujoshi 「格助詞」 , karena seperti yang sudah dijabarkan diatas, definisi kakujoshi adalah partikel yang berada di

Pekerja sosial dapat mengajarkan bagaimana mengungkapkan perasaan (rasa marah, tidak setuju, kejenuhan) secara tepat dan positif, pekerja sosial dapat mengajarkan

Berdasarkan analisis data, pembahasan hasil penelitian, khususnya analisis data yang telah diuraikan mengenai pengaruh pembelajaran aqidah akhlak terhadap disiplin