BAB II
PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM PENGGUNAAN JASA PERBANKAN
A.Pengaturan Perlindungan Konsumen Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Perlindungan konsumen (consumer protection) merupakan salah satu sisi
dari korelasi antara lapangan perekonomian dengan lapangan etika.23 Dalam kegiatan bisnis terdapat hubungan yang saling membutuhkan antara pelaku usaha
dan konsumen. Kepentingan pelaku usaha adalah memperoleh laba (profit) dari
transaksi dengan konsumen, sedangkan kepentingan konsumen adalah
memperoleh kepuasan melalui pemenuhan kebutuhannya terhadap produk
tertentu. Dalam hubungan yang demikian seringkali terdapat ketidaksetaraan
antara keduanya. Konsumen biasanya berada dalam posisi yang lemah dan
karenanya dapat menjadi sasaran eksploitasi dari pelaku usaha yang secara sosial
dan ekonomi mempunyai posisi yang kuat.24
Hukum, khususnya hukum ekonomi mempunyai tugas untuk menciptakan
keseimbangan antara kepentingan konsumen, pengusaha, masyarakat, dan
pemerintah. Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
secara tegas menyebutkan bahwa pembangunan ekonomi nasional pada era
globalisasi harus mampu menghasilkan aneka barang dan jasa yang memiliki
kandungan teknologi yang dapat menjadi sarana penting kesejahteraan rakyat, dan
23
Munir Fuady, Hukum Bisnis dalam Teori dan Praktek (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1994), hlm. 150.
24
Abdul Rasyid Saliman, Hukum Bisnis untuk Perusahaan: Teori dan Contoh Kasus
sekaligus mendapatkan kepastian atas barang dan jasa yang diperoleh dari
perdagangan tanpa mengakibatkan kerugian konsumen. Selanjutnya, upaya
menjaga harkat dan martabat konsumen perlu didukung dengan meningkatkan
kesadaran, pengetahuan, kepedulian, kemampuan, dan kemandirian konsumen
untuk melindungi dirinya serta menumbuhkembangkan sikap pelaku usaha yang
bertanggung jawab.25
Menurut Hans W. Micklitz, perlindungan konsumen secara garis besar
dapat ditempuh dengan dua model kebijakan. Pertama, kebijakan yang
mewajibkan pelaku usaha memberikan informasi yang memadai kepada
konsumen (hak atas informasi). Kedua, kebijakan yang berisikan perlindungan
terhadap kepentingan ekonomi konsumen (hak atas kesehatan dan keamanan).26 Terkait dengan adanya perbedaan kedudukan antara pelaku usaha dengan
konsumen dimana pelaku usaha pada umumnya memiliki posisi yang lebih kuat
dibandingkan dengan posisi konsumen yang lemah, maka sangat perlu adanya
perlindungan terhadap konsumen. Kedudukan konsumen dalam melakukan
hubungan hukum dengan pelaku usaha memiliki beberapa prinsip-prinsip, yaitu:27 1. Let the buyer beware
Prinsip ini berasumsi bahwa pelaku usaha dan konsumen adalah dua pihak
yang sangat seimbang sehingga tidak perlu ada proteksi apapun bagi si konsumen.
Dalam kenyataannya konsumen tidak mendapat informasi yang lengkap terhadap
barang dan/atau jasa yang diperdagangkan pelaku usaha, sehingga kerugian yang
timbul akibat pemakaian barang dan/atau jasa dianggap merupakan kelalaian
25
Dhaniswara K. Harjono, Pemahaman Hukum Bisnis bagi Pengusaha (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2006), hlm. 72-73.
26
konsumen sendiri karena tidak hati-hati. Pelaku usaha tidak bertanggungjawab
apabila konsumen mengalami kerugian akibat pemakaian barang dan/atau jasa
tersebut. Menurut prinsip ini, dalam suatu hubungan jual beli antara pelaku usaha
dengan konsumen, yang wajib berhati-hati adalah pembeli (konsumen) dan
merupakan kesalahan pembeli (konsumen) jika sampai terjadi kerugian akibat
mengkonsumsi barang-barang yang tidak layak.
2. The Due Care Theory
Prinsip atau teori ini menyatakan bahwa pelaku usaha dalam menawarkan
atau memperdagangkan produk kepada konsumen wajib untuk berhati-hati.
Pelaku usaha dalam hal ini yang telah berhati-hati dalam menawarkan atau
memperdagangkan barang maupun jasa tidak dapat dipersalahkan meskipun
timbul suatu kerugian akibat barang atau jasa yang diperdagangkan. Dengan
demikian untuk dapat mempersalahkan pelaku usaha, konsumen harus dapat
membuktikan bahwa pelaku usaha tersebut telah melanggar prinsip kehati-hatian.
3. The Privity of Contract
Prinsip ini menyatakan bahwa pelaku usaha yang terjalin suatu hubungan
kontraktual dengan konsumen wajib untuk melindungi konsumen. Pelaku usaha
hanya dapat diminta pertanggungjawaban sesuai dengan yang diperjanjikan
dengan konsumen. Dengan demikian pelaku usaha tidak dapat disalahkan atas
hal-hal di luar yang diperjanjikan.
Pengaturan perlindungan konsumen berdasarkan UUPK pada dasarnya
terbagi dari beberapa bagian. Terbagi dari beberapa bagian yang mengatur
mengenai hak serta kewajiban pelaku usaha dan konsumen, perbuatan yang
pencantuman klasula baku. Tanggung jawab pelaku usaha juga merupakan bagian
yang diatur di dalam UUPK, akan tetapi dijelaskan dalam bab selanjutnya.
1. Hak dan kewajiban pelaku usaha
Pasal 6 UUPK menyatakan hak-hak yang dimiliki oleh pelaku usaha, antara lain:
a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan
mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan;
b. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang
beritikad tidak baik;
c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian
hukum sengketa konsumen;
d. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa
kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan;
e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya.
Sedangkan untuk kewajiban, pelaku usaha memiliki kewajiban sesuai
dengan Pasal 7 UUPK yang di antaranya yaitu:
a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
b. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan,
perbaikan dan pemeliharaan;
c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta
d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau
diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa
yang berlaku;
e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba
barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas
barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
f. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat
penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan;
g. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang
dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan
perjanjian.
Undang-Undang Perlindungan Konsumen lebih menekankan itikad baik
pada pelaku usaha, karena meliputi semua tahapan kegiatan usahanya, sehingga
dapat diartikan bahwa kewajiban pelaku usaha untuk beritikad baik dimulai sejak
barang dirancang sampai pada tahap purna penjualan.28
Kewajiban pelaku usaha untuk memberikan informasi yang benar, jelas
dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi
penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan disebabkan karena informasi
di samping merupakan hak konsumen, juga karena ketiadaan informasi yang tidak
memadai dari pelaku usaha merupakan salah satu jenis produk cacat yang sangat
merugikan konsumen.29
28
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hlm. 54.
29
2. Hak dan kewajiban konsumen
Pasal 4 UUPK menyatakan hak-hak yang dimiliki konsumen, antara lain:
a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi
barang dan/atau jasa;
b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang
dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan
yang dijanjikan;
c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa;
d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa
yang digunakan;
e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian
sengketa perlindungan konsumen secara patut;
f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif;
h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian,
apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian
atau tidak sebagaimana mestinya;
i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya.
Mengenai kewajiban konsumen, telah diatur di dalam Pasal 5 UUPK yaitu:
a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau
b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen
secara patut.
Selain hak-hak di atas, Shidarta juga mengklasifikasikan hak-hak
konsumen, yaitu:30
a. Hak untuk mendapatkan keamanan
Konsumen berhak untuk mendapatkan keamanan dari barang dan jasa
yang diperdagangkan oleh pelaku usaha. Pelaku usaha tidak boleh
memperdagangkan produk barang dan jasa yang dapat menimbulkan
kerugian secara jasmani atau rohani apabila dikonsumsi oleh konsumen.
Dalam hal ini pelaku usaha dalam memperdagangkan barang dan jasa
berkewajiban untuk menjamin keamanan konsumen. Hak konsumen untuk
mendapatkan keamanan penting untuk diutamakan, karena pada dulunya
kerugian yang dialami konsumen akibat mengkonsumsi barang dan jasa
yang tidak layak merupakan kesalahan konsumen sendiri sesuai dengan
prinsip let the buyer beware yang mewajibkan konsumen untuk
berhati-hati.
b. Hak untuk mendapatkan informasi
Konsumen berhak untuk mendapatkan informasi yang benar atas barang
dan jasa yang diperdagangkan oleh pelaku usaha. Pelaku usaha dalam hal
ini berkewajiban untuk memberikan informasi yang benar kepada
konsumen. Hak konsumen untuk mendapatkan informasi yang benar
30
diperlukan agar konsumen tidak mempunyai gambaran yang keliru atas
produk barang dan jasa tersebut.
c. Hak untuk memilih
Konsumen berhak untuk memilih produk barang dan/atau jasa yang akan
dibeli. Pihak pelaku usaha dilarang memaksa konsumen untuk membeli
suatu produk tertentu, karena hak untuk memilih produk mana yang akan
dibeli merupakan hak konsumen untuk memilih.
d. Hak untuk didengar
Konsumen berhak untuk mengajukan pertanyaan kepada pelaku usaha
mengenai informasi-informasi yang diperlukan. Pelaku usaha harus
bersedia untuk mendengarkan pertanyaan yang diajukan oleh konsumen,
lalu pelaku usaha juga wajib untuk memberikan penjelasan mengenai
informasi tersebut. Hak konsumen untuk didengar erat kaitannya dengan
hak untuk mendapatkan informasi.
3. Perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha
Perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha merupakan
perbuatan-perbuatan yang tidak boleh dilakukan menurut undang-undang, karena dapat
menimbulkan kerugian pada konsumen apabila perbuatan tersebut dilakukan.
Perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha bertujuan agar pelaku usaha tidak
melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat menimbulkan suatu kerugian bagi
konsumen serta pelaku usaha dapat menghindari perbuatan tersebut sehingga
tidak terjadi pelanggaran hukum.
Pasal 8 UUPK menjelaskan bahwa pada pasal ini tertuju pada dua hal,
memperdagangkan barang dan/atau jasa yang dimaksud. Larangan-larangan
tersebut agar barang dan/atau jasa yang beredar di masyarakat merupakan produk
yang layak edar, antara lain asal-usul, kualitas sesuai dengan informasi pengusaha
baik melalui label, etiket, iklan dan lain sebagainya. 31
Adapaun bentuk perbuatan larangan yang dikenakan kepada pelaku usaha
terdapat dalam Pasal 8 UUPK, yaitu:
a. Larangan mengenai produk itu sendiri, yang tidak memenuhi syarat dan
standar yang layak untuk dipergunakan atau dipakai atau dimanfaatkan
oleh konsumen;
b. Larangan mengenai ketersediaan informasi yang tidak benar, tidak akurat,
dan yang menyesatkan konsumen.
Sedangkan larangan-larangan yang diberlakukan kepada pelaku usaha
sesuai dengan Pasal 9 UUPK adalah:
a. Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu
barang dan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau seolah-olah;
1) Barang tersebut telah memenuhi dan/atau memiliki potongan harga
khusus, standar mutu tertentu, gaya atau mode tertentu, karakteristik
tertentu, sejarah atau guna tertentu;
2) Barang tersebut dalam keadaan baik dan/atau baru;
3) Barang dan/atau jasa tersebut telah mendapatkan dan/atau memiliki
sponsor, persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu,
ciri-ciri kerja, atau aksesoris tertentu;
31
4) Barang dan/atau jasa tersebut dibuat oleh perusahaan yang
mempunyai sponsor, persetujuan atau afiliasi;
5) Barang dan/atau jasa tersebut tersedia;
6) Barang tersebut tidak mengandung cacat tersembunyi;
7) Barang tersebut merupakan kelengkapan dari barang tertentu;
8) Barang tersebut berasal dari daerah tertentu;
9) Secara langsung atau tidak langsung merendahkan barang dan/atau
jasa lain;
10) Menggunakan kata-kata yang berlebihan, seperti aman, tidak
berbahaya, tidak mengandung risiko atau efek sampingan tanpa
keterangan yang lengkap;
11) Menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.
b. Barang dan/atau jasa sebagaimana dimaksud pada huruf a dilarang untuk
diperdagangkan kembali karena bertentangan dengan ketentuan yang telah
dibuat;
c. Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap huruf a dilarang untuk
melanjutkan penawaran, promosi, dan pengiklanan barang dan/atau jasa
tersebut.
Pasal 10 UUPK menyatakan bahwa pelaku usaha dalam menawarkan
barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang menawarkan,
mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau
menyesatkan mengenai:
a. Harga atau tarif suatu barang dan/atau jasa;
c. Kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang
dan/atau jasa;
d. Tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan;
e. Bahaya penggunaan barang dan/atau jasa.
Pasal 11 UUPK menyatakan bahwa pelaku usaha dalam hal penjualan
yang dilakukan melalui cara obral atau lelang, dilarang mengelabui/menyesatkan
konsumen dengan:
a. Menyatakan barang dan/atau jasa tersebut seolah-olah telah memenuhi
standar mutu tertentu;
b. Menyatakan barang dan/atau jasa tersebut seolah-olah tidak mengandung
cacat tersembunyi;
c. Tidak berniat untuk menjual barang yang ditawarkan melainkan dengan
maksud untuk menjual barang lain;
d. Tidak menyediakan barang dalam jumlah tertentu dan/atau jumlah yang
cukup dengan maksud menjual barang yang lain;
e. Tidak menyediakan jasa dalam kapasitas tertentu atau dalam jumlah cukup
dengan maksud menjual jasa yang lain;
f. Menaikkan harga atau tarif barang dan/atau jasa sebelum melakukan obral.
Pasal 12 UUPK menyebutkan bahwa pelaku usaha dilarang menawarkan,
mempromosikan, atau mengiklankan suatu barang dan/atau jasa dengan harga
atau tarif khusus dalam waktu dan jumlah tertentu, apabila pelaku usaha tidak
memiliki niat untuk melaksanakannya sesuai dengan yang telah ditawarkan,
Kemudian di dalam Pasal 13 ayat (1) UUPK menyatakan bahwa pelaku
usaha dilarang untuk mempromosikan, atau mengiklankan suatu barang dengan
cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang secara cuma-cuma dengan
maksud untuk tidak merealisasikan apa yang telah dijanjikan sebelumnya atau pun
tidak seperti yang telah dijanjikan oleh pelaku usaha tersebut.
Pasal 13 ayat (2) UUPK menyatakan bahwa pelaku usaha dilarang
menawarkan, mempromosikan, atau mengiklankan obat, obat tradisional,
suplemen makanan, alat kesehatan, dan jasa pelayanan kesehatan dengan cara
menjanjikan pemberian hadiah berupa barang dan/atau jasa lain.
Pada Pasal 14 UUPK disebutkan bahwa adanya beberapa larangan yang
diberikan kepada pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang
ditujukan untuk diperdagangkan dengan memberikan hadiah melalui cara undian,
seperti:
a. Tidak melakukan penarikan hadiah setelah batas waktu yang dijanjikan;
b. Mengumumkan hasilnya tidak melalui media massa;
c. Memberikan hadiah tidak sesuai dengan yang dijanjikan;
d. Mengganti hadiah yang tidak setara dengan nilai hadiah yang dijanjikan.
Pasal 15 UUPK menyatakan bahwa pelaku usaha dilarang melakukan
pemaksaan yang menimbulkan gangguan baik fisik maupun psikis terhadap
konsumen dalam hal menawarkan barang dan/atau jasa. Pelaku usaha dilarang
keras melakukan kekerasan dalam melakukan penawaran barang dan/atau jasa
karena melanggar ketentuan yang telah dibuat dan dapat beresiko dijatuhi
Pasal 16 UUPK menyatakan bahwa pelaku usaha dilarang menawarkan
barang dan/atau jasa melalui pesanan apabila tidak menepati pesanan dan/atau
kesepakatan waktu penyelesaian sesuai dengan yang dijanjikan dan tidak
menepati janji atas suatu pelayanan dan/atau prestasi yang telah dijanjikan.
Pasal 17 ayat (1) UUPK menyatakan bahwa, pelaku usaha periklanan
dilarang memproduksi iklan yang:
a. Mengelabui konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan kegunaan dan
harga barang dan/atau tarif jasa serta ketepatan waktu penerimaan barang
dan/atau jasa;
b. Mengelabui jaminan/garansi terhadap barang dan/atau jasa;
c. Memuat informasi yang keliru, salah, atau tidak tepat mengenai barang
dan/atau jasa;
d. Tidak memuat informasi mengenai risiko pemakaian barang dan/atau jasa;
e. Mengeksploitasi kejadian dan/atau seseorang tanpa seizin yang berwenang
atau persetujuan yang bersangkutan;
f. Melanggar etika dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan
mengenai periklanan.
Pasal 17 ayat (2) UUPK menyatakan bahwa pelaku usaha periklanan
dilarang melanjutkan peredaran iklan yang telah melanggar ketentuan pada ayat
(1).
4. Ketentuan pencantuman klausula baku
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
juga melindungi konsumen dari setiap perbuatan pelaku usaha yang tidak
yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku
usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat
dan wajib dipenuhi oleh konsumen.32 Klausula baku yang telah dipersiapkan secara sepihak terkadang dipergunakan oleh pelaku usaha untuk hal-hal yang
dapat menguntungkan pihak pelaku usaha. Dengan adanya klausula baku tersebut
maka konsumen berada dalam posisi yang lemah untuk mengalami kerugian
dikarenakan pencantuman klausula baku dipersiapkan secara sepihak tanpa
sepengetahuan konsumen. Pencantuman klausula baku telah diatur dalam Pasal 18
UUPK yang menyebutkan bahwa pelaku usaha dalam menawarkan barang
dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau
mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:
a. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha (pelaku usaha tidak
bisa melepaskan hak dan tanggung jawabnya kepada pihak lain);
b. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali
barang yang dibeli konsumen;
c. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali
uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh
konsumen;
d. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik
secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan
sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara
angsuran;
32
e. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau
pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;
f. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau
mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;
g. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan
baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat
sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang
dibelinya;
h. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk
pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang
yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
i. Pelaku usaha juga dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau
bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas agar dapat
lebih mudah untuk dimengerti.
Pencantuman klausula baku oleh pelaku usaha dalam dokumen dan/atau
perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen tetap diperbolehkan
selama pencantuman klausula tersebut harus dapat dilihat serta mudah dipahami
dan tidak bertentangan dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
telah mengatur mengenai hak serta kewajiban konsumen dalam Pasal 4 sampai 5
UUPK, hak serta kewajiban pelaku usaha pada Pasal 6 sampai 7 UUPK,
perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha dalam Pasal 8 sampai 17 UUPK,
sedangkan terkait dengan pencantuman klausula baku diatur pada Pasal 18
mengenai jasa yang diberikan kepada konsumen sesuai dengan Pasal 7 UUPK,
artinya segala sesuatu yang dilakukan pelaku usaha terhadap jasa yang diberikan
kepada konsumen wajib diketahui oleh konsumen itu sendiri dikarenakan
memang merupakan hak konsumen untuk mendapatkan informasi yang jelas
mengenai jasa yang diberikan pelaku usaha sebagaimana diatur pada Pasal 4
UUPK.
Pelaku usaha dan konsumen merupakan bagian dari hubungan atau
transaksi ekonomi, dan agar terciptanya hubungan ekonomi yang baik dan dapat
memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak dan kewajiban antara kedua
belah pihak dalam bertransaksi maka Undang-Undang Perlindungan Konsumen
tersebut dijadikan dasar dalam memberikan kepastian hukum.33
Tanggung jawab yang dipegang oleh pelaku usaha merupakan bagian dari
kewajiban yang mengikat kegiatan pelaku usaha itu sendiri. Tanggung jawab ini
disebut dengan istilah product liabilitiy (tanggung gugat produk).34 Pelaku usaha memiliki kewajiban untuk selalu bersikap hati-hati dalam memproduksi barang
dan jasa yang dihasilkan. Segala bentuk pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku
usaha akan berimplikasi pada adanya hak konsumen untuk meminta
pertanggungjawaban pelaku usaha yang telah merugikannya.35
Pengaturan terkait adanya hak dan tanggung jawab pelaku usaha, hak dan
tanggung jawab konsumen, perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha serta
ketentuan pencantuman klausula baku merupakan aturan-aturan yang termuat
dalam UUPK. Undang-Undang Perlindungan Konsumen merupakan cara yang
33
Happy Susanto, Hak-hak Konsumen Jika Dirugikan ( Jakarta: Visimedia, 2008), hlm. 34.
34Ibid.
dibuat agar hubungan antara pelaku usaha dengan konsumen menjadi nyaman dan
dapat memberikan kepastian hukum.
B.Bentuk-Bentuk Jasa Perbankan dalam Kegiatan Perbankan
Pelaku usaha menurut UUPK adalah setiap orang perseorangan atau badan
usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang
didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum
negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian
penyelenggaraan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi. Sedangkan
yang dimaksud dengan perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang
bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam
melaksanakan kegiatan usahanya.36
Secara pengertian bank memiliki arti sebuah institusi yang memiliki surat
izin bank, menerima tabungan dan deposito, memberikan pinjaman dan menerima
serta menerbitkan check.37 Bank terbagi atas dua bentuk, yaitu bank umum dan bank perkreditan umum. Bank umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan
usaha secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam
kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.38 Bank perkreditan rakyat adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau
berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam
lalu lintas pembayaran.39
36
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, Pasal 1 angka 1. 37
Sulad S. Hardanto, Manajemen Resiko Bagi Bank Umum (Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2006), hlm. 4.
38
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, Pasal 1 angka 3. 39
Bank selain melakukan tugas utama yaitu penghimpunan dan penyaluran
dana kepada masyarakat, bank juga memberikan berbagai layanan jasa kepada
masyarakat. Jasa perbankan merupakan layanan yang diberikan oleh bank kepada
nasabah atau konsumen berkaitan dengan usaha tersebut. Dengan adanya fasilitas
jasa yang lengkap maka nasabah akan lebih tertarik untuk menyimpan dana pada
bank tersebut.40 Bentuk-bentuk jasa perbankan yang diberikan oleh bank adalah sebagai berikut:
1. Transfer
Pengiriman uang dilaksanakan secara pemindah bukuan dari satu rekening
ke rekening lain atas permintaan dan atas beban pengirim.
Menurut Lukman Dendawijaya, transfer adalah
jasa yang diberikan bank dalam pengiriman uang antar bank atas permintaa
n pihak ketiga yang ditunjuk kepada penerima ditempat lain.41
Transfer adalah suatu kegiatan jasa bank untuk memindahkan sejumlah
dana tertentu sesuai dengan perintah si pemberi amanat yang ditujukan untuk
keuntungan seseorang yang ditunjuk sebagai penerima transfer. Baik transfer uang
keluar atau masuk akan mengakibatkan adanya hubungan antar cabang yang
bersifat timbal balik, artinya bila satu cabang mendebet cabang lain mengkredit.
Menurut Djumhana,
pengiriman uang atau transfer dari dan keluar negeri tersebut menjadi dua
macam yaitu:42
40
Djoni Gozali dan Rachmadi Usaman, Hukum Perbankan (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), hlm. 373.
41
Lukman Dendawijaya, Manajemen Perbankan Cetakan Kedua (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2005), hlm. 29.
42
a. Kiriman uang keluar (out
ward transfer) artinya bank menerima amanat dari nasabah didalam
negeri;
b. Kiriman uang masuk (inward transfer) artinya bank menerima amana
t dari pihak luar negeri untuk membayarkan sejumlah uang kepada p
ihak tertentu didalam negeri (perusahaan, lembaga atau perorangan).
Munculnya usaha
untuk meningkatkan fee based income barulah ditetapkan tarif fee tertentu atas
pelaksanaan jasa transfer tersebut, yang dikenal dengan biaya transfer.
2. Inkaso
Inkaso adalah jasa yang diberikan bank atas permintaan nasabah un
tuk menagihkan pembayaran
surat-surat atau dokumen berharga kepada pihak ketiga ditempat lain dimana ba
nk yang bersangkutan mempunyai cabang atau pada bank lain.43
Inkaso merupakan kegiatan jasa Bank untuk melakukan amanat dari pihak
ke tiga berupa penagihan sejumlah uang kepada seseorang atau badan tertentu di
kota lain yang telah ditunjuk oleh si pemberi amanat.
Sebagai imbalan jasa atas jasa tersebut biasanya bank menerapkan sejumlah
tarif atau fee tertentu kepada nasabah atau calon nasabahnya.
Tarif tersebut dalam dunia perbankan disebut dengan biaya inkaso. Sebagai
imbalan, bank meminta imbalan atau pembayaran atas penagihan tersebut ya
ng disebut dengan biaya inkaso.
3. Safe deposit box
43
Layanan Safe Deposit Box adalah jasa penyewaan kotak penyimpanan
harta atau surat-surat berharga yang dirancang secara khusus dari bahan baja dan
ditempatkan dalam ruang khasanah yang kokoh, tahan bongkar dan tahan api
untuk memberikan rasa aman bagi penggunanya. Penggunaan jasa ini bertujuan
untuk menghilangkan rasa khawatir, menyangkut keamanan barang-barang yang
tidak ternilai harganya.
Safe Deposit Box merupakan salah satu sistem pelayanan bank kepada
masyarakat dalam bentuk bank menyewakan box dengan ukuran tertentu untuk
menyimpan barang-barang berharga dengan jangka waktu tertentu dan nasabah
menyimpan sendiri kunci kotak pengaman tersebut.44 Dalam menentukan pilihan untuk tempat penyimpanan yang tepat, tentunya harus memilih tempat yang dapat
dipercaya oleh konsumen. Kegunaan Safe Deposit Box yaitu:
a. Untuk menyimpan surat-surat berharga dan surat-surat penting seperti
sertifikat-sertifikat, saham, obligasi, surat perjanjian, akte kelahiran,
ijazah, dan lain-lain;
b. Untuk menyimpan benda-benda berharga seperti emas, berlian, mutiara,
intan, dan lain-lain.
4. Kliring
Kata kliring berasal dari bahasa Inggris to clear yang berarti
membersihkan, menyelesaikan. Istilah clearing (bahasa Inggris) dalam bahasa
Indonesia menjadi kliring.45 Menurut Emmy Pangaribuan Simanjuntak, kliring adalah suatu pelaksanaan teknis mengenai perhitungan hutang piutang dalam
bentuk surat berharga dan surat-surat dagang seperti wesel, cek, bilyet giro dan
44
Thomas Suyatno, Kelembagaan Perbankan (Jakarta: Gramedia, 1990), hlm. 66.
45
bukti-bukti penerima transfer dari luar kota, nota-nota kredit dan surat-surat
dagang lain, diadakan antar bank peserta lainnya melalui lembaga kliring dan
menurut tata cara yang ditentukan oleh lembaga kliring.46
Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 14/35/KEP/Dir/UPPB
tanggal 10 September 1981 menyatakan Kliring adalah sarana perhitungan antar
bank guna memperlancar lalu lintas pembayaran giral. Pelaksanaan perhitungan
hutang piutang itu diatur oleh suatu lembaga yang berada di bawah Bank
Indonesia yang disebut lembaga kliring.
Kliring ini diadakan di tempat-tempat dimana ada Bank Indonesia dan
berdasarkan keadaan setempat yang memerlukan dan memenuhi persyaratan
untuk diselenggarakannya kliring. Tujuan diselenggarakannya lembaga kliring
adalah untuk memajukan / memperlancar lalu lintas pembayaran giral serta
pelayanan kepada masyarakat yang menjadi nasabah bank.47 5. Kartu kredit
Kartu Kredit merupakan istilah yang diadopsi dari istilah credit card,
merupakan kata majemuk, yang terdiri dari dua kata yang masing-masing
mempunyai pengertian dan arti yang berbeda, dalam pengertian yang tidak
sepadan serta berbeda pula pengertiannya secara harafiahnya.48
Mengenai pengertian kartu kredit ini masih belum ada kesepakatan dari
para ahli, oleh karena itu dikemukakan beberapa pendapat mengenai kartu kredit
menurut para ahli hukum dan praktisi sebagai berikut:
46Ibid. 47Ibid.
, hlm. 12.
48
a. Kartu kredit adalah salah satu alat pembayaran paling muktahir setelah cek
dan giro yang bersifat tidak tunai. Kartu kredit dibuat dari plastik dengan
ukuran standar tertentu dan berisikan data nomor kartu yang terekam
dalam magnetic stripe pada bagian belakang kartu. Pada bagian depan
kartu terdapat nama dan nomor pemegang kartu yang dicetak timbul, juga
terdapat tanggal masa berlaku kartu tersebut. Nomor pemegang kartu
biasanya terdiri dari 12-16 digit dan unik untuk setiap bank dan pemegang
kartu.49
b. Kartu Kredit adalah kartu atau sejenis kartu yang merupakan fasilitas
kredit dan dapat digunakan untuk membayar barang dan atau jasa di
tempat-tempat yang sudah ditentukan.50
c. Kartu Kredit adalah kartu yang umumnya dibuat dari bahan plastik dengan
dibubuhkan identitas dari pemegang dan penerbitnya, yang memberikan
hak terhadap siapa kartu kredit diisukan untuk menandatangani tanda
pelunasan pembayaran harga dari jasa atau barang yang dibeli di
tempat-tempat tertentu, seperti toko, hotel, restoran, penjualan tiket, pengangkutan
dan lain-lain. Selanjutnya membebankan kewajiban kepada penerbit kartu
kredit untuk melunasi harga barang dan jasa. Kemudian kepada
penerbitnya diberikan hak untuk menagih kembali pelunasan harga
tersebut dari pihak pemegang kartu kredit plus biaya-biaya lainnya, seperti
bunga, biaya tahunan, uang pangkal, dan sebagainya.51 6. Letter of credit
49
Undang Nomor 7 Tahun 1972 Sebagaimana Telah Diubah dengan Undang-Undang .Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.
50
Sri Redjeki Hartono, Op.Cit., hlm. 36.
51
218-Letter of credit adalah suatu surat yang dikeluarkan bank devisa atas
permintaan importir nasabah bank devisa bersangkutan dan ditujukan kepada
eksportir di luar negeri yang menjadi relasi dari importir tersebut. Isi surat itu
menyatakan bahwa eksportir penerima L/C diberi hak oleh importir untuk
menarik wesel (surat perintah untuk melunasi utang) atas Bank Pembuka untuk
sejumlah uang yang disebut dalam surat itu. Bank yang bersangkutan menjamin
untuk mengakseptir atau menghonorir wesel yang ditarik tersebut asal sesuai dan
memenuhi syarat yang tercantum di dalam surat itu.
Bank memberikan pelayanan jasa perbankan dengan tujuan untuk
mempermudah konsumen atau nasabah dalam melakukan suatu transaksi
perbankan. Jasa-jasa perbankan yang diberikan oleh bank kepada nasabah atau
konsumen salah satunya adalah transfer dana. Transfer dana sebagai salah satu
fasilitas pendukung jasa di perbankan merupakan fasilitas yang semakin banyak
dibutuhkan masyarakat, hal ini disebabkan tingginya kebutuhan masyarakat akan
penggunaan dana mengharuskan kepemilikan dana atau sejumlah dana didapat
dengan cepat. Dengan menggunakan transfer dana inilah, nasabah dapat
melakukan pemindahan uang dengan cepat kepada yang dituju atau mendapatkan
dana dengan cepat dari pihak lain.
Pasal 1 angka 1 UU Perbankan menjelaskan perbankan adalah segala
sesuatu yang menyangkut tentang bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha
serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Ada yang perlu
digaris bawahi bahwa dalam pengertian frase “kegiatan usaha” dan “serta cara dan
proses dalam melaksanakan kegiatan usaha”. Kedua frase tersebut menjelaskan
pelaksanaan kegiatan usahanya yang diberikan kepastian hukum oleh
undang-undang ini.
Terkait dengan adanya berbagai bentuk jasa perbankan yang telah
berkembang yang mana diawali dari bentuk yang paling sederhana hingga bentuk
yang paling kompleks, bank memberikan berbagai fasilitas perbankan kepada
nasabahnya sebagai bentuk dari meningkatnya pelayanan yang diberikan oleh
bank kepada nasabah. Dan pastinya fasilitas ini merupakan bentuk pelayanan
yang dapat menjadi gambaran bahwa semakin meningkatnya kebutuhan manusia
terhadap jasa perbankan.
C.Perlindungan Konsumen Dalam Penggunaan Jasa Perbankan
Perkembangan zaman serta diikuti dengan tingkat kebutuhan masyarakat
yang cukup tinggi mengharuskan pemerintah untuk bersikap lebih reaktif atas
tingkat kebutuhan tersebut. Hal ini dapat diambil contoh dari bagaimana peran
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang menjadi lembaga pengawas terhadap pelaku
jasa keuangan yang salah satunya adalah bank dalam menjalankan usahanya.
Tingkat kebutuhan masyarakat terhadap bank saat ini tidak dapat
dikatakan kecil karena dapat dilihat bagaimana bank menjalankan fungsinya
sebagai lembaga yang memberikan pinjaman kepada masyarakat serta menjadi
lembaga yang menyimpan uang masyarakat.
Perlindungan konsumen menjadi salah satu alasan dari OJK untuk
melakukan pengawasan serta pada akhirnya OJK mengeluarkan suatu aturan yaitu
Peraturan OJK Nomor 1/Pojk.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor
1 angka 3 Peraturan OJK No. 1 Th. 2013 disebutkan bahwa perlindungan
konsumen adalah perlindungan terhadap konsumen dengan cakupan perilaku
pelaku usaha jasa keuangan.
Pada prinsipnya, perlindungan konsumen hanya dapat berlaku kepada
konsumen yang beritikad baik, inilah yang ditekankan dalam Undang-Undang
Perlindungan Konsumen. Di dalam Peraturan OJK No. 1 Th. 2013 juga
menekankan dengan adanya itikad baik dari konsumen akan dapat terbelakunya
perlindungan konsumen tersebut. Lain dari pada itu, di dalam Peraturan OJK No.
1 Th. 2013 memberikan peluang kepada pelaku jasa keuangan untuk mengetahui
itikad baik konsumen tersebut seperti yang disebutkan di dalam Pasal 3 Peraturan
OJK No. 1 Th. 2013, yaitu pelaku usaha jasa keuangan berhak untuk memastikan
adanya itikad baik konsumen dan mendapatkan informasi dan/atau dokumen
mengenai konsumen yang akurat, jujur, jelas, dan tidak menyesatkan.
Selain itu juga, berlakunya perlindungan konsumen sesuai dengan
Peraturan OJK No. 1 Th. 2013 tidak hanya memberikan kewajiban dari konsumen
untuk beritikad baik, akan tetapi juga adanya kewajiban dari pihak pelaku usaha
untuk melakukan sesuatu dengan sepengetahuan konsumen. Dengan kata lain,
adanya kontra-prestasi ini akan memberikan titik keseimbangan dari pihak pelaku
usaha dan konsumen dalam penerapan perlindungan konsumen. Adapun
kewajiban dari pelaku usaha dalam hal berlakunya perlindungan kosumen tersebut
adalah seperti yang disebutkan dalam Pasal 5 Peraturan OJK No. 1 Th. 2013,
bahwa pelaku usaha jasa keuangan wajib menyampaikan informasi yang terkini
Kedua kewajiban dari kedua belah pihak di atas pada prinsipnya adalah
untuk memberikan perlindungan kepada masing-masing pihak apabila di suatu
saat timbul adanya sengketa, maka dapat memberikan jawaban pihak mana yang
tidak melaksanakan kewajibannya dari awal ketika akan terjalin hubungan antara
konsumen dengan pelaku usaha.
Selanjutnya dalam hal perlindungan konsumen yang wajib diberikan oleh
pelaku usaha termasuk dalam bidang perbankan, pada Pasal 25 Peraturan OJK
No. 1 Th. 2013 menyebutkan bahwa pelaku usaha jasa keuangan wajib menjaga
keamanan simpanan, dana, atau aset konsumen yang berada dalam tanggung
jawab pelaku usaha jasa keuangan. Pasal ini menjelaskan bahwa setiap simpanan,
dana, atau aset konsumen menjadi kewajiban pelaku usaha untuk menjaganya
dalam segi keamanan dan ini merupakan tanggung jawab dari setiap pelaku usaha
khususnya bank. Walaupun tidak ada penjelasan konkrit bagaimana penjagaan
keamanan tersebut namun selain dari kejadian kahar, simpanan, dana atapun aset
dari pihak konsumen harus tetap terjaga baik dari segi jumlah ataupun bentuknya.
Pada Pasal 29 Peraturan OJK No. 1 Th. 2013 menyebutkan bahwa pelaku
usaha jasa keuangan wajib bertanggung jawab atas kerugian konsumen yang
timbul akibat kesalahan dan/atau kelalaian pengurus, pegawai pelaku usaha jasa
keuangan dan/atau pihak ketiga yang bekerja untuk kepentingan pelaku usaha jasa
keuangan. Yang dimaksud dengan “kesalahan dan/atau kelalaian” pada pasal ini
adalah kesalahan dan/atau kelalaian dalam menjalankan kegiatan usaha pelaku
usaha jasa keuangan, baik yang dilaksanakan oleh pengurus, pegawai pelaku
usaha jasa keuangan dan/atau pihak ketiga yang bekerja untuk kepentingan pelaku
Perlindungan konsumen di dalam Peraturan OJK No. 1 Th. 2013 juga
memberikan kewajiban kepada setiap pihak internal pelaku usaha untuk tidak
merugikan konsumen dari segi apapun seperti yang terdapat dalam Pasal 30 huruf
b Peraturan OJK No. 1 Th. 2013, yaitu pelaku usaha jasa keuangan wajib
mencegah pengurus, pengawas, dan pegawainya dari perilaku menyalahgunakan
kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau
kedudukannya, yang dapat merugikan konsumen. Selanjutnya pada Pasal 30 ayat
(3) Peraturan OJK No. 1 Th. 2013 juga menyebutkan bahwa pelaku usaha jasa
keuangan wajib bertanggung jawab kepada konsumen atas tindakan yang
dilakukan oleh pihak ketiga yang bertindak untuk kepentingan pelaku usaha jasa
keuangan.
Adanya keluhan akibat penggunaan jasa dari pelaku usaha jasa keuangan,
maka konsumen dapat melakukan pengaduan secara langsung kepada pelaku
usaha jasa keuangan tersebut. Pasal 32 ayat (1) Peraturan OJK No. 1 Th. 2013
menyebutkan bahwa pelaku usaha jasa keuangan wajib memiliki dan
melaksanakan mekanisme pelayanan dan penyelesaian pengaduan bagi konsumen.
Pengaduan tersebut adalah sebagai bentuk dari adanya gangguan ataupun masalah
akibat penggunaan jasa dari pelaku usaha jasa keuangan, oleh karena itu pelaku
usaha jasa keuangan wajib melaporkan secara berkala adanya pengaduan
konsumen dan wajib untuk tindak lanjuti pelayanan dan penyelesaian pengaduan
konsumen dimaksud. Pengaduan konsumen dilaporkan kepada OJK, dalam hal ini
kepada Kepala Eksekutif yang melakukan pengawasan atas kegiatan pelaku usaha
Sebagai bentuk respon agar pengaduan konsumen dapat cepat
diselesaikan, Peraturan OJK No. 1 Th. 2013 telah mengatur terkait berapa lama
pengaduan konsumen akan ditanggapi. Pasal 35 ayat (1) Peraturan OJK No. 1 Th.
2013 menyebutkan bahwa pelaku usaha jasa keuangan wajib segera
menindaklanjuti dan menyelesaikan pengaduan paling lambat 20 hari kerja setelah
tanggal penerimaan pengaduan namun jangka waktu tersebut dapat diperpanjang
selama 20 hari berikutnya dikarenakan hal-hal tertentu yang telah ditentukan oleh
Peraturan OJK No. 1 Th. 2013. Sebagai bentuk dari respon cepat pengaduan,
pelaku usaha jasa keuangan wajib memiliki unit kerja dan/atau fungsi untuk
menangani dan menyelesaikan pengaduan yang diajukan Konsumen (Pasal 36
Peraturan OJK No. 1 Th. 2013).
Pihak OJK juga memberikan perlindungan kepada konsumen apabila
konsumen mengalami kerugian akibat penggunaan jasa tersebut. Adapun bentuk
perlindungan yang diberikan oleh OJK adalah memberikan kesempatan kepada
konsumen untuk melakukan pengaduan hingga penyelesaian sengketanya. Pada
Pasal 40 ayat (1) Peraturan OJK No. 1 Th. 2013 disebutkan bahwa konsumen
dapat menyampaikan pengaduan yang berindikasi sengketa antara pelaku usaha
jasa keuangan dengan konsumen kepada OJK. Pada ayat (2) nya juga dijelaskan
bahwa konsumen dan/atau masyarakat dapat menyampaikan pengaduan yang
berindikasi pelanggaran atas ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor
jasa keuangan kepada OJK.
Terkait dengan pemberian fasilitas penyelesaian sengketa dari pihak OJK,
maka ada persyaratan tertentu dalam hal ini termuat pada Pasal 41 huruf a
konsumen oleh OJK dilakukan terhadap pengaduan yang berindikasi sengketa di
sektor jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) dan harus
memenuhi persyaratan bahwa konsumen mengalami kerugian finansial yang
ditimbulkan oleh:
1. Pelaku usaha jasa keuangan di bidang Perbankan, Pasar Modal, Dana Pensiun,
Asuransi Jiwa, Pembiayaan, Perusahaan Gadai, atau Penjaminan, paling
banyak sebesar Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah);
2. Pelaku usaha jasa keuangan di bidang asuransi umum paling banyak sebesar
Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
Kemudian apabila pelaku usaha jasa keuangan terbukti melakukan
kesalahan atau pelanggaran sesuai yang telah ditentukan Peraturan OJK No. 1 Th.
2013, maka pada Pasal 53 ayat (1) Peraturan OJK No. 1 Th. 2013 disebutkan
bahwa Peraturan Otoritas Jasa Keuangan akan mengenakan sanksi administratif,
antara lain berupa:
1. Peringatan tertulis;
2. Denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu;
3. Pembatasan kegiatan usaha;
4. Pembekuan kegiatan usaha dan;
5. Pencabutan izin kegiatan usaha.
Bank merupakan bagian dari pelaku usaha sebagaimana yang dimaksud
dalam Pasal 1 angka 1 Peraturan OJK No. 1 Th. 2013. Peraturan ini secara khusus
memberikan perlindungan kepada nasabah khususnya dalam penggunaan jasa
perbankan. OJK juga memberikan tata cara bagaimana penyelesaian sengketa
Di dalam peraturan ini juga dijelaskan bagaimana OJK memiliki
wewenang terhadap pelaku usaha jasa keuangan dalam memberikan izin, bahkan
dapat membekukan izin pelaku usaha jasa keuangan apabila telah melanggar
aturan-aturan yang ada. sebagai institusi pengawasan di sektor keuangan, OJK
melalui peraturannya ini diharapkan dapat memberikan perlindungan hukum
secara mendalam bahkan jelas terhadap posisi nasabah yang telah dirugikan oleh