• Tidak ada hasil yang ditemukan

USAT Liberty Tulamben Ancaman Lingkungan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "USAT Liberty Tulamben Ancaman Lingkungan"

Copied!
116
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)

VARUNA

Jurnal Arkeologi Bawah Air

Diterbitkan oleh:

Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman Direktorat Jenderal Kebudayaan

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Penanggung Jawab

Direktur Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman

Redaktur

Sri Patmiarsi

Penyunting

Desse Yussubrasta

Sekretariat

Pahadi

Archangela Yudi Aprianingrum Rohilfa Riza

Perwajahan

Sukasno

Alamat Redaksi

Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman Kompleks Kemdikbud, Gd. E, Lantai 11

Jl. Jenderal Sudirman, Senayan Jakarta 10270

(4)
(5)

SALAM REDAKSI

SAMBUTAN

TOPIK UTAMA

USAT Liberty Tulamben: Ancaman Lingkungan, Manusia, dan Rekomendasi Upaya Pelestariannya

- Nia Naelul Hasanah Ridwan, dkk.

The Belitung Shipwreck Site After Commercial Salvage In 1998

- Agus Sudaryadi

• Museum Bawah Air: Sebuah Alternatif Pelestarian Cagar Budaya

- St. Prabawa Dwi Putranto

TOPIK PILIHAN

• Pengumpulan dan Perekaman Data Dalam Penanganan Cagar Budaya Bawah Air

- Yadi Mulyadi

• Shall We Consider Human Dimension Aspects on Designing Protected Area Around the Historic Shipwreck in Tulamben, Bali?

- Zainab Tahir

• Potensi Warisan Budaya Bawah Air di Pulau Panjang, Banten

- Judi Wahjudin (Balai Pelestarian Cagar Budaya Serang)

...

...

...

...

...

...

...

...

2

3

4

29

44

57

75

(6)

Salam

Redaksi

P

embaca yang terhormat, kita panjatkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat-Nya, kami dapat menerbitkan Varuna Volume 7/2013 ini. Jurnal ini merupakan terbitan reguler mengenai Cagar Budaya Bawah Air.

Pada kesempatan ini, Jurnal Varuna menyajikan beberapa artikel yang terkait dengan pelestarian cagar budaya bawah air yang dipandang dari sisi potensi, pemanfaatan, dan bentuk pelestariannya. Pembahasan dimulai dengan metode pengumpulan dan perekaman data, potensi warisan budaya bawah air dengan contoh Situs Pulau Panjang Banten, Situs Belitung, Tulamben. Selanjutnya juga disajikan mengenai bentuk-bentuk pelestarian, salah satunya dalam bentuk museum bawah air.

Perhatian terhadap cagar budaya bawah air di Indonesia terus meningkat, namun hal ini juga seiring dengan ancaman yang terus terjadi sehingga membahayakan kelangsungan situs-situs bawah air tersebut. Oleh karena itu, diperlukan upaya-upaya penanganan pelestarian yang tepat.

Semoga melalui artikel-artikel di dalam Varuna Volume 7/2013 ini dapat menambah wawasan kita mengenai cagar budaya bawah air, secara khusus mengenai pelestariannya.

(7)

Assalamu’alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh, Salam sejahtera bagi kita semua.

P

ertama marilah kita panjatkan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas penerbitan VARUNA, Jurnal Arkeologi Bawah Air Volume 7/2013 ini sebagai bagian dari publikasi arkeologi bawah air kepada masyarakat. Arkeologi bawah air merupakan salah satu bagian dari ilmu arkeologi yang memerlukan penanganan khusus, mulai dari pengumpulan data, konservasi, pengembangan, dan pemanfaatannya. Oleh karena itu, diperlukan banyak referensi tulisan mengenai arkeologi bawah air, khususnya yang berada di wilayah perairan Indonesia.

Publikasi mengenai pelestarian cagar budaya bawah air belum banyak dilakukan, sehingga diperlukan suatu publikasi yang terbit secara berkala untuk dapat menampung gagasan-gagasan mengenai pelestarian cagar budaya bawah air dan menyebarluasannya kepada masyarakat.

Besar harapan kami bahwa Jurnal Varuna ini dapat memberikan manfaat bagi perkembangan ilmu arkeologi, dan pelestarian cagar budaya bawah air pada khususnya.

Akhirnya, saya sampaikan terima kasih dan penghargaan sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam penerbitan jurnal ini dan juga kepada seluruh pemangku kepentingan yang telah berjasa dalam pelestarian cagar budaya bawah air.

Selamat membaca.

Wassalamu’allaikum, Warohmatullahi Wabarokatuh,

Harry Widianto

(8)

TOPIK UTAMA

PENDAHULUAN

H

ingga saat ini, telah banyak sekali tulisan publikasi mengenai pemanfaatan dan pengelolaan bangkai kapal karam

USAT Liberty di Tulamben, Kabupaten Karang Asem sebagai lokasi wisata penyelaman kapal karam yang paling dikenal di seluruh Indonesia bahkan dunia. Publikasi yang dapat ditemukan juga banyak yang membahas mengenai tingginya kepedulian dan apresiasi dari masyarakat setempat terhadap keberadaan kapal karam tersebut dan berupaya melindunginya serta melestarikannya dengan

USAT LIBERTY

TULAMBEN:

Ancaman Lingkungan,

Manusia, dan Rekomendasi

Upaya Pelestariannya

Nia Naelul Hasanah Ridwan, Semeidi Husrin, Gunardi Kusumah, Zainab Tahir

Loka Penelitian Sumber Daya dan Kerentanan Pesisir

Jl. Raya Padang – Painan Km. 16, Bungus, Padang, Sumatra Barat email: niahasanah79@gmail.com

(9)

LSM, maupun pihak terkait lainnya yang membahas mengenai tingkat kerentanan, kerusakan, dan faktor-faktor yang mengancam kelestarian situs kapal karam itu pada saat ini dan masa yang akan datang baik dari faktor lingkungan alam maupun faktor manusia.

Pemanfaatan yang berlebihan terhadap keberadaan kapal karam tersebut yang ditunjukkan dengan banyaknya jumlah penyelam yang mencapai 100-150 orang per hari dan dampaknya terhadap kelestarian kapal dan lingkungannya juga belum dicermati oleh pihak-pihak terkait. Kita perlu menyadari bahwa jumlah penyelam yang terlalu banyak yang melakukan aktivitas bawah air tersebut telah memberikan tekanan yang sangat berat terhadap USAT Liberty dan ekosistem di lokasi tersebut. Isu-isu dan kekhawatiran akan semakin rusaknya bangkai kapal USAT Liberty ini justru muncul dari masyarakat pemerhati industri selam di Bali serta para dive guide lokal akhir-akhir ini dikarenakan hampir setiap hari mereka melakukan aktivitas penyelaman bersama para tamunya dan mereka memperhatikan telah terjadi banyak kerusakan pada

USAT Liberty maupun ekosistemnya. Mereka menginformasikan pula bahwa pada saat ini sudah banyak spesies ikan yang tidak lagi muncul di lokasi tersebut dan juga banyaknya terumbu karang yang rusak dan hancur akibat keteledoran dan ketidakhati-hatian para penyelam (Pickell & Wally, 2010).

Upaya-upaya perlindungan dan pelestarian yang bersifat urgen, nyata, dan perlu segera dipertimbangkan dan dilakukan untuk mencegah kerusakan kapal tersebut lebih lanjut juga belum dibahas oleh instansi-instansi terkait yang berwenang dan kajian serta penelitian yang dilakukan baru pada tahap pemetaan dan pendokumentasian saja. Oleh karena itu, tulisan ini akan membahas dan mendiskusikan mengenai kerentanan

(10)

tinggalan arkeologis bawah air USAT Liberty tersebut mengingat keberadaan kapal karam ini dan industri penyelaman di Tulamben adalah satu-satunya tumpuan hidup masyarakat di desa tersebut.

Situs ini juga penting bukan hanya bagi masyarakat Desa Tulamben saja melainkan masyarakat dari Bali Selatan, Pemuteran, Lovina, Serangan, dan lain-lain dimana hampir di setiap

dive operator di Bali pasti menawarkan

dive trip ke Liberty Wreck. Akan tetapi, melihat perkembangannya pada saat ini dan dengan semakin banyaknya jumlah penyelam yang menyelam di lokasi ini serta tidak adanya sumberdaya manusia khusus untuk melakukan pemantauan dan pengawasan secara langsung dan berkala di lokasi penyelaman, maka kerusakan situs dan ekosistem semakin meningkat.

Pada tahun 2011, Balai Pelestarian Cagar Budaya Gianyar (BPCB Gianyar) atau yang sebelumnya dikenal sebagai Balai Pelestarian Purbakala Gianyar, melakukan Kegiatan Pemetaan dan Penggambaran Situs/Kapal Karam USAT Liberty. Disebutkan bahwa kegiatan tersebut

dilaksanakan dalam upaya pelestarian peninggalan purbakala yang berada di bawah air dengan sasaran kegiatan meliputi: perekaman lingkungan situs, deskripsi objek, pembuatan peta situasi, peta lokasi, peta keletakan, gambar, perekaman foto dan video. Pendokumentasian berupa gambar, foto, video, peta lokasi, dan peta situasi kapal tersebut perlu dilakukan mengingat kapal tersebut berada di dalam air laut dan dalam kurun waktu yang cukup lama maka bagian-bagian kapal dari besi tersebut akan mengalami kerusakan yang semakin parah bahkan menjadi hancur sehingga menyebabkan kita akan kehilangan data dan bukti sejarah yang penting (Tenaya, dkk, 2011: 2).

(11)

Mendokumentasikan peninggalan arkeologi bawah air memang adalah tugas dan tanggung jawab pemerintah, namun selain itu, terdapat tanggung jawab moral pemerintah terhadap masyarakat dimana sebenarnya upaya-upaya pelestarian yang lebih dari sekedar preserved by record dapat dilakukan. Kita harus melakukan tindakan yang nyata untuk melindungi bangkai kapal karam tersebut dari kerusakan yang semakin parah dengan melakukan upaya-upaya perlindungan dan pelestarian baik secara fisik mekanik, kimiawi, maupun hukum.

Melihat semakin meningkatnya tekanan yang dialami USAT Liberty,

maka pelestarian USAT Liberty dengan menerapkan hukum awig-awig yang dilakukan oleh masyarakat dan penempatan juru pelihara oleh BPCB Bali pada saat ini menjadi tidak cukup dan perlu diperkuat dengan upaya-upaya perlindungan dan pelestarian nyata yang lain untuk mencegah semakin tingginya tingkat kerusakan yang dialami bangkai kapal beserta lingkungan situsnya.

Latar Historis USAT Liberty dan Kondisi Terkini

Menurut NavSource Naval History, US Navy, USAT Liberty adalah

freighter atau kapal kargo Amerika

(12)

eks AK-35, dan eks Liberty (ID 3461) yang dibangun pada tahun 1918 oleh Federal Shipbuilding Co., Hackensack, NJ dengan dimensi 125,43 x 17 m dan tonase 4.809 ton serta dilengkapi dengan kekuatan 1 buah mesin 2500ihp steam engine. Kapal ini diluncurkan pada 19 Juni 1918. Pada saat peluncurannya, koran-koran lokal menyebutkan bahwa kapal ini adalah kapal kargo baja terbesar yang dibuat pada saat itu.

Pada Oktober 1918, kapal ini kemudian digunakan oleh US Navy dan diberi nama USS Liberty (ID 3461). Kemudian US Army pada tahun 1939/1940 menggunakannya dan

memberinya nama US Army Transport Liberty (USAT Liberty). Pada Mei1941, US Army and US Navy menyetujui keputusan bahwa US Navy akan kembali mengambil alih kapal ini akan tetapi US Navy tidak mendapatkan personel untuk ditempatkan di kapal ini sehingga akhirnya kapal ini tetap menjadi Army Ship. Dalam perjalanannya dari Australia ke Philippines, ia ditorpedo Japanese Submarine I-166 pada Januari 1942 di Selat Lombok dan kemudian terdampar di Pantai Tulamben. Menurut arsip di atas, kapal ini mengangkut rel kereta api, karet, dan logistik untuk pasukan sekutu. Penduduk Tulamben

(13)

mengatakan bahwa kapal ini juga mengangkut minyak kayu putih dalam tong-tong besar dan juga biji lada hitam. Penduduk mengatakan ketika kapal ini terdampar di Pantai Tulamben, hampir seluruh pantai tertutup oleh biji lada hitam. Sementara itu, mereka juga banyak mengambil tong-tong yang berisi minyak kayu putih untuk dibawa ke rumah mereka.

Faktor Ancaman Lingkungan Alam

Nicholas Flemming (2011) mengatakan bahwa secara global, situs arkeologi bawah air sangatlah rentan terhadapberbagai kerusakan oleh alam maupun manusia. Sejumlah situs mengalami kehancuran dikarenakan oleh gelombang dan proses erosi. Oleh karena itu kebijakan pro-aktif mengenai monitoring dan manajemen sangat diperlukan. Ancaman terhadap situs kapal karam yang terkait dengan faktor perubahan lingkungan dikarenakan tingginya dinamika perairan di wilayah tersebut. Dengan kondisi arus yang cukup kuat dan faktor angin yang memacu gelombang tinggi dapat menyebabkan terjadinya erosi, pergeseran, dan sedimentasi sehingga membuat situs kapal karam

menjadi rentan terhadap berbagai kerusakan fisik dan mekanik dan juga kerusakan kimiawi berupa korosi yang diakibatkan oleh perubahan iklim.

Lokasi situs USAT Liberty yang terletak di pesisir timur Bali dan merupakan bagian dari Selat Lombok merupakan lokasi yang terpengaruh kuat oleh tingginya dinamika perairan di wilayah tersebut. Kondisi oseanografi di wilayah tersebut cukup kompleks dan berdinamika tinggi. Pertemuan arus antara Samudera Pasifik dan Samudera Hindia di wilayah perairan tersebut menyebabkan kondisi arus di wilayah tersebut cukup kuat pada waktu-waktu tertentu.

(14)

oleh segala macam kondisi cuaca yang terkadang cukup ekstrim dan terdapat gelombang mengayun (large swell) yang dapat “mengayun-ayun” badan kapal di bagian-bagian yang tidak terlalu kuat atau yang telah rapuh.

Lokasi bagian kapal karam

USAT Liberty yang paling dangkal pada bagian atas yaitu mulai dari kedalaman 5-10 meter masih mendapatkan pengaruh signifikan dari kekuatan gelombang, arus, dan angin di bagian permukaan. Gelombang yang dipacu

Gambar 3. Peta Lokasi USAT Liberty Bali (Dimodifikasi oleh Loka Penelitian Sumberdaya Laut dan Pesisir)

(15)

Pada kondisi cuaca ekstrim dengan adanya badai dan gelombang tinggi, bagian-bagian kapal yang telah rapuh dapat menjadi lepas dari bagian superstruktur-nya dan kemudian rubuh. Hal tersebut terjadi pada Bulan Juli 2013 ketika tim penelitian Loka Penelitian Sumberdaya dan Kerentanan Pesisir berada di lokasi

USAT Liberty Tulamben. Beberapa hari pasca kejadian badai dan gelombang tinggi yang melanda pantai Timur

Bali selama 4 hari, terdapat 4 bagian kapal USAT Liberty yang rubuh yaitu 1 titik di bagian buritan kapal, 1 titik di bagian tengah, dan 2 titik yang rubuh berada di bagian haluan kapal. Bagian-bagian kapal yang rubuh ini juga telah mengalami korosi yang cukup signifikan sebelumnya sehingga dapat diduga kuat bahwa tingkat korosi yang tinggi di bagian-bagian tersebut sejak awal sudah melemahkan bagian kapal tersebut, dan kemudian ditambah

(16)

dengan adanya tekanan besar akibat kejadian gelombang tinggi sehingga akhirnya menyebabkan bagian kapal tersebut sudah tidak mampu lagi menempel di superstuktur-nya dan kemudian lepas dan rubuh ke bawah serta menimpa bagian yang lain.

Arus dan gelombang yang cukup kuat di Pantai Tulamben menyebabkan adanya proses erosi/ abrasi yang tinggi. Di dalam Lampiran VII Rencana Tata Ruang Wilayah Kab. Karang Asem tahun 2012-2032 tentang Sebaran Kawasan Lindung di Kabupaten Karang Asem, disebutkan

dalam poin 12.2.f bahwa kawasan rawan abrasi pantai di Karang Asem di antaranya adalah Pantai Labuhan Amuk, Pantai Sengkidu, Pantai Candidasa, Pantai Ujung, Pantai Yeh Kali, Pantai Bunutan, Pantai Jemeluk, Pantai Kubu dan Pantai Baturinggit, dan Pantai Tulamben yang juga merupakan kawasan lindung geologi dan kawasan rawan bencana geologi.

Selain arus permukaan, lokasi kapal karam USAT Liberty adalah wilayah yang terpengaruh oleh

ocean internal wave (Susanto, 2005). Dampak dan bahaya fenomena ocean

(17)

Gambar 7. Bagian Kapal yang Rubuh Pasca Badai dan Gelombang Tinggi Juli 2013 (Dok. Loka Penelitian Sumberdaya Laut dan Pesisir)

internal wave terhadap “kelangsungan hidup” USAT Liberty ini masih dikaji oleh Loka Penelitian Sumberdaya dan Kerentanan Pesisir. Dasar laut tempat kedudukan USAT Liberty sekarang yang berupa slope dengan kemiringan 60% lebih juga merupakan satu ancaman untuk keberadaan kapal ini ke depan. Kemungkinan terjadinya pergeseran badan kapal USAT Liberty

yang diakibatkan oleh erosi atau penggerusan dasar laut dengan tenaga penggerak berupa arus dan gravitasi serta ocean internal wave di lokasi tersebut dapat menyebabkan bangkai kapal ini tergeser dan jatuh lebih jauh lagi ke kedalaman.

Berdasarkan hasil penelitian tim LPSDKP, proses yang menyebabkan

USAT Liberty berada di tempatnya yang sekarang adalah dikarenakan proses erosi pantai yang kuat yang terjadi sangat signifikan dan secara terus menerus sehingga menyebabkan

(18)
(19)

USAT Liberty terdorong ke laut. Akan tetapi hasil penelitian kami dan hasil wawancara dengan sesepuh Desa Tulamben mengatakan bahwa proses alam yang secara signifikan “menjatuhkan” USAT Liberty dari dudukannya di pantai Tulamben ke tempat yang lebih dalam adalah proses erosi yang terjadi secara terus menerus. Dengan demikian, bukan kapalnya yang terdorong dan bergeser semakin ke tengah laut yang lebih dalam akan tetapi kapalnya semakin jatuh ke bawah di lokasi yang tetap. Tremor Gunung Agung juga mungkin ikut berpengaruh akan tetapi erosi adalah proses dinamika pantai dan laut yang paling dominan di lokasi tersebut. Sesepuh Desa Tulamben menyebutkan bahwa pantai Tulamben dulunya adalah sejarak kurang lebih 100 meter ke arah laut dari pantai yang sekarang. Dengan demikian, dapat diduga bahwa telah terjadi pergeseran garis pantai yang disebabkan oleh erosi. Batu-batu vulkanik yang berada di sepanjang pantai Tulamben merupakan batu vulkanik dari Gunung Agung dari kejadian letusan sebelum tahun 1963. Batu-batu tersebut dulunya tertutup oleh pasir, dan kemudian pasir itu

semakin lama semakin habis tererosi oleh gelombang dan akhirnya muncul hamparan batu yang sebelumnya ada di lapisan di bawah pasir. Hal tersebut dikonfirmasi oleh para sesepuh Desa yang mengatakan bahwa mereka tidak tahu dari mana batu-batu itu muncul. Bahkan disebutkan bahwa batu-batu tersebut muncul karena “keajaiban Tuhan”. Akan tetapi hal tersebut dapat dijelaskan secara ilmiah terkait dengan proses erosi pantai yang cukup dramatis. Dikarenakan proses erosi ini telah berhasil “menjatuhkan” USAT Liberty ke kedalaman laut mulai dari tahun 1942, maka ada kemungkinan besar proses alam ini akan menjatuhkan Liberty lagi ke tempat yang semakin dalam yang sudah tidak dapat diakses lagi secara aman oleh penyelam. Hal ini harus diwaspadai dan perlu dilakukan kajian yang mendalam serta kita perlu bersiap-siap untuk mencegah “hilangnya” USAT Liberty

tersebut selamanya.

Faktor Ancaman Manusia

(20)

kesempatan bagi para ahli arkeologi untuk menghadirkan warisan budaya di tengah-tengah masyarakat. Konsep preservasi in-situ menimbulkan pemikiran untuk menjadikan warisan budaya sebagai museum di dalam air (Delgado, 2011). Pemanfaatan situs kapal karam sebagai objek pariwisata komersial yang dikombinasikan dengan pengembangan pariwisata modern yang intensif telah berdampak sangat besar terhadap kelangsungan

dan pelestariannya di wilayah Baltik, Mediterrania, dan Caribbia. Di Asia dan Amerika Selatan, pariwisata ini telah meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Akan tetapi dampak dari pembangunan konstruksi yacht marina, bangunan pantai, hotel, water sports resorts, touristic scuba diving, dan penjualan koleksi dan suvenir juga berdampak negatif terhadap perlindungan dan kelestarian situs (Flemming, 2011). Kerusakan pada

Gambar 9.

(21)

kapal karam yang diakibatkan oleh manusia tidak sedramatis kerusakan yang disebabkan oleh alam, akan tetapi kerusakan yang ditimbulkan bersifat kumulatif namun signifikan (Viduka, 2006, 62).

Supriyatun (2007), Noerwidi (2007), serta Rochtri Bawono Agung (2008) menyatakan bahwa dikarenakan

USAT Liberty merupakan objek wisata yang menghasilkan devisa dan keuntungan bagi masyarakat, maka masyarakat setempat merasa perlu melestarikan kawasan Tulamben ini dengan menciptakan peraturan

Awig-awig yang mencakup larangan memancing dalam radius 100 m dari lokasi kapal, larangan merusak kapal dan terumbu karang, dan lain-lain. Aturan-aturan tersebut sepertinya memang ditaati dan tidak ada orang yang berani secara sengaja melanggar aturan-aturan tersebut. Hal ini telah dikonfirmasikan juga kepada para sesepuh Tulamben melalui kegiatan wawancara secara langsung dengan Bapak Nyoman Karyasa dan Bapak Degeng yang merupakan Kelian Adat

dan Kelian Banjar Dinas Tulamben. Akan tetapi, hal yang perlu dicermati adalah bahwa para turis

dan penyelam memang tidak secara sengaja melakukan aksi-aksi perusakan seperti yang dicantumkan dalam awig-awig, namun dapat dipastikan bahwa banyak penyelam yang merusak situs dan bangkai kapal karam USAT Liberty

secara tidak sengaja. Kemampuan menyelam setiap turis yang mengunjungi USAT Liberty tidak sama dan terbagi dalam berbagai macam kategori yaitu tingkat pemula, tingkat

advance, dan profesional. Bahkan banyak sekali di antara turis tersebut yang belum mempunyai kemampuan selam sama sekali dan mereka baru akan mengambil sertifikasi selam di lokasi ini. Kita dapat membayangkan para penyelam pemula yang belum dapat menguasai teknik buoyancy

(22)

memberikan makanan kepada ikan-ikan juga menyalahi aturan konservasi perikanan. Pada tahun 90-an, seorang fotografer Perancis yang meskipun profesional akan tetapi dia ceroboh ketika melakukan penyelaman dan dia menjatuhkan kameranya yang cukup berat dan menimpa suatu jenis terumbu karang di badan kapal. Selain menghancurkan terumbu tersebut, para penyelam yang lain di sekitarnya juga mengalami keracunan hebat dikarenakan terdapat zat dari terumbu tersebut yang memabukkan (Pickell, 2010).

Selain kerusakan fisik mekanik, kerusakan kimiawi yang di”derita” oleh USAT Liberty akibat konsentrasi oksigen yang berasal dari udara yang dikeluarkan para penyelam akan terperangkap dan menjadi kantung-kantung udara (air pocket) pada badan kapal dan akan mempercepat proses oksidasi yang menyebabkan meningkatnya tingkat korosi pada

USAT Liberty yang merupakan kapal berbahan besi dan baja. Sementara itu, kita juga telah mengetahui dengan sangat baik bahwa korosi adalah salah satu kerusakan kimiawi yang paling mengancam benda-benda arkeologis

yang berbahan metal. Oleh karena itu, jumlah penyelam di USAT Liberty

sebanyak 100-150 orang per hari akan berdampak sangat besar terhadap proses perusakan secara kimiawi. Saat ini sudah banyak sekali bagian kapal yang berkarat. Beberapa permasalahan yang timbul akibat korosi ini ialah pelapukan dan kerusakan, umur benda yang tidak memenuhi harapan, dan faktor keamanan yang tidak memadai dengan ditemukannya runtuhan bagian-bagian kapal di dasar perairan.

Semakin banyaknya jumlah penyelam di USAT Liberty memang memberi keuntungan yang signifikan bagi peningkatan pariwisata, meskipun di sisi lain menimbulkan masalah penyebab rusaknya lingkungan permukaan dasar laut. Jumlah penyelam yang banyak di satu titik selam dapat menyebabkan terbongkarnya permukaan dasar laut dikarenakan dasar laut di USAT Liberty

adalah pasir. Permukaan dasar laut yang sering teraduk karena kepakan

(23)

Perlunya Upaya Perlindungan dan Pelestarian Nyata

Sebagaimana kita ketahui bahwa kapal karam adalah sumberdaya arkeologi dan sumberdaya pesisir yang tidak dapat pulih. Oleh karena itu, kegiatan-kegiatan perlindungan dan pelestariannya harus terus diupayakan untuk mencegahnya dari kerusakan lebih lanjut dan kemusnahan. Program preservasi berkelanjutan perlu segera dipertimbangkan serta memerlukan kajian menyeluruh terhadap situs dan kondisi lingkungan di sekitarnya. Hal tersebut penting dikarenakan lingkungan yang terdegradasi dan selalu mengalami perubahan saat ini dikarenakan oleh berbagai sebab termasuk perubahan iklim akan

berpengaruh sangat besar terhadap kestabilan fisik situs kapal karam USAT Liberty. Kegiatan pelestarian terhadap situs bawah air seyogyanya dilakukan melalui berbagai aktivitas seperti perlindungan dan pelestarian situs dengan legislasi, penegakan hukum sejalan dengan aturan perlindungan hukum, stabilisasi situs secara fisik, perencanaan managemen konservasi, serta konservasi situs dan artefak.

Aksa (2007) menyebutkan bahwa upaya pelestarian dan pemanfaatan peninggalan bawah air perlu lebih ditingkatkan dan dikelola baik sehingga akan menjadi aset kebudayaan dan pariwisata yang memberikan nilai tambah ekonomi bagi masyarakat. Disebutkan pula bahwa

(24)

dalam upaya pemanfaatan peninggalan bawah air hendaknya jangan terjadi perusakan terhadap peninggalannya, baik kapal maupun muatannya (Aksa, 2007: 81). Hal-hal tersebut itulah yang perlu diatur lagi secara lebih detil dan teknis oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah melalui perda atau bahkan oleh lembaga berwenang yang khusus mengelola situs tersebut (site manager).

BPCB Bali menyadari bahwa

USAT Liberty yang merupakan salah satu titik kapal karam yang telah teridentifikasi keberadaannya di antara sekian banyak kapal karam, saat ini terancam musnah dalam kurun waktu yang tidak dapat dipastikan sehingga instansi ini kemudian melakukan kegiatan pendokumentasian. BPCB Bali juga menyarankan untuk melakukan upaya pelestarian lebih lanjut dan mendukung untuk mempertahankan hukum lokal masyarakat Tulamben yang dikatakan secara nyata telah mendukung pemerintah (Tenaya, dkk, 2011:7).

Dalam hal ini, perlu ditambahkan bahwa hukum adat atau hukum awig-awig yang telah dipunyai masyarakat Tulamben dan ditaati

mereka selama ini, harus dipayungi dengan regulasi nasional dan peraturan daerah misalnya tentang pembatasan jumlah penyelam yang melakukan aktivitas penyelaman di lokasi kapal karam USAT Liberty. Upaya hukum untuk membatasi jumlah penyelam ini saat ini perlu segera dipertimbangkan mengingat tekanan yang di’’derita” oleh

(25)

aturan mengenai pembatasan jumlah turis yang menyelam di USAT Liberty, kemungkinan nantinya akan terdapat pro dan kontra, akan tetapi hal tersebut harus mulai dipikirkan dari sekarang.

Di SS Yongala di Great Barrier Reef Marine Park Australia, jumlah penyelam dibatasi hanya maksimum 7.000 per tahun. Di Indonesia kebijakan mengenai pembatasan jumlah penyelam ini baru diterapkan oleh pemerintah Kota Bitung terhitung mulai Januari 2013. Kesepakatan bersama secara resmi dan tertulis telah dibuat di antara semua operator wisata se-kota Bitung (total ada 13 operator) dengan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Bitung. Kesepakatan bersama ini kemudian menjadi salah satu dasar pencantumannya sebagai salah satu Bab penting dalam Rancangan Peraturan Daerah Kota Bitung tentang Perlindungan dan Pengelolaan Kawasan Wisata Kota Bitung Tahun 2013. Jika ranperda ini disahkan dalam waktu dekat maka pelanggaran terhadapnya akan memberi konsekuensi hukum bagi yang melanggar. Dalam pelaksanaannya di lapangan, semua resort operator wisata Kota Bitung

telah menerapkannya secara ketat. Para operator wisata dari luar kota Bitung yang baru mengetahui hal ini juga diharapkan dapat memahaminya dan tidak masuk di titik-titik selam yang sudah ada 1-2 perahu di atasnya atau minimal 12 penyelam (Lontoh, 2013).

(26)

jatuh ke kedalaman dikarenakan kontur dasar laut di wilayah Tulamben dan sekitarnya adalah slope dengan derajat kemiringan yang tinggi dan dasar laut yang semakin ke tengah semakin dalam.

Kita juga dapat menjadikan situs USAT Liberty ini sebagai lokasi selam yang eksklusif seperti SS Yongala sehingga selain kita dapat mengawasi dan membatasi jumlah penyelam kita juga tetap mendapatkan pemasukan yang tinggi bagi daerah dan masyarakat dengan meninggikan tarif masuk (entrance fee). Untuk menetapkan kebijakan pembatasan jumlah penyelam, maka pemetaan suatu destinasi wisata menurut tipenya menjadi sangat penting. Tulamben perlu dikaji lagi apakah merupakan destinasi yang dipetakan menjadi

mass-tourism, limited tourism, atau

eco-tourism. Pemetaan ini menjadi penting untuk pengembangan kawasan tersebut kedepannya. Selain itu, yang penting untuk penetapan pembatasan ini ialah dilarang mengorbankan masyarakat dan harus berorientasi pada bisnis berkelanjutan di wilayah tersebut.

Perlindungan hukum yang

nyata nantinya akan dapat melindungi situs dari dampak negatif aktivitas penyelaman sehingga dapat mengurangi ketidakstabilan situs dan kondisi perairannya.

Upaya pelestarian pada kapal berbahan metal dapat dilakukan dengan menggunakan metode

Cathodic Protection (CP). Pada saat di lapangan, Tim LPSDKP telah mencoba melakukan pengukuran

corrosion rate di 3 (tiga) titik lokasi

USAT Liberty. Hasil pengukuran ini diharapkan nantinya dapat digunakan oleh instansi-instansi terkait sebagai dasar untuk upaya pelestarian in-situ.

Metode ini menggunakan sacrificial anode yang dipasang pada sejumlah titik di bagian-bagian kapal untuk mengurangi laju korosi sehingga dapat memperpanjang “umur’ kapal. Metode CP ini diterapkan pada kapal-kapal modern saat ini dan dipasang di bagian-bagian yang mudah berkarat atau rawan korosi.

(27)

justru pemerintahlah yang seharusnya segera mengambil tindakan dan peran aktif dalam melindungi, mengelola dan melestarikan bangkai kapal karam

USAT Liberty ini. Akan tetapi tanggung jawab juga tidak dapat sepenuhnya dibebankan kepada masyarakat sekitar karena selain terdapat keterbatasan-keterbatasan dalam melakukan upaya pelestarian, terdapat juga hal-hal yang harus diputuskan dalam hal pengelolaannya, selain itu diperlukan juga perhatian serius dari pemerintah daerah dan pusat untuk menjaga keberlangsungannya. Dalam pengelolaan dan penanggulangan berbagai ancaman kerentanan USAT

Liberty dan kapal-kapal karam lain di Indonesia, selain para ahli arkeologi, kita juga dapat melibatkan para ahli hukum, diplomat, aparat penegak hukum, konservator, ahli arkeologi maritim, insinyur, ahli biologi laut, ahli kimia, dan para pelaku industri wisata selam, akademisi dan pihak-pihak lainnya untuk terus berpartisipasi.

Untuk dapat melakukan upaya-upaya perlindungan dan pelestarian terhadap USAT Liberty, kita dapat belajar dari manajemen SS Yongala. Pengelolaan situs SS Yongala yang berada di bawah wewenang Museum of Tropical Queensland menunjukkan pendekatan yang holistik dalam

(28)

preservasi sumberdaya budaya yang sesuai dengan prinsip umum Konvensi UNESCO 2001. Pengelolaan dan penanggulangan ancaman dilakukan secara formal dan informal. Pemasangan instalasi sacrificial anode

untuk mencegah kerusakan akibat korosi pada badan kapal juga telah dilakukan (Viduka, 2006).

Pembuatan protected area di Tulamben juga sangat dianjurkan misalnya dengan mencanangkannya sebagai situs cagar budaya atau sebagai kawasan konservasi maritim yang dalam proses pencanangan tersebut memerlukan feasibility study

terlebih dahulu. Di Great Barrier Reef Marine Park, permanen mooring harus ditempatkan untuk mengontrol berbagai kerusakan atau gangguan yang disebabkan oleh aktivitas menaruh dan menarik jangkar perahu-perahu yang digunakan oleh para penyelam dan juga untuk mempromosikan akses yang aman dan berkelanjutan terhadap

protected zone area seperti SS Yongala

dan SS Lady Darling. Protected zone

tersebut dideklarasikan terkait dengan signifikansi historis dan keterbatasan daya tahan (site’s fragility) serta dan perlindungan terhadap ancaman dari gangguan jangkar perahu.

Stabilisasi situs secara fisik telah sukses dilakukan di situs

James Matthew di Western Australia untuk mengantisipasi permasalahan yangdisebabkan oleh ancaman alam dan erosi pasir dengan menggunakan

plastic road barriers. Situs William Salthouse di Victoria menggunakan

artificial seagrass dan Salway di South Australia serta Sydney Cove di Tasmania menggunakan sand bag

(Anderson, 2006, 146). Sementara itu, South Australia, Norfolk Island dan Western Australia telah menggunakan

in-situ catodic protection pada situs bangkai kapal karam dan artefak-artefak berbahan metal seperti meriam dan jangkar. Sementara itu Victoria, Western Australia, South Australia, NSW, dan Queensland telah melakukan

pilot studies terhadap kapal besi dan kapal uap. Western Australia Maritime Museum khususnya telah sangat dikenal dalam keahliannya mengenai konservasi tentang predisturbance

survey mengenai aspek kimiawi dan biologis lingkungan situs; konservasi artefak maritim; serta metal corrosion. Stabilisasi situs secara in-situ terus dilakukan oleh Heritage Victoria

(29)

menerus mendukung para staf ahli konservasi dan meningkatkan fasilitas pendukung untuk pelaksanaan konservasi arkeologi maritim.

Proses peradilan juga telah dilakukan untuk mengeksekusi tindakan-tindakan yang merusak situs. South Australia, Queensland dan Victoria telah mengadili berbagai kasus perusakan situs bawah air dalam beberapa tahun ini mulai dari kasus melanggar aturan seperti penetrasi terhadap badan kapal di SS Yongala Shipwreck, hingga aktitas melabuhkan jangkar, dan memasuki area protected zone di Zanoni dan SS City of Launceston (Anderson, 2006: 147). NSW mempunyai program “Wreck Spotters Program” dimana para anggota masyarakat yang peduli terhadap situs terus menerus memantau kondisi situs dan melaporkan aktivitas ilegal atau perkembangan situs terhadap NSW

Heritage Office.

Hubungan kerjasama inter-governmental juga sangat penting untuk mengintegrasikan keberadaan situs kapal karam di dalam perencanaan program pemerintah dan perencanaan lingkungan infrastruktur untuk menempatkan prosedur manajemen

yang koheren di tempatnya dan menghindarkan duplikasi dan overlap program yang tidak perlu di kalangan instansi pemerintah. Memperkuat hubungan kerja dan berbagi informasi serta meningkatkan terus level proteksi dan manajemen yang terkoordinasi di lokasi-lokasi kapal karam sangat diperlukan.

(30)

Aksa, Laode M., 2007, “Peningkatan Manfaat dan Nilai Tambah Peninggalan Bawah Air di Kabupaten Belitung”, dalam

Varuna Jurnal Arkeologi Bawah Air Vol. I/2007, ISSN1979-066X,

Direktorat Peninggalan Bawah Air, Jakarta, hal. 72-83.

Anderson, Ross, Cassandra Philippou and Peter Harvey, 2006,

“Innovative Approaches in Underwater Cultural Heritage Management, in Staniforth, Mark & Michael Nash (Ed.),

Maritime Archaeology: Australian Approaches, The Plenum Series in Underwater Archaeology, New York, Springer, hal. 137-150. Bawono, Rochtri Agung,

2008, “Pemanfaatan dan Pengembangan Peninggalan Bawah Air dalam Perspektif

Ucapan Terima Kasih

Terima kasih penulis haturkan pada Drs. Wayan Tenaya (BPCB Bali) yang telah membantu dan mendukung riset kami tentang kerentanan USAT Liberty; Bapak Abilawa Setyadi dan Mas Made Subrata yang telah membantu menjaga kami selama kegiatan penyelaman dan dalam

kegiatan pengukuran korosi USAT Liberty; Teman-teman di Balai Penelitian Observasi Laut; dan Bapak Cipto Aji Gunawan yang telah banyak berdiskusi dan memberikan ide-ide mengenai perlunya pembatasan jumlah penyelam dan perlunya memilih antara pendekatan mass tourism atau eco-tourism di lokasi USAT Liberty.

REFERENSI

Sosial, Budaya, dan Ekonomi: Studi Kasus Situs USS Liberty

Tulamben, Bali”, Varuna Jurnal Arkeologi Bawah Air, Vol. II/2008, Direktorat Peninggalan Bawah Air, Departemen

Kebudayaan dan Pariwisata, Jakarta, hal.73-80.

Delgado, James, 2011, “The Impact on and Opportunities arising from Tourism to Submerged Sites”, UNESCO Scientific Colloquium on Factors Impacting the Underwater Cultural Heritage, 10th

Anniversary of the Convention on the Protection of the Underwater Cultural Heritage, Royal Library of Belgium, Brussels, Belgium, 13-14 December 2011.

(31)

Cultural Heritage, 10th

Anniversary of the Convention on the Protection of the Underwater Cultural Heritage, Royal Library of Belgium, Brussels, Belgium, 13-14 December 2011.

Kamaluddin, Laode M., 2002, .Pariwisata Bahari dan

Konservasi”,dalam Pembangunan Ekonomi Maritim di Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Kusumajaya, I Made, 2005, Konsep Pelestarian dan Pemanfaatan Peninggalan Bawah Air oleh Masyarakat Tulamben, Kabupaten Karang Asem, Propinsi Bali, Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Propinsi Bali-NTB-NTT, Denpasar.

Lontoh, Benny, 2013, “Kota Bitung Menerapkan Maksimal 15 Penyelam dalam 1 Spot Dive”,

http://www.visitlembeh. com/artikel16-kota-bitung- menerapkan-maksimal-15-penyelam-dalam-1-spot-dive.). Diakses pada 3 Agustus 2013. Noerwidi, Sofwan, 2007,

“Pemberdayaan Masyarakat pada Pelestarian Situs bangkai Kapal USS Liberty”, Tulamben Bali, http://arkeologika.wordpress. com/2007/10/31/artikel-. Diakses pada 5 April 2013.

Pickell, David & Wally Siagian, 2010,

Diving Bali: The Underwater Jewel of Southeast Asia, Periplus, Singapore.

(32)

Proceeding on the Asia Pacific Regional Conference on

Underwater Cultural Heritage,

Manila, 8-12 November 2011. Suardana, I Wayan,I Putu

Sudana,Ariani, Ni Made, 2012, “Studi Pengembangan Wilayah Pesisir Tulamben Sebagai

Kawasan Ekowisata di Kabupaten Karang Asem Provinsi Bali”,

Laporan Penelitian, Program Studi Pariwisata Universitas Udayana.

Supriyatun, M.M. Rini, 2007, “Potensi Obyek Wisata Warisan Budaya Bawah Air di Tulamben”, Kabupaten Karang Asem, Propinsi Bali, dalam Varuna, Jurnal Arkeologi Bawah Air Vol. 1/2007, Direktorat Peninggalan Bawah Air, Departemen

Kebudayaan dan Pariwisata, Jakarta.

Susanto, R. Dwi, 2005, “Ocean Internal Wave Observed in Lombok Strait”, Oceanography Vol. 18 No. 4, Dec 2005, The Oceanography Society, Rockville. Tenaya, I. W. Gde Yadnya, dkk.,

2011, Laporan Pemetaan dan Penggambaran Situs/Kapal Karam U.S.A.T liberti, Tulamben Karang Asem, Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Bali, Gianyar.

Viduka, Andrew, 2006, “Managing Threats to Underwater Cultural Heritage Sites: The Yongala as a Case Study”, in Underwater Cultural Heritage at Risk.

Sumber Website

http://www.karangasemkab.bps.go.id, Diakses pada 10 Mei 2013.

(33)

ABSTRACT

The Belitung Shipwreck Site, located at 17 meters (m) depth in Belitung waters, Indonesia, is a shipwreck site containing Tang Dynasty (AD 618-906) cargo that was lifted by private salvage companies, Limited Corporation/Perusahaan Terbatas (PT). Sulung Segara Jaya and Seabed Exploration Company in 1998. The salvaging1 process was done without

involving Indonesian State archaeologists. The shipwreck is an Arab or Indian vessel that includes 60,000 artifacts from the Tang Dynasty. In 2005, the artifacts sold to Singapore Sentosa Leisure Group.

In 2010, the Office for Cultural Heritage Preservation of Jambi conducted the first underwater archaeological survey at Belitung Shipwreck site in order to find out the conditions of the site after the salvaging operation. The result shows that the site is extremely ravaged,

1 he term salvage is associated to random removal of ship parts or cargo for their reuse or sale; excavation is the term used for scientiic methodology in the removal of heritage objects

THE BELITUNG

Shipwreck Site After

Commercial Salvage In 1998

(34)

with unidentified ceramic fragments spread out in a radius of ± 20 square meters (m²). It seems clear that the ceramic fragments have been removed by the company then thrown back into the sea because considered non-commercial. Meanwhile, the structure of the actual shipwreck was not found. It was only a big hole with 6 m wide and 15 m long, which seems to be where the ship may have settled. The remnants are now just a few small wood fragments and a sizable chunk of wood, this maybe the mast-step. The Belitung Shipwreck is recognized worldwide as an extremely valuable find in Indonesian waters. Preservation efforts are needed to remind future generations that the shipwreck site very important for underwater archaeology in Indonesia. Some preservation efforts that can be done are legal protection, site rehabilitation, and establishing a maritime museum in Belitung Regency. The last of which efforts have initiated two years ago with the aim to preserve artifacts from Belitung shipwreck site and other underwater sites in Bangka Belitung Province.

Keywords: Belitung, Tang cargo, Shipwreck site, Preservation

INTRODUCTION

T

he Fantastic selling price of the cargo of De Geldermalsen

salvaged by Michael Hatcher in Riau water has stimulated businessmen in Indonesia who want to try their luck to get treasure. It encouraged the government to form a National Committee, One of its responsibilities is to manage licenses, salvage, and exploitation. One of the salvaged shipwrecks is Belitung Wreck or popularaly known as the Tang Cargo.

The company which salvaged it was

PT. Sulung Segara Jaya and Seabed Exploration, a German company. The company carried out excavation work at the site in September and October 1998, and continued in April 1999 (Flecker 2001 : 335). The process of salvage was done without involving Archaeologist or Indonesian researcher.

(35)

of wooden dowels or iron fastening. The keel is 15.3 m long, a keelson, stringers, ceiling planks, and thwart beams still in place. The majority of the surviving cargo consisted of ceramics from the Changsha kilns2

of China. Primarily bowls and ewers, but also a smattering of figurines and jarlets. Other significant finds from the wreck include white-ware from from the famous Ding Kilns, and Yue wares3

from Zhejiang Province, several rare pieces of high-fired blue and white, lead ballasts, some pieces of resin which would come from Sumatra, pillow-shaped silver ingots, and a number of gold vessels (Flecker 2001 : 336-345).

How is the Belitung Wreck now? only fragments of tile remain and useless cuts of wood on the site. They are scattered about the seabed in 17 m depth to the west of Belitung Island. The identified cuts of wood

2 Changsha kilns located in Hunan Province where the ceramics produced

3 a porcelain that the ancient Chinese likened to snow because of its delicacy

are not known from which part of the wreck, if at all, the may have originated. Potentially, a propped-up wood chunk is the mast-step. A long sand pit indicates the site of the shipwreck where it was found by the salvagers. What should be done with the ruins? This shipwreck is the only known ship from the 9th century Anno

Domini (AD) that has been found. It needs preserving.

BELITUNG WRECK NOW

(36)

The result of the survey done in November 2010 shows that the salvaging of the Belitung Wreck left broken jar and bowl ceramics. The scattered fragments of jars and bowls are in about 20 m2 surrounding

the wreck site. It seems that the fragments were lifted then thrown away again into the sea because of their broken conditon.

(37)

Meanwhile, the ship itself can not be found again. There are only some small wood chunks left. The sinking of the ship in the seabed left a trace in the form of 6 m wide and 15 m long hole with orientation South West – North East. In the hole, there are many small fragments of tile and a part of the ship which is identified as the mast-step (Manurung 2010 : 8).

(38)

Figure 4. The wood predicted as the mast-step (Agus Sudaryadi/Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jambi)

Figure 3. A small wood fragment

(39)

PRESERVATION EFFORTS

The condition of Belitung Wreck is unknown so far after salvaging in 1998. We have no data about its. As a consequence, there have not been any preservation steps taken. There are many factors that cause this, some of which are unavailable human resources and the preservation of underwater sites has never been done before in Indonesia. Due to that case, in my opinion, the preservation that can be done is legal protection, it becomes the collection of maritime museum and a site rehabilitation is needed.

a) Legal Protection

UCH protection in Indonesia is very neglected compared with land cultural heritage. The salvaging of De Geldermalsen (The Nanking Cargo) incident in Riau Archipelago waters by Michael Hatcher in 1985-1986 has stirred up government and society (Utomo 2008 : 20-21). The auction 140,000 tiles and 225 bars of gold was held by Christie’s in Amsterdam totaled US$ 18 million. The Government reacted by implementing Presidential Decree No. 43 of 1989 on the National

Committee for Salving and Exploiting Valuable Objects Retrieved from Shipwreck (henceforth refered to as the National Committee). The National Committee’s duty is to manage the licensing of survey, salvage, and exploition4. The laws which protected

Indonesian culture heritage at that time was Monumenten Ordonnantie

(Netherland Law) No. 19 of 1931 (Staatblad 1931 No. 238) then changed into Monumenten Ordonnantie No. 21 of 1934 (Staatblad 1934 No. 515).

From the salvaging of

Geldermalsen’s cargo, Indonesia got nothing either financially either non financially. The result of the auction was not done clearly, meanwhile the process of lifting, packing, conservation, and auction did not get involve Indonesian archaeologist at all. Thus, there was no data, documentation nor improvement of underwater archaeologist’ knowledge in Indonesia. One of the more horrendous consequences of the event is that an Indonesian archaeologist

(40)

is considered dead, his body thus far not found, who was active in the investigation of locating the

Geldermalsen. He was an alumni of an underwater archaeologist training course held inThailand in 1985 and 1986 (SEAMEO Project of Archaeology and Fine Arts). That incident left deep pain for Indonesian archaeologists and a gap in the knowledge on Indonesian UCH.

To replace the old ineffective law in the 1992 Law No. 5 was issued concerning culture heritage objects. The weakness of Indonesian law has been exploited by the looter dan the salvaging of UCH. The cargo which is known as Belitung Wreck has been desalinated, conserved, and researched in New Zealand. The cargo taken out of the country against the rule. The auction conducted by Christie’s with a total earnings of US$ 32 million. The agreement that obliged the salvagers to share half the value was broken with only US$ 2.5 million (Sofian 2010: 21; http://idlethink.wordpress.com)).

In 1999 salvaging by Michael Hatcher occurred again to a shipwreck in Gaspar straits which is known as Teksing Cargo. The major findings were blue and white ceramics about

18th – 19th century AD produced in

Dehua Kiln in Fujian Province. Not only ceramics, from the cargo found cannon, objects of brass and copper, watches, china ink container, folding knife, and incense burner (Widiati 2007 : 35). They were shipped to Australia in 43 containers. All the cargo of the ship was sold by Nagel auction in Stuttgart, Germany in November 2000. It sold 350,000 ceramics at a total 7,2 million deutsch marks (DM). The Indonesian government got only 2 million deutsch marks (DM) and only 1,000 ceramics (Wahjudin 2003: 17).

(41)

Law protection toward UCH in Indonesia has changed by the issue of LawNo. 11/ 2010 on Culture Heritage. This new law is more firm in managing the discovery of culture heritage in the water and the repurcussions for bringing it abroad. Their are heavy punishments for those who broke the law. The explanation about that is as follow:

Discovery

Government is obliged to bring about discovering of objects, building, structure and location predicted as Culture Heritage.

The discovery of culture heritage or predicted as culture heritage can be done individually by excavating, diving, and/or lifting in the land and/ or in the water.

The discovery as meant in Verse (1) and (2) can only be done through research with caring about belonging right and location authority.

Everyone is prohibited to carry out discovery of culture heritage or predicted as culture heritage by excavating, diving, and/or lifting in the land and/or in the water as meant in Verse (2), except with license from

government or local government with its authority. (Article 26, Versus 1-4)

Carrying

Foreigners and/or law institution can not possess and/or dominate culture heritage, except foreigners and/ or foreign law institution that live and inhibit in Indonesia territorial;

Foreigners and/or foreign law institution as meant in Verse (1) is prohibited to carry Culture Heritage, either all or a part of it, out of Indonesia territory. (Article 14, Verse 1 and 2)

Culture Heritage, either all or a part of it, can only be brought out of Indonesia territory for the sake of research, cultural promotion, and/or exhibition;

Everyone is forbidden to bring Culture Heritage as meant in Verse (1), except by Minister Permission . (Article 68, Verse 1 and 2)

Punishment

Everybody without governmental license or local

(42)

longest is 10 (ten) years and/or fined at least Rp. 150,000,000,- (one hundred and fifty million rupiahs) and the most is Rp. 1,000,000,000 (one billion rupiahs). (Article 103)

Everybody without ministry licence, bring Cultural Heritage out of Indonesia territory as meant in article 68 Verse (2) is punished by sending to jail at least 6 (six) months and the longest is 10 (ten) years and/or fined at least Rp. 200,000,000,- (two hundred million rupiahs) and the most is Rp. 1,500,000,000,- (one billion and five hundred million rupiahs). (Article 109).

How is the law protection of underwater culture heritage in Indonesia? still a lot of shipwreck site is not determined yet. Whereas, in Law No. 5/1992 about Culture Heritage Objects Verse 11 states, “Government determines the finding of Culture Heritage Objects or objects predicted as Culture Heritage Objects as meant in Article 10 Verse 1 about the site with its border”. Government Regulation No. 10 of 1993 about the implementation of Law No. 5/1992 about Culture Heritage Objects Article 24 Verse (1) states, “in conserving Culture Heritage Objects Government decides the site”.

Meanwhile Law No. 11/2010 has changed the determining of Culture Heritage becomes national and local government’s responsibility. According to verse (1):

Regent and mayor issue the determining of Culture Heritage status 30 (thirty) days the longest after the recommendation is accepted by experts team which states the object, building. structures, location and/or geographic space unit which is registered as Culture Heritage.

Regency and municipality government convey the result of determining to Provincial Government and continued to the central government. (Article 35)

Government and local government can bring about the ranking of Culture Heritage based on the importance to be national ranking, province ranking, and regency/municipality ranking based on recommendation from Culture Heritage Expert Team.(Article 41)

(43)

of determining the location of the underwater site was lack of survey, so there was no underwater site data available that could aide in its identification.

Legal protection of the Belitung wreck and other underwater sites would need to be followed by marking the protect sites, both on land and at sea. The sign is installed on land are information board. The board provide information about the history of the particular wreck and layout of the site, but will also carry a strong conservation message, stressing the legal protection, and the responsibilities of divers when visiting them. The board installed adjacent to the slipway at a harbor from which divers access to a shipwreck. While at sea, the location of shipwreck with an installed bouy. The buoy is moored with rope/chain which is bound around the cement block in the seabed. On the cement block, there is a bronze plaque of the writing relating its lawful determination.

b) Maritime Museum

Since two years ago the Indonesian government prepared to build a maritime museum in Belitung Island. At that time, there

were 8 hectares of land available for development. The choosing of Belitung Island as the location of maritime museum is quite appropriate due to the amount of shipwrecks around the seawater territory of Bangka and Belitung Island. Noted since 1950-1878 43 ships sank in the Gaspar straits and surroundings, including Gaspar Island, Karang Coope, Karang Beldeveree, Karang Arang Marai (Pramono 2005: 85, Tangkilisan 2009 : 10). Wreck site found by Arqueonautas from 2007-2010 include 27 sites located at a depth of 6 m to 53 m. Condition of the sites has been largely heavily disturbed and looted. Seven sites are European shipwreck from the 19th century

AD. Two of them are believed to be the location of Alceste5 and Forbes6

(Mirabal 2008 : 28; Mirabal 2011: 30) Indonesia has 275 museum with only two categorized as maritime museums. They are the Museum Bahari in Jakarta and Museum Bahari in Ende, Flores. However, the museums do not have underwater heritage collections.

5 he English ship was on voyage to China with a famous ambassador on board. he ship was wrecked on this reef which now bears its name, Alceste Clif (Tony Wells 1995 : 94) 6 Forbes is a English country trading ship

(44)

Museum Bahari in Jakarta is Culture Preserve building inherited from the Dutch government. The building was used by Dutch government officials as storehouse to keep, choose, and pack Indonesian commodities. Museum Bahari of Jakarta was officially opened on 7th July 1977. The collection

exhibited in the museum consist of various kinds of classic Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) boats, Indonesian traditional boat, and models of modern boat. It also includes the equipment of sailing such as navigation tools, anchors, lighthouse models, and many kinds of cannon. It displays sea biota collection (fish in Indonesia’s seawater), technology of traditional boat building, and folklore of Indonesian fishermen customs. The museum exhibits Indonesian Navy dimension, cartography, maritime kingdom heroes and figures, and photos of the voyage of Koninkelijitke Paketvaart Mattscappi KPM) ship. Museum Bahari in Ende collects sea biota in Nusa Tenggara area. The total collection amounts to 22,000 kinds.

The Maritime Museum in Belitung must build a new building. Ideally, the architecture of the building reflects Indonesian culture, like

the shape of the ship, Indonesian traditional building, history of Indonesian maritime, or Indonesia’s sea potential. However, based on the comparison of maritime museums in Osaka Maritime Museum, Japan, Western Australian Maritime Museum, Fremantle, Australia and Maritime Museum of Chicago, USA, the maritime building in Indonesia needs to consider the concept of developing modern architecture. For the collection, museum needs to add the collection of (1) Indonesian Maritime History, (2) Indonesian Maritime Culture, (3) Sailing technology and safety, (4) Variation of water transportation, (5) Port and shipping (6) Various kinds of weaponry, tools and social material cultures related to territorial defense and security. (Supardi 2009: 8-13)

(45)

collection the Museum Timah in Belitung but most of the ceramics is broken. Other ceramics are in private collections and their number is unknown.

c) Site Rehabilitation

As illustrated above the rest of the site is only the scattered fragments of ceramic jars and some unprovienienced wood. I think that site should be preserved in a way rehabilitated. According to Indonesia Big Dictionary, rehabilitation is the recovery to previous condition (Kamus Besar Bahasa Indonesia 1990: 737). So in this paper, rehabilitation means the recovery to condition before the salvaging.

The consideration factors to do the rehabilitation of Belitung Wreck are:

1. Important underwater site as the proof of sailing in 9th century AD

2. The location is near Belitung island

3. It is located about 17 meters deep

4. It can be developed for under water tourism resorts and complete the maritime museum

Site rehabilitation activity is the reordering of scattered objects on the seabed and the returning the land

objects to the sea. The land objects are the fragments of ceramics in a villa which used to be a basecamp when the salvaging took place and the seizure of court given to the Museum Timah in Belitung. In addition, it is needed to make the imitation from the pieces of the ship and other objects. Belitung Wreck Site Rehabilitation is expected to support society’s curiosity after visiting the maritime museum. They conduct diving tourism to know the situation under the sea. There are two spots that can be diving tourism destination which are the location of sunken ship and the reef that cause the sunken ship.

CONCLUSION

(46)

Belitung Wreck site can be an example of how salvaging is a loss of objects to National governments. More importantly the information of the site was lost due to there being no report submitted to the Indonesia government on the salvage operations or any of the conservation or auction follow-ups. There were only pieces of ceramics and planks of wood left on the seabed. It

would have been best if the shipwreck site had been approached as a research and preservation activity; with the inclusion of scientific considerations and the preservation/monitoring of in situ objects not excavated. In my opinion it is much better to excavate only some objects designated to be exhibited in museums while leaving the rest in situ.

Departemen Kebudayaan dan Pariwisata 1990, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Cetakan Ketiga, Balai Pustaka.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan 1997, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia tentang Benda Cagar Budaya.

Flecker, M. 2001, ”A Ninth-century AD Arab or Indian Shipwreck in Indonesia: first evidence for direct trade with China”, World Archaeology, Vol. 32, February.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2012, Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2011 tentang Cagar Budaya.

Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 34 Tahun 1989 tentang Panitia Pengangkatan dan

Pemanfaatan Benda Berharga Asal Muatan Kapal Tenggelam.

Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 107 Tahun 2000 tentang Panitia Pengangkatan dan Pemanfaatan Benda Berharga Asal Muatan Kapal Tenggelam.

Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 19 Tahun 2007 tentang Panitia Pengangkatan dan Pemanfaatan Benda Berharga Asal Muatan Kapal Tenggelam.

Manurung, Y. H.M. 2010, Laporan Survei Peninggalan Bawah Air di Perairan Belitung, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jambi, 2010.

Mirabal, A. 2008, Archaeological Survey Report of Wreck Sites Located in The Areas of Baginda and Belvedere Reefs and Bangka and Belitung Island During

(47)

Tangkilisan, Y. B. 2009, ”Belitung Dalam Lintasan Sejarah Maritim Indonesia”, Seminar Persiapan Pendirian Museum Maritim di Belitung, 23 Juli 2009.

Utomo, B. B. 2008, Kapal Karam Abad Ke-10 Di Laut Jawa Utara Cirebon, PANNAS BMKT, Cetakan Pertama, Jakarta.

Wahjudin, J. 2003, Lelang Keramik di Stuttgart, Jerman, Buletin Cagar Budaya, No. 3, Januari 2003, Jakarta.

Wells, T. 1995, Shipwrecks &Treasure in Southeast Asia with over 450 wrecks including the Flor Do Mar, Times Edition, Singapore.

Widiati, R. 2007, Katalog Peninggalan Bawah Air di Indonesia,

Direktorat Peninggalan Bawah Air, Jakarta.

http://idlethink. wordpress.com,

Curating The Oceans: The Future of Singapore’s Past.

2007 Season, Arqueonautas Worldwide, Jakarta.

____________ 2011, Expedition report of the ”BUDPAR-Arqueonautas” Project in the Area of Babel During 2009-2010 Seasons (From 13/11/09 to 30/11/09 and 23/05/10 to 22/10/10), Arqueonautas Worldwide, Jakarta.

Pramono, D. 2005, Budaya Bahari, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Sofian, H. O. 2010, ”Keadaaan Terkini Situs Arkeologi Bawah Air Belitung Wreck, Perairan Batu Hitam, Kabupaten Belitung”, Jurnal Arkeologi Siddhayatra, Volume 15 Nomor 1 November 2010, Balai Arkeologi Palembang, halaman 20-23. Supardi, N. 2009, ”Konsep Pendirian

(48)

P

elestarian Cagar Budaya di Indonesia telah berlangsung sejak lama. Pelestarian Cagar Budaya Bawah Air sendiri sudah mulai dilakukan sejak tahun 1980an. Perairan Indonesia banyak menyimpan kekayaan berupa tinggalan bawah air yang memiliki peran penting dalam pembentukan kebudayaan Bangsa Indonesia. Tinggalan ini belum banyak terungkap dan masih mengandung banyak informasi terkait dengan sejarah dan kebudayaan Bangsa Indonesia.

Arkeologi bawah air merupakan salah satu kajian dalam ilmu arkeologi yang memfokuskan pada tinggalan

Museum Bawah Air:

Sebuah Alternatif

Pelestarian Cagar

Budaya

St. Prabawa Dwi Putranto

budaya material yang terdapat di bawah air. The UNESCO Convention On the Protection of The Underwater Cultural Heritage Pasal 1 menjelaskan arti tinggalan bawah air sebagai berikut:

“Underwater cultural heritage” means all traces of human existence having a cultural, historical or archaeological character which have been partially or totally under water, periodically or continuously.

(49)

dengan cara survei dan eksplorasi. Setelah itu, dilakukan pengangkatan terhadap muatan kapal tenggelam. Pencarian dan pengangkatan terhadap tinggalan bawah air ini dikelola oleh Panitia Nasional Benda Berharga Asal Muatan Kapal Yang Tenggelam (PANNAS BMKT). Pencarian dan pengangkatan dilakukan oleh perusahaan swasta dengan ijin PANNAS BMKT. Akan tetapi, masih terdapat usaha pencarian dan pengangkatan yang dilakukan secara ilegal.

Pengangkatan yang telah dilakukan selama ini lebih

memfokuskan pada muatan kapal tenggelam, sedangkan kapalnya dikesampingkan. Informasi mengenai kapal hanya menjadi pelengkap dalam penjelasan muatan kapal tersebut. Tidak jarang, dalam usaha untuk mendapatkan muatannya, badan kapal harus dibongkar dan mengakibatkan kerusakan. Sementara itu di sisi lain reutuhan kapal dan muatannya merupakan suatu hal yang penting dalam usaha pelestarian tinggalan bawah air.

Dalam The UNESCO Convention On the Protection of The Underwater Cultural Heritage preservasi in-situ sangat penting

dan menjadi pilihan pertama dalam menangani tinggalan bawah air. Pengambilan artefak dapat dilakukan hanya untuk tujuan memberikan kontribusi terhadap pelindungan atau pengetahuan mengenai tinggalan bawah air. Dalam kasus tertentu, apabila suatu kapal tenggelam atau situs bawah air dalam keadaan bahaya, maka proses pemindahan atau pengangkatan dapat dilakukan dengan prosedur pendokumentasian yang sesuai dengan kaidah arkeologi.

Dengan banyaknya tinggalan bawah air di Indonesia, perlu dirumuskan bentuk-bentuk pelestarian yang tepat sesuai dengan keadaan situs dan lingkungannya. Untuk meningkatkan kesadaran dari masyarakat tentang pentingnya pelestarian tinggalan bawah air, maka paling utama adalah memberikan informasi mengenai tinggalan bawah air dan upaya-upaya untuk melestarikannya. Dalam artikel ini akan dibahas salah satu alternatif pelestarian cagar budaya bawah air melalui museum bawah air.

MUSEUM BAWAH AIR

(50)

kepada masyarakat sebagai sumber ilmu pengetahuan. Museum pada umumnya merupakan bangunan di darat yang di dalamnya menyajikan koleksi dan informasi yang terkait dengan tema tertentu dan mengandung pesan tertentu. Di Indonesia belum lazim sebuah museum berada di bawah air, padahal cagar budaya bawah air yang terdapat di perairan Indonesia sangatlah banyak.

Secara umum museum bawah air dapat diartikan sebagai museum yang menampilkan koleksi dan informasi mengenai tinggalan bawah air yang dapat berupa kapal tenggelam, pesawat, maupun bangunan yang tenggelam di bawah air. Tinggalan bawah air tersebut banyak yang masih terletak di situs aslinya (in-situ) maupun sudah diangkat dari situsnya (ex-situ).

Berdasarkan keletakan koleksi yang akan ditampilkan, museum bawah air dapat dibedakan menjadi dua:

1. Museum bawah air in-situ

Museum ini merupakan bentuk museum yang menyajikan tinggalan bawah air di dalam konteks aslinya. Tinggalan yang

ditampilkan tetap berada di situs asalnya, sehingga upaya perawatan terhadap tinggalan tersebut tetap dilakukan secara in-situ. Alasan yang merupakan prinsip sehingga penyajian tinggalan bawah air dilakukan secara in-situ antara lain:

Menekankan pentingnya dan penghargaan terhadap konteks lokasi dan sejarah dari tinggalan bawah air dan signifikansi ilmu pengetahuan;

Menyadari, bahwa dalam keadaan normal, tinggalan tersebut lebih terawat di bawah air karena rendahnya tingkat kerapuhan dan rendahnya oksigen.

Museum bawah air in-situ

jika dilihat penyajiannya dapat dibagi menjadi dua, yaitu museum dengan penyelaman dan tanpa penyelaman.

1). Museum bawah air dengan

penyelaman maksudnya adalah museum mengharuskan

(51)

informasi bagi pengunjung (penyelam) untuk melihat koleksi yang biasanya terdapat di beberapa lokasi. Papan penunjuk jalan dipasang untuk menuntun penyelam melihat koleksi.

Museum bentuk ini sangat mendukung pelestarian, akan tetapi pengunjungnya terbatas akan pengunjung dengan kemampuan menyelam. Dengan demikian usaha untuk memasyarakatkan tinggalan bawah air menjadi terbatas.

PELABUHAN KUNO CAESAREA

Pelabuhan yang besar dibuat oleh Raja Herod untuk menghormati kaisar Romawi Augustus, merupakan pelabuhan terbesar di Kekaisaran Romawi pada tahun 10 SM. Terletak di laut Mediterania, pesisir pantai Israel.

Museum ini merupakan museum bawah air yang diresmikan pada tahun 2006. Selain tinggalan pelabuhan kuno, pengunjung juga dapat melihat kapal karam Romawi, sisa mercu suar, pemecah ombak masa lalu,

(52)

vulkanik, kapur, dan pasir yang kemudian mengeras di dalam air. Saat mengunjungi museum ini, penyelam diberikan peta anti air yang sangat detail yang menggambarkan 36 situs bawah air. Terdapat empat jalur yang dapat dilalui pengunjung. Salah satu jalur tersebut dapat dilalui dengan hanya menggunakan snorkel.

THE FLORIDA KEYS NATIONAL MARINE SANCTUARY

(53)

sejarah, peta situs, dan informasi mengeni kehidupan flora fauna bawah air di daerah tersebut. Kondisi kapal karam bervariasi dari penyelaman dangkal hingga kedalaman lebih dari 30 meter. Sembilan kapal karam yang terdapat di Florida Keys ini adalah The Adelaide Baker, The Amesbury, The Benwood, The City of Washington, Duane, The Eagle, The North America, The San Pedro, dan The Thunderbolt.

2) Museum bawah air tanpa penyelaman adalah museum bawah air yang dapat dikunjungi tanpa pengunjungnya harus melakukan penyelaman. Museum ini dapat didesain sedemikian rupa sehingga pengunjung dapat melihat tinggalan bawah air tanpa harus menyelam. Cara ini lebih mempermudah masyarakat umum dapat mengunjungi museum karena pengunjung tidak harus memiliki kemampuan menyelam. Dengan kedalaman tertentu dapat dibuat lorong di bawah air ataupun lantai di atas permukaan air jika lokasi situs

tidak terlalu dalam. Museum bentuk ini sangat baik karena terbuka untuk segala kalangan.

MUSEUM BAIHELIANG, CINA

Baiheliang adalah situs arkeologi di Fuling, Cina. Saat ini situs berada di bawah air dari waduk Three Gorges. Situs ini menampilkan salah satu inskripsi hidrologi tertua, merekam selama 1200 tahun perubahan ketinggian air dari Suangai Yangtza di bagian utara Distrik Fuling, Kota Chongqing. Situs ini berada di kedalaman 43 meter di bawah air. Di museum ini pengunjung dapat melihat

(54)

situs tanpa harus menyelam. Pengunjung dapat melihat situs dengan cara masuk terowongan ke bawah tanah dan melihat melalui jendela kaca.

Museum ini direncanakan sejak tahun 1994, namun baru mulai dilaksanakan tahun 2002. Pembangunan museum ini memakan biaya 28 juta US dollar. Arsiteknya adalah Ge Xiurun dari Institut Teknik Batu dan Tanah, Akademi Ilmu Pengetahuan Cina. Konstruksi museum ini menjadi contoh pertama dari penyajian tinggalan bawah air secara in-situ untuk pengunjung tanpa harus menyelam.

RENCANA PROYEK MUSEUM BAWAH AIR ALEXANDRIA, MESIR

Banyaknya temuan patung dan artefak berharga di teluk selatan pelabuhan Alexandria memunculkan rencana untuk membuat museum

bawah air di Teluk Alexandria. Museum ini akan menampilkan artefak dari Istana Ptolemaic

Cleopatra, kota Canopus dan

Herakleion yang tenggelam, dan Mercusuar Pharos. Museum ini akan terdiri dari ruang eksebisi di atas permukaan laut dan ruang bawah air untuk menampilkan situs. Museum ini akan didesain berbentuk aquarium dengan lorong-lorong

2. Museum bawah air ex-situ

Museum ini merupakan museum yang menyajikan tinggalan bawah air akan tetapi tidak berada dalam konteks aslinya. Tinggalan bawah air tersebut telah melalui proses pengangkatan dari bawah air. Penyajian dan perawatan tinggalan bawah air tersebut dilakukan di darat.

Gambar

Gambar 1. Lokasi Titik Kapal Karam USAT Liberty (Dok. Nia Naelul Hasanah Ridwan, Juli 2013)
Gambar 2. USAT Liberty tahun 1918 dan 1941 (Sumber: US Army Signal Corps Photo SC 131484,  US National Archives)
Gambar 3. Peta Lokasi USAT Liberty Bali (Dimodifikasi oleh Loka Penelitian Sumberdaya Laut dan Pesisir)
Gambar 4.  Kondisi Gelombang Tinggi di Pantai Tulamben pada Juli 2013 (Dok. Nia Naelul Hasanah Ridwan, 2011)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Observasi yakni mengamati aktivitas guru dan aktivitas siswa selama proses pembelajaran berlangsung, sedangkan tes hasil belajar IPS dilakukan setelah proses pembelajaran

a) Melalui UKB ini Anda akan mengembangkan kemampuan memahami bagaimana proses terbentuknya alam semesta, bumi termasuk kepulauan Indonesia. Terbentuknya kepulauan

bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 45 ayat (6) Peraturan Universitas Islam Indonesia Nomor 2 Tahun 2017 tentang Proses Pendidikan dan Pembelajaran di Lingkungan Universitas

Hal tersebut kemudian mempengaruhi kondisi pelajar di Korea Selatan dan terhadap Program Brain Korea 21st Project tersebut. Pembaharuan pendidikan yang terus dilakukan

Maka dari itu metode Teknometrik merupakan suatu metode yang dapat digunakan oleh industri dalam menentukan standar teknologi yang dimilikinya, Maka dari itu dalam penelitian

Jika pihak Hotel Dalu Semarang masih ingin menggunakan metode perhitungan harga pokok yang telah diterapkan di Hotel Dalu Semarang maka saran dari penulis adalah biaya

a) Menetapkan profil karakteristik makroskopik dan mikroskopik dari daun segar tanaman mangga (Mangifera indica) varietas gadung yang diperoleh kebun bibit. b) Menetapkan

Media video merupakan media pembelajaran yang tidak tercantum di dalam buku siswa dan buku guru, sehingga media ini cukup menarik dan efektif jika digunakan sebagai