• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Yuridis Berlakunya PP No. 11 Tahun 2010 Dan Permasalahan Yang Ditimbulkan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Yuridis Berlakunya PP No. 11 Tahun 2010 Dan Permasalahan Yang Ditimbulkan"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sejak awal kemerdekaan pemerintah telah mengambil langkah-langkah konkret untuk mengakhiri berlakunya UU produk kolonialisme, meskipun kenyataannya UU agraria nasional yang menyeluruh baru dapat diundangkan pada tahun 1960. Untuk menyusun UU Agraria yang bercorak nasional dan bulat (menyeluruh) tersebut, maka sejak awal kemerdekaan juga dibentuk komisi atau panitia yang diberi tugas menyusun dasar-dasar hukum agraria baru.

Rangkaian langkah-langkah dalam membuat peraturan perundang-undangan secara parsial dan membentuk berbagai panitia agraria, bahkan sampai mengajukan RUU- tersebut menunjukkan bahwa pada periode ini pemerintah bersungguh-sungguh untuk membuat hukum agraria yang responsif atau sesuai denggan rasa keadilan dalam masyarakat. Meskipun belum pada hukum agraria nasional yang komprehensif, tetapi dari produk- produknya yang parsial itu, dapat dilihat dengan jelas, hukum agraria pada periode ini berkarakter sangat responsif.

(2)

Dalam Pasal (6) TAP MPR RI No.IX/MPR/2001 dinyatakan bahwa arah kebijakan pembaruan agraria adalah:1

a. Melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan agraria dalam rangka sinkronisasi kebijakan antarsektor demi terwujudnya peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud Pasal 5 Ketetapan ini.

b. Melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (landreform) yang berkeadilan dengan memperhatikan kepemilikan tanah untuk rakyat, baik tanah pertanian maupun tanah perkotaan.

c. Menyelenggarakan pendataan pertanahan melalui inventarisasi dan registrasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah secara komprehensif dan sistematis dalam rangka pelaksanaan landreform.

d. Menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan sumberdaya agraria yang timbul selama ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik dimasa mendatang guna menjamin terlaksananya penegakan hukum dengan didasarkan atas prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud Pasal 5 Ketetapan ini. e. Memperkuat kelembagaan dan kewenangannya dalam rangka mengemban

pelaksanaan pembaruan agraria dan menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan sumberdaya agraria yang terjadi.

f. Mengupayakan pembiayaan dalam melaksanakan program pembaruan agraria dan penyelesaian konflik-konflik sumberdaya agraria yang terjadi.

Hal tersebut dimandatkan secara tegas dalam ketentuan Pasal 6 dan Pasal 7 TAP-MPR No.IX Tahun 2001 di mana DPR RI bersama Presiden ditugaskan untuk segera mengatur lebih lanjut pelaksanaan pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam, serta mencabut, mengubah dan/atau mengganti semua undang-undang dan peraturan pelaksanaannya yang tidak sejalan dengan Ketetapan ini, serta untuk segera melaksanakan Ketetapan tersebut dan melaporkan pelaksanaannya pada Sidang Tahunan MPR RI.

1 TAP MPR RI No.IX/MPR/2001, tentang Pembaruan dan Pengelolahan Sumber Daya

(3)

Reformasi pertanahan ini harus disesuaikan dengan Pasal 5 ayat 2 Ketetapan MPR RI No.IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria Dan Pengelolaan Sumber Daya Alam yang menyebutkan bahwa arah kebijakan dalam pengelolaan sumber daya alam adalah:2

1. Melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam dalam rangka sinkronisasi kebijakan antar sektor yang berdasarkan prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud Pasal 4 Ketetapan ini;

2. Mewujudkan optimalisasi pemanfaatan berbagai sumber daya alam melalui identifikasi dan inventarisasi kualitas dan kuantitas sumber daya alam sebagai potensi pembangunan nasional;

3. Memperluas pemberian akses informasi kepada masyarakat mengenai potensi sumber daya alam di daerahnya dan mendorong terwujudnya tanggung jawab sosial untuk menggunakan teknologi ramah lingkungan termasuk teknologi tradisional;

4. Memperhatikan sifat dan karakteristik dari berbagai jenis sumber daya alam dan melakukan upaya-upaya meningkatkan nilai tambah dari produk sumber daya alam tersebut;

5. Menyelesaikan konflik-konflik pemanfaatan sumber daya alam yang timbul selama ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik di masa mendatang guna menjamin terlaksananya penegakan hukum;

6. Mengupayakan pemulihan ekosistem yang telah rusak akibat eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan;

7. Menyusun strategi pemanfaatan sumber daya alam yang didasarkan pada optimalisasi manfaat dengan memperhatikan potensi, kontribusi, kepentingan masyarakat dankondisi daerah maupun nasional.

Dalam melaksanakan pembaharuan hukum pertanahan, hal yang sangat penting harus diperhatikan adalah bahwa pembaharuan tersebut harus didasarkan pada kesadaran bahwa hukum nasional adalah suatu sistem. Sistem adalah suatu susunan atau tatanan yang teratur, suatu keseluruhan yang terdiri dari bagian-bagian yang berkaitan satu sama lain, tersusun menurut suatu rencana atau pola, hasil dari

2 Tap MPR RI No.IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria Dan Pengelolaan Sumber

(4)

suatu pemikiran untuk mencapai suatu tujuan. Sistem ini terdiri dari sejumlah unsur atau komponen atau fungsi/variabel yang selalu pengaruh-mempengaruhi, terkait satu sama lain oleh satu atau beberapa asas dan berinteraksi.

Memori penjelasan UUPA ditegaskan bahwa perkataan dikuasai dalam pasal tersebut di atas bukanlah berarti dimiliki, akan tetapi pengertian yang memberi wewenang kepada negara sebagai organisasi kekuasaan dari bangsa Indonesia pada tingkatan tertinggi untuk memberikan pengaturan berkenaan dengan masalah pertanahan, mulai dari pengaturan mengenai hak-hak atas tanah yang dapat diberikan pada tanah, peruntukkan, penggunaan dan pemeliharaannya serta pengaturan mengenai perbuatan-perbuatan dan hubungan-hubungan hukum yang dapat dilakukan atas tanah-tanah tersebut.3

Mengingat pentingnya peran tanah tersebut, maka harus ada suatu lembaga yang memiliki otoritas seperti negara (state) untuk mengelola dan mengatur keberadaan dan peranan tanah. Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menegaskan peranan negara dalam mengelola dan mengatur tanah, bahwa kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.4

3

AP. Parlindungan,Komentar Undang-undang Pokok Agraria, (Bandung : Mandar Maju, 1998). Halamana 25

4Boedi Harsono,Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok

(5)

Hak menguasai negara tersebut, menurut Pasal 2 ayat (2) UUPA, memberikan wewenang kepada negara untuk tiga hal:5

a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;

b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;

c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

Berdasarkan hak menguasai dari negara seperti ditegaskan dalam Pasal 2 UUPA, maka menurut ketentuan dalam Pasal 4 UUPA yang selanjutnya dirinci dalam Pasal 16 ayat (1) UUPA, kepada perseorangan atau badan hukum diberikan beberapa macam hak atas tanah.

Hak-hak tersebut di atas dapat dimiliki atau dikuasai oleh warga Negara Indonesia, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum. Pada dasarnya hanya warga negara Indonesia yang dapat mempunyai hubungan yang sepenuhnya dengan bumi, air dan ruang angkasa dan setiap warga negara memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh hak atas tanah untuk mendapat manfaat dan hasilnya.

Pembagian hak-hak atas tanah menurut UUPA ke dalam Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Sewa, Hak Membuka Tanah dan Hak Memungut Hasil Hutan serta Hak-hak lainnya yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas dan hak-hak-hak-hak yang sifatnya sementara, dimaksudkan untuk memberikan hak atas tanah berdasarkan peruntukkannya dan subjek yang memohon

(6)

hak atas tanah tersebut. Seperti contoh tanah yang dikuasai negara dapat diberikan Hak Guna Usaha, apabila peruntukkan tanah tersebut oleh pemohon hak digunakan untuk pertanian, perikanan atau peternakan, dan tanah Hak Guna Bangunan dapat diberikan kepada orang atau badan hukum yang akan mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan diatas tanah yang bukan miliknya.

Lebih lanjut UUPA menegaskan bahwa penggunaan tanah harus dilakukan oleh yang berhak atas tanah selain untuk memenuhi kepentingannya sendiri juga tidak boleh merugikan kepentingan masyarakat. Oleh karena itu, bagi pihak yang telah menguasai tanah dengan sesuatu hak sesuai ketentuan UUPA atau penguasaan lainnya, harus menggunakan dan memanfaatkan tanahnya sesuai keadaan, sifat dan tujuan pemberian haknya. Dengan kata lain, para pemegang hak atas tanah maupun penguasaan tertentu tidak menelantarkan tanahnya, menjadi tanah kosong atau tidak produktif.

Dalam penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar itu, diperlukan kajian lebih lanjut mengenai langkah kordinasi penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar, terutama pada tanah HGU sekala besar. Pendayagunaan itu diarahkan pada upaya dengan pendekatan kelembagaan secara terpadu yang mendasarkan pada aspek juridis, sosiologis, maupun ekonomis.

(7)

merasa perlu menggunakan tanah tersebut atau pemegang hak belum memiliki dana yang cukup untuk melaksanakan pembangunan atau penggunaan tanah atau karena hal-hal lainnya.6

Saat ini tanah yang telah dikuasai dan/atau dimiliki baik yang sudah ada hak atas tanahnya maupun yang baru berdasar perolehan tanah di beberapa tempat masih banyak dalam keadaan terlantar, sehingga cita-cita luhur untuk meningkatkan kemakmuran rakyat tidak optimal. Oleh karena itu, perlu dilakukan penataan kembali untuk mewujudkan tanah sebagai sumber kesejahteraan rakyat, untuk mewujudkan kehidupan yang lebih berkeadilan, menjamin keberlanjutan sistem kemasyarakatan dan kebangsaan Indonesia, serta memperkuat harmoni sosial. Selain itu, optimalisasi pengusahaan, penggunaan, dan pemanfaatan semua tanah di wilayah Indonesia diperlukan untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup, mengurangi kemiskinan dan menciptakan lapangan kerja, serta untuk meningkatkan ketahanan pangan dan energi.7

Akibat belum terlaksananya pembangunan atau penggunaan tanah tersebut sesuai dengan peruntukkannya, maka tanah yang bersangkutan dapat dianggap sebagai tanah yang diterlantarkan oleh pemegang hak.8 Berdasarkan data Badan Pertanahan Nasional (BPN) sekitar 4,885 juta hektare (ha) tanah terlantar di seluruh

6

Maria S.W. Sumardjono. Kebijakan Tanah:Antara Regulasi dan Implementasi, cetakan 1, (Jakarta Kompas, 2001). Halaman 5

7Penjelasan umum PP No. 11 Tahun 2010, lembaran negara republik indonesia tahun 2010 nomor 16

8

(8)

Indonesia. Hingga saat ini 37 ribu ha di antaranya telah dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan.9

Pada prinsipnya, Hukum Agraria Indonesia tidak memperkenankan adanya tindakan penelantaran tanah oleh Pemiliknya ( Pemegang Hak ). Sebab tindakan demikian dikuatirkan akan memicu tumbuhnya efek negatif yang akan merugikan banyak pihak, antara lain seperti : Kesenjangan sosial-ekonomi, menurunnya kualitas lingkungan dan bahkan Konflik horizontal.

Guna mencegah munculnya efek negatif tersebut, maka upaya penelantaran tanah harus segera diantisipasi sedini mungkin. Untuk itulah Undang - Undang No. 5 / 1960 ( Agraria / UUPA ) mengingatkan kita semua, terutama para Pemegang hak, untuk tidak menelantarkan tanahnya secara sengaja. Keseriusan UUPA melarang adanya tindakan penelantaran tanah, nampak pada ancaman berupa sanksi yang akan diberikan, yaitu :

“Hapusnya hak atas tanah yang bersangkutan, Pemutusan hubungan hukum antara Tanah dan Pemilik, dan tanahnya akan ditegaskan sebagai Tanah Negara (Tanah yang dikuasai langsung oleh Negara ), sebagaimana dalam Pasal 27, 34 dan 40 UUPA”. Definisi mengenai Tanah Terlantar terdapat dalam Penjelasan Pasal 27 UUPA, yang menegaskan bahwa " Tanah diterlantarkan kalau dengan sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan daripada haknya ". Namun sejak pengundangan UUPA, Pasal-pasal mengenai tanah terlantar ini tidak

(9)

dengan serta merta dapat dilaksanakan, sebab juklak pasal tersebut diatas belum diterbitkan, akibatnya larangan penelantaran tanah tidak efektif, sehingga tindakan penelantaran tanah semakin meluas dan tak terkontrol.

Kondisi ini menyadarkan Pemerintah untuk segera bertindak, maka pada Tahun 1998 ( kurang lebih 30 Tahun kemudian ), Pemerintah menerbitkan juklak tata cara penyelesaian Tanah Terlantar melalui Peraturan Pemerintah ( PP ) No. 36 / 1998, akan tetapi dalam prakteknya penerapan PP ini kurang kondusif, sehingga berdasarkan tuntutan dinamika pembangunan, Pemerintah kembali meninjau dan membaharui PP No. 36 / 1998 dengan PP No. 11 / 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar.

Selanjutnya, PP No. 11 / 2010 jo Peraturan Ka.BPN No. 4/2010 pada prinsipnya mengatur tata cara mengenai penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar, melalui serangkaian tindakan seperti : Identifikasi, Penetapan dan Pendayagunaan tanah terlantar.

(10)

banyak lahan terlantar berada di Kabupaten Humbang Hasundutan yang mencapai 40.467.10

Berdasarkan data tersebut potensi penetapan tanah terlantar sangat besar sekali oleh karena itu Pemegang Hak dilarang menelantarkan tanahnya, dan jika Pemegang Hak menelantarkan tanahnya, Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria telah mengatur akibat hukumnya yaitu hapusnya hak atas tanah yang bersangkutan dan pemutusan hubungan hukum serta ditegaskan sebagai tanah yang dikuasai langsung oleh Negara. Bagi tanah yang belum ada hak atas tanahnya, tetapi ada dasar penguasaannya, penggunaan atas tanah tersebut harus dilandasi dengan sesuatu hak atas tanah sesuai Pasal 4 juncto Pasal 16 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Oleh karena itu orang atau badan hukum yang telah memperoleh dasar penguasaan atas tanah, baik dengan pengadaan tanah itu dari hak orang lain, memperoleh penunjukan dari pemegang Hak Pengelolaan, karena memperoleh izin lokasi, atau memperoleh keputusan pelepasan kawasan hutan berkewajiban memelihara tanahnya, mengusahakannya dengan baik, tidak menelantarkannya, serta mengajukan permohonan untuk mendapatkan hak atas tanah. Meskipun yang bersangkutan belum mendapat hak atas tanah, apabila menelantarkan tanahnya maka hubungan hukum yang bersangkutan dengan tanahnya akan dihapuskan dan ditegaskan sebagai tanah yang dikuasai langsung oleh Negara. berdasarkan uraian tersebut di atas, maka penelitian dalam tesis ini berjudul :

10

(11)

ANALISIS YURIDIS BERLAKUNYA PP NO.11 TAHUN 2010 DAN PERMASALAHAN YANG DITIMBULKAN

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas dapat dirumuskan pokok permasalahan penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana penertiban tanah terlantar menurut system hukum yang berlaku? 2. Bagaimana pendayagunaan tanah terlantar menurut system hukum yang

berlaku?

3. Apa saja hambatan hukum yang terjadi dalam penegakan PP No. 11 Tahun 2010?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut

1. Untuk menganalisis penertiban tanah terlantar oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan PP No 11 Tahun 2010;

2. Untuk menganalisis pendayagunaan tanah terlantar oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan PP No 11 Tahun 2010;

3. Untuk mengetahui hambatan dalam penegakan PP No 11 Tahun 2010;

D. Manfaat Penelitian

(12)

1. Secara teoritis diharapkan memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu hukum pada umumnya dan khususnya dalam bidang pertanahan, sehingga akan lebih membantu dalam menyelesaikan masalah pertanahan khususnya mengenai penguasaan dan pengelolaan tanah terlantar; 2. Secara praktis diharapkan dapat memberikan informasi yang bermanfaat

masyarakat umum karena masih minimnya pemahaman tentang masalah-masalah pertanahan khususnya pengelolaan dan pemanfaatan tanah, Termasuk berguna memberi masukan bagi pengambil kebijakan dalam menanggulangi tanah terlantar.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelusuran kepustakaan khususnya di Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, penelitian dengan judul “Analisis Yuridis Akibat Hukum Bagi Pemegang Hak Atas Tanah Yang Menelantarkan Tanahnya Ditinjau Dari PP No. 11 Tahun 2010 “ memiliki kemiripan dengan beberapa judul penelitian yang sudah pernah dilakukan sebelumnya.

(13)

sebelum terbitnya PP No. 11 Tahun 2010 Tentang Pendayagunaan dan Penertiban Tanah Terlantar.

Berdasarkan uraian tersebut, bahwa penulisan ini tidak mempunyai kesamaan latar belakang dan pokok permasalahan yang akan di teliti. Sehingga penelitain ini dapat dinyatakan belum pernah dilakukan dan dapat dibuktikan keasliannya.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Kontinuitas perkembangan ilmu hukum selain bergantung pada metodologi, aktifitas penelitian dan imajinasi sosial, juga sangat ditentukan oleh teori.11 Teori didefenisikan sebagai asas-asas umum dan abstrak yang diterima secara ilmiah dan sekurang-kurangnya dapat dipercaya untuk menerangkan fenomena-fenomena yang ada. Teori bertujuan untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa terjadi gejala spesifik atau proses tertentu terjadi.12Teori bukanlah pengetahuan yang sudah pasti, tetapi harus dianggap sebagai petunjuk untuk analisis dari hasil penelitian yang dilakukan. Teori menguraikan jalan pikiran menurut kerangka yang logis artinya menundukkan masalah penelitian yang telah dirumuskan di dalam kerangka teoritis yang relevan, yang mampu menerangkan masalah tersebut.13Teori merupakan suatu

11Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia Press,1982), hal.6

12

M.Hisyam,Penelitian Ilmu-ilmu Sosial,(Jakarta: FE UI, 1996), hal.203

(14)

penjelasan yang berupaya menyederhanakan pemahaman mengenai suatu fenomena menjadi sebuah penjelasan yang sifatnya umum.14

Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis si penulis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problem) yang dijadikan bahan perbandingan, pegangan teoritis, yang mungkin ia setuju ataupun tidak disetujuinya yang dijadikan masukan dalam membuat kerangka berpikir dalam penulisan.15Sehingga fungsi teori dalam penulisan teori ini adalah untuk memberikan arahan/ petunjuk dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang diamati.

Kerangka teori yang digunakan dalam penulisan ini adalah teori keadilan menurut plato, menurutnya keadilan hanya dapat ada di dalam hukum dan perundang-undangan yang dibuat oleh para ahli yang khusus memikirkan hal itu.16Untuk istilah keadilan ini, Plato menggunakan kata Yunani “Dikaiosune” yang berarti lebih luas, yaitu mencakup moralitas individual dan social.17 Dari teori tersebut apabila dihubungkan dengan pertanahan yang ada di Indonesia, tanah bukan semata-mata dimaknai sebagai pendapatan dan komoditi, melainkan kesempatan hidup yang aktual. Dengan memaknainya secara demikian. Kita bisa mendorong reforma agrarian secara lebih luas, dan menjangkau lebih banyak para petani yang menjadikan tanah sebagai bagian dari diri dan hidupnya, bukan semata-mata aset, yang hanya dapat dijaminkan dan diperjualbelikan.

14Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hal.134

15M.Solly Lubis,Filsafat Ilmu Dan Penelitian, Cet-I, (Bandung : Mandar Maju, 1994), hal. 80

16Dominikus Rato,

Filsafat Hukum, Mencari, Menemukan, Dan Memahami Hukum,

(Surabaya: LaksBang Yustisia, 2010), hal. 63.

(15)

Disamping itu terkait dengan penerapan PP No.11 Tahun 2010, penulisan tesis ini juga menggunakan teori efektivitas penegakan hukum. Teori efektivitas penegakan hukum adalah teori ini menjelaskan mengenai bekerjanya aturan perundang-undangan ketika diterapkan didalam masyarakat.

Menurut Soerjono Soekanto, Proses penegakan hukum meliputi 5 faktor yaitu :18 1. Faktor hukum dan peraturan perundang-undangan

2. Faktor aparat penegak hukumnya, yakni pihak-pihak yang terlibat dalam proses dan pembuatan hukumnya, yang berkaitan dengan masalah mentalitas 3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung proses penegakan hukum

4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan sosial dimana hukum itu berlaku dan diterapkan, berhubungan dengan kesadaran dan kepatuhan hukum yang merefleksi dalam perilaku masyarakat

5. Faktor kebudayaan yakni hasil karya, yakni hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia dalam pergaulan hidup.

Dalam hubungannya dengan penulisan ini, teori efektivitas penegakan hukum yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto erat kaitannya dengan judul penelitian ini, dalam menerapkan PP No. 11 Tahun 2010, banyak faktor dalam mendukung terlaksananya PP No. 11 Tahun 2010 ini. Bukan hanya pada ketegasan peraturan yang ada, melainkan juga pada faktor instrument-instrumen yang mendukung jalannya peraturan itu.

(16)

2. Konsepsi

Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori.Peranan konsepsi dalam penelitian adalah untuk menghubungkan teori dan observasi, antara abstrak dan kenyataan. Konsepsi merupakan suatu pengertian mengenai suatu fakta atau dapat berbentuk batasan (defenisi) tentang sesuatu yang akan dikerjakan.19 Konsepsi diartikan sebagai kata yang menyatukan abstraksi yang digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus yang disebut defenisi operasional.

Konsep atau pengertian merupakan unsur pokok dari suatu penelitian, kalau masalahdan kerangka konsep teoritisnya sudah jelas, biasanya sudah diketahui pula fakta mengenai gejala-gejala yang menjadi pokok perhatian dan suatu konsep sebenarnya adalah definisi secara singkat dari sekelompok fakta atau gejala itu. Maka konsep merupakan definisi dari apa yang perlu diamati, konsep menentukan antara variabel-variabel yang ingin menetukan adanya gejala empiris.20

Analisis yuridis yang dimaksud dalam penelitian ini adalah analisis berdasarkan PP No.11 Tahun 2010 Tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar, sebagaimana yang terjadi dalam permasalahan hukum pertanahan di Indonesia.

Konsepsi lain yang ada penelitian ini dapat di lihat dalam uraian sebagai berikut :

(17)

a. Tanah terlantar adalah tanah yang sudah diberikan hak oleh negara berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai dan Hak Pengelolaan, atau dasar penguasaan atas tanah yang tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya.21

b. Obyek tanah terlantar meliputi tanah yang sudah diberikan hak oleh Negara berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, dan Hak Pengelolaan, atau dasar penguasaan atas tanah yang tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya.22

c. Dasar penguasaan atas tanah adalah izin/keputusan/surat dari pejabat yang berwenang yang menjadi dasar bagi orang atau badan hukum untuk menguasai, menggunakan, atau memanfaatkan tanah baik berupa hak milik, hak pakai, hak guna usaha, hak guna bangunan, maupun hak pengelolaan. d. Pemegang Hak adalah pemegang hak atas tanah, pemegang Hak Pengelolaan,

atau pemegang izin/keputusan/surat dari pejabat yang berwenang yang menjadi dasar penguasaan atas tanah.

e. Kepala BPN adalah Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia. f. Kepala Kantor Wilayah adalah Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan

Nasional.

(18)

G. Metode Penelitian

Istilah metode penelitian terdiri atas dua kata, yaitu kata metode dan kata penelitian. Kata metode berasal dari bahasa Yunani yaitumethodosyang berarti cara atau menuju suatu jalan. Metode merupakan kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan suatu cara kerja (sistematis) untuk memahami suatu subjek atau objek penelitian, sebagai upaya untuk menemukan jawaban yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah dan termasuk keabsahannya.23

Dari pengertian di atas kita dapat mengetahui bahwa metode penelitian adalah suatu cara untuk memecahkan masalah ataupun cara mengembangkan ilmu pengetahuan dengan menggunakan metode ilmiah. Secara lebih luas lagi Sugiyono menjelaskan bahwa metode penelitian adalah cara-cara ilmiah untuk mendapatkan data yang valid, dengan tujuan dapat ditemukan, dikembangkan dan dibuktikan, suatu pengetahuan tertentu sehingga pada gilirannya dapat digunakan untuk memahami, memecahkan, dan mengantisipasi masalah.24 Bagi kepentingan ilmu pengetahuan, metode merupakan titik awal menuju proposisi-proposisi akhir dalam bidang pengetahuan tertentu.25 Maka dapat dilihat peran penting metode dalam melakukan penelitian ilmu pengetahuan secara khusus dalam ilmu hukum.

Metode penelitian merupakan cara dan prosedur yang sistematis dan terorganisir untuk menemukan solusi atas masalah, sehingga dapat diketahui bahwa

23 Rosady Ruslan,Metode PenelitianPublic Relations dan Komunikasi, (Jakarta: Rajawali Pers, 2003), hal. 24

24Sugiyono,

Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D (Bandung: Alfabeta, 2009) hal. 6

(19)

metode penelitian merupakan keseluruhan langkah ilmiah yang digunakan untuk menemukan solusi atas suatu masalah.26 Sedangkan penelitian hukum adalah adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi,27 selain itu, peneltian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisisnya, kecuali itu, maka juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul dalam gejala yang bersangkutan.28

1. Sifat dan Jenis Penelitian

Rancangan penelitian tesis ini merupakan penelitian yang menggunakan penelitian deskriftif analitis. Dengan demikian, sifat penelitian dikategorikan penelitian deskriftif dengan analisis yang bersifat kualitatif. Penelitian bersifat deskriftif analisis adalah untuk menggambarkan, menelaah dan menjelaskan serta menganalisa perundang-undangan yang berlaku berdasarkan teori hukum yang bersifat umum29 yang diaplikasikan pada efektifitas PP NO. 11 Tahun 2010 dalam menertibkan tanah terlantar yang dilakukan oleh BPN Sumatera Utara.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif yang disebut dengan penelitian doktrinal (doctrinal research) yaitu suatu penelitian yang

26Ulber Silalahi,Metode Penelitian Sosial,(Bandung: PT.Refika Aditama, 2009), hal.13 27

Peter Marzuki,Penelitian Hukum, (Jakarta : Kencana, 2006) hal,35 28

Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1997), hal. 38

(20)

menganalisis hukum baik yang tertulis dalam buku (law it is decided by the judge through judicial process).30 yaitu penelititan yang mengacu kepada norma-norma hukum, yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai pijakan normative. Namun dalam penelitian ini juga dilakukakn wawancara terhadap informan yang berwenang mengenai berlakunya berbagai ketentuan hukum positif tentang penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar. Kemudian penelitian ini sampai pada taraf deskripsi, yaitu menganalisis dan menyajikan fakta secara sistematis sehingga dapat lebih mudah untuk dipahami dan disimpulkan.31

2. Lokasi Penelitian

Yang menjadi lokasi penelitian adalah Provinsi Sumatera Utara melalui Kanwil BPN Sumatera Utara sebagai lokasi penelitian, dimana lokasi penelitian ini ditemukan adanya indikasi tanah terlantar yang telah dilakukan identifikasi oleh BPN Sumatera Utara dan dianggap karena mempunyai tugas yang luas dalam menangani masalah tanah terlantar yang ada di Sumatera Utara.

3. Sumber dan Jenis Data

Secara umum jenis data yang diperlukan dalam suatu penelitian hukum terarah pada penelitian data sekunder dan data primer. Adapun sumber dan jenis data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bahan hukum primer, yang terdiri dari :bahan hukum yang mengikat, antara lain berupa peraturan perundang-undangan yang terkait dengan tanah terlantar 30

Amiruddin dan Zainal Asikin,Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2006), hal.118

31Irawan Soehartono,Metode Penelitian Sosial Suatu Teknik Penelitian Bidang Kesejahteraan

(21)

yaitu UU No. 5 Tahun 1960,UU No.20 Tahun 1961, Tap MPR IX Tahun 2001, PP No. 11 Tahun 2010, PP No. 40 Tahun 1996

2. Bahan hukum sekunder, seperti hasil-hasil penelitian laporan-laporan, artikel, hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya yang relevan dengan penelitian maupun petunjuk-petunjuk lain yang didapat dari internet

3. Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang yang mencakup bahan yang memberi petunjuk mampu menjelaskan terhadap hukum primer dan sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum, serta diluar bidang hukum, yang dapat dipergunakan untuk melengkapi atau sebagai data penunjang dari penelitian ini.

4. Alat Pengumpulan Data

Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini antara lain : a. Studi dokumen

Bahan pustaka yang dimaksud berupa peraturan perundang-undangan, buku, laporan hasil penelitian terdahulu, makalah penataran dan bahan kepustakaan lainnya yang bermanfaat untuk penelitian ini

b. Wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara

(22)

terarah dan sebelum melakukan wawancara dibuat pedoman wawancara sehingga hasil wawancara relevan dengan permasalahan yang akan diteliti

5. Analisis Data

Analisis data merupakan proses mengorganisasikan dan menguraikan data ke dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesa kerja seperti yang disarankan data.32Metode kualitatif

dilakukan untuk memperoleh data dari responden baik yang secara lisan sehingga menghasilkan data yang deskriptif analitis, yaitu data yang dapat menggambarkan seluruh gejala, fakta dan aspek-aspek serta akibat hukum yang diteliti. Penarikan kesimpulan dilakukan dengan menggunakan logika berfikir deduktif, yaitu penarikan kesimpulan dari hal-hal yang bersifat umum ke hal-hal yang bersifat khusus, sehingga memberikan jawaban atas permasalahan yang diteliti.

Referensi

Dokumen terkait

Kondisi tersebut di duga karena stasiun I berada pada daerah yang paling dekat dengan laut sehingga faktor lingkungan terutama mekanisme fisik juga ikut membantu proses

Kampung Belekok Rancabayawak sebagai Daya Tarik Wisata di Kota Bandung ” ini sepenuhnya karya saya sendiri. Tidak ada bagian di dalamnya yang merupakan plagiat dari karya

Pengelolaan tanah secara vegetatif dapat menjamin keberlangsungan keberadaan tanah dan air karena memiliki sifat : memelihara kestabilan struktur tanah melalui

Berdasarkan pemaparan yang telah disebutkan, peneliti bermaksud untuk meneliti “Hubungan antara Struktur Modal dan Kinerja keuangan pada Perusahaan Sektor Jasa dan Manufaktur

Hasil pengujian tack coat dari bahan medium curing cutback pen 60/70 hubungan curing time dan kuat geser untuk setiap variasi suhu didapatkan bahwa kuat geser akan

Disamping itu fluktuasi harga yang tinggi juga memberi peluang kepada pedagang untuk memanipulasi informasi harga di tingkat petani sehingga transmisi harga dari

Metode penelitain yang dilakukan seperti studi pustaka, hasil wawancara secara random mengenai kawasan karst yang telah dilakukan penambangan ataupun pembukaan

anak juga sering dikaitkan dengan proses pikir dari anak tersebut yang masih dalam tahap pertumbuhan, sebab pertumbuhan seorang anak biasanya menyangkut tentang