• Tidak ada hasil yang ditemukan

Klaim Feminisme Tonggak International Se

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Klaim Feminisme Tonggak International Se"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

Klaim Feminisme; Tonggak

International Security Studies

Sumber:

Tickner, J. Ann, and Laura Sjoberg. "Feminism." In Chapter XI, International Relations Theories: Discipline and Diversity, Third Edition, by Tim Dunne, Milja Kurki and Steve Smith, 205-222. United Kingdom: Oxford University Press, 2013

Ini merupakan tinjauan kritis penulis atas penjelasan J. Ann Tickner1 dan Laura Sjoberg2 tentang Feminisme. Tulisan yang ditinjau terdapat pada BAB XI dalam buku berjudul International Relations Theories: Discipline and Diversity Edisi ke-3 yang disusun bersama oleh Tim Dunne, Milja Kurki, dan Steve Smith pada 2013.

Tickner dan Sjoberg berargumen bahwa teori sanksi internasional perlu direformulasi dengan menyumbangkan klaim feminisme untuk meningkatkan keamanan internasional. Visibilitas women and gender relationship” merupakan klaim feminisme yang diperjuangkan kelompok Feminist Security Studies. Akan tetapi, penjelasan lebih lanjut mengenai korelasi dan peranan klaim feminisme dalam International Security Studies sangat minim dalam tulisan Tickner dan Sjoberg. Oleh karena itu, penulis akan mengantar pembaca terlebih dahulu mengenal, kemudian menelusuri eksistensi ‘klaim feminisme’ dalam ‘International Security Studies’ untuk memperjelas gambaran awal dari Tickner dan Sjoberg. Penelusuran ini kemudian akan menjawab argumen penulis bahwa klaim feminisme merupakan unsur penting dalam meningkatkan dan menjaga keamanan internasional.

Keyword: Feminisme, Klaim Feminisme, Sanksi Internasional, Keamanan Internasional, Feminist Security Studies, Human Security, International Security Studies

Klaim F eminisme

Kelompok Feminisme tidak pernah lepas dengan gender yang merupakan fokus kajian

dan geraknya. Gender dimaknai sebagai karakteristik sosial yang menggambarkan “what men and women ought to be”3

. Kelompok feminisme pada dasarnya tidak mengangkat persaingan

atas maskulinitas dan feminitas, tetapi lebih fokus pada emansipasi gender yang diperjuangkan untuk

mengatasi dampak fenomena ketidaksetaraan atas mitos yang dikonstruksi dalam doktrin

1

Merupakan Profesor Emerita di University of Southern California. Beberapa buku yang diterbitkannya: Gender in International Relations: Feminist Perspective on Achieving Global Security (1992); Gendering World Politics: Issues and Approaches in the Post-Cold War Era (2001); dan beberapa karya dalam jurnal internasional seperti International Studies Quarterly, International Political Science Review, dan Millenmium; dalam Tim Dunne, Milja Kurki, dan Steve Smith, International Relations Theories: Discipline and Diversity, 3rd edition, United Kingdom, Oxford University Press: 2013, hal. xix

2

Merupakan Associate Professor of Political Science at the University of Florida. Salah satu bukunya, Gender, Justice, and The Wars in Iraq (2006). Kini tengah menjabat sebagai editor International Feminist Journal of Politics. Sebagai ketua International Studies Association Committee on the Status of Women, Sjoberg telah menerbitkan berlusin karya tulis di beberapa buku dan jurnal internasional yang membahas tentang Gender dan Feminisme; dalam Dunne, Kurki, and Smith, 2013, Ibid.

3

(2)

pemahaman terhadap masyarakat di lingkungan sosial. Men as ‘protectors’ and women as ‘protected’, and war is a cultural construction that depends on myths of protection4 merupakan mitos yang dimaksud Tickner dan Sjoberg.

Dominasi seringkali diidentikkan pada laki-laki dan karakter dasarnya, sedangkan

subordinasi diidentikkan pada perempuan dan karakter dasarnya. Ini memicu dampak

berkelanjutan atas ketidaksetaraan pemaknaan dan ketergantungan antara subordinasi dan

pihak yang mendominasi. Dalam lingkup negara, salah satu dampak berkelanjutan ini

terdapat dalam konsep kebijakan negara yang identik dengan “hegemonic masculine

characteristics; women as natural to be caregivers, and men as natural to be

breadwinners5.

Bagi Tickner dan Sjoberg, hegemonic masculine characteristics yang diidentikkan pada negara

dan interaksi internasionalnya berpengaruh pada setiap perumusan kebijakan internasional, misalnya

sanksi internasional. Penegakan klaim feminisme tidak hanya berkaitan dengan perempuan, tetapi

juga dengan proses pembentukan, pemaknaan, dan penerapan suatu kebijakan yang setara dalam

sistem politik global adalah usulan atas reformulasi teori sanksi internasional6. Sanctions in order to

make women and gender relationship visible and suggest some new ways to enhance security,7

merupakan evaluasi empiris yang dirumuskan Tickner dan Sjoberg. Intinya, Tickner dan Sjoberg

menekankan perlunya “visibilitas women and gender relationship”8 dalam teori sanksi internasional

yang pro-gender.

Feminism Security Studies (FSS) dalam International Security Studies (ISS)

Dialog akademik yang cukup kompleks tentang keamanan internasional pada masa

Perang Dingin memicu terbentuknya kelompok Peace Researcher9. Dalam

perkembangannya, kelompok ini tidak mengkritik konsep keamanan internasional

konvensional seperti pada masa Perang Dingin dan sebelumnya, tetapi mengembangkan

konsep oposisi atas Peace menjadi Positive Peace10 dan Negative Peace11. Pemetaan konsep

4

Tickner and Sjoberg, Fe i is , dala Du e, Kurki, a d “ ith, , I id., hal. 5

S. Harding, The Science Question in Feminism, Ithaca, New York, Cornell University Press: 1986, hal. 17-18 6

Disimpulkan dari Ti k er a d “jo erg, Fe i is , dala Du e, Kurki, a d “ ith, , I id., hal. 205-219 7

Ti k er a d “jo erg, Fe i is , dala Du e, Kurki, a d “ ith, , Ibid. 8

I i erupaka defi isi dari istilah klai fe i is e ya g digu aka pe ulis. Istilah ini disimpulkan oleh penulis berdasarkan pemaparan argumen Tickner dan Sjoberg

9 Pea e ‘esea he uestio ed oth the o ality a d the atio ality of “t ategi “

tudies (Bull, 1968; Wilberg, 1981) and the meanings of war and peace (Galtung, 1969); dalam Barry Buzan and Lene Hansen, The Evolution of International Security Studies, New York, Cambridge University Press: 2009, hal. 104

10

(3)

ini mengangkat individu dan kemanusiaan menjadi objek utama sebagai kritik atas dominasi

peran kerja militer dalam International Security Studies (ISS) (Ullman, 1983; Buzan, 1983,

1984b; Mathews, 1989). Selanjutnya, ancaman keamanan menjadi semakin luas mencakup

sektor ekonomi, lingkungan, kesehatan, pembangunan, dan gender12. Perkembangan ini dikenal sebagai widening-deepening debates13 dengan penekanan pada agenda dan aktor yang

berpengaruh dalam keamanan internasional.

Kelompok widener-deepeners berargumen tentang logika konfliktual dalam

International Security Studies14 yang merupakan dampak atas pengaruh perkembangan

pendekatan dalam ISS. Peta perkembangannya dapat dilihat pada Bagan 115.

Salah satu pendekatan yang berkembang adalah Feminist Security Studies16 (FSS) yang

dikembangkan Tickner – “Situating FSS on the broader terrain of ISS, feminist broke with

the positivist epistemology of quantitative Peace Research and adopted a ‘multilevel and multidimentional’ conceptualisation based on the experiences of women17. Karakter perempuan dalam subordinasi gender dalam keamanan internasional merupakan aspek yang

diperjuangkan oleh Feminis generasi kedua seperti Tickner (1992; 1997; 2001; 2004; 2005),

Sylvester (1987), dan Enloe (1983; 1989; 2004a; 2004b). Perjuangan Feminis generasi kedua

ini jelas tidak lepas dari perjuangan Feminis generasi pertama, seperti Ruddick (1989: 95,

11 .. defi ed as the a se e of a , la ge

-scale physical violence or personal violence and opened up a research age da o ilita y se u ity Galtu g, : 3 ; dalam Buzan and Hansen, 2009, Ibid.

12

Diringkas dari Buzan and Hansen, 2009, Ibid., hal. 10-12 13

Penjelasan lebih detail dalam Buzan dan Hansen, 2009, Ibid., hal.187-188 14

Selanjutnya ditulis ISS 15

Dirangkum dari penjelasan Buzan dan Hansen, 2009, Ibid., hal. 187-191, dan Figu e . . The changing shape of ISS from Cold War to Post-Cold War, Ibid., hal. 190

16

Selanjutnya ditulis FSS 17

J. Ann Tickner, Gender in International Relations: Feminist Perspectives on Achieving Global Security, New York, Columbia University Press: 1992, hal. 66

Peace Research

(4)

150), Cohn (1987: 715, 717), Elshtain (1981, 1987), dan Pateman (1988), yang terus

membangun pemaknaan bahwa gender bukan merupakan suatu identitas biologis, melainkan

dibentuk dalam praktik sosialisasi yang merujuk pada hal-hal yang bersifat budaya, politis,

dan struktur sosial dalam masyarakat18.

Klaim F eminisme; Tonggak International Security Studies

Amerika Serikat mendeklarasikan ‘tatanan dunia baru’ pada 26 Desember 1991, setelah

runtuhnya Uni Soviet dan berakhirnya Perang Teluk19. Namun, perdamaian yang dijanjikannya dirasa semakin jauh karena kecenderungan konflik kemanusiaan di

negara-negara baru merdeka, seperti genosida Bosnia (1992) dan pembantaian Rwanda (1994).

Fenomena ini mendorong Mahbub Ul Haq mereformulasikan konsep Security yang disesuaikan dengan ‘tatanan dunia baru’; International Security Studies dengan aktor sentral pada individu – Human Security.

Tabel 120. Peta Konsep International Security Studies

INTERNATIONAL

SECURITY STUDIES Aktor Sentral Ancaman Sektor

Traditional Security Negara / state-centric

Tidak ada penegasan bahwa gender merupakan salah satu kembangan sektoral dalam

ISS yang bertujuan mewujudkan “human life that freedom from fear, want, and to live in

dignity”. Bagi penulis, ini bukan berarti pengesampingan konsep gender, melainkan bentuk

pengakuan bahwa gender termasuk dalam setiap sektor yang dikategorikan masih sangat

18

Dirumuskan dari Buzan and Hansen, 2009, Op Cit., hal. 139-140 19

Joseph S. Nye Jr, Understanding International Conflict: An Introduction to Theory and History, 2nd Edition, United States, Longman Inc.: 1997, hal. 188

20

Dirumuskan dari Buzan and Hansen, 2009, Op Cit., hal. 203; juga beberapa penambahan dari presentasi “hofwa Al Ba a Choiruzzad, “. “os., M.A., Ph. D., Kea a a Ma usia da Kea a a No -Tradisio al , saat kelas Dinamika Politik Internasional, Pascasarjana Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Indonesia, pada 8 Oktober 2013, pukul 19.00-21.30 WIB

21

(5)

general. Sehingga pengawalan dalam proses pembentukan, pemaknaan, dan penerapan suatu

kebijakan dalam keamanan internasional yang diperjuangkan Tickner, Sjoberg, dan

kelompok FSS lainnya adalah hal yang selalu penting.

Reformulasi teori sanksi internasional merupakan bukti pengawalan kelompok Feminist

Security Studies terhadap International Security Studies. Dengan jelas, Tickner dan Sjoberg

mengusulkan perlunya klaim feminisme dalam reformulasi teori tersebut. Dewan Keamanan

PBB, sebagai lembaga internasional yang berwenang, diminta untuk mempertimbangkan

aspek visibilitas women and gender relationship” setiap kali akan merumuskan dan menetapkan

sanksi internasional. Sehingga, sanksi internasional yang akan ditetapkan nantinya lebih

pro-gender dan meminimalisir peluang jatuhnya korban hanya karena sanksi yang bersifat

hegemonic masculine characteristics.

Dalam penjelasannya, Tickner dan Sjoberg berhenti pada argumen mengenai

pengusulan klaim feminisme dalam reformulasi teori sanksi internasional. Tidak dijelaskan

waktu pasti penulisan artikel oleh Tickner dan Sjoberg, tetapi mereka menganalisis

perumusan, penerapan, dan implikasi dari sanksi internasional dalam Resolusi 687 DK PBB

tentang embargo ekspor-impor untuk Iraq pada pertengan dekade 1990an22. Kelaparan, gizi buruk, penyebaran penyakit, prostitusi, merosotnya pendidikan dan aktivitas agama,

merupakan implikasi penerapan sanksi yang paling banyak dirasakan oleh perempuan23. Berangkat dari implikasi ini, dan dengan korban yang paling banyak berjatuhan dari

perempuan, sanksi internasional DK PBB digolongkan sebagai sanksi yang tidak manusiawi

dan justru jauh dari tujuannya untuk menegakkan keamanan internasional.

Satu aspek besar yang dilewatkan oleh Tickner dan Sjoberg adalah suasana dunia

internasional yang pada dekade 1990an juga tengah mengalami beberapa perubahan

mendasar. Salah satunya, dan paling berpengaruh adalah pandangan mengenai International

Security Studies. Konsep human security dengan fokus aktor individu dan tujuan utama

mewujudkan “human life that freedom from fear, want, and to live in dignity”24 adalah

konsep yang sangat ideal. Bahkan, klaim feminisme yang diperjuangkan FSS masih bersifat

sektoral jika dibandingkan human security yang bersifat langsung dan personal.

Dibutuhkan penegasan kembali dari FSS tentang makna gender dan klaim feminisme

yang selama ini diperjuangkan. Sebagai sebuah konsep hasil konstruksi sosial yang merujuk

22

Disimpulkan dari Tick er a d “jo erg, Fe i is , dala Du e, Kurki, a d “ ith, , Op Cit., hal. 5 -219

23

Disimpulkan dari Ti k er a d “jo erg, Fe i is , dala Du e, Kurki, a d “ ith, , I id., hal. 8 24

(6)

pada hal-hal yang bersifat budaya, politis, dan struktur sosial, sangat susah untuk

mengelompokkan gender sebagai sub-sektor atas human life. Ruang lingkup budaya, politik,

dan struktur sosialnya sesungguhnya sudah mencakup sektor human life secara menyeluruh.

Selain itu, kelompok Feminist Security Studies menganggap Hak Asasi Manusia yang

merupakan dasar argumen Human Security belum bisa mengakomodir “visibilitas women and gender relationship” yang diperjuangkan dalam Klaim Feminisme. Jill Steans menjelaskan dalam bukunya,

“Furthermore, the paradigmatic subject in human rights discourse has, historically, been male. Indeed, as is apparent from the earlier discussion, many feminist thinkers have rejected conceptions of justice and ethics which are grounded in abstract, so-called ‘universal’ rights ... However, ... there should be specific ‘rights’ which recognize the ‘otherness’ of women...”25

.

Masih ada beberapa penolakan atas aturan hak asasi yang masih terlalu umum. Peluang

dikotomi pemaknaan bisa saja berdampak pada penegakan hak asasi yang tidak maksimal

adalah pertimbangan utama Feminist Security Studies.

Tuntutan akan perjuangan hak asasi yang lebih spesifik tidak pernah dimaksudkan

kelompok Feminisme untuk membentuk kelas sosial dalam masyarakat berdasarkan jenis

kelamin, tetapi untuk menguatkan efektivitas dari perumusan hak asasi tersebut. Seperti yang

dikatakan Roland Paris, if human security means almost anything, then it effectively means

nothing26. Karena merupakan unsur penting untuk membantu fokus dan penegakan human

security dalam mewujudkan “human life that freedom from fear, want, and to live in dignity”, klaim feminisme ibarat tonggak dalam International Security Studies.

Simpulan

Pengusulan Klaim Feminisme dalam reformulasi teori sanksi internasional merupakan

argumen utama J. Ann Tickner dan Laura Sjoberg. “Visibilitas women and gender relationship” merupakan nilai Klaim Feminisme yang dimaksud. Meski tidak dijelaskan dengan tegas dalam sektor International Security Studies, tapi eksistensi gender dan klaim

feminisme adalah hal penting dalam perwujudan “human life that freedom from fear, want, and to live indignity”. Indikator-indikator seperti, (1) ruang lingkup gender yang mencakup budaya, politis, dan struktur sosial; serta (2) HAM yang belum bisa mengakomodir klaim

feminisme, merupakan alasan yang menjawab argumen penulis bahwa Klaim Feminisme

masih dan tetap merupakan unsur penting dalam menegakkan keamanan internasional.

25

Jill Steans, Gender and International Relations: An Introduction, Cambridge, Polity Press: 1998, hal. 125 26

(7)

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Buzan, Barry, and Lene Hansen. (2009). The Evolution of International Security Studies. New York: Cambridge University Press

Dunne, Tim, Milja Kurki, and Steve Smith. (2013). International Relations Theories: Discipline and Diversity. United Kingdom: Oxford University Press

Harding, S. (1986). The Science Question in Feminism. Ithaca. New York: Cornell University Press

Nye, Joseph Jr. (1997). Understanding International Conflict: An Introduction to Theory and History, 2nd Edition. United States: Longman Inc.

Steans, Jill. (1998). Gender and International Relations: An Introduction. Cambridge: Polity Press

Tickner, J. Ann. (1992). Gender in International Relations: Feminist Perspectives on Achieving Global Security. New York: Columbia University Press

Jurnal:

Galtung, Johan. (1969). “Violence, Peace, and Peace Research”. Journal of Peace Research 6:3

Paris, Roland. (2001). “Human Security: Paradigm Shift or Hot Air?”. Journal of International Security. 26:2

Forum Akademik:

Gambar

Tabel 120. Peta Konsep International Security Studies

Referensi

Dokumen terkait

Apabila terdapat satu atau lebih operator yang memiliki presedensi yang sama, maka yang diproses terlebih dahulu adalah bagian sebelah kiri sampai ke kanan, dalam kata lain di

Metode Ward and Peppard terdiri dari Analisis PEST, Analisis SWOT, Analisis Porter Five Forces, Analisis Value Chain, Analisis Critical Success Factor, dan Analisis

Pilihlah jawaban yang saudara anggap paling benar dengan cara menghitamkan salah satu huruf a, b, c atau d pada lembar jawaban dari kalimat pernyataan dibawah ini..

3.2.3 Menjelaskan respon masyarakat Mekah terhadap dakwah Nabi SAW 3.2.4 Menyebutkan modal kesuksesan Nabi SAW dalam berdakwah di Mekah 3.2.5 Menjelaskan misi dakwah Nabi SAW di

Namun semua itu haruslah didukung dan disesuaikan dengan teknologi yang baik pula, maka tingkat produksi terhadap suatu perusahaan tersebut tidak bisa mengelola data data dari

Peran publik perempuan muslim diantaranya adalah sebagai anggota masyarakat dan mengikuti berbagai kegiatan sebagai bentuk aktualisasi diri, ada juga yang menjadi

Perkiraan Tanggal Penjatahan 24 November 2010 Perkiraan Tanggal Distribusi Saham Secara Elektronik 25 November 2010 Perkiraan Pengembalian Uang Pemesanan 25 November 2010

Setelah dilakukan tindakan perawatan selama 3 x 24 jam, diharapkan tidak terjadi trauma pada pasien dengan kriteria hasil: bebas dari cedera mampu