BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Konsep Perilaku 2.1.1. Batasan Perilaku
Menurut Notoatmodjo (2003) perilaku adalah semua kegiatan atau
aktivitas manusia, baik dapat diamati langsung maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar. Manusia sebagai salah satu mahluk hidup mempunyai aktifitas
yang dapat dibagikan menjadi dua kelompok yaitu aktivitas yang dapat dilihat oleh orang lain dan aktivitas yang tidak dapat dilihat oleh orang lain. Menurut seorang ahli psikologi Skinner yang dikutip dari Notoatmodjo (2007) beliau
mendapati bahwa perilaku merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap suatu stimulus (rangsangan dari luar). Oleh sebab itu perilaku manusia terjadi
melalui proses Stimulus, Organisme, dan Respons, sehingga teori Skinner
disebut teori “S-O-R”. Teori Skinner juga menjelaskan adanya 2 jenis respons
yaitu :
a) Responden respon atau refleksif, yakni respons yang ditunjukkan oleh rangsangan-rangsangan (stimulus) tertentu yang disebut eliciting stimuli, karena menimbulkan respon yang relatif tetap misalnya makanan lezat
akan menimbulkan nafsu untuk makan dan sebagainya.
b) Operant respon atau instrumental respon yakni respons yang timbul dan
Skinner dalam Notoatmodjo (2003) juga mengemukakan bahwa perilaku
merupakan hasil hubungan antara perangsang (stimulus) dan respon. Ia membedakan dengan dua bentuk yaitu :
a) Perilaku tertutup (covert behaviour)
Perilaku ini adalah respons yang masih belum dapat dilihat oleh orang lain.
Respons seseorang masih terbatas dalam bentuk perhatian, perasaan, persepsi,
pengetahuan, dan sikap terhadap stimulus yang bersangkutan. Bentuk
"unobservable behavior" atau "covert behavior" yang dapat diukur adalah
pengetahuan dan sikap.
b) Perilaku terbuka (overt behaviour)
Perilaku terbuka ini terjadi bila respons terhadap stimulus tersebut sudah berupa tindakan, atau praktik ini dapat diamati orang lain dari luar atau
"observable behavior". Yang dengan mudah dapat diamati atau dilihat oleh orang lain.
2.1.2. Domain Perilaku
Perilaku manusia sangatlah kompleks dan mempunyai bentangan yang sangat luas. Benyamin Bloom (seorang ahli psikologi pendidikan) dalam Notoatmodjo
(2003) membagi perilaku manusia itu ke dalam 3 tingkat ranah yakni : a) Kognitif (cognitive)
b) Afektif (affective)
Dalam perkembangannya, teori Blum ini dimodifikasi untuk pengukuran hasil
pendidikan kesehatan, yakni : 1. Pengetahuan (knowledge)
Pengetahuan adalah hasil dari penginderaan manusia atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indera yang dimilikinya (mata, hidung, telinga, dsb). Tanpa pengetahuan seseorang tidak mempunyai dasar untuk mengambil keputusan dan
menentukan tindakan terhadap masalah yang dihadapi.
Adapun tingkat pengetahuan di dalam domain kognitif mempunyai 6
tingkatan, diantaranya : 1). Tahu (know)
Tahu diartikan hanya sebagai recall (memanggil) memori yang telah ada sebelumnya setelah mengamati sesuatu. Misalnya : tahu bahwa buah jeruk banyak mengandung vitamin C, penyakit demam berdarah ditularkan melalui
nyamuk Aedes Aegypti, dan sebagainya. Untuk mengetahui dan mengukur bahwa orang tahu sesuatu dapat menggunakan pertanyaan-pertanyaan.
2). Memahami (comprehension)
Memahami suatu objek bukan sekedar tahu terhadap objek tersebut, tidak sekedar dapat menyebutkan, tetapi orang tersebut harus dapat
menginterpretasikan secara benar tentang objek yang diketahuinya tersebut. 3). Aplikasi (application)
Aplikasi diartikan apabila orang yang telah memahami objek yang dimaksud
4). Analisis (analysis)
Analisis adalah kemampuan seseorang untuk menjabarkan dan memisahkan, kemudian mencari hubungan antara komponen-komponen yang terdapat
dalam suatu masalah atau objek yang diketahuinya. 5). Sintetis (synthesis)
Sintesis menunjukkan suatu kemampuan seseorang untuk merangkum atau
meletakkan dalam suatu hubungan yang logis dari komponen-komponen pengetahuan yang dimiliki. Dengan kata lain, sintetis adalah suatu
kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang sudah ada.
6). Evaluasi (evaluation)
Evaluasi berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu objek tertentu. Penilaian ini dengan sendirinya
didasarkan pada suatu criteria yang ditentukan sendiri atau norma-norma yang berlaku dimasyarakat (Notoatmodjo, 2003).
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket
yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau responden (Notoatmodjo, 2007).
2. Sikap (attitude)
Menurut Notoatmodjo (2003) sikap merupakan reaksi atau respons yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Allport dalam
1. Kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap suatu objek.
2. Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek. 3. Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave).
Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh (total attitude).dalam penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan, pikiran, keyakinan, dan emosi memegang peranan penting.
Seperti halnya dengan pengetahuan, sikap ini terdiri dari berbagai tingkatan yaitu :
a) Menerima (receiving)
Menerima diartikan apabila subjek mau dan memperhatikan stimulus atau objek
yang diberikan.
b) Merespon (responding)
Merespon diartikan apabila subjek memberikan jawaban atau tanggapan terhadap pertanyaan atau objek yang dihadapi.
c) Menghargai (valuing)
Menghargai diartikan apabila subjek dapat memberikan nilai yang positif terhadap objek atau stimulus. Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau
mendiskusikan suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga. d) Bertanggung jawab (responsible)
Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung dan tidak langsung. Secara
langsung yaitu berupa pendapat atau pernyataan responden terhadap suatu objek. 3. Tindakan (practice)
Suatu sikap belum tentu otomatis terwujud dalam satu tindakan (overt behavior). Untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendorong atau situasi kondisi yang memungkinkan.
Tindakan dibedakan atas beberapa tingkatan, yaitu : 1. Persepsi (perception)
Adanya pengenalan dan pemilihan berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil merupakan praktek tingkat.
2. Respon terpimpin (guided response)
Mengikuti contoh atau melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar merupakan indikator praktek tingkat kedua.
3. Mekanisme (mechanism)
Sesuatu yang sudah merupakan kebiasaan dan telah melakukannya dengan benar secara otomatis sudah mencapai praktek tingkat tiga.
4. Adopsi (adoption)
Sudah memodifikasi tanpa mengurangi kebenaran tindakan tersebut adalah
suatu praktek atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik.
Pengukuran perilaku dapat dilakukan secara tidak langsung yakni dengan wawancara terhadap kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan beberapa jam, hari,
2.1.3. Proses Adopsi Perilaku
Menurut penelitian Rogers (1947) mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru, di dalam diri orang tersebut telah terjadi proses yang
berurutan, yakni :
a. Awarness : Menyadari akan suatu stimulus atau objek.
b. Interest : Dimana seseorang mulai tertarik terhadap suatu stimulus atau
objek.
c. Evaluation : Membandingkan baik tidaknya suatu stimulus atau objek
terhadap dirinya sendiri.
d. Trial : Mulai mencoba perilaku baru.
e. Adoption : Telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran dan sikapnya terhadap suatu stimulus.
2.2. Determinan Perilaku
Faktor-faktor yang membedakan respons terhadap stimulus yang berbeda disebut determinan perilaku. Faktor penentu atau determinan perilaku manusia sulit untuk dibatasi karena perilaku merupakan resultansi dari berbagai faktor, baik internal
maupun eksternal (lingkungan). Secara lebih terperinci perilaku manusia sebenarnya merupakan refleksi dari berbagai gejala kejiwaan seperti pengetahuan, kehendak,
minat, motivasi, persepsi, sikap, dan sebagainya (Notoatmodjo, 2003).
a. Faktor internal, yakni karakteristik orang yang bersangkutan yang bersifat
bawaan, misalnya: umur, jenis kelamin, pekerjaan, tingkat pendidikan, tingkat emosional, tingkat kecerdasan, dan lain-lain.
b. Faktor eksternal, yakni lingkungan fisik, sosial, budaya, politik, dan ekonomi, dan sebagainya. Faktor lingkungan ini sering merupakan faktor yang dominan mewarnai perilaku seseorang (Notoatmodjo, 2003).
Tim ahli WHO (1984) menganalisis bahwa yang menyebabkan seseorang itu berperilaku ada empat alasan pokok yaitu :
1. Pemikiran dan perasaan
Bentuk pemikiran dan perasaan ini adalah pengetahuan, kepercayaan, sikap,
persepsi, kepercayaan-kepercayaan, dan penilaian-penilaian seseorang terhadap objek (dalam hal ini adalah objek kesehatan), dan lain-lain.
2. Orang penting sebagai referensi
Apabila seseorang itu penting bagi kita maka apapun yang ia lakukan ataupun katakan cenderung untuk kita contoh. Orang inilah yang dianggap kelompok referensi seperti kepala suku, guru, kepala desa, dan lain-lain.
3. Sumber-sumber daya
Yang termasuk adalah fasilitas-fasilitas misalnya waktu, uang, tenaga kerja,
keterampilan, dan pelayanan. Pengaruh sumber daya terhadap perilaku dapat bersifat positif maupun negatif.
4. Kebudayaan
kebudayaan. Perilaku yang normal adalah salah satu aspek dari kebudayaan
dan selanjutnya kebudayaan mempunyai pengaruh terhadap perilaku. Kebudayaan selau berubah, baik lambat ataupun cepat, sesuai dengan
peradaban umat manusia.
Hal-hal yang mempengaruhi perilaku seseorang sebagian terletak dalam diri individu sendiri yang disebut sebagai faktor internal dan sebagian terletak di luar
dirinya atau disebut dengan faktor eksternal atau faktor lingkungan.
Suatu teori lain dikembangkan oleh Lawrence Green yang telah dicoba untuk
mengungkapkan determinan perilaku dari analisis faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku khususnya perilaku yang berhubungan dengan kesehatan, yang
mengatakan bahwa kesehatan seseorang atau masyarakat dipengaruhi oleh dua faktor yakni faktor perilaku dan faktor di luar perilaku. Selanjutnya perilaku itu sendiri terbentuk dari 3 faktor, yaitu sebagai berikut :
1. Faktor-faktor predisposisi (predisposing factors), yang terwujud dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai dan sebagainya. 2. Faktor-faktor pendukung (enabling factors), yang terwujud dalam
lingkungan fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana kesehatan misalnya puskesmas, obat-obatan, alat-alat
kontrasepsi, jamban, dan sebagainya.
3. Faktor-faktor pendorong (reinforcing factors) yang terwujud dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan, atau petugas yang lain yang merupakan
Disimpulkan bahwa perilaku seseorang atau masyarakat tentang kesehatan
ditentukan oleh pengetahuan, sikap, kepercayaan, dan tradisi, dan sebagainya dari orang atau masyarakat yang bersangkutan. Di samping itu, ketersediaan fasilitas,
sikap dan perilaku para petugas terhadap kesehatan juga akan mendukung dan memperkuat terbentuknya perilaku.
Menurut WHO yang dikutip oleh Notoatmodjo (2003), perubahan perilaku
dikelompokkan menjadi tiga yaitu :
1. Perubahan alamiah (natural change) ialah perubahan yang dikarenakan
perubahan pada lingkungan fisik, sosial, budaya, ataupun ekonomi dimana ia beraktifitas.
2. Perubahan terencana (planned change) ialah perubahan ini terjadi karena memang direncanakan sendiri oleh subjek.
3. Perubahan dari hal kesediaannya untuk berubah (readiness to change) ialah
perubahan yang terjadi apabila terdapat suatu inovasi atau program-program baru, maka yang akan terjadi adalah sebagian orang cepat mengalami perubahan perilaku dan sebagian lagi lamban. Hal ini disebabkan setiap
orang mempunyai kesedian untuk berubah yang berbeda-beda. 2.3. Informasi
Arti kata informasi adalah suatu berita yang mengandung maksud tertentu. Manusia memiliki pengetahuan dan pengalaman yang selalu ingin dibagikan kepada orang lain. Pengalaman atau pengetahuan yang dikomunikasikan kepada orang lain
mengatakan bahwa informasi adalah suatu data yang sudah diolah menjadi sebuah
bentuk yang berarti bagi pengguna, yang bermanfaat dalam pengambilan keputusan saat ini atau mendukung sumber informasi. Sebuah data belum memiliki nilai
sedangkan informasi sudah memiliki nilai yang manfaatnya lebih besar dibanding biaya untuk mendapatkannya. Kemudahan seseorang dalam hal untuk memperoleh informasi dapat membantu mempercepat seseorang untuk memperoleh pengetahuan
yang baru.
Informasi yang berkualitas memiliki 3 kriteria, yaitu :
1. Akurat (accurate)
Informasi harus bebas dari kesalahan, tidak bias ataupun menyesatkan.
Akurat juga berarti bahwa informasi itu harus dapat dengan jelas mencerminkan maksudnya.
2. Tepat pada waktunya (timeliness)
Informasi yang datang pada penerima tidak boleh terlambat. Di dalam pengambilan keputusan, informasi yang sudah usang tidak lagi bernilai. Bila informasi datang terlambat sehingga pengambilan
keputusan terlambat dilakukan, hal itu dapat berakibat fatal. 3. Relevan (relevance)
Informasi yang disampaikan harus mempunyai keterkaitan dengan maslaah yang akan dibahas dengan informasi tersebut dan harus bermanfaat bagi pemakainya. Di samping karakteristik, nilai informasi
information) ditentukan oleh dua hal, yaitu manfaat dan biaya untuk mendapatkannya
2.4. Faktor-faktor Yang Memengaruhi Pendidikan Seks 1. Umur
Umur adalah lamanya waktu hidup terhitung dari sejak lahir sampai dengan sekarang (ulang tahun terakhir). Dengan bertambahnya umur
seseorang akan terjadi perubahan pada aspek fisik dan psikologis (mental), dimana pada aspek psikologi ini, taraf berpikir seseorang semakin matang dan
dewasa artinya semakin cukup umur maka tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berpikir dan bekerja. Dari segi
kepercayaan masyarakat, seseorang yang lebih dewasa lebih dipercaya dari orang yang belum tinggi kedewasaannya.
Menurut Anonim (2011) bahwa usia memengaruhi terhadap daya tangkap
dan pola pikir seseorang. Semakin bertambah usia akan semakin berkembang pula daya tangkap dan pola pikirnya, sehingga pengetahuan yang diperolehnya semakin membaik.
2. Jenis Kelamin
Jenis kelamin adalah perbedaan antara perempuan dan laki-laki secara
biologis sejak seseorang lahir. Seks berkaitan dengan tubuh laki-laki dan perempuan, dimana laki-laki memproduksikan sperma, sementara perempuan menghasilkan sel telur dan secara biologis mampu untuk menstruasi, hamil
dengan laki-laki dan perempuan pada segala ras yang ada di muka bumi
(Anonim, 2013). 3. Pendidikan
Pendidikan adalah suatu usaha untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan berupa bimbingan di dalam dan di luar sekolah yang berlangsung seumur hidup. Pendidikan mempengaruhi proses belajar, makin tinggi
pendidikan seseorang makin mudah orang tersebut untuk menerima informasi, baik dari orang lain maupun dari media massa sehingga semakin banyak pula
pengetahuan yang didapat terutama dalam hal kesehatan (Anonim, 2011). 4. Pekerjaan
Pekerjaan adalah suatu kegiatan/aktivitas yang dilakukan seseorang untuk memperoleh imbalan guna memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Anderson dalam Notoatmodjo (2003), menyatakan bahwa struktur sosial yang salah satu
diantaranya adalah pekerjaan menentukan dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan. Lingkungan pekerjaan dapat menjadikan seseorang memperoleh pengalaman dan pengetahuan baik secara langsung maupun tidak langsung.
5. Media massa (cetak dan elektronik)
Media massa adalah sebagai alat bantu untuk menyampaikan pesan-pesan
dengan sangat bervariasi yang paling banyak digunakan dalam komunikasi massa (Notoatmodjo, 2003). Kemunculan berbagai media massa memiliki dua pengaruh, yaitu pengaruh positif dan negatif. Dengan adanya media massa
untuk meningkatkan pengetahuan yang akhirnya dapat berubah kearah positif
terhadap kesehatan (Notoatmodjo,2005).
2.5. Remaja
2.5.1. Pengertian Masa Remaja
Masa remaja dikenal sebagai salah satu periode dalam rentang kehidupan
manusia yang memiliki beberapa keunikan tersendiri yang bersumber dari kedudukan masa remaja sebagai periode transisional antara masa kanak-kanak dan
masa dewasa (Agustiani, 2009). 2.5.2. Ciri-ciri Masa Remaja
Menurut Jahja (2011), ciri-ciri masa remaja yaitu:
1. Peningkatan emosional yang terjadi secara cepat pada masa remaja awal yang dikenal sebagai masa storm & stress.
2. Perubahan yang cepat secara fisik yang juga disertai dengan kematangan seksual.
3. Perubahan dalam hal yang menarik bagi dirinya dan hubungan dengan
orang lain.
4. Perubahan nilai, di mana apa yang mereka anggap penting pada masa kanak-kanak menjadi kurang penting karena telah mendekati dewasa.
5. Kebanyakan remaja bersikap ambivalen dalam menghadapi perubahan yang terjadi.
2.5.3. Perkembangan Masa Remaja
Menurut Agustiani (2009) masa ini hampir selalu merupakan masa-masa sulit
1. Remaja mulai menyampaikan kebebasan dan haknya untuk mengemukakan
pendapatnya sendiri. Tidak terhindarkan, ini dapat menciptakan ketegangan dan perselisihan, dan dapat menjauhkan ia dari keluarganya.
2. Remaja lebih mudah dipengaruhi teman-temannya daripada ketika masih lebih muda. Ini berarti pengaruh orangtua pun melemah.
3. Remaja mengalami perubahan fisik yang luar biasa, baik pertumbuhan
maupun seksualitasnya. Perasaan seksual yang mulai muncul dapat menakutkan, membingungkan, dan menjadi sumber perasaan salah dan
frustasi.
4. Remaja sering menjadi terlalu percaya diri dan ini bersama-sama dengan
emosinya yang biasanya meningkat, mengakibatkan ia sukar menerima nasihat orangtua.
2.5.4. Tahap Perkembangan Masa Remaja
Menurut Jahja (2011), bahwa tahap perkembangan masa remaja adalah sebagai berikut:
1. Masa remaja awal (12-15 tahun)
Pada masa ini individu mulai meninggalkan peran sebagai anak-anak dan berusaha mengembangkan diri sebagai individu yang unik dan tidak
2. Masa remaja pertengahan (15-18 tahun)
Masa ini ditandai dengan berkembangnya kemampuan berpikir yang baru. Teman sebaya masih memiliki peran yang penting, namun individu sudah
lebih mampu mengarahkan diri sendiri (self-directed). Pada masa ini remaja mulai mengembangkan kematangan tingkah laku, belajar mengendalikan impulsivitas, dan membuat keputusan-keputusan awal yang
berkaitan dengan tujuan vokasional yang ingin dicapai. Selain itu penerimaan dari lawan jenis menjadi penting bagi individu.
3. Masa remaja akhir (19-22 tahun)
Masa ini ditandai oleh persiapan akhir untuk memasuki peran-peran orang
dewasa. Selama periode ini remaja berusaha memantapkan tujuan vokasional dan mengembangkan sense of personal identity. Keinginan yang kuat untuk menjadi matang dan diterima dalam kelompok sebaya dan
orang dewasa, juga menjadi ciri dalam tahap ini. 2.6. Pendidikan Seks
2.6.1. Pengertian Pendidikan Seks
Pendidikan seks adalah suatu informasi mengenai persoalan seksualitas manusia yang jelas dan benar, yang meliputi terjadinya pembuahan, kehamilan,
tingkah laku seksual, hubungan seksual dan aspek-aspek kesehatan, kejiwaaan dan kemasyarakatan (Sarwono, 2011). Pendidikan tentang tingkah laku yang baik
sehubungan dengan masalah-masalah seks dengan mengutamakan pendidikan tingkah laku yang baik dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemasyarakatan, sebab hal
pendidikan seks memang tidak dapat dihindari pembahasan pengetahuan tentang
seks dalam arti keilmuan (seksologi) (Wuryani, 2008). Pendidikan seks merupakan proses pembudayaan diri sendiri dalam kehidupan bersama orang lain, yang harus
ditempatkan dalam konteks keluarga dan masyarakat (Tukan, 1993).
Wuryani (2008) mengatakan bahwa supaya informasi tentang seks dapat dipahami dengan baik oleh anak, maka orangtua harus bersikap jujur berdasarkan
pengalaman mereka sendiri dalam perkawinan yang memuaskan dan membahagiakan, sehingga anak mengetahui bagaimana perilaku dua orang yang
saling berbeda itu terhadap satu sama lain: saling menunjukkan cinta, saling menghormati, dan saling menghargai. Sebelum orangtua memberikan pendidikan
seks, mereka harus memperlengkapi diri terlebih dahulu dengan pengetahuan lain, yaitu pengetahuan tentang perkembangan psikoseksual pada anak-anak terutama dalam masa remaja.
Ada beberapa catatan mengenai hal ini:
1. Masa remaja adalah masa yang paling penting daibandingkan dengan masa kanak-kanak ditinjau dari sudut psikoseksual. Pada masa remaja ini anak
perempuan sudah mulai haid pertama dan anak laki-laki mulai mimpi basah dengan perubahan rohaniah dan kejiwaan (tubuh, roh dan jiwa).
2. Pada gadis mulai umur 10 atau 11 tahun perubahan yang mulai tampak yaitu buah dada yang membesar dan tumbuh bulu-bulu di bagian ketiak dan kemaluannya. Pada anak laki-laki perubahan dimulai kira-kira 1 atau 2 tahun
kemaluannya. Tanda lain yaitu membesarnya tulang kerongkongan yang
menyebabkan perubahan pada suaranya.
3. Di bidang rohaniah terjadi peubahan-perubahan besar yaitu dengan memiliki
tanggung jawab yang besar namun pada masa ini anak berada dalam masa krisis yang tidak bisa begitu saja menyesuaikan diri dengan lingkungannya karena adanya perasaan mudah gelisah, tidak tenang, murung, mudah
tersinggung dan marah, daan kurang berkonsentrasi.
4. Pada umur sekitar 13 atau 14 tahun, anak remaja belum mempunyai kontak
yang intim dengan orang lain. Tetapi pada umur 15 tahun ataupun sebelumnya mulai menunjukkan adanya perubahan. Dimana anak laki-laki
mulai tertarik dengan perempuan dan sebaliknya.
5. Tanpa kita sadari anak sudah masuk ke masa antara 17-22 tahun yaitu pada masa adolensia yang sudah mengarah menuju kedewasaan.
2.6.2. Tujuan Pendidikan Seks
Tujuan pendidikan seks adalah untuk membentuk suatu sikap emosional yang sehat terhadap masalah seksual dengan membimbing anak dan remaja ke arah hidup
dewasa yang sehat dan bertanggung jawab terhadap kehidupan seksualnya. Hal ini dimaksudkan agar mereka tidak menganggap seks itu sebagai suatu yang
menjijikkan atau kotor. Dikatakan bahwa tujuan dari pendidikan seksual adalah bukan untuk menimbulkan rasa ingin tahu atau ingin mencoba hubungan seksual antara remaja, akan tetapi ingin menyiapkan agar remaja tahu tentang seksualitas
2.7. Kerangka Konsep Penelitian
Keterangan :
Penelitian ini bermaksud untuk menggambarkan perilaku orangtua dalam memberikan informasi mengenai pendidikan seks. Dari skema diatas dapat dilihat
berdasarkan teori Lawrence Green bahwa faktor-faktor yang memengaruhi perilaku disebabkan oleh dua faktor yaitu faktor-faktor predisposisi yaitu pengetahuan, sikap,
umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan orangtua siswa SMP Santo Thomas 3 Medan dan faktor pendukung yaitu sumber informasi yang diperoleh melalui media massa seperti media cetak dan elektronik. Selanjutnya kedua faktor tersebut akan
memengaruhi orangtua siswa dalam pemberian informasi mengenai pendidikan seks Faktor-faktor
Predisposisi : - Pengetahuan - Sikap - Umur
- Jenis Kelamin - Pendidikan
- Pekerjaan Orangtua siswa dalam
pemberian informasi mengenai pendidikan seks
Faktor Pendukung : - Media massa