Course: “Sosiologi Gereja” Topic: Preliminary Discourse UKSW Fakultas Teologi 8 Mei 2017
Sosiologi, Gereja dan Sosiologi Gereja: Suatu Pengantar
Dr. Abraham Silo Wilar, M. Th., M. A.
Pengantar
Sosiologi
Secara umum Sosiologi dipahami sebagai suatu disiplin ilmu tentang masyarakat, suatu disiplin ilmu di luar ilmu alam, atau ilmu biologi, dan lainnya. Ken Plummerdi dalam bukunya “Sociology: the Basics” menyampaikan bahwa Sosiologi adalah studi tentang kehidupan sosial manusia yang di dalamnya penderitaan, sukacita, kesuraman dan keriangan menjadi bagian dari studi (Ken Plummer, 2010: 3‐5). Tidak hanya itu saja. Plummer kemudian menyampaikan juga bahwa Sosiologi adalah studi tentang segala‐hal di mana perhatian, cinta, permainan, negara, tomat, toilet dan telpon dapat menjadi fokus studi (Ken Plummer, 2010: 10‐14). Contoh, sosiologi tomat menunjukkan dua hal penting di dalam kajiannya, yaitu: sejarah tomat dan tomat dalam sistem ekonomi global (Ken Plummer, 2010:12). Demikian pula dengan toilet yang melahirkan sosiologi toilet. Dua hal menarik ada di dalamnya yaitu: kesehatan dan modernitas (Ken Plummer, 2010:12).
masing tokoh tersebut telah memperkaya Sosiologi sebagai suatu disiplin ilmu. Bila melihat ulasan Robert E. Park yang menjelaskan tentang relasi sosiologi dengan ilmu sosial, maka kita bisa melihat bahwa Park menempatkan August Comte sebagai Bapak Sosiologi yang membingkai Sosiologi dalam studi sejarah atau filsafat sejarah (Park, 1921: 44). Sehingga, dengan demikian, Sosiologi adalah suatu historical studies.
Di tempat lain, Giddens dalam bukunya “Sociology: A Brief but critical introduction” menempatkan Sosiologi sebagai Teori Kritis (1986: 156). Menempatkan Sosiologi sebagai Teori Kritis, menurut Giddens, adalah suatu usaha untuk meretas jalan baru dari Sosiologi yang selama ini Sosiologi di‐ bingkai dalam ilmu alam, dan sejarah. Cara membingkai Sosiologi di dalam ilmu alam dan sejarah telah menghasilkan Sosiologi yang menjelaskan dan penjelasan. Padahal, menurut Giddens, sejarah itu sendiri adalah konstruksi dari
pergumulan manusia dan keterlibatan manusia di dalamnya. Oleh karena itu, sebagai teori kritis, Sosiologi tidak menerima dunia sebagaimana terlihat tetapi mengajukan pertanyaan, misalnya, tipe perubahan sosial apa yang diharapkan dan layak? (Anthony Giddens, 1986: 157). Dengan demikian, sosiologi bukan hanya menjelaskan dan penjelasan apa yang terjadi tetapi aktif mencari untuk mendapatkan apa yang diharapkan dan layak itu (meta‐explanation).
seterusnya. Atau, geneologi suatu masyarakat akan memusatkan perhatian kepada kinship, dan seterusnya.
Gereja
Ketika berbicara tentang gereja, maka percakapan akan diisi oleh hal‐hal berikut: “gereja adalah kumpulan orang beriman”; gereja bukanlah gedungnya; dan seterusnya. Namun demikian, percakapan tentang gereja memiliki
problematika tersendiri. Misalnya, William Tyndale, setelah pada tahun 1522 mendapatkan kopian terjemahan PB yang dilakukan oleh Luther, memulai
sendiri penerjemahan PB ke dalam Bahasa Inggris dengan menggunakan sumber sumber Ibrani dan Yunani. Tetapi penerjemahannya direspon oleh pihak GKR dengan pembakaran dan mengutuk karyanya sebagai “terjemahan palsu”. Persoalannya terletak pada penerjemahan yang dilakukan Tyndale atas kata “church” atau “ekklesia” sebagai “congregation” yang menekankan istilah “the Invisible Church” sebagai “Gereja sejati” bukan “the Visible Church” yang
merujuk kepada GKR (Dennis M. Doyle, 2016:29).” Problematika tersebut dapat terjadi karena kondisi historis saat itu, yaitu menigkatnya ketegangan di dalam Katolisisme. Merujuk apa yang disampaikan oleh Doyle, istilah gereja (church atau ekklesia) dan artinya tidak dapat dilepaskan dari konotasi subyek yang menafsirkannya dan konteks historis saat itu. Artinya: memahami apa itu gereja tidak terlepas dari subyektivitas (baca: peran penafsir).
seperti, misiologi, historika, dan teologi sistematika –atau yang saat ini dikenal sebagai teologi konstruktif. Contoh berikut menjelaskan keterkaitan tersebut sebagai berikut: teologi tentang Inkarnasi tentang Yesus Kristus telah
melahirkan suatu pemahaman tentang misiologi inkarnasional. Dalam bingkai ini, eksistensi gereja, yang senantiasa dipahami sebagai missio dei, dilihat sebagai misi inkarnasional itu.
Contoh lain adalah gereja memahami dirinya sebagai missio dei memiliki tugas diakonia sebagai salah satu applicatio dari misi tersebut. John N. Collins di dalam bukunya “Diakonia” menunjukkan bagaimana Yesus sebagai hamba bagi semua, dan bantuan ke jemaat Yerusalem, telah menjadi teks‐teks yang
menyusun eksistensi diakonia tidak terlepaskan dari gereja. Collins
menyebutkan bagaimana Kristus sendiri menjadi “diakonos”(John N. Collins, 1990: 227). Singkatnya, gereja tidak bisa dipisahkan dari teologi dan berbagai rumpunnya.
Sosiologi Gereja: Relasi Sosiologi Agama dengan Gereja Kirchensoziologie/Sociology of Church
Bertolak dari penjelasan tentang Sosiologi dan gereja seperti yang sudah diuraikan di atas, saya saat ini akan melihat istilah sosiologi gereja di dalam dua kategori, yaitu Kirchensoziologie atau Sociology of Church, dan
Christentumforschung/Riset Kristianitas. Kedua istilah ini saya dapatkan dari manuskrip karya Karl Gabriel, Martin Laube, Thomas Großbölting, Judith Könemann, dan Astrid Reuter (2014)
Di dalam manuskrip tersebut, tulisan berjudul “Von der Kirchensoziologie zur Christentumsforschung? Vergewisserungen und Perspektiven nach
sosiologi agama dan gereja dalam rangka memberi respon terhadap pandangan Thomas Luckmann yang pernah menyampaikan kritiknya tentang
Kirchensoziologie pada tahun 1950‐an (Karl Gabriel, 2014: 6). Perkembangan terkini di Jerman ‐‐sejak Luckmann menuliskan kritiknya‐‐ telah membawa beberapa perubahan di tengah masyarakat Jerman, termasuk gereja di
dalamnya. Karl Gabriel mencatat perubahan tersebut, misalnya, gereja‐gereja berada dalam proses “Absterbens”, yaitu proses di mana gereja‐gereja kehilangan daya untuk merasa dan bertindak normal di tengah‐tengah statistik pemeluk agama Kristen yang berkisar 50 juta dari 80,7 Juta penduduk Jerman (Karl Gabriel, 2014:4); lanskap di bidang agama‐agama di Jerman mengalami
perubahan dan perubahan ini terkait dengan “Pluralismus”, keragaman agama‐ agama (Karl Gabriel, 2014:5); sekularisme dari masyarakat modern tetap berinteraksi dengan bidang agama‐agama; dan lainnya.
Perubahan‐perubahan di atas menjadi fokus kajian dari sosiologi agama khususnya “sociology of church” atau kirchensoziologie di dalam khazanah keilmuan di Jerman. Tetapi, manuskrip “von der Kirchensoziologie zur
Christentumsforschung” melihat pergeseran dari “Kirchensoziologie” ke “riset Kristianitas”; artinya, suatu penelitian mengenai Kristianitas itu sendiri.
“Sosiologi Gereja” sebagai suatu bentuk Christentumsforschung Bertolak dari pergeseran dari Sociology of Church ke
Christentumsforschung, saya menempatkan “Sosiologi Gereja” sebagai suatu wujud dari “riset Kristianitas”. Sebab, “Sosiologi Gereja” adalah bagian dari Kristianitas di samping elemen‐elemen lain yang menyusun Kristianitas dan setiap elemen tersebut telah menjadi disiplin ilmu tersendiri, misalnya, Biblika, Sistematika, Liturgika, dan Eklesiologi.
Sebagai suatu bentuk “Christentumsforschung”, “Sosiologi Gereja” adalah suatu disiplin ilmu yang menempatkan gereja sebagai “societas”/masyarakat. Sebagai suatu masyarakat, sama seperti masyarakat lainnya, ungkapan “Ubi societas ibi ius”, yang artinya “ada masyarakat, ada hukum”, gereja juga memiliki ius‐nya sendiri (hukumnya sendiri): ius ecclesia. Hukum Gereja adalah nama dari seperangkat aturan yang mengatur gereja sebagai masyarakat: ius ecclesia. Tidak hanya itu. Sebagai suatu masyarakat gereja juga memiliki aspek‐aspek yang menyusunnya, sama seperti masyarakat di luar gereja memiliki aspek‐aspek yang menyusunnya.
“Sosiologi Gereja”:
Pengantar, Aspek‐Aspek Pertimbangan, Cakupan, Definisi, Fokus Kajian dan Topik Kajian
Pengantar
Hal itu disebabkan karena bidang studi teologi dan berbagai rumpunnya memiliki pokok kajiannya masing‐masing yang khas. Namun demikian, bukan berarti bidang studi teologi dan berbagai rumpunnya tidak memiliki hubungan dengan “sosiologi gereja”.
Relasi antara “sosiologi gereja” dengan teologi dan eklesiologi adalah tanpa kedua bidang studi tersebut sosiologi gereja tidak akan pernah bisa
menjadi suatu disiplin ilmu. Artinya, sosiologi tetap bisa meneropong gereja dan peneropongan seperti itu adalah bentuk dari applicatio bidang studi sosiologi atas gereja: belum membahas Gereja sebagai masyarakat. Sehingga, walaupun ada istilah sosiologi di dalam “sosiologi gereja”, bidang sosiologi sendiri tidak akan pernah bisa membuat “sosiologi gereja” sebagai suatu disiplin ilmu. Sejajar dengan hal itu, tanpa sosiologi, teologi dan eklesiologi tidak dapat mampu
membentuk sosiologi gereja sebagai suatu disiplin ilmu. Artinya: sosiologi gereja adalah suatu perpaduan antara teologi, eklesiologi dan sosiologi dan perpaduan itu melahirkan makna tersendiri yang khas.
Meski terdapat perpaduan, perpaduan tersebut bukan suatu bentuk applicatio bidang studi Sosiologi terhadap gereja, juga bukan tentang aspek sosial dari gereja. Perpaduan ini hendak menyampaikan bahwa sosiologi gereja adalah suatu disiplin ilmu yang memusatkan perhatian kepada gereja sebagai “societas” atau masyarakat dan interkoneksitas dari aspek‐aspek yang
menyusun eksistensi gereja sebagai masyarakat. Di bawah ini saya akan
dari sosiologi dengan gereja, dan perpaduan itu menghasilkan suatu pengertian baru tentang “sosiologi‐gereja”. Bentuk kedua adalah “Sosiologi Gereja”(baca: tidak ada spasi di antara Sosiologi dengan Gereja). Format kedua akan dijelaskan lebih jauh di bagian bawah ini.
“Sosiologi gereja”
Pertimbangan Pertama: Aspek Linguistik
Secara linguistik, perpaduan tersebut dimungkinkan karena sosiologi adalah suatu kata benda, dan gereja adalah suatu kata benda. Ketika dua kata benda disandingkan maka terbentuk suatu makna baru dari penggabungan tersebut. Tidak lagi satu kata, misalnya sosiologi, yang mendominasi. Ini
merupakan suatu praktek yang lazim. Contoh, kaki adalah kata benda, dan gajah adalah kata kerja. Kata kaki merujuk kepada salah‐satu bagian tubuh dari
manusia, dan kata gajah merujuk kepada salah satu jenis binatang yang memiliki hubungan dengan binatang Mammoth yang telah lama punah. Ketika dua kata kerja disandingkan, maka kaki gajah merujuk kepada suatu penyakit yang
Pertimbangan Kedua: Aspek Literatur dan Historika
Aspek ini mencatat bahwa sejarah dan literatur pernah menjadi saksi bahwa ada istilah “societas perfecta” yang digunakan untuk menggambarkan Gereja sebagai suatu masyarakat sempurna (Peter Huizing: 1986, 23‐31). Istilah tersebut digunakan untuk merujuk kepada eksistensi GKR yang menjadi suatu entitas mandiri, memiliki sistem hukumnya sendiri, memiliki pimpinannnya sendiri, dan memiliki strukturnya sendiri; suatu entitas yang terlepas dari entitas lain seperti negara (Peter Huizing: 1986, 23).
Sejarah mencatat bahwa pemerintahan gereja atau administrasi gereja adalah suatu bentuk dari usaha gereja untuk mengorganisir dirinya berdasarkan prinsip, worldview, values, norms, dan seterusnya. Hal itu dilakukan karena gereja memahami eksistensinya berakar di dalam iman terhadap Kristus yang di dalam iman tersebut gereja berpartisipasi di dalam missio dei. Bagian dari usaha organisasi eksistensi tersebut, gereja memiliki Hukum Gereja dan Azas‐azasnya. (M. H. Bolkestein, 1956).
Pertimbangan Ketiga: Aspek Teologi Biblika dan Eklesiologi Aspek ini mencatat bahwa gereja sebagai “societas perfecta”
berhubungan erat dengan teologi biblika dan eklesiologi. Ungkapan “ut omnes unum sint” yang ada di dalam Yohanes 17:11 telah menjadi salah satu teks rujukan penting di dalam terbentuknya gereja sebagai “societas perfecta”(Peter Huizing: 1986, 31. Apa yang disampaikan oleh Yohanes 17:11 telah menjadi dasar penting bahwa sosiologi gereja sungguh‐sungguh tidak terlepas dari bidang studi teologi secara khusus rumpun studi teologi biblika. Namun
ada pretext, teks pendahulu, yang menjadi rujukan terdahulu di dalam membentuk eksistensi gereja sebagai masyarakat.
Sementara itu, rumpun studi eklesiologi juga berperan penting di dalam memberi fondasi bagi terbentuknya sosiologi gereja. Peran tersebut terletak pada pemahaman tentang gereja yang tidak hanya suatu persekutuan orang beriman (communitas fidelium) tetapi juga sebagai “potetas regimnis seu iurisdictionis”. (Eugenio Corecco: 1986, 3‐5).
Pertimbangan Keempat: Aspek Sosial dari Gereja
(baca: di dalam dan bersama dengan entitas lainnya selain gereja) Aspek ini berusaha menyampaikan bahwa gereja memiliki aspek sosial. Aspek sosial ini merujuk kepada eksistensinya di‐dalam dan bersama‐dengan‐ entitas lain selain gereja. Itu terjadi karena Gereja berbagi ruang dan waktu bersama dengan entitas lainnya. Dengan demikian, “sosiologi gereja”
memberikan perhatian terhadap sharing space and time with others tersebut. Dalam “sosiologi gereja” perhatian terhadap sharing tersebut dimasukkan di dalam aspek relasi dalam keseharian.
Relasi dalam keseharian akan membahas interaksi gereja sebagai masyarakat dengan masyarakat lain di luar gereja, dan budaya yang ada di masyarakat tersebut. Namun demikian, pembahasan tentang relasi dalam keseharian itu tidak terlepaskan dari dua aspek lainnya, yaitu: Prinsip, dan Worldview, Values dan Norms, yang menyusun eksistensi gereja sebagai masyarakat. Sehingga, dengan demikian, interaksi dengan masyarakat di luar gereja akan dilihat di dalam Prinsip dan Worldview, Values, dan Norms.
Cakupan
Merujuk kepada keempat pertimbangan di atas, “sosiologi gereja” memiliki cakupan sebagai berikut: teologi dan berbagai rumpunnya seperti historika, sistematika, liturgika, dan relasi dengan entitas lain di luar gereja. Singkatnya, cakupannya meliputi unsur‐unsur pembentuk dari sosiologi gereja, baik aspek internal ataupun aspek eksternal (baca: entitas lain di luar gereja). Aspek internal yang membentuk “sosiologi gereja” adalah Prinsip, Worldview, Values, Norms, Struktur, Model dan Relasi dalam keseharian,
sementara itu unsur eksternal yang membentuk sosiologi gereja adalah prinsip, struktur, model dan relasi dari masyarakat lain selain gereja. Interaksi di antara sesama aspek internal dan atau antara aspek internal dengan aspek eksternal adalah fokus dari sosiologi gereja.
Definisi
Dengan cakupan internal dan eksternal tersebut, sosiologi gereja dapat didefinisikan sebagai suatu bidang studi tentang gereja sebagai masyarakat di mana unsur‐unsur internal dan eksternal turut membentuk eksistensi tersebut; di mana unsur‐unsur internal, seperti Prinsip dan Struktur saling
berhubungan/memberi pengaruh, atau relasi Prinsip dan model, atau relasi Prinsip dengan relasi dengan entitas lain. Sehingga, aspek‐aspek yang menyusun gereja dan interkonektivitasnya menjadi fokus dari “Sosiologi gereja”.
Fokus Kajian & Topik Kajian
pengaruh Prinsip terhadap struktur, model dan relasi. Di samping itu, dalam rangka memahami, aktivitas mengumpulkan dan menganalisa data, baik yang berasal dari sejarah gereja, teologi biblika, teologi sistematika, historika, ataupun yang berasal entitas lain selain gereja, menjadikan studi tentang gereja sebagai masyarakat mendapatkan basis keilmiahan.
Setelah memahami fokus kajian dari sosiologi gereja, bidang studi ini menyediakan sejumlah topik kajian sebagai berikut:
1. Tentang Prinsip
1.1. Bagaimana peran pretext di dalam membentuk Prinsip? 1.2. Apa pemikiran yang dominan dari pre text yang membentuk
Prinsip?
1.3. Bagaimana peran text di dalam membentuk Prinsip? 1.4. Dari sekian banyak text, teks mana yang lebih banyak
mendominasi gereja?
1.5. Mengapa ada teks‐teks tertentu yang lebih banyak mendominasi gereja?
1.6. Apa pandangan text tentang the others?
1.7. Apakah text memberi ruang untuk praktek isolasi gereja terhadap the others?
2. Tentang Relasi Prinsip dan Struktur
2.2. Proses apa yang perlu ada di dalam aplikasi Prinsip ke dalam Struktur?
3. Tentang Worldview, Values and Norms
3.1. Mengapa Christo‐centric yang menjadi Worldview dari Gereja sebagai masyarakat?
3.2. Mengapa Pneumatology terlihat kurang dihargai di dalam beberapa gereja?
3.3. Apakah manusia yang ada di dalam gereja sudah menjadikan Christo‐centric sebagai Worldview di dalam berinteraksi dengan ekonomi global?
3.4. Bagaimana norma pengharapan akan Parousia menggerakkan Gereja sebagai masyarakat berinteraksi dengan
4. Tentang Model
4.1. Mengapa ada model hirarkis? Apa yang menjadi Prinsip dari model hirarki tersebut? Siapa saja yang cocok dengan model ini? Apakah ada penjelasan dari Prinsip yang menjelaskan kecocokan model tersebut dengan kelompok tertentu di gereja?
4.2. Mengapa ada model non hirarkis? Apakah yang teks katakan mengenai model ini?
4.3. Mengapa ada model advokatif? Apa yang menjadi prinsip dari model advokatif tersebut? Siapa saja yang cocok dengan model ini? Apakah ada penjelasan dari Prinsip yang menjelaskan kecocokan model tersebut dengan kelompok tertentu di gereja?
Penutup
Gereja sebagai Masyarakat sedang menampilkan suatu bentuk
masyarakat. Bentuk masyarakat apa yang sedang ditampilkan melalui sejumlah organisasi prinsip, worldview, norma, struktur, model, dan relasi? Inilah
pertanyaan mendasar tentang “sosiologi gereja”. Sosiologi gereja berusaha menjawab pertanyaan ini dengan pertama‐tama mencari jawabannya ke dalam “gereja itu sendiri” dan kemudian, kedua, relasi gereja dengan masyarakat lain selain gereja. Demikianlah diskursus awal ini yang kiranya dapat memberi gambaran tentang apa itu sosiologi gereja dan bagaimana kelas ini akan berproses.
Daftar Pustaka
Bolkestein, Marinus Hendrik. 1956. Azas‐azas Hukum Geredja. Jakarta: Badan Penerbit Kristen.
Centrum für Religion und Moderne. 2014. Von der Kirchensoziologie zur Christentumsforschung? Vergewisserungen un Perspectiven nach
Luckmann. Münster: Westfäliche Wilhelms‐Universität Münster. Corecco, Eugenio. 1986. “Ecclesiological Bases of the Code”, in James Provost, and Knut Walf (Editors), Canon Law – Church Reality. Edinburgh: T & T Clark LTD.
Doyle, Dennis M. 2016. What is Christianity? A Dynamic Introduction. New York: Paulist Press.
Huizing, Peter. 1986. “The Central Legal System and Autonomous Churches”, in James Provost and Knut Walf (Editors). Canon Law ‐ Church Reality. Edinburgh: T & T Clark LTD.
Park, Robert E. 1921. “Sociology and the Social Sciences”, in Robert E. Park and Ernest W. Burges (Editors). Introduction to the Science of Sociology. Chicago, Illinois: the University of Chicago Press.
Plummer, Ken. 2010. Sociology: the Basics. London & New York: Routledge.
Sosiologi Gereja 2nd Meeting
Dennis M Doyle mencatat bahwa istilah “church” yang berasal dari ecclesia telah menjadi istilah yang problematis. Doyle menjelaskan sebagai berikut:
William Tyndale, setelah pada tahun 1522 mendapatkan kopian
menekankan istilah “the Invisible Church” sebagai “Gereja sejati” bukan “the Visible Church” dengan rujukan GKR (Dennis M. Doyle, 2016:29).” Problematika tersebut dapat terjadi karena kondisi historis saat itu, yaitu menigkatnya
ketegangan di dalam Katolisisme.
Merujuk apa yang disampaikan oleh Doyle, istilah gereja (church atau ekklesia) dan artinya tidak dapat dilepaskan dari konotasi subyek yang
menafsirkannya dan konteks historis saat itu. Artinya: memahami apa itu gereja tidak terlepas dari subyektivitas.