• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaturan Perlindungan dan Pelestarian warisan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pengaturan Perlindungan dan Pelestarian warisan "

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

MATA KULIAH HUKUM LINGKUNGAN INTERNASIONAL:

PENGATURAN PERLINDUNGAN DAN PELESTARIAN LINGKUNGAN LAUT DALAM UNITED NATIONS CONVENTION ON THE LAW OF THE SEA

(UNCLOS)

Marchsya Fitri Andina (1206264190) M. Bigi (1206243910)

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA PROGRAM SARJANA REGULER

(2)

DAFTAR ISI

BAB I: PENDAHULUAN

1. Latar Belakang 3

2. Rumusan Masalah 4

BAB II: ISI

1. Sejarah UNCLOS 5

2. Prinsip Hukum Lingkungan Internasional dalam UNCLOS 8

3. Ketentuan Mengenai Perlindungan dan Pelestarian Lingkungan Laut

dalam UNCLOS 10

4. Penyelesaian Sengketa Lingkungan Laut dalam UNCLOS 20

5. Case Study 21

BAB III: PENUTUP

1. Kesimpulan 28

(3)

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Berdasarkan penelitian ilmiah sampai saat ini, Bumi merupakan satu-satunya planet yang mampu menyokong kehidupan makhluk hidup yang ada di dalamnya. Hal ini dikarenakan oleh faktor-faktor yang apabila dikombinasikan membuat kehidupan di Bumi menjadi mungkin. Beberapa dari faktor-faktor tersebut ialah letak planet bumi yang ideal di galaksi, jarak dari matahari, kemiringan yang menyebabkan adanya bermacam-macam musim, perisai stratosfer yang melindungi bumi, lapisan atmosfer dimana kita bisa bernapas, sumber air yang cukup, perubahan temperatur yang normal, sinar matahari, tenaga dan mineral, fotosintesis, siklus air, siklus karbon, tanah, beraneka flora dan fauna.1

Perubahan di muka bumi merupakan hal yang biasa. Bumi memiliki pertahanan atas perubahan yang terjadi diatasnya. Meskipun begitu, pertahanan atas perubahan ini sejatinya hanya terhadap perubahan yang natural saja—Bumi ternyata rentan atas perubahan anthropogenic atau perubahan yang disebabkan oleh ulah manusia.2

Reaksi Bumi atas perubahan yang disebabkan manusia ini semakin terasa seiring berjalannya waktu. Sebagaimana dilaporkan oleh publikasi yang diterbitkan oleh United Nations Environment Programme (UNEP), di akhir tahun 2014 terdapat sembilan isu lingkungan secara global, yang diantaranya adalah: excess nitrogen di lingkungan, munculnya penyakit-penyakit menular, pemburuan ikan dan kerang di Ekosistem Laut, perdagangan ilegal atas binatang liar, polusi udara, sampah plastik

1 Ved P. Nanda dan George (Rock) Pring, International Environmental Law and Policy for the 21st Century, 2nd Revised Edition, (Leiden: Martinus Nijhoff Publishers, 2013), hlm. 3.

(4)

di laut, dan salah satu yang paling disoroti oleh dunia, yaitu perubahan yang drastis di kutub utara.3

Dalam perkembangannya, isu-isu lingkungan dalam lingkup global telah menjadi sorotan hukum internasional. Hal ini dapat dilihat dari munculnya konferensi-konferensi yang mencoba membahas dan merumuskan aturan-aturan di tingkat internasional untuk menjadi tolak ukur maupun pedoman berperilaku bagi negara anggota untuk meregulasi maupun menangani permasalah lingkungan yang terjadi. Salah satu hasil konferensi internasional yang kemudian menjadi hard law adalah United Nations Convention on The Law of The Sea (untuk selanjutnya disebut UNCLOS).

PBB mulai memberikan perhatiannya kepada masalah lingkungan laut setelah terjadi beberapa peristiwa yang mencemari laut. Perhatian kepada lingkungan terbukti dengan diselenggarakannya konferensi di Stockholm pada 1972. Prinsip-prinsip dari Stockholm 1972 kemudian kerap diadopsi untuk konvensi-konvensi yang berkaitan dengan lingkungan, salah satunya adalah UNCLOS 1982.

2. Rumusan Masalah

1. Bagaimana sejarah disusunnya dan terbentuknya UNCLOS?

2. Bagaimana hubungan UNCLOS dengan Konferensi Stockolm dan prinsip-prinsip yang ada di dalamnya?

3. Bagaimana UNCLOS mengatur perlindungan dan pelestarian laut?

4. Bagaimana penerapan peraturan dalam UNCLOS terkait kasus MOX Plant Case?

(5)

BAB II

ISI

1. Sejarah Pembentukan UNCLOS

Hukum internasional yang mengatur mengenai pencemaran laut muncul ke permukaan lebih lambat daripada hukum internasional yang mengatur mengenai pelayaran dan kedaulatan negara di laut. Pengaturan mengenai pelayaran dan kedaulatan negara di laut merupakan isu yang nampak lebih penting pada masa lampau dibandingkan dengan pencemaran laut. Bahkan terdapat anggapan bahwa begitu luasnya lautan, sehingga dianggap laut tidak akan mungkin tecemar.4 Karya

dari Hugo Grotius yaitu ‘mare libervm’ atau bila diterjemahkan dengan bahasa Inggris menjadi ‘freedom of the sea’ merupakan tulisan pertama yang terkenal terkait dengan regulasi laut. Freedom of the sea yang dipublikasikan secara anonim pada 1609 dan menjadi suatu prinsip penting untuk dunia pelayaran internasional.5

Tulisan Hugo Grotius tersebut sebenarnya memberikan pembelaan bagi Belanda, negara asal Grotius, untuk dapat mengarungi lautan dan melakukan ekspedisi. Hal tersebut dapat dilihat dalam bukunya Mare Liberum:6 Memang pada 1602, di Eropa

dinyatakan bahwa laut terbagi menjadi dua, milik spanyol dan milik Portugal, sehingga Hugo Grotius berusaha membuat perubahan.7

“My intention is to demonstrate briefly and clearly that the Dutch—that is to say,the subjects of the United Netherlands—have the right to sail to the East Indies,as they are now doing, and to engage in trade with the people there.”

Kemudian, negara-negara mulai memikirkan kedaulatan mereka di lautan. Negara-negara tersebut melakukan klaim terhadap laut yang berada disekitar

4 Timo Koivurova, Introduction to International Environmental Law, (New York: Routledge 2014), hlm. 151.

5 R. P. Anand, Origin and Development of the Law of the Sea, (The Hague: Nijhoff Publishers 1982), hlm. 2.

6 Hugo Grotius, Freedom of the Sea, (New York: Oxford University Press 1916), hlm. 7.

7 Stephen J. Darmody, The law of the Sea: A Delicate Balance for Environmental Lawyers,

(6)

wilayah kedaulatan mereka dengan pengukuran yang beragam. Ada yang mengukur dengan jarak meriam apabila ditembakan yang diperkenalkan oleh Cornelius van Bynkershoek.8 Kebutuhan negara-negara untuk mengeksploitasi kekayaan mereka di

laut membuat mereka menginginkan untuk menambah luas kedaulatan mereka di lautan. Mereka membuat teori-teori mengenai wilayah kedaulatan mereka di lautan, masing-masing memiliki pendapat yang berlainan.9 Maka Liga Bangsa-Bangsa

mengadakan konferensi di Hague pada 1930, tetapi tidak ada hasil dari konferensi tersebut.

Pasca Perang Dunia Ke-II, tepatnya pada 28 September 1945 presiden Harry S. Truman dari Amerika menyuarakan perluasan wilayah kedaulatannya di laut. Perluasan ini dengan dalih untuk menjaga dan mengeksploitasi sumber daya alam yang terdapat di sekitar atau dekat dengan wilayah kedaulatannya seiring dengan perkembangan teknologi yang terjadi.10 Dapat dilihat bahwa unsur kepentingan

menjadi suatu faktor untuk pembentukan regulasi-regulasi.. Sedangkan, mengenai pencemaran laut nampaknya belum menjadi suatu isu yang dipertimbangkan pada saat itu.

Bila melihat kembali ke tahun 1926, sebenarnya terdapat suatu usaha internasional terkait pencegahan pencemaran laut, lebih spesifiknya “discharges of oiI” atau kebocoran minyak, yaitu Preliminary Conference on Oil Pollution of Navigable Waters di Washington. Berdasarkan draf konferensi tersebut, dibentuklah International Convention for the Prevention of Pollution of the Sea by Oil pada 1954.Kemudian, perjanjian internasional tersebut diikuti oleh lahirnya perjanjian-perjanjian internasional lainnya yang berkaitan dengan lingkungan, seperti 1958 High Seas Fishing and Conservation Convention, 1958 Convention on the Continental Shelf, dan 1958 Convention on the High Seas.11

Pada masa 60-90’an banyak peristiwa-peristiwa kebocoran minyak di laut oleh kapal-kapal pengangkut. Hal ini menjadi alasan bagi PBB untuk memberikan

8 Timo Koivurova, Op. Cit., hlm. 138.

9Ibid., hlm. 140.

10Ibid., hlm. 234.

(7)

perhatian lebih kepada perlindungan lingkungan laut.12 Pencemaran laut menjadi isu

yang penting pada masa itu, contohnya peristiwa Torrey Canyon, sehingga diselenggarakan Stockholm Conference 1972. Konferensi ini kemudian menghasilkan Declaration of the United Nations Conference on the Human Environment.

Bila melihat deklarasi tersebut, maka dapat dilihat deklarasi tersebut hanya berupa prinsip-prinsip, tidak terdapat pengaturan yang spesifik tentang penjagaan lingkungan laut. Namun, prinsip-prinsip tersebut diadopsi untuk UNCLOS 1982.

Nama yang dikenal untuk UNCLOS 1982 adalah Arvid Prado, seorang perwakilan PBB dari Malta. Pada 1 November 1967, beliau menyuarakan urgensi untuk membentuk hukum internasional baru terkait laut yang lebih jelas. Kemudian, konferensi yang membahas UNCLOS 1982 akhirnya diselenggarakan pada 1973 di New York. Konferensi ini memakan waktu selama 9 tahun.13 9 tahun dalam koferensi

ini dilakukan di New York dan Geneva. Setelah selesai pada 1982 di Montego Bay, Jamaika, ditanda tangani pada 10 December 1982, kemudian pada 16 November 1994 UNCLOS 1982 diberlakukan.14 Kemudian negara-negara yang meratifikasi

UNCLOS 1982 terus bertambbah.15Pada Part XII dibahas mengenai Protection and

Preservation of the Marine Environment, pada bagian ini diatur jelas mengenai perlindungan dan pelestarian lingkungan laut dari pencemaran sampai dengan penegakan hukumnya.

12Ibid.

13 Alfred P. Rubin, “Monster from The Deep: Return of UNCLOS,” The National Interest, No. 37 (fall 1994), hlm. 63.

14 http://www.un.org/depts/los/convention_agreements/convention_historical_perspective.htm

15 Margaret L. Tomlinson dan Michael A. Becker, “International Law of the Sea,” The

(8)

2. Prinsip-Prinsip Hukum Lingkungan Internasional dalam UNCLOS 1982 Part XII dan kaitannya dengan Stockholm 1972.

Prinsip-prinsip hukum lingkungan internasional secara general dapat dijabarkan sebagai berikut:16

1. States have sovereignty over their natural resources and the responsibility not to cause transboundary environmental damage;

7. The principle of common but differentiated responsibility.

Prinsip-prinsip ini tentu dapat ditemukan dalam UNCLOS 1982. Sebelum diadopsi kedalam UNCLOS 1982, prinsip-prinsip ini dituangkan dalam Declaration of the United Nations Conference on the Human Environment. Deklarasi tersebut menghasilkan prinsip-prinsip yang dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni:17

1. Areas subject to protection (principle 2, 3, 4, & 5);

2. Legal duties and responsibilities of states (principle 21, 22, & 24).

Kemudian, dapat dibuktikan bahwa UNCLOS 1982 mengadopsi prinsip-prinsip general dari hukum lingkungan internasional yang tertuang dalam Stockholm 1972, seperti demikian:18

No .

Prinsip-Prinsip Hukum Lingkungan Internasional

UNCLOS 1982

1. States have sovereignty over their natural resources and the responsibility not to cause transboundary environmental damage

Article 194

Measures to prevent, reduce and control pollution of the marine environment

2. States shall take all measures necessary to ensure that activities under their jurisdiction or control are so conducted as not to cause

16 Phillipe Sands dan Jacqualine Peel, Op. Cit., hlm. 187.

17 Bahan kuliah hukum lingkungan internasional 17/2/2016

(9)

damage by pollution to other States and their environment, and that pollution arising from incidents or activities under their jurisdiction or control does not spread beyond the areas where they exercise sovereign rights in accordance with this Convention.

2. The principle of preventive action Article 194

Measures to prevent, reduce and control pollution of the marine environment

1. States shall take, individually or jointly as appropriate, all measures consistent with this 3. The principle of cooperation Terlihat dalam Section 2 tentang Global and

Regional Cooperation. 4. The principle of sustainable development Article 192

General obligation

States have the obligation to protect and preserve the marine environment.

5. The precautionary principle Terlihat dalam Section 4 tentang Monitoring and Environmental Assesment.

6. The polluter pays principle Article 235

Responsibility and Liability

(10)

and the further development of international law relating to responsibility and liability for the assessment of and compensation for damage and the settlement of related disputes, as well as, where appropriate, development of criteria and procedures for payment of hukum laut (the Law of the Sea), yang merupakan penjelmaan dari upaya untuk mewujudkan rezim hukum yang mengatur sekitar 70% dari keseluruhan luas permukaan bumi.19 Secara keseluruhan, UNCLOS 1982 ini merupakan suatu

kerangka pengaturan yang sangat komprehensif dan meliputi hampir semua kegiatan di laut, sehingga dianggap sebagai “a constitution for the oceans”.20 Oleh karena itu,

peraturannya tidak hanya terbatas mengenai Perlindungan dan Pelestarian Laut. Secara luas, UNCLOS mengatur mengenai kawasan-kawasan laut yang tunduk pada kedaulatan Negara pantai dan tunduk pada Hak berdaulat Negara pantai (sovereignty and sovereign right).

Perlindungan dan pelestarian lingkungan laut diatur dalam PART XII mengenai Perlindungan dan Pelestarian Lingkungan Laut dalam UNCLOS. Kesadaran akan perlunya pengaturan mengenai hal ini muncul karena pada faktanya wilayah samudera yang menutupi lebih dari 70% permukaan bumi, memainkan peran yang vital dalam mempertahankan keseimbangan biologis maupun ekologis.21

19 Albert W. Koers, Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut: Suatu Ringkasan, cetakan ke-2, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1994), hlm. 1.

20 Etty R. Agoes, “Penguatan Hukum Internasional Kelautan,” Makalah disampaikan pada Workshop tentang “Membangun Sinergitas Potensi Ekonomi, Lingkungan, Hukum, Budaya dan Leamanan untuk Meneguhkan Negara Maritim yang Bermartabat”, Universitas Sumatera Utara, Medan, 5-6 Maret 2015, hlm. 2.

21 Boleslaw Adam Boczek, “Global and Regional Approaches to the Protection and

(11)

Pencemaran-pencemaran di kawasan laut pun dibagi menjadi beberapa sumber yaitu pencemaran berasal dari sumber kegiatan darat22, kegiatan Laut23 Pencemaran

karena Dumping24,Kegiatan di kawasan2526 kegiatan oleh kendaraan laut27, dan

kegiatan di atas udara28.Dalam hal penegakan hukumnya pun dilakukan melalui

peraturan perundang-undangan Negara pantai sendiri untuk pencemaran yang berasal dari kegiatan darat29 kegiatan dasar laut30, kegiatan di atas udara31, kegiatan

di selat internasional32 , kawasan tertutup es33 dan penegakan hukum di Negara

pantai34, lalu penegakan hukum untuk karena kegiatan di kawasan di tentukan oleh

pada bagian Bab 11 dari unclos sendiri mengingat kawasan yang dimaksud disini bukanlah dibawah kekuasaan suatu Negara, lalu untuk penegakan hukum pada kegiatan dumping di tetapkan oleh organisasi berkompeten(IMO) juga berlaku pada penegakan hukum oleh Negara bendera35 dan penegakan hukum oleh Negara

pelabuhan36, dalam hal maksud Negara pantai, Negara pelabuhan dan Negara

bendera maksudnya disini adalah Negara pantai merupakan Negara penguasa kawasan laut baik di kawasan penuh kedaulatan maupun kawasan kedaulatan khusus, Negara pelabuhan disini dikamsudkan adalah Negara yang memiliki pelabuhan yang dimana Negara pelabuhan yang juga sekaligus menguasai pantai, dalam hal ini terminology pelabuhan disini menyisyaratkan bahwa belum tentu setiap Negara memiliki pantai sehingga Negara pelabuhan di gunkan sebagai maksud Negara pantai yang di dalam pelabuhanya terdapat kapal Negara asing yang menetap di sana.

16, Issue 1, (Case Western Reserve School of Law, 1984), hlm. 41.

22 Pasal 207 UNCLOS 1982.

23 Pasal 208 UNCLOS 1982.

24 Pasal 210 UNCLOS 1982.

25 Pasal 209 UNCLOS 1982.

26 kawasan dimaksud disini adalah kawasan yang dimiliki oleh bersama yang dimana di gunakan untuk kepentingan bersama umat manusia pada BAB 11 UNCLOS

27 Pasal 211 UNCLOS 1982.

28 Pasal 212 UNCLOS 1982.

29 Pasal 213 UNCLOS 1982.

30 Pasal 214 UNCLOS 1982.

31 Pasal 222 UNCLOS 1982.

32 Pasal 233 hanya diperuntukan oleh Negara yang memiliki selat internasional

33 Pasal 234 UNCLOS 1982.

34 Pasal 220 UNCLOS 1982.

35 Pasal 217 UNCLOS 1982.

(12)

Pada dasarnya ketentuan UNCLOS 1982 mengenai perlindungan kawasan laut dari kerusakan ini sebagai ukuran yang seharusnya menjadi standarisasi dari suatu Negara yang dimana standarisasi ini tidak berarti sebagai saranan mengurangi suatu hak dan kewajiban Negara-negara yang telah terjalin melalui perjanjian internasional sebelumnya.37

Dalam melihat ketentuan-ketentuan yang akan dijabarkan di bawah, perlu juga diperhatikan pula istilah-istilah yang ada dalam UNCLOS untuk membedakan peran Negara. Pembedaan peran ini berpengaruh kepada kewajiban dan tanggung jawab negara. Negara peserta dapat dibagi menjadi tiga, yaitu negara yang benderanya dikibarkan oleh kapal (flag state), negara pelabuhan tempat persinggahan kapal (port state), dan negara yang wilayah lautnya dilewati oleh kapal (coastal state).

Untuk menentukan kewarganegaraan dari sebuah kapal, cara yang paling mudah untuk dilakukan adalah dengan melihat bendera negara mana yang disandang oleh kapal tersebut.38 Dalam hal ini maksudnya adalah di negara mana

kapal tersebut diregistrasi, yang lazim disebut sebagai negara bendera atau flag state. Negara bendera memiliki jurisdiksi dalam penegakkan peraturan yang lebih besar dibanding dua jenis negara yang lain.

Pasal 218 UNCLOS memberikan jurisdiksi kepada negara pelabuhan atau port state dalam penegakkan hukum, yaitu negara pelabuhan berhak mengambil tindakan hukum terhadap pelanggar ketentuan konvensi internasional yang terjadi di laut internasional. Sementara itu, yang memiliki jurisdiksi paling lemah adalah negara pantai (coastal state). Sebenarnya UNCLOS masih memiliki jurisdiksi, yaitu atas laut internal, territorial, dan juga ZEE, meskipun untuk ZEE jurisdiksinya harus terlebih dahulu diatur oleh hukum nasional.39

1. Ketentuan Umum 37 Pasal 237 UNCLOS 1982.

38 Daniel Patrick O’Connel, The International Law of The Sea: Volume II, (Virginia: Oxford University Press, 1984), hlm.752.

(13)

Dalam pasal 192 mengatur tentang kewajiban bagi negara-negara peserta konvensi untuk melindungi dan memelihara lingkungan laut.40 Untuk

selanjutnya dalam pasal 193 diatur bahwa negara memiliki hak untuk menguasai dan mengelola sumber daya alam menurut kebijakan lingkungan dan sesuai dengan tugas dari masing-masing negara untuk melindungi dan memelihara lingkungan laut.41 Dalam pasal 194 kemudian diatur bahwa

negara-negara harus mengambil segala upaya yang diperlukan untuk mencegah, mengurangi, dan mengendalikan pencemaran lingkungan laut yang berasal dari berbagai sumber.42 Didalam melaksanakan upaya-upaya tersebut negara-negara

peserta berkewajiban untuk tidak memindahkan kerusakan atau bahaya-bahaya kedaerah lain atau mengubah suatu jenis pencemaran menjadi pencemaran lainnya yang mana hal ini sesuai dengan pengaturan yang ada dalam pasal 196 .43

2. Kerjasama Regional-Internasional

Untuk selanjutnya dari pasal 197 hingga 201 diatur mengenai kewajiban bagi setiap negara untuk melakukan kerjasama baik secara regional maupun internasional untuk secara bersama-sama kemudian melindungi dan melestarikan lingkungan lautnya. Mengenai bantuan-bantuan ilmiah dan bantuan teknis untuk negara-negara berkembang oleh negara-negara peserta baik secara langsung atau melalui organisasi internasional.44

3. Bantuan Teknis

Hak-hak negara berkembang untuk didahulukan dalam hal pengalokasian dana dan bantuan teknis serta pemanfaatan jasa khusus diatur dalam pasal 202-203. Serta kehendak dari konvensi UNCLOS 1982 agar negara-negara dengan metode ilmiah yang diakui agar mengawasi akibat-akibat dari pencemaran laut

40 Pasal 192 UNCLOS 1982.

41 Pasal 193 UNCLOS 1982.

42 Pasal 194 UNCLOS 1982.

43 Pasal 196 UNCLOS 1982.

44 Chairul Anwar, Horizon Baru hukum Laut Internasional Konvensi Hukum Laut 1982,

(14)

yang kemudian hasil pantauan ini kemudian dibuat dalam bentuk laporan dan kemudian laporan ini disampaikan kepada organisasi-orgaisasi internasional guna disebar luaskan kepada semua negara.45 Hal ini sebagaimana yang diatur

dalam pasal 202-206.

4. Pengaturan Internasional dan Perundang-undangan Nasional Untuk Melindungi dan Mengawasi Pencemaran Lingkungan Laut

Kewajiban untuk memformulasikan aturan-aturan Internasional dan perundang-undangan nasional untuk mengawasi pencemaran dan untuk harmonisasi kebijakan nasional, ditetapkan oleh konvensi dengan mengacu kepada berbagai jenis sumber-sumber pencemaran. Sumber-sumber pencemaran tersebut antara lain dapat berupa: pencemaran daratan, pencemaran kawasan dasar laut, pencemaran karena dumping, pencemaran dari kapal, serta pencemaran yang berasal dari atau melalui atmosfer.46

Sebagaimana hal ini yang diatur dalam pasal 207 sampai dengan pasal 212.

6. Penegakan Hukum/Pelaksanaan (Enforcement)

Setelah pada bagian sebelumnya diatur mengenai pencemaran, yang berikutnya diatur dalam PART XII UNCLOS adalah mengenai penegakan hukum/pelaksanaan. Ketentuan-ketentuan ini mengatur mengenai pelaksanaan tindakan-tindakan yang ditujukan untuk mencegah, mengurangi, atau mengendalikan pencemaran laut. Latar belakang dari dimuatnya aturan-aturan mengenai hal ini disebabkan atas kesadaran bahwa tidak adanya pelaksanaan efektif di masa lalu merupakan salah satu dari kegagalan, atau pelaksanaan fungsi yang tidak efektif, dari berbagau perjanjian mengenai perlindungan laut terhadap pencemaran.47

45Ibid, hlm 105.

46Ibid, hlm 105.

(15)

UNCLOS mengatur bahwa peraturan perundang-undangan tentang perlindungan dan pelestarian lingkungan laut yang ditetapkan oleh Negara Anggota harus diiringi dengan penegakan hukum. Terhadap pencemaran yang berasal dari sumber daratan, Negara Anggota wajiib menegakan hukum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang telah dibuatnya dibawah Pasal 207 UNCLOS dan melakukan tindakan-tindakan yang diperlukan untuk mengimplementasikan standar dan aturan internasional yang dibentuk melalui organisasi internasional yang kompeten dan konferensi internasional.48 Dengan begitu, sejatinya penegakan hukum atas pencemaran

yang berasal dari sumber daratan diserahkan kepada Negara Anggota sendiri.

Begitu pula penegakan hukum atas pencemaran yang berasal dari kegiatan-kegiatan Dasar Laut di yurisdiksi mereka serta yang berasal dari pulau-pulau buatan, instalasi-instalasi dan bangunan-bangunan di dalam yurisdiksi mereka—yang diatur oleh pasal 60 dan pasal 80 UNCLOS— Negara Anggota lah yang diharuskan untuk melakukan penegakan hukum.49

Sementara itu, mengenai penegakan hukum yang berhubungan dengan polusi dari aktivitas di kawasan dasar laut internasional, diberlakukan aturan-aturan yang diatur dalam PART XI dari UNCLOS yang mengatur tentang bagian dasar laut dari konvensi. Dalam Pasal 145 UNCLOS— sebagai bagian dari PART XI—diatur bahwa perlu dilakukan tindakan-tindakan untuk menjamin perlindungan lingkungan laut atas kerugian yang dapat timbul dari aktivitas di kawasan dasar laut internasional.50 Untuk itu,

International Seabed Authority51 bertanggungjawab untuk membuat

peraturan-peraturan yang relevan untuk menjamin perlindungan lingkungan laut atas aktivitas di kawasan dasar laut internasional.

48 Pasal 213 UNCLOS 1982.

49 Pasal 214 UNCLOS 1982.

50 Pasal 145 UNCLOS 1982.

(16)

Penegakan hukum atas aturan-aturan hukum yang berkaitan dengan pencemaran yang berasal dari dumping dilakukan oleh Negara pantai, Negara bendera dalam hal kapal yang memakai bendera Negara tersebut ataupun pesawat udara yang teregister di Negara tersebut, atau Negara manapun yang di dalam wilayahnya limbah atau jenis lainnya dimuat oleh suatu kapal.52 Bagian kedua dari Pasal 216 UNCLOS juga mengatur bahwa

Negara tidak boleh mengadakan pemeriksaaan terhadap suatu kejadian apabila sudah ada Negara lain yang mengadakan pemeriksaan dengan mengacu pada pasal ini.53

Pasal 217 sampai dengan Pasal 222 dari UNCLOS mengatur mengenai penegakan hukum oleh Negara pantai dan Negara pelabuhan. Negara pantai merupakan Negara penguasa kawasan laut baik di kawasan penuh kedaulatan maupun kawasan kedaulatan khusus, sedangkan Negara pelabuhan adalah Negara yang memiliki pelabuhan juga sekaligus menguasai pantai.

7. Pengamanan (Safeguards)

Bagian sebelumnya mengatur mengenai penegakan hukum, dan sebagai lanjutannya, bagian ini mengatur tentang langkah-langkah prosedural yang dilakukan untuk memastikan penegakan hukum. Pengamanan diatur dalam Section 7 dari BAB XII UNCLOS, yaitu dari Pasal 223 sampai dengan Pasal 233 UNCLOS. Beberapa hal yang diatur dalam Section ini diantaranya terdiri dari langkah-langkah pengamanan tertentu bagi perlindungan kapal-kapal asing.

52 Chairul Anwar, Horizon Baru hukum Laut Internasional Konvensi Hukum Laut 1982,

(Jakarta: Djambatan, 1989), hlm. 107.

(17)

Pelaksanaan wewenang untuk penegakan hukum diatur dalam Pasal 224 UNCLOS, yaitu bahwa wewenang untuk penegakan hukum terahadap kendaraan air asing (foreign vessels) menurut section ini hanya dapat dilaksanakan oleh para pejabat atau oleh kapal-kapal perang, pesawat udara militer, atau kapal laut lainnya atau pesawat udara yang diberi tanda jelas dan dapat dikenal sebagai sedang dalam dinas pemerintah serta diberi kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan itu.54 Meskipun begitu,

dalam melaksanakan wewenang untuk penegakan hukum, Negara-negara tidak boleh membahayakan keselamatan pelayaran atau menimbulkan bahaya bagi kendaraan air tersebut, atau membawanya ke pelabuhan atau tempat berlabuh yang tidak aman atau membuat lingkungan laut terpapar risiko yang tidak wajar.55

Proses penegakan hukum atas kapal air asing yang disebutkan diatas diatur dalam Pasal 226 sampai dengan Pasal 233 UNCLOS. Pasal-pasal ini mengatur mengenai proses penuntutan layaknya suatu proses pidana, kecuali dalam Pasal 229. Hal-hal yang diatur antara lain: penahanan untuk pemerluan pemeriksaan,56 larangan atas diskriminasi terhadap kapal-kapal

asing,57 penuntutan,58 denda yang dapat dikenakan terhadap pelanggaran,59

pemberitahuan kepada Negara-negara bendera tentang tindakan-tindakan penegakan hukum yang dilakukan oleh negara lain,60 dan apabila tindakan

penegakan hukum terkair dilaksanakan secara tidak sah, negara yang bersangkutan dapat dianggap bertanggung jawab.61

(18)

berlaku bagi pelanggaran-pelanggaran kapal-kapal asing di laut teritorial, kecuali dalam perkara perbuatan pencemaran yang disengaja dan gawat.63

8. Wilayah yang Ditutupi Es (Ice-Covered Areas

Negara-negara pantai berhak menetapkan dan menegakkan peraturan perundang-undangan tanpa diskriminasi untuk pencegahan, pengurangan dan pengendalian pencemaran laut yang berasal dari kendaraan air di kawasan yang tertutup es dalam batas zona ekonomi eksklusif, dimana khususnya keadaan cuacanya sangat buruk dan permukaan lautnya sepanjang tahun selalu tertutup es sehingga menghambat atau membahayakan pelayaran, dan pencemaran lingkungan lautnya akan sangat membahayakan atau tidak akan dapat dikembalikan keseimbangan ekologinya seperti semula.64

9. Tanggung Jawab dan Kewajiban Ganti Rugi (Responsibility and Liability)

Konvensi mengatur bahwa Negara bertanggungjawab atas pemenuhan kewajiban-kewajiban internasional mereka berkenaan dengan perlindungan dan pelestarian lingkungan laut.65 Selain itu, Negara harus menjamin tersedianya

upaya menurut sistim perundang-undangannya untuk diperolehnya ganti-rugi yang segera dan memadai atau bantuan lainnya berkaitan dengan kerusakan yang disebabkan pencemaran lingkungan laut oleh orang perorangan atau oleh badan hukum di bawah yurisdiksi mereka.66

10. Kekebalan (Sovereign Immunity)

Ketentuan dalam UNCLOS yang mengatur mengenai perlindungan dan pelestarian lingkungan laut tidak berlaku bagi kapal perang, kapal bantuan, kendaraan air lainnya atau pesawat udara milik atau yang sedang dioperasikan

63 Koers, op. cit., hlm. 31-32.

64 Pasal 234 UNCLOS 1982.

65 Pasal 235 section (1) UNCLOS 1982.

(19)

oleh suatu Negara serta digunakan hanya untuk keperluan pemerintah yang bukan bersifat komersial. Meskipun begitu, tiap negara harus menjamin bahwa operasi kapal-kapal tersebut sejalan dengan konvensi UNCLOS 1982.67

11. Kewajiban Negara Berdasarkan Konvensi Lain Mengenai Perlindungan dan Pelestarian Lingkungan Laut (Obligations Under Other Convention on the Protection and Preservation of the Marine Environment)

Ketentuan ini merupakan ketentuan peralihan, yang menegaskan bahwa ketentuan-ketentuan perlindungan lingkungan dalam konvensi ini tidak mengurangi kewajiban negara-negara mengenai hal yang sama, terhadap konvensi-konvensi yang sudah ada dan konvensi-konvensi yang akan datang yang berkaitan dengan kewajiban-kewajiban khusus yang diterima Negara mengenai perlindungan lingkungan.68 Kewajiban yang diterima negara

berdasarkan Konvensi-konvensi khusus mengenai perlindungan dan pelestarian lingkungan laut harus dilaksanakan dengan cara yang konsisten dengan asas-asas yang umum dan tujuan Konvensi ini.69

4. Penyelesaian Sengketa Lingkungan Laut dalam UNCLOS

Terdapat ekspektasi terhadap Negara-negara yang meratifikasi UNCLOS untuk memenuhi kewajiban hukum internasionalnya untuk melindungi lingkungan laut dan sumber daya yang terdapat di dalamnya dari pencemaran, baik yang berasal dari darat, laut, maupun udara. Mekanisme penyelesaian sengketa yang diatur dalam UNCLOS memperbolehkan negara pihak dan International Seabed Authority untuk meminta pertolongan kepada yurisdiksi teibunal maupun arbitrase UNCLOS untuk mengadili perkara yang berdasarkan pelanggaran terhadap tanggung jawab Negara terhadap lingkungan yang diatur

67 Pasal 236 UNCLOS 1982.

68 Pasal 237 section (1) UNCLOS

(20)

dalam UNCLOS.70 Dalam UNCLOS diatur mengenai penyelesain sengketa

(settlement of disputes) pada Part XV mengenai Settlement of Disputes. Part ini terdiri dari 20 ayat (279-299) yang terbagi menjadi 3 sections. Section 1 mengenai General Provisions (Pasal 279-285), Section 2 mengenai Compulsory Procedures Entailing Binding Decisions (Pasal 286-296), dan Section 3 mengenai Limitations and Exceptions to applicability of Section 2 (Pasal 297-299).71

Pengaturan mengenai penyelesaian sengketa dalam UNCLOS 1982 dapat diterapkan untuk segala hal yang mungkin menjadi sengketa dalam UNCLOS 1982, tidak menutup kemungkinan untuk permasalahan lingkungan yang diatur dalam Section XII. Dalam Part XV dimungkinkan untuk kedua pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan sengketa diantara mereka dengan damai dan dengan cara-cara yang dapat mereka pilih dengan tujuan perdamaian antara mereka.72 Ketentuan ini berlaku bila tidak ada perjanjian diantara para pihak

sebelumnya terkait penyelesaian sengketa. Dalam bagian ini juga dijelaskan mengenai kewajiban untuk bertukar pandangan diantara para pihak.Berdasarkan Pasal 284 konsiliasi mungkin dilakukan untuk para pihak.

Bila sengketa diantara para pihak tidak selesai dengan cara perdamaian, maka baru masuk kepada yang diatur dalam Section 2 yaitu Compulsory Procedures Entailing Binding Decisions (Pasal 286).73 Para pihak bersengketa

memiliki hak untuk memilih prosedur yang piahk tersebut inginkan sebagaimana diatur dalam Pasal 287. Pasal 288-289 juga masih berkaitan dengan ini yaitu jurisdiksi dan ahli. Compulsory settlement tidak hanya sekedar aplikasi dan interpretasi dari UNCLOS 1982, tetapi juga berikut ini:74

1. Provisonal Measures; 2. Prompt Release of Vessels;

3. Disputes Concerning Related Agreements.

70 Lawrence A. Kogan, “What Goes Around Comes Around: How UNCLOS Ratification Will Herald Europe’s Precautionary Principle as U.S. Law,” Santa Clara Journal of International Law, Volume 7, Issue 1, (Santa Clara University, 2009), hlm. 28.

71 UNCLOS 1982

72 Alan E. Boyle, “UNCLOS, the Marine Environment and the settlement of dispute”, hlm.

73Ibid.

(21)

Pada Section berikutnya dijelaskan mengenai pembatasan dan pengecualian dari penerapan Section 2. Yang diatur pada bagian ini adalah:

1. EEZ Disputes;

2. Maritime Boundary Disputes.

5. Case Study

Putusan dari peradilan-peradilan internasional memberikan petunjuk yang paling authoritative atas keadaan hukum internasional pada saat putusan itu dijatuhkan. Dalam ranah hukum lingkungan internasional, belum banyak yurisprudensi yang dapat menjadi petunjuk sebagaimana diuraikan diatas, tetapi keberadaan dari putusan-putusan yang ada menguatkan keberadaan tanggung jawab hukum untuk mencegah, mengurangi, dan mengontrol kerugian lingkungan melewati batas negara, untuk bekerjasama dalam mengatasi risiko lingkungan, untuk melaksanakan environment impact assessment and monitoring (analisa dan monitoring mengenai dampak lingkungan).75 Hal lain yang

perlu dicatat ialah, dari kasus-kasus yang diajukan kepada International Court of Justice (untuk selanjutnya disebut ICJ) maupun International Tribunal on the Law of the Sea (untuk selanjutnya disebut ITLOS), tidak ada Negara yang mengajukan keberatan atas tanggung jawabnya dibawah hukum internasional atas hal-hal yang telah diuraikan diatas. Hal yang biasanya menjadi pokok perkara dalam kasus yang terjadi ialah kemampuan atau ketidakmampuan Negara dalam melaksanakan atau tidak melaksanakan tindakan yang seharusnya dilakukan, atau melaksanakan analisa mengenai dampak lingkungan.76 Salah satu contoh dari kasus yang akan dibahas dalam

makalah ini adalah kasus MOX Plant Case, dimana Irlandia mengajukan gugatan atas Inggris.

5.1. MOX Plant Case

75 Patricia Birnie, Alan Boyle, dan Catherine Redgwell, International Law & The Environment, Third Edition, (New York: Oxford University Press Inc., 2009), hlm. 140.

(22)

Pusat dari pertikaian dalam kasus ini adalah mixed oxide fuel plant (untuk selanjutnya disebut MOX Plant) di Sellafield, Inggris, yang berada di pantai timur dari Laut Irlandia (Irish Sea).77 Kasus ini dianggap sebagai kasus yan kompleks

berkaitan dengan hukum internasional dan hukum Uni Eropa.78 Mixed oxide atau

MOX merupakan bahan bakar nuklir—yang diproduksi dengan memproses kembali limbah nuklir—yang dapat digunakan oleh pembangkit listrik tenaga nuklir untuk menghasilkan tenaga.79 Pembangunan dan pengoperasian dari MOX plant ini

dilakukan oleh pemerintahan Inggris. Dalam kasus ini, Irlandia berdalil bahwa pembangunan dan pengoperasian dari MOX Plant inilah yang merupakan penyebab langsung maupun tidak langsung dari limbah radioaktif yang dilepaskan ke Laut Irlandia.80 Posisi dari Laut Irlandia dapat dilihat dari gambar dibawah.

77 Angela Cassar, “Introductory Note to UNCLOS: MOX Plant Award and Order,”

International Legal Material, Vol. 42, No. 5, hlm. 1116.

78 Robin Churchill dan Joanne Scott, “The Mox Plant Litigation: The First Half Life,” The International and Comparative Law Quaretly, Vol. 53, No. 3, Cambridge University Press, hlm. 643.

79 M. Bruce Volbeda, “The MOX Plant Case: The Question of“Supplemental Jurisdiction” for International Environmental Claims Under UNCLOS,” Texas International Law Journal, Vol. 42:211, (2006), hlm. 212.

(23)

Gambar 5.1. Peta posisi MOX Plant yang dibangun Inggris.

Dapat dilihat dari gambar diatas bahwa posisi dari MOX Plant yang dibangun dan dioperasikan oleh pemerintahan Inggris—direpresentasikan dengan titik merah—terdapat di wilayah teritorial Inggris atas Laut Irlandia, dengan jarak kira-kira 112 mil dari Irlandia pada titik terdekatnya.81 Kedudukan

Laut Irlandia seperti dapat dilihat pada gambar diatas, relatif tertutup, dengan hanya dua badan air sempit yang merupakan akses Laut Irlandia ke Samudera Antartik pada perbatasan utara dan selatannya. Kondisi tertutup ini membuat

(24)

pergerakan air dari dan menuju Samudera Atlantik menjadi terbatas. Akibatya, Irlandia berdalil, pengenceran air laut menjadi tidak efektif dan menyebabkan radionuclides yang dilepaskan ke lautan bergerak ke arah barat Irlandia.

5.1.1. Gugatan Irlandia terhadap Inggris

Setelah melalui beberapa kali perbincangan dan dialog yang tidak memuaskan, Irlandia akhirnya memutuskan untuk menggugat Inggris dengan dasar Pasal 287 UNCLOS pada bulan Oktober 2001.82 Sesuai dengan Annex VII

dari UNCLOS, hearing diadakan di International Tribunal for The Law of The Sea (ITLOS).83 Pada bulan Desember 2001, ITLOS memberikan arahan bahwa

Irlandia dan Inggris “harus bekerjasama dan harus... (a) saling bertukar informasi mengenai kosekuensi-konsekuensi yang mungkin terjadi kepada Laut Irlandia akibat pendirian MOX Plant; (b) mengawasi risiko dan efek dari pengoperasian MOX plant kepada Laut Irlandia, dan (c) merancang, sebagaimana mungkin, tindakan-tindakan untuk menghindari pencemaran atas lingkungan laut yang mungkin terjadi akibat pengoperasian MOX Plant.84

Wewenang untuk memberi arahan ini dimiliki oleh ITLOS dengan mengacu pada Pasal 290 UNCLOS, yang mengatur bahwa apabila gugatan diajukan kepada court atau tribunal yang memiliki yurisdiksi untuk menyelesaikan sengketa sesuai dengan PART XV UNCLOS atau PART XI Section 5 UNCLOS, maka court atau tribunal tersebut dapat memberikan arahan, sebelum jatuhnya putusan akhir, berupa tindakan-tindakan yang dapat dilakukan untuk sementara waktu yang bertujuan untuk melindungi hak dari para pihak ataupun mencegah ancaman serius kepada lingkungan laut.85 Sayangnya, arahan-arahan ini tidak

memberi pemecahan masalah yang memuaskan, sehingga Irlandia memutuskan untuk mengajukan kasus ini ke tahap arbitrase.

82 Volbeda, op. cit., hlm. 217.

83 Pasal 287 UNCLOS mengatur bahwa Negara yang telah menandatangani, meratifikasi ataupun mengaksesi UNCLOS memiliki kebebasan untuk memilih cara penyelesaian sengketa yang berkaitan dengan interpretasi ataupun aplikasi dari ketentuandalam UNCLOS. Dalam hal ini, Irlandia memilih untuk mengajukan gugatan sesuai dengan pilihan dibawah huruf (c), yaitu “...an arbitral tribunal constituted in accordance with Annex VII.”

84 Volbeda, op. cit., hlm. 217.

(25)

Dasar hukum yang dipergunakan Irlandia untuk menggugat Inggris terdiri dari ketentuan yang ada dalam UNCLOS dan ketentuan-ketentuan non-UNCLOS.

Beberapa dari pasal UNCLOS yang dipergunakan antara lain Pasal 123, 192-194, 197, 206-207, 211-213, 217, dan 222 UNCLOS. Inggris tidak berargumentasi mengenai legitimasi dari gugatan yang berdasarkan UNCLOS untuk diperkarakan di tribunal UNCLOS, tetapi mempermasalahkan gugatan Irlandia yang tidak berdasarkan ketentuan UNCLOS di forum yang sama.86

Irlandia memasukkan lebih dari dua puluh perjanjian non-UNCLOS sebagai dasar gugatannya, yang diantaranya adalah the 1985 European Community Directive 85/337 on Environmental Impact Assessment (as amended), the 1991 UNECE (United Nations Economic Commission for Europe) Convention on Environmental Impact Assessment in a Transboundary Context, the 1987 UNEP (United Nations Environment Programme) Goals and Principles of Environmental Impact Assessment, the 1995 Global Programme of Action, dan sebagainya. Dalam menjadikan peraturan-peraturan non-UNCLOS sebagai dasar gugatan dalam tribunal UNCLOS—dalam hal ini yaitu ITLOS— Irlandia menyatakan bahwa Inggris mempunyai kewajiban untuk mematuhi kewajiban-kewajiban sebagaimana diatur perjanjian-perjanjian lain tersebut, yang dapat diaplikasikan dan dipaksakan dibawah UNCLOS.87

Dapat dilihat dari uraian diatas bahwa permasalahan dalam kasus ini adalah mengenai permasalahan yurisdiksi dan hukum yang berlaku, yang akan dibahas dengan lebih rinci pada bagian berikutnya.

5.1.2. Permasalahan Yurisdiksi dan Hukum yang Berlaku

Telah dibahas di bagian sebelumnya bahwa titik perdebatan dari kasus ini adalah mengenai yurisdiksi, dimana Irlandia dan Inggris mempunyai anggapan yang sama sekali berbeda. Irlandia berdalil bahwa Tribunal UNCLOS memiliki

86Ibid., hlm. 219.

(26)

yurisdiksi untuk mengadakan hearing atas gugatan-gugatan dibawah UNCLOS, dan setelah yurisdiksi itu dipenuhi, UNCLOS memberikan semacam yurisdiksi tambahan (supplemental jurisdiction)88 untuk mengaplikasikan

“ketentuan-ketentuan hukum internasional lain yang kompatibel dengan UNCLOS.”89 Di

sisi lain, Inggris berdalil bahwa UNCLOS secara khusus melarang penerapan dari perjanjian non-UNCLOS kecuali perjanjian terkait secara khusus mengatur mengenai ajudikasi UNCLOS.90

Dasar hukum yang menjadi perdebatan dalam hal ini adalah apa yang diatur dalam Pasal 288 UNCLOS mengenai yurisdiksi dan Pasal 293 mengenai hukum yang berlaku. Pasal 288 UNCLOS mengatur bahwa Tribunal UNCLOS memiliki yurisdiksi untuk mengadili sengketa yang muncul dibawah UNCLOS, dan khususnya kepada sengketa non-UNCLOS apabila perjanjian non-UNCLOS terkait memberikan yurisdiksi kepada UNCLOS untuk mengadakan hearing.91

Lebih jauh, Pasal 293 mengatur bahwa Tribunal UNCLOS dapat memberlakukan hukum dalam UNCLOS dan ketentuan lain dibawah hukum internasional yang kompatibel dengan UNCLOS.92

Dalam menggugat, Irlandia menggunakan Pasal 288 (1) UNCLOS untuk meng-establish yurisdiksi, dan setelah itu mencoba untuk memberlakukan hukum non-UNCLOS dibawah Pasal 293.93 Untuk membalasnya, Inggris

berdalil bahwa hanya gugatan-gugatan tertentu yang diatur dibawah Pasal 288 UNCLOS sajalah yang dapat dijadikan dasar hukum dalam Tribunal UNCLOS.94

Inggris menguatkan argumennya dengan memberikan interpretasi atas Pasal 287 (1) dan Pasal 287 (2) UNCLOS. Pasal 287 (1) UNCLOS mengatur mengenai mekanisme penyelesaian sengketa mengenai interpretasi dan penerapan dari UNCLOS. “Interpretasi dan penerapan dari UNCLOS”

88Supplemental jurisdiction yang didalilkan oleh Irlandia memiliki model yang seama dengan

statute yang berlaku di Amerika Serikat.

(27)

menyiratkan bahwa Tribunal UNCLOS hanya dapat diterapkan pada penerapan ketentuan-ketentuan UNCLOS.95 Barulah pada Pasal 287 (2) UNCLOS diatur

mengenai perluasan yurisdiksi dimana dimungkinakan bagi Tribunal UNCLOS untuk menangani kasus mengenai interpretasi dan penerapan atas ketentuan-ketentuan non-UNCLOS, dengan catatan hanya ketika para pihak setuju dan ketentuan dalam perjanjian non-UNCLOS terkait memperbolehkan hal tersebut.96

BAB III

PENUTUP

1. Kesimpulan

UNCLOS merupakan perjanjian internasional pertama yang secara

komprehensif mengatur mengenai hukum laut. Salah satu dari apa yang diatur dalam UNCLOS adalah mengenai perlindungan dan pelestarian lingkungan laut, yang

95Ibid., hlm. 227.

(28)

disadari merupakan isu yang penting. Perlu adanya peraturan skala internasional yang mengatur mengenai hal ini antara lain karena sifat dari pencemaran laut sendiri, yang lazimnya akan melewati batas negara sehingga perlu ada peraturan yang jelas mengenai siapa yang dapat dimintai pertanggungjawaban. Dengan begitu, selain memberi peraturan-peraturan mendasar mengenai batas-batas ataupun

kawasan yang ada di laut, UNCLOS juga memfasilitasi penegakan hukum apabila terjadi sengketa atau pelanggaran terhadap tanggung jawab internasional negara terkait lingkungan laut.

Daftar Pustaka

I. Buku

Anand, R.P. Origin and Development of the Law of the Sea. The Hague: Nijhoff Publishers 1982.

Anwar, Chairul. Horizon Baru hukum Laut Internasional Konvensi Hukum Laut 1982. Jakarta: Djambatan, 1989.

Birnie, Patricia, Alan Boyle, dan Catherine Redgwell. International Law & The Environment. Third Edition. New York: Oxford University Press Inc., 2009.

Grotius, Hugo. Freedom of the Sea. New York: Oxford University Press, 1916.

Koers, Albert W. Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut: Suatu Ringkasan. Cetakan ke-2. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1994.

(29)

Nanda, Ved P. dan George (Rock) Pring. International Environmental Law and Policy for the 21st Century. 2nd Revised Edition. Leiden: Martinus Nijhoff Publishers, 2013.

O’Connel, Daniel Patrick. The International Law of The Sea: Volume II, Virginia: Oxford University Press, 1984.

Sands, Phillipe dan Jacqualine Peel. Principles of International Environmental Law. Third Edition. Cambridge: Cambridge University Press, 2012.

II. Jurnal dan Artikel

United Nations Environment Programme, UNEP Year Book: Emerging Issues in Our Global Environment, (UNEP Division of Early Warning and Assessment, 2014,) hlm. 2-3.

The United Nations Law of the Sea Treaty Information Center. “The Law of The Sea Treaty (LOST) – Background.” http://www.unlawoftheseatreaty.org/. Diakses pada tanggal 20 Februari 2016 pukul 16.03.

Division for Ocean Affairs and the Law of the Sea. “The United Nations Convention on

the Law of the Sea

(A historical perspective).”

http://www.un.org/depts/los/convention_agreements/convention_historical_per

spective.htm. Diakses pada tanggal 20 Februari pukul 15.44.

Agoes, Etty R. “Penguatan Hukum Internasional Kelautan.” Makalah disampaikan pada Workshop tentang “Membangun Sinergitas Potensi Ekonomi, Lingkungan, Hukum, Budaya dan Leamanan untuk Meneguhkan Negara Maritim yang Bermartabat”, Universitas Sumatera Utara, Medan. 5-6 Maret 2015.

Boczek, Boleslaw Adam. “Global and Regional Approaches to the Protection and Preservation of the Marine Environment.” Case Western Reserve Journal of International Law. Volume 16, Issue 1. Case Western Reserve School of Law, 1984.

Boyle, Alan E. “UNCLOS, the Marine Environment and the settlement of dispute”, Journal of International Law. 2009.

Volbeda, M. Bruce. “The MOX Plant Case: The Question of “Supplemental

Jurisdiction” for International Environmental Claims Under UNCLOS.” Texas International Law Journal, Vol. 42:211. 2006.

(30)

Churchill, Robin dan Joanne Scott. “The Mox Plant Litigation: The First Half Life.” The International and Comparative Law Quaretly. Vol. 53, No. 3. Cambridge University Press.

Darmody, Stephen J. “The law of the Sea: A Delicate Balance for Environmental Lawyers, Natural Resources and Environments.” Vol. 9, No. 4.

Kogan, Lawrence A. “What Goes Around Comes Around: How UNCLOS Ratification Will Herald Europe’s Precautionary Principle as U.S. Law.” Santa Clara Journal of International Law. Volume 7, Issue 1. Santa Clara University, 2009).

Rubin, Alfred P. “Monster from The Deep: Return of UNCLOS.” The National Interest. No. 37. Fall 1994.

Thrastarson, Klemens Ólafur. “The Mox Plant Case and why it went for various International Courts.” University of Iceland, Public International Law Journal. September 2011.

Tomlinson, Margaret L. dan Michael A. Becker. “International Law of the Sea.” The International Lawyer, International Legal Developments, American Bar Association. vol. 42, No. 2.

Gambar

Gambar 5.1. Peta posisi MOX Plant yang dibangun Inggris.

Referensi

Dokumen terkait