• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dilema Perkembangan Perkotaan dan Efisie

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Dilema Perkembangan Perkotaan dan Efisie"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

Dilema Perkembangan Perkotaan dan Efisiensi

Energi: Menuju Kebijakan Pengembangan

Perkotaan di Masa Depan

Urban Development and Efficiency Energy Dilema:

Toward Urban Development Policy

Putu Gde Ariastita

Institut Teknologi Sepuluh November, Surabaya,

ariastita@urplan.its.ac.id

ABSTRAK: Kebijakan pengembangan perkotaan di Indonesia tidak sinkron dengan kebijakan energi nasional. Pengembangan wilayah yang ditekankan pada pengembangan kota metropolitan sebagai kutub pertumbuhan ternyata tidak mendukung efisiensi energi nasional. Kebijakan ini ternayata mendorong terjadinya urban sprawl, yaitu perkembangan perkotaan yang melebar ke wilayah pinggirannya, akan tetapi orientasi pergerakan penduduk di wilayah pinggiran masih tetap ke pusat kotanya. Hal inilah yang mendorong peningkatan mobilitas penduduk dan bertambahnya panjang perjalanannya. Mobilitas penduduk ini tentunya membutuhkan konsumsi energi dan ironisnya hal ini berlangsung terus dan tidak terkendali. Ke depan perlu direkomendasikan kebijakan pengembangan perkotaan yang mendukung energi nasional. Terdapat dua prinsip kebijakan yang dapat dilakukan. Pertama pembatasan urban sprawl melalui manajemen pertumbuhan. Ke dua peningkatan peran dan fungsi kota setelit dengan pendekatan pembangunan mix use dan compact.

Kata Kunci: Urban Sprawl, Spatial Mismatch, Konservasi Energi

1. PENDAHULUAN

(2)

Fenomena urbanisasi di Indonesia ternyata menimbulkan perkembangan wilayah pinggiran perkotaan yang tidak terkendali, atau yang lebih dikenal dengan istilah urban sprawl [1]. Fenomena ini terjadi karena migrasi penduduk tidak mampu lagi ditampung di pusat kota sehingga meluber ke wilayah pinggirannya. Urban Sprawl memang mengakibatkan berkembangnya wilayah pinggiran yang bersifat perdesaan menjadi perkotaan. Namun demikian, fenomena ini juga menimbulkan

spatial mismatch, yiatu orientasi pergerakan penduduk tetap ke pusat kota karena di daerah sprawling tidak tersedia fungsi-fungsi pendukungnya [2]. Gejala spatial mismatch ini menimbulkan mobilitas yang sangat masif antara pusat kota dengan daerah pinggirannya, yang jika dilihat dari perspektif energi akan menyebabkan inefisiensi energi, yaitu berupa pemborosan energi. Hal ini juga didukung oleh suatu kajian yang menyatakan bahwa pergerakan kendaraan bermotor adalah penyumbang konsumsi energi terbesar bersama industri [3]. Ironisnya, dari tahun ke tahun inefisiensi energi karena spatial mismatch ini semakin meningkat yang secara tidak sadar justru terjadi akibat kebijakan pengembangan perkotaan itu sendiri [2].

Tulisan ini berupaya untuk menemukan sinkronisasi antara kebijakan perkotaan dengan kebijakan energi di Indonesia. Dengen demikian, di masa mendatang, diharapkan kebijakan perkotaan juga dapat menciptakan efisiensi konsumsi energi dengan mengurangi mobilitas yang bersifat spatial mismatch. Untuk itu, dalam pemaparannya, tulisan ini dibagi menjadi empat bagian. Bagian pertama adalah pendahuluan yang merupakan pengantar permasalahan dan tujuan penulisan. Bagian ke dua membahas fenomena perkembangan perkotaan dan implikasinya terhadap energi. Bagian ke tiga mendeskripsikan kontradiksi kebijakan perkotaan dan energi, serta bagian ke empat berupaya merekomendasikan kebijakan perkotaan agar dapat mendukung kebijakan energi nasional.

2. FENOMENA PERKEMBANGAN PERKOTAAN DAN IMPLIKASINYA TERHADAP ENERGI

2.1Urban Sprawl dalam Perkembangan Perkotaan di Indonesia

Urban sprawl merupakan fenomena yang terus mengiringi perkembangan perkotaan di Indonesia. Fenomena ini terjadi karena pertumbuhan penduduk di perkotaan melaju semakin pesat. Hal ini didukung oleh kebijakan pembangunan yang lebih menekankan pada pengembangan perkotaan sebagai pusat perekonomian wilayah [4]. Adanya keterbatasan ruang di pusat kota, maka urbanisasi di pinggiran kota cenderung semakin meningkat. Akan tetapi, perkembangan ini tidak didukung oleh perkembangan pelayanan perkotaan dengan berbagai fungsi-fungsi pendukungnya [3]. Akibatnya walaupun sudah tinggal di pinggiran kota, orientasi pergerakan penduduk masih ke pusat kota.

Isu Urban sprawl menjadi perdebatan dalam perkembangan perkotaan di Indonesia. Seperti yang telah disebutkan dalam paragraf sebelumnya, isu ini seiring dengan adanya urbanisasi dan kebijakan pengembangan kota-kota metropolitan di Indonesia. Urban sprawl dalam konteks metropolitan menjadi perdebatan karena di satu sisi menjadi magnet pertumbuhan ekonomi wilayah, tapi di sisi lain menunjukkan terjadinya gejala spatial mismatch.

(3)

fungsi-fungsi kegiatan untuk mendukung permukiman di wilayah pinggiran, yang kemudian menimbulkan spatial mismatch dalam pergerakan penduduknya. Kondisi ini lah yang kemudian menjadi beban oleh pusat kota maupun wilayah pinggiran itu sendiri [1] [3] [4].

2.2 Implikasi Urban Sprawl Terhadap Energi

Bagian ini memaparkan beberapa kasus urban sprawl di wilayah perkotaan di Indoenasia. Dalam kasus ini ditekankan pada bagaimana perluasan perkotaan ke wilayah pinggirannya berimplikasi terhadap terjadinya ketidakterpaduan pergerakan penduduk. Hal ini lah yang kemudian menimbulkan inefisiensi dalam pemanfaatan energi.

A. Kasus Bandung Metropolitan Area

Kota Bandung bersama dengan beberapa kabupaten dan kota di sekitarnya (Kabupaten Bandung, Kabupaten Sumedang, dan Kota Cimahi) membentuk sistem kawasan metropolitan yang disebut Bandung Metropolitan Area (BMA). Ledakan populasi dan kegiatan ekonomi telah menyebabkan permintaan akan lahan yang tinggi, yang pada gilirannya telah memicu perkembangan kawasan pinggiran [2]. Lebih lanjut dikatakan bahwa dalam konteks hubungan keruangan antara kawasan pinggiran dengan kawasan pusat BMA, menyebabkan pola peregrakan bekerja yang tidak efisien. Diketahui bahwa hubungan antara kawasan pinggiran dengan pusat kota masih cukup kuat untuk jenis pergerakan bekerja. Hubungan yang kuat ini diindikasikan oleh sejumlah penduduk yang bertempat tinggal di kawasan pinggiran BMA namun bekerja pada tempat-tempat yang berlokasi di pusat BMA [2].

B. Kasus Kota Semarang

Struktur tata ruang Kota Semarang ditandai dan dipengaruhi oleh menguatnya kawasan pusat kota yang berkembang menjadi pusat komersial. Perkembangan struktur ruang Kota Semarang juga menunjukkan kecenderungan munculnya pusat-pusat pelayanan baru yang kurang merata di daerah pinggiran, yaitu pada koridor barat-utara (Jrakah dan sekitarnya), koridor timur (Pedurungan dan sekitarnya), dan selatan-timur (Banyumanik dan sekitarnya). Struktur ruang yang demikian membentuk pemusatan kegiatan yang cukup besar pada pusat kota. Hal tersebut akan menimbulkan pola perjalanan memusat, khususnya perjalanan dari rumah menuju ke tempat bekerja [3]. Pola perjalanan memusat tersebut diperlihatkan pada Gambar 1.

(4)

C. Kasus Jabodetabek

Fenomena perkembangan wilayah pinggiran perkotaan akibat Urban Sprawl

juga terjadi di Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tanggerang, dan Bekasi). Sepertihalnya dengan wilayah lainnya, pertumbuhan penduduk di wilayah pinggiran terjadi sangat pesat, dan kondisi sebaliknya terjadi di pusat kota (lihat Gambar 2). Namun demikian, perkembangan di wilayah pinggiran tidak diikuti dengan desentralisasi pelayanan perkotaan [5]. Tentu saja, akibat yang terjadi adalah masih intensifnya pergerakan penduduk di wilayah pinggiran ke pusat kota (lihat Gambar 3).

Gambar 2 Perbandingan Jumlah Penduduk Pusat Kota dan Pinggirannya di Jabodetabek [5]

(5)

D. Kasus Surabaya Metropolitan Area

Wilayah Surbaya Metropolitan Area (SMA) terdiri dari Kota Surabaya sebagai pusat dan Kabupaten Sidoarjo, Gersik, dan Bangkalan sebagai wilayah pinggiranya. Serupa dengan perkembangan wilayah lainnya, perkembangan penduduk di wilayah pinggiran SMA (kecuali Bangkalan) lebih pesat jika dibandingkan dengan pusat kotanya. Namun demikian, pelayanan sarana dan prasarana perkotaan di wilayah pinggiran belum mampu mendukung perkembangan yang ada. Tentu saja hal ini memberikan konsekuensi terhadap masih tingginya orientasi pergerakan penduduk wilayah pinggiran ke pusat kota [6].

Berdasarkan uraian dari empat kasus perkembangan perkotaan yang mengalami urban sprawl terlihat bahwa perkembangan wilayah pinggiran perkotaan belum didukung oleh sarana dan prasarana perkotaan yang memadai, sehingga orientasi pergerakan penduduk di wilayah ini ke pusat kota masih tetap tinggi. Fenomena ini terjadi akibat kebijakan pembangunan lebih difokuskan pada pengembangan perkotaan dan tanpa memperhitungkan konsekuensi yang ditimbulkan pada bidang lain, khususnya energi [2] [4].

Pendapat di atas juga didukung oleh penjelasan bahwa ada korelasi positif antara bertambahnya jarak perjalanan dengan kepemilikan kendaraan jika tidak didukung oleh instrumen penghambatnya [5]. Tentu saja penggunaan kendaraan dalam mobilitas penduduk membutuhkan energi. Yang menjadi persoalan adalah mobilitas penduduk itu terjadi dalam konteks spatial mismatch, dimana pergerakan penduduk menjadi lebih panjang justru akibat dari ketidaktepatan kebijakan perkotaan dalam mengalokasikan fungsi-fungsi perkotaan. Dalam arti, wilayah pinggiran perkotaan yang justru berkembang lebih pesat tidak didukung oleh penyediaan sarana dan prasarana perkotaan yang memadai.

Perkembangan perkotaan yang menyebar ke wilayah pinggirannya ternyata menimbulkan permasalahan baru di sektor transportasi. Sektor transportasi merupakan konsumen Bahan Bakar Minyak (baca energi) dominan dibanding dengan sektor lainnya [3]. Lebih lanjut dikatakan bahwa pada tahun kedua Pelita VI saja, permintaan energi primer didominasi sektor industri (38,97%), diikuti sektor transportasi (37,62%), baru menyusul sektor rumah tangga (23,40%). Tidak kurang dari 48,26% konsumsi energi nasional dipasok untuk memenuhi kebutuhan BBM sektor transportasi.

Tingginya konsumsi energi tersebut sejalan dengan meningkatnya aktifitas sektor transportasi. Pada subsektor angkutan jalan raya, jumlah kendaraan meningkat hampir dua kali lipat selama periode tahun 1990 sampai dengan tahun 1998. Jenis kendaraan pada subsektor ini lebih didominasi oleh kendaraan kurang produktif seperti sepeda motor dan mobil penumpang. Adanya aktifitas tersebut, subsektor angkutan jalan raya memerlukan energi sekitar 75% terhadap total konsumsi BBM sektor transportasi [3]. Dalam 10 tahun pemakaian energi transportasi diperkirakan akan meningkat dua kali lipat dalam periode tahun 2000-2010 dengan pertumbuhan rata-rata 7,3% per tahun.

(6)

barang. Pemakaian energi untuk sepeda motor (13%) dan bis (9%), disusul angkutan laut (7%) dan angkutan udara (4%) dan terakhir kereta api dan SDP masig-masing 1% (www.pertamina.com). Dari pemaparan di atas diketahui bahwa sektor tarsnportasi sangat tergantung kepada energi, sedangkan di sisi lain sektor transportasi sangat tergantung dari kebijakan pengembangan perkotaan.

3. KONTRADIKSI KEBIJAKAN PERKOTAAN DENGAN ENERGI

Pemaparan pada bagian sebelumnya memperlihatkan bahwa ternyata kebijakan pengembangan perkotaan tidak saling mendukung dengan kebijakan energi nasional. Salah satu prinsip kebijakan energi nasional adalah efisiensi pemanfaatan energi akibat keterbatasan sumber-sumber energi. Namun ironisnya, kebijakan pengembangan perkotaan justru mengarahkan pada pengembangan kota-kota metropolitan yang justru menimbulkan urban sprawl, yang kontradiktif dengan efisiensi energi.

PP No 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) sebagai wujud kebijakan pengembangan wilayah nasional masih memprioritaskan pada kebijakan pengembangan perkotaan metropolitan untuk mendukung pengembangan wilayah. Memang, dalam kebijakan tersebut sudah diatur tentang pengembangan kota-kota kecil dan menengah dalam mengurangi ketimpangan wilayah, namun belum secara eksplisit memperlihatkan upaya-upaya untuk menghambat terjadinya urban sprawl dan upaya-upaya untuk mewujudkan kota-kota kecil dan menengah yang mandiri.

Dalam lingkup yang lebih mikro, sebagai salah satu contoh, Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Jawa Timur (RTRWP Jatim) sebagai penjabaran dari RTRWN juga masih mengacu pada pengembangan kota metropolitan. Satuan wilayah Gerbangkertasusila plus (GKS Plus) merupakan pengembangan dari wilayah GKS. Sebelumnya, wilayah ini terdiri dari tujuh kabupaten/kota sebagai satu kesatuan wilayah pengembangan, yiatu Kabupaten Gersik, Kabupaten Bangkalan, Kota Mojokerto, Kabupaten Mojokerto, Kota Surabaya, Kabupaten Sidoarjo, dan Kabupaten Lamongan. Dalam perkembangannya, satuan wilayah ini ditambah Kabupaten Bojonegoro, Pasuruan, dan Jombang. Dalam persepektif kebijakan energi, tentunya pengembangan satuan wilayah ini tidak efisien. GKS plus semakin memperluas wilayah pelayanan, tetapi orintasi pelayanan masih terfokus pada Kota Surabaya. Ini berarti ada potensi penambahan mobilitas penduduk dan semakin bertambahnya panjang perjalanan yang pada akhirnya akan berdampak pada semakin meningkatnya konsumsi energi.

4. REKOMENDASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PERKOTAAN DI MASA DEPAN

(7)

Walaupun, prinsip kebijakan pengembangan kota kecil dan menengah telah lama disampaikan, kebijakan ini perlu terus didukung melalui modifikasi instrumen-instrumen pelaksanaannya. Rekomendasi kebijakan pengembangan perkotaan di masa depan yang sinergi dengan kebijakan energi nasional dijelaskan pada Tabel 1 berikut.

Tabel 1 Rekomendasi Kebijakan di Masa Depan

No Prinsip Kebijakan Instrumen Pendukung

1 Pembatasan Urban Sprawl

melalui pendekatan manajemen pertumbuhan

Instrumen yang bersifat disinsentif dalam bentuk regulasi dan pajak,

contohnya regulasi zoning di wilayah pertanian (rural) dan pajak progrsif

2 Peningkatan peran dan fungsi kota-kota satelit melalui pendekatan pembangunan mix use dan compact

Instrumen insentif dalam bentuk regulasi, pajak, dan pembiayaan pengembangan infrastruktur, contohnya regulasi zoning permukiman, pajak regresif, dan alokasi pembiayaan pembangunan

DAFTAR RUJUKAN

[1] Sutriadi, Ridwan. 2007. Pengendalian Kota Besar dan Metropolitan: Implikasinya terhadap Transportasi yang Berkelanjutan. Prosiding Seminar Sustainable Transportasi, Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota ITB. Bandung

[2] Miharja, Miming. 2007. Pendekatan Kelembagaan dalam Perencanaan Transportasi – Guna Lahan Kawasan Metropolitan. Prosiding Seminar Sustainable Transportasi, Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota ITB. Bandung

[3] Basuki, Yudi dkk. 2007. Perubahan Pola Perjalanan Berdasarkan Perubahan Harga Bahan Bakar Minyak Studi Kasus: Kecamatan Banyumanik. Prosiding Seminar Sustainable Transportasi, Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota ITB. Bandung

[4] Firman, Tommy. 1999. Pattern and Trand Urbanisation: A Reflection Of Regional Disparity. Thrird World Planning Review.

[5] Setyaka, Harya. 2007. Mengapa Transportasi Perkotaan Indonesia Tidak Berkelanjutan? Suatu Tinjauan Kritis. Prosiding Seminar Sustainable Transportasi, Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota ITB. Bandung

Gambar

Gambar 1 Urban Sprawl dan Pola Pergerakan Memusat                 di Kota Semarang [3]
Gambar 3 Pola Pergerakan Memusat
Tabel 1 Rekomendasi Kebijakan di Masa Depan

Referensi

Dokumen terkait

Gambar 2 memperlihatkan contoh program pengolahan citra untuk analisis jeruk pontianak, sedangkan Gambar 3 adalah kelompok mutu jeruk berdasarkan hasil pemutuan manual dan Gambar

Makanan fungsional adalah makanan yang memiliki tiga fungsi yaitu fungsi primer, artinya makanan tersebut dapat memenuhi kebutuhan gizi (karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan

Dalam memperhitungkan lebar efektif, lebar pembilas sebenarnya (dengan bagian depan terbuka) sebaiknya diambil 80% dari lebar rencana untuk mengkompensasi perbedaan koefisien

Dengan demikian, dari hasil percobaan tersebut dapat disimpulkan untuk mengoptimalkan pembuatan biogas, harus menggunakan bahan baku sampah yang komposisi daun dan rumput lebih

Laporan adalah laporan, keterbukaan informasi, atau dokumen yang wajib disampaikan oleh Emiten atau Perusahaan Publik kepada Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana

Penanaman kedelai di lahan sawah sesudah panen padi sangat besar artinya dalam meningkatkan efisiensi pemanfaatan sawah tadah hujan atau yang beririgasi sederhana

Industri layanan kesehatan merupakan salah satu bidang industri yang mengalami pertumbuhan cukup signifikan, seusai dengan ramalan perkembangan bisnis oleh para futurolog bahwa

Hal tersebut ditinjau dari peletakkan massa bangunan pada kawasan Rumah Susun Sewa Sederhana Cingised yang berada diantara tiga massa bangunan lainnya, sehingga