• Tidak ada hasil yang ditemukan

EARLY DETECTION DALAM UPAYA PREVENTIF KE (2)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "EARLY DETECTION DALAM UPAYA PREVENTIF KE (2)"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

EARLY DETECTION DALAM UPAYA PREVENTIF

KESEHATAN JIWA MASYARAKAT

Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Keperawatan Jiwa Masyarakat (Community Mental Health Nursing)

(Suryani S.Kp., MHSc., PhD)

Di Susun oleh:

Rifki Sakinah N 220120140046 Bambang Eryanto 220120140015 Tantan Hadiansyah 220120140022 Wigyo Susanto 220120140002

PROGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN

UNIVERSITAS PADJADJARAN 2015

(2)

Assalamu’alaikum wr.wb.

Alhamdulillah, puji syukur ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya atas diselesaikannya tugas makalah tentang “Early Detection Dalam Upaya Preventif Kesehatan Jiwa Masyarakat” ini.

Makalah ini berisi konsep dan teori, masalah, kebijakan, pelaksanaan, dan kendala serta cara mengatasinya. Makalah ini diharapkan mampu menjadikan sebuah masukan dan informasi bagi dunia keperawatan terutama keperawatan jiwa. Penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan dalam penyusunan laporan ini. Saran dan kritik diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Wassalamu’alaikum wr.wb.

Bandung, 12 November 2015

Penulis

(3)
(4)

3.1 Kesimpulan

... ... 15

3.2 Saran

... ... 16

DAFTAR PUSTAKA ... 17

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam World Health Organization (2002) mendefinisikan bahwa kesehatan merupakan keadaan utuh secara fisik, mental, dan kesejahteraan sosial serta bukan hanya bebas dari penyakit atau ketidak berdayaan.

(5)

setiap orang dapat menikmati kehidupan kejiwaan yang sehat, bebas dari ketakutan, tekanan dan gangguan lain yang dapat mengganggu kesehatan jiwa. Upaya tersebut terdiri atas preventif, promotif, kuratif, rehabilitatif pasien gangguan jiwa dan masalah psikososial. Setiap warga negara berhak mendapatkan hak dalam upaya kesehatan jiwa yang meliputi persamaan perlakuan dalam setiap aspek kehidupan di berbagai tatanan di masyarakat.

Menurut U.S. Department of Health (1999, dalam Varcarolis, 2006), kesehatan jiwa didefinisikan sebagai suatu keberhasilan pencapaian fungsi mental, mampu untuk beraktivitas secara produktif, menikmati hubungan dengan orang lain dan menerima perubahan atau mampu mengatasi hal yang tidak menyenangkan. Individu dengan mental yang sehat memiliki kapasitas berpikir rasional, ketrampilan berkomunikasi, belajar, pertumbuhan emosional, kemampuan bertahan dan harga diri. Sehingga kesehatan jiwa sangat menunjang seseorang dalam menjalani kehidupan secara optimal karena mempunyai sikap positif terhadap diri sendiri, orang lain, dan lingkungan.

Gangguan jiwa menurut Townsend (2009) merupakan respon maladaptif terhadap stresor dari dalam dan luar lingkungan yang berhubungan dengan perasaan dan perilaku yang tidak sejalan dengan kebiasaan atau norma setempat, mempengaruhi interaksi sosial individu, kegiatan dan fungsi tubuh. Secara umum gangguan jiwa dikarakteristikkan dengan adanya gangguan pikiran, perasaan, dan perilaku.

Depkes (2008) hasil data Riset Kesehatan Dasar (RisKesDas, 2007), menunjukkan prevalensi gangguan mental emosional seperti gangguan kecemasan dan depresi sebesar 11,6% dari populasi orang dewasa dengan prevalensi tertinggi di Kota Bogor 24,2 % dan disusul oleh Jawa Barat yaitu 20,0%. Sedangkan gangguan jiwa berat di Indonesia sebesar 0,46% dengan prevalensi tertinggi di DKI Jakarta yaitu 2,03%, kota bogor 0,40% dan Jawa Barat 0,20%. Angka ini lebih tinggi dari data prevalensi gangguan jiwa WHO yaitu 1-3% (WHO, 2003).

(6)

”Masyarakat yang Mandiri untuk Hidup Sehat”. Sejalan dengan hal tersebut, paradigma kesehatan di Indonesia berfokus pada peningkatan kesehatan individu, keluarga dan masyarakat. Kemandirian masyarakat dalam menangani masalah kesehatannya menjadi tujuan utama perawatan kesehatan di komunitas, yang sejalan pula dengan tema hari kesehatan sedunia ”Bekerja bersama untuk kesehatan” (”Working together for health”). Pemberdayaan keluarga dan komunitas adalah salah satu metode yang digunakan untuk meningkatkan kemandirian masyarakat dalam menjaga kesehatannya (Depkes RI, 2008).

Pada langkah lebih lanjut dalam meningkatkan kemandirian masyarakat, Departemen Kesehatan telah merumuskan suatu visi dalam rangka mencapai tujuan tersebut. Visinya adalah “Departemen Kesehatan Itu Adalah Masyarakat Yang Mandiri Untuk Hidup Sehat”, dengan Misi “Membuat Masyarakat Sehat”. Strateginya antara lainmenggerakkan dan memberdayakan masyarakat untuk hidup sehat, meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan yang berkualitas, meningkatkan sistem surveilans, monitoring dan informasi kesehatan, serta meningkatkan pembiayaan kesehatan. Sehingga sasaran terpenting adalah “Pada Akhir Tahun 2015, Seluruh Desa Telah Menjadi Desa Siaga” (Depkes RI, 2008).

Desa Siaga merupakan gambaran masyarakat yang sadar, mau dan mampu mencegah dan mengatasi berbagai ancaman terhadap kesehatan masyarakat, seperti kurang gizi, kejadian bencana, termasuk didalamnya gangguan jiwa, dengan memanfaatkan potensi setempat secara gotong royong, menuju Desa Siaga. Desa Siaga Sehat Jiwa merupakan satu bentuk pengembangan dari pencanangan Desa Siaga yang bertujuan agar masyarakat ikut berperan serta dalam mendeteksi pasien gangguan jiwa yang belum terdeteksi, dan membantu pemulihan pasien yang telah dirawat di rumah sakit, serta siaga terhadap munculnya masalah kesehatan jiwa di masyarakat (Dinkes Prov. Jawa Timur, 2008; CMHN, 2005).

(7)

Tujuan dari penyusunan makalah ini adalah untuk:

a. Mengetahui konsep dan teori tentang early detection dalam upaya pencegahan

b. Mengetahui masalah terkait early detection c. Mengetahui kebijakan terkait early detection d. Mengetahui pelaksanaan early detection

e. Mengetahui kendala serta cara mengatasi terkait early detection

BAB II

TIJAUAN PUSTAKA

2.1Konsep dan Teori

Menurut Power (2007) deteksi dini merupakan salah satu pilar dari intervensi awal dalam menetapkan gejala awal gangguan.

(8)

Selain itu Detels et al (2002) menyatakan bahwa upaya untuk pemberdayaan masyarakat terhadap kesehatan jiwa dapat dicapai dengan suatu manajemen pelayanan kesehatan khususnya pelayanan kesehatan jiwa berbasis komunitas. Bentuk pendekatan manajemen pelayanan kesehatan jiwa komunitas ini salah satunya dengan pengenalan deteksi dini gangguan jiwa yang dapat dilakukan sendiri oleh masyarakat (kader). Hal ini dapat mempermudah penanganan gangguan jiwa yang ada di masyarakat.

Dengan pelayanan keperawatan komprehensif pencegahan primer, sekunder, dan tersier menjadi landasan utama. Peningkatan kesehatan dan pencegahan terjadinya gangguan jiwa salah satunya adalah dengan melakukan deteksi dini, agar mengetahui adanya masalah psikososial dan gangguan jiwa peningkatan fungsi dan sosialisasi serta pencegahan kekambuhan, mencegah gangguan jiwa, mempertahankan dan meningkatkan kesehatan jiwa, serta menurunkan kejadian gangguan jiwa, mengurangi kecacatan atau ketidak mampuan akibat gangguan jiwa (Detels et al, 2002).

Gangguan jiwa umumnya dapat dicegah apabila ditangani secara dini. Upaya pencegahan umumnya ada tiga yaitu pencegahan secara primer ini dilakukan saat rekrutmen, secara sekunder dengan deteksi dini, dan penanganan awal dari diagnose gangguan yang ditemukan oleh orang dekat atau kader, dan pencegahan tersier dilakukan oleh professional di Rumah Sakit berupa menurunkan gangguan selama proses rehabilitasi, dan mencegah kekambuhan penyakit (Saxena, 2005).

Dalam hal ini deteksi dini merupakan salah satu cara mencegah gangguan jiwa di masyarakat, dan hal ini sangat perlu dilakukan, serta adanya koordinasi yang baik antara perawat jiwa komunitas dengan para kader (pionir kesehatan masyarakat desa), aparat desa, dan kesadaran warga akan pentingnya sehat jiwa.

2.2Masalah Terkait Early Detection

Masalah penyakit kejiwaan di Negara Indonesia sekarang, harus menjadi perhatian serius bagi seluruh sektor pemerintahan. Karena menurut

(9)

(Riskesdas, 2013) menunjukkan angka 6% (14 juta orang) untuk gangguan mental emosional dengan gejala-gejala depresi dan kecemasan, dan 1,7 per 1000 penduduk (400.000 orang) untuk gangguan jiwa berat (Kemenkes RI, 2014).

Selain prevalensi yang terus meningkat, berdasarkan observasi lapangan, tidak adanya rencana tindak lanjut setelah dilakukan deteksi dini baik itu dari puskesmas, maupun kerja sama antara Rumah Sakit Umum atau Rumah Sakit Jiwa guna menjadi rujukan yang jelas jika ada warga yang memiliki gangguan psikotis berat. Kemudian tidak adanya alur/ aturan yang pasti mengenai upaya pencegahan dimasyarakat menjadi saling tuding atau menuduh siapa yang seharusnya bertindak jika ada kejadian gangguan jiwa di suatu desa atau masyarakat.

2.3Kebijakan Terkait Early Detection

Secara garis besar, sebenarnya Negara Indonesia sudah mengatur pemberdayaan Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) dengan Undang-Undang no. 36 bab IX pasal 144 tahun 2009 tentang kesehatan jiwa, Undang-Undang tersebut ditujukan untuk menjamin setiap warga negara yang menjadi ODGJ agar ditolong, diobati, difasilitasi, dan dilindungi dari tindakan kekerasan. Namun fakta berkata lain, ternyata masih ada 14,3% (57.000) Orang Dengan Gangguan Jiwa yang mendapatkan perlakukan kurang manusiawi (pasung). Sehingga pemerintah berinisiatif untuk membuat Undang-Undang baru khusus kesehatan jiwa (UU no. 18 tahun 2014), dengan harapan pemberdayaan ODGJ di Negara Indonesia bisa terlaksana dan lebih termonitoring dengan baik (Kemenkes RI, 2014).

2.4Pelaksanaan Early Detection

Dalam pelaksanaan deteksi dini perawat jiwa komunitas perlu mengadakan pemberdayaan masyarakat sebagai proses pengembangan potensi, baik pengetahuan maupun keterampilan masyarakat sehingga mereka mampu mengontrol diri dan terlibat dalam memenuhi kebutuhan mereka sendiri.

(10)

mendukung program kesehatan jiwa di komunitas yang diterapkan di masyarakat. Seorang kader akan mampu melakukan kegiatan apabila kader tersebut sejak awal diberikan pembekalan. Metoda dalam mengembangkan kader kesehatan jiwa sebaiknya teratur, sistematis, rasional, yang digunakan untuk menentukan jumlah kader. Menurut Keliat (2011) adapun tahapannya adalah proses rekruitmen kader, proses orientasi kader, dan pelaksanaan deteksi dini.

2.4.1 Proses Rekruitmen Kader

Menurut Keliat (2011) rekruitmen kader adalah suatu proses pencarian dan pemikatan para calon kader yang mempunyai kemampuan dalam mengembangkan Desa Siaga Sehat Jiwa. Proses awal dalam merekruit kader adalah dengan melakukan sosialisasi tentang pembentukan Desa Siaga Sehat Jiwa disertai dengan kriteria kader yang dibutuhkan. Adapun kriteria kader sebagai berikut:

1. Sehat jasmani dan rohani;

2. Mampu membaca dan menulis dengan lancar menggunakan Bahasa Indonesia;

3. Bersedia menjadi kader kesehatan jiwa sebagai tenaga sukarela;

4. Mempunyai komitmen untuk melaksanakan program kesehatan jiwa masyarakat;

5. Meluangkan waktu untuk kegiatan keperawatan jiwa di komunitas dan; 6. Mendapat ijin dari suami atau istri atau keluarga.

Kemudian menurut Keliat (2011) Proses rekruitmen kader dilakukan dengan cara :

1. Perawat jiwa di komunitas mengadakan pertemuan dengan kepala desa dan tokoh masyarakat setempat dengan menjelaskan tentang pembentukan Desa Siaga Sehat Jiwa dan kebutuhan kader kesehatan jiwa;

2. Perawat jiwa di komunitas menjelaskan tentang kriteria kader dan jumlah kader yang dibutuhkan untuk tiap desa dan dusun;

(11)

4. Kader yang telah direkruit mengisi biodata dalam formulir yang telah disediakan untuk proses seleksi selanjutnya.

Selanjutnya menurut Keliat (2011) Proses seleksi calon kader di Desa Siaga Sehat Jiwa adalah:

1. Perawat CMHN melakukan koordinasi dengan tokoh masyarakat atau tokoh agama atau organisasi masyarakat yang ada di masyarakat dalam menentukan calon kader yang memenuhi syarat

2. Kader terpilih mengisi surat pernyataan bersedia sebagai kader kesehatan jiwa dan bersedia menjalankan program kesehatan jiwa di komunitas 3. Kader terpilih diwajibkan mengikuti pelatihan kader kesehatan jiwa. 2.4.2 Proses Orientasi Kader

Setiap kader yang akan melaksanakan program kesehatan jiwa akan melalui masa orientasi yaitu mengikuti sosialisasi programkesehatan jiwa di komunitas dan pelatihan kader kesehatan jiwa. Orientasi yang dilakukan juga mencakup informasi budaya kerja Desa Siaga Sehat Jiwa dan informasi umum tentang visi, misi, program, kebijakan dan peraturan. Kegiatan orientasi menggunakan metode klasikal selama 2 hari, praktik lapangan selama 3 hari, dan praktik kerja (implementasi Desa Siaga Sehat Jiwa ).

Menurut Keliat (2011) materi pelatihan kader mencakup: 1. Program Desa Siaga Sehat Jiwa dengan gangguan jiwa, dan Terapi aktivitas kelompok pasien gangguan jiwa)

4. Supervisi keluarga dan pasien yang telah mandiri 5. Rujukan kasus

6. Pelaporan kegiatan kader kesehatan jiwa

(12)

Sehat Jiwa. Penilaian kader meliputi penilaian selama pelatihan di kelas (pre dan post test) serta penilaian penampilan di lapangan

2.4.3 Pelaksanaan early detection 1. Persiapan

a. Kader mempelajari buku pedoman deteksi dini

b. Kader mempelajari tanda – tanda orang / keluarga yang berisiko mengalami masalah psikososial atau orang / keluarga yang mengalami gangguan jiwa

c. Kader mengidentifikasi orang / keluarga yang diduga mengalami masalah psikososial atau gangguan jiwa

d. Melakukan kontrak / janji untuk bertemu dengan pasien dan keluarga. 2. Pelaksanaan

a. Setiap RT memiliki 1-2 orang kader (30 - 40 keluarga / kader) b. Setiap kader mengelola setengah dari jumlah keluarga di dusun

c. Kader menilai kesehatan jiwa warga dan keluarga dengan cara wawancara dan pengamatan sesuai buku pedoman deteksi dini

d. Kader perlu mengetahui tanda – tanda / perilaku yang menunjukkan individu tersebut mengalami masalah pikososial atau gangguan jiwa e. Berdasarkan penilaian dibagi 3 kelompok, yakni 1) Kelompok

keluarga sehat adalah tidak menunjukkan perilaku menyimpang; 2) Kelompok keluarga yang berisiko mengalami masalah psikososial mempunyai anggota keluarga yang mengalami masalah psikososial; 3) Kelompok keluarga yang anggota keluarganya mengalami gangguan jiwa mempunyai anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa 3. Pelaporan

a. Kader mencatat nama seluruh keluarga yang tinggal di wilayahnya b. Kader mencatat data – data keluarga yang mempunyai masalah

psikososial pada format khusus

c. Kader mencatat data – data keluarga yang mengalami gangguan jiwa pada format khusus

d. Hasil penghitungan jumlah keluarga untuk masing-masing kelompok dicatat format khusus

e. Hasil pencatatan disampaikan pada perawat jiwa yang bertanggungjawab di puskesmas

(13)

Beberapa kepustakaan menyebutkan sekitar 50% kasus gangguan jiwa yang lazim, luput dari perhatian petugas kesehatan di layanan primer (Steven et al., 2001; Hickie and Davenport, 2001; Kessler et al., 2002). Rendahnya kasus gangguan jiwa yang terdeteksi, diduga karena adanya hambatan dalam proses deteksi tersebut. Beberapa hambatan dalam deteksi dini gangguan jiwa pada pusat pelayanan primer dapat dikelompokkan menjadi: 2.5.1 Hambatan yang berasal dari pihak tenaga dokter/kesehatan.

Sebagian besar dokter hanya mendapatkan sedikit pelatihan psikiatrik formal. Pendidikan kedokteran umum hanya memberikan sedikit kurikulum psikiatri, kurang dari 5% dari total pendidikan kedokteran. Selain itu, pada masa pendidikan tersebut para mahasiswa lebih banyak berhadapan dengan pasien psikotik yang dirawat inap dibanding pasien-pasien rawat jalan. Hal ini menyebabkan kurangnya kemampuan untuk mendiagnosis gangguan jiwa yang ada di masyarakat (Patel, 2003).

Survei yang menilai kebutuhan (Needs assesment survey) menunjukkan bahwa sebagian besar orang dengan masalah emosional yang serius tidak mencari bantuan profesional. Tetapi hal tersebut berubah saat orang semakin menerima pandangan bahwa masalah profesional harus diobati oleh profesional kesehatan mental. Namun demikian, penolong internal masih paling sering dicari pada saat terjadinya kekacauan emosional. Selain itu, seseorang yang mencari bantuan profesional lebih mungkin ke dokter pelayanan primer dibanding ke dokter psikiatrik di beberapa daerah dan juga keterlibatan variabel yang lain (Kaplan and Sadock, 1996).

(14)

pengambilan keputusan yang membedakan laki-laki dan wanita (Kaplan and Sadock, 1996).

Penelitian awal menunjukkan, ketika pasien datang dengan keluhan psikiatrik, dokter pada pelayanan primer dengan mudah mengenali gejala psikiatriknya serta menanggapi dengan baik. Tetapi, keluhan psikiatrik sedikit sekali, hanya sekitar 17 % dari pasien. Berlawanan dengan keluhan somatik yang sering muncul, kira-kira 83 %, namun mereka jarang mengetahui dan sering kali mendapat obat yang tidak sesuai dari dokter pada pelayanan primer (Culpepper, 2003). Para dokter di pelayanan primer lebih terpaku pada gejala fisik yang ditampilkan oleh pasien saat berobat, sehingga sering terjadi salah diagnosis dan pemberian terapi yang tidak adekuat (Steven et al, 2001; Maramis dkk, 2003).

Penyebab yang lain adalah adanya persepsi negatif mengenai gangguan jiwa, di mana dokter khawatir pasien akan merasa dirinya aneh dan akan dikucilkan oleh masyarakat sekitar apabila ia didiagnosis menderita gangguan jiwa. Persepsi negatif yang salah tentang terapi juga dapat mengarah pada pesimisme dalam mendiagnosis gangguan jiwa, karena menganggap bahwa pasien-pasien dengan gangguan jiwa tidak dapat sembuh dan tidak responsive terhadap terapi.

Di samping itu, masalah pribadi dari dokter itu sendiri yang menghambat proses pengenalan gangguan, yaitu adanya perasaan tidak nyaman ketika harus menghadapi masalah yang berhubungan dengan emosi dan adanya masalah interpersonal dari diri dokter tersebut yang berhubungan dengan kecemasan atau depresi (Maramis dkk, 2003).

2.5.2 Hambatan yang berasal dari pihak pasien.

(15)

tidak kooperatif dengan terapi yang diberikan (Eisenberg, 1992; Steven et al, 2001).

Banyak pasien yang tidak memahami konsekuensi negatif dari penyakitnya apabila tidak ditangani secara tuntas, dan hal ini ikut mempengaruhi kepatuhan berobat (Maramis dkk, 2003).

2.5.3 Hambatan pada proses konsultasi

Salah satu alat paling penting yang dimiliki oleh dokter adalah kemampuan untuk melakukan wawancara secara efektif. Wawancara yang dilakukan secara terampil mampu untuk menggali data yang diperlukan untuk mengerti dan mengobati pasien dan dalam proses untuk meningkatkan pengertian dan kepatuhan pasien terhadap saran dokter (Kaplan and Sadock, 1996).

Faktor-faktor yang mempengaruhi isi maupun proses wawancara di antaranya kepribadian dan gaya karakter dokter sangat mempengaruhi reaksi dan kontak emosional di mana wawancara dikembangkan; berbagai situasi klinis (ruang gawat darurat, pasien rawat jalan, bangsal umum, atau bangsal psikiatrik) jenis pertanyaan yang ditanyakan dan anjuran-anjuran yang ditawarkan; faktor teknis, seperti interupsi telepon, membuat catatan, fisik ruang, dan kenyamanan ruang; pemilihan waktu melakukan wawancara terhadap penyakit pasien, isi dan proses wawancara; dan gaya, orientasi, serta pengalamam pewawancara. Bahkan pemilihan waktu kata seru dapat mempengaruhi apa yang dikatakan atau yang tidak dikatakan oleh pasien (Kaplan and Sadock, 1996).

Di Puskesmas, banyak pasien yang perlu dilayani pada satu waktu, sehingga menyebabkan sempitnya waktu untuk pemeriksaan setiap pasien. Di samping itu, tempat pemeriksaan tidak memungkinkan untuk melakukan pemeriksaan yang lebih pribadi, sehingga hubungan petugas kesehatan (tenaga dokter /perawat) dengan pasien kurang terbina dengan baik (Achmad Haryadi, 2001).

(16)

menganggap bahwa untuk dapat mengevaluasi seseorang dengan masalah psikiatri membutuhkan waktu yang lama. Hal ini membuat dokter cenderung untuk mernggunakan pertanyaan tertutup dalam mewawancarai pasien untuk mencegah agar pasien tersebut tidak bercerita panjang lebar dan menghabiskan waktu yang lama (Steven et al, 2001; Patel, 2003).

(17)

BAB III KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan

Strategi DEPKES ialah menggerakkan dan Memberdayakan masyarakat untuk hidup sehat guna mencapai visi sebagai masyarakat yang mandiri untuk hidup sehat. Sehingga perlu adanya fondasi kesehatan Indonesia yang berfokus pada peningkatan kesehatan individu, keluarga dan masyarakat.

Kemandirian masyarakat dalam menangani masalah kesehatannya menjadi tujuan utama perawatan kesehatan di komunitas. Dengan memberdayakan keluarga dan masyarakat menjadi salah satu metode yang digunakan untuk meningkatkan kemandirian masyarakat dalam menjaga kesehatan komunitas desanya. Dimana nantinya desa ini akan menjadi Desa Siaga Sehat Jiwa.

Dengan landasan utama pelayanan keperawatan komprehensif dalam melakukan pencegahan primer, sekunder, dan tersier. Meningkatkan kesehatan dan pencegahan terjadinya gangguan jiwa salah satunya adalah dengan melakukan deteksi dini, agar mengetahui adanya masalah psikososial dan gangguan jiwa peningkatan fungsi dan sosialisasi serta pencegahan kekambuhan, mencegah gangguan jiwa, mempertahankan dan meningkatkan kesehatan jiwa, serta menurunkan kejadian gangguan jiwa, mengurangi kecacatan atau ketidak mampuan akibat gangguan jiwa. Walau masih banyak masalah dan hambatan dalam proses pelaksanaannya, bukan berarti upaya pencegahan gangguan jiwa dihentikan.

3.2 Saran

(18)

bahwa pentingnya kesehatan jiwa. Karena didalam jiwa yang sehat terdapat tubuh yang kuat.

DAFTAR PUSTAKA

Achmad Haryadi, 2001. Buku Penuntun Praktis Pelayanan Kesehatan Jiwa. Dirjen. pelayanan Medik RSJ Pusat Jakarta.

Budi Anna Keliat. (2011). Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas CMHN. EGC :Jakarta.

Culpeper L, 2003 Use of Algoritme to treat Anxiety in Primary care J ClinPsychiatory.

Dadds MR et al. (1997). Prevention and early intervention for anxiety disorders: A controlled trial. Journal of Consulting and Clinical Psychology, 65(4):627-635.

Detels R et al., eds (2002). Oxford textbook of public health. 3rd ed. Oxford, Oxford University Press.

Eisenberg L, 1992. Treating Depression and Anxiety in Primary care setting, in

Health Afairs.

Kaplan and Sadock, 1996. Synopsis of Psychiatry. Williams & Wilkin, Philadelphia

Kemenkes RI. (2014). Stop stigma dan diskriminasi terhadap Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ). Dipublikasikan pada: Jumat, 10 Oktober 2014 07:40:00. Diunduh Pada : http://www.depkes.go.id.

Kessler D., Bennewith O., Lewis G, et al, 2002, Detection of Depression and Anxiety in Primary Care Follow Up Study, in: BMJ, vol.325.

(19)

Power, P., Iacoponi, E., Reynolds, N., Fisher, H., Russell, M., Garety, P. A., et al. (2007). The lambeth early onset crisis assessment team study: General practitioner education and access to an early detection teamin first-episode psychosis. British Journal Of P Sychiatry. DOI: 10.1192/bjp.191.51.s133. Saxena, S. (2005). Prevention of Mental Disorders: Effective Interventions and

Policy Options. Oxford, Oxford University Press.

Steven RE, Trevor R, Norman and Graham D. Burrows, Assesing Anxiety and Depression In Primary Healt Care, In xajA Practice Essensials, http: //www.com.au. / public / Mental Healt / articles / ellen. Html.

Townsend, M. C. (2009). Nursing diagnoses in psychiatric nursing: Care plans and psychotropic medications (7th ed.). Philadelphia: F.A. Davis Company.

Varcarolis M. E., & Halter J. M. (2006). Foundation of psychiatric mental health nursing: a clinical approach (5th ed.). Canada: Saunders Elsevier & E Volve

Learning Sistem.

World Health Organization, & International Council of Nurses. (2007). Atlas:

Referensi

Dokumen terkait

Rasio lancar ( Current Ratio ) merupakan Rasio yang digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam membayar kewajiban jangka pendeknya dengan menggunakan aktiva

 Menjembatani kebutuhan seluruh unit kerja Bank terkait dengan konsultasi maupun pemberian opini DPS atas produk dan/atau aktivitas perbankan lain yang dilakukan.  Membantu dan

GUTI ( GUTI (Globally Unique Temporary Identity  Globally Unique Temporary Identity  ) di gunakan ) di gunakan kurang lebih hanya untuk menyembunyikan identitas

Penelitian ini mengambil surat kabar Kompas dan Republika sebagai subyek penelitian karena kedua media punya latar belakang dan karakteristik serta sirkulasi kapital yang

Sebelum digunakan, inkubator, wadah dan alat-alat untuk mengambil telur dicuci dengan alkohol 10%, sedangkan air yang digunakan diberi larutan Malachite green dengan

Penelitian di tingkat mikro (usahatani) oleh beberapa peneliti juga menunjukkan keragaan serupa, yakni penyerapan angkatan kerja di sektor pertanian terutama di sub sektor

Sebagian masyarakat Sungelebak ada yang beranggapan bahwa di antara hari-hari itu ada yang baik dan tidak baik sehingga di dalam menentukan hari peminangan tersebut

481/KMK.017/1999 pasal 30 ayat 2, jumlah dana jaminan tersebut adalah sekurang-kurangnya 20% dari modal disetor yang dipersyaratkan ditambah 5% dari cadangan premi (kewajiban