• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM PENGGUNAAN JASA PERBANKAN A. Pengaturan Perlindungan Konsumen Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen - Pertanggung Jawaban atas Pemblokiran Rekening Nasabah Bank (Studi Terhadap Putusan Mahk

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM PENGGUNAAN JASA PERBANKAN A. Pengaturan Perlindungan Konsumen Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen - Pertanggung Jawaban atas Pemblokiran Rekening Nasabah Bank (Studi Terhadap Putusan Mahk"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM PENGGUNAAN JASA PERBANKAN

A.Pengaturan Perlindungan Konsumen Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

Perlindungan konsumen (consumer protection) merupakan salah satu sisi

dari korelasi antara lapangan perekonomian dengan lapangan etika.23 Dalam kegiatan bisnis terdapat hubungan yang saling membutuhkan antara pelaku usaha

dan konsumen. Kepentingan pelaku usaha adalah memperoleh laba (profit) dari

transaksi dengan konsumen, sedangkan kepentingan konsumen adalah

memperoleh kepuasan melalui pemenuhan kebutuhannya terhadap produk

tertentu. Dalam hubungan yang demikian seringkali terdapat ketidaksetaraan

antara keduanya. Konsumen biasanya berada dalam posisi yang lemah dan

karenanya dapat menjadi sasaran eksploitasi dari pelaku usaha yang secara sosial

dan ekonomi mempunyai posisi yang kuat.24

Hukum, khususnya hukum ekonomi mempunyai tugas untuk menciptakan

keseimbangan antara kepentingan konsumen, pengusaha, masyarakat, dan

pemerintah. Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

secara tegas menyebutkan bahwa pembangunan ekonomi nasional pada era

globalisasi harus mampu menghasilkan aneka barang dan jasa yang memiliki

kandungan teknologi yang dapat menjadi sarana penting kesejahteraan rakyat, dan

      

23

Munir Fuady, Hukum Bisnis dalam Teori dan Praktek (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1994), hlm. 150.

24

Abdul Rasyid Saliman, Hukum Bisnis untuk Perusahaan: Teori dan Contoh Kasus

(2)

sekaligus mendapatkan kepastian atas barang dan jasa yang diperoleh dari

perdagangan tanpa mengakibatkan kerugian konsumen. Selanjutnya, upaya

menjaga harkat dan martabat konsumen perlu didukung dengan meningkatkan

kesadaran, pengetahuan, kepedulian, kemampuan, dan kemandirian konsumen

untuk melindungi dirinya serta menumbuhkembangkan sikap pelaku usaha yang

bertanggung jawab.25

Menurut Hans W. Micklitz, perlindungan konsumen secara garis besar

dapat ditempuh dengan dua model kebijakan. Pertama, kebijakan yang

mewajibkan pelaku usaha memberikan informasi yang memadai kepada

konsumen (hak atas informasi). Kedua, kebijakan yang berisikan perlindungan

terhadap kepentingan ekonomi konsumen (hak atas kesehatan dan keamanan).26 Terkait dengan adanya perbedaan kedudukan antara pelaku usaha dengan

konsumen dimana pelaku usaha pada umumnya memiliki posisi yang lebih kuat

dibandingkan dengan posisi konsumen yang lemah, maka sangat perlu adanya

perlindungan terhadap konsumen. Kedudukan konsumen dalam melakukan

hubungan hukum dengan pelaku usaha memiliki beberapa prinsip-prinsip, yaitu:27 1. Let the buyer beware

Prinsip ini berasumsi bahwa pelaku usaha dan konsumen adalah dua pihak

yang sangat seimbang sehingga tidak perlu ada proteksi apapun bagi si konsumen.

Dalam kenyataannya konsumen tidak mendapat informasi yang lengkap terhadap

barang dan/atau jasa yang diperdagangkan pelaku usaha, sehingga kerugian yang

timbul akibat pemakaian barang dan/atau jasa dianggap merupakan kelalaian       

25

Dhaniswara K. Harjono, Pemahaman Hukum Bisnis bagi Pengusaha (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2006), hlm. 72-73.

26

(3)

konsumen sendiri karena tidak hati-hati. Pelaku usaha tidak bertanggungjawab

apabila konsumen mengalami kerugian akibat pemakaian barang dan/atau jasa

tersebut. Menurut prinsip ini, dalam suatu hubungan jual beli antara pelaku usaha

dengan konsumen, yang wajib berhati-hati adalah pembeli (konsumen) dan

merupakan kesalahan pembeli (konsumen) jika sampai terjadi kerugian akibat

mengkonsumsi barang-barang yang tidak layak.

2. The Due Care Theory

Prinsip atau teori ini menyatakan bahwa pelaku usaha dalam menawarkan

atau memperdagangkan produk kepada konsumen wajib untuk berhati-hati.

Pelaku usaha dalam hal ini yang telah berhati-hati dalam menawarkan atau

memperdagangkan barang maupun jasa tidak dapat dipersalahkan meskipun

timbul suatu kerugian akibat barang atau jasa yang diperdagangkan. Dengan

demikian untuk dapat mempersalahkan pelaku usaha, konsumen harus dapat

membuktikan bahwa pelaku usaha tersebut telah melanggar prinsip kehati-hatian.

3. The Privity of Contract

Prinsip ini menyatakan bahwa pelaku usaha yang terjalin suatu hubungan

kontraktual dengan konsumen wajib untuk melindungi konsumen. Pelaku usaha

hanya dapat diminta pertanggungjawaban sesuai dengan yang diperjanjikan

dengan konsumen. Dengan demikian pelaku usaha tidak dapat disalahkan atas

hal-hal di luar yang diperjanjikan.

Pengaturan perlindungan konsumen berdasarkan UUPK pada dasarnya

terbagi dari beberapa bagian. Terbagi dari beberapa bagian yang mengatur

mengenai hak serta kewajiban pelaku usaha dan konsumen, perbuatan yang

(4)

pencantuman klasula baku. Tanggung jawab pelaku usaha juga merupakan bagian

yang diatur di dalam UUPK, akan tetapi dijelaskan dalam bab selanjutnya.

1. Hak dan kewajiban pelaku usaha

Pasal 6 UUPK menyatakan hak-hak yang dimiliki oleh pelaku usaha, antara lain:

a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan

mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang

diperdagangkan;

b. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang

beritikad tidak baik;

c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian

hukum sengketa konsumen;

d. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa

kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang

diperdagangkan;

e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan

lainnya.

Sedangkan untuk kewajiban, pelaku usaha memiliki kewajiban sesuai

dengan Pasal 7 UUPK yang di antaranya yaitu:

a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;

b. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan

jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan,

perbaikan dan pemeliharaan;

c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta

(5)

d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau

diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa

yang berlaku;

e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba

barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas

barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;

f. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat

penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang

diperdagangkan;

g. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang

dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan

perjanjian.

Undang-Undang Perlindungan Konsumen lebih menekankan itikad baik

pada pelaku usaha, karena meliputi semua tahapan kegiatan usahanya, sehingga

dapat diartikan bahwa kewajiban pelaku usaha untuk beritikad baik dimulai sejak

barang dirancang sampai pada tahap purna penjualan.28

Kewajiban pelaku usaha untuk memberikan informasi yang benar, jelas

dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi

penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan disebabkan karena informasi

di samping merupakan hak konsumen, juga karena ketiadaan informasi yang tidak

memadai dari pelaku usaha merupakan salah satu jenis produk cacat yang sangat

merugikan konsumen.29

      

28

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hlm. 54.

29

(6)

2. Hak dan kewajiban konsumen

Pasal 4 UUPK menyatakan hak-hak yang dimiliki konsumen, antara lain:

a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi

barang dan/atau jasa;

b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang

dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan

yang dijanjikan;

c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan

jaminan barang dan/atau jasa;

d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa

yang digunakan;

e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian

sengketa perlindungan konsumen secara patut;

f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak

diskriminatif;

h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian,

apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian

atau tidak sebagaimana mestinya;

i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan

lainnya.

Mengenai kewajiban konsumen, telah diatur di dalam Pasal 5 UUPK yaitu:

a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau

(7)

b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;

c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;

d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen

secara patut.

Selain hak-hak di atas, Shidarta juga mengklasifikasikan hak-hak

konsumen, yaitu:30

a. Hak untuk mendapatkan keamanan

Konsumen berhak untuk mendapatkan keamanan dari barang dan jasa

yang diperdagangkan oleh pelaku usaha. Pelaku usaha tidak boleh

memperdagangkan produk barang dan jasa yang dapat menimbulkan

kerugian secara jasmani atau rohani apabila dikonsumsi oleh konsumen.

Dalam hal ini pelaku usaha dalam memperdagangkan barang dan jasa

berkewajiban untuk menjamin keamanan konsumen. Hak konsumen untuk

mendapatkan keamanan penting untuk diutamakan, karena pada dulunya

kerugian yang dialami konsumen akibat mengkonsumsi barang dan jasa

yang tidak layak merupakan kesalahan konsumen sendiri sesuai dengan

prinsip let the buyer beware yang mewajibkan konsumen untuk

berhati-hati.

b. Hak untuk mendapatkan informasi

Konsumen berhak untuk mendapatkan informasi yang benar atas barang

dan jasa yang diperdagangkan oleh pelaku usaha. Pelaku usaha dalam hal

ini berkewajiban untuk memberikan informasi yang benar kepada

konsumen. Hak konsumen untuk mendapatkan informasi yang benar

      

30

(8)

diperlukan agar konsumen tidak mempunyai gambaran yang keliru atas

produk barang dan jasa tersebut.

c. Hak untuk memilih

Konsumen berhak untuk memilih produk barang dan/atau jasa yang akan

dibeli. Pihak pelaku usaha dilarang memaksa konsumen untuk membeli

suatu produk tertentu, karena hak untuk memilih produk mana yang akan

dibeli merupakan hak konsumen untuk memilih.

d. Hak untuk didengar

Konsumen berhak untuk mengajukan pertanyaan kepada pelaku usaha

mengenai informasi-informasi yang diperlukan. Pelaku usaha harus

bersedia untuk mendengarkan pertanyaan yang diajukan oleh konsumen,

lalu pelaku usaha juga wajib untuk memberikan penjelasan mengenai

informasi tersebut. Hak konsumen untuk didengar erat kaitannya dengan

hak untuk mendapatkan informasi.

3. Perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha

Perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha merupakan

perbuatan-perbuatan yang tidak boleh dilakukan menurut undang-undang, karena dapat

menimbulkan kerugian pada konsumen apabila perbuatan tersebut dilakukan.

Perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha bertujuan agar pelaku usaha tidak

melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat menimbulkan suatu kerugian bagi

konsumen serta pelaku usaha dapat menghindari perbuatan tersebut sehingga

tidak terjadi pelanggaran hukum.

Pasal 8 UUPK menjelaskan bahwa pada pasal ini tertuju pada dua hal,

(9)

memperdagangkan barang dan/atau jasa yang dimaksud. Larangan-larangan

tersebut agar barang dan/atau jasa yang beredar di masyarakat merupakan produk

yang layak edar, antara lain asal-usul, kualitas sesuai dengan informasi pengusaha

baik melalui label, etiket, iklan dan lain sebagainya. 31

Adapaun bentuk perbuatan larangan yang dikenakan kepada pelaku usaha

terdapat dalam Pasal 8 UUPK, yaitu:

a. Larangan mengenai produk itu sendiri, yang tidak memenuhi syarat dan

standar yang layak untuk dipergunakan atau dipakai atau dimanfaatkan

oleh konsumen;

b. Larangan mengenai ketersediaan informasi yang tidak benar, tidak akurat,

dan yang menyesatkan konsumen.

Sedangkan larangan-larangan yang diberlakukan kepada pelaku usaha

sesuai dengan Pasal 9 UUPK adalah:

a. Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu

barang dan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau seolah-olah;

1) Barang tersebut telah memenuhi dan/atau memiliki potongan harga

khusus, standar mutu tertentu, gaya atau mode tertentu, karakteristik

tertentu, sejarah atau guna tertentu;

2) Barang tersebut dalam keadaan baik dan/atau baru;

3) Barang dan/atau jasa tersebut telah mendapatkan dan/atau memiliki

sponsor, persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu,

ciri-ciri kerja, atau aksesoris tertentu;

      

31

(10)

4) Barang dan/atau jasa tersebut dibuat oleh perusahaan yang

mempunyai sponsor, persetujuan atau afiliasi;

5) Barang dan/atau jasa tersebut tersedia;

6) Barang tersebut tidak mengandung cacat tersembunyi;

7) Barang tersebut merupakan kelengkapan dari barang tertentu;

8) Barang tersebut berasal dari daerah tertentu;

9) Secara langsung atau tidak langsung merendahkan barang dan/atau

jasa lain;

10) Menggunakan kata-kata yang berlebihan, seperti aman, tidak

berbahaya, tidak mengandung risiko atau efek sampingan tanpa

keterangan yang lengkap;

11) Menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.

b. Barang dan/atau jasa sebagaimana dimaksud pada huruf a dilarang untuk

diperdagangkan kembali karena bertentangan dengan ketentuan yang telah

dibuat;

c. Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap huruf a dilarang untuk

melanjutkan penawaran, promosi, dan pengiklanan barang dan/atau jasa

tersebut.

Pasal 10 UUPK menyatakan bahwa pelaku usaha dalam menawarkan

barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang menawarkan,

mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau

menyesatkan mengenai:

a. Harga atau tarif suatu barang dan/atau jasa;

(11)

c. Kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang

dan/atau jasa;

d. Tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan;

e. Bahaya penggunaan barang dan/atau jasa.

Pasal 11 UUPK menyatakan bahwa pelaku usaha dalam hal penjualan

yang dilakukan melalui cara obral atau lelang, dilarang mengelabui/menyesatkan

konsumen dengan:

a. Menyatakan barang dan/atau jasa tersebut seolah-olah telah memenuhi

standar mutu tertentu;

b. Menyatakan barang dan/atau jasa tersebut seolah-olah tidak mengandung

cacat tersembunyi;

c. Tidak berniat untuk menjual barang yang ditawarkan melainkan dengan

maksud untuk menjual barang lain;

d. Tidak menyediakan barang dalam jumlah tertentu dan/atau jumlah yang

cukup dengan maksud menjual barang yang lain;

e. Tidak menyediakan jasa dalam kapasitas tertentu atau dalam jumlah cukup

dengan maksud menjual jasa yang lain;

f. Menaikkan harga atau tarif barang dan/atau jasa sebelum melakukan obral.

Pasal 12 UUPK menyebutkan bahwa pelaku usaha dilarang menawarkan,

mempromosikan, atau mengiklankan suatu barang dan/atau jasa dengan harga

atau tarif khusus dalam waktu dan jumlah tertentu, apabila pelaku usaha tidak

memiliki niat untuk melaksanakannya sesuai dengan yang telah ditawarkan,

(12)

Kemudian di dalam Pasal 13 ayat (1) UUPK menyatakan bahwa pelaku

usaha dilarang untuk mempromosikan, atau mengiklankan suatu barang dengan

cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang secara cuma-cuma dengan

maksud untuk tidak merealisasikan apa yang telah dijanjikan sebelumnya atau pun

tidak seperti yang telah dijanjikan oleh pelaku usaha tersebut.

Pasal 13 ayat (2) UUPK menyatakan bahwa pelaku usaha dilarang

menawarkan, mempromosikan, atau mengiklankan obat, obat tradisional,

suplemen makanan, alat kesehatan, dan jasa pelayanan kesehatan dengan cara

menjanjikan pemberian hadiah berupa barang dan/atau jasa lain.

Pada Pasal 14 UUPK disebutkan bahwa adanya beberapa larangan yang

diberikan kepada pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang

ditujukan untuk diperdagangkan dengan memberikan hadiah melalui cara undian,

seperti:

a. Tidak melakukan penarikan hadiah setelah batas waktu yang dijanjikan;

b. Mengumumkan hasilnya tidak melalui media massa;

c. Memberikan hadiah tidak sesuai dengan yang dijanjikan;

d. Mengganti hadiah yang tidak setara dengan nilai hadiah yang dijanjikan.

Pasal 15 UUPK menyatakan bahwa pelaku usaha dilarang melakukan

pemaksaan yang menimbulkan gangguan baik fisik maupun psikis terhadap

konsumen dalam hal menawarkan barang dan/atau jasa. Pelaku usaha dilarang

keras melakukan kekerasan dalam melakukan penawaran barang dan/atau jasa

karena melanggar ketentuan yang telah dibuat dan dapat beresiko dijatuhi

(13)

Pasal 16 UUPK menyatakan bahwa pelaku usaha dilarang menawarkan

barang dan/atau jasa melalui pesanan apabila tidak menepati pesanan dan/atau

kesepakatan waktu penyelesaian sesuai dengan yang dijanjikan dan tidak

menepati janji atas suatu pelayanan dan/atau prestasi yang telah dijanjikan.

Pasal 17 ayat (1) UUPK menyatakan bahwa, pelaku usaha periklanan

dilarang memproduksi iklan yang:

a. Mengelabui konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan kegunaan dan

harga barang dan/atau tarif jasa serta ketepatan waktu penerimaan barang

dan/atau jasa;

b. Mengelabui jaminan/garansi terhadap barang dan/atau jasa;

c. Memuat informasi yang keliru, salah, atau tidak tepat mengenai barang

dan/atau jasa;

d. Tidak memuat informasi mengenai risiko pemakaian barang dan/atau jasa;

e. Mengeksploitasi kejadian dan/atau seseorang tanpa seizin yang berwenang

atau persetujuan yang bersangkutan;

f. Melanggar etika dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan

mengenai periklanan.

Pasal 17 ayat (2) UUPK menyatakan bahwa pelaku usaha periklanan

dilarang melanjutkan peredaran iklan yang telah melanggar ketentuan pada ayat

(1).

4. Ketentuan pencantuman klausula baku

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

juga melindungi konsumen dari setiap perbuatan pelaku usaha yang tidak

(14)

yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku

usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat

dan wajib dipenuhi oleh konsumen.32 Klausula baku yang telah dipersiapkan secara sepihak terkadang dipergunakan oleh pelaku usaha untuk hal-hal yang

dapat menguntungkan pihak pelaku usaha. Dengan adanya klausula baku tersebut

maka konsumen berada dalam posisi yang lemah untuk mengalami kerugian

dikarenakan pencantuman klausula baku dipersiapkan secara sepihak tanpa

sepengetahuan konsumen. Pencantuman klausula baku telah diatur dalam Pasal 18

UUPK yang menyebutkan bahwa pelaku usaha dalam menawarkan barang

dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau

mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:

a. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha (pelaku usaha tidak

bisa melepaskan hak dan tanggung jawabnya kepada pihak lain);

b. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali

barang yang dibeli konsumen;

c. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali

uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh

konsumen;

d. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik

secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan

sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara

angsuran;

      

32

(15)

e. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau

pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;

f. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau

mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;

g. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan

baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat

sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang

dibelinya;

h. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk

pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang

yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;

i. Pelaku usaha juga dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau

bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas agar dapat

lebih mudah untuk dimengerti.

Pencantuman klausula baku oleh pelaku usaha dalam dokumen dan/atau

perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen tetap diperbolehkan

selama pencantuman klausula tersebut harus dapat dilihat serta mudah dipahami

dan tidak bertentangan dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

telah mengatur mengenai hak serta kewajiban konsumen dalam Pasal 4 sampai 5

UUPK, hak serta kewajiban pelaku usaha pada Pasal 6 sampai 7 UUPK,

perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha dalam Pasal 8 sampai 17 UUPK,

sedangkan terkait dengan pencantuman klausula baku diatur pada Pasal 18

(16)

mengenai jasa yang diberikan kepada konsumen sesuai dengan Pasal 7 UUPK,

artinya segala sesuatu yang dilakukan pelaku usaha terhadap jasa yang diberikan

kepada konsumen wajib diketahui oleh konsumen itu sendiri dikarenakan

memang merupakan hak konsumen untuk mendapatkan informasi yang jelas

mengenai jasa yang diberikan pelaku usaha sebagaimana diatur pada Pasal 4

UUPK.

Pelaku usaha dan konsumen merupakan bagian dari hubungan atau

transaksi ekonomi, dan agar terciptanya hubungan ekonomi yang baik dan dapat

memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak dan kewajiban antara kedua

belah pihak dalam bertransaksi maka Undang-Undang Perlindungan Konsumen

tersebut dijadikan dasar dalam memberikan kepastian hukum.33

Tanggung jawab yang dipegang oleh pelaku usaha merupakan bagian dari

kewajiban yang mengikat kegiatan pelaku usaha itu sendiri. Tanggung jawab ini

disebut dengan istilah product liabilitiy (tanggung gugat produk).34 Pelaku usaha memiliki kewajiban untuk selalu bersikap hati-hati dalam memproduksi barang

dan jasa yang dihasilkan. Segala bentuk pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku

usaha akan berimplikasi pada adanya hak konsumen untuk meminta

pertanggungjawaban pelaku usaha yang telah merugikannya.35

Pengaturan terkait adanya hak dan tanggung jawab pelaku usaha, hak dan

tanggung jawab konsumen, perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha serta

ketentuan pencantuman klausula baku merupakan aturan-aturan yang termuat

dalam UUPK. Undang-Undang Perlindungan Konsumen merupakan cara yang

      

33

Happy Susanto, Hak-hak Konsumen Jika Dirugikan ( Jakarta: Visimedia, 2008), hlm. 34.

34Ibid.

(17)

dibuat agar hubungan antara pelaku usaha dengan konsumen menjadi nyaman dan

dapat memberikan kepastian hukum.

B.Bentuk-Bentuk Jasa Perbankan dalam Kegiatan Perbankan

Pelaku usaha menurut UUPK adalah setiap orang perseorangan atau badan

usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang

didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum

negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian

penyelenggaraan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi. Sedangkan

yang dimaksud dengan perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang

bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam

melaksanakan kegiatan usahanya.36

Secara pengertian bank memiliki arti sebuah institusi yang memiliki surat

izin bank, menerima tabungan dan deposito, memberikan pinjaman dan menerima

serta menerbitkan check.37 Bank terbagi atas dua bentuk, yaitu bank umum dan bank perkreditan umum. Bank umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan

usaha secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam

kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.38 Bank perkreditan rakyat adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau

berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam

lalu lintas pembayaran.39

      

36

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, Pasal 1 angka 1. 37

Sulad S. Hardanto, Manajemen Resiko Bagi Bank Umum (Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2006), hlm. 4.

38

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, Pasal 1 angka 3. 39

(18)

Bank selain melakukan tugas utama yaitu penghimpunan dan penyaluran

dana kepada masyarakat, bank juga memberikan berbagai layanan jasa kepada

masyarakat. Jasa perbankan merupakan layanan yang diberikan oleh bank kepada

nasabah atau konsumen berkaitan dengan usaha tersebut. Dengan adanya fasilitas

jasa yang lengkap maka nasabah akan lebih tertarik untuk menyimpan dana pada

bank tersebut.40 Bentuk-bentuk jasa perbankan yang diberikan oleh bank adalah sebagai berikut:

1. Transfer

Pengiriman uang dilaksanakan secara pemindah bukuan dari satu rekening

ke rekening lain atas permintaan dan atas beban pengirim.

Menurut Lukman Dendawijaya, transfer adalah

jasa yang diberikan bank dalam pengiriman uang antar bank atas permintaa

n pihak ketiga yang ditunjuk kepada penerima ditempat lain.41

Transfer adalah suatu kegiatan jasa bank untuk memindahkan sejumlah

dana tertentu sesuai dengan perintah si pemberi amanat yang ditujukan untuk

keuntungan seseorang yang ditunjuk sebagai penerima transfer. Baik transfer uang

keluar atau masuk akan mengakibatkan adanya hubungan antar cabang yang

bersifat timbal balik, artinya bila satu cabang mendebet cabang lain mengkredit.

Menurut Djumhana,

pengiriman uang atau transfer dari dan keluar negeri tersebut menjadi dua

macam yaitu:42

      

40

Djoni Gozali dan Rachmadi Usaman, Hukum Perbankan (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), hlm. 373.

41

Lukman Dendawijaya, Manajemen Perbankan Cetakan Kedua (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2005), hlm. 29.

42

(19)

a. Kiriman uang keluar (out

ward transfer) artinya bank menerima amanat dari nasabah didalam

negeri;

b. Kiriman uang masuk (inward transfer) artinya bank menerima amana

t dari pihak luar negeri untuk membayarkan sejumlah uang kepada p

ihak tertentu didalam negeri (perusahaan, lembaga atau perorangan).

Munculnya usaha

untuk meningkatkan fee based income barulah ditetapkan tarif fee tertentu atas

pelaksanaan jasa transfer tersebut, yang dikenal dengan biaya transfer.

2. Inkaso

Inkaso adalah jasa yang diberikan bank atas permintaan nasabah un

tuk menagihkan pembayaran

surat-surat atau dokumen berharga kepada pihak ketiga ditempat lain dimana ba

nk yang bersangkutan mempunyai cabang atau pada bank lain.43

Inkaso merupakan kegiatan jasa Bank untuk melakukan amanat dari pihak

ke tiga berupa penagihan sejumlah uang kepada seseorang atau badan tertentu di

kota lain yang telah ditunjuk oleh si pemberi amanat.

Sebagai imbalan jasa atas jasa tersebut biasanya bank menerapkan sejumlah

tarif atau fee tertentu kepada nasabah atau calon nasabahnya.

Tarif tersebut dalam dunia perbankan disebut dengan biaya inkaso. Sebagai

imbalan, bank meminta imbalan atau pembayaran atas penagihan tersebut ya

ng disebut dengan biaya inkaso.

3. Safe deposit box

      

43

(20)

Layanan Safe Deposit Box adalah jasa penyewaan kotak penyimpanan

harta atau surat-surat berharga yang dirancang secara khusus dari bahan baja dan

ditempatkan dalam ruang khasanah yang kokoh, tahan bongkar dan tahan api

untuk memberikan rasa aman bagi penggunanya. Penggunaan jasa ini bertujuan

untuk menghilangkan rasa khawatir, menyangkut keamanan barang-barang yang

tidak ternilai harganya.

Safe Deposit Box merupakan salah satu sistem pelayanan bank kepada

masyarakat dalam bentuk bank menyewakan box dengan ukuran tertentu untuk

menyimpan barang-barang berharga dengan jangka waktu tertentu dan nasabah

menyimpan sendiri kunci kotak pengaman tersebut.44 Dalam menentukan pilihan untuk tempat penyimpanan yang tepat, tentunya harus memilih tempat yang dapat

dipercaya oleh konsumen. Kegunaan Safe Deposit Box yaitu:

a. Untuk menyimpan surat-surat berharga dan surat-surat penting seperti

sertifikat-sertifikat, saham, obligasi, surat perjanjian, akte kelahiran,

ijazah, dan lain-lain;

b. Untuk menyimpan benda-benda berharga seperti emas, berlian, mutiara,

intan, dan lain-lain.

4. Kliring

Kata kliring berasal dari bahasa Inggris to clear yang berarti

membersihkan, menyelesaikan. Istilah clearing (bahasa Inggris) dalam bahasa

Indonesia menjadi kliring.45 Menurut Emmy Pangaribuan Simanjuntak, kliring adalah suatu pelaksanaan teknis mengenai perhitungan hutang piutang dalam

bentuk surat berharga dan surat-surat dagang seperti wesel, cek, bilyet giro dan       

44

Thomas Suyatno, Kelembagaan Perbankan (Jakarta: Gramedia, 1990), hlm. 66.

45

(21)

bukti-bukti penerima transfer dari luar kota, nota-nota kredit dan surat-surat

dagang lain, diadakan antar bank peserta lainnya melalui lembaga kliring dan

menurut tata cara yang ditentukan oleh lembaga kliring.46

Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 14/35/KEP/Dir/UPPB

tanggal 10 September 1981 menyatakan Kliring adalah sarana perhitungan antar

bank guna memperlancar lalu lintas pembayaran giral. Pelaksanaan perhitungan

hutang piutang itu diatur oleh suatu lembaga yang berada di bawah Bank

Indonesia yang disebut lembaga kliring.

Kliring ini diadakan di tempat-tempat dimana ada Bank Indonesia dan

berdasarkan keadaan setempat yang memerlukan dan memenuhi persyaratan

untuk diselenggarakannya kliring. Tujuan diselenggarakannya lembaga kliring

adalah untuk memajukan / memperlancar lalu lintas pembayaran giral serta

pelayanan kepada masyarakat yang menjadi nasabah bank.47 5. Kartu kredit

Kartu Kredit merupakan istilah yang diadopsi dari istilah credit card,

merupakan kata majemuk, yang terdiri dari dua kata yang masing-masing

mempunyai pengertian dan arti yang berbeda, dalam pengertian yang tidak

sepadan serta berbeda pula pengertiannya secara harafiahnya.48

Mengenai pengertian kartu kredit ini masih belum ada kesepakatan dari

para ahli, oleh karena itu dikemukakan beberapa pendapat mengenai kartu kredit

menurut para ahli hukum dan praktisi sebagai berikut:

      

46Ibid. 47Ibid.

, hlm. 12.

48

(22)

a. Kartu kredit adalah salah satu alat pembayaran paling muktahir setelah cek

dan giro yang bersifat tidak tunai. Kartu kredit dibuat dari plastik dengan

ukuran standar tertentu dan berisikan data nomor kartu yang terekam

dalam magnetic stripe pada bagian belakang kartu. Pada bagian depan

kartu terdapat nama dan nomor pemegang kartu yang dicetak timbul, juga

terdapat tanggal masa berlaku kartu tersebut. Nomor pemegang kartu

biasanya terdiri dari 12-16 digit dan unik untuk setiap bank dan pemegang

kartu.49

b. Kartu Kredit adalah kartu atau sejenis kartu yang merupakan fasilitas

kredit dan dapat digunakan untuk membayar barang dan atau jasa di

tempat-tempat yang sudah ditentukan.50

c. Kartu Kredit adalah kartu yang umumnya dibuat dari bahan plastik dengan

dibubuhkan identitas dari pemegang dan penerbitnya, yang memberikan

hak terhadap siapa kartu kredit diisukan untuk menandatangani tanda

pelunasan pembayaran harga dari jasa atau barang yang dibeli di

tempat-tempat tertentu, seperti toko, hotel, restoran, penjualan tiket, pengangkutan

dan lain-lain. Selanjutnya membebankan kewajiban kepada penerbit kartu

kredit untuk melunasi harga barang dan jasa. Kemudian kepada

penerbitnya diberikan hak untuk menagih kembali pelunasan harga

tersebut dari pihak pemegang kartu kredit plus biaya-biaya lainnya, seperti

bunga, biaya tahunan, uang pangkal, dan sebagainya.51 6. Letter of credit

      

49

Undang Nomor 7 Tahun 1972 Sebagaimana Telah Diubah dengan Undang-Undang .Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.

50

Sri Redjeki Hartono, Op.Cit., hlm. 36.

51

(23)

218-Letter of credit adalah suatu surat yang dikeluarkan bank devisa atas

permintaan importir nasabah bank devisa bersangkutan dan ditujukan kepada

eksportir di luar negeri yang menjadi relasi dari importir tersebut. Isi surat itu

menyatakan bahwa eksportir penerima L/C diberi hak oleh importir untuk

menarik wesel (surat perintah untuk melunasi utang) atas Bank Pembuka untuk

sejumlah uang yang disebut dalam surat itu. Bank yang bersangkutan menjamin

untuk mengakseptir atau menghonorir wesel yang ditarik tersebut asal sesuai dan

memenuhi syarat yang tercantum di dalam surat itu.

Bank memberikan pelayanan jasa perbankan dengan tujuan untuk

mempermudah konsumen atau nasabah dalam melakukan suatu transaksi

perbankan. Jasa-jasa perbankan yang diberikan oleh bank kepada nasabah atau

konsumen salah satunya adalah transfer dana. Transfer dana sebagai salah satu

fasilitas pendukung jasa di perbankan merupakan fasilitas yang semakin banyak

dibutuhkan masyarakat, hal ini disebabkan tingginya kebutuhan masyarakat akan

penggunaan dana mengharuskan kepemilikan dana atau sejumlah dana didapat

dengan cepat. Dengan menggunakan transfer dana inilah, nasabah dapat

melakukan pemindahan uang dengan cepat kepada yang dituju atau mendapatkan

dana dengan cepat dari pihak lain.

Pasal 1 angka 1 UU Perbankan menjelaskan perbankan adalah segala

sesuatu yang menyangkut tentang bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha

serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Ada yang perlu

digaris bawahi bahwa dalam pengertian frase “kegiatan usaha” dan “serta cara dan

proses dalam melaksanakan kegiatan usaha”. Kedua frase tersebut menjelaskan

(24)

pelaksanaan kegiatan usahanya yang diberikan kepastian hukum oleh

undang-undang ini.

Terkait dengan adanya berbagai bentuk jasa perbankan yang telah

berkembang yang mana diawali dari bentuk yang paling sederhana hingga bentuk

yang paling kompleks, bank memberikan berbagai fasilitas perbankan kepada

nasabahnya sebagai bentuk dari meningkatnya pelayanan yang diberikan oleh

bank kepada nasabah. Dan pastinya fasilitas ini merupakan bentuk pelayanan

yang dapat menjadi gambaran bahwa semakin meningkatnya kebutuhan manusia

terhadap jasa perbankan.

C.Perlindungan Konsumen Dalam Penggunaan Jasa Perbankan

Perkembangan zaman serta diikuti dengan tingkat kebutuhan masyarakat

yang cukup tinggi mengharuskan pemerintah untuk bersikap lebih reaktif atas

tingkat kebutuhan tersebut. Hal ini dapat diambil contoh dari bagaimana peran

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang menjadi lembaga pengawas terhadap pelaku

jasa keuangan yang salah satunya adalah bank dalam menjalankan usahanya.

Tingkat kebutuhan masyarakat terhadap bank saat ini tidak dapat

dikatakan kecil karena dapat dilihat bagaimana bank menjalankan fungsinya

sebagai lembaga yang memberikan pinjaman kepada masyarakat serta menjadi

lembaga yang menyimpan uang masyarakat.

Perlindungan konsumen menjadi salah satu alasan dari OJK untuk

melakukan pengawasan serta pada akhirnya OJK mengeluarkan suatu aturan yaitu

Peraturan OJK Nomor 1/Pojk.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor

(25)

1 angka 3 Peraturan OJK No. 1 Th. 2013 disebutkan bahwa perlindungan

konsumen adalah perlindungan terhadap konsumen dengan cakupan perilaku

pelaku usaha jasa keuangan.

Pada prinsipnya, perlindungan konsumen hanya dapat berlaku kepada

konsumen yang beritikad baik, inilah yang ditekankan dalam Undang-Undang

Perlindungan Konsumen. Di dalam Peraturan OJK No. 1 Th. 2013 juga

menekankan dengan adanya itikad baik dari konsumen akan dapat terbelakunya

perlindungan konsumen tersebut. Lain dari pada itu, di dalam Peraturan OJK No.

1 Th. 2013 memberikan peluang kepada pelaku jasa keuangan untuk mengetahui

itikad baik konsumen tersebut seperti yang disebutkan di dalam Pasal 3 Peraturan

OJK No. 1 Th. 2013, yaitu pelaku usaha jasa keuangan berhak untuk memastikan

adanya itikad baik konsumen dan mendapatkan informasi dan/atau dokumen

mengenai konsumen yang akurat, jujur, jelas, dan tidak menyesatkan.

Selain itu juga, berlakunya perlindungan konsumen sesuai dengan

Peraturan OJK No. 1 Th. 2013 tidak hanya memberikan kewajiban dari konsumen

untuk beritikad baik, akan tetapi juga adanya kewajiban dari pihak pelaku usaha

untuk melakukan sesuatu dengan sepengetahuan konsumen. Dengan kata lain,

adanya kontra-prestasi ini akan memberikan titik keseimbangan dari pihak pelaku

usaha dan konsumen dalam penerapan perlindungan konsumen. Adapun

kewajiban dari pelaku usaha dalam hal berlakunya perlindungan kosumen tersebut

adalah seperti yang disebutkan dalam Pasal 5 Peraturan OJK No. 1 Th. 2013,

bahwa pelaku usaha jasa keuangan wajib menyampaikan informasi yang terkini

(26)

Kedua kewajiban dari kedua belah pihak di atas pada prinsipnya adalah

untuk memberikan perlindungan kepada masing-masing pihak apabila di suatu

saat timbul adanya sengketa, maka dapat memberikan jawaban pihak mana yang

tidak melaksanakan kewajibannya dari awal ketika akan terjalin hubungan antara

konsumen dengan pelaku usaha.

Selanjutnya dalam hal perlindungan konsumen yang wajib diberikan oleh

pelaku usaha termasuk dalam bidang perbankan, pada Pasal 25 Peraturan OJK

No. 1 Th. 2013 menyebutkan bahwa pelaku usaha jasa keuangan wajib menjaga

keamanan simpanan, dana, atau aset konsumen yang berada dalam tanggung

jawab pelaku usaha jasa keuangan. Pasal ini menjelaskan bahwa setiap simpanan,

dana, atau aset konsumen menjadi kewajiban pelaku usaha untuk menjaganya

dalam segi keamanan dan ini merupakan tanggung jawab dari setiap pelaku usaha

khususnya bank. Walaupun tidak ada penjelasan konkrit bagaimana penjagaan

keamanan tersebut namun selain dari kejadian kahar, simpanan, dana atapun aset

dari pihak konsumen harus tetap terjaga baik dari segi jumlah ataupun bentuknya.

Pada Pasal 29 Peraturan OJK No. 1 Th. 2013 menyebutkan bahwa pelaku

usaha jasa keuangan wajib bertanggung jawab atas kerugian konsumen yang

timbul akibat kesalahan dan/atau kelalaian pengurus, pegawai pelaku usaha jasa

keuangan dan/atau pihak ketiga yang bekerja untuk kepentingan pelaku usaha jasa

keuangan. Yang dimaksud dengan “kesalahan dan/atau kelalaian” pada pasal ini

adalah kesalahan dan/atau kelalaian dalam menjalankan kegiatan usaha pelaku

usaha jasa keuangan, baik yang dilaksanakan oleh pengurus, pegawai pelaku

usaha jasa keuangan dan/atau pihak ketiga yang bekerja untuk kepentingan pelaku

(27)

Perlindungan konsumen di dalam Peraturan OJK No. 1 Th. 2013 juga

memberikan kewajiban kepada setiap pihak internal pelaku usaha untuk tidak

merugikan konsumen dari segi apapun seperti yang terdapat dalam Pasal 30 huruf

b Peraturan OJK No. 1 Th. 2013, yaitu pelaku usaha jasa keuangan wajib

mencegah pengurus, pengawas, dan pegawainya dari perilaku menyalahgunakan

kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau

kedudukannya, yang dapat merugikan konsumen. Selanjutnya pada Pasal 30 ayat

(3) Peraturan OJK No. 1 Th. 2013 juga menyebutkan bahwa pelaku usaha jasa

keuangan wajib bertanggung jawab kepada konsumen atas tindakan yang

dilakukan oleh pihak ketiga yang bertindak untuk kepentingan pelaku usaha jasa

keuangan.

Adanya keluhan akibat penggunaan jasa dari pelaku usaha jasa keuangan,

maka konsumen dapat melakukan pengaduan secara langsung kepada pelaku

usaha jasa keuangan tersebut. Pasal 32 ayat (1) Peraturan OJK No. 1 Th. 2013

menyebutkan bahwa pelaku usaha jasa keuangan wajib memiliki dan

melaksanakan mekanisme pelayanan dan penyelesaian pengaduan bagi konsumen.

Pengaduan tersebut adalah sebagai bentuk dari adanya gangguan ataupun masalah

akibat penggunaan jasa dari pelaku usaha jasa keuangan, oleh karena itu pelaku

usaha jasa keuangan wajib melaporkan secara berkala adanya pengaduan

konsumen dan wajib untuk tindak lanjuti pelayanan dan penyelesaian pengaduan

konsumen dimaksud. Pengaduan konsumen dilaporkan kepada OJK, dalam hal ini

kepada Kepala Eksekutif yang melakukan pengawasan atas kegiatan pelaku usaha

(28)

Sebagai bentuk respon agar pengaduan konsumen dapat cepat

diselesaikan, Peraturan OJK No. 1 Th. 2013 telah mengatur terkait berapa lama

pengaduan konsumen akan ditanggapi. Pasal 35 ayat (1) Peraturan OJK No. 1 Th.

2013 menyebutkan bahwa pelaku usaha jasa keuangan wajib segera

menindaklanjuti dan menyelesaikan pengaduan paling lambat 20 hari kerja setelah

tanggal penerimaan pengaduan namun jangka waktu tersebut dapat diperpanjang

selama 20 hari berikutnya dikarenakan hal-hal tertentu yang telah ditentukan oleh

Peraturan OJK No. 1 Th. 2013. Sebagai bentuk dari respon cepat pengaduan,

pelaku usaha jasa keuangan wajib memiliki unit kerja dan/atau fungsi untuk

menangani dan menyelesaikan pengaduan yang diajukan Konsumen (Pasal 36

Peraturan OJK No. 1 Th. 2013).

Pihak OJK juga memberikan perlindungan kepada konsumen apabila

konsumen mengalami kerugian akibat penggunaan jasa tersebut. Adapun bentuk

perlindungan yang diberikan oleh OJK adalah memberikan kesempatan kepada

konsumen untuk melakukan pengaduan hingga penyelesaian sengketanya. Pada

Pasal 40 ayat (1) Peraturan OJK No. 1 Th. 2013 disebutkan bahwa konsumen

dapat menyampaikan pengaduan yang berindikasi sengketa antara pelaku usaha

jasa keuangan dengan konsumen kepada OJK. Pada ayat (2) nya juga dijelaskan

bahwa konsumen dan/atau masyarakat dapat menyampaikan pengaduan yang

berindikasi pelanggaran atas ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor

jasa keuangan kepada OJK.

Terkait dengan pemberian fasilitas penyelesaian sengketa dari pihak OJK,

maka ada persyaratan tertentu dalam hal ini termuat pada Pasal 41 huruf a

(29)

konsumen oleh OJK dilakukan terhadap pengaduan yang berindikasi sengketa di

sektor jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) dan harus

memenuhi persyaratan bahwa konsumen mengalami kerugian finansial yang

ditimbulkan oleh:

1. Pelaku usaha jasa keuangan di bidang Perbankan, Pasar Modal, Dana Pensiun,

Asuransi Jiwa, Pembiayaan, Perusahaan Gadai, atau Penjaminan, paling

banyak sebesar Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah);

2. Pelaku usaha jasa keuangan di bidang asuransi umum paling banyak sebesar

Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).

Kemudian apabila pelaku usaha jasa keuangan terbukti melakukan

kesalahan atau pelanggaran sesuai yang telah ditentukan Peraturan OJK No. 1 Th.

2013, maka pada Pasal 53 ayat (1) Peraturan OJK No. 1 Th. 2013 disebutkan

bahwa Peraturan Otoritas Jasa Keuangan akan mengenakan sanksi administratif,

antara lain berupa:

1. Peringatan tertulis;

2. Denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu;

3. Pembatasan kegiatan usaha;

4. Pembekuan kegiatan usaha dan;

5. Pencabutan izin kegiatan usaha.

Bank merupakan bagian dari pelaku usaha sebagaimana yang dimaksud

dalam Pasal 1 angka 1 Peraturan OJK No. 1 Th. 2013. Peraturan ini secara khusus

memberikan perlindungan kepada nasabah khususnya dalam penggunaan jasa

perbankan. OJK juga memberikan tata cara bagaimana penyelesaian sengketa

(30)

Di dalam peraturan ini juga dijelaskan bagaimana OJK memiliki

wewenang terhadap pelaku usaha jasa keuangan dalam memberikan izin, bahkan

dapat membekukan izin pelaku usaha jasa keuangan apabila telah melanggar

aturan-aturan yang ada. sebagai institusi pengawasan di sektor keuangan, OJK

melalui peraturannya ini diharapkan dapat memberikan perlindungan hukum

secara mendalam bahkan jelas terhadap posisi nasabah yang telah dirugikan oleh

Referensi

Dokumen terkait

API Location menghasilkan informasi lokasi secara fisik yang dapat digunakan untuk landmark yang dapat disimpan.. JSR 179 membutuhkan Connected Device Configuration (CDC) atau

Menyadari bahwa energi menjadi isu utama dalam industri maka PT EONIX menyadari opportunity atau peluang pasar dari kebutuhan tersebut dengan menyediakan kabel yang

Hasil analisis yang didapat dari penelitian ini adalah mekanisme yang diterapkan atas pemungutan maupun pemotongan pajak terutama atas Pajak Penghasilan Pasal 23

Kegiatan kelompok BKR Percontohan ini sangat penting sehingga terjadi komunikasi antara remaja dengan orang tua tentang kesehatan reproduksi yang selama ini belum

Sarung tangan yang kuat, tahan bahan kimia yang sesuai dengan standar yang disahkan, harus dipakai setiap saat bila menangani produk kimia, jika penilaian risiko menunjukkan,

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui positioning empat merek cosmetic lokal berlabel halal yang terkenal yaitu, Wardah Cosmetics, La Tulipe, Zoya Cosmetics, dan Sari

Administrasi merupakan salah satu tolak ukur berkembangnya suatu organisasi dengan pesat. Administrasi berkaitan erat dengan pengolahan data yang saat ini sesuai

C. PETUNJUK PENGGUNAAN MODUL 1. Petunjuk Bagi Siswa/Peserta Didik  Untuk memperoleh hasil belajar yang maximal, dalam menggunakan modul ini maka langkah–langkah yang dilaksanakan antara