• Tidak ada hasil yang ditemukan

Buku Ajar Pengembangan Pribadi Konselor.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Buku Ajar Pengembangan Pribadi Konselor."

Copied!
123
0
0

Teks penuh

(1)

PRAKATA

Peningkatan profesionalisasi bimbingan dan konseling melalui pendidikan pra jabatan maupun dalam jabatan, kualifikasi pribadi konselor menjadi kunci keberhasilan pelayanan bimbingan dan konseling. Karakteristik pribadi konselor yang tinggi menjadi pendukung utama terciptanya komunikasi profesi konselor yang bermartabat. Komunikasi konselor yang berkualitas dan bermartatabat tergambarkan melalui perwujudan diri konselor selama menjalani aktivitas profesional. Salah satu faktor penting yang ikut menjadi penentu keberhasilan komunikasi profesional konselor adalah kemampuan dalam pengembangan pribadi konselor.

Masalah pengembangan pribadi konselor merupakan masalah yang sangat penting bagi para mahasiswa bimbingan dan konseling dalam mempersiapkan diri mencapai profesionalitasnya dan keberhasilan belajarnya sehingga dapat mandiri dalam penanganan dan pelaksanaan bimbingan dan konseling kelak dikemudian waktu.

Materi pengembangan pribadi konselor, dalam modul 4 ini akan diantarkan kepada suatu pemahaman mengenai apa sebenarnya yang dimaksud dengan pengembangan pribadi konselor dan bagaimana penerapannya dalam proses pelayanan bimbingna dan konseling. Mudah-mudahan mahasiswa dapat memahami secara menyeluruh apa yang diuraikan dalam modul ini, sebab pemahaman tersebut akan menjadi bekal dalam profesionalisasi pelaksanaan bimbingan dan konseling yang bermakna bagi para siswa dan bermartabat bagi konselor di sekolah. Setelah mempelajari modul ini, diharapkan Anda mampu menganalisis implikasi penerapan konsep pengembangan pribadi konselor dalam pelaksanaan bimbingan dan konseling.

Buku ajar ini dapat dibaca oleh konselor pra jabatan atau mahasiswa bimbingan konseling yang masih dalam proses pembentukan melalui pendidikan dijurusan bimbingan dan konseling program S1. Buku ajar ini juga dapat dibaca pula oleh konselor dalam jabatan yang selalu meng up-date (memperbaharui) dan meningkatan kualifikasi pengembangan pribadi konselor.

(2)

kesadaran dan komitmen dan mampu menampilkan keutuhan pribadi yang mendasari pengembangan pribadi konselor. Secara lebih khusus, setelah mahasiswa mempelajari buku ajar ini mahasiswa diharapkan dapat:

1. Mengaplikasikan sikap, keterampilan, kesadaran dan komitmen selaku konselor dalam landasan dan identitas religius.

2. Mengaplikasikan sikap, keterampilan, kesadaran dan komitmen selaku konselor dalam pengembangan empati konselor.

3. Mengaplikasikan sikap, keterampilan, kesadaran dan komitmen selaku konselor dalam refleksi integritas pribadi konselor.

4. Mengaplikasikan sikap, keterampilan, kesadaran dan komitmen selaku konselor dalam stress dan frustrasi .

5. Mengaplikasikan sikap, keterampilan,, kesadaran dan komitmen selaku konselor dalam berfikir positif.

6. Mengaplikasikan sikap, keterampilan, kesadaran dan komitmen selaku konselor dalam nilai-nilai kehidupan.

7. Mengaplikasikan sikap, keterampilan, kesadaran dan komitmen selaku konselor dalam prasangka dan stereotif budaya.

8. Mengaplikasikan sikap, keterampilan, kesadaran dan komitmen selaku konselor dalam manajemen diri.

Buku ajar ini masih banyak kekurangan dan kelemahan disanasini, bagi para pengguna maupun pembaca buku ajar ini penulis mengharapkan masukan untuk menyempurnakan buku ajar ini, semoga apa yang sudah panulis tuangkan ide-ide dan gagasan-gagasan ini semoga bermanfaat bagi ilmu pengetahuan di bidang pengembangan pribadi konselor.

Karya buku ajar ini semoga dapat menjadi penyemangat penulis dalam mengabdi pada pendidikan, dan penyemangat bagi anak-anak dan menantu tercinta, Anangga, M.I Amal, M.Idham F, Dan M. Lutfi A. Selanjutnya terima kasih atas berkenannya menggunakan buku ini untuk kepentingan pendidikan.

(3)

Penulis DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

PRAKATA... ii

DAFTAR ISI... iii

BAB I Pengembangan Landasandan Identitas Religius diri Konselor …….. 1

1. Hakikat Manusia Menurut Agama ………. 1

2. Identitas Religius dan Spiritual Konselor………..………. 2

3. Kontribusi Landasan Religius Terhadap Perkembangan Pribadi Konselor ……..………..…………... 7

4. Perilaku Membantu yang Dilandasi Nilai Keagamaan/ Kerohanian…...……….……….. 7

5. Ringkasan ………. 8

6. Latihan ………. 10

BAB II Pengembangan Empati Konselor………. 11

1. Pengertian Empati ……….………. 12

2. Unsur-unsur Empati ………. 15

3. Latihan Empati Konselor……….……… 21

4. Latihan Empati bagi Calon Konselor……..……….……… 22

5. Aspek Intelektual……….... 23

6. Konsep Empati Budaya Dalam Keefektifan Konseling……….………. 23

7. Stereotip……… 24

8. Ringkasan ………. 26

9. Latihan ………. 27

BAB III Pengembangan Refleksi Integritas Pribadi Dan Stabilitas Kepribadian Konselor ……… 29

1. Integritas Konselor………. 29

2. Integritas ………..………. 31

3. Stabilitas ……….. 33

4. Bentuk- bentuk Integritas Dan Stabilitas Pribadi Konselor…………. 35

5. Ringkasan ………. 38

6. Latihan ………. 40

(4)

1. Pengembangan Toleransi Stress………. 41

BAB V Pengembangan Berfikir Positif Konselor……… 58

1. Konsep Berfikir Positif………. 58

2. Ciri-Ciri Orang Berpikiran Positif ……….. 60

3. Pilar Konsep Berfikir positif ………. 61

4. Manfaat Berpikir Positif (Positif Thinking)……… 62

5. Latihan Dalam Keterampilan Berfikir Positif……… 64

6. Manfaat Berpikir Positif……… 65

7. Langkah-langkah Praktis dan Strategi Berpikir Positif……….…… . 67

8. Kiat Mengembangkan Sikap Positif……… 68

9. Cara Membangun Sikap Berpikir Positif………. 69

10. Ringkasan ………..………. 71

11. Latihan……… 72

BAB VIPengembangan Nilai-Nilai Kehidupan Pribadi Konselor……….…… 74

1. Konsep Nilai Kehidupan………. 74

2. Hubungan Nilai dengan Pribadi Konselor………. 78

3. Kualitas Nilai Kepribadian Konselor……….. 80

4. Ringkasan ………..………. 83

5. Latihan……… 84

BAB VII Prasangka Dan Stereotif Budaya………. 86

1. Pengertian Prasangka……….. 87

2. Stereotif Budaya……….. 88

3. Konsep Dasar Etik Emik……… 92

4. Konsep Dasar Bias Budaya yang Menghambat Konseling………. 94

5. Ringkasan ………..………. 95

6. Latihan……… 96

(5)

2. Teknik Konseling Self-Management …….……… 103

3. Ringkasan ………..………..………. 118

4. Latihan……… 119

DAFTAR PUSTAKA ………. 120

BAB I

(6)

Kompetensi Dasar:

Setelah membahas materi ini mahasiswa dapat mengaplikasikan sikap, ketrampilan, kesadaran dan komitmen selaku konselor dalam landasan dan identitas religius.

Landasan religus dalam bimbingan dan konseling pada dasarnya agar konselor menetapkan konseli sebagai makhluk Tuhan dengan segenap kemuliaannya menjadi fokus sentral upaya bimbingan dan konseling. Landasan religius terkait dengan upaya mengintegrasikan nilai-nilai agama dalam proses bimbingan dan konseling. Untuk mewujudkan hal itu, maka sudah sepatutnya agama mendapat tempat dalam praktek-praktek konseling. Dalam pembahasan ini akan dibahas bagaimana kontribusi landasan religius terhadap pengembangan pribadi konselor.

1. Hakikat Manusia Menurut Agama

Konselor dituntut memiliki pemahaman tentang hakikat manusia menurut agama dan peran agama dalam kehidupan umat manusia. Sifat hakiki manusia adalah makhluk beragam (Homoreligius) yang memiliki fitrah untuk menerima nilai kebenaran yang bersumber dari agama. Fitrah beragama ini menjadi potensi arah perkembangan amat tergantung pada kehidupan beragama. Lingkungan dimana seseorang itu hidup. memberikan ajaran bimbingan dengan pemberian dorongan dan keteladanan yang baik dalam mengamalkan nilai-nilai agama, menuju arah perkembangan menjadi individu yang berakhlak mulia dan berbudi pekerti luhur.

Kemampuan anak untuk dapat mengembangkan potensi baik dan mengendalikan potensi buruknya itu terjadi secara otomaatis tetapi memerlukan bantuan orang lain, yakni melalui pendidikan agama (bimbingan, pengajaran dan pelatihan) terutama dari orang tuanya sebagai pendidik pertama dan utama di lingkungan keluarga.

(7)

2. Identitas Religius dan Spiritual Konselor

Landasan religius dalam bimbingan dan konseling mengimplikasikan bahwa konselor sebagai “helper” pemberi bantuan dituntut untuk memiliki pemahaman akan nilai-nilai agama, dan komitmen yang kuat dalam mengamalkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari, khususnya dalam memberikan bimbingan dan konseling kepada konseli. Didalam proses bantuan yang diberikan itu bernilai ibadah, maka kegiatan tersebut harus didasarkan kepada keikhlasan dan kesabaran.

Identitas religius dan spiritual konselor menjadi hal yang penting, berkaitan dengan hal tersebut, Prayitno dan Erman Amti (dalam Syamsu Yusuf, 2009: 153), mengemukakan persyaratan bagi konselor yaitu sebagai berikut:

1. Konselor hendaknya orang yang beragama dan mengamalkan dengan baik keimanannya sesuai dengan agama yang dianut.

2. Konselor sedapat-dapatnya mentransfer kaidah-kaidah agama secara garis besar yang relevan dengan masalah konseli.

Perubahan-perubahan sosial yang cepat (rapid sosial changes), sebagai konsekuensi dari modernisasi, industrialisasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah mempengaruhi nilai-nilai moral etika dan gaya hidup (value system and way of life). Tidak semua orang mampu menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan sosial tersebut, kadang-kadang dapat membuat individu jatuh sakit atau mengalami gangguan penyesuaian diri (adjustment disorder) (Corsini, 1981).

Perubahan-perubahan tata nilai kehidupan (psycho-social changes), antara lain dapat kita lihat pada:

1. Pola hidup masyarakat yang semula sosial-religius cenderung ke arah pola kehidupan masyarakat individual, materialis dan sekuler;

2. Pola hidup yang semula sederhana dan produktif, cenderung ke arah pola hidup mewah, konsumtif, dan serba instan;

3. Struktur keluarga yang semula keluarga besar (extended family), cenderung ke arah keluarga inti (nuclear family), bahkan sampai pada keluarga tunggal (single parent family)

(8)

5. Ambisi karier dan materi yang sebelumnya menganut azas-azas hukum dan moral serta etika, cenderung berpola tujuan menghalalkan segala cara, misalnya dengan melakukan KKN (Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme).

Fenomena psikososial tersebut dengan segala keterkaitannya memunculkan berbagai macam permasalahan kehidupan dan pada sebagian orang dapat merupakan beban atau tekanan mental yang disebut sebagai stresor psikososial. Kita hendaknya paham dan sadar bahwa perubahan psikososial memungkinkan individu bebas meningkatkan pengharapan hidup, dapat menjadi sumber motivasi untuk mencapai tingkat kehidupan yang lebih baik, tetapi dapat juga menyebabkan individu tidak akan pernah merasa puas dengan apa yang telah dicapainya.

Fenomena social ini dapat mengubah seseorang, situasi kehidupan seperti itu memungkinkan umat manusia menjadi insan yang serakah, dan berani melakukan perilaku menyimpang, yaitu perilaku yang tidak sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat (Calhoun & Acocella, 1995: 10). Rogers (William A. Wallace, 1986), berpendapat bahwa “manusia adalah makhluk yang tidak pernah selesai”. Karena itu wajar apabila manusia dipandang sebagai individu yang sedang berada dalam proses berkembang atau menjadi (becoming), yaitu berkembang ke arah kematangan atau kemandirian.

(9)

Perubahan iklim lingkungan ternyata mempengaruhi perkembangan pola perilaku atau gaya hidup sebagian manusia yang cenderung menyimpang dari kaidah-kaidah moral (akhlaq yang mulia). Pelanggaran tata tertib di jalan, maraknya brandalan motor, tawuran antarsekolah, antar daerah bahkan antar warga dalam suatu lingkungan wilayah, minum minuman keras, penyalahgunaan obat-obatan terlarang, narkotika, ekstasy, putau, kriminalitas, dan pergaulan bebas, bahkan memandang manusia lain sebagai bahan untuk dianiaya dan santapannya, merupakan contoh perilaku-perilaku yang menyimpang dari kaidah moral.

Berkaitan dengan kehidupan ini, H. A. R. Tilaar (1999) mengemukakan bahwa untuk menyikapi keadaan era globalisasi diperlukan munculnya manusia yang memiliki sifat keunggulan, baik keunggulan secara individualistic maupun keunggulan partisipatoris. Keunggulan partisiapatoris adalah keunggulan manusia yang mampu menggali dan mengembangkan potensinya untuk mencari jalan terbaik sehingga mampu survive dalam kemajuan dan persaingan yang semakin tajam. Bukan berarti bahwa mereka memiliki kebebasan untuk membunuh potensi manusia yang lainnya tetapi tetap harus tumbuh bersama dalam keadaan sejahtera. Lebih jauh Suradinata (2003: 1-2) menjelaskan bahwa upaya untuk membentuk pemikiran antisipatif terhadap segala kemungkinan perubahan di masa datang adalah dengan menstimulasikan pemikiran manusia secara diakronis dan sinkronis dalam konteks sejarah masa lampau dan etika saat ini berlandas pada rasionalitas, motivasi, kebutuhan dan maksud suatu kegiatan.

(10)

Lebih jauh, Dahlan (2002: 139-145), mengemukakan bahwa dalam situasi dimana peradaban mengalami titik balik, pengembangan sumber daya manusia hendaknya bertumpu pada keunggulan akhlak dan moral bangsa. Jika pada bidang akhlak dan moral ini cukup berhasil, maka dalam mengembangkan keunggulan di bidang lainnya tidak akan begitu sulit.

Presiden Yudhoyono (2010) dalam pidatonya menyampaikan tentang pentingnya pendidikan karakter. Beliau menyatakan bahwa, pembangunan watak (character building) adalah amat penting. kita ingin membangun manusia Indonesia yang berakhlak, berbudi pekerti, dan berperilaku baik. Bangsa kita ingin pula memiliki peradaban yang unggul dan mulia. Peradaban demikian dapat kita capai apabila masyarakat kita juga merupakan masyarakat yang baik (good society).

Masyarakat idaman seperti ini dapat kita wujudkan manakala manusia-manusia Indonesia adalah manusia yang berakhlak dan berwatak baik, manusia yang bermoral dan beretika baik, serta manusia yang bertutur dan berperilaku baik pula. Menggarisbawahi pentingnya pendidikan dan pembangunan karakter bangsa dalam arti luas, maka bangsa yang berkarakter unggul, di samping tercermin dari moral, etika dan budi pekerti yang baik, juga ditandai dengan semangat, tekad dan energi yang kuat, dengan pikiran yang positif dari sikap yang optimis, serta dengan rasa persaudaraan, persatuan dan kebersarnaan yang tinggi. Inilah totalitas dari karakter bangsa yang kuat dan unggul, yang pada kelanjutannya bisa meningkatkan kemandirian dan daya saing bangsa, menuju Indonesia yang maju, bermartabat dan sejahtera di Abad 21 ini (Sambutan Mendiknas, 2 Mei 2010).

(11)

atau rela, 25) penyayang, 26) jujur, 27) amanat, 28) syukur, 29) berseri-seri wajahnya, 30) menjauhkan dari yang haram, 31) melapangkan kesempatan, 32) percaya atas kebesaran Allah, 33) mengharapkan keridhoan Allah, 34) lemah lembut, 35) ramah, 36) pemaaf dan pengampun, 37) penyimpan rahasia, 38) berlomba dalam kebaikan, 39) pemberi nasihat, 40) wasiat, dan 41) pembawa kabar baik.

Kemajuan zaman yang memberikan peluang dan tantangan sama besarnya memunculkan kultur kehidupan manusia yang bukan hanya berorientasi pada aspek keunggulan dan kecepatan waktu tetapi secara terbuka menuntut proses pembelajaran dan pelaksanaan pelayanan konseling sebagai wahana dan fasilitas yang terorganisir untuk menjadikan manusia memiliki pemenuhan kebutuhan optimalisasinya.

Kebutuhan belajar individu sebagai pribadi dan sosial mengimplikasikan bahwa proses pembelajaran tidak hanya terbatas kepada sekat persekolahan dan guru atau dosen tidak dijadikan sebagai satu-satunya sumber belajar tetapi lebih terbuka kepada pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi dengan proses pembelajaran E– learning (Sayling Wen, 2003: 92). Implikasi pemenuhan kebutuhan belajar individu (learning needs) sebagai pribadi dan makhluk social mengisyaratkan pembelajaran tidak hanya terfokus kepada empat hal, yaitu learning to know, learning to do, learning to live together dan learning to be, sebagaimana pilar pendidikan yang dikemas badan pendidikan dan kebudayaan PBB (UNESCO, 1996), tetapi individu pun dituntut untuk belajar bagaimana belajar dilakukan (learning how to learn). Dalam konteks yang terakhir itu (learning how to learn), nilai-nilai etis dan moralsebagai landasan kehidupan diharapkan memberikan warna positif bagi perilaku belajar dan kehidupan manusia pada umumnya.

3. Kontribusi Landasan Religius Terhadap Perkembangan Pribadi Konselor

Sumbangan landasan religius terhadap perkembangan pribadi konselor itu terkait dengan hal-hal dibawah ini:

1) Memelihara Fitrah

(12)

menyelewengkan pribadi tersebut dari kebenaran. Maka agar manusia dapat mengendalikan hawa nafsu itu, maka pada diri konselor tersebut harus beragama dengan beriman dan beramal saleh atau melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.

2) Memelihara Jiwa

Dalam memelihara kemuliaan jiwa manusia, agama mengharamkan manusia melakukan penganiayaan, penyiksaan dan pembunuhan baik terhadap dirinya maupun kepada orang lain.

4. Memelihara Akal

Allah telah memberikan karunia kepada manusia yang tidak diberikan kepada makhluk lainnya, yaitu akal. Karena pentingnya akal ini, maka agama memberi petunjuk kepada manusia untuk mengembangkan dan memeliharanya, yaitu hendaknya manusia tersebut mensyukuri nikmat akal itu dengan cara memanfaatkan seoptimal mungkin untuk meruusak akal, belajar, atau mencari ilmu. Serta menjauhkan diri dari perbuatan yang merusak akal seperti meminum-minuman keras, menggunakan narkoba, dan hal-hal yang merusak keberfungsian akal yang sehat. 5. Memelihara Keturunan

Agama mengajarkan kepada manusia tentang cara memelihara keturunan atau sistem regenerasi yang suci. Aturan atau norma agama untuk memelihara keturunan itu adalah pernikahan.

4. Perilaku Membantu yang Dilandasi Nilai Keagamaan/Kerohanian

Aktifitas profesi yang member layanan bantuan tidak bisa lepas dengan perilaku membantu. Perilaku membatu yang mensejahtarakan dan membahagiakan kehidupan orang yang dibantu itu perlu kiranya dilandasi nilai-nilai keagamaan atau nilai kerohanian. Bagi profesi yang membantu itu maka perlu memperhatikan hal-hal berikut.

1. Makna pemberian bantuan

(13)

mengemukakan persyaratan bagi konselor, yaitu sebagai berikut: (1) Konselor hendaknya orang yang beragama; (2) Konselor sedapat-dapatnya mampu mentransfer kaidah-kaidah agama.

2. Peranan Nilai Agama Dalam Menghadapi Kehidupan Global.

Agama merupakan uang mengikat jiwa untuk kembali kepada Tuhan adalah agama. Sejarah agama berumur setua dengan sejarah manusia. Seluruh agama merupakan perpaduan kepercayaan dan sejumlah upacara. Tuhan menciptakan alam atau “kita harus mati untuk membebaskan jiwa dari beban daging badan kasar”. Sedang yang lain lebih bersifat khusus yang pada umumnya berkenaan tentang bagaimana seharusnya kita mengatur tingkah laku dibumi.

Dasar-dasar umum dengan istilah nilai (value) sedangkan hal-hal yang lebih khusus sifatnya sebagai kepercayaan (belief). Kepercayaan adalah penerapan konkrit nilai-nilai yang kita miliki. Tujuan terakhir agama bersifat tidak nyata. Keberhasilan didunia ini yang perlu diinterpretasikan sebagai suatu yang absolute. Mempertebal iman dan mental untuk menuju kepada pelaksanaan ajaran agama masing-masing guna terciptanya suatu kehidupan damai didunia dan diakhirat.

Ringkasan

Nilai-nilai agama dalam proses bimbingan dan konseling perlu teringrasi dalam praktek-praktek dalam bimbingan dan konseling karena landasan religus menjadi fundamental. Konselor dituntut memiliki pemahaman tentang hakikat manusia menurut agama dan peran agama dalam kehidupan umat manusia. Sifat hakiki manusia adalah makhluk beragam. Yang menjadi sisi penting bari pribadi konselor, konselor hendaknya orang yang beragama dan mengamalkan dengan baik keimanannya sesuai dengan agama yang dianut. Disamping itu onselor sedapat-dapatnya mentransfer kaidah-kaidah agama secara garis besar yang relevan dengan masalah konseli.

(14)

ke arah pola kehidupan masyarakat individual, materialis dan sekuler. Pola hidup yang semula sederhana dan produktif, cenderung ke arah pola hidup mewah, konsumtif, dan serba instan. Struktur keluarga yang semula keluarga besar (extended family), cenderung ke arah keluarga inti (nuclear family), bahkan sampai pada keluarga tunggal (single parent family).

Sehubungan dengan berbagai perubahan kemajuan jaman dan pembangunan karakter budaya bangsa, maka pribadi konselor yang memgembangkan landasan religious maka bdalam elaksanakan layanan praktik konseling dapat pulan mengembangkan nilai-nilai agama yang dapat diterima secara universal meliputi pengembangan pribadi yang: ikhlas, tepat janji, perhatian, yakin, tawakal, berbuat baik, rendah hati, berakhlak baik, taqwa, belas kasihan/empati, pemberani, takut kepada Tuhan, adil, penolong, zuhud, sabar, keperwiraan, kehati - hatian (wara), penutup aib orang, toleran, menjaga lisan, pemaaf, memiliki rasa malu, ridlo atau rela, penyayang, jujur, amanat, syukur, berseri-seri wajahnya, menjauhkan dari yang haram, melapangkan kesempatan, percaya atas kebesaran Allah, mengharapkan keridhoan Allah, lemah lembut, ramah, pemaaf dan pengampun, penyimpan rahasia, berlomba dalam kebaikan, pemberi nasihat, wasiat, dan pembawa kabar baik.

Latihan

1. Diskusikan bersama kelompok Anda mengapa konselor harus memiliki landasan religius yang berdasarkan keimanan. Berilah contoh pula sikap kepatutan dan ketidak patutan konselor yang berlandaskan religious dan tidak.

2. Diskusikan nilai- nilai religi konselor yang mempribadi yang berdasarkan keimanan dalam pelaksanaan pelayanan konseling yang seperti apa. Jabarkan melaui contok praktis kehidupan sehari hari dalam pelaksanaan konseling.

(15)

4. Kembangkan nilai-nilai religius yang dapat di terapkan dalam pengembnagan pribadi konselor. Berilah contoh yang sesuai dan analisiskan yang yang tidak sesuai dengan nilai religious.

BAB II

PENGEMBANGAN EMPATI KONSELOR

Kompetensi dasar:

Setelah mempelajari materi ini diharap dapat mengaplikasikan sikap, ketrampilan, kesadaran dan komitmen selaku konselor dalam pengembangan empati konselor.

(16)

dua orang yang berbeda latar belakang budaya. Salah satu masalah yang sering muncul adalah kurangnya rasa empati dalam berkomunikasi yang bisa menyebabkan kesalahpahaman interaksi komunikasi dalam konseling sehingga konseli tidak mendapat manfaat yang dari proses konseling.

Empati dalam konseling justru dianggap sebagai salah satu cara yang efektif dalam usaha mengenali, memahami, dan mengevaluasi orang lain karena dimungkinkan seseorang itu masuk dan menjadi sama dengan orang lain. Melalui berempati, seseorang bisa benar-benar merasakan dan menghayati orang lain termasuk bagaimana seseorang mengamati dan menghadapi masalah dan keadaannya yang sesusai dengan budayanya.

Kehidupan konseli merupakan rahasia yang sulit untuk ditembus. Bahkan keadaannya begitu berlapis. Konseli yang kita hadapi sering tampil hanya dipermalukan saja, dan jarang menampilkan dunia dalam mereka. Kecuali terhadap orang yang sangat dipercayai. Orang yang dipercayai oleh konseli adalah yang memahami dan dapat merasakan perasaan, pengalaman, serta pikiran konseli. Konselor yang empati mudah memasuki ”dunia dalam” konseli sehingga konseli tersentuh dengan sikap konselor.

(17)

Empati dari Bahasa Yunani (εμπάθεια yang berarti “ketertarikan fisik” didefinisikan sebagai kemampuan seseorang untuk mengenali, mempersepsi, dan merasakan perasaan orang lain. Karena pikiran, kepercayaan, dan keinginan seseorang berhubungan dengan perasaannya, seseorang yang berempati akan mampu mengetahui pikiran dan mood orang lain. Empati sering dianggap sebagai semacam resonansi perasaan.

Empati adalah kemampuan untuk mengetahui bagaimana merasakan perasaan orang lain. Empati berperan penting dalam berbagai bidang kehidupan, mulai dari pengasuhan, pendidikan, manajemen, hingga tindakan bela rasa dan percintaan. Empati dibangun pada lingkup self-awareness (kesadaran diri). Makin terbuka terhadap emosi kita sendiri, makin terampil kita dalam memahami perasaan orang lain. Emosi tidak banyak diekspresikan dalam kata-kata, justru ia lebih banyak diekspresikan dalam isyarat-isyarat nonverbal, seperti intonasi suara, gerakan bagian tubuh, ekspresi wajah. Maka kemampuan empati terutama melibatkan kemampuan seseorang untuk membaca perasaan lewat pemahaman terhadap isyarat-isyarat nonverbal orang lain.

Secara sederhana, empati dapat didefinisikan sebagai kemampuan untuk membayangkan diri sendiri berada pada tempat dan pemahaman yang dimiliki orang lain, mencakup perasaan, hasrat, ide-ide, dan tindakan-tindakannya. Istilah ini awalnya biasa digunakan dengan rujukan khusus pengalaman estetis. Namun belakangan, istilah ini diterapkan lebih luas dalam hubungan interpersonal. Empati dinilai penting peranannya dalam meningkatkan kualitas positif hubungan interpersonal.

(18)

Empati dalam psikologi dan psikiatri yang berorientasi humanistik, merupakan bagian penting dari teknik konseling. Carl Rogers (1975, dalam Cotton, 2001) merupakan salah satu tokoh awal yang menunjukkan pentingnya empati dalam proses konseling. Menurutnya, berempati berarti mempersepsi kerangka pikir internal orang lain secara tepat mencakup unsur-unsur emosional dan cara-cara bertingkahlaku, disertai dengan kepedulian seolah-olah diri sendiri adalah orang lain yang sedang dipersepsi tetapi tanpa kehilangan kesadaran sedang mengandaikan sebagai orang lain. Dengan kata lain, berempati adalah mengandaikan diri kita sebagai orang lain tanpa larut secara emosional dalam kondisi orang yang diandaikan. Seorang konselor memerlukan empati untuk memahami kondisi psikis konseli yang sedang dibantunya.

Sejalan dengan Rogers, Gallo (1989) menyatakan bahwa sebuah respon empati mengandung baik dimensi kognitif maupun afektif. Istilah empati digunakan paling tidak dalam dua pengertian: (1) sebuah respons kognitif utama untuk memahami bagaimana orang lain merasa; (2) kebersamaan afektif yang setara dengan orang lain. Dengan demikian, empati juga dapat dipahami sebagai pemahaman yang intim bahwa perasaan-perasaan, pikiran-pikiran dan motif-motif seseorang dimengerti secara menyeluruh oleh orang lain, disertai ungkapan penerimaan terhadap keadaan orang lain.

(19)

Pengalaman penyetalaan emosional (attunement) berulang yang terjadi di tengah hubungan orang tua dan anak, akan memberikan perasaan pada anak bahwa dirinya diterima, ditanggapi dengan tepat, dan secara emosional terkait tepat dengan orang tuanya. Sebaliknya, pengalaman ketidak-selarasan emosional berulang akan mendorong anak untuk tidak mengekspresikan bahkan tidak merasakan emosinya. Keselarasan emosional tidak diperagakan dengan sekedar menirukan apa yang dilakukan bayi atau anak. Ia diwujudkan dengan menampilkan kembali perasaan-perasaan mendalam bayi atau anak itu. Hubungan konseli-konselor/terapist dijalin untuk memberikan kembali pengalaman keselarasan emosional kepada konseli. Dalam kajian psikoanalisis, penghadiran kembali pengalaman keselarasan emosional ini oleh therapist/konselor terhadap konselinya disebut miroring.

Martin Hoffman menegaskan bahwa akar-akar moralitas terdapat dalam empati, karena empati terkait dengan pertimbangan moral ketika manusia menghadapi dilema calon korban, yaitu mereka yang sedang dalam kesakitan, bahaya, atau kekurangan. Sejak usia dua tahun, ketika anak sudah bisa menyadari bahwa dirinya bukanlah orang lain, ia makin bisa berempati. Pada akhir masa kanak-kanak, empati meluas dan bisa terarah ke penderitaan kelompok. Pada masa remaja kemampuan empati bertumbuh kembang menjadi keyakinan untuk meringankan penderitaan dan mengurangi ketidak-adilan. Ini semua melandasi tindakan altruistik manusia yang memiliki empati.

Dalam perkembangannya, empati menjadi terbukti bagian penting juga dalam proses belajar mengajar. Untuk menjadi pengajar yang efektif, orang perlu memiliki kemampuan ini. Seorang pengajar memerlukan empati untuk memahami kondisi muridnya untuk dapat membantunya belajar dan memperoleh pengetahuan. Pengajar yang tidak memahami perasaan-perasaan, pikiran-pikiran, motif-motif dan orientasi tindakan muridnya akan sulit untuk membantu dan memfasilitasi kegiatan belajar murid-muridnya.

2. Unsur-unsur Empati

(20)

1) Imajinasi yang tergantung kepada kemampuan membayangkan; di sini imajinasi berfungsi untuk memungkinkan pengandaian diri seseorang sebagai orang lain. 2) Adanya kesadaran terhadap diri sendiri (self-awareness atau self-consciousness);

secara khusus pandangan positif terhadap diri sendiri, secara umum penerimaan (dalam arti pengenalan) apa adanya terhadap kelebihan dan kekurangan diri sendiri. 3) Adanya kesadaran terhadap orang lain; pengenalan dan perhatian terhadap orang lain;

secara khusus pandangan positif terhadap orang lain, secara umum penerimaan apa adanya terhadap kelebihan dan kekurangan orang lain.

4) Adanya perasaan, hasrat, ide-ide dan representasi atau hasil tindakan baik pada orang yang berempati maupun pada orang lain sebagai pihak yang diberi empati disertai keterbukaan untuk saling memahami satu sama lain.

5) Ketersediaan sebuah kerangka pikir estetis; ini merupakan dasar untuk menampilkan respons yang dianggap pantas dan memadai agar kesesuaian antara orang yang berempati orang yang menjadi sasaran empati dapat tercapai (agar tidak menjadi pelanggaran privasi atau perilaku sok tahu); kerangka pikir estetis selalu tergantung pada budaya, masyarakat dan konteks jaman.

6) Ketersediaan sebuah kerangka pikir moral; dalam konteks pendidikan kerangka ini merupakan panduan untuk pembentukan dan pengembangan kompetensi dan karakter guru dan murid; juga tergantung kepada budaya masyarakat dan konteks jaman.

Empati, baik untuk pengajar maupun pelajar, semakin diperlukan dalam pendidikan dalam upaya mencapai keberhasilan proses pembelajaran. Jika kita bertanya apa karakteristik dari pelajar yang sukses maka banyak ahli psikologi pendidikan menjawab: berpengetahuan, mampu menentukan diri sendiri, strategis dan empatik (Jones, 1990).

(21)

Dari segi sosial, empati menjadi lebih penting lagi bagi seorang pengajar. Hilangnya empati dapat melahirkan kecenderungan pengajar melakukan abuse dan eksploitasi terhadap murid-muridnya. Kuatnya empati pada seorang pengajar merupakan indikansI dari kesadaran diri, identitas diri yang sehat, penghargaan diri yang terkelola dengan baik, dan kecintaan terhadap diri sendiri dalam arti positif. Di sisi lain, empati menunjukkan juga adanya kematangan kognitif dan afektif dalam memahami orang lain, kemampuan mencintai dan menghargai orang lain, serta kesiapan untuk hidup bersama dan saling mengembangkan dengan orang lain. Empati merupakan ‘tembok karang’ moralitas seorang pengajar, bahwa ia mengajar, mengabdikan dirinya untuk mengembangkan murid-muridnya, bukan untuk memanfaatkan dan mengambil untung dari mereka.

Goleman mengetengahkan semacam biopsikososiogenesis empati (tinjauan tentang kemunculan dan tumbuh-kembang empati pada perspektif biologis, psikologis, sosial). Bahasan akar-akar empati oleh Goleman tidak dilakukan pada perspektif konseling atau psikoterapi, tetapi lebih mengetengahkan empati sebagai nilai kemanusiaan. Dalam kajian konseling dan psikoterapi betapa ditegaskan pentingnya peran empati. Keefektifan proses konseling tak dapat dipungkiri antara lain ditentukan oleh kemampuan empati konselor atau psikoterapis. Kemampuan empati tidak hanya sebatas merasakan bagaimana perasaan orang lain, tetapi juga memerlukan kemampuan mengartikulasikan perasaan tersebut, sehingga orang lain merasa dipahami (Blatner, 2002).

Salah satu cara dari berbagai teknik yang ada untuk mengembangkan kemampuan empati adalah dengan teknik bermain peran. Role play atau bermain peran dinilai sebagai teknik yang efektif dan akan membantu anak membentuk pemahaman yang lebih dalam dan fleksibel (Harris, 1990), misal bagaimana rasanya berada pada posisi sebagai orangtua, guru, teman yang dikucilkan.

Pada perspektif kesadaran multikultural yang semakin diperlukan di tengah pendidikan, pelatihan, penelitian dan praktik konseling masa kini, pendidikan-pelatihan konselor perlu mengejawantahkan berbagai upaya di antaranya:

(22)

2) Praktik pendisiplinan yang berpretensi mengajak individu memahami penderitaan psikologis orang lain serta;

3) Penampakan berulang teladan tanggapan empatik yang tepat terhadap orang lain yang memerlukan.

Ketiga upaya pokok diatas itu perlu ditumbuh-kembangkan dalam iklim relasi pada setiap pendidkan-pelatihan para calon konselor agar iklim relasi ini dapat berperan korektif terhadap kemungkinan defisiensi empati pada para calon konselor serta berperan menumbuhkembangkan kemampuan empati setiap calon konselor.

Empati sangat dibutuhkan dalam relasi terapeutik. Bahkan dalam terapi client centered, iklim terapi yang diwarnai empati menjadi syarat utama yang akan memberi efek mendukung bagi tumbuhnya konsep diri positif pada konseli atau konseli, sehingga konseli dapat mengatasi persoalannya sendiri. Lebih lanjut dapat diungkapkan bahwa mengingat pentingnya kemampuan empati dalam hubungan antar manusia, maka upaya melatih dan mengembangkan empati di keluarga-keluarga, sekolah-sekolah dan lembaga-lembaga pendidikan lainnya perlu dilakukan sedini mungkin.

Syarat petugas bimbingan, dalam hal ini adalah seorang konselor di sekolah diantaranya adalah sifat kepribadian konselor. Seorang konselor harus memiliki kepribadian yang baik. Kepribadian konselor sangat berperan dalam usaha membantu siswa untuk tumbuh. Banyak penelitian telah dilakukan oleh sejumlah ahli tentang ciri-ciri khusus yang dibutuhkan oleh seorang konselor. Sifat-sifat kepribadian konselor diantaranya:

1) Konselor adalah pribadi yang intelegen, memiliki kemampuan berpikir verbal dan kuantitatif, bernalar dan mampu memecahkan masalah secara logis dan perspektif. 2) Konselor menunjukkan minat kerja sama dengan orang lain, di samping seorang

ilmuwan yang dapat memberikan pertimbangan dan menggunakan ilmu pengetahuan mengenai tingkah laku individual dan sosial.

(23)

4) Konselor memiliki nilai-nilai yang diakui kebenarannya sebab nilai-nilai ini akan mempengaruhi perilakunya dalam situasi konseling dan tingkah lakunya secara umum.

5) Konselor menunjukkan sifat yang penuh toleransi terhadap masalah-masalah yang mendua dan ia memiliki kemampuan untuk menghadapi hal-hal yang kurang menentu tersebut tanpa terganggu profesinya dan aspek kehidupan pribadinya.

6) Konselor cukup luwes untuk memahami dan memperlakukan secara psikologis tanpa tekanan-tekanan sosial untuk memaksa konseli menyesuaikan dirinya.

7) Komunikasi. Situasi konseling menuntut reaksi yang adekuat dari pihak konselor, yaitu konselor harus dapat bereaksi sesuai dengan perasaan dan pengalaman konseli. Bentuk reaksi ini sangat diperlukan oleh konseli karena dapat membantu konseli melihat perasaanya sendiri.

Kepribadian konselor yang menghargai dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan sebagai berikut, memiliki kemampuan:

1) Membedakan perilaku yang menggambarkan pandangan positif

Konselor harus bisa membedakan perilaku konseli yang dimana perilaku konseli tersebut merupakan sebuah pandangan atau persepsi konseli yang bisa diorientasikan sebagai pandangan yang positif.

2) Membedakan perilaku yang menggambarkan pandangan negative

Seorang konselor dituntut untuk bisa mengerti dan memahami kondisi psikologis konseli, memahami disini bisa diartikan bahwa seorang konselor mampu membedakan pandangan-pangdangan yang diungkapkan konselinya mengenai dunia luar maupun pandangan-pandangannya terhadap dirinya sendiri.

3) Membedakan individu yang berpotensi dalam layanan bimbingan dan konseling Konselor harus mampu membedakan mana konseli yang berpotensi dan mana konseli yang kurang menunjukkan adanya potensi diri.

Konselor yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia antara lain memiliki kemampuan:

(24)

2) Menerapkan perbedaan budaya yang berperspektif hak asasi manusia dalam pelayanan bimbingan dan konseling

3) Menerapkan perbedaan responsif perbedaan budaya konselor dengan konseli dalam pelayanan bimbingan dan konseling

4) Konselor yang menunjukkan integritas kepribadian yang kuat adalah ditunjukkan dala kepribadian antara lain memiliki kemampuan:

(1) Menerapkan toleran terhadap stres yang dialami konseli (2) Mengantisipasi berbagai tekanan yang menimpa diri

(3) Melakukan coping terhadap berbagai tekanan yang menimpa diri

Konselor yang mnunjukkan integritas kepribadian yang kuat adalah ditunjukkan dalam kepribadian antara lain memiliki kemampuan:

a) Menampilkan kepribadian dan perilaku seperti berwibawa, jujur, sabar, ramah, dan konsisten

b) Menampilkan kepribadian dan perilaku dalam menampilkan emosi yang stabil dengan mengontrol emosi diri secara tepat

c) Menampilkan kepribadian dan perilaku dengan merespon empati secara tepat

Konselor yang memiliki kesadaran terhadap komitmen profesional antara lain memiliki kemampuan:

d) Dapat menjelaskan dan mengelola kekuatan dan keterbatasan pribadi dan professional.

e) Dapat menyelenggarakan pelayanan bimbingan dan konseling sesuai dengan kewenangan profesional konselor

f) Berupaya meningkatkan kompetensi akademik dan profesional diri. Kompetensi Akademik calon konselor meliputi kemampuan: a) memahami konseli yang hendak dilayani

b) menguasai khasanah teoretik, konteks, asas, dan prosedur serta sarana yang digunakan dalam penyelenggaraan pelayanan bimbingan dan konseling c) menyelenggarakan pelayanan bimbingan dan konseling yang memandirikan,

(25)

Komitmen profesional konselor terhadap komitmen etika profesional antara lain memiliki kemampuan:

a) Melaksanakan referal sesuai dengan keperluan

b) Mendahulukan kepentingan konseli daripada kepentingan pribadi konselor c) Menjaga kerahasiaan konseli

Menurut Rogers dalam Konseling dan Psikoterapi (Gunarsa Singgih, 1992, hal. 72), empati bukan hanya sesuatu yang bersifat kognitif namun meliputi emosi dan pengalaman. Menurut Rogers empati konselor sebagai salah satu faktor kunci yang membantu konseli untuk memecahkan masalah personalnya. Ketika kita berempati kepada orang lain, kita meletakkan diri kita “in their shoes”, melihat dunia dari mata mereka, membayangkan bagaimana bila menjadi mereka, dan berusaha merasakan apa yang mereka rasakan. Saat konseli melihat empati pada diri konselor, mereka akan lebih nyaman untuk dan tidak melakukan defend seperti penyangkalan, penarikan diri, dll. Artinya empati konselor mampu memfasilitsi perubahan pada konseli. Sebaliknya akan lebih mau membuka diri terhadap dunia luar dengan cara yang lebih konstruktif. Karena itulah istilah empati ditambah menjadi perkataan “emphatic understanding”. Egan (1975, dalam Ivey et al, 1987) membedakan dua tipe untuk memahami “emphatic understanding”, yakni:

(a) Empati primer, adalah empati sebagaimana dikemukakan oleh Rogers. Membentuk fondasi dan atmosfer inti helping relationship. Termasuk mendengarkan semua pesan dan meresponnya. Kemampuan paraphrasing dan merefleksikan perasaan konselor dengan baik akan memulai dasar empati untuk memahami konseli. Contoh perkataan: “ Sekarang saya bisa merasakan betapa sedih Anda pada waktu itu”.

(26)

dalam konseli melalui ungkapan-ungkapan empati (PE dan AAE) yang menyentuh perasaan konseli. Jika demikian keadaannya maka konseli akan terbuka dan mau mengungkapkan dunia dalamnya lebih jauh baik berbentuk perasaan, pengalaman, dan pikiran.

3. Latihan Empati Konselor

Latihan mengosongkan diri calon konselor dari perasaan dan pikiran egoistik, dan masuk kedalam diri konseli dengan merasakan apa yang dirasakan konseli, berpikir bersama konseli, dan bukan merasakan dan memikirkan tentang konseli. Melakukan Empati Primer (PE) dengan mengungkapkan:

(1) ”Saya dapat merasakan apa yang anda rasakan. ” (2) ”Saya memahami apa yang telah anda lakukan. ” (3) ”Saya mengerti apa yang anda inginkan. ”

(4) Melakukan empati tingkat tinggi (AAE) dengan mengatakan:

(5) ”Saya ikut terluka dengan penderitaan anda. Namun saya juga bangga dengan kemampuan daya tahan anda. ”

(6) ”Saya seperti hadir di sana saat anda mengalaminya, saya bangga dengan keberhasilan anda. ”

(7) ”Saya ikut terhina dengan pengalaman keji yang anda alami namun saya salut terhadap keuletan anda membela kebenaran. ”

(8) ”Saya ikut kecewa dengan perlakuannya terhadap anda, namun saya yakin anda masih mempunyai iman untuk melupakannya. ”

Dalam melakukan teknik empati pengamat harus secara tajam mengamati bahasa tubuh konselor. Jika bahasa tubuhnya dilakukan dengan baik, maka akan menunjang terhadap teknik empati. Selanjutnya akan membantu konseli terbuka dan terlibat di dalam hubungan konseling.

4. Latihan Empati bagi Calon Konselor

(27)

Di dalam empati, seorang konselor harus dapat merasakan apa yang dirasakan oleh konseli. Untuk mencapai tujuan tersebut, latihan empati merupakan latihan terpenting untuk membina kepribadian konselor agar mampu berkomunikasi dengan konseli dan dapat merasakan apa yang dirasakan konseli. Konselor harus dapat merasakan apa yang dirasakan, dipikirkan, dan dialami konseli. Untuk dapat merasakan apa yang dirasakan, dipikirkan, dan dialami konseli, seorang konselor haruslah berusaha:

(1) Melihat kerangka rujukan dunia-dalam konseli (internal frame of reference) atau kehidupan internal konseli.

(2) Menempatkan diri ke dalam kerangka persepsi internal konseli. (3) Merasakan apa yang dirasakan konseli.

(4) Berpikir bersama konseli, bukan berpikir tentang atau untuk konseli. (5) Menjadi kaca emosional/cermin perasaan konseli (emotional mirror).

Keberhasilan empati adalah jika konseli dapat memahami empati konselor, sehingga dia percaya diri untuk mengembangkan diri dan memecahkan masalahnya. 5. Aspek Intelektual,

Pada prinsipnya proses konseling memerlukan keterampilan intelektual yang tinggi pada konselornya. Berikut ini beberapa latihan intelektual yang dianggap penting, yaitu:

1) Latihan Intuisi

Intuisi adalah semacam kecerdasan untuk segera dan reflektif mengambil informasi yang ada dalam perilaku nonverbal (gerak, isyarat, wajah, getaran suara) dan verbal (kata, ucapan) orang lain terutama konseli. Konselor yang intuitif segera menangkap makna yang terkandung dalam perilaku verbal dan nonverbal. Untuk mencapai tahap kekuatan intuisi, seorang konselor hendaknya memiliki pengetahuan, pengalaman, dan keterampilan melalui latihan.

2) Latihan Kemampuan Dramatik (Sense of Drama)

(28)

Penghayatan terhadap peran yang dimainkan, berdampak terhadap calon konselor: (1) akan membuat kepekaan terhadap berbagai perilaku konselinya terutama nonverbal; (2) sebagai wahana penyaluran perasaan dan ide sehingga membantu konselor untuk menjadi asli dan jujur (genuine), dan terbuka ( self-disclosure).

6. Konsep Empati Budaya Dalam Keefektifan Konseling

Suatu cross cutting affiliation, biasanya akan menghasilkan cross cutting loyalities. Cross cutting loyalities adalah terbentuknya loyalitas pada hubungan silang budaya yang sudah terbentuk, oleh karena itu, sampai pada suatu tingkat tertentu, masyarakat Indonesia telah terintegrasi meskipun tumbuhnya bangsa, agama, daerah dan pelapisan sosial. Toleransi dan empati akan membawa pemahaman mengenai berbagai perbedaan yang menjadi sumber daya yang tak ternilai. Empati berpotensi untuk mengubah perbedaan menjadi saling memahami dan mengerti secara mendalam.

Setelah memaparkan deskripsi mengenai budaya dan empati, selanjutnya akan dibahas mengenai empati budaya secra inklusif. Empati budaya inklusif (inclusive cultur empathy) menjelaskan perspektif dinamis yang menyeimbangkan persamaan dan perbedaan pada saat yang sama yaitu mengintegrasikan keterampilan yang dikembangkan untuk membina pemahaman yang komprehensif dan mendalam mengenai hubungan konseling dalam konteks budayanya, ICE memiliki dua fitur terdefinisi: a. Budaya didefinisikan secara luas untuk mencakup guru budaya dari etnografi konseli

(etnis dan kebangsaan), demografis (umur, jenis kelamin, gaya hidup, tempat tinggal), status (social, pendidikan, ekonomi) dan latar belakang afiliasi (formal atau informal). b. Hubungan konseling empatik menghargai berbagai perbedaan dan persamaan atau fitur positif dan negatif sebagai kontribusi terhadap kualitas hubungan dalam keseimbangan dinamis (Pedersen, dkk. , 2008).

(29)

target budaya tertentu. Berdasarkan pemahaman tersebut, kita bisa mengasumsikan beberapa penyebab utama yang terlibat dalam proses budidaya empati antarbudaya:

(a) Tidak adanya kesadaran dari target budaya tertentu, dan kurangnya kontak dengan orang dari budaya itu

(b) Terlalu menekankan universalitas budaya, tetapi mengabaikan perbedaan antara mereka

(c) Perbedaan dalam pola berpikir masyarakat dan transfer negatif mereka ke dalam budaya sasaran ketika belajar bahasa sasaran

(d) Adanya kesembarangan penerapan adat budaya mereka dengan budaya target. Untuk lebih spesifik, faktor-faktor berikut memberikan kontribusi terhadap hambatan empati antar budaya.

7. Stereotip

Stereotip adalah hasil dari interaksi budaya dan misperception. Persepsi kelompok dibentuk oleh sistem nilai pribadi mereka melalui skema kognitinya. Positif stereotip, seperti “cerdas” dan “ambisius, ” dan stereotip negatif, seperti “terbelakang” dan “malas”, menandakan keanggotaan dalam kelompok sosial tertentu dan memungkinkan individu untuk secara kognitif memilah-milah banyak informasi berdasarkan fitur yang menonjol pada diri mereka. Meskipun stereotip tidak boleh diterapkan untuk menggambarkan perilaku individu (harus diterapkan pada norma perilaku untuk seluruh kelompok.

(30)

dan lain-lain. Tentu saja, kadang-kadang seorang pemimpin atau ibu rumah tangga atau Jerman agak seperti stereotip tetapi merupakan ketidakadilan untuk secara otomatis menganggap mereka semua. Bahkan, ketika orang berstereotip, mereka cenderung memperkuat perilaku tertentu yang dilakukan oleh kelompok tertentu tetapi mengabaikan banyak kesamaan.

a. Prasangka

Prasangka adalah penilaian prematur atau sikap negatif terhadap seseorang atau sekelompok orang yang tidak didasarkan pada fakta. Biasanya didasarkan pada stereotip yang disederhanakan dan lebih umum pandangan kelompok atau jenis orang (Tucker-Ladd, Clayton E). Prasangka yang mungkin didasarkan pada emosional atau stereotip pribadi mereka sendiri. Sebagai contoh, di mata sebagian orang Amerika, Hispanik adalah pemalas. Beberapa orang Amerika juga menggambarkan terutama kulit hitam sebagai anggota geng dan pengedar narkoba dan ini diperkuat sebagai stereotip. Ketika kita berprasangka, kita melanggar tiga standar: alasan, keadilan, dan toleransi. Orang berprasangka mungkin menjadi korban kesalahan dalam pengolahan dan mengingat informasi mengenai obyek-obyek perasaan negatif mereka.

Kurangnya kepekaan budaya

Sensitivitas lintas budaya adalah kualitas menyadari dan menerima budaya lain. Seseorang yang tidak secara budaya sensitif dipidana dengan mengabaikan perbedaan antara budaya mereka dan orang lain, dan sebagai akibatnya, kebodohan dapat mempengaruhi hubungan mereka dan cara mereka berkomunikasi satu sama lain. Misalnya, ada Perusahaan Amerika yang memproduksi bola golf bola dikemas dalam kemasan empat. Mereka sukses dan mulai menjual secara internasional. Namun kinerja penjualan mereka tidak berhasil di Jepang, di mana jumlah empat memegang makna kematian.

(31)

faktor-faktor berikut: ketidaktahuan perbedaan dalam pola piker dan ketidaktahuan perbedaan nilai, norma dan keyakinan

Ringkasan

Empati merupakan kemampuan konselor untuk memahami permasalahan konseli, melihat melalui sudut pandang konseli dan latar belakang budayanya, peka terhadap perasaan-perasaan konseli, sehingga konselor mengetahui bagaimana konseli merasakan perasaanya. Konselor diharapkan dapat memahami permasalahan konseli tidak hanya pada permukaan, tetapi lebih dalam pada kondisi psikologis konseli. Jika ketiga kondisi diatas dapat dimunculkan oleh konselor sebagai kualitas dalam hubungan teurapeutik, dengan demikian, dapat diprediksikan aktivitas yang akan dialami konseli dalam konseling adalah menjajaki perasaan dan sikapnya secara mendalam.

Unsur-unsur empati meliputi: imajinasi yang tergantung kepada kemampuan membayangkan, adanya kesadaran terhadap diri sendiri, adanya kesadaran terhadap orang lain; Adanya perasaan, hasrat, ide-ide dan representasi atau hasil tindakan baik pada orang yang berempati maupun pada orang lain, ketersediaan sebuah kerangka pikir estetis, etersediaan sebuah kerangka pikir moral;

Kepribadian konselor yang perlu dimiliki dalam kemampuan empati adalah kemampuan, membedakan perilaku yang menggambarkan pandangan positif, membedakan perilaku yang menggambarkan pandangan negatip, membedakan individu yang berpotensi dalam layanan bimbingan dan konseling, menerapkan perbedaan budaya yang berperspektif gender dalam pelayanan bimbingan dan konseling, menerapkan perbedaan budaya yang berperspektif hak asasi manusia dalam pelayanan bimbingan dan konseling, menerapkan perbedaan responsif perbedaan budaya konselor dengan konseli dalam pelayanan bimbingan dan konseling, konselor yang menunjukkan integritas kepribadian yang kuat adalah ditunjukkan dala kepribadian antara lain memiliki kemampuan, konselor yang memiliki kesadaran terhadap komitmen profesional terhadap komitmen etika professional.

(32)

yang dibutuhkan konseli agar dalam hubungan konseling, konselor menjadi efektif untuk mencapai tujuan konseling. Keberhasilan empati adalah jika konseli dapat memahami empati konselor, sehingga dia percaya diri untuk mengembangkan diri dan memecahkan masalahnya. Proses konseling memerlukan keterampilan intelektual yang tinggi pada konselornya, latihan intelektual yang dianggap penting dalam latihan intuisi dan latihan kemampuan

Latihan

1. Konsep Empati

a. Jelaskan pengertian empati menurut pendapat saudara b. Mengapa konselor perlu mengembangan empatinya ?

c. Apa yang perlu diperhatikan agar konselor memiliki kemampuan empati yang tepat ?

2. Unsur-unsur empati

a. Sebutkan unsure-unsur empati itu ?

b. Goleman mengetengahkan biopsikososiogenesis empati yang perlu dimiliki konselor apa maksudnya ?

c. Apa yang menadi persyaratan kepribadian konselor agar memiliki empati yang tinggi?

3. Empati konselor.

a. Apakah ada perbedaan jenis-jenis empati ? sebutlkan!

(33)

BAB III

PENGEMBANGAN REFLEKSI INTEGRITAS PRIBADI DAN STABILITAS KEPRIBADIAN KONSELOR

Kompetensi Dasar:

Setelah membahas materi ini mahasiswa dapat mengaplikasikan sikap, ketrampilan, kesadaran dan komitmen dalam refleksi integritas pribadi konselor stabilitas

kepribadian konselor

(34)

1. Integritas Konselor

Kepribadian meski banyak para ahli dengan berbagai cara pandang tentang kepribadian adalah suatu totalitas psikofisis yang kompleks dari individu, sehingga nampak dalam tingkah lakunya yang unik. Pada awalnya manusia itu lahir hanya membawa “personality” atau kepribadian. Secara umum kepribadian ada empat macam meskipun banyak teori yang menggunakan istilah yang berbeda, tetapi polanya tetap sama. Secara umum kepribadian dikelompokkan menjadi empat, yaitu:

1. Koleris: tipe ini bercirikan pribadi yang suka kemandirian, tegas, berapi-api, suka tantangan, bos atas dirinya sendiri.

2. Sanguinis: tipe ini bercirikan suka dengan hal praktis, happy dan ceria selalu, suka kejutan, suka sekali dengan kegiatan social dan bersenang-senang.

3. Phlegmatis: tipe ini bercirikan suka bekerjasama, menghindari konflik, tidak suka perubahan mendadak, teman bicara yang enak, menyukai hal yang pasti.

4. Melankolis: tipe ini bercirikan suka dengan hal detil, menyimpan kemarahan, perfection, suka instruksi yang jelas, kegiatan rutin sangat disukai.

Kepribadian konselor yang memiliki criteria sehat karakteristik kepribadiannya yang di kemukakan para ahli kepribadian, maka memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

1) Menerima diri apa adanya, meskipun mengubah bagian dari diri sendiri 2) Memiliki citra diri mendasar, cinta-diri, cermat kesadannya tinggi 3) Memiliki kemampuan berkomunikasi dengan siapapun

4) Menunjukkan pengertian dan kasih sayang 5) Bisa mendengarkan orang lain dengan kesabaran 6) Cukup kreatif

7) Semangat luar biasa

8) Fungsi otaknya menakjubkan

9) Kualitasnya baik secara fisik dan intelektual

(35)

12) Pikirannya mencerminkan “mendengarkan” nuraninya menganggapnya sebagai kebenaran.

13) Yakin dan melakukan hal-hal sesuai pikirannya sendiri

14) Selalu waspada, penasaran dan ingin tahu, sering mencari dan belajar akan hal baru 15) Kepribadian menarik seperti magnet

16) Sikap positif dan pesona rileks membuatnya cukup ramah, populer di manapun berada

17) Logikanya dan kehadiran pikiran hebat

18) Pemberani, menghargai kepribadiannya, tubuhnya, penampilannya, kepentingannya prestasinya keyakinannya dan nilai-nilai dirinya

19) Membiarkan dirinya percaya dan terbuka pada orang yang tepat 20) Tidak merasa takut diketahui lebih mendalam pada tingkat pribadi 21) Waspada agar tidak dimanfaatkan oleh yang tidak ingin ia sejahtera

22) Menikmati keberadaannya dengan orang lain, terutama dalam menikmati hubungan romantis

2. Integritas

Kata “integritas” berasal dari kata sifat latin integrer (langkap). Dalam konteks ini integritas adalah rasa batin “keutuhan“ yang berasal dari kualitas seperti kejujuran dan konsistensi karakter. Dengan demikian, seorang dapat menghakimi bahwa orang lain “memiliki integrita “ sejauh bahwa mereka bertindak sesuai dengan, nilai dan prinsip keyakinan mereka mengklaim memegang. Integritas (Integrity) adalah bertindak konsisten sesuai dengan nilai-nilai dan kebijakan organisasi serta kode etik profesi, walaupun dalam keadaan yang sulit untuk melakukan ini

(36)

maupun konflik yang terjadi secara sosial budaya antara konselor dengan konseli. Karena konseling tidak hanya mengaitkan konselor dan konseli yang satu budaya saja, melainkan dapat berbeda-beda budaya. Menurut Abu ahmadi (2008), faktor-faktor pendorong integrasi adalah:

1. Faktor internal

(1) Kesadaran diri (konselor) sebagai makhluk soial

Konselor harus selalu menyadari bahwa dirinya adalah makhluk sosial. Dalam kehidupan, antara individu satu dengan individu yang lain tidak dapat hidup sendiri. Maka dari itu, perlu dicamkan pada diri konselor, bahwa dirinya dan konseli adalah sama-sama makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri, sehingga apabila ada konseli yang datang meminta bantuan kepada konseli, maka konselor akan merasakan bahwa konseli datang membutuhkan bantuannya karena konseli tersebut merupakan makhluk sosial yang juga tidak dapat hidup sendiri dan membutuhkan bantuannya, kemudian konselor akan melayani konseli dengan baik.

(2) Tuntutan kebutuhan

Tuntutan kebutuhan bagi konselor adalah konseli. Disebut sebagai tuntutan kebutuhan, karena tanpa adanya konseli yang datang pada konselor untuk meminta bantuan (konseling), maka diri konselor atau peran sebagai konselor serasa tidak dibutuhkan. Maka dengan adanya konseli yang datang pada konselor untuk meminta “bantuan”, dianggap sebagai kebutuhan untuk konselor.

(3) Jiwa dan semangat membantu

(37)

Sering ditemui apabila konselor menemui konseli yang satu etnik, dan bahasa, maka akan timbul perasaan persamaan kebudayaan pada konselor terhadap konseli tersebut, sehingga mendorong konselor untuk membantu dengan baik. (2) Persamaan visi, misi dan tujuan

Pada awal konseling, biasanya terdapat opening yang dilakukan oleh konselor, yang merujuk pada pertanyaan-pertanyaan seputar keseharian konseli. Dari sini, konselor dapat menemukan bahwa konseli yang sedang ada dihadapannya merupakan individu yang mempunyai visi, misi dan tujuan hidup tertentu. Contohnya pada hobi. Apabila konselor merasa konseli mempunyai minat dan hobi yang sama dengan dirinya, maka cenderung konselor akan merasa lebih senang dengan kondisi konseli tersebut, sehingga mengupayakan perbantuan dengan baik untuk konseli tersebut.

(3) Sikap toleransi

Toleransi merupakan sikap positif yang harus dimiliki oleh seorang konselor yang notabene profesinya di bidang perbantuan. Adanya perasaan kemanusiaan pada diri konselor, dapat menunjang kepekaan perasaan konselor terhadap konseli. Sikap toleransi akan mendorong konselor agar dapat membantu konseli untuk memecahkan masalahnya dengan baik dan untuk mencapai kehidupan efektif sehari-hari konseli, tanpa membeda-bedakan status sosio-ekonomi dan budaya konseli.

(4) Terbukanya kesempatan berpartisipasi dalam kehidupan bersama

Individu menyadari bahwa dalam kehidupan bersama dengan masyarakat, akan ada interaksi dengan individu yang lainnya. Dalam kehidupan bersama inilah terjadi partisipasi antar individu dalam beragam bentuk. Salah satu partisipasi dalam kehidupan bersama ini adalah membantu individu lain yang sedang mengalami masalah.

3. Stabilitas

(38)

kemampuan diri, mampu bersosialisasi dan beradaptasi dengan baik serta mampu memecahkan konflik dengan bijak dan bersikap fleksibel.

Adapun karakteristik kepribadian yang stabil, yaitu: 1) Mampu mengendalikan emosi

Salah satu tolak ukur kepribadian yang stabil adalah kematangan emosi. Semakin matang emosi seseorang, akan kian stabil pula kepribadiannya. Pengendalian emosi merupakan kunci kestabilan pribadi. Ketidakmampuan seseorang mengendalikan emosi, terutama emosi negatif seperti marah, bisa menghambat interaksi seseorang dengan lingkungannya.

2) Mampu memupuk kepercayaan diri

Kepercayaan diri menentukan kualitas hidup seseorang, dan ini juga merupakan salah satu tolak ukur kepribadian. Kepercayaan diri yang tinggi, dapat dipastikan seseorang bisa mengarungi hidupnya dengan baik. Setidaknya bila menerima tantangan dan mengemban tanggungjwabanya tanpa dikuasai stress dan kecemasan. Dalam berguaul, tidak agresif tapi juga tidak pasif, sehingga, seseorang mampu memposisikan diri diantara kedua sifat tadi. Individu dengan kepribadian yang stabil relatif mudah diterima lingkungan karena sifatnya yang mudah bergaul terutama dalam berkomunikasi.

3) Mampu bersosialisasi dan beradaptasi.

Kemampuan bersosialisasi seseorang merupakan langkah awal dalam meniti kesuksesan yang ditentukan oleh banyaknya relasi yang sudah dijalin, banyaknya teman dan relasi serta mudah melakukan penyesuain diri yang berbeda peristiwa dan sesuai dengan norma lingkungannya.

4) Mampu mengatasi masalah atau konflik

Masalah atau konflik dalam kehidupan itu sulit dihindari. Kemampuan seseorang memecahkan konflik merupakan modal yang bagi seseorang. Semakin baik kemampuannya memecahkan konflik, maka kepribadiannya akan semakin seseorang stabil dan mengatasi konflik pada umumnya akan mudah mengatasinya baik masalah di sekolah, di rumah, ataupun kelak ditempat kerja. 5) Mampu bersifat fleksibel

(39)

meningkatkan kecemasan dalam diri. Berbeda, jika seseorang fleksibel bermanfaat bagi seseorang agar:

(1) Mampu membuat dan merencanakan sesuatu secara tepat yang bijak. (2) Mampu mengukur sesuatu keberhasilan scara nyata

(3) Mampu berinteraksi dalam segala kondisi dan dengan segala jenis kepribadin manusia.

(4) Mampu mengubah segala sesuatu menjadi lebih positif.

(5) Mampu menghadapi goncangan dan persoalan yang datag secara tiba-tiba. (6) Mempunyai strategi dan manajemen yang rapi dalam bekerja

(7) Menguasai beragam model, metode dan gaya dalam berinteraksi 6) Kontrol Diri

Kontrol diri diartikan sebagai kemampuan untuk menyusun, membimbing, mengatur dan mengarahkan bentuk perilaku yang akan membawa kearah positif bagi individu tersebut. Kontrol diri mengandung arti mengatur sendiri tingkah laku yang dimiliki. Menurut Bandura dan Mishel serta Carlson, kontrol diri merupakan kemampuan individu dalam merespon situasi. Kontrol diri bisa diartikan sebagai proses yang terjadi ketika dalam situasi tanpa batasan dari lingkungan eksternal, anak melakukan suatu jenis perilaku yang sebelumnya sedikit tidak mungkin muncul dibandingkan prilaku alternatif lainnya. Kontrol diri juga dapat diartikan sebgai kemampuan untuk membimbing tingkah laku impulsive. Seseorang yang menjalankan kontrol diri memperlihatkan bahwa kebutuhan akhir telah disosialisasikan dan nilai-nilai budaya lebih penting dari hasrat manapun. Skinner berpandangan bahwa control diri merupakan sebuah urutan perilaku dimana organisme memanipulasi pengaruh-pengaruh lingkungan dalam kaitannya dengan mempelajari prinsip-prinsip untuk mengubah sebuah perilaku tertntu.

Suatu perilaku kadang kala menghasilkan konsekuensi yang positive akan tetapi juga dimungkinkan menghasilkan konsekuensi yang negative. Oleh karenanya kontrol diri selain berupa kemampuan untuk mendapatkan konsekuensi positif juga merupakan kemampuan untuk mengatasi konsekuensi negative.

(40)

Penerapan didalam proses konseling, konselor diharapkan mempunyai berbagai macam bentuk- bentuk integritas dan stabilitas pribadi konselor yang meliputi:

1) Kualitas Pribadi Konselor

Kualitas pribadi konselor merupakan faktor yang sangat penting dalam konseling. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas pribadi konselor menjadi faktor penentu bagi pencapaian konseling yang efektif. Calon konselor dituntut untuk memfasilitaskan perkembangan pribadi mereka yang berkualitas, yang dapat bertanggung jawab. Cavanagh 1982 (dalam Syamsu Yusuf: 2009, 37) mengemukakan bahwa kualitas pribadi konselor ditandai dengan beberapa karakteristik yaitu: (a) pemahaman diri, (b) kompeten, (c) memiliki kesehatan psikologis, (d) dapat percaya, (e) jujur, (f) kuat, (g) hangat, (h) responsif, (i) sabar, (j) sensitif, dan (k) memiliki kesadaran yang holistik.

2) Karakteristik Konselor

Menurut Munro, dkk (1970) menyatakan bahwa tidak ada pola yang tegas tentang sifat-sifat atau ciri-ciri kepribadian yang harus dimiliki oleh konselor yang efektif, sekurang-kurangnya seorang konselor hendaknya memiliki sifat-sifat luwes, hangat, dapat menerima orang lain, terbuka, dapat merasakan penderitaan orang lain, mengenal diri sendiri, tidak berpura-pura, menghargai orang lain, tidak mau mengenang sendiri, dan obyektif. Munro, dkk (1979) mengatakan bahwa untuk menunjukkan sifat-sifat kepribadian konselor yang diinginkan dalam diri konselor adalah: (1) konselor sebagai model, (2) hubungan konseling, (3) Keberanian konselor melakukan konseling.

(1) Konselor sebagai Model

Dalam konseling meniru perbuatan konselor serta mengambil hal-hal yang diyakininya baik untuk menjadi dirinya sendiri. Oleh sebab itu konselor hendaknya selalu menyadari dan menerima dirinya, nilai-nilainya, dan berbagai tingkah lakunya, sehingga penampilannya merupakan model yang mantap dan berguna bagi hubungan dan pemecahan masalah secara efektif.

(41)

Konselor yang efektif adalah mereka yang dapat menciptakan hubungan yang bersifat membantu dan tanpa tekanan dengan kliennya, sehingga konselor dank lien itu sama-sama dapat merasakan tentram dan aman untuk saling berhubungan secara bebas dan spontan.

(3) Keberanian melakukan Konseling

Seorang yang sungguh-sungguh menjadi seorang konselor yang efektif yang harus menerima tanggungjawab dan ketidakpastian serta berani menempatkan dirinya sendiri dalam suasana yang mengandung resiko secara pribadi, resiko menyangkut perasaan, menyangkut hubungan orang lain.

(4) Karakteristik konselor itu meliputi:

a. Sikap

Sikap konselor, Shertzet & Stone, (1980) dapat diringkas sebagai berikut: 1. Penerimaan diri konseling oleh konselor

2. Pandangan konselor tentang hakikat manusia. 3. Modifikasi terapi client-clientred.

4. pemahaman realitas.

5. Sikap emphati terhadap klien, menghormati klien secara wajar.

6. berorientasi kepada pribadi klien lebih berhasil daripada yang hanya berorientasi kepada masalah yang dihadapi klien.

7. mendorong perubahan kepribadian klien

b. Ras, Jenis Kelamin, dan Umur

Vontres menyatakan bahwa sulit membina hubungan konselor dan konseling bila berlainan ras. Ahli lain menyatakan bahwa konselor wanita lebih asertif, lebih aktif, dan lebih mendorong konseling kearah pemahaman diri.

c. Pengalaman

Kehas dan Moris meneliti konselor yang sebelumnya pernah menjadi guru. Menjadi guru bahwa ternyata menyebabkan ia lebih memahami konseling, namun ia mengalami kesulitan dalam hal peranannya.

d. Keterbukaan

Beberapa peneliti menyimpulkan bahwa ada hubungan yang erat antara keterbukaan konselor dengan kemampuan konseling membuka diri.

e. Persepsi

(42)

Konselor yang tergolong baik, mempunyai konsep diri yang baik dengan cirri-ciri antara lain: memahammi dirinya, serius, sabar, bicaranya lunak, sadar akan kepribadiannya, lebih kekeluargaan dan semangat tidak mudah kondor. 8) Komunikasi

Komunikasi verbal atau non verbal dapat digunakan tergantung situasinya. Tingkah laku yang dapat menunjang komunikasi adalah hangat, empati, dan keaslian.

Ringkasan

Konselor dituntut memiliki integritas dan stabilitas dalam proses konseling yaitu sikap professional yang tidak melibatkan masalah pribadi yang di alami oleh konselor agar proses konseling dapat berjalan dengan lancar. Seorang konselor juga di tuntutun memilik karakteristik serta keperibadian tertentu

Integritas adalah rasa batin “keutuhan” yang berasal dari kualitas seperti kejujuran dan konsistensi karakter. Keterampilan integrasi dalam konseling, diperlukan agar konseling dapat berjalan dengan lancar, meskipun menghadapi berbagai rintangan, baik berupa rintangan fisik maupun konflik yang terjadi secara sosial budaya antara konselor dengan konseli.

Faktor-faktor pendorong integrasi adalah faktor internal meliputi (Kesadaran diri konselor sebagai makhluk soial, Tuntutan kebutuhan, Jiwa dan semangat membantu) dan faktor eksternal

Meliputi (persamaan visi, misi dan tujuan, sikap toleransi, terbukanya kesempatan berpartisipasi dalam kehidupan bersama, persamaan kebudayaan, persamaan visi, misi dan tujuan, sikap toleransi, terbukanya kesempatan berpartisipasi dalam kehidupan bersama)

(43)

Karakteristik kepribadian yang stabil, adalah konselor yang Mampu mengendalikan emosi terutama emosi negatif seperti marah, bisa menghambat interaksi seseorang dengan lingkungannya, Mampu memupuk kepercayaan diri, Mampu bersosialisasi dan beradaptasi, Mampu mengatasi masalah atau konflik, Mampu bersifat fleksibel.

Konselor yang berkepribadian stabil maka perlu memiliki sifat fleksibel, tidak boleh memiliki sifat kaku. Konselor yang fleksibel bermanfaat bagi konseli bermanfaat mampu: membuat dan merencanakan sesuatu secara tepat yang bijak, mengukur sesuatu keberhasilan scara nyata, berinteraksi dalam segala kondisi dan dengan segala jenis kepribadin manusia, mengubah segala sesuatu menjadi lebih positif, menghadapi goncangan dan persoalan yang datag secara tiba-tiba, Mempunyai strategi dan manajemen yang rapi dalam bekerja, menguasai beragam model, metode dan gaya dalam berinteraksi

Konselor yang memiliki ketabilan pribadi maka konselor itu mampu control diri. kontrol diri diartikan sebagai kemampuan untuk menyusun, membimbing, mengatur dan mengarahkan bentuk perilaku yang akan membawa kearah positif bagi individu tersebut. Suatu perilaku kadang kala menghasilkan konsekuensi yang positive akan tetapi juga dimungkinkan menghasilkan konsekuensi yang negative. Oleh karenanya kontrol diri selain berupa kemampuan untuk mendapatkan konsekuensi positif juga merupakan kemampuan untuk mengatasi konsekuensi negative.

Referensi

Dokumen terkait